3. Transfer Pricing lengkap - Dewan Perwakilan Rakyat · Dalam arti yang lebih luas, ... perusahaan...

14
BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN – SETJEN DPR RI BiroAnalisaAnggarandanPelaksanaanAPBN–SETJENDPR RI | 29 DAFTAR ISI NO OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK MALALUI MINIMALISASI PRAKTEK TRANSFER PRICING HAL I LATAR BELAKANG 1 II PENGERTIAN TRANSFER PRICING 2 III TUJUAN, DASAR HUKUM & ATURAN PELAKSANAAN TRANSFER PRICING 3 IV PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA SEHUBUNGAN DENGAN TRANSFER PRICING 3 V PEMBAHASAN PERMASALAHAN TRANSFER PRICING 4 A. SKEMA TRANSFER PRICING 4 B. MODUS OPERANDI TRANFER PRICING 4 C. HUBUNGAN ISTIMEWA DAN KEWAJARAN HARGA DALAM TRANSFER PRICING 5 D. KEBIJAKAN MENEKAN KECURANGAN PRAKTEK TRANSFER PRICING 8 1. PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL 8 2. MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE (MAP) 9 3. ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA) 9 VI SARAN DAN SOLUSI PENCEGAHAN 12

Transcript of 3. Transfer Pricing lengkap - Dewan Perwakilan Rakyat · Dalam arti yang lebih luas, ... perusahaan...

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 29   

DAFTAR ISI 

NO  OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK 

MALALUI MINIMALISASI PRAKTEK TRANSFER PRICING 

HAL 

I  LATAR BELAKANG    1 

II  PENGERTIAN TRANSFER PRICING  2 

III  TUJUAN, DASAR HUKUM & ATURAN PELAKSANAAN TRANSFER PRICING 

IV  PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA SEHUBUNGAN DENGAN TRANSFER PRICING 

V  PEMBAHASAN PERMASALAHAN TRANSFER PRICING  4 

  A. SKEMA TRANSFER PRICING   4 

  B. MODUS OPERANDI TRANFER PRICING  4 

  C. HUBUNGAN ISTIMEWA DAN KEWAJARAN HARGA DALAM TRANSFER PRICING 

  D. KEBIJAKAN MENEKAN KECURANGAN PRAKTEK TRANSFER PRICING 

  1. PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL  8 

  2.  MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE (MAP)  9 

  3. ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA)  9 

VI  SARAN DAN SOLUSI PENCEGAHAN   12 

 

   

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 30   

OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK 

MELALUI MINIMALISASI PRAKTEK TRANSFER PRICING   

I. LATAR BELAKANG  

Saat  ini  dirasa  tidak  cukup  hanya  menjalankan  kegiatan  ekonomi  di  satu  negara, sehingga  ide  untuk  menyatukan  pereknomian  dunia  pun  bergaung  dimana‐mana. Banyak  lembaga  internasional  didirikan  dan  peraturan  bersama  disusun  untuk menciptakan  suasana  perdagangan  internasional  yang  kondusif,  kompetitif,  dan terbuka.  Istilah  yang  sering  diperbincangkan  mengenai  fenomena  ini  adalah globalisasi ekonomi.   Globalisasi  ekonomi  ini  bertujuan  untuk  mengintegrasikan  perekonomian  dunia menjadi  satu  kesatuan  menembus  batas‐batas  negara.  WTO  (World  Trade Organization),  EU  (European  Union),  ACFTA  (ASEAN‐China  Free  Trade  Area),  dan GATT  (General  Agreement  on  Trade  and  Tariff)  yang  ikut  meramaikan  pesta globalisasi ekonomi ini dengan jargon‐jargon mereka seperti the borderless world.   Globalisasi  merupakan  suatu  proses  ketergantungan  ekonomis  yang  terus berkembang di antara negara‐negara dunia dengan ciri‐ciri: 1.   Pertumbuhan  transaksi  keuangan  dan  perdagangan  internasional  yang  cepat, 

terutama di antara perusahaan‐perusahaan multinasional,  2.   Gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat 

dukungan luas dari kalangan perusahaan multinasional,  3.   Timbulnya pasar global, serta 4.   Timbulnya  teknologi  dan  berbagai  pemikiran  sebagai  akibat  dari  ekspansi 

sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia.   Suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa globalisasi telah menjadi hard fact di berbagai  negara  dan  membawa  dampak  pada  semakin  meningkatnya  transaksi transnasional  atau  cross  border  transaction.  Arus  barang,  jasa,  modal,  dan  tenaga kerja antarnegara semakin mudah dan lancar. Pengusaha melihat kondisi ini sebagai peluang  usaha  untuk  memperluas  jaringan  bisnis  mereka  tanpa  perlu mengkhawatirkan  hambatan‐hambatan  di  perbatasan  negara.  Negara‐negara berkembang pun  tak pelak menjadi pasar potensial bagi pengusaha untuk dijadikan basis  bisnis mereka.  Dalam  sekejap,  berdirilah  anak‐anak  perusahaan  atau  cabang‐cabang perusahaan multinasional di berbagai belahan dunia. Dalam situasi seperti ini, dapat dikatakan dunia tengah mengalami era korporasi multinasional dan membuat dunia  ini  seolah‐olah  berada  pada  sebuah  pasar  tunggal  yang  tak  asing  lagi  satu dengan yang lainnya. Kata “jual‐beli” hanya digantikan oleh kata “ekspor‐impor” dan beberapa hal lainnya1.  

                                                            1 http://hendriologi.blogspot.com/2011/12/abuse‐of‐transfer‐pricing‐dilema.html, Diposkan oleh Hendry Kurniawan di 12/19/2011 05:51:00 PM 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 31   

 Konsekuensi  logis  dari  menjamurnya  perusahaan  multinasional  adalah  munculnya berbagai transaksi antaranggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan  harta  tak  berwujud  lainnya,  penyediaan  pinjaman  dan  sebagainya.  Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer).  Transfer pricing dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional ataupun perusahaan lokal  yang bekerjasama dengan perusahaan  lain. Dari sisi pemerintahan,  transfer pricing mengakibatkan  berkurang  atau   hilangnya  potensi  penerimaan  pajak suatu  negara  karena  perusahaan  multinasional  cenderung  menggeser  kewajiban perpajakannya  dari  negara‐negara  yang  memiliki  tarif  pajak  yang  tinggi  (high  tax countries) ke negara‐negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak  lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya‐biaya  (cost  efficiency)  termasuk  di  dalamnya  minimalisasi  pembayaran  pajak perusahaan  (corporate  income  tax).  Bagi  korporasi  multinasional,  perusahaan berskala global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu  strategi  yang  efektif  untuk  memenangkan  persaingan  dalam  memperebutkan sumber‐sumber daya yang terbatas.  Uni  Eropa  dan  Amerika  Serikat  sedang  pusing  menghindari  pajak.  Utang  terus menumpuk  dan  pengeluaran  pemerintah  dipangkas  agar  deficit  anggaran  negara berkurang.  Namun,  di  sisi  lain,  sejumlah  warga  kaya  dan  korporasi  ketahuan menghindari pajak2. 

  II. PENGERTIAN TRANSFER PRICING  

1. Organization  for  Economic  C0‐operation  and  Development  (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar  anggota  group  dalam  sebuah  perusahaan  multinasional  di  mana  harga transfer  yang  ditentukan  tersebut  dapat  menyimpang  dari  harga  pasar  wajar sepanjang cocok bagi groupnya3. 

 2. Transfer pricing didefinisikan sebagai nilai atau harga  jual khusus yang dipakai 

dalam  pertukaran  antar  divisional  untuk  mencatat  pendapatan  divisi  penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division)4.  

3. Transfer  pricing  adalah  harga  yang  diperhitungkan  untuk  keperluan  pe ngendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar pusat responsibilitas 

                                                            2 Koran Kompas, Jum’at 24 Mei 2013, Korporasi Besar Diduga Terlibat. 3 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 4 puslit.petra.ac.id/journals/request.php?PublishedID=AKU00020106 , Aspek Perpajakan Dalam Praktek Transfer Pricing 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 32   

profit atau cost  (Gunadi 1999:111). Dalam arti  yang  lebih  luas,  transfer pricing termasuk  penentuan  harga  antara  beberapa  entitas,  yang  secara  hukum pemiliknya bisa sama ataupun berbeda (Gunadi 1994:9)5. 

 III. TUJUAN, DASAR HUKUM & ATURAN PELAKSANAAN  

Tujuan: 

memberi kepastian dan kelancaran dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha bagi fiskus dan Wajib Pajak  

Dasar Hukum: 

1. Pasal 32A UU PPh  2. Pasal 18 ayat (3) UU PPh  

Aturan Pelaksanaan: 

PerDirjen Pajak No. PER‐43/PJ/2010 stdd PER‐32/PJ/2011  

IV. PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA SEHUBUNGAN DENGAN TRANSFER PRICING 

 1. Istilah  transfer  pricing menjadi  begitu  populer  namun  penanganannya  belum 

memperlihatkan  hasil  yang  cukup  signifikan  dalam  struktur  penerimaan negara.6  

2. Transfer  pricing  merupakan  transaksi  barang  dan  jasa  antara  beberapa  divisi pada  suatu  kelompok  usaha  dengan  harga  yang  tidak  wajar,  bisa  dengan menaikkan  (mark  up)  atau  menurunkan  harga  (mark  down),  kebanyakan dilakukan  oleh  perusahaan  global  (Multi‐National  Enterprise).  Tujuannya, pertama,  untuk  mengakali  jumlah  profit  sehingga  pembayaran  pajak  dan pembagian  dividen  menjadi  rendah.  Kedua,  menggelembungkan  profit  untuk memoles  (window­dressing)  laporan  keuangan.  Negara  dirugikan  triliunan rupiah karena praktek transfer pricing perusahaan asing di Indonesia7.  

3. Seharusnya  DJP  sudah  mempunyai  mapping  tentang  karakter  utama perusahaan  (toll  manufacturing,  contract  manufacturing,  dan  fully  fledge 

                                                            5 http://puslit.petra.ac.id/search_engine/cache/AKU/AKU040602/AKU04060204.txt, ADVANCE PRICING AGREEMENT DAN PROBLEMATIKA TRANSFER PRICING DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA, Iman Santoso 6 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 7 www.pajak.go.id/content/article/menangkal­kecurangan­transfer­pricing , 15 Agt 2012  

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 33   

manufacturing)  sehingga dapat dianalisis potensi perpajakan yang masih bisa diintensifikasikan.  

 V. PEMBAHASAN PERMASALAHAN TRANSFER PRICING 

A. SKEMA TRANSFER PRICING  

 

   

B. MODUS OPERANDI TRANSFER PRICING 

Secara universal transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa yang  dikenal  dengan  istilah  transfer  pricing,  dapat  mengakibatkan  terjadinya pengalihan  penghasilan  atau  dasar  pengenaan  pajak  dan/atau  biaya  dari  satu wajib  pajak  ke  wajib  pajak  lainnya,  yang  dapat  direkayasa  untuk  menekan keseluruhan  jumlah  pajak  terhutang  atas  wajib  pajak‐wajib  pajak  yang mempunyai  hubungan  istimewa  tersebut.  Kekurang  wajaran  sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada: (1) harga penjualan; (2) harga pembelian; (3) alokasi  biaya  administrasi  dan  umum  (overhead  cost);  (4)  pembebanan  bunga atas  pemberian  pinjaman  oleh  pemegang  saham  (Shareholder  loan);  (5) pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan  atas  jasa  teknik  dan  imbalan  atas  jasa  lainnya;  (6)  pembelian  harta perusahaan  oleh  pemegang  saham  (pemilik)  atau  pihak  yang  mempunyai 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 34   

hubungan  istimewa  yang  lebih  rendah  dari  harga  pasar;  (7)  penjualan  kepada pihak  luar  negeri melalui  pihak  ketiga  yang  kurang/tidak mempunyai  substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center). 

 C. HUBUNGAN  ISTIMEWA  DAN  KEWAJARAN  HARGA  DALAM  TRANSFER 

PRICING 

Terkait  dengan  isu  transfer  pricing,  secara  umum  otoritas  fiskal  harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak  terhadap dugaan  transfer pricing mendapat justifikasi yang kuat. Kedua hal prinsipil tadi adalah: (1) afiliasi (associated  enterprises)  atau  hubungan  istimewa  (special  relationship)  dan  (2) kewajaran atau arm’s length principle (Bhakti 2002:30‐34). 

1. Hubungan Istimewa a. Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut Pernyataan Standar 

Akuntansi  Keuangan  (PSAK  No.7)  adalah  sebagai  berikut:  (a) perusahaan  yang  melalui  satu  atau  lebih  perantara  (inter  ‐  mediaries), mengendalikan,  atau  dikendalikan  oleh,  atau  berada  di  bawah pengendalian  bersama,  dengan  perusahaan  pelapor  (termasuk  holding companies,  subsidiaries  dan  fellow  subsidiaries)  (b)  perusahaan  asosiasi (associated company) (c) perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun  tidak  langsung,  suatu  kepentingan  hak  suara  di  perusahaan pelapor  yang  berpengaruh  secara  signifikan,  dan  anggota  keluarga  dekat dari  perorangan  tersebut  (yang  dimaksudkan  dengan  anggota  keluarga dekat  adalah  mereka  yang  dapat  diharapkan  mempengaruhi  atau dipengaruhi  perorangan  tersebut  dalam  transaksinya  dengan  perusahaan pelapor)  (d)  karyawan  kunci,  yaitu  orang  ‐orang  yang  mempunyai wewenang  dan  tanggung  jawab  untuk  merencanakan,  memimpin  dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris,  direksi  dan  manajer  dari  perusahaan  serta  anggota  keluarga dekat  orang‐orang  tersebut  (e)  perusahaan  di  mana  suatu  kepentingan substansial  dalam  hak  suara  dimiliki  baik  secara  langsung maupun  tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini  mencakup  perusahaan  perusahaan  yang  dimiliki  anggota  dewan komisaris,  direksi  atau  pemegang  saham  utama  dari  perusahaan  pelapor dan  perusahaan‐perusahaan  yang  mempunyai  anggota manajemen  kunci yang sama dengan perusahaan pelapor8. 

b. Kategori  hubungan  istimewa  yang  diatur  Pasal  18  UU  No.36/2008 tentang  PPh  yaitu  penyertaan  modal  minimal  25  persen,  keterkaitan pengelolaan  manajemen  dan  hubungan  keluarga  sederajat  sedarah maupun  semenda.  Apabila  wajib  pajak  tidak  bisa  menunjukkan  bukti 

                                                            8 ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTEK TRANSFER PRICING, Indriyana Widyastuti, STIE “AUB” Surakarta 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 35   

pendukung  kewajaran  harga  transaksi,  maka  Ditjen  Pajak  akan menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak‐pihak yang terafiliasi. Namun  ada  pengecualian,  kewajiban  pelaporan  transfer  pricing dibatasi untuk nilai minimal sebesar Rp.10 milyar dalam satu  tahun pajak. 

   2. Kewajaran Harga (Arm’s Length Principle)  

Harga  wajar  yang  diberlakukan  kepada  pihak‐pihak  yang  tidak  memiliki hubungan istimewa (non‐related party transaction). 

 a. Menurut  arm’s  length  principle,  harga‐harga  transfer  seharusnya 

ditetapkan  supaya  dapat  mencerminkan  harga  yang  disepakati sebagaimana  transaksi  tersebut  dilakukan  oleh  pihak‐pihak  yang  tidak terkait yang bertindak secara bebas. Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi  antara  perusahaan  yang  memiliki  hubungan  istimewa  maka kondisi  dari  transaksi  tersebut  haruslah  sama  dengan  transaksi  antara pihak  yang  independen,  sehingga  ketidaksesuaian,  dapat  menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal9. 

 b. OECD merekomendasikan  agar  negara­negara mengadopsi  transfer 

rules:  yaitu  memberikan  kewenangan  kepada  Negara  untuk mendistribusikan,  membagikan  atau  mengalokasikan  gross  income, pengurang  penghasilan,  credits  atau  allowances  atau  item  lain  yang mempengaruh  Penghasilan  Kena  Pajak  di  antara  WP  yang  mempunyai hubungan  istimewa  untuk  menentukan  Penghasilan  Kena  Pajak  yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut.  

c. Menyangkut  masalah  kewajaran,  PSAK  No.17,  menyebutkan,  bahwa pengakuan  akuntansi  suatu  pengalihan  sumber  daya  secara  normal didasarkan  pada  suatu  harga  yang  disepakati  pihak  yang  bersangkutan. Harga  yang  berlaku  antara  pihak  yang  tidak  mempunyai  hubungan istimewa  adalah  harga  pertukaran  antara  pihak  yang  independen  (arm's length  price).  Pihak  yang  mempunyai  hubungan  istimewa  mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak  terdapat  dalam  transaksi  antara  pihak  yang  tidak  mempunyai hubungan istimewa.  

 d. Indonesia dalam UU PPh terbaru mengakui metode penentuan harga pasar 

wajar menurut  OECD.  Berikut  adalah  tiga metode  yang  digunakan  dalam menghitung harga pasar wajar : 

                                                            9 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139  

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 36   

 

1) Metode Tradisional 

a) Comparable  Uncontrolled  Price  (CUP)  membandingkan  harga pada suatu transaksi yang terkontrol dengan transaksi lainnya yang sejenis  yang  tidak  terkontrol.  Cara  ini  paling  mudah  secara konseptual,  harga  pasar  wajar  cukup  ditentukan  oleh  dua perusahaan  yang  tidak  terkait.  Namun  fakta  bahwa  setiap perubahan  kecil  dalam  suatu  transaksi  (misalnya  periode penagihan,  kuantum  dan  merk)  berpengaruh  signifikan  terhadap harga menjadikan sangat  sulit untuk menemukan  transaksi  sejenis yang dapat diperbandingkan. Terdapat dua metode dalam CUP yaitu internal comparable dan external comparable. Perbedaannya sangat jelas, external comparable, artinya pengujian harga dilakukan pada perusahaan  lain  sedangkan  internal  comparable,  pengujian dilakukan  terhadap  salah  satu  pihak  yang  melakukan  transfer pricing. 

b) Cost Plus  (CP)  biasanya  digunakan  untuk  barang  jadi,  ditentukan dengan  menambah  markup  yang  sesuai  pada  biaya  yang  timbul akibat  proses  produksi  sebesar  markup  yang  sesuai  dengan keuntungan  perusahaan  lain  yang  diuji  oleh  pihak‐pihak  yang terkait.  Metode  umunya  diterima  oleh  otoritas  Bea  Cukai  karena memberikan indikasi bahwa harga transfer mendekati nilai cost dari item  yang  diperdagangkan.  Namun  pendekatan  biaya  (cost  of production)  tidaklah  setransparan  seperti  yang  terlihat,  karena perusahaan  dapat  dengan mudah mengubah  akun  biayanya  untuk merubah  besaran  harga  transfer.  Perusahaan  yang  mengadopsi metode  ini  harus  memilih  satu  diantara  pendekatan  berikut: pendekatan  Biaya  Aktual,  pendekatan  biaya  standar,  pendekatan biaya variabel dan pendekatan biaya marjinal. 

c) Resale  Price  (RP)  penentuan  harga  pasar  wajar  didasarkan  atas produk  yang  dibeli  dari  perusahaan  afiliasi  lalu  dijual  kembali kepada  perusahaan  independen.  Lalu,  harga  pasar  wajar  dari metode ini dihitung dengan cara mengurangkan harga jual kembali tersebut  dengan  suatu margin  laba  kotor  tertentu,  dimana margin laba  kotor  itu  diambil  dari  margin  laba  kotor  perusahaan  sejenis yang melakukan transaksi dengan pihak‐pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.  

2) Metode Non Tradisional 

a) Profit  Split  (PS)  dan  turunannya  termasuk  metode  Comparative dan  Residual  Profit  Split  digunakan  jika  perusahaan  yang  terlibat dalam transaksi yang diperiksa terlalu terpadu sehingga tidak dapat 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 37   

dilakukan evaluasi secara terpisah, sehingga keuntungan akhir dari masing‐masing  pihak  dibagi  berdasarkan  tingkat  kontribusi  dari setiap  peserta  dalam  proyek  itu.  Tingkat  kontribusi  itu  sendiri ditentukan  oleh  beberapa  faktor  terukur  seperti  kompensasi karyawan, biaya administrasi dll dari masing‐masing pihak. 

b) Transactional Net Margin Method  (TNMM),  merupakan metode yang  berfokus  pada  laba  operasi  wajar  yang  diperoleh  salah  satu entitas  (pihak  yang  di  uji)  dalam  transaksi.  TNMM  menegaskan bahwa  laba  operasi  relatif  (relatif  terhadap  penjualan,  HPP,  atau aktiva  untuk  memungkinkan  komparasi  antara  perusahaan  atau transaksi  yang  berbeda)  dapat  secara  lebih  kuat  mengukur  harga pasar  wajar  jika  metode  pembandingan  seperti  pada  metode tradisional  tidak dapat dilakukan. Di USA, TNMM biasa dinamakan metode  Comparable  Profits  Method  (CPM)  dan  selain  metode tradisional, merupakan metode penentuan harga pasar wajar  yang paling banyak digunakan. 

3) Metode Lainnya 

OECD  Guidelines  tidak  memperkenankan  metode  lainnya  dalam menentukan harga pasar wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya. Termasuk dalam metode lainnya ini  adalah  metode  global  split  method  yang  merupakan  turunan  dari profit split di atas, dan juga formulary apportionment. 

 D. KEBIJAKAN MENEKAN KECURANGAN PRAKTEK TRANSFER PRICING. 

 1. PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL   

a. Persetujuan Penghindaran pajak Berganda (P3B):   pembagian hak pemajakan, mencegah double tax & double non­tax  saat ini terdapat 62 P3B efektif  

 b. Persetujuan Pertukaran Informasi Perpajakan  (TIEA): 

perjanjian  pertukaran  informasi  dengan  negara  mitra  terutama  low  tax jurisdiction  

terdapat 4 TIEA yang sudah ditandatangani   

c. Konvensi  tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan :   ditandatangani 3 November 2011   terkait prosedur Pertukaran Informasi, dan bantuan penagihan pajak 

 d. Klausul­klausul Perpajakan dalam: 

Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M)  Perjanjian Perdagangan (Bilateral Trade Agreement), dll 

  

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 38   

  

2. MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE (MAP)      Tujuan: memberi kepastian hukum dan panduan dalam pelaksanaan prosedur administratif MAP dalam P3B   

Dasar Hukum: a. Pasal 32A UU PPh  b. Pasal terkait MAP dalam P3B  Aturan Pelaksanaan: a. PP 74 Tahun 2011 b. PerDirjen Pajak No. PER‐48/PJ/2010  

   3. ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA)  

 Tujuan: memitigasi isu atau sengketa Transfer Pricing antara DJP, Wajib Pajak, dan/atau otoritas mitra P3B   Dasar Hukum: a. Pasal 32A UU PPh  b. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh  c. Pasal terkait corresponding adjustment dan MAP dalam P3B  Aturan Pelaksanaan: a. PP 74 Tahun 2011 b. PerDirjen Pajak No. PER‐69/PJ/2010  Latar  belakang  APA  adalah  dengan  menggunakan  APA  akan  memberikan penyelesaian  yang  seimbang  tidak  hanya  antara  Wajib  Pajak  dan  Pihak Administrasi  Pajak  Negara  Domistik  saja  akan  tetapi  juga  antara  Pihak Administrasi Pajak Negara Lainnya yang terlibat.  APA menyediakan  sebuah mekanisme  yang memperkenankan negara‐negara yang  terlibat  untuk  melakukan  kerjasama  dalam  kerangka  hokum internasional  untuk  menghindari  perselisihan  dan  meminimalkan  beban pemeriksaan atas transaksi transfer pricing.‐  

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 39   

Kesepakatan  harga  transfer  (Advance  Pricing  Agreement/APA)  adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur  Jenderal Pajak mengenai harga jual  wajar  produk  yang  dihasilkannya  kepada  pihak‐pihak  yang  mempunyai hubungan  istimewa  (related  parties)  dengannya.  Tujuan  diadakannya  APA adalah untuk mengurangi  terjadinya praktik penyalahgunaan  transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak  tersebut dapat mencakup beberapa hal,  antara  lain harga  jual produk  yang  dihasilkan,  dan  jumlah  royalti  dan  lain‐lain,  tergantung  pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan  penghitungan  pajak,  Fiskus  tidak  perlu  melakukan  koreksi  atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam  grup  yang  sama.  APA  dapat  bersifat  unilateral,  yaitu  merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya10. 

Memori  penjelasan  pasal  tersebut  menyatakan  bahwa:  “kesepakatan  harga transfer  (Advance  Pricing  Agreement/APA)  adalah  kesepakatan  antara  wajib pajak  dengan  DJP  mengenai  harga  jual  wajar  produk  yang  dihasilkannya kepada  pihak‐pihak  yang  mempunyai  hubungan  istimewa  (related  parties) dengannya. 

Berdasarkan  hal  tersebut,  pengaturan  lebih  jauh mengenai  bagaimana wajib pajak mencapai kesepakatan harga  transfer dengan DJP melalui APA menjadi hal  yang  penting  mempertimbangkan  resiko  koreksi  fiskal  yang  dapat dilakukan oleh pihak otoritas pajak berkenaan dengan indikasi ketidakwajaran harga  yang  diberlakukan  kepada  pihak‐pihak  yang  mempunyai  hubungan istimewa. 

Secara garis besar APA memiliki empat tahap negosiasi utama, yaitu: (1) wajib pajak  secara  sukarela  menunjukkan  ketertarikannya  untuk  menerapkan sistem  APA  dengan  cara  mengajukan  permintaan  kepada  fiskus;  (2) penyampaikan  aplikasi  permohonan  secara  formal  yang  ditandai  dengan pemberian  informasi  yang  ekstensif  mengenai  operasi  usaha  serta  metode transfer pricing apa yang dipergunakan guna memperoleh harga pasar wajar, dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai perusahaan, pasar dan persaingan yang harus dihadapi; (3) dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit  lunak (lenient audit) untuk memastikan apakah semua perhitungan  yang  diajukan  oleh  wajib  pajak  dapat  diterima;  (4)  tercapainya APA diantara kedua belah pihak. 

Persetujuan  ini  kemudian  akan  berlaku  selama  jangka  waktu  tertentu, biasanya  di  dalam  keadaan  normal,  akan  berlaku  selama  3  (tiga)  hingga  5 (lima) tahun, dan apabila kesepakatan telah dicapai, APA dapat dipergunakan 

                                                            10 Penjelasan Pasal 18, ayat (2) UU PPH No. 36/2008 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 40   

guna menyelesaikan kasus‐kasus transfer pricing yang terjadi saat ini maupun yang terjadi di tahun ‐tahun sebelumnya. 

Mekanisme  kontrol  yang  dilakukan  fiskus  di  dalam  penerapan  APA  adalah dengan  cara  mewajibkan  wajib  pajak  untuk  menyiapkan  laporan  tahunan dimana  di  dalamnya  wajib  pajak  memberikan  penjelasan  mengenai:  (i) bagaimana  APA  yang  telah  disepakati  diterapkan  di  tahun  tersebut;  (ii) menyerahkan  laporan  keuangan  yang  menunjukkan  hasil  dari  penerapan metode  transfer  pricing  yang disepakati;  (iii) menyerahkan hasil  rekonsiliasi pembukuan  yang  telah  disesuaikan  dengan  Undang‐undang  serta  bukti pembayaran  PPh  badan;  dan  (iv)  apabila  terdapat  kerugian  yang dikompensasikan  di  tahun  tersebut, wajib  pajak  harus  dapat mendukungnya dengan data dan alasan yang kuat.  

APA  tidak  akan  berlaku  lagi  dikarenakan  dua  alasan.  Pertama,  jika  masa berlakunya  telah  habis  dan  pihak  fiskus  sesuai  dengan  peraturan  yang  telah ditetapkan,  secara  formal  mencabut  kesepakatan  tersebut.  Kedua,  apabila salah  satu  atau  lebih  dari  persyaratan  yang  tertuang  di  dalam  persetujuan tersebut  tidak  dipatuhi  oleh  salah  satu  dan/atau  kedua  belah  pihak.  Apabila terbukti  bahwa  APA  dibentuk  berdasarkan  data  dan  informasi  yang menyesatkan,  maka  dianggap  APA  juga  tidak  pernah  tercapai.  Namun demikian,  menyadari  semakin  cepatnya  perubahan  yang  terjadi  di  dunia bisnis, APA memberikan fleksibilitas dan kemudahan kepada pihak‐pihak yang terkait11. 

   HAMBATAN PENERAPAN APA (ADVANCE PRICING AGREEMENT) 

Beberapa  hambatan  penerapan  APA  di  Indonesia,  seperti:  (i)  kurangnya sumber  daya  manusia  yang  memiliki  keahlian  khusus  di  bidang  transfer pricing;  (ii)  sistem pendataan pembanding Eksternal dari pelaporan DHE  (Devisa Hasil Ekspor) yang masih belum memadai dan terorganisir baik padahal data ini diperlukan  untuk  mendeteksi  aliran  dana  dan  underlying  transaksi  ekspor.dan dokumentasi;  serta  (iii) moralitas  otoritas  fiskal  dan wajib  pajak  yang masih perlu  terus‐menerus diperbaiki, kiranya  tidak dipakai untuk dijadikan alasan agar  tidak  meneruskan  pembenahan  prosedur  teknis  pengajuan  APA  yang telah dijadikan salah satu alternatif pence gahan praktik transfer pricing pada korporasi multinasional dalam UU Pajak kita. (diedit) 

Pengalaman  penerapan  APA  di  negara‐negara  yang  telah  lebih  dahulu memperkenalkan  sistem  ini  pun  harus  dipelajari  agar  implikasinya  terhadap korporasi multinasional dan iklim bisnis di Indonesia secara keseluruhan terus membaik.  Satu  hal  yang  perlu  diingat  di  dalam  penerapan  sistem  APA  ini, bahwasanya  bersifat  sukarela.  Artinya  otoritas  fiskal  Indonesia  tidak  dapat 

                                                            11 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntasi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 41   

memaksa atau mewajibkan korporasi multinasional untuk  ikut berpartisipasi di dalam program APA ini. Oleh karenanya, keberhasilan sistem APA ini akan sangat tergantung kepada otoritas fiskal untuk membuatnya “menarik”12. 

VI. SARAN DAN SOLUSI PENCEGAHAN PRAKTEK TRANSFER PRICING 

1. Diharapkan  agar  Direktorat  Jenderal  Pajak  dapat  diberikan  akses  terhadap sistem e‐KTP yang baru  agar data WP  lebih  lengkap  lagi  sehingga mendukung sistem perpajakan. 

2. Diharapkan  agar  Direktorat  Jenderal  Pajak  dapat  diberikan  akses  terhadap sistem  Perbankan,  dan  ini  menyangkut  Amandemen  UU  Perbankan  sehingga data  traksaksi  WP  orang  atau  Badan  dapat  diketahui  tentunya  dengan persyaratan tertentu. 

3. Diharapkan  agar  Direktorat  Jenderal  Pajak  mengoptimalkan  unit  Potensi Penerimaan Pajak agar dapat memetakan karakter‐karakter utama perusahaan (toll manufacturing,  contract manufacturing,  dan  fully  fledge manufacturing) sehingga  dapat  dianalisis  potensi  perpajakan  yang  masih  bisa diintensifikasikan.  

4. Mengaktifkan  peran  akuntan  publik.  Ketentuan  paragraf  9  huruf  d  Standar Professional  Akuntan  Publik  (SPAP)  No.  34  mengatur  peranan  auditor  untuk menguji  kewajaran  perhitungan  jumlah  related  parties  transaction  yang diungkapkan dalam laporan keuangan.  

5. Memperluas kriteria transfer pricing  tidak hanya related parties,  tetapi melebar ke  semua  transaksi  yang  diindikasikan  di  bawah  harga  pasar wajar,  termasuk dengan perusahaan non afiliasi.  

6. Menggunakan  data  pembanding  Eksternal  dari  pelaporan  DHE  (Devisa  Hasil Ekspor),  dimana  seluruh  penerimaan DHE harus melalui  Bank Devisa. Dengan ketentuan  eksportir  wajib  menyampaikan  informasi  tentang  DHE  meliputi informasi  tanggal  PEB,  kode  kantor  Bea  Cukai,  nomor  pendaftaran  PEB,  dan NPWP eksportir. (Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011). 

7. Mengumumkan  ke  publik  tentang  proses  banding  oleh  wajib  pajak  yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat  (1) UU No.14/2002  tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan  pajak  terbuka  bagi  publik.  Dengan  Pemerintah  mengumumkan jalannya  peradilan  pajak,  akan  membuka  mata  publik  bahwa  perusahaan‐perusahaan  terkenal  tersebut  ternyata  melakukan  kecurangan  untuk menghindari pajak.  

                                                            12 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139  

BIRO A

NALISA A

NGGARAN DAN P

ELAKSANAAN A

PBN – SETJE

N DPR R

I

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 42   

 8. Perlu  ada  data  center,  seperti  Indonesian  Coal  Index,  yang meng‐update  harga 

terbaru  komoditas  tambang.  Harga  terbaru  komoditas  diperlukan  untuk assesment  kewajaran  omset  penjualan  pada  SPT  tahunan  perusahaan pertambangan.  

 9. Pembentukan  single  document  window  (SDW)  antar  negara  yang  telah 

menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk  mengawasi  harga  pengiriman  barang  antar  negara  produsen  dan konsumen. Dengan model  SDW,  penerbitan  invoice  oleh  perusahaan  perantara abal­abal  di  tax  haven  country  akan  terkena  pajak,  sehingga  modus  transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut13.  

 

                                                            13 Dirjen Pajak.go.id Oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak