3-PPh 22

29
 Rangkuman Perpajakan   Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 106 Bab 8 Pajak Penghasilan Pasal 22 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah terkait dengan pembelian barang, dan badan-badan tertentu terkait dengan kegiatan di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lainnya, misalnya penjualan hasil produksi tertentu di dalam negeri. Pemungut pajak Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, adalah: 1. Bank devi sa dan Dire ktorat Jenderal Bea dan C ukai, atas i mpor baran g. 2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, atas pembelian barang. 3. BUMN/BUMD, atas pembelian barang dengan dana APBN/APBD. 4. Bank Indonesia, Perum Bulog, PT. Telkom, PT. PLN, PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan bank-bank BUMN, atas pembelian barang dengan dana APBN/APBD maupun dari non APBN/APBD. 5. Badan usaha industri semen, rokok, kertas, baja (hulu), dan otomotif , yang ditunjuk oleh Kepala KPP, atas penjualan hasil produksi di dalam negeri (termasuk Wajib Pajak importer kendaraan dalam keadaan CBU yang dijual di dalam negeri). 6. PT. Pertamina dan badan usaha lainnya di bidang industri produk bahan bakar migas (premix/pertamax, super TT/pertamax plus, dan gas) atas penjualan hasil produksinya. 7. Industri dan eksportir di sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan diolah/diekspor. BESARNYA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, PELAPORAN 1. Atas impor barang. a. Besarnya PPh Pasal 22:  menggunakan API, sebesar 2,5% dari nilai impor;  tidak menggunakan API, sebesar 7,5% dari nilai impor;  tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;  atas impo r kedela i, gand um, dan tepung terigu ol eh impo rter yan g menggunakan API sebesar 0,5% dari nilai impor.

Transcript of 3-PPh 22

Page 1: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 1/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 106

Bab 8

Pajak Penghasilan Pasal 22

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh Bendaharawan

Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah terkait dengan pembelian

barang, dan badan-badan tertentu terkait dengan kegiatan di bidang impor dan

kegiatan usaha di bidang lainnya, misalnya penjualan hasil produksi tertentu di

dalam negeri.

Pemungut pajak Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1)huruf a, huruf b, dan huruf c, adalah:

1. Bank devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.

2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah,

atas pembelian barang.

3. BUMN/BUMD, atas pembelian barang dengan dana APBN/APBD.

4. Bank Indonesia, Perum Bulog, PT. Telkom, PT. PLN, PT. Garuda Indonesia,

PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan bank-bank BUMN, atas

pembelian barang dengan dana APBN/APBD maupun dari non APBN/APBD.

5. Badan usaha industri semen, rokok, kertas, baja (hulu), dan otomotif, yang

ditunjuk oleh Kepala KPP, atas penjualan hasil produksi di dalam negeri

(termasuk Wajib Pajak importer kendaraan dalam keadaan CBU yang dijual

di dalam negeri).

6. PT. Pertamina dan badan usaha lainnya di bidang industri produk bahan

bakar migas (premix/pertamax, super TT/pertamax plus, dan gas) atas

penjualan hasil produksinya.

7. Industri dan eksportir di sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan

perikanan, yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak, atas pembelian

bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan diolah/diekspor.

BESARNYA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, PELAPORAN

1. Atas impor barang.

a. Besarnya PPh Pasal 22:

  menggunakan API, sebesar 2,5% dari nilai impor;

  tidak menggunakan API, sebesar 7,5% dari nilai impor;

  tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;

  atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importer yang

menggunakan API sebesar 0,5% dari nilai impor.

Page 2: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 2/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 107

Nilai impor adalah nilai yang menjadi dasar perhitungan bea masuk,

yaitu CIF ditambah bea masuk dan pemungutan impor lainnya

berdasarkan peraturan perundang-undangan pabean.

b. Importir yang tidak memilik NPWP dikenanakan pajak 2 kali lebih besar.

c. PPh Pasal 22 disetor ke bank persepsi atau kantor pos dan giro oleh

Bendaharawan Direktorat Jenderal Bea Cukai paling lambat 1 (satu) harisetelah pemungutan pajak dilakukan, atau oleh importer sendiri, sehingga

bukti pehgkreditan pajak adalah bukti pungutan bea cukai atau SSP.

2. Atas pembelian barang oleh Pemerintah dan BUMN/BUMD, serta Bank

Indonesia, Perum Bulog, PT. Telkom, PT. PT. PLN, PT. Garuda Indonesia,

PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. pertamina, dan bank-bank BUMN.

a. PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian.

  bila tidak mempunyai NPWP beban pajak menjadi 2 kali lebih besar;

  pajak terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

b. Pajak harus disetor oleh bendaharawan pemerintah pusat/daerah padahari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang.

Sedangkan Bank Indonesia, Perum Bulog, PT. Telkom, PT. PT. PLN, PT.

Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan

bank-bank BUMN distor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya,

SSP diisi atas nama WP rekanan.

c. PPh Pasal 22 harus dilaporkan paling lambat 14 hari setelah Masa Pajak

berakhir bagi bendaharawan dan BUMN/BUMD.

Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya bagi Bank Indonesia, Perum

Bulog, PT. Telkom, PT. PT. PLN, PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT.

Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan bank-bank BUMN.

3. Atas penjualan hasil produksi tertentu oleh badan usaha industri semen,

kertas, baja (hulu), dan otomotif.

a. Terutang PPh Pasal 22 sebagai berikut:

1. industri semen, sebesar 0,25% untuk semua jenis semen;

2. industri kertas, sebesar 0,1%;

3. industri baja, sebesar 0,3%;

4. industri otomotif, sebesar 0,45%.

Beban PPh Pasal 22 poin 1, 2, 3 menjadi 2 kali lebih besar, bila WP

yang dipotong tidak mempunyai NPWP.Pajak yang dipungut khusus industri rokok bersifat final.

b. Pajak terutang dan dipungut pada saat penjualan.

c. Pajak disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan

menggunakan SSP atas nama WP.

d. Pajak dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

4. Atas penjualan produksi PT. Pertamina dan badan usaha lainnya di bidang

bahan bakar minyak.

Page 3: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 3/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 108

a. Terutang PPh sebagai berikut:

Jenis BBM SPBU Swasta SPBU Pertamina

Premium 0,30 % 0,25 %

Solar 0,30 % 0,25 %

Premix/Super TT 0,30 % 0,25 %

Minyak Tanah - 0,30 %

Gas LPG - 0,30 %

Pelumas - 0,30 %

Pungutan pajak kepada penyalur/agen bersifat final

Beban menjadi 2 kali lebih besar bila pihak yang dipotong tidak

mempunyai NPWP.

b. Pajak dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang

(SPPB) atau delivery order  (DO).

c. Pajak disetor sendiri oleh WP sebelum surat perintah pengeluaran barang

atau DO ditebus.

d. Pajak dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

5. Atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan

diolah/diekspor bagi industri dan eksportir di sektor perhutanan, perkebunan,

pertanian, dan perikanan.

a. Terutang PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian, beban pajak

menjadi 2 kali lebih besar bila pihak yang dipotong tidak mempunyai

NPWP.

b. Pajak terutang dan dipungut pada saat pembelian.

c. Pajak disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya denganmenggunakan SSP atas nama WP. Pajak dilaporkan paling lambat

tanggal 20 bulan berikutnya.

Contoh:

1) PT ABC importir mobil complete build up  dan pada bulan Juli 2009

melakukan penjualan atas mobil impor tersebut senilai Rp.

500.000.000,- . PPh Pasal 22 yang harus dipungut = 0,45% x Rp.

500.000.000,- = Rp. 2.250.000,-.

2) CV XYZ merupakan industri rokok pada bulan Agustus 2009

melakukan pembelian tembakau kepada pedagang pengumpul senilai

Rp. 200.000.000,- dan juga melakukan penjualan atas hasilproduksinya senilai Rp. 400.000.000,- sesuai harga banderol.

-  PPh yang harus dipotong atas pembelian tembakau : 1,5% x Rp.

200.000.000,- = Rp. 3.000.000,-

-  PPh yang harus dipungut atas penjualan rokok sebesar : 0,15% x

Rp. 400.000.000,- = Rp. 600.000.000,-

3) Bendaharawan pemerintah Kota Kediri melakukan pembelian dan

pembayaran barang senilai Rp. 20.000.000,- (tidak termasuk PPN)

pada bula September 2008. PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp. 20.000.000,-

= Rp. 300.000,-

Page 4: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 4/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 109

6. Transaksi barang yang tergolong sangat mewah:

a. Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong

sangat mewah wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 5 % dari harga

 jual tidak termasuk PPN dan PPnBM. Beban pajak menjadi 2 kali lebih

besar apabila pihak yang dipotong tidak mempunyai NPWP.

b. Barang yang tergolong sangat mewah adalah:1) pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp.

200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah);

2) kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah);

3) rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga

pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar

rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m2 (lima ratus meter

persegi);

4) apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau

pengahlihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyarrupiah) dan atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat ratus meter

persegi);

5) kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10

orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle  (SUV), multi purpose

vehicle  (MPV), minibus, dan sejenisnya dengan harga jual lebih Rp.

5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder

lebih dari 3.000 cc.

c. Pajak terutang dan dipungut pada saat pembelian dan memberikan tanda

bukti pemungutan kepada pembeli orang pribadi maupun badan.

d. Pajak disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan SSP atasnama WP dan harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN PAJAK

Transaksi atau kegiatan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan Pasal

22, yaitu:

1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau PajakPertambahan Nilai:

a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas

di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar

pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di

Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia;

c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau

kebudayaan;

d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain

semacam itu yang terbuka untuk umum;

e. Barang untuk keperluan penelitian dan penegmbangan ilmu

pengetahuan;

Page 5: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 5/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 110

f. Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat

lainnnya;

g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

h. Barang pindahan;

i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan

barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuanperundang-undangan pabean;

 j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah

yang ditunjukkan untuk kepentingan umum;

k. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang

yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi

keperluan pertahanan dan kemanan negara;

m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi

Nasional (PIN);

n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama;o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal

angkutan penyebarangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkapan

ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran

atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh

Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan Penangkapan

Ikan Nasional;

p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan

atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau

pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan

Udara Niaga Nasional;q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau

pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT.

Kereta Api Indonesia;

r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara

wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional

Indonesia;

3. Dalam hal impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata

dimaksudkan untuk diekspor kembali;

4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

dan tidak merupakan pembayaran yang dipecah-pecah;

5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air

minum/PDAM, dan benda-benda pos;

6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan

dari emas untuk tujuan ekspor;

7. Pembayaran/pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara;

8. Impor kembali yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian

diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah

diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah

memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

Page 6: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 6/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 111

Untuk pengecualian dapat diberikan dengan:

1. Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan

oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu pengecualian sebagaimana

dimaksudkan pada angka 1 dan angka 6.

2. Secara otomatis (tanpa SKB) dikecualikan dari pengenaan PajakPenghasilan Pasal 22 yaitu pengecualian sebagaimana dimaksud pada

angka 4, angka 5, angka 7, angka 8, dan angka 9.

Pelaksanaan pembebasan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 22 khusus angka 2

dan angka 3 dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Page 7: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 7/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 112

Bab 9

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

PEMOTONG PAJAK

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 (pemberi hasil) adalah sebagai berikut:

1. Badan Pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT,

atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotong ini sifatnya

otomatis dan tidak ada penunjukkan sebagai pemotong PPh Pasal 23.

2. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktorat

Jenderal Pajak sebagai pihak yang wajib membayarkan penghasilan,

diantaranya : akuntan, arsitek, dokter, notaris, pengacara, konsultan, PPAT

(kecuali Camat dan orang pribadi yang menjalankan usaha dengan

menggunakan pembukuan).

OBJEK DAN TARIF PAJAK

Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:a. Dividen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g undang-

undang Pajak Penghasilan;

b. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;

c. Royalti; dan

d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong

Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (1) huruf e undang-undang Pajak

Penghasilan.

Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21

adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berkenaandengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan

olahraga, keagaamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya.

Sedangkan hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan

Pasal 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang

diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri berkenaan

dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.

2. Sebesar 2 % dari jumlah bruto atas:

a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain

yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2); dan

Page 8: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 8/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 113

b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

3. Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan seperti

pada butir 1 dan 2 tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan menjadi

lebih tinggi 100% (seratus persen) dari tarif sebagaimana ditetapkan padabutir 1 dan butir 2.

Dividen

Sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak

Penghasilan, pengertian dividen adalah merupakan bagian laba yang diperoleh

pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha

koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

a. Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung dengan nama

dan dalam bentuk apapun;

b. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang

disetor;

c. Pembagian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;

d. Pembagian laba dalam bentuk saham;

e. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;

f. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh

pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan

yang bersangkutan;

g. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,

 jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika

pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar yang

dilakukan secara sah;

h. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima

sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;

i. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;

 j. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;

k. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;

l. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang

dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Contoh :

PT. Anugrah membayar dividen senilai Rp. 100.000.000,- kepada PT. Prima atas

penyertaan saham biasa sebesar 20%.

Dalam hal ini PT. Anugrah wajib memotong PPh Pasal 23 atas dividen sebesar

15% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 15.000.000,-

Page 9: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 9/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 114

Bunga

Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan, pengertian bunga

termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan

pengembalian utang.

Premium terjadi apabila surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya, sedangkan

diskonto terjadi bila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut

merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan

penghasilan bagi yang membeli obligasi.

Tidak termasuk objek PPh Pasal 23 adalah bunga tabungan dan jasa giro serta

bunga deposito, bunga oblegasi, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh

koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, karena merupakan objek Pajak

Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.

Royalti

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau

perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbal

 jasa atas:

a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesustraan,

kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau

proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan

intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,

komersial, atau ilmiah;

c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, tehnikal, industrial,

atau komersial;

d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan

penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a,

penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan tersebut

pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada

huruf c, berupa:

1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara

atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel,

serta optic, atau teknologi yang serupa;

2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman

suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang

disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serta optic, atau teknologi

yang serupa;

3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum

radio komunikasi;

e. Penggunaan atau hak menggunakan film atau gambar hidup (imotion picture

films), film atau pita video untuk siaran televis1, atau pita suara untuk siaran

radio; dan

Page 10: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 10/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 115

f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan

penggunaaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-

hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Contoh:

Penerbit Kuat membayar royalti atas penerbitan dan penjualan buku rohanikepada Marisa sebesar Rp. 100.000.000,-.

Penerbit Kuat wajib memotong PPh Pasal 23 atas royalti sebesar Rp.

15.000.000,- yaitu (15% x Rp. 100.000.000,-).

Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya

Pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti

hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagianya.

Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu,

misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda

purbakala.

Hadiah, penghargaan, bonus yang tidak termasuk objek Pajak Penghasilan Pasal 23

adalah hadiah, penghargaan, bonus, yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal

21 yaitu penyelenggaraan kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan

dengan pelaksanaan suatu kegiatan, hadiah undian karena merupakan objek PPh

Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final, serta hadiah langsung dalam penjualan barang

atau jasa dengan syarat:

1. Hadiah tersebut diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa

diundi;

2. Hadiah tersebut diterima langsung konsumen akhir pada saat pembelian

barang atau jasa.

Contoh:

a. CV. Aman memenangkan lomba membuat rancangan taman di Universitas

Nusantara senilai Rp. 50.000.000,-. Atas hadiah tersebut wajib dipotong PPh

Pasal 23 sebesar Rp. 7.500.000,- yaitu (15% x Rp. 50.000.000,-) oleh

Universitas Nusantara.

b. Ahmad seorang penggali tanah yang secara kebetulan menemukanbeberapa benda purbakala yang kemudian dilaporkan kepada Pengurus

Museum Daerah setempat. Ahmad diberikan hadiah berupa uang tunai

sejumlah Rp. 10.000.000,-. PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah

sebesar Rp. 1.500.000,-

Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan Penggunaan Harta

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan dan

dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak

gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

Page 11: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 11/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 116

Tidak termasuk objek Pajak Penghasilan Pasl 23 adalah sewa tanah dan bangunan,

karena merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final, serta sewa terkait

dengan sewa guna usaha denganhak opsi (financial lease).

Contoh:

PT. Marga menyewa sebuah mobil pada bulan Nopember 2009 dari Bapak Ahmad

selama 1 (satu) bulan dengan nilai sewa sebesar Rp. 10.000.000,-. Atas sewa

tersebut PT. Marga wajib memotong PPh Pasal 23 kepada Bapak Ahmad sebesar

2% x Rp. 10.000.000,- atau sebesar Rp. 200.000,-.

PENGERTIAN JUMLAH BRUTO

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-53/PJ/2009

tertanggal 25 Mei 2009 menekankan bahwa “jumlah bruto” sehubungan jasa teknik,

 jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain saja yang telah

dipotong PPh Pasal 21, adalah sebagai berikut:

1. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam

bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah

 jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam

negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan

perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk

usaha tetap, tidak termasuk:

a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain

sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan olehWajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan

pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.

b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material,

pembayaran harus dapat dibuktikan dengan faktur pembelian barang atau

material.

c. Pembayaran kepada pihak ke dua (sebagai perantara) untuk selanjutnya

dibayarkan kepada pihak ke tiga. Pembayaran harus dapat dibuktikan

dengan faktur tagihan dari pihak ke tiga disertai dengan perjanjian tertulis.

d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement ) yaitu penggantian

pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan olehpihak ke dua kepada pihak ke tiga. Pembayaran harus dapat dibuktikan

dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh

pihak ke dua kepada pihak ke tiga.

2. Jumlah bruto sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku:

a. Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;

atau

b. Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, yang

telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat f inal.

Page 12: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 12/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 117

BUKAN OBJEK PAJAK

Tidak termasuk penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa dengan hak

opsi.

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas

sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, BUMN atau BUMD, dari

penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat

kedudukan di Indonesia, dengan syarat:

a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

b. bagi PT, BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada

badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima

persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktifdi luar kepemilikan saham tersebut.

4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5

(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari

badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan

di Indonesia dengan syarat badan usaha tersebut:

a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan

kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan; dan

b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.6. Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada

anggotanya.

Page 13: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 13/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 118

Bab 10

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 

PENGERTIAN

Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan : Pajak yang dibayar atau terutang di

luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib

Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan

undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Penentuan Sumber Penghasilan

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan

ditentukan oleh:

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari

pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah Negara tempat badan yang

menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat

kedudukan;

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan

penggunaan harta gerak adalah Negara tempat pihak yang membayar atau

dibebani bunga, royalty, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau

berada;

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak

bergerak adalah Negara tempat harta tersebut terletak;

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan

kegiatan adalah Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan

tersebut bertempat kedudukan atau berada;

5. Penghasilan BUT adalah Negara tempat BUT tersebut menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan;

6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau

tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan

pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada;

7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap

berada;

8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu BUT

adalah Negara tempat BUT berada.

Penggambungan Penghasilan

Untuk menghitung pajak penghasilan terutang atas seluruh penghasilan yang

diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri, baik dari dalam negeri maupundari luar negeri, maka penghasilan Wajib Pajak tersebut digabungkan.

Page 14: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 14/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 119

Untuk penggabungan penghasilana yang berasal dari luar negeri dilakukan untuk:

1. Penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak diperolehnya

penghasilan tersebut.

2. Penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak diterimanya penghasilan

tersebut.3. Penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)

Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan dalam Tahun Pajak pada saat

perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri

Keuangan.

Penggabungan penghasilan ini tidak diperkenankan apabila terjadi kerugian

yang diderita di luar negeri.

Saat penggabungan Penghasilan

 Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak ternyata terdapat penghasilan yang berasal

dari luar negeri, maka penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri ataspenghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak penghasilan yang terutang di

Indonesia. Pengkreditan pajak tersebut dilakukan dalam Tahun Pajak

digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.

Contoh perhitungan :

PT. Amarta yang berkedudukan di Jakarta menerima dan memperoleh penghasilan

neto dalam Tahun Pajak 2010 dari sumber luar negeri sebagai berikut:

1. Penghasilan dari hasil usaha di Singapura dalam Tahun Pajak 2010 sebesar

Rp. 800.000.000,-2. Dividen atas pemilikan saham pada “Singapore Ltd” di Singapura sebesar Rp.

200.000.000,- yang berasal dari keuntungan tahun 2007 yang ditetapkan

dalam rapat pemegang saham tahun 2009 dan baru dibayarkan dalam tahun

2010.

3. Dividen atas penyertaan saham sebesar 70% pada Sung Lie Corporation di

Hongkong yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.

75.000.000,- yang berasal dari keuntungan saham tahun 2008 yang berdasar

Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2010.

4. Bunga kuartal IV tahun 2010 sebesar Rp. 100.000.000,- dari Riza di Kuala

Lumpur yang baru akan diterima Juli 2011.

Berdaskan data di atas, penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan

dengan penghasilan dalam negeri dalam Tahun Pajak 2010 adalah penghasilan

yang bersumber dari:

1. Penghasilan usaha dari Singapura (butir 1)

2. Penghasilan dari dividen (butir 2)

3. Penghasilan dari dividen (butir 3)

Sedangkan penghasilan pada butir 4 digabungkan dengan penghasilan dalam

negeri Tahun Pajak 2011.

Page 15: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 15/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 120

Kredit Pajak Luar Negeri

PT. Abadi di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai

berikut:

Penghasilan neto dalam negeri Rp. 1.000.000.000,-

Penghasilan luar negeri (tarif pajak 20%) Rp. 1.000.000.000,-

Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah:

Penghasilan dari luar negeri Rp. 1.000.000.000,-

Penghasilan dari dalam negeri Rp. 1.000.000.000,-

Jumlah penghasilan neto Rp. 2.000.000.000,-

 Apabila jumlah penghasilan neto sama sama dengan Penghasilan Kena

Pajak, maka sesuai dengan tariff Pasal 17, Pajak Penghasilan terutang:28% x Rp. 2.000.000.000,- = Rp. 560.000.000,-

Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:

  (1.000.000.000 : 2.000.000.000) x 560.000.000,- = Rp. 280.000.000,-

  Pajak luar negeri : 20% x Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 200.000.000,-

  Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp. 200.000.000,-

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi

1. Penghasilan Kena PajakPenghasilan neto Rp. 2.000.000.000,-

PTKP (TK/0) Rp. 15.840.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.984.160.000,-

2. Pajak Penghasilan terutang sesuai tarif Pasal 17

5% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,-

15% x Rp. 200.000.000,- = Rp. 30.000.000,-

25% x Rp. 250.000.000,- = Rp. 62.500.000,-

30% x Rp. 1.484.160.000,- = Rp. 445.248.000,-

Total Rp. 540.248.000,-

3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri :

1.000.000.000/1.984.160.000 x 540.248.000 = Rp. 272.280.461,-

Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp. 200.000.000,-

Contoh Pengkreditan Menurut KEPMENKEU Nomor 164/KMK.03/2002

PT. B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai

berikut:

Penghasilan yang diperoleh dari Negara Singapura sebesar Rp. 1.000.000.000,-

dengan tariff pajak sebesar 40% atau Rp. 400.000.000,-, penghasilan dari

Negara Italia Rp. 3.000.000.000,- dengan tariff pajak 25% atau TRp.

Page 16: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 16/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 121

750.000.000,-,sedangkan dari Negara India menderita kerugian sebesar Rp.

2.500.000.000,- dengan tarif pajak 30%.

Penghitungan kredit pajak luar negeri sebagai berikut:

1. Penghasilan dalam negeri Rp. 4.000.000.000,-

2. Penghasilan luar negeri

a. Laba di Negara Singapura Rp. 1.000.000.000,-

b. Laba di Negara Italia Rp. 3.000.000.000,-

c. Laba di Negara India Rp. -

d. Jumlah penghasilan luar negeri Rp. 4.000.000.000,-

3. Jumlah penghasilan neto Rp. 8.000.000.000,-

4. PPh terutang menurut Pasal 17 Rp. 2.382.500.000,-

5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri masing-masing Negara :

a. Untuk Negara Singapura

Page 17: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 17/29

Page 18: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 18/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 123

Wajib Pajak Berhak atas Kompensasi Kerugian

Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan,

Surat Ketetapan Pajak, Surat Keberatan, atau Surat Putusan Banding sesuai

ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh:

a. Penghasilan neto PT. ABC selama tahun 2009 sebesar Rp. 120.000.000,-

b. Sisa kerugian tahun sebelumnya, dapat dikompensasi (Rp. 150.000.000,-)

c. Sisa kerugian yang belum dikompensasi tahun 2009 (Rp. 30.000.000,-)

d. PPh terutang tahun 2009 NIHIL

e. Kredit Pajak (Pasal 21, 22, 23, 24) Rp. 2.000.000,-

(Rp. 2.000.000,-)

f. PPh Pasal 25 tahun 2009 (Rp. 30.000.000,-)

Pph yang kurang atau lebih bayar (Rp. 32.000.000,-)

Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2010 sebagai berikut:

Penghasilan neto PT. ABC tahun 2009 sebesar Rp. 120.000.000,-

Sisa kompensasi kerugian tahun 2009 Rp. 30.000.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp. 90.000.000,-

PPh terutang: 25% x Rp. 90.000.000,- = Rp. 22.500.000,-

PPh Pasal 25 yang dibayar setiap bulan dalam tahun 2010 Rp. 1.708.330,-

Wajib Pajak memperoleh Penghasilan Tidak Teratur

Penghasilan tidak teratur adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh selain

dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, dan atau modal, misalnya

keuntungan dari pengalihan harta. Sedangkan penghasilan teratur adalah

penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-

kurangnya sekali dalam setiap Tahun Pajak yang bersumber dari kegiatan usaha,

pekerjaan bebas, pekerjaan, harta, dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah

dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final.

 Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka dasar perhitungan

Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah hanya penghasilan neto yang diterima atau

diperoleh secara teratur menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

Tahun Pajak yang lalu.

Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang

dihitung dengan dasar perhitungan sebagaimana dimaksud di atas, dikurangi

dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta Pajak Penghasilan

Page 19: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 19/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 124

yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana

dimaksud Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau

banyaknya bulan dalam Tahun Pajak.

Contoh:

Berdasarkan laporan SPT PPh Tahun 2009:

Penghasilan neto (diterima teratur) Rp. 420.000.000,-

Penghasilan neto (diterima tidak teratur) Rp. 80.000.000,-

PPh Pasal 21, 22, dan 24 Rp. 51.250.000,-

PPh Pasal 23 (atas kontrak 2 buah mobil Rp. 80 juta) Rp. 3.600.000,-

Perhitungan angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2010:

Penghasilan neto teratur Rp. 420.000.000,-

PPh terutang = 28% x Rp. 420.000.000,- Rp. 117.600.000,-

Kredit pajak Pasal 21, 22, 24 Rp. 51.250.000,-

Rp. 66.350.000,-

 Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2010

1/12 x Rp. 66.350.000,- Rp. 5.529.167,-

PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008

yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2009 adalah Wajib Pajak Orang Pribadi

dan Badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau

pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak berjalan.

Prinsip penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan

pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun ketentuan ini

memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar

penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di

atas.

1. Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan dalam Tahun Pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya

angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan SPT Tahunan

Pajak Penghasilan. Penentuan didasarkan atas kenyataan usaha atau

kegiatan Wajib Pajak.

2. Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, BUMN, BUMD,

Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan

ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur

perhitungan angsuran tersendiri, karena terdapat kewajiban menyampaikan

kepada instansi pemerintah yaitu laporan yang berkaitan dengan pengelolaan

keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar

Page 20: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 20/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 125

penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun

berjalan.

3. Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak Orang

Pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang

mempunyai tempat usaha lebih dari satu atau mempunyai tempat usaha

yang berbeda alamat dengan domisili, maka besarnya angsuran pajaknyaperlu diatur tersendiri agar besarnya angsuran mendekati keadaan

sebenarnya.

a. WP Badan Baru Menyelenggarakan Pembukuan

b. WP Orang Pribadi Baru Menyelenggarakan Pembukuan

c. WP Orang Pribadi Baru Tidak Menyelenggarakan Pembukuan

Contoh: WP Badan Menyelenggarakan Pembukuan

PT. Makmur Sentosa terdaftar sebagai Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Kediri pada tanggal 1 Mei 2009. Selama bulan Mei 2009 peredaran bruto

usaha sebesar Rp. 100.000.000,- setelah dikurangi dengan biaya yang

diperkenankan oleh undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan netonya usaha

sebesar Rp 40.000.000,- per bulan.

Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Mei 2009:

Penghasilan neto bulan Mei 2009 Rp. 40.000.000,-

Penghasilan neto yang disetahunkan Rp. 480.000.000,-PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25

PPh terutang 28% x Rp. 480.000.000,- = Rp. 13.440.000,-

 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Mei 2009 1/12 x Rp. 13.440.000,-=Rp. 1.120.000,-

Contoh: WP Orang Pribadi Menyelenggarakan Pembukuan

Tuan Ahmad terdaftar sebagai Wajib Pajak pada KPP Jakarta Timur pada tanggal 1

 April 2009. Peredaran bruto usaha dalam satu bulan sebesar Rp. 50.000.000,- danpenghasilan netonya adalah Rp. 15.000.000,- per bulan (setelah dikurangi biaya

yang diperkenankan). Tuan Ahmad belum menikah dan belum memiliki tanggungan.

Penghitungan PPh Pasal 25 bulan April 2009:

Penghasilan neto bulan April 2009 Rp. 15.000.000,-

Penghasilan neto yang disetahunkan Rp. 180.000.000,-

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 15.840.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp. 164.160.000,-

Page 21: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 21/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 126

PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25

5% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,-

15% x Rp. 114.160.000,- = Rp. 17.124.000,-

Jumlah PPh terutang = Rp. 19.624.000,-

 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April 2009 : 1/12 x 19.624.000,- = Rp. 1.635.333,-

Contoh WP Orang Pribadi Yang Tidak Menyelenggarakan Pembukuan

Tuan Samudra terdaftar sebagai Wajib Pajak pada KPP Mojokerto pada tanggal 1

 April 2009. Disamping itu Tuan Samudra juga telah memberitahukan kepada pihak

KPP bahwa atas usahanya tersebut memilih menggunakan norma penghitungan dan

berdasarkan jenis usaha norma penghitungannya sebesar 20%. Tuan Sanudra

belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan.

Penghitungan PPh Pasal 25 bulan April 2009 adalah:

Penghasilan neto bulan April = 20% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 10.000.000,-

Penghasilan neto yang disetahunkan Rp. 120.000.000,-

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 15.840.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp. 104.160.000,-

PPh yang terutang :

5% x Rp. 50.000.000,- Rp. 2.500.000,-

15% x Rp. 54.160.000,- Rp. 8.124.000,-

Jumlah PPh terutang Rp. 10.624.000,-

PPH Pasal 25 bulan April 2009 adalah 1/12 x Rp. 10.624.000,- Rp. 885.333,-

WAJIB PAJAK BANK

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha

dengan hak opsi (financial lease) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung

berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan

triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang

dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua

belas).

Dalam hal Wajib Pajak adalah Wajib Pajak baru, maka besarnya angsuran Pajak

Penghasilan Pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah Pajak Penghasilan yang

dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba-rugi fiskal triwulan

pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Page 22: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 22/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 127

Contoh:

Bank ABC berdiri sejak tanggal 2 Januari 2009 dan telah terdaftar pada Kantor

Pelayanan Pajak Medan Kota sejak tanggal 2 Januari 2009. Berdasarkan laporan

keuangan triwuln I menunjukkan penghasilan kena pajak sebesar Rp. 60.000.000,-.

Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari, Pebruari, dan Maret 2009

masing-masing adalah sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak triwulan I Rp. 60.000.000,-

Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan Rp. 240.000.000,-

PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25

28% x Rp. 240.000.000,- = Rp. 67.200.000,-

 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari, Pebruari, Maret 2009 masing-masing

sebesar Rp. 67.200.000,- : 12 = Rp. 5.600.000,-.

WAJIB PAJAK BUMN/BUMD

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha

Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk

apapun adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan

tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan

(RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak

Penghasilan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar

negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan, maka

besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan

pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan

terakhir tahun pajak sebelumnya.

FISKAL LUAR NEGERI

Setiap Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh

satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar Fiskal Luar Negeri dan

ketentuan ini berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, selain mereka

yang dikecualikan. Mereka diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25

(Fiskal Luar Negeri) sebesar :

a. Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali

bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;

b. Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke

luar negeri dengan menggunakan kapal laut.

Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dilakukan dengan menggunakan TandaBukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) di Unit Pelaksana Fiskal Luar

Page 23: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 23/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 128

Negeri (UPFLN) di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri

maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pembayaran Fiskal Luar Negeri dibebaskan terhadap Orang Pribadi yang telah

mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP. Pembayaran Fiskal

Luar Negeri merupakan pembayaran angsuran PPh yang dapat dikreditkan terhadapPPh yang terutang pada akhir tahun oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang

bersangkutan setelah memiliki NPWP. Pengecualian dari kewajiban membayar

Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang bertolak ke luar negeri

dilakukan secara otomatis untuk Wajib Pajak Orang pribadi tertentu dengan cara

menerbitkan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN)

Bebas Fiskal Luar Negeri

1. Bebas Otomatis

Subjek Pajak yang dibebaskan secara otomatis adalah:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu)tahun.

b. Orang asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam 12

bulan.

c. Pejabat Perwakilan Diplomatik.

d. Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional, WNI yang memiliki

dokumen resmi penduduk negara lain (termasuk pelajar/mahasiswa yang

belajar di luar negeri dengan menunjukkan kartu identitas, misalnya green

card, identity card, student card , pengesahan alamat di luar negeri pada

paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Surat

Keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kator

Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, tertulis resmi di paspor oleh

Kantor Imigrasi Negara setempat.

e. Jemaah Haji.

f. Pelintas batas jalan darat.

g. Tenaga Kerja Indonesia dengan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri

(KTKLN).

2. Bebas dengan SKBFLN

Subjek Pajak yang bebas dengan Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri

adalah:

a. Mahasiswa asing dengan rekomendasi Perguruan Tinggi.

b. Orang asing yang melakukan penelitian.

c. Tenaga kerja asing di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.

d. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas

biaya organisasi sosial termasuk pendamping.

e. Anggota misi kesenian, kebudayaan, olah raga, dan keagamaan.

f. Program pertukaran mahasiswa atau pelajar.

g. Tenaga kerja Indonesia selain dengan KTKLN.

Dengan berlakunya Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 yang

berlaku mulai 1 Januari 2009, maka bagi Wajib Pajak yang telah memilki Nomor

Pokok Wajib Pajak yang bertolak ke luar negeri dibebaskan dari pembayaran fiskal

luar negeri.

Page 24: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 24/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 129

Bab 12

PPh Pasal 29 dan Rekonsiliasi Fiskal

PENGERTIAN

Dalam Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa bagi Wajib Pajak dalam negeri dan

Bentuk Usaha Tetap yang terutang pada akhir tahun atas seluruh penghasilan yang

diterima atau diperoleh dalam tahun pajak, kecuali atas penghasilan yang telah

dipotong pajak bersifat final, dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang

bersangkutan baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk

Usaha Tetap tersebut atau yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain. Kekurangan

pembayaran pajak terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan disampaikan.

PAJAK TERUTANG LEBIH BESAR DIBANDING KREDIT PAJ AK

Jika Pajak Penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar daripada

 jumlah kredit pajak, maka kekurangan pajak yang terutang tersebut harus dilunasi

sebelum SPT Tahunan disampaikan. Pasal 3 ayat 3 huruf a dan b Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa untuk SPT Tahunan Orang Pribadi

disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, dan SPT Tahunan

Badan disampaikan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Contoh: PT. Makmur Sentosa Jakarta

Pajak Penghasilan yang terutang tahun 2009 Rp. 80.000.000,-

Kredit Pajak:

PPh Pasal 21 Rp. 5.000.000,-

PPh Pasal 22 Rp. 10.000.000,-

PPh Pasal 23 Rp. 5.000.000,-

PPh Pasal 24 Rp. 15.000.000,-

PPh yang dibayar sendiri Rp. 10.000.000,-

Rp. 45.000.000,-

Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar (Pasal 29) Rp. 35.000.000,-

 Apabila tahun buku Wajib Pajak sama dengan tahun takwim, maka kekurangan

sebesar Rp. 35.000.000,- harus dilunasi paling lambat tanggal 30 April 2010.

Page 25: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 25/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 130

PAJAK TERUTANG LEBIH KECIL DIBANDING KREDIT PAJAK

 Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih kecil dibanding dengan

 jumlah kredit pajak, maka terjadi kelebihan pembayaran pajak dan setelah dilakukan

pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan setelah

diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Nomer 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang

ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan

pengembalian atau penghitungan kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum dilakukan pengembalian atau

penghitungan kelebihan pajak adalah:

  Kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;

  Keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta buktipembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama tahun pajak yang

bersangkutan.

Contoh:

Pajak Penghasilan yang terutang tahun 2009 Rp. 50.000.000,-

Kredit Pajak:

  PPh Pasal 21 Rp. 9.000.000,-

  PPh Pasal 22 Rp. 10.000.000,-

  PPh Pasal 23 Rp. 10.000.000,-  PPh Pasal 24 Rp. 15.000.000,-

  PPh Pasal 25 Rp. 15.000.000,-Rp. 59.000.000,-

Pajak Penghasilan yang lebih bayar Rp. 9.000.000,-

Kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp. 9.000.000,- harus diperiksa terlebihdahulu untuk memastikan bahwa permohonan atas kelebihan pembayaran pajaktersebut sudah sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Apabilasudah dinyatakan sesuai, maka diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak

lainnya yang sejenis, kemudian baru dikembalikan kepada Wajib Pajak pemohon.

Page 26: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 26/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 131

REKONSILIASI FISKAL

Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan

Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia,

sedangkan laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun

berdasarkan Undang-Undang Perpajakan beserta peraturan pelengkapnya. Dengandemikian laporan keuangan yang telah disusun berdasarkan SAK perlu dilakukan

rekonsiliasi fiskal guna menentukan besarnya pajak yang terutang.

Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

1. Perbedaan prinsip akuntansi.

2. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi.

3. Perbedaan pengakuan dan perlakukan penghasilan dan biaya.

Perbedaan Prinsip Akuntansi

Beberapa Standar Akuntansi Keuangan yang telah diakui secara umum dalam dunia

bisnis dan profesi tetapi tidak diakui dalam fiskal, meliputi:

a. Prinsip konservatisme.

Penyisihan piutang atau cadangan piutang ragu-ragu atau piutang tak

tertagih diakui sebagai beban dalam akuntansi komersial, akan tetapi tidak

diakui dalam penghitungan laba-rugi fiskal.

b. Prinsip harga perolehan.

 Akuntansi komersial dalam menentukan harga pokok untuk barang yang

diproduksi dapat memasukkan unsur biaya yang berupa kenikmatan natura

yang diberikan kepada tenaga kerja, dalam fiskal pengeluaran dalam bentuk

natura tidak diakui sebagai pengurangan/biaya.

Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi

a. Metode penilaian persediaan.

Dalam akuntansi komersial dapat memilih beberapa metode penentuan

harga perolehan persediaan (FIFO, LIFO, Average) sedangkan fiskal hanya

membolehkan memilih dua metode, yaitu Average dan FIFO.

b. Metode penyusutan dan amortisasi.

Metode penyusutan dalam akuntansi komersial cukup banyak diantaranya,

metode garis lurus (straight line method ), metode jumlah angka tahun (sum of

the years digits method ), metode saldo menurun (declining balanced method ),

metode saldo menurun ganda (double declaining balanced method ), metode

 jam mesin, metode jumlah unit produksi, dan lain-lain. Dalam fiskal, metode

penyusutan yang diperbolehkan metode garis lurus, metode saldo menurun,

dan metode jasa produksi.

c. Metode penyisihan piutang tak tertagih.

 Akuntansi komersial diperkenankan membentuk penyisihan piutang ragu-

ragu dan dibebankan sebagai biaya, sedangkan fiskal tidak diperkenankan

Page 27: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 27/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 132

mengurangi penghasilan. Piutang yang benar-benar tidak dapat ditagih

setelah dilakukan penagihan aktif baru dapat diakui sebagai beban dalam

penghitungan laba-rugi fiskal. Khusus pembentukan cadangan piutang tak

tertagih untuk industri bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, dan asuransi

dapat diakui sebagai beban dalam penghitungan laba-rugi fiskal.

Perbedaan Pengakuan dan Perlakuan Penghasilan dan Biaya

a. Penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final, seperti: bunga

deposito, bunga tabungan, penjualan saham di bursa efek, persewaan tanah

dan bangunan dan lain sebagainya, dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan

tersebut dikeluarkan dari total Penghasilan Kena Pajak.

b. Pengeluaran yang diakui dalam akuntansi komersial sebagai biaya tetapi

dalam akuntansi fiskal tidak diakui. Misalnya: sumbangan, cadangan piutang

ragu-ragu (kecuali bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, asuransi),sanksi perpajakan, pajak penghasilan.

PERBEDAAN WAKTU DAN PERMANEN

Perbedaan laba menurut fiskal dan komersial menghasilkan perbedaan angka yang

bersifat permanen atau sementara.

Perbedaan permanen terjadi karena akuntansi fiskal menghitung laba yang berbeda

dengan akuntansi komersial tanpa adanya koreksi di kemudian hari. Contoh:

  Penghasilan yang sudah dikenakan pajak final (bunga deposito, bunga

tabungan, sewa tanah dan bangunan, dan lainnya).

  Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak (pembayaran yang

dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada orang pribadi).

  Beban yang tidak boleh dikurangkan dalam akuntansi fiscal tetapi dalam

akuntansi komersial diperkenankan (sumbangan, pajak penghasilan,

sanksi perpajakan, dan biaya lain yang tidak diperkenankan undang-

undang perpajakan).

Perbedaan waktu, yang bersifat sementara terjadi karena adanya ketidaksamaansaat pengakuan penghasilandan beban oleh akuntansi komersial dengan akuntansi

fiskal. Contoh: perbedaan waktu disebabkan oleh perbedaan metode penyusutan

aktiva tetap, metode penilaian persediaan, dan lain-lain.

Page 28: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 28/29

 

Rangkuman Perpajakan –  Drs. Ec. Sugeng, MM., M.Ak 133

PT. TETAP MEKAR

REKONSILIASI FISKAL

UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR PER 31 DESEMBER 2009

Menurut Koreksi Fiskal Menurut

Komersial BedaSementara BedaPermanen Fiskal

Pendapatan 1,500,000,000 1,500,000,000

Harga Pokok Penjualan 700,000,000 700,000,000

Laba Kotor 800,000,000 800,000,000

Biaya Umum dan Admin:

Biaya gaji 100,000,000 100,000,000

Biaya telepon 35,000,000 35,000,000

Biaya listrik 15,000,000 15,000,000

Biaya BBM 6,000,000 6,000,000

Biaya administrasi bank 1,550,000 1,550,000Biaya kirim surat 1,000,000 1,000,000

Biaya penyusutan 55,000,000 (10,000,000) 45,000,000

Biaya kantor 39,000,000 39,000,000

Biaya sumbangan 10,500,000 (10,500,000) -

Biaya cadangan piutang 34,000,000 (34,000,000) -

Biaya iklan 42,500,000 42,500,000

T. Biaya umum dan Admin 339,550,000 285,050,000

Laba Usaha 460,450,000 514,950,000

Pendapatan(beban) diluarusaha

Bunga bank 1,100,000 (1,100,000) -Pajak bunga bank 250,000 (250,000) -

Pendapatan diluar usaha 850,000 -

Laba Sebelum PPh 461,300,000 514,950,000

Page 29: 3-PPh 22

8/10/2019 3-PPh 22

http://slidepdf.com/reader/full/3-pph-22 29/29