3 faktor penyebab

download 3 faktor penyebab

of 11

description

penyebab tanjung lapas

Transcript of 3 faktor penyebab

3 faktor penyebab

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kriminolog FISIP Universitas Indonesia, Mulyana W Kusuma menilai ada berbagai faktor yang melatarbelakangi kebakaran Lapas Tanjung Gusta, Medan, Kamis (11/7/2013).

Faktor pertama, menurut Mulyana, tak lepas dari kondisi daya tampung lapas yang sudah sangat melebihi batas. Daya tampung normal 1.064 orang, tapi saat kejadian dihuni oleh 2.600 orang.

"Sesaknya lapas mengakibatkan melipatnya tekanan psikologis terhadap komunitas napi," ujar Mulyana, Jumat (12/7/2013).

Mulyana menambahkan, kerusuhan diLapas Tanjung Gustabukan sekali ini terjadi. Kerusuhan pernah juga melanda lapas ini antara lain pada Mei 1996 sampai jatuh korban jiwa enam orang, Januari 2013, dan April 2013.

Faktor kedua, kata Mulyana, telah menunjukkan tidak adanya perbaikan dalam kebijakan umum Pelaksanaan Pemasyarakatan yang merupakan tanggung jawab Pemerintah yakni Kementerian Hukum dan HAM.

"Dengan kebijakan umum yang menjauh dari Standard Minimum Rules for Prisoners (Standar Aturan Minimal Pemenjaraan), Manajemen Lapas tidak dapat mengoptimalkan pembinaan napi," tambahnya.

Ketiga, adanya pengelompokkan napi berdasarkan kejahatan yang dilakukan atau 'geng' yang sudah menjadi ciri di berbagai Lapas Klas I dengan tokoh -tokoh berpengaruh. Mereka dapat berperan sebagai pemelihara stabilitas penjara, akan tetapi juga dapat menjadi faktor yang mendorong destabilisasi Lapas.

"Kebijakan ekstra-restriktif yang dituangkan dalam bentuk regulasi pembatasan hak-hak napi mendorong tokoh-tokoh ini utk mempengaruhi napi lain melakukan perlawanan terbuka," katanya.

Wamenkumham ungkap penyebab kerusuhan lapas

Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan penertiban barang-barang ilegal di lembaga-lembaga pemasyarakat berdampak pada kerusuhan, demikian dikatakan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana.

"Justru karena kami sedang giat mengupayakan pembenahan seperti anti-ponsel, pungutan liar, dan narkoba mungkin ada pihak yang zona nyamannya terganggu, sehingga timbul reaksi dalam bentuk ancaman keamanan dan ketertiban," kata Wamenkum HAM di Gedung Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Senin malam.

Namun, Wamenkum HAM mengatakan kementeriannya akan tetap melanjutkan kebijakan penertiban dengan kerjasama Kepolisian RI.

"Jika ada tantangan keamanan dan ketertiban, jawaban kami, anti hape, pungli, dan narkoba akan terus dilaksanakan agar keamanan tidak terus mengalami persoalan-persoalan seperti di Tanjung Gusta ataupun Labuhan Ruku," kata Denny.

Wamenkum HAM juga menyinggung kebijakan Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang Remisi Narapidana Kasus Terorisme, Narkoba, Korupsi yang juga membawa konsekuensi keamanan di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

"PP No.9/2012 itu berdampak pada pengetatan hak-hak narapidana seperti remisi yang di lapangan membawa konsekuensi ketertiban," kata Denny.

Terkait kerusuhan di Lapas Labuhan Ruku Kabupaten Batubara, Minggu (18/8), Denny mengatakan Kementerian Hukum dan HAM akan terus melakukan evakuasi terhadap warga binaan.

"Semalam, 25 narapidana wanita sudah dipindahkan untuk memastikan kondisi mereka lebih aman. Narapidana lain akan bertahap dipindahkan, itu diputuskan di lapangan mana narapidana yang akan didahulukan," kata Denny.

Listrik Padam Jelang Berbuka Puasa Penyebab Kerusuhan Lapas Tanjung Gusta

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Listrik dan air mati di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara menjadi pemicu kerusuhan penghuni Lapas, Kamis (11/7/2013).

Kepala Hubungan Masyarakat Ditjen PAS, Akbar Hadi Prabowo mengungkapkan kerusuhan berawal saat tahanan dan narapidana penghuni Lapas tersebut akan berbuka puasa.

"Listrik mati menjelang berbuka puasa sekitar pukul 18.30 WIB. Narapidana menuntut listrik menyala, kita sudah koordinasi dengan PLN, tapi listrik tidak menyala dan akhirnya terjadi hal tidak diinginkan itu," kata Akbar Hadi melalui sambungan telepon, Kamis (11/7/2013).

Beberapa narapidana yang menuntut hal tersebut, mengakibatkan penghuni lainnya terprovokasi sehingga terjadi kerusuhan di lapas.

"Petugas yang berjaga saat itu 15 orang dan aksi tidak terbendung, kemudian Kalapas berkoordinasi dengan Brimob. Penghuni Lapas membakar beberapa ruang perkantoran," katanya.

Penghuni Lapas tersebut berjumlah 2.400 orang yang terdiri dari tahanan dan narapidana. Namun hingga saat ini belum diketahui berapa tahanan yang kabur.

"Kalau pastinya belum tahu, karena memang kejadiannya luar biasa info dari Kalapas," katanya.

Lapas Labuhan Ruku Dibakar NapiKerusuhan Lapas Bukan Perilaku Spontan Napi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Kerusuhan di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Batubara, Sumatera Utara, Minggu (18/8/2013) sore, merupakan rentetan dari kerusuhan di Lapas di Tanjung Gusta, Medan, beberapa waktu lalu.

Menurut pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, kerusuhan ini dilakukan secara terencana, dan bukan perilaku spontan para napi.

"Saya sudah pernah katakan hal ini ke Menkumham bulan puasa lalu. Saya bilang, kita tinggal menunggu waktu sampai kejadian Tanjung Gusta berulang di lapas- lapas lain," kata Reza kepada Warta Kota (Tribun Network), Minggu malam.

Reza berharap, pihak terkait tidak mengganggap kerusuhan di lapas merupakan hal spontan dari para napi karena sesuatu hal.

"Yang perlu diwaspadai bahwa kerusuhan lapas secara beruntun, merupakan hasil operasi terencana dan bukan perilaku impulsif atau spontan para napi," jelas Reza.

Diberitakan sebelumnya, Minggu sekitar pukul 17.00 WIB, kerusuhan terjadi di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Batubara, Sumatera Utara.

Kerusuhan menyebabkan kebakaran di sejumlah ruangan, yang membuat 30 napi kabur. Aparat menduga kerusuhan dipicu bentrokan antara napi dengan sipir, yang membuat sipir dipukuli napi.

Sebelumnya pada Kamis (11/7/2013) lalu, kerusuhan juga terjadi diLapas Tanjung GustaMedan. Sebanyak 212 napi kabur. Dalam peristiwa yang menyebabkan kebakaran di dalam lapas, lima sipir dan petugas lapas meninggal dunia karena terbakar api.(*)Hindari Kerusuhan Lapas, Perlu Pembenahan Masalah Hukum

Selasa, 20 Agustus 2013 06:43 wib

Aisyah - Okezone

JAKARTA- Anggota komisi III DPR RI, Didi Irawadi, menilai perlu ada pembenahan politik perhukuman di Indonesia mengingat maraknya kejadian kerusuhan lapas akibat kondisi lembaga pemasyarakatan (LP) yang melebihi kapasitas.Ke depan pemerintah dan DPR harus merumuskan hukuman-hukuman ini, supaya LP ini jangan membludak, over capacity, kata Didi di di Wisma Kodel, Jakarta Selatan, Senin (19/8/2013) malam.Menurutnya, percuma saja LP ditambah jika tidak dibarengi dengan pembenahan politik perhukuman seperti pemisahan kondisi lapas untuk tindak pidana narkoba.LP kita tidak membedakan yang namanya pengedar dan pemakai pemula. DPR harus memulai. Ke depan rehabilitasi pengguna narkoba masih harus ditambah karena masih terbatas sekali dan ini harus didukung dari dewan, ujarnya.Namun, Didi tidak memberikan toleransi terhadap bandar narkoba. Menurutnya, bandar narkoba harus segera hilang dari lapas.Bandar no way, apalagi model Freddy itu. Kalau itu harus segera dieksekusi. Ada kemungkinan orang macem Freddy ini lebih dari satu. Dengan uang tidak terkira, dia bisa bermain-main dengan hukum, dengan oknum nakal, jelas Didi.Seperti diketahui, dalam waktu kurang dari dua bulan, dua kerusuhan lapas terjadi di satu daerah yang sama. Minggu 18 Agustus lalu kerusuhan terjadi di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Batubara, Sumatera Utara dan pada Kamis 11 Juli lalu, kerusuhan juga terjadi di Lapas Tanjung Gusta Medan.(cns) Kronologi kerusuhan Lapas Ruku Batubara

Sindonews.com- Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie, menyatakan jika kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ruku, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut), berawal sejak kemarin, Sabtu (17/8/2013).

Menurutnya, kerusuhan tersebut terjadi setelah adanya pemindahan puluhan tahanan dari Lapas Lubuk Pakam, ke Lapas Labuhan Ruku.

"Kronologis sementara kejadian kerusuhan dan pembakaran di Lapas Labuhan Ruku di Kabupaten Batubara, Sumut, berawal pada tg 17 Agustus 2013, saat adanya pemindahan 49 orang napi dari Lapas Lubuk Pakam ke Lapas Labuhan Ruku."

"Pada 18 Agustus 2013 pukul 16.00 WIB pada saat napi istirahat, ada sekelompok napi yang duduk-duduk memanggil sipir yang jaga, kemudian terjadi pemukulan dan ke 5 orang napi tersebut berteriak serbu," jelas Ronny F Sompie, Minggu (18/8/2013).

Dalam kerusuhan tersebut, dikatakannya ada napi yang bertindak sebagai provokator, sehingga pada hari ini terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung utama hingga menyebabkan banyaknya narapidana yang melarikan diri.

"Data saat ini sekira 25 s/d 30 orang napi yang kabur dari Lapas dan sedang dilakukan pendataan guna memudahkan pencarian," jelasnya.

Pasca pembakaran, Lapas Labuhan Ruku berbenah

Sindonews.com- Kemenkum HAM menyatakan kondisi ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Labuhan Ruku, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut), saat ini sudah terkendali dengan baik.

Menurut Karo Humas dan Kerjasama Hubungan Luar Negeri (KLN) Kemenkum HAM, Maroloan J Baringbing, kondisi Lapas Labuhan Ruku, hingga kini terus diperbaiki. Mengingat, kerusakan parah yang terjadi di Lapas tersebut, pasca pengrusakan disertai pembakaran oleh para napi, Minggu (18/8) lalu.

"Kami melakukan perbaikan atas kerusakan dan pembenahan administrasi," jelas Maroloan dalam keterangan resminya kepadaSindonews, Selasa (20/8/2013).

Selain itu, pihaknya juga saat ini mengaku terus melakukan pembinaan terhadap napi. "Termasuk pemindahan napi ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) di sekitar wilayah provinsi Sumatra Utara," lanjutnya.

Seperti diketahui, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ruku, di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut), rusuh, Minggu (18/8/2013). Akibatnya, gedung utama depan Lapas Ruku terbakar.

Kebakaran itu terjadi akibat ulah para narapidana yang memang terlibat kerusuhan. Tak pelak, merekapun memanfaatkan kesempatan tersebut, dengan melarikan diri. Peristiwa itu sendiri terjadi sekira pukul 17.00 WIB.

"Ada sekira 25-30 orang narapidana yang melarikan diri. Napi yang kabur dari Lapas sedang dilakukan pendataan guna memudahkan pencarian," jelas Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Ronny Franky Sompie, Minggu (18/8/2013).

MIRIS. Itulah perasaan saya melihat tayangan televisi tentang kerusuhan dan kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Labuhan Ruku, Minggu (18/8) malam.

Beritanya simpang siur. Kondisi lapas belum kondusif. Pasukan TNI dan Polri berada di lokasi, tetapi belum berhasil masuk lapas. Plk Kepala Lapas Labuhan Ruku belum dapat memastikan penyebab bentrokan. Diduga, karena dipicu bentrokan sipir dengan narapidana (napi). Bentrok membuat seorang sipir dipukul napi. Dikabarkan, 25 sampai 30 napi melarikan diri dengan cara melompati pagar belakang.

Tentu, tidak bijak saling menyalahkan atas peristiwa mengenaskan itu. Siapa pun tidak ingin menjadi penghuni lapas. Ketika seseorang berbuat jahat dan tertangkap penegak hukum kemudian diproses melalui peradilan dan akhirnya divonis masuk penjara, sebenarnya kenestapaannya merupakan buah dan konsekuensi perilakunya sendiri. Tak sepantasnya penjahat minta diringankan, apalagi dibebaskan dari hukuman. Lapas menjadi sebaik-baiknya tempat bagi penjahat.

Di situlah proses perenungan sampai berpuncak pada pertobatan diharapkan dilakukan para penjahat sehingga usai menjalani hukuman dapat kembali ke masyarakat sebagai orang bersih. Adalah tanggung jawab negara untuk melakukan pembinaan terhadap terpidana melalui perwujudan suasana kondusif di lapas agar proses kontemplasi berjalan sempurna. Lapas mestinya menjadi sarana proporsional bagi penjahat untuk menyucikan noda dan dosanya.

Sudah tentu, bukan dengan cara pemberian fasilitas mewah, berkecukupan, bak hotel berbintang. Tetapi, bukan pula dengan penyiksaan lahirbatin di luar batas perikemanusiaan. Proporsionalitas pemidanaan secara kualitatif penting dirumuskan kembali dan disosialisasikan agar penjahat, petugas, maupun masyarakat legawa menerima fungsi lapas tanpa bias kepentingan masing-masing.

Permasalahanovercapacitymerupakan salah satu persoalan rumit bagi siapa pun penanggung jawab dan pengelola lapas. Ibarat botol, gesekan satu botol dengan botol lain dipastikan mengakibatkan benturan keras sehingga kemungkinan menjadi pecah. Gesekan antara sesama narapidana ataupun antarnarapidana dengan sipir pastilah lebih membahayakan bagi jiwa masing-masing, termasuk kemungkinan dibakarnya bangunan lapas. Jumlah penjahat di negeri ini terus meningkat.

Tak pernah terdengar ada penjahat jera. Lapas pun menjadi penuh sesak ketika penjahat baru dan kambuhan terus antre sebagai penghuni hotel prodeo itu. Haruskah pertumbuhan penjahat dan angka kejahatan diimbangi secara paralel dengan penambahan ruang tahanan? Hingga saat ini belum jelas kebijakan komprehensif macam apa yang telah dipikirkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah membeludaknya penghuni lapas itu.

Berbagai pernyataan wakil menteri hukum dan HAM mengesankan bahwa pemerintah belum menemukan formula perubahan konsep pemidanaan yang tepat. Dikhawatirkan, pemerintah kalah berpacu dengan kerusuhan lapas yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Sungguh ngeri bila suatu saat kerusuhan beberapa lapas terjadi serentak, kemudian napi kabur tanpa dapat dikendalikan petugas. Naudzubillah.

Tak salah memaknakan fenomena kerusuhan lapas akhir-akhir ini sebagai cermin bahwa negeri ini sedang berada dalam pusaran zaman Kalabendu. Inilah suatu masa yang disebut Francis Fukuyama (1999) sebagaiThe Great Disruptionyaitu terjadi guncangan keras pada budaya dan peradaban, suatu kehidupan bersama yang hampa social capital, hampa kepercayaan (trust) antara sesama manusia, dan justru semua tergerak untuk saling menihilkan.

Satu hal yang tragis, pada saat yang sama kita rentan tersungkur karena hampir tidak memiliki pegangan. Karena itulah, angka kejahatan dan penjahat naik tajam. Hemat saya, The Great Disruption terjadi terkait runtuhnya beberapa lembaga besar yang pengaruhnya kian menurun. Pertama, institusi keluarga. Kemesraan antarsesama anggota keluarga sulit dikelola karena sibuk dengan urusan masing-masing.

Perceraian dianggap sebagai penyelesaian terbaik ketika terjadi cekcok antara suami-istri. Dapat dibayangkan, ketika bahtera rumah tangga hancur, ke manakah anak-anak berlabuh? Menjadi penjahat atau lari ke narkoba sebagai sensasinya. Kedua, lembaga pendidikan. Wibawa institusi maupun pendidik menurun drastis karena orientasi pendidikan bukan mencetak manusia cerdas, berbudi luhur, dan memiliki moralitas tinggi, melainkan bergeser menjadi pasar jual beli ijazah dan gelar.

Guru besar pun terlibat dugaan korupsi. Ini sangat memprihatinkan. Ketiga, institusi hukum. Sebagai negara hukum, pemahaman atas hukum terlalu sempit. Paham positivisme begitu dominan sehingga hukum negara sebagai produk politik menyingkirkan hukum alam, hukum adat, maupun hukum agama. Koruptor rajin mempelajari dan berkonsultasi tentang hukum positif kepada pengacara bukan untuk taat terhadap hukum, melainkan untuk menyiasati agar kejahatannya lolos dari jeratan hukum.

Sembari meneruskan tulisan ini, terdengar wamen hukum dan HAM diwawancarai oleh reporter televisi. Salah satu pernyataannya, aparat penegak hukum harus bersikap tegas dan menjalankan fungsinya sesuai hukum berlaku. Dalam hati, saya bertanya, hukum yang mana? Saya yakinalammemiliki hukum lengkap dan lebih bagus daripada hukum negara. Bila ingin angka kejahatan menurun dan kerusuhan lapas teratasi, ikutilah hukum alam. Misal, belajarlah dari air. Dengan kelembutannya, air pantang menyerah, terus mengalir dari gunung sampai ke laut.

Siapa pun mampu menjaga kebersihan batin, tak perlu larut menjadi penjahat, dan tak perlu gagal mengatasi kerusuhan lapas. Walau jalannya terjal, berkelok, laluilah dengan ketekunan, terus mengalir, cari formula pemidanaan baru yang alamiah, sesuai kodrat manusia yang potensial menjadi abdillah maupun khalifatullah. Wallahualam.Solusi Kerusuhan Lapas, UU Pemasyarakatan Harus Direvisi

Sejumlah insiden kerusuhan di lembaga pemasyarakatan mengundang keprihatinan Komisi III DPR. Terkait hal ini, Anggota Komisi III, Harry Witjaksono mengusulkan agar UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan segera direvisi.

Harry berpendapat, UU Pemasyarakatan lebih penting untuk direvisi ketimbang PP No 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tetapi UU Pemasyarakatan. Harry khawatir akan timbul masalah jika revisi PP didahulukan dari UU Pemasyarakatan.

Dan PP itu tinggal mengikuti peraturan di atasnya. Politik pemasyarakatan itu nanti harus tertuang di UU Pemasyarakatan yang baru, kalau tidak nanti tambal sulam terus dengan PP, ujarnya di Gedung DPR, Senin (26/8).

Dikatakan Harry, rencana revisi UU Pemasyarakatan sebenarnya sudah masuk prolegnas, tetapi kemudian dicabut. Makanya, dia berniat mengusulkan kembali revisi UU Pemasyarakatan. Tapi nanti akan saya usulkan dan bicarakan lagi di Baleg, ujar Harry yang juga Anggota Baleg.