3 doa 3 cinta

26
Pendahuluan Film 3 doa 3 cinta menceritakan tentang tiga orang santri yang sedang menempuh pendidikan agama khususnya agama Islam di sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren yang masih bersifat tradisional, jauh dari kesan modern dan bertempat di daerah pelosok Yogyakarta. Tiga orang santri ini memiliki mimpi dan impian yang berbeda-beda, yakni; Huda yang diperankan oleh Nicholas Saputra mempunyai cita-cita setelah menamatkan pendidikannya di pesantren tersebut, ia ingin bertemu dengan ibunya, setelah beberapa tahun lamanya ia tidak bertemu dengan ibunya. Huda berkomunikasi dengan ibunya terakhir kali melalui surat yang ia terima dari ibunya setahun yang lalu. Kemudian Rian yang diperankan oleh Yoga Pratama, setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut, ia bercita-cita ingin merintis kembali usaha ayahnya yaitu usaha studio foto. Terakhir Syahid yang diperankan oleh Yoga Bagus, adalah anak seorang dari petani miskin. Syahid bercita-cita setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut, ia ingin mati syahid di jalan Allah dengan jalan menjadi seorang Mujahid. Seperti pada umumnya, pondok pesantren ini memiliki seorang pemimpin atau kyai. Para santri sering menyebutnya dengan panggilan Romo. Sang Romo secara rutin tiap malam memberikan pengajian kepada para santrinya. Dalam memberikan materi dari berbagai kitab-kitab kuning yang ia dapatkan, Romo selalu mengeraskan dan melantangkan suaranya di hadapan para santrinya. Kitab-kitab kuning tersebut terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Romo dan kemudian para 1

description

3 doa 3 cinta

Transcript of 3 doa 3 cinta

PendahuluanFilm 3 doa 3 cinta menceritakan tentang tiga orang santri yang sedang menempuh pendidikan agama khususnya agama Islam di sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren yang masih bersifat tradisional, jauh dari kesan modern dan bertempat di daerah pelosok Yogyakarta. Tiga orang santri ini memiliki mimpi dan impian yang berbeda-beda, yakni; Huda yang diperankan oleh Nicholas Saputra mempunyai cita-cita setelah menamatkan pendidikannya di pesantren tersebut, ia ingin bertemu dengan ibunya, setelah beberapa tahun lamanya ia tidak bertemu dengan ibunya. Huda berkomunikasi dengan ibunya terakhir kali melalui surat yang ia terima dari ibunya setahun yang lalu. Kemudian Rian yang diperankan oleh Yoga Pratama, setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut, ia bercita-cita ingin merintis kembali usaha ayahnya yaitu usaha studio foto. Terakhir Syahid yang diperankan oleh Yoga Bagus, adalah anak seorang dari petani miskin. Syahid bercita-cita setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut, ia ingin mati syahid di jalan Allah dengan jalan menjadi seorang Mujahid.Seperti pada umumnya, pondok pesantren ini memiliki seorang pemimpin atau kyai. Para santri sering menyebutnya dengan panggilan Romo. Sang Romo secara rutin tiap malam memberikan pengajian kepada para santrinya. Dalam memberikan materi dari berbagai kitab-kitab kuning yang ia dapatkan, Romo selalu mengeraskan dan melantangkan suaranya di hadapan para santrinya. Kitab-kitab kuning tersebut terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Romo dan kemudian para santrinya menulis ulang serta menyimak penjelasan kandungan yang terdapat di dalam kitab tersebut. Setiap hari para santri melakukan kegiatannya yang berlandaskan serta bernafaskan pendidikan agama Islam seperti mengaji, belajar kitab-kitab kuning, dan ibadah. Kamar para santri pun terlihat sederhana jauh dari kata mewah dengan beberapa lemari kecil yang dijadikan rak kitab-kitab atau buku-buku serta beberapa pakaian. Mereka tidur hanya beralaskan tikar saja. Terlihat pemandangan pemondokan pesantren yang bersih dan suci agar kelak para santri dapat memiliki sifat mandiri serta akhlak yang baik di dalam kehidupan sehari-hari. Pola pendidikan pesantren yang masih kental dengan nilai-nilai luhur keislaman, senantiasa menjaga ketauhidan, hanya berpedoman kepada Al-Quran dan As-Sunnah menjadi sebuah pendidikan dasar untuk mengarungi kehidupan dunia yang fana serta sarat godaan. Sang Romo selalu memberikan nilai-nilai keislaman, saling menghormati dan menghargai dengan mengajarkan bahwa agama Islam merupakan agama pembawa rahmat bagi seluruh alam. Dalam menjalankan kegiatan pendidikan di pesantrennya, Romo dibantu oleh dua orang Ustadz. Ustadz yang pertama mempunyai pandangan bahwa Islam merupakan agama satu-satunya di muka bumi ini. Agama selain Islam adalah kafir dan jihad adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kejayaan umat Muslim. Begitu lah sekiranya ustadz ini memberikan semacam doktrin kepada para santrinya, sangat berbeda dengan Romo yang sealu mengajarkan saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Kemudian ustadz yang kedua adalah yang mengelola dan bertanggung jawab atas kesediaan pangan para santri atau dapur para santri. Selain itu, ustadz ini juga mengajar serta melatih para santri bermain rebana atau membentuk grup Qasidah. Akan tetapi, ustadz ini memiliki kelainan seksual yakni menyukai sesame jenis atau homoseksual. Salah seorang santri sendiri mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ustadz tersebut ketika ia sedang tidur di bilik kamarnya.Berbagai peraturan pesantren yang ketat dan disiplin seperti dilarang membawa peralatan elektronik, merokok, tidak boleh berbuat perbuatan tercela seperti mencuri, berbohong, serta perbuatan dosa lainnya tidak membuat ketiga santri yakni Huda, Rian dan Syahid patuh akan aturan tersebut. Mereka menjelma menjadi remaja yang ingin memuaskan masa-masa mudanya yang sangat indah. Sebuah tempat unik dimiliki oleh ketiga santri tersebut yang dimana mereka menuliskan serta mencatat impian atau pun cita-cita setiap tahunnya di sebuah tembok kusam. Di tempat tersebut mereka saling bertukar pikiran dan saling berbagi satu sama lain.Kegiatan keluar di malam hari menjadi aktivitas sesekali mereka untuk membuang rasa jenuh dan penat di dalam pondok pesantren. Pada tahun terakhir di pondok pesantren, mereka bertiga bukan hanya untuk memfokuskan menamatkan pendidikan agamanya, tetapi mereka pun memfokuskan diri masing-masing apa yang dicita-citakan setelah lulus dari pondok pesantren tersebut. Huda yang terlihat semakin bertekad kuat ingin sekali bertemu dengan ibunya di Jakarta dimudahkan jalannya saat bertemu dengan Dona Satelit yang diperankan oleh Dian Sastrowardhoyo seorang penyanyi dangdut cantik nan seksi asal Jakarta yang sedang manggung di daerah sekitar pondok pesantren Huda. Di daerah ini pula Dona Satelit dilahirkan dan tempat ibunya dimakamkan. Huda sebagai sosok santri yang lugu dan polos meminta bantuan Dona Satelit untuk mencarikan dimana ibunya berada di Jakarta. Dona menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat yaitu ia harus menerima imbalan. Adapun Rian yang mempunyai cita-cita membangun usaha ayahnya berupa studio foto, kisahnya berawal dengan bertemu tukang layar tancep yang diperankan oleh Butet Kertarajsa. Ia belajar banyak dari sang tukang layar tancap tersebut. Dan Syahid, anak seorang petani miskin yang mempunyai impian mati syahid di jalan Allah dengan menempuh menjadi mujahid, sebenarnya alasan dari impian Syahid adalah namanya, karena namanya Syahid jadi dirinya pun harus meninggal dunia dalam keadaan syahid.Pada saat yang bersamaan pula Ayah Syahid mengalami ganguan ginjal dan harus dioperasi. Karena membutuhkan biaya sangat besar, dengan kondisi sebagai petani miskin sangatlah berat untuk membiayai itu semua, akhirnya harapan satu-satunya adalah menjual sawah, sawah yang dijual diketahui Syahid, ternyata terjual kepada orang bule dengan harga yang sangat rendah. Di saat itu pula Syahid bimbang akan cita-citanya menjadi mujahid karena disisi lain orang bule yang dianggap Syahid orang kafir itu membantu seluruh biaya operasi dan pengobatan ayahnya.Beberapa cerita tersebut mengangkat kisah kehidupan para santri di pesantren tradisional, dimana antara cita-cita, norma agama, dan realita kehidupan sosial yang saling berbenturan, dan yang menjadi masalah dihadapkan kepada ketiga santri tersebut. Pembahasan

Proses pendewasaanGambaran kehidupan sebuah Pondok Pesantren yang disajikan dalam film 3Doa 3Cinta, membuka kembali kenangan saya enam tahun silam, pada saat umur sebelas tahun saya tinggal disebuah pondok pesantren, meskipun hanya tiga tahun tapi pengalaman itu masih berbekas dalam benak ini. Karakter sang Romo sebagai Pondok Pesantren dimana tempat saya menjadi pesantren dulu, dimana seluruh dedikasi beliau yang pernah saya terima baik langsung atau tidak, tak pernah sanggup tuk dilupakan. Pelajaran toleransi antar umat keberagamaan, kebersamaan, dan ibadah ritual baik wajib ataupun sunnah selalu beliau contohkan didepan para santrinya. Indahnya suasana pesantren yang pernah saya rasakan, dan benar-benar menjadikan sebuah proses pendewasaan yang menjadi bekal setelah saya menghadapi kehidupan yang sekarang ini.Memang tak semua ada yang di film 3Doa 3Cinta aku alami, tak pernah ada pelajaran tentang jihad, tetapi tidak bisa dipungkiri dibeberapa pesantren mungkin diajarkan tentang jihad. Banyak interpretasi tentang jihad, mungkin kedengaran sangat konyol bila jihad diinterpretasikan dengan berani mengorbankan diri melawan kaum kafir. Jihad dapat diinterpretasikan dengan berbagai bentuk positif, sebagai contoh, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk jihad, dan apabila meninggal dalam menuntut ilmu, dalam hadist dijanjikan InsyaAllah surga.Dan juga Ustadz yang kelainan seksual tak pernah saya alami hal demikian, tetapi tidak bisa dipungkiri, pada saat saya pesantren ada seorang teman yang mempunyai kelainan seksual. Memang hal seperti ini tidak bisa diwajarkan baik dalam norma sosial dan juga agama, dan hal seperti ini pula dapat mengganggu psikologis korban pelaku pelecehan seksual. Tetapi hal ini kenapa terjadi?, banyak factor tentunya, mungkin salah satunya adalah pelampisan nafsu, ketika seseorang tak dapat mengkontrol nafsunya. Yang jelas kelainan seksual adalah sesuatu hal yang dilaknat oleh Allah SWT.Pendidikan pesantren membangun jati diri setiap insan dalam menjawab tantangan zaman, bukan hanya itu, pendidikan pesantrenpun seharusnya mampu membangun zaman dengan ruh keislaman, dengan berpedoman pada Alquran dan Alhadist, menunjukan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin(Rahmat bagi seluruh alam). Jebolan(baca:lulusan) pesantren dizaman sekarang bukan hanya mampu membaca kitab kuning, melainkan juga mampu membaca kemajuan dunia baik dalam literasi, teknologi, dan sains, yang diharapkan sebagai penyeimbang antara keduniawian dan akhirat, Karena jebolan pesantren ditanamkan segala sesuatu apa yang akan dikerjakan atau dipikirkan diawali dengan Bismillah dengan mengaharap ridha Allah SWT. Meskipun yang digambarkan dalam film tersebut adalah pesantren abangan atau tradisonal, kumuh, dan sebagainya, tetapi hal tersebut adalah sebuah proses panjang menjadi dewasa, mandiri, dan juga bersikap sesuai dengan tuntunan Islam, karena ini adalah salah satu bentuk cerminan pesantren yang ada di Indonesia.Apa yang dikisahkan oleh Huda dengan kedua orang temannya dalam film ini, adalah salah satu bentuk cerminan santri atau pelajar dalam menghadapi tantangan zaman. Ketika mimpi dan cita-cita mereka harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang tidak mudah, dan selalu mengoyahkan apa yang diimpikan dan dicita-citakannya. Begitu pula ketika menjalankan impian dan cita tersebut dengan bentuk ikhtiar(usaha) yang terus mereka lakukan, selalu akan ada godaan yang menggoyahkan itu semua, tetapi dengan keteguhan hati, istiqomah(konsisten), dan doa yang selalu mengiri usaha mereka dalam memperoleh cita-cita dan impian.Kehidupan pesantren yang penuh warna persahabatan, cinta, ibadah, dan nilai kemanusian seperti yang digambarkan dalam film ini, mengungkapkan sungguh indah kehidupan di pesantren itu. Persahabatan menjadi sebuah nilai yang dimana kita mengenal manusia satu dan manusia lainnya (person to person) lebih dekat, terjadinya hubungan interpersonal, terjadinya hubungan interpersonal yang satu sama lainnya saling mengenal, memahami, dan membentuk ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk implementasi anugerah yang satu sama lainnya sling mengenal, memahami, dan membentuk ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk anugerah yang Allah berikan kepada manusia, yang menjadikan adanya rasa sayang, saling memberi dan menerima, antar sesama manusia. Warna ibadah adalah warna yang dimana kita mengakui kita adalah makhluk Sang Khalik, ibadah adalah rasa syukur kita sebagai manusia yang telah diciptakan dengan kesempurnaan, tanpa ibadah kita akan disebut sebagai makhluk yang sombong, dan mengingkari nikmat utama yang telah Allah berikan yaitu diciptakan dimuka bumi ini. Dan warna nilai-nilai kemanuasian adalah bentuk implementasi dari semua warna kehidupan, nilai kemanusian adalah cerminan manusia sebagai makhluk yang memiliki persahabatan, cinta, dan mengakui Tuhannya. Dalam Islam sendiri diajarkan bukan hanya habluminallah(hubungan dengan Allah), melainkan juga habluminannas(hubungan dengan manusia), saling memberi, menghormati, menghargai, dan tolong-menolong adalah nilai-nilai kemanunisiaan yang membentuk persahabatan dan perdamaian diatas muka bumi ini.Nurman Hakim sungguh apik dalam mengemas film 3Doa, 3 Cinta, sebagai penulis dan sutradara, Nurman mengangkat realita yang pernah dialaminya. Bekal pengalaman merasakan sebagai santri yang pernah dilalui Nurman dan kegelisahan akan fenomena dikotomi islam terutama pesantren menjadi bekal Nurman menulis dan menggarap film ini,(www.21cineplex.com). Lanjut Nurman, Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal, dalam film ini ini kita dapat melihat potret kehidupan di pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah, dan nilai kemanusiaan. Selanjutnya, film yang bercerita tentang proses pendewasaan atau coming of age santri yang dididik secara Islam dalam memahami kehidupan diluar pesantren(www.3doa3cinta.com/pressrelease_1). Inilah sebuah film yang akan kita dapat memahami arti dari menjadi dewasa, bukan hanya dalam fisik, tetapi juga hati dan pekiran yang menjadi lebih bijak. Dan film inipun memberikan kita arti dari kehidupan beragama, meskipun latar dari film ini adalah kehidupan pesantren, tetapi film ini memberikan kesan kepada kita bahwasannya semua agama itu mengajarkan kebaikan, seperti yang disampaikan dalam film Kingdom of Heaveni, tidak ada permusuhan dan peperangan yang mengatasnamakan Tuhan, karena semua agama mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Jadi, silahkan tonton film buatan anak bangsa ini, dan ambil manfaatnya dari film ini, serta stop pembajakan. Waallahu Alam.* penulis adalah Mahasiswa FIKOM UNISBA angkatan 2006.

Sutradara: Nurman HakimPemain: Nicholas Saputra, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Dian Sastrowardoyo, Jajang C. Noer, Butet Kertarajasa

Tahun Rilis: 2008Judul Internasional: 3 Wishes 3 Loves

Problematik Industri Film Indonesia

SEMENJAK masa (yang katanya) kebangkitan perfilman Indonesia dari tidur panjang, sudah berapa kali tema Islam dieksploitasi oleh pekerja industri film? Tentu masih ingat dengan Ayat-ayat Cinta yang bisa dikatakan pelopor film-film bernapas Islami. Sayangnya, ketimbang memberikan potret jujur tentang Islam, Ayat-ayat Cinta malah menampilkan romantisme dramatisir sinetronik dengan bumbu-bumbu Islam (Islam cuma jadi bumbu di sini). Tapi tidak bisa dipungkiri kedahsyatan booming Ayat-ayat Cinta, untuk ukuran film Indonesia, mampu membuat beberapa pelakon industri film lainnya menelan liur. Efek lanjutan dari bombastisme itu munculah film-film ekoran seperti: Syahadat Cinta dan Mengaku Rasul. Sayangnya, dua judul itu tidak mampu menyaingi fenomena Ayat-ayat Cinta. Ditinjau dari segi kualitas ataupun cara penyajian film pun, dua judul itu tidak pula bisa dibilang berhasil. Tapi pihak industri, yang umunya pasti cuma mikirin rupiah ketimbang mutu, tidak kehabisan ide, mereka menggunakan formula yang sama dengan Ayat-ayat Cinta: mengadaptasi novel Islami ternama dari pengarang terkenal. Lalu muncul judul: Ketika Cinta Bertasbih 1 dan Ketika Cinta Bertasbih 2. Lagi-lagi, dua judul film ini pun hanya menjadi anak-anak dari Ayat-ayat Cinta: tidak mampu memberikan potret Islam yang jujur, masuk akal, realistis, dan yang paling penting tidak mampu memberi potret bersahaja. Tapi perlu diakui, bombatisme Ketika Cinta Bertasbih 1 dan Ketika Cinta Bertasbih 2 ini tidak bisa dianggap enteng.

Apakah ini artinya penonton Indonesia gampang terbuai nilai komersil sehingga tidak mampu menuntut nilai seni yang lebih tinggi lagi dari itu?

Potret Islam dalam Layar Kaca yang Paling Jujur, Paling Realistis, Paling Masuk Akal, dan Paling Bersahaja dari semua Film tentang Islam dari Indonesia Sejauh Ini

Dari semua judul film Islami yang saya sebut di atas, muncul judul 3 Doa 3 Cinta yang tidak diembel-embeli novel bestseller ala Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta Bertasbih. Pertanyaannya pertama: Mampukah 3 Doa 3 Cinta ini menyaingi kedahsyatan penerus-penerusnya. Tidak! Pertanyaan kedua: Mampukah 3 Doa 3 Cinta memberikan potret jujur, potret realistis, potret masuk akal, dan potret bersahaja tentang Islam? Iya! Bahkan berkali-kali lebih mampu ketimbang para pendahulunya itu.

Kenapa saya bilang begitu?

Pertama, 3 Doa 3 Cinta melakukan pendekatan realisme yang cukup intensif dalam tiap-tiap adegannya, jadi beda dengan Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta Bertasbih yang lebih menggunakan pendekatan dramatisme (malahan berlebihan). Pendekatan realisme ini bisa dilihat dari emosi dan ekspresi yang diampilkan para pemain, sound effect, kecepatan alur, hingga arah pengembangan ceritanya. Memang, sebagai konsekuensinya, film-film dengan pendekatan realisme kental selalu menjadi momok bagi penonton awam yang umumnya menuntut dramatisme dalam film.

Kedua, tema yang diusung lebih tersentral ke pola kehidupan muslim (potret Islam) ketimbang menitik beratkan pada opera sabun percintaan. Jadi sudah bisa dipastikan, dibanding Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta Bertasbih, film ini jauh lebih memberikan potret nyata tentang Islam. Temanya tepatnya: film ini mencoba memberikan gambaran Islam melalui pengalaman-pengalaman tiga orang santri.

Ketiga, film ini tidak mencoba menampilkan lingkungan muslim (dalam kasus ini lingkungan pesantren) sebagai lingkungan yang sempurna. Atau bisa juga dikatakan, film ini tidak hanya menampilkan potret baik-baiknya saja dari lingkungan pesantren, tapi juga, dengan jujur, menampilkan potret buruknya.

Keempat, film ini tidak men-judge dan tidak menggurui. Tidak ada pihak-pihak, prilaku-prilaku, kejadian-kejadian, ataupun tata-cara yang dihakimi secara Islam oleh film ini. Seperti yang saya bilang di awal-awal, film ini memberikan pesan berupa potret jujur, bukan penghakiman, bukan pula ceramah. Menurut saya, faktanya, film dengan pesan berupa potret seperti ini yang jauh lebih efektif untuk menggambarkan Islam, ketimbang ceramah (atau malah penghakiman).

Lengkap sudah!

Pengalaman Tiga Santri dengan Tiga Doa Masing-masing

Masuk ke cerita, film ini menceritakan pengalaman suka-duka kehidupan pesantren dari bola mata tiga tokoh utamanya (yang pasti Dian Sastro bukan tokoh utama di sini). Dengan cukup baik, film ini memotret intrik ketiga tokoh itu dalam menelaah nilai-nilai Islam yang mereka dapat di pesantren, lalu menanamkannya bukan hanya pada kehidupan dalam pesantren tapi juga kehidupan luar yang sarat aroma globalisme. Ketiga santri yang dipampang pun, seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak digambarkan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, tapi sebagai peremajaan tiga orang santri dengan sifat dan pemahaman masing-masing. Lebih tepatnya, Nurman Hakim juga menyajikan gambaran coming-age di film ini. Yap, satu poin lagi, Nurman Hakim juga membahas pertabrakan nilai-nilai Islam yang dipegang santri itu dengan globalisme yang mereka temui di luar.

Mari bahas satu persatu quest tiga santri ini secara terpisah.

Ketika Tertabrak Fakta Sensualitas dalam Globalisme

Santri pertama Huda, diperankan oleh Nicholas Saputra, merupakan santri yang paling disukai Kyai Wahab (pemimpin pesantren). Tokoh Huda ini diceritakan mempunyai konflik kerinduan dengan sang ibu yang karena masalah moral telah meninggalkannya di pesantren tersebut. Misi pencarian alamat ibu mempertemukan Huda dengan Donna Satelit, penyanyi dangdut di sebuah pasar malam yang dimainkan oleh Dian Sastro.

Singkat cerita, Huda pun berkenalan dengan penynyi dangdut seksi yang selalu ziarah ke makam itu. Huda meminta bantuan Donna untuk mencari alamat ibunya di Jakarta. Donna tidak mau gratisan. Terpakailah uang tabungan Huda. Tapi, kalau penonton mau menilik lebih dalam lagi, bukan misi pencarian sang ibu sebenarnya konflik utama tokoh Huda ini, melainkan hubungan sekilas yang terjalin antara Donna dan Huda. Bukan cinta ala remaja penuh gelora seperti yang ditampilkan di Ada Apa Dengan Cinta?, melainkan hanya sebatas hubungan intens sekilas.

Mungkin penonton yang lebih kritis (bukan penonton yang cuma berharap film ini dibawa ke arah romantis-romantisan) bakal lebih menangkap maksud sang sutradara ketika menyimak adegan intens antara Huda dan Donna di belakang panggung. Perhatikan bagaimana air muka Huda ketika melihat paha telanjang Donna. Atau ketika Donna tiba-tiba melumat bibir Huda. Itulah sebenarnya puncak klimaks dari tokoh Huda ini: pertabrakan dengan fakta sensualitas dalam masyarakat global.

Untungnya, Nurman Hakim tetap bisa konsisten pada pace dan pada idealismenya dalam adegan ini. Beliau tidak membuat tokoh Huda menodongkan jari pada tokoh Donna Satelit. Beliau juga tidak menjatuhkan penghakiman pada Huda. Malahan, di ending-nya, tokoh Huda yang sudah pernah melihat paha mulus Donna bahkan dilumat bibirnya, tetap menikahi anak Kyai Wahab dan meneruskan pesantren tempat dia belajar. Saya rasa, kalau saja penonton mau berpikir kritis ketika menyimak adegan itu, maka dapatlah baik pesan maupun inti cerita dari tokoh pertama ini.

Menyikapi Globalisme

Bicara tentang tokoh kedua, Rian, yang diperankan oleh Yoga Pratama, berarti bicara tentang keterbukaan Islam terhadap budaya di luar Islam. Tokoh Rian digambarkan sebagai tokoh yang paling periang dari ketiganya, obsesif, dan paling open minded bila berbicara tentang globalisme.

Mungkin ada yang masih ingat tentang gossip-gossip bahwa bioskop itu haram yang sempat beredar dulu. Bagian Rian ini mengingatkan saya pada gossip itu. Tokoh Rian ini juga mengingakan pada tokoh Salvatore Di Vita dalam Nuovo Cinema Paradiso (tapi bukan berarti plot bagian Rian ini mencontek). Sinema. Cerita tentang tokoh Rian ini berputar mengenai obsesinya tentang kamera. Rian mendapat hadiah sebuah handycam dari sang ibu. Dengan handycam itu, tiga sahabat itu pun merekam pengalaman sehari-hari mereka di pesantren. Bukan hanya pada handycam, Rian pun berkenalan dengan seorang pemutar layar tancap, yang diperankan Butet Kertarajasa, di pasar malam (tempat Donna Satelit manggung). Dengan penuh semangat, Rian menumpahkan semua ketertarikannya pada pemilik layar tancap itu. Bahkan, Rian sendiri sempat menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam rombongan ketika lulus dari pesantren kelak.

Lantas, kira-kira apa yang ingin disampaikan Nurman Hakim dari drama obsesi tokoh Rian ini? Andai saja penonton awam mau berpikir sedikit lebih kritis, pastilah bakal menangkap pesan seputar menyikapi globalisme dari tokoh ini. Kenapa handycam harus diharamkan (dari adegannya di film)? Kenapa sinema harus diharamkan? Kenapa bioskop harus diharamkan? Apakah alasannya hanya karena hal-hal tersebut berbau-bau Amerika? Berbau-bau Barat? Begitulah kira-kira pesan yang dibebankan pada tokoh video-holic ini.

Kritik Tentang Pemahaman Terorisme

Syahid, tokoh ketiga yang diperankan Yoga Bagus. Seperti namanya Syahid (yang diambil dari kata mati syahid), tokoh ini merupakan tokoh kontras dari tokoh Rian tadi. Pendiam. Anti terhadap hal-hal yang tidak Islami. Nurman Hakim sendiri tidak serta merta berat sebelah dalam membahas masalah-masalah terorisme melalui kacamata Syahid ini. Beliau, dengan cukup pintar, malahan melayangkan kritiknya pada dua pihak sekaligus: pihak yang menuding semua Islam adalah teroris sekaligus pihak teroris.

Terlibat kemiskinan merupakan alasan utama tokoh Syahid untuk kemudian menjerumukan diri pada dunia terorisme. Tokoh-tokoh dililit kemiskinan seperti Syahid ini memang rentan terjatuh pada dunia-dunia terorisme, setidaknya begitulah yang terjadi di Indonesia. Apalagi kebencian ekstrim Syahid terhadap kaum-kaum non-Islam menjadi nilai jual tersendiri bagi terorisme. Tanah bapaknya yang dibeli murah oleh orang Amerika malah memperparah kebencian Syahid terhadap umat-umat kafir. Tetapi pemahaman moral Syahid ahirnya diuji ketika orang Amerika, yang membeli tanahnya itu, malahan melunasi semua biaya pengobatan. Lantas apa tindakan yang dilakukan Syahid ketika mendapati fakta itu? Mungkin sebaiknya silahkan disimak sendiri di film. Mungkin lebih baik tanyakan kembali pada diri masing-masing dilema yang dihadapi Syahid itu.

Tetek Bengek Lainnya

Selain tiga fokus utama itu, tentu ada spicing-spicing lain yang ditabur Nurman Hakim di film ini. Ada menu utama, ada bumbu pastinya. Hakikatnya, bumbu ini ibarat cabai atau garam yang tidak bakal nikmat bila terlalu sedikit dan tidak akan sedap bila berlebihan. Untungnya, bumbu-bumbu yang ditabur di film ini tidak melenceng dan dapat disatukan dengan baik oleh Nurman Hakim. Salah satunya yang menarik perhatian saya: isu homoseksual dan poligami, meskipun hanya dibahas sekilas karena cuma berposisi sebagai bumbu.

Penampilan ketiga pemain yang memerankan ketiga tokoh itu pun bisa dibilang pas. Saya bahakn memberi ekstra applause pada Yoga Pratama yang memerankan Rian dengan cukup sempurna.

Satu kritik kecil. Entah bagaimana ceritanya, mungkin hanya trik pemasaran pihak produser, kenapa poster film ini harus menampilkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Sekalipun itu trik pemasaran, tentu hasilnya malah menimbulkan ekspektasi menyimpang dari tema sebenarnya (dan saya pun merasakannya sebelum menonton film ini). Padahal kalau ditilik, Dian Sastro hanyalah pemeran pembantu di film ini.

Sangat disayangkan, film bermutu seperti ini malah tertutup esensinya di mata penonton awam hanya karena trik pemasaran itu. Apakah ini menegaskan bahwa pada film bermutu sekalipun, nilai komersil masih harus dikejar-kejar?

FILM 3 DOA 3 CINTA DAN BOM MARRIOTJuly 18, 2009 by Agamfat Bookmark the permalink.Tak dinyana, sebagian penjelasan sosiologis mengapa orang mau membawa bom bunuh diri, seperti pengeboman Marriot, ada di film 3 Doa 3 Cinta yang baru saya beli minggu lalu.

Film ini bercerita tentang 3 sekawan santri di pondok pesantren tradisional di Yogya. Huda dimainkan oleh Nicholas Saputra berdoa agar segera dapat mencari ibunya di Jakarta selepas lulus. Tokoh kedua, Rian, ingin meneruskan usaha bapaknya dengan membuka kembali studio foto dan video kampung. Tokoh ketiga, Sahid yang suka mengikuti berita Palestina, ingin mati sahid setelah mengikuti pengajian gelap radikal. Cerita memang tidak khusus mengikuti Sahid, karena film ini membagi perhatian ke ketiga orang di atas, dengan prioritas pada Huda.

Diceritakan kiai pondok yang gelisah karena belum mendapat anak lelaki untuk meneruskan pondoknya. Sempat tergoda untuk kawin lagi, tapi akhirnya memantapkan diri dengan memilih Huda, sang santri pintar dan baik budi, sebagai menantu.

Ini sejalan dengan disertasi mantan Rektor IAIN Semarang, Zamakhsari Dhofier, mengenai kehidupan di pesantren dan proses pewarisan pondok melalui kawin mawin antara satu kiai dengan kiai lain, atau dengan santri terbaiknya (Sarwo Edhie Wibowo sebagai Gubernur Akabri juga melakukan hal yang sama).

Berbeda dengan film islami romantis sebangsa Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih, yang menurut Eric Sasono memilih setting di Mesir karena bisa steril dari kehidupan riil umat Islam, seperti kebodohan, kemiskinan, terorisme, radikalisme, kebobrokan pondok, film ini, juga seperti Perempuan Berkalung Sorban, justru ingin mengangkat persoalan-persoalan riil tersebut.

Salah satunya adalah pendidikan model sorogan, model pengajaran pesantren tradisional, dimana kiai mengajar di masjid dengan kurikulum yang hanya kiai itu yang tahu, dengan sistem ujian yang sangat personal, semuanya tergantung pada wit & wisdom dari kiai. Sorogan ini biasanya mengajarkan kitab kuning yang berasal dari abad pertengahan dulu, ditulis dalam bahasa arab atau tulisan Jawi (bahasa jawa atau melayu, tulisan arab). Reformasi pendidikan Islam yang di awakan kiai Ahmad Dahlan adalah mengadopsi sistem klasikal modern dari Belanda. Pondok dibuat berjenjang sesuai dengan sistem pendidikan modern (6 tahun pendidikan dasar, 6 tahun pendidikan menengah) agar transmisi ilmu berlangsung dengan terarah. Saat ini hampir semua pondok sudah menganut sistem klasikal, tapi masih banyak pondok kecil yang masih model tradisional sorogan.

Pondok modern dan tradisional dahulu memang berbeda dari isi yang diajarkan. Pondok modern dulu mengajarkan warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, bahwa kebangkitan Islam dapat diraih dengan meraih ilmu pengetahuan dengan kembali ke dasar dan merujuk langsung ke Quran dan Hadis. Hanya saja, sejarah menunjukkan bahwa reformasi pemikiran Islam ini bercabang dua, satu ke arah neomodernisme Islam yang didukung oleh pemikiran sebangsa Ismail R Alfaruqi, Nurcholis Madjid, Gus Dur, Kuntowijoyo, buya Syafii Maarif. Mereka berpandangan bahwa kebangkitan Islam itu sejalan dengan modernisme kehidupan. Demokrasi dan konsep-konsep modern lainnya, seperti penghormatan terhadap perempuan dan koeksistensi antar umat, itu sesuai dengan ajaran dasar agama Islam. Apa itu? Menurut Kuntowijoyo, tiap orang, kelompok, ilmu, terutama Ilmu Sosial membawa misi profetik (kenabian), secara bebas 1) Humanisasi, amar makruf, menyeru kebaikan dan bahwa tiap manusia itu merupakan manusia yang sama dihadapan Penciptanya. Mereka punya hak-hak yang tak bisa dipisahkan dari kodrat sebagai manusia, seperti hak hidup layak, hak berkembang dari segi pendidikan, dsb. 2) Liberasi, pembebasan, dimana kebodohan dan kemiskinan harus disingkirkan, serta dan 3) Transedensi, semuanya berlandaskan pada keimanan.

Huda maupun romo kiai digambarkan berada dalam kelompok ini. Dalam akhir cerita, Huda menjadi pemimpin pondok, dan mengajarkan humanisasi, liberasi dan transendensi dalam bahasa awam ke santrinya.

Cabang kedua yang berinduk dari Abduh adalah mereka yang percaya bahwa kebangkitan Islam bisa dicapai dengan kembali ke dasar/fondasi, Quran dan Hadis. Bedanya mereka melihat bahwa keterpurukan umat Islam ini dalam world view yang khas sangat teori konspirasi, bahwa Yahudi dan Amerika bertanggung jawab atas kemunduran umat. Pemikiran ini pada diadopsi dengan berbagai tingkatan oleh kelompok semacam Ikhwanul Muslimin (PKS di Indonesia), HTI, juga Abu Bakar Baasyir. Pada level yang ekstrem, ini digamvarkan di film dimana Syahid mengikuti pengajian rahasia yang kebencian atas Yahudi selalu diperdengarkan, dan jihad dengan bom adalah salah satu solusi. Syahid yang ingin mati sahid dan suka memakai simbol-simbol Arab, sempat ingin mengambil jalan pintas ke surga dengan (secara implisit) berjihad bom bunuh diri. Tetapi ketika melihat bahwa ada bule yang baik hati, melunasi biaya rumahsakit bapaknya, jadi goyah keyakinan jalan pintas itu.

Apakah pengebom bunuh diri Marriot-Carlton ini mengalami hal yang sama? Beberapa tahun lalu saya pernah mengikuti diskusi dan membaca riset-riset Sydney Jones, pengamat HAM Indonesia dan dewasa ini meneliti radikalisme kelompok jihad di Indonesia. Sydney ini sungguh menarik. Akhir tahun 70-an dia membela dan berkampanye secata internasional agar Abu Bakar Baasyir dkk mendapatkan pengadilan yang adil ketika Orba sangat kuat. Dia mengumpulkan dokumen, termasuk BAP dan dokumentasi persidangan hampir 30 tahun lalu. Ketika bom mulai marak sejak 2000-an, Sydney adalah orang pertama dengan pengetahuan mendalam mengenai Abu Bakar Baasyir dan alumni Afghanistan dan menguak jaringan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Polisi pun menaruh hormat pada Sydney. Saya kira pengamat abal-abal semacam Rohan Gunaratna dari Singapura tidak pernah terjun langsung ke berbagai markas polisi, mewawancarai yang ditangkap, penangkap dan petinggi polisi. Kemarin Sydney berkeyakinan dengan melihat informasi awal dan pola teror, bahwa teroris Marriot-Carlton ini masih bagian dari jaringan JI faksi Noordin M Top. Tentu sangat berbeda dengan Bapak Lanjutkan yang curhat bahwa pengebom adalah capres/cawapres kalah.

Dalam beberapa risetnya, Sydney atau ICG memaparkan bahwa rekrutmen jihadis atau islamis ini masih berlangsung secara klandestin. Seperti model hubungan kekeluargaan antar kiai di pesantren, jihadis ini juga saling mengikat diri melalui hubungan perkawinan.

Kembali ke film, dibalik kamar di pondok pesantren seperti pengalaman Emha Ainun Najib, terjadi praktek homoseksual, penghormatan yang berlebihan pada kiai, atau justru mendudukkan kiai pada tempatnya? Diceritakan ketika habis kelas tafsir, salah satu murid segera berlari ke depan agar sandal sang kiai yang tadinya menghadap ke masjid, dibalik menjadi menghadap ke arah jalan.

Film ini memang belum sempurna. Plotnya kadang membosankan. Sudah bermalam-malam saya ketiduran ketika menontonnya, tapi dengan adanya pengeboman Marriot-Carlton yang bukti awal menunjukkan jaringan Noordin M Top, film ini menemukan raison detre, bahwa Islam itu adalah rahmat. Islam itu mengajarkan humanisasi, liberasi dan transendensi. Islam itu bukan pengeboman. Islam itu tidak anti modernisme. Huda bahkan sempat menaksir Dona penyanyi dangdut dimainkan Dian Sastro. Bahwa penyanyi dangdut kelas Sekaten juga punya hak hidup. Islam bukan sekedar sekolah ke Mesir dan kemudian kawin dengan anak orang kaya.

3