2d244d85f6fc22c8b9451fcfa0bfd01a

download 2d244d85f6fc22c8b9451fcfa0bfd01a

of 13

description

UMUM

Transcript of 2d244d85f6fc22c8b9451fcfa0bfd01a

  • 1

    TINDAKAN HIPNOTERAPI DOKTER DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA

    THE CRIMINAL ASPECT OF MEDICAL HYPNOTHERAPY

    A. Anggrainy,1 Andi Sofyan,2 Muhadar,2

    1 Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

    Alamat Korespondensi : A. Anggrainy Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 082188344084 Email : [email protected]

  • 2

    Abstrak

    Penelitian ini berlatarbelakang tentang penyelenggaraan hipnoterapi dokter yang dikaitkan dengan dunia hukum kesehatan. Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami (1) tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan (2) pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Penelitian ini dilaksanakan di Makassar. Penelitian ini menyangkut tindakan hipnoterapi yang dilakukan oleh dokter dalam pelayanan medis. Penelitian difokuskan pada klinik atau praktik pribadi dokter. Metode yang digunakan adalah survei lapangan dengan mewawancarai dua puluh satu orang dokter yang terdiri dari dokter umum, dokter spesialis anastesi, dokter spesialis jiwa, dokter spesialis saraf dan dokter gigi. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan disajikan secara deskriptif yaitu mengguraikan kenyatan yang ada berdasarkan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan hipnoterapi merupakan tindakan yang memiliki dampak yang berisiko tinggi terhadap tubuh pasien, sehingga ada beberapa tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu tindakan hipnoterapi yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dan/atau keluarga pasien, tindakan hipnoterapi yang dilakukan terhadap pasien skizofrenia, tindakan hipnoterapi yang mengakibatkan over dosis obat setelah terapi dan penggunaan anestesi mental yang tidak tepat saat terapi. Tanggung jawab profesi dokter atas tindakan hipnoterapi dalam pelayanan medis akan berimplikasi yuridis jika terbukti adanya kesalahan/kelalaian, hubungan batin antara pelaku dan perbuatan dan tidak adanya alasan pemaaf atau alasan penghapusan pidana. Kata Kunci : Hipnoterapi Dokter, Hukum Pidana Abstract

    The background research on the administration of hypnotherapy physycian associated with health law. The aims of the research are to understand (1) hypnotherapy action categorized as criminal action, and (2) criminal responsibility on hypnotherapy action that can be accounted for criminally. The research was conducted in Makassar City concerning with hypnotherapy action done by doctors in giving medical services, so it was focused on clinic or doctors' private practice. The method used was field survey by interviewing 21 doctors consisting of general practitioners, anesthesiologists, psychiatrists, neurologists and dentists. The data were arranged systematically and presented descriptively in order to describe the existing facts based on the results of research in accordance with the problems under research. The result of the research indicate that hypnotherapy action is in an action having high rick impact on patients. Therefore, there are several hypnotherapy actions that can be categorized as criminal action, i.e. hypnotherapy action done without any agreement with patients and/or patients' family (informed consent), hypnotherapy action causing over doze of drugs after therapy, and the use of mental anesthesia which is not appropriate at the time of therapy. The responsibility of doctors' profession on hypnotherapy action in medical services will give juridical implication if in fact, there is a mistake/negligence, psychological contact between actor and action, and there is no forgiveness reason or criminal abolition reason. Keywords : Medical Hypnotherapy, Criminal Aspect

  • 3

    PENDAHULUAN

    Kesehatan merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang secara tegas

    mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

    tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

    memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, hak atas kesehatan adalah hak asasi

    setiap manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai

    dengan tujuan nasional bangsa Indonesia (Kusuma, 2010).

    Jaminan pengakuan hak atas kesehatan secara eksplisit dijelaskan dalam

    Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 yang

    menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk mempertahankan dan

    meningkatkan taraf hidupnya serta berhak untuk hidup tentram, aman, damai,

    sejahtera lahir dan batin.

    Dengan demikian, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

    maka senyatanya diperlukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terpadu.

    Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan setiap dokter dan dokter gigi

    wajib memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan mengacu pada

    Undangundang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Berdasakan pada

    peraturan perundangan-undangan tersebut maka dewasa ini berbagai macam

    upaya dilakukan oleh para dokter dan dokter gigi dalam rangka mencapai

    kesembuhan pasien. Keinginan dokter untuk memberikan pelayanan yang terbaik

    bagi pasien inilah yang melatarbelakangi keinginan mereka untuk menempuh

    teknik penyembuhan melalui Hipnoterapi. Hipnoterapi dapat digunakan untuk

    mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan Pikiran (mind), misalnya

    mengatasi insomnia dengan hipnoterapi dan mengatasi kebiasaan merokok dengan

    hipnoterapi. Terapi dengan hipnoterapi akan bekerja dengan mensugesti pikiran

    bawah sadar manusia (Hakim, 2010).

    Dewasa ini telah berkembang suatu disiplin ilmu baru yaitu Psikologi

    Kesehatan (Lukaningsih, 2011). Psikologi Kesehatan dalam latar belakang sejarah

  • 4

    Psikologi Klinis yang sudah dikenal dengan nama Medical Psychology dan

    sekarang selalu dikaitkan dengan behavioral medicine. Dasar pemikiran Psikologi

    Kesehatan adalah adanya hubungan antara pikiran manusia (mind) dan tubuhnya.

    Di Indonesia, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur

    secara khusus tentang penyelenggaraan praktik hipnoterapi sebagai terapi

    kedokteran komplementer atau pengobatan alternatif. Dengan demikian,

    hipnoterapi diselenggarakan berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan RI

    No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan

    Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Pasal 1 bahwa

    Pengobatan komplementer alternatif adalah pengobatan non konvensional yang

    ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya

    promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan

    terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang

    berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran

    konvensional.

    Selanjutnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa penyelenggaraan pengobatan

    komplementer alternatif bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada

    pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta

    memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan tenaga pengobatan

    komplementer alternatif. Kemudian dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan

    RI No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 dijelaskan bahwa salah satu ruang lingkup

    pengobatan komplementer alternatif adalah intervensi tubuh dan pikiran (mind

    and body interventions) yang merupakan kriteria dari ruang lingkup hipnoterapi.

    Hipnoterapi merupakan suatu kata yang berasal dari kata Hipnosis.

    Hipnosis sendiri berasal dari kata hypnos yang merupakan nama dewa tidur

    orang Yunani. Namun, harus dipahami bahwa kondisi hipnosis tidaklah sama

    dengan tidur. Orang yang sedang tidur tidak menyadari dan tidak bisa mendengar

    suara-suara di sekitarnya. Sedangkan orang dengan kondisi hipnosis, meskipun

    tubuhnya beristirahat (seperti tidur), ia masih bisa mendengar dengan jelas dan

    merespon informasi yang diterimanya (Pangayoman, 2010).

  • 5

    Berbagai penelitian dalam dunia kedokteran telah memberikan bukti

    bahwa tindakan hipnoterapi memiliki berbagai macam manfaat jika

    diimplementasi sebagai tindakan komplementer dari tindakan kedokteran yang

    utama. Diantaranya, penelitian dari para dokter di Harvard menyatakan bahwa

    hipnosis merupakan salah satu praktik penyembuhan yang paling dapat diterima

    dan ampuh untuk mengendalikan segala gangguan psikosomatik dan hasil

    penelitian terakhir telah membuktikan bahwa Hipnosis dapat menginduksi

    relaksasi pada pasien penyakit jantung dan memiliki nilai terapeutik yang dapat

    diukur sehingga terapi hipnosis di Amerika dianggap sebagai terapi kedokteran

    komplementer (Mehmed, 2011).

    Penelitian yang telah dilakukan oleh Bayu Hendriyanto untuk melihat

    pengaruh hipnoterapi terhadap tingkat stress mahasiswa Fakultas Ilmu

    Keperawatan Universitas Padjajaran menyatakan bahwa dari hasil penelitian yang

    dilakukan menunjukkan bahwa penurunan tingkat stress terbukti, yaitu dari

    persentase tingkat stress normal setelah dilakukan hipnoterapi yaitu sebanyak 16

    responden (53,33%) dari 0 responden (0%) pada tingkat stress normal sebelum

    dilakukan hipnoterapi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Mei 15 Juni

    2012. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna

    antara penggunaan hipnoterapi terhadap tingkat stress. Oleh karena, hipnosis

    mampu menurunkan hormon ACTH yang merupakan hormon stress sehingga

    penurunannya menyebabkan seseorang menjadi rileks dan tenang (Hendriyanto,

    2012).

    Namun adanya realitas yang diungkapkan melalui situs online kompasiana

    menyatakan bahwa hipnoterapi dapat berdampak negatif yaitu terjadinya panic

    attack yang hampir tidak dapat dikendalikan terhadap pasien tersebut setelah

    mendapatkan direct suggestion post hipnoterapi (Andri, 2012). Dampak negatif

    yang ditimbulkan senyatanya membawa pengaruh yang bersinggungan dengan

    dunia hukum kesehatan sehingga diperlukan pengkajian mendalam dan spesifik

    terhadap pembatasan tindakan hipnoterapi. Tujuan penelitian ini adalah

  • 6

    mengetahui tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

    dan juga mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi

    yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

    METODE PENELITIAN

    Lokasi dan Jenis Penelitian

    Lokasi penelitian data empiris dilakukan di wilayah Kota Makassar

    sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris atau

    sosiologis dengan menggunakan studi kasus berupa perilaku hukum masyarakat

    yang menekankan pada langkah-langkah observasi dan analisis yang bersifat

    empiris kualitatif (sociolegal research).

    Responden Penelitian

    Responden penelitian dalam penelitian ini adalah sebanyak 21 orang

    dokter yang menggunakan hipnoterapi sebagai terapi alternatif komplementer

    secara legal dan berpraktik di Kota Makassar. Responden penelitian terdiri dari

    dokter umum, dokter spesialis anastesi, dokter spesialis jiwa, dokter spesialis saraf

    dan dokter gigi yang telah mengikuti pelatihan hipnosis dan telah memperoleh

    sertifikasi dari suatu organisasi profesi praktisi hipnoterapis di Indonesia serta

    telah menerapkan teknik hipnoterapi sebagai terapi alternatif komplementer

    kedokteran secara legal dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap

    pasien/klien.

    Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan cara

    interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara

    mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas

    terpimpin.

    Analisis Data

    Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara menguraikan

    atau memaparkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, lalu

  • 7

    diinterpretasikan secara sistematis dengan persoalan yang ada sebagai kesimpulan

    yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

    HASIL

    Dasar Kewenangan

    Dasar penyelenggaraan praktik hipnoterapi dokter yaitu : Undang-Undang

    No.29 Thn 2004 Tentang Praktik kedokteran, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal

    79. Undang-Undang No.36 thn 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 1, Pasal 144 ayat

    (1) dan (2). PERMENKES RI No.1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang

    Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan

    Kesehatan, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1) dan (2).

    Persetujuan Tindakan Kedokteran

    Sebanyak 21 responden (100%) menyatakan bahwa sebelum melakukan

    tindakan hipnoterapi maka setiap dokter meminta persetujuan dari pasien dan/atau

    keluarga pasien.

    Bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran

    Sebanyak 18 responden (85,7%) menyatakan bahwa persetujuan tindakan

    hipnoterapi yang digunakan adalah dalam bentuk lisan dengan menggunakan

    bahasa yang sempurna sedangkan 3 responden (14,3%) lainnya menyatakan

    bahwa persetujuan tindakan hipnoterapi yang digunakan adalah dalam bentuk

    bahasa isyarat misalnya anggukan kepala dari pasien.

    Hipnoterapi Tanpa Persetujuan Pasien

    Sebanyak 15 responden (71,4%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi

    dapat dilakukan tanpa persetujuan pasein sedangkan 6 responden (28,6%) lainnya

    menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan

    dari pasien.

    Resiko Tindakan Hipnoterapi

    Sebanyak 19 responden (90,5%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi

    memiliki dampak yang berisiko tinggi terhadap pasien sedangkan 2 responden

    (9,5%) lainnya menyatakan tidak berisiko terhadap pasien.

    Malpraktik Hipnoterapi

  • 8

    Sebanyak 19 responden (90,5%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi

    dapat berakibat malpraktik dan 2 responden (9,5%) lainnya menyatakan tidak.

    Kontraindikasi Hipnoterapi

    Sebanyak 17 responden (80,9%) menyatakan bahwa ada penyakit tertentu

    yang merupakan kontraindikasi terhadap dilakukannya suatu tindakan hipnoterapi

    sedangkan ada 4 responden (19,1%) menyatakan bahwa tidak ada kontraindikasi

    terhadap tindakan hipnoterapi.

    PEMBAHASAN

    Penelitian ini menunjukkan bahwa harus dilakukan pembatasan-

    pembatasan terhadap penyelenggaraan tindakan hipnoterapi dikarenakan ada

    beberapa tindakan hipnoterapi yang dapat memenuhi indikator tindak pidana

    jikalau dilakukan tanpa pembatasan dan regulasi yang jelas. Senyatanya,

    hipnoterapi dapat dilakukan oleh dokter tanpa sepengetahuan pasien dikarenakan

    adanya nilai kepercayaan (trust) terhadap dokter. Tindakan ini merupakan suatu

    jenis kesengajaan dan pelanggaran dalam KUHP. Dengan demikian, setiap

    tindakan hipnoterapi yang akan dilakukan oleh dokter harus diawali dengan

    informed consent yang merupakan suatu bentuk persetujuan dari pihak dokter

    dan/atau keluarga pasien setelah menerima penjelasan tentang dampak positif dan

    negatif dari tindakan tersebut. Selain itu, Permenkes No.

    290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Pasal 3

    ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran yang berisiko tinggi

    harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pihak pasien.

    Adapun dampak negatif dari tindakan hipnoterapi adalah terjadinya

    manipulasi pikiran atau false memory yang terkait dengan indikator kategori

    tindak pidana yang kedua yaitu adanya perlakuan medis yang menyimpang. Oleh

    karena, tindakan hipnoterapi diharapkan dapat memberikan kesembuhan terhadap

    pasien tetapi jika pemberian sugesti berdampak memanipulasi pikiran pasien

    maka tindakan ini dikatakan sebagai perlakuan medis yang menyimpang sebab

    berdampak terhadap kejiwaan dan pikiran pasien.

  • 9

    Selain itu, tindakan hipnoterapi yang tidak benar dapat menimbulkan

    beberapa resiko malpraktik, diantaranya overdosis obat setelah hipnoterapi dan

    penggunaan anastesi mental yang tidak tepat serta tindakan hipnoterapi

    senyatanya memiliki kontraindikasi perawatan terhadap pasien dengan diagnosa

    skizofrenia dan pasien dengan gangguan mental sehingga jika dokter tetap

    melakukan perawatan terhadap pasien yang merupakan kontraindikasi dari

    tindakan tersebut dan menjanjikan kesembuhan seperti kesembuhan terhadap

    pasien psikosomatik maka perbuatan ini dikatakan malpraktik

    Dari hasil penelitian pada bagian sebelumnya dapat dilihat bahwa kasus

    yang pernah ditemui dokter adalah ada kasus penggunaan anastesi mental yang

    tidak tepat sehingga menyebabkan seorang pasien mengalami keparahan dislokasi

    tulang, yang seharusnya pasien tersebut harus menjalani terapi reposisi tulang

    terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan hipnoterapi untuk membantu

    menghilangkan rasa sakitnya.

    Khusus untuk profesi kedokteran maka standar profesi medis, standar

    pelayanan kesehatan, serta standar operasional prosedur harus mendapat perhatian

    yang lebih serius. Dikarenakan, kealpaan atau kelalaian dalam melaksanakan

    pelayanan kesehatan, tolak ukur utamanya adalah dipenuhi atau tidaknya standar-

    standar dimaksud (Yunanto, 2010).

    Dengan demikian, penyelenggaraan tindakan hipnoterapi dokter yang

    bertalian dengan indikator-indikator pengkategorian tindakan pidana antara lain

    adanya kesengajaan, adanya perilaku medis yang menyimpang serta adanya

    kelalaian besar terhadap tubuh dan nyawa. Dalam KUHP beberapa pasal yang

    terkait dengan ketiga indikator tersebut yaitu Pasal 55 KUHP yang berkaitan

    dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, Pasal 89 KUHP yang

    menyebutkan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan

    dengan menggunakan tindakan kekerasan, Pasal 90 KUHP yang menyebutkan

    bahwa salah satu yang dimaksud luka berat dalam KUHP adalah terganggunya

    daya pikir seseorang lebih dari empat minggu, Pasal 289 KUHP yang

    menyebutkan tentang ancaman pidana penjara sembilan tahun terhadap seseorang

  • 10

    yang melakukan kekerasan atau memaksa melakukan kekerasan yang menyerang

    kehormatan kesusilaan, Pasal 290 KUHP yang menyebutkan tentang ancaman

    pidana penjara tujuh tahun bagi seseorang yang melakukan perbuatan asusila

    terhadap seseorang yang diketahui pingsan atau tidak berdaya, Pasal 335 KUHP

    yang berkaitan dengan ancaman pidana penjara satu tahun terhadap seseorang

    yang secara melawan hukum melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain,

    Pasal 359 KUHP yang menyebutkan tentang ancaman pidana penjara lima tahun

    atau kurungan paling lama satu tahun terhadap seseorang yang melakukan suatu

    kealpaan sehingga menyebabkan matinya orang lain, Pasal 360 KUHP ayat 1

    menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan

    paling lama satu tahun terhadap seseorang yang karena kealpaannya menyebabkan

    orang lain mendapat luka-luka berat, Pasal 360 ayat 2 menyebutkan ancaman

    pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan

    terhadap seseorang yang menyebabkan orang lain luka-luka sehingga

    menimbulkan penyakit lain yang menjadi halangan menjalankan jabatan atau

    pencahariannya selama waktu tertentu serta Pasal 361 KUHP yang menerangkan

    bahwa pidana ditambah dengan sepertiga jika tindakan pidana kejahatan yang

    dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dan yang bersalah

    dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian.

    Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara tindak pidana biasa

    dengan tindak pidana medis. Oleh karena dalam tindak pidana biasa yang perlu

    diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan untuk perbuatan/tindak pidana medis

    adalah penyebabnya. Maka, walaupun berakibat fatal, namun bila tidak didapati

    adanya kesalahan yaitu unsur kelalaian atau kealpaan yang berkaitan dengan

    profesi kedokteran, maka dokter tidak dapat dituntut (Machmud, 2012).

    Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat,

    dalam perkembangan dunia kedokteran muncul permasalahan

    pertanggungjawaban pidana dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian yang

    didasarkan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana (Wahjoepramono,

    2012). Pertanggungjawaban pidana timbul jika perbuatan tersebut dapat

  • 11

    dibuktikan adanya unsur kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam

    diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atan perawatan. Dari segi

    hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkaitan dengan sifat melawan

    hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung

    jawab (Wiyanto, 2012).

    Dengan demikian, kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan

    mentalitas psikis dan kematangan yang mengarahkan pemikiran pada adanya tiga

    kemampuan penilaian yaitu mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibat dari

    perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya tersebut tidak

    diperbolehkan dalam kehidupan bermasyarakat, serta mampu untuk menentukan

    kehendaknya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sehubungan dengan

    itu maka dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak menurut

    hukum, ada 3 faktor indikator penentu yaitu pelaku menyadari atau tidak

    menyadari perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang dilarang oleh

    undang-undang dan adanya hubungan batin antara pelaku dan perbuatan yang

    dilakukan yaitu berupa dolus atau culpa, serta tidak adanya alasan pemaaf

    (Isfandyarie, 2006).

    Di Indonesia, masalah pertanggungjwaban hukum pidana seorang dokter

    diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum yang ditimbulkan

    oleh kesengajaan maupun kealpaan/kelalaian. Untuk pertanggungjawaban pidana

    terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,

    maka penegak hukum harus dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas

    antara kelalaian dokter atau unprofessional conduct dengan kerugian yang

    ditimbulkan oleh perbuatan dokter atau institusi kepada pasien. Oleh karena,

    dalam peradilan pidana, unsur sifat melawan hukum harus dapat dibuktikan secara

    formil dan materill, dapat diperkuat atau diperlemah oleh suatu perbuatan yang

    juga melanggar peraturan disiplin atau etik sekaligus.

    KESIMPULAN DAN SARAN

  • 12

    Tindakan hipnoterapi merupakan tindakan yang memiliki dampak yang

    beresiko tinggi terhadap tubuh pasien, sehingga ada beberapa tindakan hipnoterapi

    dokter yang bertalian dengan indikator-indikator pengkategorian tindakan pidana.

    Diantaranya indikator kesengajaan terhadap tindakan hipnoterapi yang dilakukan

    tanpa adanya persetujuan dari pihak pasien dan/atau keluarga pasien, indikator

    perlakuan medis yang menyimpang terhadap tindakan hipnoterapi yang

    mengakibatkan terjadinya manipulasi pikiran terhadap pasien dan tindakan

    hipnoterapi yang melanggar norma kesusilaan serta indikator kelalaian besar

    terhadap kesehatan tubuh dan nyawa yaitu tindakan hipnoterapi yang

    menimbulkan resiko overdosis obat setelah hipnoterapi, penggunaan hipnoterapi

    sebagai anestesi mental yang tidak tepat serta tindakan hipnoterapi terhadap

    pasien skizofrenia atau gangguan mental bawaan dengan jaminan kesembuhan.

    Untuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat

    dikategorikan sebagai tindak pidana, maka penegak hukum harus dapat

    membuktikan adanya hubungan kausalitas antara kelalaian dokter atau

    unprofessional conduct dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan dokter

    atau institusi kepada pasien. Adapun beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu

    dokter menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang

    dilarang dan bertentangan dengan undang-undang, adanya hubungan batin antara

    pelaku dan perbuatan yang dilakukan yaitu berupa dolus atau culpa, Tidak

    adanya alasan penghapusan pidana atau alasan pemaaf. Dengan demikian,

    disarankan perlunya regulasi yang jelas tentang tindakan hipnoterapi secara

    khusus sehingga semua pihak mengerti batasan-batasan tindakan hipnoterapi yang

    diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia dan juga

    sebaiknya sebelum menerapkan teknik hipnoterapi membuat persetujuan tindakan

    kedokteran yang disertai dengan kesepakatan isi sugesti yang akan diberikan

    kepada pasien.

    DAFTAR PUSTAKA

  • 13

    Andri. (2012). Hipnoterapis, Bukan Dokter Tapi Resepkan Obat, Kompasiana.com,http://www/health.kompas.com/read/2012/09/27Hipnoterapis.Bukan.Dokter.Tapi.Resepkan.Obat/. Jakarta.

    Hakim, Andri. (2010). Hipnoterapi : Cara Tepat Mengatasi Stress, Fobis, Trauma dan Gangguan Mental Lainnya. Cet. I. PT.Transmedia Pustaka. Jakarta.

    Hendriyanto, Bayu. (2012). Pengaruh Hipnoterapi Terhadap Tingkat Stress Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran. Jurnal UNPAD, Vol.1 No. 1. http://www.journals.unpad.ac.id/ejournal/article/view/ 715. Bandung. Isfandyarie, Anny; Afandi, Fachrizal. (2006). Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Dokter Buku Ke II. PT. Prestasi Pustaka. Jakarta. Kusuma, Nelman. (2010). Postur Sehat dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Hukum Amanagappa. Vol. 18. No.4. Lukaningsih, Zuyina Luk; Bandiyah, Sitti. (2011). Psikologi Kesehatan. Cet. I. Nuha Medika. Yogyakarta. Machmud, Syahrul. (2012). Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Cet.I. Karya Putra Darwati. Bandung. Mehmet, C Oz. (2011). Healing From The Heart. Cetakan I. PT. Mizan Media Utama. Bandung. Pangayoman, Samudra. (2010). 3 Hari Master Hipnotis Paling Andal. Cetakan I. PT. Pustaka Araska Media Utama. Yogyakarta. Wahjoepramono, Eka Julianta. (2012). Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik. Karya Putra Darwati. Bandung. Wiyanto, Roni. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung. Yunanto, Adi; Helmi. (2010). Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal. Ed.I. CV. Andi Offset. Yogyakarta.