29050S (1)

73
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT. 29050/PP/M.III/13/2011 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak : Januari sampai dengan Desember 2006 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi materi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Positif Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas bunga pinjaman dari Goederhand Finance BV sebesar Rp.1.868.840.080,00. Menurut Terbanding : bahwa Pasal 26 ayat (1) huruf b UU PPh antara lain mengatur bahwa atas penghasilan berupa bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Pemohon Banding luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan; bahwa berdasarkan Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda antara lain diatur hal-hal sebagai berikut: ayat (1), Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya. ayat (2), Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dan jumlah bruto bunga. ayat (4), Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara Iainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu

description

aa

Transcript of 29050S (1)

Page 1: 29050S (1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT. 29050/PP/M.III/13/2011

Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26

Masa Pajak : Januari sampai dengan Desember 2006

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi materi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Positif Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas bunga pinjaman dari Goederhand Finance BV sebesar Rp.1.868.840.080,00.

Menurut Terbanding :

bahwa Pasal 26 ayat (1) huruf b UU PPh antara lain mengatur bahwa atas penghasilan berupa bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Pemohon Banding luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan;

bahwa berdasarkan Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:

ayat (1), Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya.

ayat (2), Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dan jumlah bruto bunga.

ayat (4), Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara Iainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan.

ayat (5), Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3), dan (4).

bahwa dalam Surat Edaran Terbanding nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 mengenai "Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pasal 11 tentang Bunga pada P3B antara Indonesia dengan Belanda" antara lain ditegaskan beberapa hal sebagai berikut:

Butir 1, terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tatacara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan;

Page 2: 29050S (1)

Butir 2, terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu bahwa Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumah bruto bunga yang dibayarkan;

bahwa dokumen-dokumen yang diberikan Pemohon Banding dalam rangka penelitian keberatan atas koreksi pembayaran bunga kepada Goedehand Finance BV terdiri atas:

- Perjanjian pinjaman (loan agreement) antara Pemohon Banding dan Goederhand Finance BV

- Fotokopi Surat Keterangan Domisili (COD) a.n. Goederhand Finance BV.

- Bukti pembayaran bunga ke Goederhand Finance BV atas bunga yang dibebankan dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2006

bahwa berdasarkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atas nama Goederhand Finance BV yang diterbitkan oleh Tax Administration Amsterdam/Belastingdienst Amsterdam tertanggal 18 Januari 2006 diketahui bahwa:

Goederhand Finance B.V.Amsteldijk 1661079 LH Amsterdam

adalah penduduk/resident Belanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 P3B Indonesia-Belanda.

a pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

bahwa hal-hal yang berkaitan dengan loan agreement (Facility Agreement) antara Pemohon Banding dan Goederhand Finance BV adalah sebagai berikut:

1) bahwa loan agreement (Facility Agreement) tanggal 31 Oktober 2006, jumlah pinjaman sebesar USD 25.000.000 dengan tanggal jatuh tempo 26 Desember 2009;

2) bahwa klausul pendahuluan sebagaimana yang dikemukakan pada masing-masing agreement tersebut di atas adalah:

"This Agreement dated -- --- is made between:

1. GOEDERHAND FINANCE B.V., a private limited liability company organized and existing under the laws of Netherlands, with its principal place of business in Amsterdam, (the "Lender'); and

2. Pemohon Banding, a corporation organised and existing under the laws of the Republic of Indonesia, with its principal place of business in Jakarta (the "Borrower')

3) bahwa klausul pada butir 6.1 (Interest Rate) sebagaimana yang dikemukakan pada masing-masing agreement tersebut di atas adalah:

Page 3: 29050S (1)

"The Borrower shall pay interest on each loan from its utilization date at rate of 8% per annum."

4) bahwa klausul pada butir 7.1 (Repayment) sebagaimana yang dikemukakan pada masing-masing agreement tersebut di atas adalah:

"The borrower shall repay the loans in full on 26 Desember 2009"

5) bahwa klausul butir 8 (Payments) sebagaimana yang dikemukakan pada masingmasing agreement tersebut di atas adalah:

"All payments by the borrower hereunder shall be made without set-off or counterclaim and free and clear of and without deduction or withholding for or on account of any tax of any jurisdiction to account no. 2-239-002113 with PT Bank Internasional Indonesia, Mauritius Branch or such other banks as the Lender shall nominate from time to time".

Berdasarkan Catatan atas Laporan Keuangan Pemohon Banding Tahun 2006 yang telah diaudit oleh auditor Independen Tanubrata Yogi Sibarani Hananta, antara lain dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

1) Butir 15

Modal dasar Pemohon Banding yang telah ditempatkan dan disetor penuh oleh para pemegang saham, adalah sebagai berikut:

Pemegang Saham LembarSaham

NominalRp %

PT X 46.499 46.499.000.000 99,99PT Y 1 1.000 0,01Jumlah 46.500 46.499.001.000 100,00

2) Butir 22

Beban Bunga atas pinjaman dari Goederhand Finance BV pada tahun 2006 sebesar Rp 1.868.840.080,0

3) Butir 24Wajib Pajak bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa salah satunya adalah Goederhand Finance B.V.

bahwa dengan demikian, diketahui bahwa beban bunga Pemohon Banding sebesar Rp 1.868.840.080,00 adalah bunga atas pinjaman yang diperoleh Pemohon Banding dari Goederhand Finance BV, dimana Goederhand Finance BV mempunyai hubungan istimewa dengan Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan bukti transfer (transfer application) pembayaran oleh Pemohon Banding kepada Goederhand Finance BV, masing-masing transfer ditujukan kepada:

Goederhand Finance BVStandard Chartered Bank,at. 3582-036023-001For Account of: Bll, MauritiusAc: 2-239-002113

bahwa melalui surat Kepala Kantor Wilayah Terbanding Wajib Pajak Besar nomor S-727/WPJ.19/2007 tanggal 5 September 2007 hal Permintaan Konfirmasi telah dilakukan permintaan data atau keterangan kepada otoritas perpajakan Belanda melalui Direktorat Peraturan Perpajakan Terbanding (terkait dengan pengajuan keberatan PT Sawit Mas Sejahtera Tahun Pajak 2005), dan surat nomor S-945/WPJ.19/2008 tanggal 20 November 2008 hal

Page 4: 29050S (1)

Permintaan Konfirmasi Kedua, sebagai tindak lanjut atas surat permintaan konfirmasi pertama, diminta data atau keterangan yaitu sebagai berikut:

1) Akte Pendirian Goederhand Finance BV

2) Jumlah dan struktur pemegang saham Goederhand Finance B.V.

3) Struktur dewan direksi Goederhand Finance BV.

4) Penjelasan tertulis mengenai substansi usaha Goederhand Finance B

bahwa namun sampai dengan laporan penelitian ini dibuat, belum diperoleh tanggapan/respon dari pihak otoritas perpajakan Belanda;

bahwa sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) dan (5) P3B Indonesia-Belanda, persyaratan untuk tidak dikenakan pajak di negara Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Beneficial owner (pemilik manfaat) bunga merupakan penduduk Belanda; dan

2) Jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan.

3) Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4).

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia – Belanda yang ditegaskan dalam SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005, tata cara pelaksanaan (mode of application) untuk menerapkan Pasal 11 ayat (4) akan dibentuk oleh pejabat yang berwenang dari kedua negara. Sampai dengan saat ini, tata cara pelaksanaan tersebut belum dibuat dan masih dalam proses pembentukan oleh kedua pejabat yang berwenang sehingga penerapan Pasal 11 ayat (4) belum dapat dilakukan;

bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda yang mengatur bahwa pajak atas bunga yang dibayarkan untuk pinjaman yang melebihi jangka waktu 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan, dikenakan di negara tempat pemberi pinjaman berkedudukan, telah menimbulkan multi penafsiran dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan P3B Indonesia – Belanda. Multi penafsiran terhadap Pasal 11 ayat (4) tersebut antara lain menyangkut permasalahan sebagai berikut:

· apakah ketentuan Pasal 11 ayat (4) hanya berlaku terhadap bunga yang dibayarkan setelah jangka waktu 2 (dua) tahun atau pembayaran bunga sejak bulan pertama dibayarkan;

· apakah ketentuan tersebut berlaku terhadap bunga untuk pinjaman yang semula berjangka waktu kurang dari 2 tahun kemudian diperpanjang menjadi lebih dari 2 tahun;

· bagaimana perlakuan terhadap bunga pinjaman yang jangka waktu pinjamannya semula lebih dari 2 tahun tetapi kemudian dilunasi sebelum 2 tahun.

bahwa sementara itu, terbukanya peluang penyalahgunaan Pasal 11 ayat (4) apabila diterapkan tanpa adanya tata cara pelaksanaannya antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:

· Pinjaman luar negeri Wajib Pajak sedapat mungkin dibuat melalui

Page 5: 29050S (1)

perusahaan di Belanda dan akan senantiasa dibentuk untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun sehingga mendapat pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 di Indonesia;

· Pembelian kredit atas perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui perusahaan di negara Belanda meskipun sebenarnya perlengkapan tersebut bukan diproduksi di Belanda.

bahwa untuk menguji apakah atas pembayaran bunga oleh Pemohon Banding kepada Goederhand Finance BV memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat (4) P3B adalah sebagai berikut:

1) bahwa pengujian apakah Goederhand Finance BV merupakan beneficial owner dari bunga tersebut.

a) bahwa berdasarkan bukti transfer pembayaran oleh Pemohon Banding kepada Goederhand Finance BV, diketahui bahwa transfer ditujukan kepada:

Goederhand Finance BVStandard Chartered Bank,at. 3582-036023-001For Account of: B11, MauritiusAc: 2-239-002113

b) bahwa berdasarkan klausul butir 8 (Payments) loan agreement diketahui bahwa pembayaran bunga ditujukan kepada nomor account 2-239-002113 Bank Bll Cabang Mauritius.

c) bahwa berdasarkan butir 24 Catatan atas Laporan Keuangan Wajib Pajak Tahun 2005 yang telah diaudit oleh auditor Independen Tanubrata Yogi Sibarani Hananta diketahui Goederhand Finance BV merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemohon Banding.

d) bahwa tidak dapat dilakukan penelitian lebih lanjut atas kegiatan usaha dan bentuk hubungan istimewa antara Goederhand Finance B.V. dan Pemohon Banding karena belum ada respon/tanggapan dari otoritas perpajakan Belanda dalam rangka exchange of information terkait Goederhand Finance B.V. Data-data dimaksud berupa:

(1) Akte Pendirian Goederhand Finance BV(2) Jumlah dan struktur pemegang saham Goederhand

Finance B.V.(3) Struktur dewan direksi Goederhand Finance B.V(4) Penjelasan substansi usaha Goederhand Finance BV

e) bahwa berdasarkan data dari beberapa artikel di Internet diperoleh beberapa informasi mengenai Goederhand Finance B.V., antara lain:

(1) bahwa Goederhand Finance B.V. adalah suatu perusahaan treasury management (financing company) di Belanda yang dimiliki oleh Golden-Agri Resources (GAR) dengan kepemilikan saham 100% yang di-manage oleh Amaco (Belanda);

(2) bahwa 55% saham Golden Agri Resources dimiliki oleh Asia Food & Properties Ltd. (AFP), suatu perusahaan induk yang antara lain bergerak dalam bidang usaha

Page 6: 29050S (1)

agribisnis;

f) bahwa sesuai butir 17 Catatan atas Laporan Keuangan Wajib Pajak, pemegang saham mayoritas Pemohon Banding adalah PT XX dan PT Z. Berdasarkan laporan Keuangan PT Sawit Mas Sejahtera tahun 2006, diketahui bahwa pemegang saham mayoritas PT Sawit Mas Sejahtera adalah juga PT Y. Dan salah satu pemegang saham Y adalah Golden Agri Resources;

g) bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka tidak dapat diyakini bahwa Goederhand Finance B.V. merupakan beneficial owner atas bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding mengingat Pemohon Banding dan Goederhand Finance B.V. mempunyai hubungan istimewa dan masih minimnya informasi/data yang diperoleh terkait Goederhand Finance B.V;

bahwa pengujian apakah bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;

bahwa pengujian apakah bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun tidak perlu dilakukan karena syarat tersebut belum ada tata cara pelaksanaannya dan syarat pertama bahwa Goederhand Finance B.V. merupakan beneficial owner atas bunga belum terpenuhi;

Menurut Pemohon Banding :

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi obyek PPh Pasal 26 sebesar Rp 1.868.840.080,00 dan pengenaan tarif pajak PPh Pasal 26 sebesar 20% atas pembayaran bunga ke GFBV (Belanda) dengan penjelasan sebagai berikut:

a. bahwa Goederhand Finance B.V (GFBV) adalah perusahaan yang berdomisili di Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili milik Goederhand Finance B.V yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Pemohon Banding juga telah menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisil Goederhand Finance B.V ini kepada Penelaah Keberatan (Asli sudah diperlihatkan);

b. bahwa Pasal 11 ayat (4) mengenai Bunga dalam P3B antara Indonesia dan Belanda menyebutkan bahwa :

“….bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan”.

c. bahwa bunga pinjaman yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada GFBV merupakan bunga atas pinjaman dengan jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun yaitu dari tanggal 31 Oktober 2006 sampai dengan tanggal 26 Desember 2009 (perjanjian terlampir);

d. bahwa mengacu pada P3B Indonesia – Belanda tersebut, maka hak pemajakan atas penghasilan bunga pinjaman sebesar Rp.1.868.840.080,00 tersebut hanya ada di Negara lainnya, yaitu Negara Belanda dan Pemohon Banding tidak berhak mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga kepada GFBV

Page 7: 29050S (1)

tersebut. Dengan demikian koreksi obyek PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga kepada GFBV seharusnya dibatalkan oleh Penelaah Keberatan;

e. bahwa berdasarkan Surat Edaran Terbanding Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 mengenai Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B) disebutkan bahwa:

“…….untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuaidengan P3B dilaksanakan sebagai berikut:

a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.

b. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut……”

f. bahwa mengacu pada Surat Edaran Terbanding No SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 maka untuk penerapan Pasal 26 sesuai dengan P3B diperlukan Surat Keterangan Domisili yang merupakan dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan dari Pemohon Banding luar negeri. Jadi dengan adanya Surat Keterangan Domisili atas nama GFBV yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda, maka Wajib Pajak harus mengikuti ketentuan P3B yang berlaku antara Indonesia dengan Belanda atas pembayaran bunga kepada GFBV (Belanda);

g. bahwa dengan demikian pembayaran bunga kepada GFBV (Belanda) seharusnya memang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 26 terutang atas pembayaran bunga ini seharusnya adalah NIHIL;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding dalam Surat Uraian Banding No S-471/WPJ.19/2009 tanggal 14 Mei 2009 dengan penjelasan sebagai berikut:

1. bahwa Goederhand Finance BV (GFBV) merupakan suatu badan hukum yang berdomisili di Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Domisili atas nama Goederhand Finance BV yang diterbitkan oleh Tax Administration Amsterdam;

2. bahwa berdasarkan Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:

ayat (1) Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;

ayat (2) Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundangan-undangan Negara tersebut akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% dan jumlah bruto bunga;

Page 8: 29050S (1)

ayat (4) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara Lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua ) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan;

ayat (5) Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3), dan (4);

3. bahwa berdasarkan Surat Edaran Terbanding Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 mengenai Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B) disebutkan bahwa:

“…….untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut:a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat

Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.

b. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut ...... ..”

bahwa mengacu pada Surat Edaran DJP No SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 maka untuk penerapan Pasal 26 sesuai dengan P3B diperlukan Surat Keterangan Domisili yang merupakan dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan dari Wajib Pajak luar negeri. Jadi dengan adanya Surat Keterangan Domisili atas nama GFBV yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda, maka Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan P3B yang berlaku antara Indonesia dengan Belanda atas pembayaran bunga kepada GFBV (Belanda);

4. bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang mengenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% atas bunga yang dibayarkan Pemohon Banding ke GFBV dengan alasan tidak dapat meyakini bahwa GFBV merupakan beneficial owner dari pembayaran bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding;

bahwa adapun definisi beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Pemohon Banding Perorangan maupun Pemohon Banding Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut;

bahwa dapat Pemohon Banding informasikan bahwa GFBV merupakan pemilik sesungguhnya dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding. Walaupun GFBV merupakan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Pemohon Banding namun GFBV tetap merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diperoleh dari Pemohon Banding karena PT. X bukan merupakan Pemegang Saham maupun pengendali dari GFBV;

5. bahwa perlu Pemohon Banding informasikan pula bahwa dalam proses

Page 9: 29050S (1)

pemeriksaan yang dilakukan atas kewajiban perpajakan Pemohon Banding tahun 2005, sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Pemeriksa apakah GFBV itu merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% dengan dasar koreksi SE-17/PJ./2005. Namun dalam proses keberatan ternyata Penelaah Keberatan memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian beneficial owner sehingga menganggap GFBV bukan merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%;

bahwa hal ini membuktikan bahwa Terbanding sendiri pun tidak pernah secara jelas memberikan definisi mengenai beneficial owner. Hal ini tentunya mengakibatkan kebingungan atau ketidakpastian hukum dalam penerapan aturan P3B antara Indonesia dengan negara mitra. Karena tidak ada definisi yang jelas dari Terbanding tentang beneficial owner dan tidak ada aturan yang jelas tentang bagaimana kriteria penentuan suatu Pemohon Banding Luar Negeri dapat dianggap sebagai beneficial owner, maka untuk melaksanakan P3B antara Indonesia dan negara mitra seharusnya Direktur Jenderal Pajak mengikuti ketentuan dalam SE03/PJ.101/1996 di mana SKD (COD) merupakan dasar untuk menerapkan ketentuan P3B;

6. bahwa karena bunga pinjaman yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada GFBV merupakan bunga atas pinjaman dengan jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun yaitu dari tanggal 31 Oktober 2006 sampai dengan tanggal 26 Desember 2009 (perjanjian terlampir), maka mengacu pada P3B Indonesia – Belanda hak pemajakan atas penghasilan bunga pinjaman sebesar Rp.1.868.840.080,00 tersebut hanya ada di Negara lainnya, yaitu Negara Belanda dan Pemohon Banding tidak berhak mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga kepada GFBV tersebut;

7. bahwa dengan demikian pembayaran bunga kepada GFBV (Belanda) seharusnya memang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26, dan koreksi PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ini seharusnya dibatalkan;

I. Kesimpulan

1) bahwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Pemohon Banding bahwa bunga pinjaman yang dibayarkan kepada Goederhand Finance B.V (GFBV) merupakan bunga atas pinjaman lebih dari 2 tahun. Maka sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) P3B antara Indonesia dan Belanda disebutkan bahwa hak pemajakkan atas bunga yang timbul dari pinjaman yang berlangsung lebih dari 2 tahun berada pada negara lainnya, dalam hal ini Negara Belanda;

2) bahwa GFBV merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda;

3) bahwa sesuai Surat Edaran Terbanding No SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996, untuk Surat Keterangan Domisili merupakan dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan dari Pemohon Banding luar negeri;

4) bahwa jadi dengan adanya Surat Keterangan Domisili atas nama GFBV yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda, maka Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan P3B yang berlaku antara Indonesia dengan Belanda atas pembayaran bunga kepada GFBV (Belanda) yaitu dengan tidak mengenakan pemotongan PPh Pasal 26

Page 10: 29050S (1)

karena hak pemajakkan atas penghasilan bunga ini ada di Negara Belanda;

5) bahwa dengan demikian koreksi obyek PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga dan sanksi administrasi kepada GFBV yang dilakukan Penelaah Keberatan yang kemudian dipertahankan dan ditambah oleh Terbanding menjadi sebesar Rp. 485.898.420,00 seharusnya dibatalkan;

Menurut Majelis

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas Laporan Pemeriksaan Pajak (Pemeriksaan Lengkap): LAP- 049/WPJ.19/KP.0205/2008 tanggal 27 Maret 2008 diketahui Koreksi Positif Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Biaya Bunga sebesar Rp. 1.868.840.080,- dengan alasan terdapat biaya bunga kepada Wajib Pajak Luar Negeri (Belanda) sesuai P3B Indonesia – Belanda dan SE-17/PJ./2005 atas biaya tersebut merupakan obyek PPh Pasal 26 yang belum dilaporkan Pemohon Banding dan dikenakan tarif 10%;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas Laporan Penelitian Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d Desember 2006 Nomor: 00009/204/06/092/08 Tanggal 28 Maret 2008 Nomor : LAP-002/WPJ.19/BD.05/2009 tanggal 05 Januari 2009 diketahui Koreksi Positif Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar Rp.1.868.840.080,- dan mengenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dengan alasan tidak dapat diyakini bahwa Goederhand Finace B.V merupakan Beneficial owner;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi atas obyek PPh Pasal 26 sebesar Rp 1.868.840.080,- tersebut dengan alasan:

bahwa bunga pinjaman yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada GFBV merupakan bunga atas pinjaman dengan jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun yaitu dari tanggal 31 Oktober 2006 sampai dengan 26 Desember 2009 (perjanjian terlampir). Sehingga sesuai dengan ketentuan P3B Indonesia – Belanda Pasal 4 ayat (4), yang berhak mengenakan pajak atas bunga yang dibayarkan Pemohon Banding kepada Goederhand Finance B.V. (GFBV) adalah Negara lainnya, dengan kata lain Negara Indonesia tidak boleh/tidak berhak mengenakan pajak atas bunga kami bayarkan kepada Goederhand Finance B.V. (GFBV). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Pemohon Banding sebagai Wajib Pajak Indonesia yang harus tunduk pada ketentuan P3B Indonesia – Belanda tidak boleh mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 atas bunga yang dibayarkan kepada Goederhand Finance B.V.

bahwa dalam pemeriksaan, Terbanding melakukan koreksi PPh Pasal 26 dengan mengenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10% dengan mengacu pada SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 mengenai Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan terfiadap Pasal 11 tentang Bunga pada P3B antara Indonesia dengan Belanda dalam menjalankan ketentuan P3B Indonesia –Belanda. Dalam SE-17/PJ./2005 tersebut disebutkan bahwa sehubungan dengan belum adanya tata cara pelaksanaan (mode of application) antara pemerintah Indonesia dengan Belanda, maka Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia- Belanda belum dapat diterapkan. Karena belum dapat diterapkannya Pasal 11 ayat (4) maka perlakuan perpajakan terhadap pembayaran bunga dari Indonesia ke Belanda, apabila terpenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan, diberlakukan ketentuan Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda.

Tanggapan Pemohon Banding terhadap Koreksi Pemeriksa yang

Page 11: 29050S (1)

mengenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10%

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Pemeriksa yang mengenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10% atas pembayaran bunga kepada Goederhand Finance BV dengan mengacu pada SE-17/PJ/2005 tanggal 1 Juni 2005 dengan alasan sebagai berikut:

· Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Belanda sudah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Belanda. P3B ini pun telah diberlakukan melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 92 Tahun 2003

· Pada dasarnya, SE-17/PJ./2005 mengacu kepada ketentuan P3B Pasal 11 ayat 5 yang mana hanya menyebutkan bahwa "Pejabat yang berwenang dari kedua negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3) dan (4)”. Akan tetapi, Pasal tersebut sama sekali tidak menyebutkan mengenai tidak berlakunya atau pembatalan atas ketentuan-ketentuan yang berlaku baik di ayat (2), (3) ataupun (4).

· Bahwa dalam P3B Indonesia – Belanda tersebut menetapkan ketentuan-ketentuan di mana negara sumber tidak diperkenankan untuk melakukan pemotongan pajak (withholding tax) atas pembayaran bunga dari hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari dua tahun dan tidak terdapat ketentuan-ketentuan lain yang membatasi pembebasan pemotongan pajak tersebut. Karena itu cara-cara penerapan yang belum diatur tersebut tidak dapat mengubah validitas atau persyaratan dari Pasal-Pasal dalam P3B atau dengan kata lain seorang / penduduk yang berada dalam cakupan P3B tersebut harus dibebaskan dari pemotongan pajak atas bunga sejak P3B ini berlaku (1 Januari 2004) tanpa memperhatikan apakah cara-cara penerapan telah diterbitkan.

· Kedudukan P3B adalah lebih tinggi dari Undang-Undang, sementara kedudukan aturan pelaksanaan (antara lain Surat Edaran) berada di bawah Undang-Undang sehingga aturan pelaksana seperti Surat Edaran seharusnya hanya dapat mengatur mengenai masalah administratif saja dan seyogyanya tidak dapat mengubah substansi dari aturan dalam P3B.

bahwa dalam proses keberatan, Peneliti Keberatan menambah besamya PPh Pasal 26 yang masih harus dibayar dengan mengenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%. Dasar Peneliti Keberatan untuk mengenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% adalah karena Peneliti Keberatan tidak dapat meyakini bahwa Goederhand Finance BV merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding. Adapun alasan Peneliti Keberatan tidak meyakini bahwa Goederhand Finance BV merupakan beneficial owner adalah karena Goederhand Finance B.V. merupakan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemohon Banding. Berdasarkan kenyataan bahwa Pemohon Banding dan Goederhand Finance B.V. memiliki hubungan istimewa, maka Peneliti Keberatan berpendapat bahwa Goederhand Finance B.V, Belanda bukan merupakan pemilik manfaat yang sebenamya dari bunga yang telah dibayarkan oleh Pemohon Banding. Sehingga, Goederhand Finance B.V tidak memenuhi syarat untuk mendapat fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda.

Tanggapan Pemohon Banding terhadap Koreksi Peneliti Keberatan yang mengenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%;

bahwa pengertian beneficial owner adalah pemilik sesungguhnya dari penghasilan yang diterimanya. Adapun GFBV merupakan pemilik sesungguhnya dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding. Walaupun GFBV merupakan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Pemohon Banding namun

Page 12: 29050S (1)

GFBV tetap merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diperoleh dari Pemohon Banding karena Pemohon Banding bukan merupakan Pemegang Saham maupun pengendali dari GFBV sehingga jelas bahwa Goederhand Finance B.V (GFBV) bukan merupakan agent, nominee, pengadministrasi (administrator), atau conduit company dari Pemohon Banding. Pemohon Banding-pun tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan tentang suatu modal dan harta atau hasil dari harta dan modal yang dimiliki oleh Goederhand Finance B.V (GFBV).

bahwa dapat Pemohon Banding informasikan pula bahwa pembayaran bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding dilakukan langsung ke Goederhand Finance BV. Hal ini menunjukkan bahwa Goederhand Finance BV adalah beneficial owner dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding.

bahwa dari fakta bahwa Pemohon Banding bukan merupakan pemegang saham maupun pengendali dari GFBV dan pembayaran bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding dibayarkan langsung ke rekening Goederhand Finance BV maka dapat Pemohon Banding tegaskan bahwa pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa Goederhand Finance B.V bukan merupakan beneficial owner atas penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding adalah sama sekali tidak berdasar. Sedangkan dari Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda secara jelas disebutkan bahwa GFBV merupakan penduduk dan Wajib Pajak Belanda, sehingga seharusnya ketentuan Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda dapat diterapkan dalam pembayaran bunga kepada GFBV.

bahwa perlu Pemohon Banding informasikan pula bahwa dalam proses pemeriksaan yang dilakukan atas kewajiban perpajakan Pemohon Banding tahun 2006, sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Pemeriksa apakah GFBV itu merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% dengan dasar koreksi SE-17/PJ./2005. Namun dalam proses keberatan temyata Penelaah Keberatan memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian beneficial owner sehingga menganggap GFBV bukan merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.

bahwa hal ini membuktikan bahwa Direktur Jenderal Pajak sendiri pun tidak pemah secara jeias memberikan definisi mengenai beneficial owner. Hal ini tentunya mengakibatkan kebingungan atau ketidakpastian hukum dalam penerapan aturan P3B antara Indonesia dengan negara mitra. Karena tidak ada definisi yang jelas dari Direktur Jenderal Pajak tentang beneficial owner dan tidak ada aturan yang jelas tentang bagaimana 'criteria penentuan suatu Wajib Pajak Luar Negeri dapat dianggap sebagai beneficial owner, maka untuk melaksanakan P3B antara Indonesia dan negara mitra seharusnya Direktur Jenderal Pajak mengikuti ketentuan dalam SE-03/PJ.101/1996 di mana SKD merupakan dasar untuk menerapkan ketentuan P3B.

bahwa Pemohon Banding menyerahkan salinan putusan Pengadilan Pajak yang menurut Pemohon Banding serupa atau memiliki relevansi dengan kasus sengketa banding ini yaitu:

1. Putusan Pengadilan No Put. 15378/PP/M.IX/13/2008 yang

Page 13: 29050S (1)

diucapkan tanggal 17 September 2008 mengenai Banding dari PT. Purimas Sasmita (pemegang saham mayoritas (99.99%) dad PT. Sawit Mas Sejahtera) terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-828NVPJ.07/BD.05/2007 tanggal 18 Juni 2007 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

2. Putusan Pengadilan No Put. 19794/PP/M.X/13/2009 yang diucapkan tanggal 9 September 2009 mengenai Banding dari PT. Leidong West Indonesia terhadap Surat Keputusan Direktur jenderal Pajak No.KEP-552/WPJ.07/BD.06/2008 tanggal 24 April 2008 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

3. Putusan Pengadilan No Put. 20477/PP/M.VI/13/2009 yang diucapkan tanggal 4 November 2009 mengenai Banding dari PT. Kresna Duta Agroindo terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-1348NVPJ.06/BD.06/2008 tanggal 31 Juli 2008 "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding

4. Putusan Pengadilan Pajak No. Put 21208/PP/M.I11/13/2009 yang diucapkan tanggal 17 Desember 2009 mengenai Banding dad PT. Sinar Kencana Inti Perkasa terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-122/WPJ.19/130.05/2008 tanggal 3 April 2008 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Pasal 26 tahun 2005 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

5. Putusan Pengadilan No Put. 21187/PP/M.XI/13/2009 yang diucapkan tanggal 17 Desember 2009 mengenai Banding dari PT. Sawit Mas Sejahtera terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-165/WPJ.09/BD.05/2008 tanggal 25 April 2008 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun 2005 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

bahwa menanggapi keberatan Pemohon Banding atas koreksi Terbanding maka Terbanding memberikan penjelasan di dalam persidangan sebagai berikut:

Maksud dan Tujuan P3B

bahwa dalam setiap naskah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan pembentukan suatu P3B adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan untuk mencegah penghindaran pajak yang berkenaan dengan pajak atas penghasilan.

bahwa secara praktikal, maksud pembentukan suatu P3B adalah untuk membagi hak pemajakan antara dua negara yang terlibat sehingga tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda (double taxation) ataupun pajak sama sekali tidak dikenakan (double non-taxation) serta penghindaran dan pengenaan pajak.

bahwa dengan demikian, pembentukan P3B Indonesia-Belanda dimaksudkan untuk membagi hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh penduduk Indonesia dan penduduk Belanda sehingga tidak terjadi pemajakan berganda (double taxation) dan atau pajak sama sekali tidak dikenakan (double non-taxation) yang juga berarti terjadinya penghindaran dan atau pengelakan pajak.

Pengertian beneficial owner

Page 14: 29050S (1)

bahwsa istilah "beneficial owner" tidak pernah didefinisikan di dalam P3B. Namun demikian, terdapat beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan untuk memahami maksud dari istilah beneficial owner tersebut. Mengingat P3B merupakan perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara mitra, maka referensi yang diacu untuk memperoleh pengertian tentang istilah beneficial owner harus merupakan referensi yang digunakan secara internasional pula.

bahwa di dalam P3B, istilah beneficial owner biasanya terdapat pada Pasal-Pasal yang mengatur tentang pemajakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, dan royalti. Penggunaan istilah beneficial owner tersebut dimaksudkan untuk mencegah pihak yang tidak berhak untuk memanfaatkan fasilitas P3B antar negara.

bahwa dalam Pasal 11 P3B Indonesia-Belanda diatur mengenai pemajakan atas penghasilan bunga, yang redaksinya berbunyi sebagai berikut:

1. Interest arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.

2. However, subject to the provisions of paragraph 3, such interest may also be taxed in the Contracting State in which it arises and according to the law of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the interest the tax so charged shall not exceed 10 per cent of the gross amount of the interest.

Paragraf (1) mengatur bahwa negara tempat kedudukan penerima penghasilan bunga (negara domisili) dapat mengenakan pajak atas penghasilan bunga tersebut. Kata-kata "may be taxed" di sini dimaksudkan bahwa negara domisili diberikan hak untuk mengenakan pajak apabila dimungkinkan dalam ketentuan domestiknya.

Sementara itu, paragraf (2) di atas mengatur bahwa negara tempat penghasilan bunga bersumber (negara sumber) dapat mengenakan pajak sesuai dengan ketentuan domestiknya. Meskipun demikian, jika penerima bunga tersebut adalah beneficial owner maka pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi 10% dari jumlah bruto. Dengan demikian, pajak atas penghasilan bunga akan dikenakan oleh negara sumber sesuai dengan tata cara dalam ketentuan domestiknya, namun tarifnya akan disesuaikan dengan tarif sebagaimana ditentukan dalam P3B apabila penerima bunga adalah resident dari Negara yang membuat P3B dan penerima bunga tersebut adalah beneficial owner.

bahwa di dalam paragraf 9 Commentary dari Pasal 11 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital July 2005, disebutkan bahwa:

"9. The requirement of beneficial ownership was introduced in paragraph 2 of Article 11 to clarify the meaning of the words "paid to a resident" as they are used in paragraph 1 of the Article. It makes plain that the State of source is not obliged to give up taxing rights over interest income merely because that income was immediately received by a resident of a State with which the State of source had concluded a convention. The term "beneficial owner" is not used in a narrow technical sense, rather, it should be understood in its context and in light of the object and purposes of the Convention, including avoiding double taxation and the prevention of fiscal evasion and avoidance."

bahwa dari kutipan tersebut di atas, terkait dengan pembayaran bunga oleh Pemohon Banding kepada GFBV, Belanda disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Page 15: 29050S (1)

a. Terbanding sebagai otoritas pajak dari negara tempat penghasilan bunga bersumber (negara sumber) tidak berkewajiban untuk menyerahkan hak pemajakan atas penghasilan bunga tersebut, yaitu dengan tidak menerapkan tarif pajak 20% sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU PPh, hanya oleh sebab penghasilan bunga dimaksud diterima oleh resident Belanda, yang menurut Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda, Indonesia sebagai negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan bunga dengan tarif pajak tidak melebihi 10%;

b. Pihak yang memperoleh bunga, yakni GFBV, Belanda, memang telah dapat mengindikasikan bahwa dirinya adalah resident Belanda, yaitu dengan menunjukkan dokumen berupa Surat Keterangan Domisili (SKD) yang dikeluarkan oleh Competent Tax Authority di Belanda. Namun demikian, dokumen SKD tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa GFBV-Belanda adalah beneficial owner dari penghasilan bunga tersebut karena informasi yang tersedia dalam SKD hanya menyangkut masalah residency dari GFBV di Belanda. Sementara itu, tarif sebesar 10% baru dapat diterapkan apabila terpenuhi persyaratan bahwa GFBV merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya.

c. Adapun maksud dari Terbanding yang tidak melaksanakan pengenaan pajak atas penghasilan bunga sesuai dengan P3B dalam kasus ini adalah untuk mencapai substansi dari maksud dan tujuan dibuatnya P3B Indonesia — Belanda itu sendiri, yakni untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda dan mencegah pengelakan pajak. Bahkan, tidak dilaksanakannya pengenaan pajak dengan tarif sebesar 10% adalah untuk menjalankan amanat Pasal 11 ayat (2) P3B yang mensyaratkan bahwa penerima bunga adalah beneficial owner.

d. Bahwa penolakan Pemohon Banding untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% sesuai ketentuan UU PPh dengan argumentasi sebagaimana diungkapkan dalam persidangan adalah keliru dan tidak beralasan karena apabila pihak yang dipotong, yakni GFBV merasa diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B, maka GFBV dapat menempuh jalur mutual agreement procedure sebagaimana diatur dalam Pasal 27 P3B Indonesia — Belanda.

bahwa dalam buku berjudul "beneficial ownership of Royalties in Bilateral Tax Treaties" yang ditulis oleh Carl P. du Toit dikutip tulisan Klaus Vogel (Klaus Vogel on Double Taxation Conventions, 1997) yang menyatakan sebagai berikut:

"Treaty benefits should not be granted with a view to a formal title to dividends, interest, or royalties, but to the "real" title. In other words, the dispute of "form versus substance" should be decided in favour of "substance"... The "substance" of the right to receive certain yields has a dual aspect. The first is the right to decide whether or not a yield should be realized – i.e., whether the capital or assets should be used or made available for use – the second is the right to dispose of the yield. Ownership is merely formal, if the owner is fettered in regard to both aspects either in or in fact. On the other hand, recourse to the treaty is justified – i.e. is not improper –if he who is entitled under the private law is free to wield at least one of the powers referred to. Hence, the "beneficial owner" is he who free to decide (1) whether or not the capital or other assets should be used or made available for use by others or (2) on how the yields therefrom should be used or (3) both."

Dari tulisan Vogel tersebut dapat dijelaskan bahwa manfaat P3B tidak dapat diberikan hanya dengan mengacu kepada kepemilikan formal dari penghasilan dividen, bunga, dan royalti, namun manfaat P3B harus diberikan kepada pemilik yang sebenarnya dari penghasilan dimaksud. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran yang terdapat dalam paragraf 9 dan 10 OECD Commentary yang telah dibahas di atas.

Page 16: 29050S (1)

Mode Of Application dan SE-17/PJ/2005

bahwa Mode of appplication merupakan tata cara penerapan sebuah ketentuan di dalam P3B yang pembentukannya akan dilaksanakan apabila dianggap diperlukan oleh salah satu atau masing-masing pihak penandatangan dari sebuah P3B. Berkaitan dengan P3B Indonesia – Belanda, pihak Indonesia memandang perlu untuk dibentuknya sebuah mode of application atas penerapan Pasal 11 dengan kerangka acuan Pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia – Belanda yang berbunyi sebagai berikut:

The competent authorities of the two States shall by mutual agreement settle the mode of application of paragraphs 2, 3 and 4.

Perlunya dibentuk suatu mode of application atas Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda tentang Bunga, khususnya Pasal 11 ayat (4), diindikasikan telah banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Dengan membentuk skema transaksi sedemikian rupa, pihak-pihak tertentu tersebut telah berusaha untuk mendapatkan fasilitas yang diatur di dalam Pasal dimaksud yang sebenarnya tanpa melalui pembentukan skema tersebut fasilitas P3B tidak dapat diperoleh. Salah satu bukti nyata atas hal tersebut adalah skema transaksi yang telah dibentuk oleh Pemohon Banding dalam sengketa pajak di sini.

Di samping itu, pihak Indonesia menyadari bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 avat (4) P3B Indonesia – Belanda merupakan sebuah ketentuan yang berbeda dan hanya satu-satunya pengaturan dalam Pasal 11 P3B yang tidak tercantum dalam P3B Indonesia dengan Negara lainnva. Oleh karena itu, pihak Indonesia merasa perlu untuk dibentuk suatu mode of application guna menghindari kesalahan tafsir dan penyalahgunaan dalam penerapan Pasal dimaksud.

Sebagai implementasi dari sikap Pemerintah Indonesia tersebut, pihak Indonesia mengajak pihak Belanda untuk, by mutual agreement, membentuk suatu mode of application atas Pasal 11. Proses pembentukan mode of application tersebut ternyata dalam perjalanannya menjadi sebuah renegosiasi P3B yang sampai saat ini telah berlangsung lebih dari dua putaran perundingan dan belum menghasilkan sebuahkesepakatan yang final.

Sebagai langkah awal sebelum terbentuknya mode of application, Pemerintah Indonesia telah menyatakan sikap atas penerapan ketentuan Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda dengan menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-17/PJ/2005 tanggal 01 Juni 2005. Sebagaimana dimaklumi bersama, SE-17/PJ/2005 dimaksud berisi penegasan sikap pihak Indonesia berkaitan dengan penerapan Pasal 11 P3B IndonesiaBelanda, yang pada prinsipnya menganggap bahwa Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia –Belanda belum dapat diterapkan karena belum dibentuk tata cara penerapannya atau mode of application. Hal itu dilakukan mengingat bahwa Pasal tersebut memiliki potensi multi penafsiran dan rentan terhadap penyalahgunaan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan P3B itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat bahwa meskipun SE-17/PJ/2005 tanggal 01 Juni 2005 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak tetapi substansi yang tercantum di dalam Surat Edaran tersebut merupakan sikap resmi Pemerintah Indonesia terhadap penerapan P3B Indonesia – Belanda, terutama penerapan Pasal 11 ayat (4). Hal tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa Surat Edaran dimaksud telah disikapi dan direspon oleh Pemerintah Belanda, melalui Kementrian Keuangan Belanda secara resmi, yang berujung pada dilaksanakannya perundingan bilateral mengenai P3B.

Page 17: 29050S (1)

Oleh karena itu, menurut Terbanding, penegasan dalam SE-17/PJ/2005 harus dihormati oleh semua kalangan di dalam negeri Indonesia sebagai sebuah posisi Negara Republik Indonesia.

Surat Competent Authority Perpajakan Belanda

bahwa dalam persidangan tanggal 08 Maret 2010, Pemohon Banding mengungkapkan sebuah surat yang dikeluarkan oleh pihak Belanda untuk pihak Indonesia dalam mendukung argumentasinya. Terbanding berpendapat bahwa hal itu tidak sepatutnya terjadi dan dimohon agar Majelis Hakim yang terhormat mengabaikan argumentasi Pemohon Banding yang dilandaskan kepada isi surat dimaksud dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. P3B bukan merupakan perjanjian antar competent authority perpajakan, melainkan merupakan sebuah perjanjian bilateral antar Negara. Oleh karena itu, segala dokumen yang terkait dengan proses pembentukan atau perubahan sebuah P3B merupakan dokumen Negara. Terbanding berpendapat bahwa surat yang dibuat oleh pihak Belanda yang diungkapkan oleh Pemohon Banding merupakan bagian dari dokumen Negara dimaksud, yang dilindungi oleh ketentuan tentang kerahasiaan dokumen Negara. Pengungkapan dokumen tersebut tanpa hak atau kewenangan dapat merupakan sebuah pelanggaran ketentuan atau bahkan tindak pidana.

b. Surat yang dibuat oleh pihak Belanda kepada pihak Indonesia, apapun isinya sama sekali tidak dapat dijadikan bahan acuan karena surat tersebut hanya merupakan sebuah sikap atau posisi dari pihak Belanda dalam proses perundingan P3B dengan Indonesia. Sikap atau posisi para pihak dapat berubah dalam proses perundingan yang berlangsung dan tidak dapat diketahui perubahan seperti apa yang terjadi sampai adanya kesepakatan yang tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan disahkan secara konstitusional oleh masing-masing pihak.

bahwa berdasarkan hal tersebut, Terbanding sekali lagi mohon kepada Majelis Hakim untuk tidak mengindahkan segala argumentasi Pemohon Banding yang didasarkan kepada isi surat dimaksud.

Pembuktian bahwa GFBV Belanda bukan beneficial owner

bahwa sebagaimana telah disampaikan di atas, beneficial owner memiliki makna yang tidak berlandaskan kepada pengertian hukum atau formal, melainkan mengandung makna ekonomis yang lebih melihat kepada substansi. Hal ini sejalan pula dengan prinsip perundang-undangan perpajakan Indonesia yang menganut asas material atau "substance over form". Dengan demikian, Terbanding berpendapat bahwa untuk menentukan apakah penerima penghasilan dari Indonesia yang berada di luar negeri, dalam hal ini GFBV Belanda itu beneficial owner atau bukan, maka harus dilihat fakta atau substansi yang sesungguhnya terjadi dan bukan semata-mata hal-hal yang bersifat legalitas formal belaka.

bahwa dalam Surat Uraian Banding maupun dalam proses persidangan, telah disampaikan oleh Terbanding bahwa GFBV Belanda bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya dari Pemohon Banding sehingga tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh menjadi 10% sesuai Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda.

bahwa adapun fakta dan kenyataan yang sesungguhnya terjadi yang membuktikan bahwa GFBV Belanda bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Goederhand Finance BV baru didirikan pada tanggal 21 April 2004

Page 18: 29050S (1)

dan di dalam laporan keuangan konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. untuk tahun 2004 dinyatakan secara eksplisit bahwa "the subsidiary is newly incorporated/inactive". (Laporan Keuangan Konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. tahun 2004, halaman 48);

2. Dalam laporan keuangan konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. untuk tahun 2005 juga dinyatakan secara jelas dan eksplisit bahwa "the subsidiary is newly incorporated/has not commenced its operation". (Laporan Keuangan Konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. tahun 2005, halaman 76);

3. Dalam catatan laporan keuangan konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. untuk tahun 2006 mengenai Goederhand Finance BV dinyatakan bahwa "not required to be audited by law in its country of incorporation". (Laporan Keuangan Konsolidasi Golden Agri Resources Ltd. tahun 2006, halaman 70);

bahwa dari fakta-fakta yang secara eksplisit dinyatakan dalam laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk yang dipublikasikan dalam website resminya tersebut dapat disimpulkan bahwa Goederhand Finance BV sesungguhnya pada tahun 2004 – 2005 masih belum aktif dan belum melakukan kegiatan operasional sedangkan pada tahun 2006 masih belum dapat diketahui dengan jelas kegiatan yang dilakukan. Bahwa Goederhand Finance BV telah memberikan pinjaman kepada ZZ di Indonesia sejak tahun 2004. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa GFBV sesungguhnya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memberikan pinjaman kecuali hanya sebagai pass-through atau conduit dari pihak ketiga dalam rangka mengucurkan dana kepada Pemohon Banding. Dengan demikian, pemilik manfaat yang sesungguhnya yang menikmati bunga yang diperoleh dari Pemohon Banding bukanlah GFBV, karena yang memberikan pinjaman sesungguhnya bukan GFBV.

bahwa disamping itu, sebagaimana digambarkan dalam skema di bawah ini, fakta bahwa Goederhand Finance BV dimiliki 100% oleh Golden Agri Resources Ltd., melalui anak perusahaannya yakni Golden Agri International Trading Ltd. dan bahwa Pemohon Banding pun dimiliki 100% oleh Y., melalui Z kemudian XX menunjukkan bahwa skema pinjaman yang dilakukan telah dibuat sedemikian rupa sehingga keuntungan pajak, yang dalam hal ini berupa fasilitas yang diberikan P3B Indonesia-Belanda dapat diperoleh. Hal tersebut jelas merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari pembentukan P3B itu sendiri, yakni untuk mencegah penghindaran atau pengelakan pajak. Oleh karena itu, manfaat P3B berupa penurunan tarif pemotongan PPh Pasal 26 tidak dapat diberikan.

Page 19: 29050S (1)

SKEMA TRANSAKSITINJAUAN JALUR KEPEMILIKAN DAN JURISDIKSI

bahwa dengan demikian, telah secara sah dan meyakinkan terbukti bahwa GFBV – Belanda bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya dari Pemohon Banding sehingga tidak berhak atas fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh menjadi 10% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda.

bahwa dengan demikian, tarif pemotongan PPh atas pembayaran bunga dari Pemohon Banding kepada GFBV – Belanda tersebut tunduk sepenuhnya kepada ketentuan domestik Indonesia, yakni UU PPh dengan tarif sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 UU PPh, yakni sebesar 20%.

bahwa untuk membuktikan bahwa GFBV bukan merupakan beneficial owner dengan menggunakan pendekatan yang diberikan oleh OECD, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Look Through ApproachSecara sederhana, pendekatan ini beranggapan bahwa manfaat P3B tidak dapat dinikmati oleh orang atau badan yang merupakan penduduk dari negara mitra P3B apabila orang atau badan tersebut dikendalikan oleh orang atau badan yang bukan merupakan penduduk negara mitra P3B tersebut.Berdasarkan catatan atas Laporan Keuangan Tahun 2005 Golden Agri-Resources Ltd yang telah diaudit oleh Moore Stephens Certified Public Accountants, pada halaman 69 (Groups Company) terda pat informasi yang menyebutkan bahwa:

a. Informasi terkait hubungan langsung Golden Agri-Resources dengan Golden Agri International Trading:

Direct subsidiaries of the companyName of company : Golden Agri International Trading Principal Activities : Trading in crude palm oil and

relatedDate and place of : 11 December 2000, MalaysiaEffective interest of the company

: 100,00

b. Informasi terkait anak perusahaan Golden Agri International Trading dengan Goederhand Finance BV:

Goederhand Finance BV

PT Y

Golden Agri International Trading LTD

PT ZPT X

MauritusMalaysia

Indonesia

Golden Agri Resources LTD

Belanda

100%

Loan

100%100%

100%

Interest

Page 20: 29050S (1)

Subsidiaries of Golden Agri International Trading LtdName of company : Goederhand Finance BVPrincipal Activities : Treasury managementDate and place of : 21 April 2004, The NetherlandsEffective interest of the company

: 100,00

bahwa berdasarkan fakta tersebut, apabila dikaitkan dengan "look through approach", maka dengan dimilikinya 100% saham Goederhand Finance BV oleh Golden Agri International Trading, Goederhand Finance BV tidak dapat dikategorikan sebagai beneficial owner karena tidak dimiliki oleh penduduk Belanda melainkan oleh resident di negara lain, yaitu Malaysia, sehingga sudah seharusnya tidak dapat diberikan manfaat P3B. Dari pengujian berdasarkan pendekatan ini terlihat bahwa GFBV adalah suatu conduit company dan tidak dapat dikategorikan sebagai beneficial owner atas pendapatan yang diperolehnya. Untuk itu supaya tujuan P3B dapat tercapai sesuai maksud dan tujuannya, maka Terbanding melakukan koreksi.

2. Subject-To-Tax ApproachPendekatan ini secara ringkas mensyaratkan bahwa untuk memenuhi criteria sebagai beneficial owner, maka penerima penghasilan harus merupakan penduduk Negara mitra P3B yang telah dikenakan pajak di negara tersebut.Berdasarkan fakta sebagaimana telah diuraikan di atas, diketahui bahwa GFBV merupakan sebuah entitas yang baru didirikan dan sampai dengan tahun 2005 belum memulai kegiatan operasional. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa GFBV juga belum dikenakan pajak di Negara Belanda. Oleh karena itu, GFBV jelas tidak memenuhi kriteria sebagai beneficial owner dari bunga yang diterimanya dari Pemohon Banding ditinjau dari pendekatan ini sehingga tidak berhak atas fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia — Belanda.

3. Bonafide Transaction Approach

Pendirian suatu perusahaan harus dilandasi oleh motivasi bisnis (business profit motive) dan bukan semata-mata hanya untuk menikmati fasilitas P3B. Melalui pendekatan ini, penerima penghasilan dianggap sebagai beneficial owner apabila pendiriannya dilandasi oleh motivasi bisnis dan tidak semata-mata untuk mendapatkan manfaat P3B yang ditunjukkan dengan memiliki karakteristik yang bonafide, antara lain sahamnya diperdagangkan di bursa efek misalnya.Bahwa dalam catatan atas Laporan Keuangan Tahun 2004 Golden Agri-Resources halaman 69, terdapat informasi bahwa GFBV didirikan pada tanggal 21 April 2004, keterangan lebih lanjut mengenai status GFBV pada tahun 2004 terdapat pada halaman 48 yaitu bahwa GFBV tidak diaudit sebagai subsidiary karena baru didirikan/inactive ("Not Audited as the subsidiary is newly incorporated/inactive").Bahwa dalam catatan atas Laporan Keuangan Tahun 2005 Golden Agri-Resouces halaman 76, terdapat informasi bahwa GFBV tidak diaudit sebagai subsidiary karena baru didirikan/belum memulai kegiatannya ("Not Audited as the subsidiary is newly incorporated/has not commenced its operation").Bahwa dalam catatan atas Laporan Keuangan Tahun 2006 Golden Agri-Resouces halaman 70, terdapat informasi bahwa GFBV tidak diaudit berdasarkan hukum di negara perusahaan didirikan ("Not Audited to be law in its country of incorporation").

Berdasarkan informasi di atas tampak jelas bahwa GFBV pada tahun 2004-2006 sebenarnya tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah entitas

Page 21: 29050S (1)

yang bonafide karena jangankan sahamnya telah diperdagangkan di bursa efek, GFBV bahkan baru didirikan dan belum melakukan kegiatan atau belum beroperasi. Dengan demikian, melalui pendekatan ini pun, jelas bahwa GFBV tidak memenuhi kriteria sebagai beneficial owner karena sebenarnya tidak ada kemampuan dari GFBV untuk memberikan pinjaman kecuali hanya sebagai perantara atau conduit dari pihak ketiga untuk mengucurkan dana kepada Pemohon Banding. Dengan demikian pemilik manfaat sebenarnya yang menikmati bunga yang diperoleh dari Pemohon Banding bukanlah GFBV.

Putusan Pengadilan atas kasus serupa

bahwa Terbanding sangat menghargai dan menghormati independensi Majelis Hakim dalam memutus setiap perkara atau sengketa. Meskipun demikian, Terbanding yakin bahwa agar tercapai suatu putusan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak yang bersengketa, maka Majelis akan memperhatikan dan mempertimbangkan putusanputusan pengadilan yang telah ada untuk kasus-kasus yang serupa atau memiliki relevansi yang cukup kuat.

bahwa Terbanding berpendapat bahwa paling tidak ada 2 (dua) putusan pengadilan yang dapat menjadi bahan rujukan atau pertimbangan dalam memutus sengketa pajak ini. Pertama adalah putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 13603/PP/M.I/13/2008 tanggal 14 Maret 2008, dan yang kedua adalah putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 15719/PP/M.VIII/13/2008 tanggal 22 Oktober 2008.1. Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 13603/PP/M.I/13/2008 tanggal 14 Maret2008.

1. Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 13603/PP/M.I/13/2008 tanggal 14 Maret 2008

Bahwa dalam sidang banding Majelis Hakim I Pengadilan Pajak yang menghasilkan putusan dengan nomor sebagaimana tersebut di atas, telah disidangkan mengenai kasus beneficial owner yang serupa dengan sengketa ini. Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim secara eksplisit menegaskan bahwa Majelis Hakim menggunakan 2 (dua) buah pendekatan dalam rangka memutus sengketa dimaksud, yaitu pendekatan yuridis dan pendekatan fakta. Mengingat kasus ini memiliki dimensi internasional yang akan menjadi perhatian tidak saja di tingkat nasional tetapi juga kalangan perpajakan di dunia internasional, maka dalam persidangan telah dihadirkan dua orang saksi ahli dibidang perpajakan, khususnya perpajakan internasional. Saksi ahli yang pertama adalah Prof. R. Mansury, Ph.D., guru besar perpajakan internasional pada Universitas Indonesia, dan yang kedua yaitu Sikuan Sutanto, yang saat ini bekerja sebagai konsultan yang berkedudukan di Amerika Serikat.

Terkait dengan pendekatan yuridis, maka telah disidangkan dan dikaji dalam persidangan mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan masalah beneficial owner termasuk antara lain, ketentuan dalam P3B, ketentuan dalam UU PPh, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak, Vienna Convention on the Law of Treaties, Commentary on OECD Model Tax Convention serta literatur-literatur lain yang berisi pendapat para ahli perpajakan internasional mengenai beneficial ownership.

Bahwa beberapa pendapat Majelis Hakim yang sangat penting dan relevan dengan kasus ini, dalam putusannya terkait dengan masalah yuridis sengketa adalah sebagai berikut:

Bahwa Majelis tidak dapat menerima pendapat bahwa Indonesia

Page 22: 29050S (1)

menganut konsep beneficial owner dengan menggunakan konsep Surat Keterangan Domisili (SKD); menurut pendapat Majelis, SKD sesuai dengan namanya merupakan pengakuan bahwa seseorang atau suatu badan usaha hukum berdomisili di negara yang menerbitkan SKD tapi tidak dengan sendirinya merupakan beneficial owner;

Bahwa perundang-undangan perpajakan Indonesia menganut asas material, oleh karena itu, menurut pendapat Majelis, pengertian beneficial owner harus ditinjau dari kenyataan yang sesungguhnya atau fakta yang terjadi dan bukan hal-hal yang semata-mata bersifat formal;

Bahwa pendirian Majelis Hakim mengenai beneficial owner dilandasi oleh doktrin substance over form dan berdasarkan pendekatan ekonomi, beneficial owner adalah pihak yang secara substansial nyata-nyata merupakan pemilik yang sesungguhnya dari suatu penghasilan yang dengan bebas dapat menikmati penghasilan tersebut dan di negara domisili dikenakan pajak atas penghasilan tersebut;

Bahwa Majelis Hakim dapat menerima substansi dari Surat Edaran nomor SE04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang pengertian beneficial owner dan Majelis berpendapat bahwa penjabaran mengenai pengertian beneficial owner itu berlaku sejak adanya P3B yang berkenaan dan bukan sejak saat diterbitkannya SE-04/PJ.34/2005;

Bahwa pemberlakuan pengertian beneficial owner sesuai SE-04/PJ.34/2005 sejak adanya P3B yang berkenaan sama sekali tidaklah berarti bahwa pengaturan mengenai pengenaan pajak berlaku surut, melainkan memberikan penegasan mengenai ketentuan yang sebenarnya, sesuai dengan tujuan dicantumkannya istilah beneficial owner dalam P3B.

bahwa berdasarkan pendapat Majelis Hakim I Pengadilan Pajak tersebut, Terbanding berpendapat bahwa konsep residency yang direpresentasikan oleh SKD adalah berbeda dengan konsep beneficial ownership sehingga seseorang atau badan yang telah memiliki SKD dari competent authority perpajakan suatu negara tidak dengan sendirinya merupakan beneficial owner. Beneficial owner harus ditinjau dari kenyataan yang sesungguhnya atau fakta yang terjadi dan bukan hal-hal yang semata-mata bersifat legalitas formal. Hal ini telah sejalan pula dengan perundangan-undangan perpajakan Indonesia yang menganut asas material (substance over form). Bahwa ketentuan persyaratan beneficial owner telah tercantum dalam P3B sehingga ketentuan tersebut berlaku sejak P3B yang bersangkutan diberlakukan.

bahwa menurut Terbanding, sejalan dengan pendapat Majelis Hakim berdasarkan pendekatan yuridis tersebut telah dapat diambil kesimpulan bahwa GFBV – Belanda meskipun telah memiliki SKD, tidak dengan sendirinya merupakan beneficial owner. Dengan mempertimbangkan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan pada butir C di atas, telah dapat diambil kesimpulan bahwa GFBV – Belanda bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya dari Pemohon Banding. Oleh karena itu, GFBV – Belanda tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda sehingga tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh menjadi 10%. Pengenaan pajak atas pembayaran bunga tersebut harus tunduk kepada ketentuan perundangan perpajakan domestik Indonesia, yakni bahwa tarif pemotongan PPh yang digunakan adalah sebesar 20% dari imbalan bruto yang dibayarkan.

2. Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 15719/PP/M.VIII/13/2008 tanggal 22 Oktober 2008

Page 23: 29050S (1)

Bahwa dalam sidang banding Majelis Hakim VIII Pengadilan Pajak yang menghasilkan putusan dengan nomor sebagaimana tersebut di atas, telah disidangkan mengenai kasus beneficial owner yang serupa dengan sengketa banding ini.bahwa adapun beberapa pendapat Majelis Hakim yang sangat penting dan relevan dengan kasus ini adalah sebagai berikut:

a. Bahwa Majelis sependapat dengan pengertian beneficial owner sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria beneficial owner sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lainnya;

b. Bahwa kalau Terbanding sudah mengetahui bahwa yang menerima bukan beneficial owner, fasilitas penurunan tarif tidak perlu diberikan, dan Terbanding harus membuktikan bahwa yang menerima penghasilan bukan beneficial owner;

c. Bahwa Majelis berusaha untuk memahami penggertian beneficial owner dari artikel yang ditulis oleh J.D.B. Oliver, Jerome B. Libin, Stef Van Weeghel dan Charl Du Toit yang membahas mengenai beneficial owner seperti yang tercantum dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dari OECD Model Tax Convention;

d. Bahwa pendirian Majelis Hakim mengenai beneficial owner dilandasi oleh doktrin substance over form dan berdasarkan pendekatan ekonomi, beneficial owner adalah pihak yang secara substansial nyata-nyata merupakan pemilik yang sesungguhnya dari suatu penghasilan yang dengan bebas dapat menikmati penghasilan tersebut dan di negara domisili dikenakan pajak atas penghasilan tersebut;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Terbanding berpendapat bahwa kasus sengketa banding PT Telkomsel yang telah diputus di atas merupakan rujukan yang sangat baik dan relevan untuk kasus Pemohon Banding, yang saat ini sedang disidangkan, mengingat kasus tersebut memiliki kemiripan yang sangat mendasar dan signifikan. Dengan demikian, pertimbangan yuridis dan langkah penelaahan substansi yang telah dilakukan dalam kasus tersebut merupakan bahan referensi yang sangat berguna.

bahwa dengan merujuk kepada putusan PT Telkomsel dan dengan mempertimbangkan argumentasi yuridis yang telah Terbanding sampaikan serta bukti-bukti substansi transaksi yang telah Terbanding uraikan di atas, Terbanding berpendapat bahwa GFBV jelas tidak memenuhi kriteria sebagai beneficial owner sehingga tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas penuruan tarif pemotongan PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda, melainkan harus tunduk kepada ketentuan UU PPh yakni dikenakan pemotongan PPh dengan tarif sebesar 20%.

bahwa terhadap penjelasan Terbanding di dalam persidangan Pemohon Banding memberikan tanggapan sebagai berikut:

Maksud dan Tujuan P3B

bahwa pada dasarnya Pemohon Banding setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa maksud dan tujuan P3B Indonesia – Belanda sesuai dengan kepanjangan dari singkatan P3B adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang dimaksudkan untuk membagi hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh penduduk Indonesia dan penduduk Belanda sehingga tidak terjadi pemajakan berganda (double taxation) dan atau pajak sama sekali tidak dikenakan (double non-taxation).

bahwa perlu kami informasikan bahwa GFBV merupakan penduduk Belanda yang dapat dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Domisili

Page 24: 29050S (1)

(SKD) yang diterbitkan oleh pemerintah Belanda. Karena GFBV merupakan penduduk Belanda, maka GFBV wajib melaporkan laporan perpajakannya di Belanda dan membayar pajak penghasilan-nya di Belanda. Menurut P3B Indonesia – Belanda, untuk penghasilan bunga yang diterima penduduk Belanda dari penduduk Indonesia atas pinjaman dengan jangka waktu lebih dari 2 tahun, hak pemajakannya ada di Negara Belanda.

bahwa berdasarkan P3B yang sudah disetujui kedua pemerintahan negara tersebut, apabila Pemohon Banding mengenakan pemotongan pajak atas penghasilan bunga yang diterima oleh GFBV, maka pajak yang dipotong di Indonesia tidak dapat dikreditkan oleh GFBV di Negara Belanda, karena Indonesia tidak berhak mengenakan pemotongan pajak atas penghasilan bunga tersebut sesuai dengan Pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia - Belanda. Di sisi lain GFBV tetap harus melaporkan penghasilan bunga yang diperoleh dari Indonesia di Negara Belanda dan dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan tarif pajak yang berlaku di Belanda. Dengan demikian pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang dibayarkan Pemohon Banding kepada GFBV akan mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation) atas penghasilan bunga GFBV. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan P3B sebagaimana telah diuraikan oleh Terbanding dalam suratnya.

Pengertian beneficial owner

bahwa Pemohon Banding sangat tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa sebagai otoritas pajak dari negara tempat penghasilan bunga bersumber (negara sumber) Terbanding tidak berkewajiban untuk menyerahkan hak pemajakan atas penghasilan bunga tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa P3B Indonesia – Belanda merupakan perjanjian yang mengikat antara kedua pemerintahan negara. Jadi jika Terbanding tidak mengikuti ketentuan dalam P3B Indonesia – Belanda yang sudah disetujui kedua pemerintahan negara yaitu Negara Belanda dan Negara Indonesia, maka Terbanding telah melakukan pelanggaran P3B secara sepihak. Dan untuk mengubah ketentuan dalam P3B Indonesia –Belanda, tentunya perlu adanya perubahan ketentuan yang harus disepakati oleh kedua pemerintahan negara.

bahwa menanggapi kesimpulan Terbanding mengenai beneficial owner di atas, dapat Pemohon Banding tegaskan bahwa GFBV merupakan pemilik yang sebenarnya dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding. Hal ini dapat dilihat dalam perjanjian pinjaman antara GFBV dengan Pemohon Banding yang jelas menyatakan bahwa Pemohon Banding meminjam dana dari GFBV dan berkewajiban membayarkan bunga atas peminjaman dana tersebut kepada GFBV. Selain itu Pemohon Banding juga membayarkan bunga pinjaman Iangsung ke rekening bank GFBV, yang mana dapat dilihat dari bukti-bukti pembayaran bunga dari Pemohon Banding ke GFBV. Kedua bukti ini menunjukkan bahwa GFBV merupakan pemilik sesungguhnya dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding.

bahwa dalam surat penjelasan tertulis yang disampaikan Terbanding menyatakan bahwa sampai saat ini pun belum terdapat konsensus mengenai definisi beneficial owner. Dengan demikian dimungkinkan sekali bahwa terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan negara mitra tentang definisi dari beneficial owner yang dapat menimbulkan dispute mengenai hak pemajakan atas penghasilan dari Indonesia yang diterima oleh perusahaan yang berdomisili di negara mitra. Penjelasan Terbanding mengenai pengertian beneficial owner dalam Surat-nya pun diambil dari berbagai sumber dan tidak ada yang mengacu pada aturan perpajakan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dari aturan perpajakan yang ada pihak DJP sendiri pun masih mengalami kesulitan untuk menentukan apakah

Page 25: 29050S (1)

perusahaan penerima penghasilan merupakan beneficial owner atau bukan. Akibatnya banyak terjadi kebingungan atau ketidakpastian hukum dalam penerapan aturan P3B antara Indonesia dengan negara mitra.

bahwa dalam kasus sengketa banding ini pun telah terjadi kesimpangsiuran pendapat pada pihak Terbanding dalam menentukan apakah Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia merupakan beneficial owner dari penghasilan tersebut atau tidak. Sebagai buktinya, dalam proses pemeriksaan yang dilakukan atas kewajiban perpajakan Pemohon Banding tahun 2006, sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Pemeriksa apakah GFBV itu merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% dengan dasar koreksi SE-17/PJ./2005. Namun dalam proses keberatan ternyata Penelaah Keberatan memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian beneficial owner sehingga menganggap GFBV bukan merupakan beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sehingga atas bunga tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.

bahwa karena tidak ada aturan yang jelas tentang beneficial owner yang disetujui oleh Indonesia dengan negara mitra, maka untuk melaksanakan P3B antara Indonesia dan 25egara mitra seharusnya Direktur Jenderal Pajak mengikuti ketentuan dalam SE-03/PJ.101/1996 di mana SKD merupakan dasar untuk menerapkan ketentuan P3B.

Mode of Application dan SE-17/PJ/2005

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menganggap bahwa Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda belum dapat diterapkan karena belum adanya tata cara penerapan (mode of application) dengan menerbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-17/PJ/2005.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Belanda sudah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 92 Tahun 2003 (Lembar Negara Nomor 130 Tahun 2003) tanggal 14 November 2003 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2004. Dengan ditandatanganinya P3B oleh kedua belah pihak yaitu Pemerintah Indonesia dan Negara Belanda, maka Wajib Pajak Indonesia dan Wajib Pajak Belanda harus mematuhi seluruh ketentuan dalam P3B Indonesia – Belanda yang telah disetujui tersebut.

bahwa dalam P3B Indonesia – Belanda yang telah disetujui tersebut telah menetapkan ketentuan-ketentuan di mana negara sumber tidak diperkenankan untuk melakukan pemotongan pajak (withholding tax) atas pembayaran bunga dari hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari dua tahun dan tidak terdapat ketentuan-ketentuan lain yang membatasi pembebasan pemotongan pajak tersebut. Oleh karena itu cara-cara penerapan yang belum diatur tersebut tidak dapat mengubah validitas atau persyaratan dari Pasal-Pasal dalam P3B.

bahwa adapun kedudukan P3B adalah lebih tinggi dari Undang-Undang, sementara kedudukan aturan pelaksanaan (antara lain Surat Edaran) berada di bawah Undang-Undang sehingga aturan pelaksanaan seperti Surat Edaran seharusnya hanya dapat mengatur mengenai masalah administratif saja dan seyogyanya tidak dapat mengubah substansi dari aturan dalam P3B.

Surat Competent Authority Perpajakan Belanda

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang

Page 26: 29050S (1)

menyatakan agar Majelis Hakim mengabaikan surat dari authority perpajakan Belanda tanggal 27 Mei 2005 tentang penerapan pembebasan pajak mengenai Pasal bunga dalam konvensi pajak antara Indonesia dan Belanda. Menurut Pemohon Banding surat dari authority perpajakan Belanda tersebut sangat relevan dengan sengketa banding mengenai pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang dibayarkan ke GFBV, Belanda.

bahwa adapun surat ini terbit disebabkan karena penerapan P3B Indonesia – Belanda yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2004 belum berjalan sebagaimana mestinya. Di dalam surat tersebut diungkapkan bahwa pihak authority perpajakan Belanda memperoleh informasi dari pihak komunitas bisnis Belanda yang bermitra dengan pihak Indonesia yang mengungkapkan adanya semacam ketidakpastian tentang penerapan P3B Indonesia – Belanda ini. Di dalam surat Authority Pajak Belanda yang ditandatangani oleh Direktur Tax Policy dan Legislasi tanggal 27 Mei 2005 tersebut yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia disebutkan sebagai berikut:

"Sayangnya, saya mendapat informasi dari komunitas bisnis Belanda bahwa ada semacam ketidakpastian tentang penerapan pembebasan. Kami paham bahwa Indonesia hanya bersedia untuk memberikan manfaat-manfaat dari traktat ini pada saat cara-cara penerapan yang berkaitan dengan pembebasan ini telah dikeluarkan. Namun demikian, karena hingga saat ini belum ada cara-cara penerapan yang telah diterbitkan, masyarakat bisnis Belanda mengkhawatirkan status pembebasan saat ini"

"Dalam pandangan kami, konvensi itu sendiri menetapkan syarat-syarat dimana negara asal harus melepaskan pajak pungutan. Dalam konvensi tersebut tidak terdapat ketentuan yang membatasi pembebasan dari pajak pungutan. Karena itu, cara-cara penerapan tidak dapat mengubah validitas atau persyaratan dari Pasal-Pasal dalam konvensi. Hal tersebut hanya melaksanakan apa yang dimaksud dalam konvensi. Cara-cara penerapan mengatur bagaimana pembatasan pajak pungutan tersebut diberikan (metode pembebasan atau pengembalian), kepada pemeriksa pajak mana pembayar pajak harus ditujukan dan elemen prosedural mana yang harus dipenuhi".

Menimbang hal tersebut diatas, saya memiliki pendapat bahwa seseorang yang berada dalam cakupan konvensi tersebut dan cakupan pembebasan yang dinyatakan, terkait dengan pajak pungutan 10%, harus dibebaskan dari pajak pungutan pada bunga dari tanggal Traktat baru ini berlaku misalnya dari 1 Januari 2004, tanpa memperhatikan apakah caracara penerapan telah dikeluarkan".

bahwa dari penjelasan diatas, dapat kami simpulkan bahwa penerapan P3B Indonesia dan Belanda yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2004 dianggap oleh Pemerintah Belanda belum berjalan sebagaimana mestinya, dan sesuai dengan Surat Authority Belanda yang ditandatangani oleh Direktur International Tax Policy dan Legislasi menyatakan bahwa komunitas bisnis Belanda yang bermitra dengan pihak bisnis Indonesia merasa terdapat ketidakpastian tentang penerapan pembebasan ini, dan komunitas bisnis Belanda juga mengkhawatirkan status pembebasan ini.

bahwa dalam hal ini Pemohon Banding berusaha membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia dalam hal ini DJP telah bertindak secara sepihak dalam menentukan pemotongan pajak atas penghasilan bunga yang dibayarkan ke Wajib Pajak Belanda yaitu dengan mengenakan pemotongan sebesar 10% karena belum adanya cara-cara penerapan P3B (mode of application). Namun di lain pihak Pemerintah Belanda dalam suratnya kepada DJP menyatakan bahwa pembebasan pemotongan pajak seharusnya sudah berlaku sejak tanggal berlakunya P3B yaitu tanggal 1

Page 27: 29050S (1)

Januari 2004 tanpa memperhatikan apakah cara-cara penerapan (mode of application) telah dikeluarkan.

bahwa karena P3B merupakan sebuah kesepakatan antara dua pemerintah negara, maka sudah seharusnya ketentuan-ketentuannya dipatuhi oleh kedua negara tersebut dan tidak dapat dianulir secara sepihak dengan ketentuan lain seperti Surat Edaran.

bahwa dengan tetap berpegang pada P3B Indonesia – Belanda dan juga ditegaskan dengan surat dari Authority Belanda tersebut, maka menurut Pemohon Banding penghasilan bunga yang dibayarkan kepada GFBV Belanda seharusnya tidak dikenakan pemotongan pajak (PPh Pasal 26) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda

Pembuktian bahwa GFBV Belanda bukan beneficial owner

bahwa kembali perlu Pemohon Banding informasikan bahwa masalah beneficial owner atas penghasilan bunga yang diterima oleh GFBV sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Pemeriksa dalam pemeriksaan pajak. Pemeriksa melakukan koreksi PPh Pasal 26 dengan mengenakan tarif 10% dengan dasar SE-17/PJ/2005 tanggal 01 Juni 2005 yaitu belum adanya mode of application dalam penerapan P3B Indonesia – Belanda.

bahwa namun Pemohon Banding pun tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa GFBV merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterima dari Pemohon Banding dengan penjelasan sebagai berikut:

Sebagaimana telah Pemohon Banding uraikan pada butir C di atas, definisi beneficial owner yang disyaratkan dalam P3B belum secara jelas ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa GFBV bukan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterima dari Pemohon Banding tidak memiliki dasar yang cukup kuat dan hanya berdasarkan dugaan semata. Sedangkan dari Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda secara jelas disebutkan bahwa GFBV merupakan penduduk dan Wajib Pajak Belanda, sehingga seharusnya ketentuan Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda dapat diterapkan dalam pembayaran bunga kepada GFBV.

Menanggapi pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa GFBV dianggap tidak aktif hanya karena laporan keuangan GFBV di tahun pajak 2006 tidak diaudit berdasarkan hukum di negara tempat berdirinya, menurut kami merupakan asumsi yang sama sekali tidak berdasar. Menurut Pemohon Banding sama sekali tidak ada hubungannya antara aktif I tidak aktifnya sebuah perusahaan dengan dilakukannya atau tidak dilakukannya suatu audit laporan keuangan. Andaipun sebuah perusahaan dianggap tidak aktif, bukan berarti perusahaan tersebut bukan beneficial owner dari suatu penghasilan.

Sebagaimana diuraikan oleh Terbanding dengan pendekatan Look Through Approach yang menyatakan bahwa Goederhand Finance BV tidak dapat dikategorikan sebagai beneficial owner karena tidak dimiliki oleh penduduk Belanda melainkan oleh resident di Negara lain, yaitu Malaysia sehingga tidak dapat diberikan manfaat P3B. Pemohon banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding ini karena dalam P3B Indonesia – Belanda maupun dalam aturan perpajakan Indonesia tidak ada keharusan bahwa pemegang saham dari sebuah perusahaan juga harus merupakan penduduk negara mitra untuk dapat menerapkan ketentuan P3B Indonesia – Belanda. Dasar aturan yang ada tentang penerapan persetujuan P3B adalah domisili dari perusahaan yang melakukan transaksi, dan sama sekali tidak menyinggung pemegang saham dari perusahaan tersebut. Maka untuk penerapan P3B bukti yang diminta oleh Pemerintah Indonesia

Page 28: 29050S (1)

adalah Surat Keterangan Domilisi (SKD) oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang melakukan transaksi sebagaimana diatur dalam SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 yang membuktikan tempat kedudukan / domisili (tax residency) dari perusahaan tersebut. Dengan demikian, menurut kami Terbanding tidak tepat dalam menggunakan pendekatan metode Look Through Approach untuk menentukan beneficial ownership dari GFBV.

Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa GFBV sampai dengan 2006 belum dikenakan pajak di negara Belanda, sehingga apabila dilakukan pendekatan Subject To Tax Approach, GFBV tidak dapat dikategorikan sebagai beneficial owner. Menurut Pemohon Banding, pendapat tersebut sangat tidak berdasar, karena dalam uraiannya Terbanding sendiri menyatakan bahwa pada tahun 2006 Laporan Keuangan GFBV tidak diaudit berdasarkan hukum di negara Belanda, sehingga bagaimana Terbanding bisa menyatakan bahwa pada tahun 2006 GFBV tidak dikenakan pajak di negara Belanda. Sedangkan dari informasi yang kami dapatkan dari Competent Authority Negara Belanda, GFBV merupakan tax resident negara Belanda (tercantum dalam Surat Keterangan Domisili) sehingga secara otomatis GFBV harus memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya di Negara Belanda termasuk membayar pajak di Negara Belanda. Dengan demikian pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa GFBV bukan beneficial owner berdasarkan metode Subject To Tax Approach sama sekali tidak benar dan tidak terbukti.

Pemohon Banding juga tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa GFBV bukan merupakan entitas yang bonafide dimana karena sahamnya belum diperdagangkan di bursa efek dan karena belum melakukan kegiatan atau belum beroperasi dalam kurun waktu 2004 – 2006 sehingga dianggap tidak ada kemampuan untuk memberikan pinjaman apabila dilakukan pendekatan Bonafide Transaction Approach. Menurut Pemohon Banding, walaupun GFBV belum beroperasi, namun tidak dapat dikatakan tidak dapat memberikan pinjaman kepada pihak lain. Karena dapat saja pinjaman yang diberikan dapat berasal dari Modal Saham yang disetor oleh pemegang saham GFBV atau dari pinjaman pihak lain mengingat GFBV merupakan lembaga keuangan. Sehingga dari modal atau pinjaman tersebut, GFBV dapat memberikan pinjaman kepada Pemohon Banding. Oleh karena itu pendapat Terbanding tidak dapat dibuktikan dengan metode Bonafide Transaction Approach.

bahwa dari penjelasan di atas, dapat kami tegaskan pernyataan Terbanding bahwa GFBV bukan merupakan beneficial owner atas penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sama sekali tidak berdasar.

bahwa untuk menentukan apakah atas penghasilan bunga yang diterima oleh GFBV Belanda dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 atau tidak, seharusnya dilihat dari P3B Indonesia – Belanda dan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang menunjukkan bahwa apakah GFBV merupakan tax resident Negara Belanda sebagai dasar penerapan ketentuan P3B Indonesia – Belanda tersebut

Putusan Pengadilan atas Kasus Serupa

bahwa menanggapi contoh-contoh kasus yang diberikan oleh Terbanding, berikut adalah tanggapan dari Pemohon Banding:

1. Pendapat Pemohon Banding atas Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 13603/PP/M.I/13/2008 tanggal 14 Maret 2008

Page 29: 29050S (1)

Dalam suratnya Terbanding menguraikan pendapat Majelis Hakim tentang pengertian beneficial owner namun Terbanding tidak merincikan secara jelas keputusan Majelis Hakim dari kasus yang disengketakan. Adapun pendapat Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Pajak yang diuraikan oleh Terbanding menyebutkan bahwa:a. Pengertian beneficial owner harus ditinjau dari kenyataan yang

sesungguhnya atau fakta yang terjadi dan bukan hal-hal yang semata-mata bersifat formal.

b. Beneficial owner adalah pihak yang secara substansial nyata-nyata merupakan pemilik yang sesungguhnya dari suatu penghasilan yang dengan bebas dapat menikmati penghasilan tersebut dan di negara domisili dikenakan pajak atas penghasilan tersebut.

Walaupun Pemohon Banding tidak menerima fotokopi Putusan Pengadilan tersebut secara lengkap sehingga tidak dapat mempelajari secara seksama namun apabila pengertian beneficial owner menurut Putusan Pengadilan ini dikaitkan dengan kasus Pemohon Banding, maka dapat kami tanggapi sebagai berikut:

· Sepengetahuan Pemohon Banding, GFBV merupakan pemilik yang sesungguhnya dari pembayaran bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding dan GFBV pun dapat dengan bebas menikmati penghasilan tersebut. Sesuai dengan Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda, GFBV merupakan Wajib Pajak Negara Belanda sehingga atas penghasilan bunga yang diterima oleh GFBV dari Pemohon Banding dikenakan pajak atas penghasilan di negara Belanda.

· Menurut Pemohon Banding, pendapat Terbanding yang menyimpulkan bahwa GFBV bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sangatlah tidak berdasar dan hanya menggunakan asumsi semata, karena pada kenyataannya GFBV merupakan pemilik sesungguhnya dari pembayaran bunga yang diterimanya dan tentunya dapat dengan bebas menikmati penghasilan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembayaran bunga yang langsung dilakukan oleh Pemohon Banding ke rekening GFBV. Dengan demikian penghasilan bunga tersebut terbukti langsung diterima oleh GFBV dan GFBV dapat dengan bebas menikmati penghasilan tersebut. Selain itu GFBV juga merupakan Wajib Pajak Negara Belanda yang mana atas setiap penghasilannya dikenakan pajak di Negara Belanda.

· Dari fakta-fakta tersebut maka GFBV seharusnya memenuhi ketentuan beneficial owner sesuai dengan pendapat Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan nomor Put. 13603/PP/M.I/13/2008 dan berhak mendapatkan fasilitas penurunan pemotongan PPh yang diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda.

2. Pendapat Pemohon Banding atas Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 15719/PP/M.VIII/13/2008 tanggal 22 Oktober 2008 ;

Adapun pendapat Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor Put 15719/PP/M.VIII/13/2008 tanggal 22 Oktober 2008 yang diuraikan oleh Terbanding pada intinya bahwa Majelis Hakim sependapat dengan pengertian beneficial owner dalam SE DJP nomor SE-04/PJ.34/2005. Dalam Putusan tersebut ditegaskan bahwa apabila Terbanding sudah mengetahui bahwa yang menerima bukan beneficial owner, fasilitas penurunan tarif tidak perlu diberikan, dan Terbanding harus membuktikan bahwa yang menerima penghasilan bukan beneficial owner.

Page 30: 29050S (1)

Namun dari pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan oleh Terbanding untuk membuktikan GFBV bukan merupakan beneficial owner dengan menggunakan pendekatan yang diberikan OECD, menurut Pemohon Banding sama sekali tidak berdasar dan tidak terbukti bahwa GFBV bukan merupakan beneficial owner sebagaimana telah Pemohon Banding tanggapi dalam butir F.

Sehingga untuk menentukan apakah atas penghasilan bunga yang diterima oleh GFBV Belanda dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 atau tidak, seharusnya dilihat dari P3B Indonesia – Belanda dan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang menunjukkan bahwa apakah GFBV merupakan tax resident Negara Belanda sebagai dasar penerapan ketentuan P3B Indonesia – Belanda tersebut.

Dengan demikian kesimpulan Terbanding yang menggunakan Putusan Pengadilan Pajak RI nomor Put. 15719/PP/M.VIII/13/2008 sebagai referensi dalam menentukan apakah GFBV merupakan beneficial owner atas penghasilan bunga yang diterima dari Pemohon Banding sama sekali tidak tepat.

bahwa dengan menjunjung tinggi asas independensi Majelis Hakim yang mulia dalam memutuskan setiap sengketa, namun terkait dengan contoh Putusan Pengadilan yang disampaikan oleh Terbanding di atas dan sebagai bahan pertimbangan Mejelis, Pemohon Banding juga telah menyampaikan putusan-putusan pengadilan dengan kasus yang menurut Pemohon Banding serupa atau memiliki relevansi dengan kasus sengketa banding ini pada persidangan tanggal 22 Maret 2010 yaitu:

1. Putusan Pengadilan No Put. 15378/PP/M.IX/13/2008 yang diucapkan tanggal 17 September 2008 mengenai Banding dari PT. Purimas Sasmita (pemegang saham mayoritas (99.99%) dari PT. Sawit Mas Sejahtera) terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-828NVPJ.07/BD.05/2007 tanggal 18 Juni 2007 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

2. Putusan Pengadilan No Put. 19794/PP/M.X/13/2009 yang diucapkan tanggal 9 September 2009 mengenai Banding dari PT. Leidong West Indonesia terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-552/VVPJ.07/BD.06/2008 tanggal 24 April 2008 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

3. Putusan Pengadilan No Put. 20477/PP/M.VI/13/2009 yang diucapkan tanggal 4 November 2009 mengenai Banding dari PT. Kresna Duta Agroindo terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-1348/WPJ.06/BD.06/2008 tanggal 31 Juli 2008 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

4. Putusan Pengadilan Pajak No. Put 21208/PP/M.I11/13/2009 yang diucapkan tanggal 17 Desember 2009 mengenai Banding dari PT. Sinar Kencana Inti Perkasa terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-122/VVPJ.19/BD.05/2008 tanggal 3 April 2008 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Pasal 26 tahun 2005 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon Banding.

5. Putusan Pengadilan No Put. 21187/PP/M.XI/13/2009 yang diucapkan tanggal 17 Desember 2009 mengenai Banding dari PT. Sawit Mas Sejahtera terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-165/WPJ.09/BD.05/2008 tanggal 25 April 2008 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun 2005 yang dalam amar putusannya "mengabulkan seluruh" permohonan banding Pemohon

Page 31: 29050S (1)

Banding.

bahwa Terbanding menyampaikan penjelasan kepada Majelis sebagai berikut:

bahwa beneficial owner (BO) harus dilihat dari substansi bukan dari sisi formalitas artinya bahwa untuk mengetahui suatu badan penerima bunga pinjaman merupakan BO atau bukan tidak semata-semata dilihat dari formalitasnya tapi dilihat fakta yang terjadi dan skema transaksi serta kondisi-kondisi yang ada;

bahwa disamping itu fakta bahwa Goederhand Finance BV dimiliki 100% oleh Golden Agri Resources Ltd., melalui anak perusahaannya yakni Golden Agri International Trading Ltd. dan bahwa Pemohon Banding pun dimiliki 100% oleh Golden Agri Resources Ltd., melalui PT Purimas Sasmita kemudian PT Sawit Mas Sejahtera menunjukkan bahwa skema pinjaman yang dilakukan telah dibuat sedemikian rupa sehingga keuntungan pajak, yang dalam hal ini berupa fasilitas yang diberikan P3B Indonesia-Belanda dapat diperoleh.

bahwa Goederhand Finance BV dan Pemohon Banding( PB) adalah sama-sama merupakan anak perusahaan dari Golden Agri Resources Ltd sehingga seharusnya PB bisa mendapatkan data berupa: Akte pendirian, Laporan Keuangan, Jumlah Pegawai sehingga mudah untuk menentukan BO;

bahwa Terbanding menyampaikan Pasal 11 ayat (2) Tax Treaty antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yaitu:

Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dan jumlah bruto bunga.

bahwa Terbanding menyampaikan adalah apabila penerima bunga merupakan BO maka tarif P3B dapat diterpkan, namun apabila penerima bunga pinjaman bukan merupakan BO maka hukum domistik yang diberlakukan;

bahwa Terbanding memberikan penjelasan akhir terhadap keberatan Pemohon Banding atas koreksi yang dilakuakn oleh Terbanding karena tidak dapat dibuktikannya bahwa penerima bunga adalah beneficial owner sebagai berikut:

bahwa Terbanding (Direktorat Jenderal Pajak (DJP)) berpendapat bahwa Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia –Belanda belum dapat diterapkan mengingat competent authority perpajakan kedua belah pihak belum membentuk mode of application sesuai amanat Pasal 11 ayat (5) P3B dengan pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan oleh Terbanding dalam surat-surat sebelumnya. Pendapat DJP ini telah menjadi sikap atau posisi Pemerintah Indonesia yang resmi atas penerapan Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda karena telah ditanggapi secara resmi oleh Kementerian Keuangan Belanda, yang dalam hal ini mewakili Pemerintah Belanda, yang berujung dengan dilakukannya renegosiasi P3B antara kedua negara. Dengan demikian, Terbanding berpendapat bahwa sikap tersebut semestinya dihormati dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terkait di dalam negeri Indonesia.

bahwa belum dapat diterapkannya Pasal 11 ayat (4) tersebut tidak berarti bahwa Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda tidak dapat diterapkan dalam hal terdapat transaksi pembayaran bunga, melainkan perlakuan pajak atas

Page 32: 29050S (1)

pembayaran bunga dari Indonesia kepada penduduk Belanda dikembalikan kepada ketentuan normal sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda, yang menyatakan sebagai berikut:

Para 2 "However, such interest may also be taxed in the State in which it arises and according to the laws of that State, but if the beneficial owner of the interest is a resident of the other State, the tax so charged shall not exceed 10 per cent of the gross amount of the interest".

bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut, diatur bahwa Negara sumber, dalam hal ini Indonesia, berhak untuk mengenakan pajak atas pembayaran bunga kepada penduduk Belanda, SESUAI DENGAN KETENTUAN DOMESTIKNYA, namun apabila penerimanya merupakan beneficial owner dari bunga tersebut maka tarif pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi 10%.

bahwa merujuk kepada ketentuan undang-undang perpajakan domestik dan Pasal 1, Pasal 4 serta Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda, maka jelas bahwa penurunan tarif pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia –Belanda hanya dapat diterapkan apabila terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik syarat formal maupun substantif. Persyaratan formal harus dipenuhi yakni bahwa penerima penghaslian bunga merupakan penduduk Belanda yang dapat ditunjukkan dengan adanya SKD. Keberadaan dokumentasi transaksi termasuk adanya perjanjian antara kedua belah pihak, dan adanya bukti pembayaran bunga langsung kepada GFBV merupakan bagian dari pemenuhan persyaratan formal dimaksud. Sementara itu, persyaratan substantif adalah bahwa penerima penghasilan harus merupakan beneficial owner dari penghasilan yang diterimanya.

bahwa berdasarkan hal tersebut, menurut Terbanding, argumentasi yang disampaikan oleh Pemohon Banding baik di dalam persidangan maupun dalam surat tanggapannya selalu berpijak kepada hal-hal yang bersifat formal belaka. Padahal, persyaratan beneficial ownership sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda merupakan persyaratan substantif yang harus ditinjau dari kenyataan yang sesungguhnya atau fakta yang terjadi dan bukan hal-hal yang semata-mata bersifat formal. SKD sesuai dengan namanya merupakan pengakuan bahwa seseorang atau suatu badan usaha hukum berdomisili di negara yang menerbitkan SKD tapi tidak dengan sendirinya merupakan bukti yang menyatakan suatu pihak sebagai beneficial owner.

bahwa selanjutnya, sebagai Wajib Pajak yang terdaftar di Indonesia, Pemohon Banding berkewajiban untuk menerapkan ketentuan domestik Indonesia sepenuhnya tanpa perlu mengkhawatirkan akan terjadinya pemajakan berganda atau tidak, karena hal tersebut, menurut Terbanding, merupakan domain dari competent authority perpajakan Indonesia, bukan domain dari Wajib Pajak. P3B memang dirancang salah satunya untuk tujuan menghindari terjadinya pemajakan berganda sehingga di dalamnya sudah dibuat sedemikian rupa ketentuan yang dapat mencegah terjadinya hal tersebut. Pasal 24 dan Pasal 27 P3B Indonesia – Belanda merupakan Pasal yang dirancang untuk mengakomodasi terjadinya hal tersebut.

bahwa dengan demikian, argumentasi Pemohon Banding bahwa apabila Pemohon Banding melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga kepada GFBV akan terjadi pemajakan ganda adalah tidak relevan sehingga tidak dapat diterima.

bahwa seandainya Majelis Hakim yang terhormat berpendapat bahwa

Page 33: 29050S (1)

ketentuan Pasal 11 ayat (4) tetap harus diberlakukan, maka persyaratan beneficial ownership juga melekat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) tersebut sebagaimana bunyi Pasal dimaksud sebagai berikut:

Para 4 "Notwithstanding the provision of paragraph 2, interest arising in one of the two States shall be taxable only in the other State IF THE BENEFICIAL OWNER OF THE INTEREST is a resident of the other State and if the interest is paid on a loan made for a period of more than 2 years or is paid in connection with the sale on credit of any industrial, commercial or scientific equipment".

bahwa dengan demikian, bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada penduduk Belanda atas pinjaman yang berjangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun tidak dengan serta merta kemudian menyebabkan hak pemajakannya berada di Belanda apabila persyaratan beneficial ownershipnya tidak terpenuhi.

bahwa di dalam persidangan, Majelis Hakim mengajukan pertanyaan kepada Terbanding mengenai kriteria beneficial owner sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-62/PJ./2009 tanggal 5 November 2009 tentang Pencegahan Penyalahgunan Penghindaran Pajak Berganda, dan menanyakan bagaimana apabila kriteria itu diterapkan dalam kasus ini.

bahwa menurut Terbanding, kandungan ketentuan dalam PER-62/Pj./2009 secara substansi bukan merupakan hal yang baru melainkan sebenarnya berisi hal-hal yang telah diketahui dan dipahami oleh pihak-pihak yang mengerti dan memahami seluk beluk perpajakan internasional. Di dalam PER-62/PJ./2009 disajikan secara sistematis dan terstruktur hal-hal yang terkait dengan penyalahgunaan P3B, termasuk mengenai kualifikasi seseorang atau badan sebagai beneficial owner dari suatu jenis penghasilan pasif sebagaimana umumnya diatur dalam Pasal 10, 11 dan 12 P3B Indonesia dengan Negara mitra P3B.

bahwa sebelum memberikan uraian lebih lanjut mengenai hal ini, Terbanding mohon kepada Majelis Hakim untuk menanyakan hal yang serupa kepada Pemohon Banding, yakni apakah GFBV dapat memenuhi kriteria beneficial owner sesuai ketentuan di atas dan kemudian menjadikan jawaban yang disampaikan oleh Pemohon Banding sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus sengketa banding ini.

bahwa di dalam PER-62/PJ./2009 tersebut diatur bahwa P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B meskipun penerima penghasilan merupakan penduduk dari Negara mitra P3B, yang dapat ditunjukkan dengan adanya SKD. Selanjutnya diatur bahwa penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal:

a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;

b. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau

c. penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

bahwa sementara itu, yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner) adalah penerima penghasilan yang:

a. bertindak tidak sebagai Agen;

Page 34: 29050S (1)

b. bertindak tidak sebagai Nominee; danc. bukan Perusahaan Conduit.

bahwa yang dimaksud dengan Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan. Sementara itu, Perusahaan Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima Iangsung.

bahwa ditinjau dari sisi yang lain, yakni melalui pendekatan bonafiditas transaksi maka di dalam PER-62/PJ./2009 juga dinyatakan bahwa badan yang dicakup dalam P3B yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B antara lain adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan :

1. pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan

2. kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan

3. perusahaan mempunyai pegawai; dan4. mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan5. penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara

penerimanya; dan6. tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total

penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.

bahwa selanjutnya diatur bahwa dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, maka Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Selain itu, apabila terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).

bahwa berdasarkan uraian sebagian pokok ketentuan dalam PER-62/PJ./2009 di atas, Terbanding berpendapat bahwa dalam kasus transaksi pemberian pinjaman dan pembayaran bunga dari Pemohon Banding kepada GFBV telah terjadi penyalahgunaan P3B dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Transaksi pinjam meminjam antara Pemohon Banding dan GFBV telah menggunakan sebuah struktur yang dirancang sedemikian rupa untuk dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh P3B Indonesia — Belanda. Hal ini dapat disimpulkan dari fakta bahwa apabila Golden Agri Resources Ltd. (GAR), sebagai induk perusahaan dari Pemohon Banding sekaligus juga sebagai induk dari GFBV, memberikan pinjaman langsung kepada Pemohon Banding, maka manfaat penurunan tarif pemotongan pajak atas bunga yang dibayarkan tidak akan tersedia mengingat GAR berdomisili di Mauritius, yang P3B nya dengan Indonesia telah diterminasi.

b. Memperhatikan fakta bahwa GFBV dimiliki 100% oleh Golden Agri International Trading yang berdomisili di Malaysia dan GFBV merupakan sebuah entitas yang baru didirikan dan di tahun 2005 masih

Page 35: 29050S (1)

belum aktif, maka dapat dipastikan bahwa GFBV hanya merupakan sebuah nominee, yakni bahwa GFBV secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan, tetapi secara substansi harta/penghasilan tersebut untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.

c. Disamping itu, dilihat dari pendekatan bonafiditas transaksi maka berdasarkan bukti-bukti yang telah disampaikan dalam surat Terbanding sebelumnya, Terbanding yakin bahwa GFBV tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PER-62/PL/2009 sehingga GFBV tidak memenuhi kualifikasi sebagai entitas yang berhak mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia – Belanda.

bahwa selanjutnya, menanggapi masalah pembuktian di persidangan banding, Terbanding berpendapat bahwa dalam proses persidangan banding semestinya tidak semata-mata Terbanding yang dituntut untuk memberikan bukti-bukti guna mendukung koreksi yang telah dilakukan, melainkan Pemohon Banding pun semestinya juga dalam posisi yang sama, diminta untuk memberikan tidak saja argumentasi yang bersifat teoritis melainkan bukti-bukti yang menguatkan alasan permohonan bandingnya. Hal ini menurut Terbanding sangat logis karena Pemohon Banding adalah pihak yang berada dalam posisi tidak setuju dengan koreksi yang telah dilakukan Terbanding, sehingga menurut Terbanding, semestinya bahkan Pemohon Banding-lah yang dituntut lebih untuk menyampaikan bukti sebaliknya dan dokumen pendukung atas ketidaksetujuannya tersebut. Apalagi dalam proses keberatan bukti-bukti yang terkait sebenarnya telah diminta oleh Terbanding dan Pemohon Banding tidak menyampaikannya.

bahwa dalam kasus banding ini, seandainya Pemohon Banding bersedia untuk memberikan data atau dokumen yang merupakan bukti bahwa GFBV memenuhi kriteria sebagaimana ditentukan dalam PER-62/Pj/2009, khususnya mengenai 6 (enam) persyaratan bonafiditas transaksi, maka persidangan banding tidak akan berlarutlarut. Apalagi dalam kasus ini, menurut Terbanding, Pemohon Banding ada dalam posisi yang mampu untuk melakukan hal tersebut mengingat GFBV adalah entitas yang berada dalam satu grup perusahaan dengan Pemohon Banding sehingga apabila Pemohon Banding mempunyai itikad baik, maka penyediaan bukti-bukti tersebut sebenarnya sangat dimungkinkan. Hal ini sebenarnya telah terungkap juga dalam persidangan banding di Majelis VIII untuk kasus yang melibatkan GFBV dengan Pemohon Banding yang berbeda namun masih dalam satu grup yang sama (meskipun yang mewakilinya sama).

bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding mengungkapkan sebuah surat nomor: IFZ 2005-392 M2 tertanggal 27 Mei 2005 yang dikeluarkan oleh pihak Belanda (ministerie van Financien) untuk pihak Indonesia (Ministry of Finance of the Republic of Indonesia — Attn. Mr. Harry Sumardjito) dalam mendukung argumentasinya. Majelis Hakim mempertanyakan mengenai respon Pemerintah Indonesia (Direktorat Jenderal Pajak) terhadap surat tersebut mengingat suatu pelaksanaan treaty harus senantiasa berpegang kepada Pacta Sunt Servanda Principle atau good faith (i'tikad baik). Atas hal tersebut, Terbanding dapat menanggapinya sebagai berikut:

a. Surat yang dibuat oleh pihak Belanda kepada pihak Indonesia, apapun isinya sama sekali tidak dapat dijadikan bahan acuan karena surat tersebut hanya merupakan sebuah sikap atau posisi dari pihak Belanda dalam proses perundingan P3B dengan Indonesia. Sikap atau posisi para pihak dapat berubah dalam proses perundingan yang berlangsung dan tidak dapat diketahui perubahan seperti apa yang terjadi sampai adanya kesepakatan yang tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan disahkan secara konstitusional oleh masing-

Page 36: 29050S (1)

masing pihak.b. Bahwa Pemerintah Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak telah

merespon surat dari pihak Belanda dengan surat nomor: S-709/PJ.342/2005 tanggal 16 Agustus 2005 yang pada intinya menegaskan sikap dari Pemerintah Indonesia dalam penerapan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia Belanda sesuai dengan SE-17/PJ/2005 tanggal 01 Juni 2005. Sampai dengan saat ini, belum ada jawaban resmi dari Pemerintah Belanda terhadap respon yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia tersebut.

c. P3B bukan merupakan perjanjian antar competent authority perpajakan, melainkan merupakan sebuah perjanjian bilateral antar Negara. Oleh karena itu, segala dokumen yang terkait dengan proses pembentukan atau perubahan sebuah P3B merupakan dokumen Negara. Terbanding berpendapat bahwa surat yang dibuat oleh pihak Belanda yang diungkapkan oleh Pemohon Banding merupakan bagian dari dokumen Negara dimaksud, yang dilindungi oleh ketentuan tentang kerahasiaan dokumen Negara. Pengungkapan dokumen tersebut tanpa hak atau kewenangan dapat merupakan sebuah pelanggaran ketentuan atau bahkan tindak pidana.

bahwa ketentuan dalam P3B, termasuk dalam P3B Indonesia-Belanda, tidak memberikan penjelasan apapun mengenai bagaimana negara sumber memberikan manfaat penurunan tarif yang diatur dalam P3B yang bersangkutan. Hal ini jelas dari Commentary OECD atas paragraph 2 article 11 Tax Convention, yaitu pada paragraph 12 yang menyatakan sebagai berikut :

The paragraph lays down nothing about the mode of taxation in the State of source. It therefore leaves that State free to apply its own laws and, in particular, to levy the tax either by deduction at source or by individual assessment. Procedural questions are not dealt with in this Article. Each State should be able to apply the procedure provided in its own law.

bahwa berdasarkan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (4) P3B belum dapat diterapkan harus dipahami bahwa mengingat pelaksanaan ketentuan tersebut banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, Pemerintah menetapkan kebijakan untuk tidak memberikan manfaat tariff 0% melalui mekanisme relief at source pada saat pembayaran penghasilan oleh pemotong pajak. Ketentuan domestic Indonesia ini tidak dapat dipandang sebagai tindakan Indonesia melanggar P3B IndonesiaBelanda.

bahwa Subjek Pajak Dalam Negeri Belanda yang menganggap dirinya merupakan beneficial owner berdasarkan bukti-bukti substanstif yang dimiliki untuk memperoleh manfaat P3B Indonesia-Belanda, masih mempunyai hak-nya tersebut melalui mekanisme refund yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

bahwa dalam hal pemberian manfaat P3B tersebut juga tidak dapat diberikan melalui mekanisme relief at source dan mekanisme refund, Subjek Pajak Dalam Negeri Belanda tersebut masih mempunyai hak untuk meminta dilakukan prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) antara Pejabat Berwenang di kedua negara.

bahwa sehubungan dengan uraian-uraian tersebut di atas, perkenankan Terbanding untuk menegaskan hal-hal penting sebagai berikut :

a. Surat dari Kementerian Keuangan Belanda kepada pihak Indonesia yang disampaikan oleh Pemohon Banding merupakan surat antar pejabat berwenang kedua negara. Terbanding berpendapat bahwa untuk menjunjung prinsip good faith antara kedua belah pihak, seyogyanya

Page 37: 29050S (1)

surat tersebut tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan yang dapat menganggu hubungan baik antara kedua negara.

b. Kebijakan domestik Indonesia yang tidak memberikan manfaat tarif 0% sesuai Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia-Belanda tidak dapat dianggap bahwa pihak Indonesia sudah melanggar P3B Indonesia-Belanda. Pihak yang sebenarnya berhak (beneficial owner yang merupakan resident Belanda) masih dapat memperoleh manfaat P3B tersebut melalui mekanisme refund atau MAP. Dengan perkataan lain pemberian manfaat P3B tidak diberikan semata-mata pada saat pembayaran penghasilan oleh pemotong pajak Indonesia.

c Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima penghasilan untuk dapat memperoleh manfaat P3B Indonesia, yaitu tarif 10% atau 0% sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) P3B Indonesia-Belanda adalah :

1 yang bersangkutan merupakan beneficial owner dari penghasilan tersebut; dan

2 yang bersangkutan merupakan resident Belanda.

GFBV melalui Pemohon Banding baru dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah resident Belanda dengan menunjukkan SKD Belanda. Namun demikian, baik GFBV sebagai pihak yang akan meminta manfaat P3B Indonesia – Belanda atau Pemohon Banding belum dapat membuktikan bahwa GFBV merupakan beneficial owner dari penghasilan yang bersangkutan. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (4) P3B Indonesia – Belanda, pihak Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan manfaat P3B tersebut sepanjang GFBV atau Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa GFBV merupakan beneficial owner.

d. Terbanding telah menyampaikan fakta kepada Majelis Hakim bahwa GFBV dimiliki sepenuhnya (100%) secara tidak langsung oleh GAR Ltd. Mauritius. Berdasarkan fakta tersebut, Terbanding telah menyampaikan bahwa GAR Ltd. Mauritius menciptakan struktur tertentu dengan mendirikan GFBV di Belanda untuk dapat memperoleh manfaat P3B Indonesia – Belanda yang seharusnya tidak dapat diperoleh yang bersangkutan.

Berdasarkan hal tersebut, Terbanding berpendapat bahwa GFBV bukan merupakan beneficial owner. Apabila tidak ada data lain yang menyatakan lain, Terbanding berpendapat bahwa GAR Ltd. Mauritius sebagai The Fully Ultimate Shareholder (100%) atas GFBV merupakan The Ultimate beneficial owner dari penghasilan yang diterima oleh GFBV.

e. Untuk memutuskan hal ini dengan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan P3B Indonesia-Belanda, apabila Majelis Hakim akan memutuskan bahwa penerima penghasilan berupa bunga di Belanda berhak atas manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia-Belanda, Terbanding mohon kepada Majelis Hakim agar kepada penerima penghasilan bunga di Belanda sebagai pihak yang meminta manfaat P3B Indonesia-Belanda atau Pemohon Banding sebagai Pemotong Pajak yang merupakan perusahaan dalam grup yang sama harus dapat membuktikan sebagai beneficial owner yang sebenarnya. Bukti atau dokumen yang relevan antara lain adalah :1. Akte pendirian;2. Laporan keuangan;3. SPT (pelaporan pajak) di Belanda.

bahwa Pemohon Banding memberikan tanggapan atas penjelasan akhir Terbanding a quo sebagai berikut:

Page 38: 29050S (1)

bahwa PER-62/PJ./2009 tidak bisa diterapkan untuk kasus banding ini karena banding yang diajukan oleh Pemohon banding adalah tahun pajak 2006, dan PER-62/PJ./2009 tidak berlaku surut;

bahwa dalam kasus pembayaran bunga kepada pihak GFBV, Pemohon Banding tidak bisa memotong PPh Pasal 26 karena pihak Belanda tidak mau dipotong PPh Pasal 26 dengan alasan sesuai dengan P3 B antara Indonesia dan Belanda maka pihak yang berkewajiban memotong PPh Pasal 26 adalah pihak Belanda ;

bahwa pihak Pemerintah Belanda telah mengirimkan surat nomor: IFZ 2005-392 MZ tanggal 27 Mei 2005 yang ditujukan kepada pihak Indonesia namun Pemerintah Indonesia belum merespon surat tersebut sehingga tidak timbul masalah seperti ini;

bahwa atas tanggapan Pemohon Banding a quo telah dijelaskan secara menyeluruh oleh Terbanding melalui tanggapan akhir a quo;

bahwa Majelis meminta penjelasan Terbanding tentang pendapat Terbanding terhadap prinsip-prinsip Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian International;

bahwa Terbanding menyampaikan kepada Majelis bahwa Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.

bawa Majelis meminta kepada pihak Terbanding agar menjelaskan jawaban Pemerintah Indonesia terhadap surat dari Pemerintah Belanda nomor: IFZ 2005-392 MZ tanggal 27 Mei 2005;

bahwa Terbanding menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak telah merespon surat dari pihak Belanda dengan surat nomor: S-709/PJ.342/2005 tanggal 16 Agustus 2005 yang pada intinya menegaskan sikap dari Pemerintah Indonesia dalam penerapan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia Belanda sesuai dengan SE-17/P1/2005 tanggal 01 Juni 2005. Sampai dengan saat ini, belum ada jawaban resmi dari Pemerintah Belanda terhadap respon yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia tersebut.

bahwa Terbanding menerbitkan Peraturan Pelaksanaan lebih lanjut dengan Surat Edaran Terbanding Nomor : SE-17/PJ/2005 tanggal 01 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pasal 11 tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda;

bahwa Surat Edaran Terbanding Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 menyatakan:“Sebagaimana diketahui, di dalam Persetujuan Penghindaran Pajak

Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda hasil renegosiasi yang telah berlaku efektif terhitung mulai tanggal 01 Januari 2004, terhadap ketentuan dalam Pasal 11 tentang bunga, yang mengatur antara lain :a. Pasal 11 ayat (1) ,menyatakan bahwa "Bunga yang timbul di salah satu

Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya."

b. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa "Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara dimana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara

Page 39: 29050S (1)

lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 %."c. Pasal 11 ayat (4), menyatakan bahwa "Menyimpang dari ketentuan-

ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan."

d. Pasal 11 ayat (5) menyatakan bahwa "Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3), dan (4)."

Ketentuan Pasal 11 ayat (5) di atas menyebutkan bahwa tatacara pelaksanaan ayat (2), (3), dan (4) akan disusun oleh "Pejabat yang Berwenang" antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Belanda. Dalam hal ini, baik Terbanding selaku "Pejabat yang Berwenang" Indonesia maupun "Pejabat yang Berwenang" Belanda, belum melakukan pembicaraan tentang aturan pelaksanaan ayat-ayat tersebut.

Selanjutnya dengan mempertimbangkan banyaknya permintaan informasi dari Pemohon Banding dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Terbanding tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap bunga yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Indonesia atas utang kepada Penduduk Belanda baik perorangan maupun badan berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) P3B Indonesia-Belanda, maka dengan ini diberikan petunjuk pelaksanaan sebagai berikut :1. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tatacara

pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada pendukuk Belanda baik Perorangan maupun Badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan;

2. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.”

Pendapat Majelis

bahwa berkaitan dengan masalah yuridis tersebut di atas maka Majelis berpendapat sebagai berikut :

bahwa Majelis sependapat dengan beberapa hal yang dikemukakan oleh Terbanding dalam suratnya no:S-7717/PJ.07/2010, tanggal 30 Agustus 2010 tentang tinjauan berbagai hal yang menyangkut pengertian “beneficial owner”.

bahwa konsep “beneficial owner” yang pada dasarnya berusaha memisahkan antara pihak yang secara legal/formal berhak atas suatu penghasilan dengan pihak lain yang secara nyata dan faktual menikmati manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut adalah berasal dari prinsip “substance over form” yang dianut oleh Terbanding maupun oleh kebanyakan otoritas perpajakan negara lain.

Page 40: 29050S (1)

bahwa menurut Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan Peraturan perundang-undangan Perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan Hakim;

bahwa Pasal 69 Undang-Undang Pengadilan Pajak a quo alat bukti dapat berupa :a. ....b. ...dste. Pengetahuan Hakim

bahwa namun demikian, seperti halnya yang diakui sendiri oleh Terbanding, pengertian “beneficial owner” belum diatur secara tegas dan terperinci baik di P3B maupun di aturan domestik Indonesia..

bahwa sehubungan dengan itu Majelis Hakim perlu meneliti pengertian beneficial owner dari berbagai sumber acuan;

bahwa pemisahan antara pihak Pemilik Formal dengan pihak yang Berkuasa atas hasil atau manfaat yang berasal dari suatu barang seperti tersebut diatas juga dikenal dalam Hukum Perdata di Indonesia , yaitu pada Buku Ke II tentang Kebendaan.

bahwa Pasal 529 KUH Perdata mengatur bahwa: “Yg dinamakan kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yg meguasai suatu kebendaan................, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yg memiliki kebendaan itu”.

bahwa sedangkan Pasal 534 selanjutnya mengatur bahwa: “ Tiap-tiap pemegang kedudukan , selama tak terbukti bahwa untuk orang lainlah kedudukan itu mulai dipegangnya, harus dianggap memegangnya untuk diri sendiri”.

Dilihat dari sudut pandang Hukum International:

bahwa Majelis perlu meneliti tentang adat kebiasaan yang lazim dan baik (best practice) dalam kaitan dengan Tax Treaties. Sehubungan dengan itu Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 dapat menjadi inspirasi hukum untuk menyikapi sengketa banding ini;

bahwa menurut Article 2 (a) Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969 (entered into force on 27 Jan 1980) dan Vienna Convention on the Law of Treaties Between States and International Organizations or Between International Organization, 1986, disebutkan bahwa : "treaty means an international agreement concluded between states ....in written form and governed by international law ... ..."

bahwa oleh karenanya apabila terjadi sengketa maka penyelesaiannya adalah melalui International Court of Justice/Tribunal (Article 66) yang tentunya akan menerapkan prinsip-prinsip hukum international, dengan konsekuensi finansial maupun politis yang tidak kecil;

bahwa oleh karenanya sepantasnyalah para pihak harus yakin dan dapat menjamin bahwa hukum nasional masing-masing akan memungkinkan mereka menerapkan kewajiban dalam treaty sebelum mereka menandatanganinya.

bahwa Article 26 Vienna Convention secara tegas mengemukakan salah satu prinsip hukum international yaitu Pacta sunt servanda (Latin=Agreement/pact must be kept/respected, as basic principle of Civil Law and International Law) yang berisi : " Every treaty in force is binding

Page 41: 29050S (1)

upon the parties to it and must be performed by them in good faith"

bahwa kegagalan penerapan aturan dalam treaty dengan alasan undang-undang nasional tidak bisa diterima di peradilan internasional, seperti tercantum dalam Article 27 Vienna Convention : " A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty..... ".

bahwa dalam Vienna Convention telah pula diatur tentang "Procedure to be followed with respect to Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of a treatiy", yaitu pada pada Article 65, termasuk adanya pemberitahuan kepada pihak lain tentang adanya klaim dimaksud;

bahwa Article 38 (1)(c) dalam The United Nations Statute of the International Court of Justice menyatakan bahwa: "the general principles of law recognized by civilized nations are a source of international law.";

bahwa unilateral termination without reasonable justification and renegotiation attempt to amend the treaty would contradict contemporary standards of International Treaty Law ( Good-faith Principle);

bahwa tujuan utama dari Double Taxation Agreement/ Treaty pada dasarnya adalah " Elimination of Double Taxation" dan " Distribution of Taxing Power between Contracting States". Pertanyaannya adalah : " to which party the contracting states wished to allocate the taxing power with respect to the disputed income?", yang jawabannya tentu sudah dinegosiasikan sebelum treaty ditandatangani;

Dilihat dari sudut pandang sistim hukum nasional:

bahwa ratifikasi suatu treaty telah melalui proses pembentukan undang-undang (persetujuan DPR dan/atau dengan Kepres) sehingga memperoleh status dipersamakan dengan undang-undang atau bahkan melebihinya ("lex-specialis"). Apabila dikehendaki ada perubahan tentunya dapat dilakukan dengan prosedur yang sama pula, tidak hanya sekedar dengan menerbitkan Surat Edaran Terbanding;

bahwa sesuai dengan Peraturan Terbanding No: PER-41/PJ/2008, tanggal 6 Oktober 2008, tentang: "Pedoman Tata Naskah Dinas Direktorat Jenderal Pajak", yang dimaksud sebagai SURAT EDARAN adalah : " surat yang ditujukan secara terbatas kepada pejabat/pegawai tertentu, isinya mengandung pedoman tentang pelaksanaan lebih lanjut mengenai kebijakan pokok/peraturan yang menjelaskan atau menunjukkan jalan mengenai cara pelaksanaannya untuk segera dilaksanakan".

bahwa oleh karenanya pula pernyataan Terbanding bahwa Surat Edaran Terbanding Nomor : SE-17/PJ/2005 tersebut merupakan "sikap" Pemerintah Indonesia tentang Pasal 11 (4) P3B Indonesia-Belanda adalah berlebihan dan tidak sesuai dengan asas pemerintahan yang baik yang seharusnya menaati aturan perundang-undangan yang berlaku;

bahwa demikian pula dengan penjelasan Terbanding bahwa telah dilakukan upaya dari pihak Indonesia melalui korespondensi dan re-negosiasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara kedua pihak, namun informasi mengenai hal tersebut bersifat "strictly confidential" dan karenanya tidak bersedia mengemukakannya dalam sidang adalah tidak sesuai dengan Pasal 59 UU Pengadilan Pajak, serta bertentangan pula dengan Article 28 (1) treaty itu sendiri yang berisi " The competent authorities of the two States shall exchange such information as ... .... Any information received by one of the two States shall be treated as secret in the same manner ...... ...and shall

Page 42: 29050S (1)

be disclosed only to persons or authorities (including courts and administrative bodies) involved in the assessment or collection of the enforcement in respect off, or the determination of appeals in relation to the taxes covered by the Agreement..... ". Sehingga alasan kerahasiaan informasi tersebut tidak berlaku di depan Pengadilan Pajak;

bahwa penjelasan Terbanding tentang adanya transaksi-transaksi yang bersifat abusif tidak tepat untuk dijadikan alasan diterbitkannya Surat Edaran yang praktis telah meng-anulir suatu ketentuan dalam treaty, yang menimbulkan suatu kewajiban pajak yang semula memang dimaksudkan dan telah disetujui bersama hak pemajakannya diberikan ke Negara lain. Tidak adanya Pasal-Pasal, khususnya dalam treaty atau dalam undang-undang perpajakan nasional, menyangkut "General Anti Avoidance/Abuse Rule" , seyogyanya disikapi melalui saluran dan prosedur yang telah berlaku umum di pergaulan internasional. Dengan demikian penentuan apakah suatu transaksi adalah legitimate dan berhak menikmati fasilitas yang disediakan dalam suatu P3B dapat dilakukan tanpa tindakan sepihak membatalkan suatu kesepakatan internasional yang telah disepakati bersama karena tindakan demikian adalah tidak sesuai dengan asas kepastian hukum dan asas keadilan;

bahwa menurut Undang-Undangn Nomor : 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional diatur dalam Pasal 18 bahwa “Perjanjian Internasional berakhir apabila terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian”. Dengan demikian tindakan Terbanding yang mengakhiri berlakunya Pasal 11 ayat (5) Tax Treaty RI dan Belanda dengan penerbitan Surat Edaran tidak sesuai dengan asas yang berlaku dalam Perjanjian Internasional;

bahwa dalam perjanjian yang dibuat dalam bidang hukum perdata saja juga menganut asas “Pacta sunt servanda” dalam arti perjanjian yang dibuat mengikat para pihak sebagai undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik Te. Goede Trouw sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

bahwa sehubungan dengan itu, Majelis tidak sependapat dengan Terbanding bahwa ketentuan dalam Tax Treaties dapat diakhiri secara sepihak oleh Terbanding dengan penerbitan Surat Edaran Terbanding Nomor : SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 dimaksud;

Kesimpulan Majelis

bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang P3B Indonesia-Belanda belum diubah secara resmi melalui proses negosiasi kedua belah pihak, maka ketentuan dalam Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda masih berlaku;

bahwa Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan “atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak pajak 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan ..b. bunga , termasuk premium , diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang.”

Page 43: 29050S (1)

bahwa Pasal 32 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan “ pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dari pencegahan pengelakan pajak;

bahwa selanjutnya Pasal 11 angka 2 Tax Treaty Indonesia-Belanda menyatakan :

“Notwithstanding the provision of paragraph 2, interest arising in one of the two States shall be taxable only in the other State if the beneficial owner of the interest is a resident of the other State and if the interest is paid on a loan made for a period of more than 2 years or is paid in connection with the sale on credit of any industrial, commercial or scientific equipment”

bahwa angka 1 , 2 huruf a dan b dan 3 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Pajak Berganda (P3B) menyatakan :

“1…Dalam P3B tersebut diatur ketentuan-tentang pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap beberapa jenis penghasilan yang dibayar atau terutang oleh pihak yang membayar penghasilan yang berkedudukan di Indonesia kepada Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara treaty partner tersebut;

2. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut:wajib pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar;Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari wajib pajak luar negeri tersebut;

3. Surat Keterangan Domisili a. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority

atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority.

Bahwa Surat Edaran diatas adalah peraturan domestik yang berlaku di Indonesia, terkait perlakuan atas penghasilan berupa bunga, pada saat P3B ditandatangani yang dipahami oleh pihak Belanda, sebagaimana halnya pihak Indonesia seyogyanya memahami ketentuan perundangan yang berlaku di Belanda pada saat menandatangani P3B tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 3 (2) P3B (OECD Comentary on Art.3, para 12), tentang bahwa yang dimaksud dengan : “...Context is determined in particular by the intention of the Contracting States when signing the Convention as well as the meaning given to the term in question in the legislation of the Other Contracting State ....” yang secara implicit merujuk pada Principle of Reciprocity yang menjadi landasan pembuatan suatu Convention.

bahwa berdasarkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) atas nama

Page 44: 29050S (1)

Goederhand Finance BV yang diterbitkan oleh Tax Administration Amsterdam/Belastingdienst Amsterdam diketahui bahwa Goederhand Finance BV beralamat di:

Goederhand Finance B. V.Amsteldijk 1661079 LH Amsterdam

adalah penduduk/ resident Belanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 P3B Indonesia-Belanda.

bahwa dengan adanya SKD ini telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam SE-03/PJ.101/1996 a quo;

bahwa dalam sidang Majelis telah meminta kepada Terbanding untuk membuktikan bahwa Goederhand Finance BV bukanlah beneficial owner atas pembayaran bunga tersebut namun Terbanding tidak dapat menunjukkannya dan justru membebankan pembuktian beneficial owner pembayaran bunga tersebut kepada Pemohon Banding;

bahwa pernyatan Terbanding yang menyatakan Goederhand Finance BV bukanlah beneficial owner atas bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding hanya didasarkan pada analisa-analisa hubungan kepemilikan serta tinjauan atas informasi bahwa Goederhand Finance BV baru berdiri dan belum beroperasi sehingga belum mampu untuk memberikan pinjaman adalah merupakan analisa sederhana dan subyektif tanpa adanya bukti-bukti transaksi faktual,

bahwa dengan demikian Terbanding sendiri mengingkari prinsip “substance over form” yang seharusnya mendasarkan pada “bukti faktual” dibanding pertimbangan “form” (menurut Terbanding) bahwa Goederhand Finance BV berada dalam kepemilikan yang sama dengan Pemohon Banding.

bahwa Terbanding juga mengakui bahwa belum adanya ketentuan/pengaturan yang jelas /tegas tentang beneficial owner;

bahwa Majelis sependapat dengan dalil Terbanding yang menyatakan Surat Keterangan Domisili (Cerficate of Domicile) tidak otomatis menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah beneficial owner, namun demikian demi keadilan dan kepastian hukum karena belum adanya aturan yang jelas tentang beneficial owner maka Terbandinglah yang harus membuktikan bahwa Goederhand Finance BV “bukan” beneficial owner;

bahwa berdasarkan Surat Uraian Banding (SUB) No: S-471/WPJ.19/2009, tgl: 14 Mei 2009, diketahui bahwa alasan koreksi yang tetap dipertahankan adalah:

· Poin V-11, tentang belum adanya “mode of application” untuk Pasal 11 P3B ;

· Poin V-12, tentang “multi tafsir” Pasal 11 ayat (4) P3B;· Poin V-13, tentang “terbukanya peluang penyalah-gunaan” Pasal 11

ayat (4) P3B;· PoinV- 14, tentang danya “hubungan istimewa” antara Pemohon

Banding dengan Goederhand Finance BV serta belum adanya tanggapan dari otoritas perpajakan Belana terkait data Goederhand Finance BV.

bahwa alasan diatas kemudian ditambah dengan penjelasan Terbanding dalam persidangan, khususnya tentang Pembuktian bahwa GFBV Belanda “bukan” beneficial owner melalui berbagai pendekatan teoritis, termasuk dengan alasan bahwa GFBV baru didirikan th. 2004 dan belum beroperasi sehingga “tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memberikan pinjaman”.

Page 45: 29050S (1)

bahwa Terbanding juga menyatakan bahwa :” beneficial owner harus ditinjau dari kenyataan yang sesungguhnya atau fakta yang terjadi dan bukan hal-hal yang semata-mata bersifat legalitas formal”. Namun Terbanding tidak dapat menunjukkan bukti-bukti bahwa Bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada GFBV pada kenyataannya dinikmati oleh pihak lain.

“Kemampuan yang cukup untuk memberikan pinjaman” tidak selalu tergantung pada apakah pemberi pinjaman sudah beroperasi lama atau tidak. Karena “pinjaman” yang diberikan mungkin juga berasal dari “pinjaman”seperti yang dikemukakan dalam Commentary on Article 11 OECD Model Convention bahwa: “In fact, when the beneficiary of the interest has himself had to borrow in order to finance the operation which earns him interest……….”,

bahwa pernyataan Terbanding tentang “multi tafsir” tidak dapat dijadikan alasan karena Pasal 11 P3B telah dibuat dan dinegosiasikan sesuai OECD Model Convention beserta Commentary-nya. Sedangkan alasan “terbukanya peluang penyalahgunaan” fasilitas yang diberikan Pasal tersebut pada dasarnya bertentang dengan prinsip universal bahwa Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar undang-undang perpajakan, sesuai dengan prinsip bahwa pajak adalah pungutan negara yang dipaksakan dengan batasan-batasan yang ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan.

bahwa sesuai isi Pasal 3 ayat (2) P3B Indonesia – Belanda bila suatu istilah tidak didefinisikan dalam P3B maka definisi tersebut harus dicari dalam undang-undang domestik negara yang bersangkutan yang berlaku pada saat P3B tersebut ditandatangani. Dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia, yang berlaku pada saat P3B tersebut ditandatangani, definisi “beneficial owner” tidak dikenal/diatur.

bahwa di Indonesia masalah pemisahan antara kedudukan berkuasa dan pemilik sesungguhnya dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada Pasal 529 yang berbunyi :”Yang dimaksud dengan besit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain, seakan-akan barang itu miliknya sendiri”.

Lebih lanjut Pasal 534 KUH Perdata mengatur bahwa : “Pemegang besit harus selalu dianggap memegangnya untuk diri sendiri, selama tidak terbukti, bahwa ia memegangnya untuk orang lain”;

bahwa alasan adanya hubungan istimewa antara kedua pihak yang bertransaksi pada dasarnya hanya dapat dijadikan dasar untuk menyatakan apakah “besaran” atau jumlah Bunga yang dibayarkan “wajar” atau tidak, yang dalam P3B diatur tersendiri pada Pasal 9.

bahwa berdasarkan isi Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda jelas bahwa negara sumber bersedia menyerahkan hak pemajakan kepada negara domisili bila persyaratan-pesyaratan terpenuhi.

bahwa dalam sengketa ini Indonesia adalah Negara Sumber dan Belanda adalah negara Domisili.

bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan Pemohon Banding dapat menunjukkan bukti-bukti bahwa seluruh peryaratan yang ditetapkan dalam Pasal 11 P3B, maupun persyaratan teknis sesuai

Page 46: 29050S (1)

SE-03/PJ.101/1996 untuk “tidak” melakukan pemotongan PPh Pasal 26, telah terpenuhi.

bahwa di lain pihak, Tebanding tidak dapat menunjukkan bukti-bukti konkrit bahwa Penerima Bunga (Goederhand Finance BV) “bukan”-lah beneficial owner dari bunga tersebut.

bahwa Majelis berpendapat bahwa dengan tidak adanya definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang dimaksud sebagai “beneficial owner” baik didalam P3B maupun di undang-undang perpajakan Indonesia, khususnya yang berlaku pada saat P3B ditandatangani dan diberlakukan, serta fakta dalam persidangan bahwa Terbanding tidak dapat membuktikan bahwa bunga yang dibayarkan oleh PB dinikmati bukan oleh GFBV, maka perjanjian hukum antara PB dengan GFBV harus diakui dan dihormati dan oleh karenanya GFBV haruslah dianggap sebagai “beneficial owner” atas bunga yang diterimanya dari PB.

bahwa yang dilakukan Terbanding didepan sidang hanyalah menyampaikan dalil yang berisi teori-teori yang menyangkut beneficial owner yang juga dibantah oleh Pemohon Banding, sehingga tidak dapat meyakinkan Majelis bahwa Goederhand Finance BV bukanlah beneficial owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding.;

bahwa berdasarkan uraian diatas karena Goederhand Finance BV berdomisili di Belanda dan menjadi subjek pajak di Belanda untuk tahun 2006 serta Terbanding tidak dapat membuktikan bahwa Goederhand Finance BV bukanlah beneficial owner atas pembayaran bunga tersebut maka Majelis berpendapat penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas pembayaran bunga kepada Goederhand Finance BV harus tunduk pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan Belanda ;

bahwa selanjutnya berdasarkan Facility Agrement dan Audit Repot diketahui bahwa perjanjian hutang antara Pemohon Banding dengan Goederhand Finance BV mempunyai jangka waktu 4-5 Tahun (seluruh pinjaman jatuh tempo pada tanggal 26 Desember 2009);

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda diketahui bahwa pinjaman Pemohon Banding tersebut telah melewati jangka waktu 2 Tahun sehingga Majelis berpendapat pajak atas pembayaran bunga tersebut terutang di Negara Belanda;

bahwa karenanya, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Biaya Bunga Goederhand Finance BV, Belanda sebesar Rp 1.868.840.080.00 tidak mempunyai dasar dan alasan yang kuat sehingga tidak dipertahankan;

bahwa oleh karenanya, atas pembayaran bunga pinjaman oleh Pemohon Banding kepada Goederhand Finance BV pada tahun 2006 terutang di Negara Belanda maka koreksi yang dilakukan oleh Terbanding tidak dipertahankan;

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas fakta-fakta, bukti-bukti, penjelasan Pemohon Banding dan Terbanding yang terungkap dalam persidangan, penelitian terhadap berkas banding, selanjutnya Majelis berkesimpulan bahwa Koreksi Positif Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Biaya Bunga sebesar Rp 1.868.840.080.00 tidak dapat dipertahankan;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif

Page 47: 29050S (1)

pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini terbukti tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Menimbang : bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding, dan Dasar Pengenaan Pajak serta Pajak Penghasilan Pasal 26 terutang Masa Pajak Januari s.d. Desember 2006 dihitung kembali dengan perhitungan sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak Pasal 26Menurut Terbanding Rp. 1.868.840.080,00Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Rp. 1.868.840.080,00Menurut Majelis Rp. Nihil

Memperhatikan : Surat Banding, Surat Uraian Banding, Surat Penjelasan Tertulis sebagai pengganti Surat Bantahan, bukti-bukti yang ada dalam berkas banding, hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan tersebut di atas;

Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;

Memutuskan :

Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-002/WPJ.19/BD.05/2009 tanggal 05 Januari 2009 tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor : 00009/204/06/092/08 tanggal 28 Maret 2008 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2006, atas nama: Pemohon Banding NPWP , alamat: , sehingga Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2006 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak Rp NihilPajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang Rp NihilJumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp NihilPajak Penghasilan Pasal 26 kurang bayar Rp Nihil