26. MAKALAH FARIDA IKADBUDI JEMBERlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Prosiding IKADBUDI...
Transcript of 26. MAKALAH FARIDA IKADBUDI JEMBERlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Prosiding IKADBUDI...
209
PENTINGNYA PEMERTAHANAN BAHASA JAWA
SEBAGAI SIMBOL JATIDIRI BANGSA DI ERA GLOBAL
Oleh
Dr. Farida Nugrahani, M.Hum
Program Pascasarjana Universitas Veteran Bantara Sukoharjo
Email: [email protected]
Ponsel: 081226229733
ABSTRAK
Pada era global ini, posisi bahasa Jawa sebagai bahasa ibu semakin
terdesak, dan tergeser oleh bahasa Indonesia yang dipandang memiliki jangkauan
lebih luas dan lebih mencukupi tuntutan kehidupan selaras dengan perkembangan
zaman. Dalam kondisi yang demikian itu, apabila dibiarkan dan tidak ada usaha
untuk mempertahankannya, maka lambat laun bahasa Jawa akan punah/mati. Karena
itu, semua pihak terkait perlu mengambil peran untuk ikut serta melestarikan dan
mengembangkan bahasa Jawa tersebut sesuai dengan posisi atau
kedudukannya.Bahasa Jawa sebagai salah satu produk budaya merupakan simbol
dari jati diri masyarakat Jawa sebagai pemiliknya. Oleh karena itu bahasa Jawa harus
tetap dipertahankan dengan berbagai upaya, antara lain dengan tetap digunakan
sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam masyarakat pemiliknya. Selain itu,
pemerintah harus mengambil peran dalam memberikan fasilitas dan payung hukum
bagi upaya pelestariannya. Berbagai jalur yang dapat dimanfaatkan dalam pelestarian
bahasa Jawa antara lain, melalui jalur pendidikan, kesenian dan
kebudayaan.Menjaga agar bahasa Jawa tetap eksis dan tidak punah merupakan
sebuah keniscayaan. Mengingat bahasa Jawa sebagai salah satu produk budaya
merupakan lambang martabat bangsa. Selain itu, bahwa bangsa besar dan terhormat
adalah bangsa yang dapat menghargai budayanya. Sejalan dengan itu, penghargaan
dunia atas eksistensi suatu bangsa juga terletak pada kemajuan budayanya.
Kata Kunci: pemertahanan bahasa Jawa; jati diri bangsa; era global.
210
ABSTRACT
In this global era, the position of Javanese language as a mother tongue is
getting pushed, and displaced by Indonesian language which is seen to have a wider
reach and better meet the demands of life in accordance with age progress. In such
condition, if it is left like this and if there is not any effort to maintain it, then
Javanese language will gradually become extinct / dead. Therefore, all related
stakeholders need to take a role to participate in preserving and developing the
Javanese language according to their position or status.Javanese language, as one
of products of culture, is an identity symbol of Javanese society as its owner.
Therefore, Javanese language must be maintained with a variety of efforts, including
using it as a means of daily communication within its owner society. In addition, the
government must take a role in providing facility and legal protection for its
preservation. Various ways can be used in the preservation of Javanese language,
among others, through education, art, and culture.KeepingJavanese language to be
everlastingly exist and not extinct is a necessity. Given that Javanese language, as
one of products of culture, is a symbol of the nation dignity. Considering that a large
and respectable nation is a nation which could appreciate its very own culture.
Accordingly, world’s appreciation of a nation’s existence isalso located on
advancement of its culture.
Keywords: preservation of Javanese language,nation identity, global era.
A. Pendahuluan
Upaya pemartahanan bahasa Jawa dalam kedudukannya sebagai salah satu
bahasa Daerah telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2009. Melalui politik bahasa nasional usaha mengarah pada
pemertahanan bahasa Jawa telah banyak dilakukan. Namun tampaknya usaha itu
tidak selalu sejalan dengan realitas yang ditemukan dalam masyarakat. Faktanya,
masyarakat Jawa (terutama pada kelompok generasi muda) seolah-olah melakukan
‘penolakan’ terhadap bahasa Jawa, baik itu dilakukan dengan sadar maupun tidak.
Pada dasarnya sikap ‘penolakan’ itu telah berakibat melemahkan keberadaan bahasa
Jawadalam fungsinya sebagai penciri/indentitas bangsa, sekaligus sebagai pendonor
perkembangan bahasa Indonesia.
Gejala ‘penolakan’ generasi muda terhadap bahasa Jawa ini mudah diketahui
melalui penggunaan bahasanya dalam pergaulan sehari-hari. Dalam berbagai
penelitian fakta itu juga telah terungkap. Salah satunya melalui penelitian Subroto
dkk (2007) yang berjudul Model Pelestarian dan Pengembangan Kemampuan
Berbahasa Jawa Krama di Kalangan Generasi Muda Wilayah Surakarta dan
Sekitarnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa pemahaman dan penguasaan
generasi muda Surakarta terhadap bahasa Jawa sangat kurang. Faktor penyebanya
adalah karena (1) tidak mengenal dan tidak tau bagaimana menggunakan bahasa
Jawa; (2)tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari pada
ranah keluarga dan masyarakat; (3) orang tua membiarkan anaknya berbahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari demi menunjang kegiatan belajarnya di
sekolah; (4) bahasa dan budaya Jawa berkompetisi dengan budaya asing; dan (5)
guru bahasa Jawa di sekolah rata-rata tidak memiliki kompetensi dalam bidangnya.
Senada dengan hasil penelitian Subroto dkk tersebut, penelitian Ratnanigsih
(2010:127) juga menunjukkan bahwa kemampuan generasi muda Kabupaten
211
Karanganyar dalam menggunakan bahasa Jawa krama sangat kurang. 75%
masyarakat Jawa di Karanganyar pada golongan tua masih menggunakan bahasa
Jawa, dan sisanya 25% menggunakan bahasa Indonesia dalamberkomunikasi sehari-
hari dengan lingkungannya. Sementara itu, generasi muda yang berbahasa Ibu bahasa
Jawa sekitar 25 %, sisanya 75% menggunakan bahasa Indonesia dan atau bagasa
gaul sebagai bahasa pengantar sehari-harinya.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Bapeda Yogyakarta (dalam
Widyastuti, 2006:458), juga menunjukkan, bahwa terdapat kecenderungan semakin
menurunnya pemakaian bahasa Jawa krama di lingkungan masyarakat Yogyakarta,
pada golongan remaja sampai dengan keluarga muda di perkotaan. Dalam
berkomunikasi 51% dari mereka menggunakan bahasa Indonesia, 20% menggunakan
bahasa campuran Jawa-Indonesia, 17% menggunakan bahasa Jawa krama, 6%
bahasa campuranIndonesia-Jawa, dan 3% menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, dan dari fakta yang
mudah ditemukan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa (utamanya generasi
muda), dapat ditarik simpulan bahwa masyarakat Jawa dewasa inimemiliki
kecenderungan untuk lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan
dengan bahasa Jawa, meskipun bahasa Jawa merupakan bahasa daerahnya.
Begitupun, bahasa Indonesia yang digunakan pada umumnya juga bukan bahasa
yang baik dan benar, karena diwarnai dengan penggunaan kata-kata atau frasa yang
campur aduk, antara bahasa daerah (Jawa), bahasa Indonesia, dan bahasa asing, yang
diterapkan secara tumpang tindih dan berlebih-lebihan. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa bahasa yang banyak digunakan generasi muda Jawapada masa kini
untuk berkomunikasi sehari-hari --terutama dengan komunitasnya--adalah ‘bahasa
gaul’ yang ‘over-creative’.
Model komunikasi generasi muda Jawa masa kini seperti yang telah
disampaikan di atas, barangkali merupakan cermin dari fenomena realitas
kebahasaan yang dapat diprediksikan sebagai salah satu penyebab utama
melemahnya status bahasa Jawa di era global dewasa ini. Padahal tentunya semua
bersepakat apabila dikatakan bahwa bahasa Jawa merupakan aset budaya bangsa
yang banyak mengajarkan nilai-nilai luhur cermin karakter bangsa. Oleh sebab itu,
bahasa Jawa harus diajarkan kepada generasi muda sebagai penerus bangsa, jika
bangsa ini ingin tetap eksis dalam percaturan dunia.
Jika generasi muda tidak lagi mau mengenal nilai-nilai budaya Jawa yang
terdapat dalam bahasa Jawa, maka itu merupakan satu indikasi bahwa telah terjadi
kemerosotan sikap positif generasi muda terhadap budaya bangsanya. Dalam kondisi
semacam itu, sangat mungkin jika generesi tua/lanjut sudah tutup usia (meninggal)
maka akan terjadi ‘keterputusan’ budaya. Apabila demikian keadaannya, maka
bahasa Jawa sebagai bagian dari budaya lokal yang ‘adiluhung’ itu akan hilang
ataupunah, karena tidak sampai pada generasi berikutnya. Akibatnya, eksistensi
bangsa ini akan dipertanyakan, mengingat bangsa yang besar adalah bangsa yang
mampu menghormati pendahulunya yang telah mewariskan nilai-nilai budayanya.
Selain itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga terhadap budaya miliknya
sebagai identitas jati dirinya dalam percaturan antarbangsa di dunia.
Tentu saja seluruh masyarakat sebagai pemilik bahasa Jawa itu tidak
berharap kepunahan bahasa Jawa itu terjadi. Oleh sebab itu berbagai usaha untuk
pemertahanan bahasa Jawa sangat perlu dilakukan bersama.Atas kesadaran itulah
212
maka makalah ini disusun, dengan pertimbangan pemikiran bahwa (1) bahasa Jawa
merupakan salah satu produk budaya yang penting fungsinya sebagai sarana untuk
membentuk karakter bangsa; (2) fakta di lapangan menunjukkan bahwa dewasa ini
kehidupan bahasa Jawa di tengah-tengah masyarakat pemiliknya semakin kurang
populer; (3) kedudukan dan fungsi bahasa Jawa semakin tergeser oleh bahasa yang
lain (Indonesia dan asing). Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk mencari
solusi melalui berbagai alternatif untukmempertahankan bahasa Jawa agar tetap
eksis dikalangan masyarakat Jawa sebagai pemiliknya, sesuai dengan harapan kita
bersama.
B. Pembahasan
1. Posisi Bahasa Jawa di Era Global
Latar belakang kebudayaan bangsa Indonesia yang kompleks, antara lain
ditandai oleh keberagaman bahasa daerah, yang keberadaannya berfungsi sebagai
alat komunikasi dalam ranah budaya. Keberagaman masyarakat Indonesia itu,
menyebabkan bahasa daerah tetap eksis dalam fungsinya sebagai identitas etnisnya.
Selain itu, masyarakat juga menggunakan bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai
bahasa pemersatu antaretnis di Indonesia.
Dalam kehidupan modern di era global, dengan tatanan kehidupan yang
bersifat universal telah mendorong masyarakat Indonesia untuk menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa asing yang dipandang memiliki jangkauan lebih luas
dalam pergaulan antarbangsa (Nugrahani, 2013:12). Tuntutan pergaulan dalam
kehidupan di era global itu telahmendorong masyarakat Indonesia baik secara
terpaksa ataupun sukarela menjadi penutur dwibahasawan, atau bahkan
multibahasawan. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut menurut Subroto dkk.
(2007:15) adalah terjadinya kompetisi di antara bahasa-bahasa yang ada di tengah-
tengah masyarakat, sebagai akibat terdapatnya dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat penutur.
Sejatinya, suatu bahasa akan menjadi milik dan identitas bagi para
penuturnya, jika bahasa itu masih hidup dan digunakan sebagi alat komunikasi dalam
lingkungan masyarakatnya. Dalam konteks ini, tampaknya tidak lagi berlaku bagi
bahasa Jawa. Kondisi kehidupan bahasa Jawa di era global dewasa ini sangat
mengkhawatirkan akibat adanya kompetisi bahasa, dengan bahasa Indonesia dan
bahasa asing. Dampak dari adanya kompetisi bahasa itu, maka terjadilah pergeseran
bahasa(language shift) yaitu munculnya kecenderungan masyarakat untuk lebih
memilih menggunakan bahasa ‘baru’ dalam ranah yang semula menggunakan bahasa
‘lama’. Dalam hal ini adalah lebih diterimanya bahasa Indonesiadan bahasa asing
sebagai bahasa baru, daripada bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa yang ‘lama’ dan
tradisional.Perubahan kondisi kehidupan bahasa Jawa itu terjadi seiring dengan
perkembangan zaman, yang semuanya itu tidak dapat dilepaskan dengan sejarah
besar perjalanan bangsa Indonesia selama ini.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bahasa Jawa dan bahasa-bahasa
daerah lain di Indonesia pada umumnya, kedudukannya mulai tergeser oleh bahasa
Indonesia semenjak kelahiran bahasa Indosesia tersebut di masa perjuangan, yaitu
sejak sumpah pemuda tahun1928 diikrarkan. Lebih-lebihlagi setelah proklamasi
kemerdekaan tahun 1945 dibacakan. Perjalanan sejarah mencatat bahwa bangsa
213
Indonesia membutuhkan bahasa yang dapat mempersatukan bangsa yang terdiri dari
berbagai-bagai suku, ras, dan agama. Dalam posisi inilah lahir bahasa Indonesia yang
mendapatkan dukungan besar dari berbagai kelompok bangsa sehingga
pemakaiannya semakin meluas.Dengan latar belakang kesamaan visi dan misi
perjuangan bagi seluruh suku bangsaIndonesia menuju Indonesia merdeka terus
mengokohkan keberadaan bahasa Indonesia di tanah air ini.
Sampai saat ini, setelah berbagai tahapan sejarah bangsa terlampaui mulai
dari masa perjuangan, masa proklamasi, masa ordelama, masa orde baru, masa
reformasi, dan masa pascareformasi, peran dan fungsi bahasa Indonesia semakin
mantap, kokoh dan meluas. Dengan payung hukum tidak kurang dari ‘Sumpah
Pemuda’ yang telah diikrarkan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tanggal
28 Oktober 1928, selanjutnya dikuatkan lagi dengan Undang-Undang Dasar 1945
pasal 36, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, maka
perkembangan pesat bahasa Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Di sisi lain,
kesadaran masyarakat Indonesia untuk bersatu sebagai satu bangsa dengan satu
bahasa kebanggaannya juga merupakan faktor penting bagi mantapnya
kehidupanbahasa indonesia.Dengan selalu mendapatkan pengayaan dari unsur-unsur
bahasa daerah (dan kemudian bahasa asing), maka bahasa Indonesia semakin populer
dan semakin berterima dalam berbagai lapisan masyarakat, dan penggunaannya juga
semakin meluas dalam berbagai sektor kehidupan.
Fenomena kebahasaan seperti itu tentu merupakan pertanda baik bagi
perkembangan bahasa Indonesia, yang pantas disyukuri oleh seluruh bangsa ini.
Namun demikian seiring dengan semakin menguatnya posisi bahasa Indonesia,
berbanding terbalik kondisinya dengan bahasa Jawa. Perkembangan bahasa Jawa
sebagai bahasa daerah semakin meredup, dan peran serta fungsinya secara perlahan
namun pasti juga mulai tergeser oleh bahasa Indonesia yang pada umumnya
dipandang lebih fleksibel, lebih demokratis, dan memiliki jangkauan lebih luas
penutur dan ranah penggunaannya
Bila dikaitkan dengan tuntutan perubahan gaya hidup manusia modern
yang sangat membutuhkan bantuan alat komunikasi berbasis teknologi (komputer)
yang umumnya dioperasikan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
asing (Inggris), maka peran bahasa Jawa terasa semakin sempit dan terbatas.
Kenyataan itulah yang merupakan tantangan besar bagi eksistensi bahasa Jawa di era
global dewasa ini. Patut disayangkan sesungguhnya, jika kondisi tersebut telah
menyebabkan bahasa Jawa terasa semakin tidak populer, dan bahkan terpinggirkan,
karena masyakat Jawa (utamanya generasi muda)telah ramai-ramai
meninggalkannya.
2. Nilai-nilai Kesantunan dalam Bahasa Jawa sebagai Simbol Karakter Bangsa
Menurut Lickona pakar pendidikan karakter Amerika Serikat (dalam
Jumadi, 2013:33), karakter adalah a reliable inner disposition to respond situation in
good away.Dari pengertian ini tampak bahwa karakter merupakan pembawaan yang
agung yang digunakan untuk merespon situasi dengan cara yang baik. Sebagai
pembawaan yang agung, karakter tidak begitu saja dimiliki oleh seseorang. Karakter
terbentuk dari proses internalisasi terhadap unsur-unsur moral. Selanjutnya
disampaikan pula oleh Lickona, bahwa karakter itu dapat dibangun oleh sejumlah
nilai moral. Menurutnya, tiga unsur pembangun karakter yang baik, yaitu
214
pengetahuan tentang moral (moral kwnowing), perasaan tentang moral (moral
feeling), dan perbuatan yang bermoral (moral action).
Berbeda dengan pendapat Lickona, menurut Michele Borba (2001:6-7),
terdapat tujuh unsur yang perlu dikembangkan dalam membangun karakter manusia,
yaitu meliputi: empati (empathy), hati nurani (conscience), kontrol diri (self-control),
rasa hormat (respect), kebaikan hati (kindness), toleran (tolerant), dan kejujuran
(fairness). Empati (empathy) merupakan inti perasaan moral untuk memahami apa
yang dirasakan orang lain. Hati nurani (conscience) adalah suara dari dalam diri
yang amat kuat yang membantu untuk membedakan antara yang salah dengan yang
benar secara jujur dan apa adanya. Kontrol diri (self-control) merupakan suatu
kesadaran pada diri manusia untuk melihat kembali dorongan-dorongan dan pikiran-
pikiran sebelum seseorang melakukan tindakan yang memungkinkan membuat
pilihan kurang hati-hati dan berpotensi mendatangkan bahaya terhadap dirinya
maupun orang lain. Rasa hormat(respect) itu merupakan perasaan seseorang yang
memberikan peluang kepada dirinya untuk memperlakukan orang lain dengan penuh
perhatian atas alasan selalu menghargai orang lain. Sementara itu, Kebaikan hati
(kindness)merupakan perasaan seseorang yang dapat membantu dirinya untuk
menunjukkan perhatiannya tentang kesejahteraan dan berbagi rasa sejahtera itu
kepada orang lain. toleran (tolerant) adalah perasaan seseorang untuk bisa
membiarkan orang lain berpendapat, atau berkeyakinan dan melakukan sesuatu yang
berbeda dengan dirinya. Adapun kejujuran adalah yang dan kejujuran (fairness)
merupakan sikap atau perasaan seseorang yang dapat menyampaikan sesuatu dengan
apa adanya, sesuai hati nuraninya.
Berbagai nilai yang dapat dikembangkan dalam membentuk karakter
manusia seperti pendapat Lickona dan Michele Borba tersebut, sebagian besar dapat
ditanamkan melalui penggunaan bahasa Jawa.Mengingat dalam bahasa Jawa dikenal
adanya prinsip kesantunan berbahasa itu, yang disebut dengan istilah unggah-
ungguhing basa. Menurut Dwiraharjo (2003:6), dalam bahasa Jawa terdapat
ungkapan-ungkapan yang dapat dipandang mengajarkan nilai nilai kesantunan,
antara lain: (1) Andhap asor atau anor raga (merendahkan diri terhadap orang lain);
(2) Empan papan (fleksibel menyesuaikan tempat); (3) Tata krama ngedohake
panyendhu (tata karma menjauhkan prasangka buruk); dan (4) Undha usuk atau
Unggah-ungguhing basa (tingkat tutur dalam berbahasa). Menurut Geetz (1967:1)
kesantunan berbahasa Jawa itu disebut dengan etiket tutur yang mengatur tentang
tindak laku berbahasa seseorang.Bagi masyarakat Jawa, etiket tutur adalah tata cara
merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang
harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat atau yang lebih tinggi.
Sopan santun dalam berbahasa Jawa tersebut dapat dipelajari melalui
pembagian tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang sering disebut dengan undha-usuk,
atau unggah-ungguhingbasa. Menurut Poedjosoedarmo (1979:13), tingkat tutur
bahasa Jawa menjadi tiga jenis saja, yaitu (1) krama, (2) madya, dan (3) ngoko.
Tingkat tutur ngoko, adalah tingkat tutur yang mencerminkan rasa tak berjarak,
penutur tidak memiliki rasa segan terhadap petutur. Tingkat tutur ngoko ini dipakai
untuk menjalin komunikasi keakraban, dan juga merupakan cerminan tingkat sosial
yang rendah (low status). Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara
krama dan ngoko. Pada tingkatan itu penutur bahasa Jawa menunjukkan rasa hormat
yang sedang-sedang saja kepada lawan tuturnya. Tingkat tutur madya ini
215
mengambarkan status sosial menengah. Adapun tingkat tutur krama menurut
Errington (2005:95) adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan,
hormat, perasaan segan dan pakewuh antarpenutur, karena belum saling mengenal
atau karena lawan tuturnya adalah orang yang berpangkat, berstatus priyayi, atau
berstatus sosial tinggi (high status).
Menurut Adisumarto (dalam suharti: 2006152), ‘Unggah-ungguhing basa’
dalam berbahasa Jawa tidak hanya terbatas pada bentuk tuturan tetapi juga
menyangkut pada tindak tanduk atau perilaku berbahasanya. Dalam bahasa Jawa
disebut dengan ‘patrap’ dan ‘pocapan’. Ungah-unguh dalam berbahasa Jawa tidak
hanya menyangkut bentuk bahasanya tetapi juga mengingat pada tindak tanduknya
atau patrapnya, yaitu ‘tata pranataning basa miturut lungguhing tata
krama’.Sementara itu tata krama yaitu ‘unggah-ungguhing gunem tuwin tindak-
tandukipun’.
Penerapan unggah-ungguhdalam berbahasa jawa sebagai bentuk perwujudan
sopan santun di masyarakat Jawa yang terdiri dari pocapan dan pratap tersebut
adalah suatu tata cara atau aturan yang turun-temurun dan berkembang dalam suatu
budaya masyarakat, yang bermanfaat dalam pergaulan dengan orang lain agarterjalin
hubungan yang akrab, saling pengertian, hormat-menghormati menurut adat yang
telah ditentukan.
Penerapan unggah-ungguh dalam budaya Jawa itu bersifat vertikal, yang
muda harus menggunakan bentuk krama untuk menghormati orang tua atau yang
lebih tua atau yang dituakan. Sementara itu, yang lebih tua juga tidak boleh
sewenang-wenang terhadap yang lebih muda. Menurut Suharti (2006:154) hal itu
merupakan konsep keseimbangan dalam bahasa Jawa. Dijabarkan oleh Darusuprapta
(dalam Suharti, 2006:154), bahwa konsep keseimbangan dalam bahasa Jawa itu
meliputi duduga, prayoga, watara, dan reringa. Duduga adalah tingkah laku yang
mempertimbangakan masak-masak sebelum melangkah, prayoga
mempertimbangakan baik buruknya, watara memutuskan sesuatu dengan dipikir
masak-masak terlebihdahulu, dan reringa adalah hati-hati dala memutuskan sebelum
yakin betul keputusan itu diambil atau dilakukan.
Apabila disejajarkan dengan pilar-pilar karakter sebagaimana pendapat
pakar yang telah disampaikan sebelumnya, dapat dkatakan bahwa dalam tingkat tutur
bahasa Jawa atau ‘unggah-ungguhing basa’ terkandung nilai karakter kontrol diri
(self-control). Hal itu terlihat pada etika komunikasi yang dibenarkan dalam bahasa
Jawa yaitu ketika berkomunikasi dengan orang lain, harus dilakukan dengan penuh
rasa hormat (respect), meninggikan orang lain, dan merendahkan dirinya.
Maksudnya, bahwa orang Jawaharus selalu menempatkan orang lain sebagai orang
yg ‘berkedudukan’ lebih tinggi di atas dirinya, dan tidak meremehkan orang lain,
meskipun orang itu lebih rendah dari dirinya.
Sementara itu, nilai-nilai yang terkandung dalam tatanan ‘empan
papan’,‘duduga’, dan konsep keseimbangan meliputi ‘prayoga’, ‘watara’,
dan‘reringa’, mengajarkan bahwa penutur bahasa Jawa harus pandai menempatkan
diri dihadapan orang lain. Jika hendak membicarakan sesuatu, harus benar-benar
mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapinya, dan memperhatikan siapa
orang yang diajak bicara. Dalam menyampaikan ‘teks’ haruslah memperhatikan
kesesuaian dan kepatutannya dengan ‘konteks’. Selain itu juga harus tepat dalam
memilih bentuk bahasa Jawa yang akan digunakan berdasarkan siapakah mitra
216
tuturnya, bagaimanakah tingkat usianya lebih tua atau lebih muda, bagaimanakah
statusnya apakah orang yang terhormat (pimpinan)atau biasa saja. Perlu juga
dipertimbangkan apakah penutur sudah merasa akrab secara sosial ataukah belum
dengan mitra tuturnya, dan juga dalam situasi formal, santai atau kekeluargaan.
Tatanan ‘empan papan’ dalam bahasa itu juga berkaitan dengan nilai-nilai
kesantunan berbahasa yang bersumber pada karakter mampu berempati (empathy),
dan memiliki rasa toleran (tolerant) terhadaporang lain. Toleransi berarti menghargai
kualitas orang lain, selalu terbuka terhadap keyakinan dan perspektif yang baru, dan
menghormati orang lain tanpa memperhatikan suku, ras, agama dan keyakinan, serta
jenis kelamin, penampilan, budaya, maupun kemampuannya.
Nilai-nilai moral yang tersimpan dalam budaya Jawa yang adiluhung itu,
memuat norma ’unggah-ungguh’dalam berbahasa. Dengan demikian, melalui
penggunaan bahasa Jawa yang baik seseorang dapat menunjukkan kesantunan
bahasanya melalui sikap ’sumanak, tanggap ing sasmito, andhap-asor, tepa selira,
ngajeni, dan nuju prana’ ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, sebaya,
lebih muda, yang dihormati, atau yang sejajar maupun yang lebih rendah status
sosialnya. Dengan demikian ketika berbahasa Jawa seseorang dapat menampilkan
dirinya dalam citra yang lebih baik, simpatik, dan menarik bagi lawan tuturnya.
Unsur-unsur nilai moral yang terdapat dalam bahasa Jawa, sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas,jika dipakai sebagai pedoman dalam bertindak maka
akan membangun dan menunjukkan karakter seseorang. Nilai-nilai tersebut telah
diwariskan oleh para pendahulu, yang merupakan penciri bangsa Indonesia sebagai
bangsa Timur yang memiliki prototipe: ramah, santun, suka bergotong royong, dan
menghormati orang lain.
Nilai-nilai karakter yang terdapat dalam bahasa Jawa itu perlu ditanamkan
kepada generasi muda (Jawa) agar mereka tidak tercerabut dari akar budayanya.
Dalam konteks ini, gayung telah bersambut. Pemerintah Indonesia, telah
mencanangkan pendidikan karakter yang terfokus dalam sembilan pilar karakter.
Dijelaskan oleh Megawangi (dalam Sauri, 2013:285) sembilan pilar karakter yang
sangat perlu ditanamkan atau diinternalisasikan kepada genersi muda, adalah (1)
cinta kepada Tuhan dan kebenaran, (2) bertanggung jawab dan disiplin, (3) amanah,
(4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6) pecaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah
hati, dan (9) toleran dan cinta damai. Dijabarkan lebih luas lagi oleh Hasan dkk.
(2010:8) menjadi delapan belas karakter yang perlu diinternalisasikan, meliputi (1)
religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (4) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri,
(8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar
membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
Konsep kesantunan dalam bahasa Jawa seperti yang telah diuraikan di atas,
diharapkan dapat membentuk karakter yang baik bagi masyarakat Jawa, yaitu
masyarakat Jawa yang ’njawani’ (Ratnaningsih 2010:279). Maksudnya, masyarakat
yang memiliki perilaku ’andhap asor’, ’lembah manah’, yang dapat menempatkan
dirinya dengan baik di hadapan orang lain melalui sikap ’bisa rumangsa’ bukan
’rumangsa bisa’. Hal itu sejalan dengan pendidikan karakter yang telah dicanangkan
oleh pemerintah. Jika dalam diri semua orang telah tertanam nilai-nilai moral yang
meliputi kesantunan dan sikap yang positif serta rasa hormat terhadap orang lain,
217
maka diharapkan dapat tercipta interaksi yang sehat antarmanusia dalam lingkungan
masyarakatnya.
Pada akhirnya, dengan menerapkan nilai-nilai moral yang terdapat dalam
bahasa Jawa, maka perselisihan, salah paham, dan hal-hal negatif lainnya yang kini
marak terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat terhindarkan, sehingga tugas dan
kewajiban manusia sebagai makhluk individu dan sosial dapat terlaksana
sebagaimana seharusnya, dalam suasana kehidupan yang baik, dan penuh
kedamaian.
3. Upaya Pemertahanan Bahasa Jawa
Kondisi kehidupan bahasa Jawa dewasa ini mengkhawatirkan. Kuatnya
pengaruh bahasa Indonesia semakin mempertegas dominasi bahasa Indonesia
terhadap bahasa Jawa. Belum lagi ditunjang oleh kurangnya penghargaan
masyarakat (utamanya generasi muda) terhadap bahasa Jawa. Kondisi itu menjadi
pemicu terjadinya pergeseran bahasa Jawa menjadi bahasa yang lemah, dan ‘lengser’
dari kedudukannya. Menurut Fasold (1991:16), yang berpengaruh terhadap
‘lengsernya’ suatu bahasa adalah adanya kontak penutur dengan bahasa yang lebih
’kuat’, selain itu juga akibat adanya kontak penutur dengan kekuatan ekonomi atau
kebijakan pemerintah.
Dewasa ini, sangat dirasakan semakin rendahnya kemampuan generasi muda
(Jawa) dalam menggunakan bahasa daerahnya. Sikap generasi muda terhadap bahasa
Jawa juga mengarah pada sikap negatif. Menurut Garvin dan Mathiot (1968) terdapat
tiga ciri sikap positif terhadap bahasa yaitu: (1) kesetiaan bahasa (language loyalty)
yang mendorong masyarakat mempertahankan bahasanya dan mencegah adanya
pengaruh bahasa lain; (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong
orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas
dan kesatuan masyarakat; (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the
norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun
sebagai faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap penggunaan bahasanya
(language use). Ketiga ciri sikap itu merupakan indikator adanya sikap positif
terhadap bahasa. Sebaliknya, sikap negatif terhadap bahasa itu akan terjadi apabila
penutur tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan
kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.Melalui tiga indikator
sikappositif terhadap bahasa tersebut, dapat disampaikan bahwa dewasa ini,
masyarakat Jawa pada umumnya (utamanya generasi muda) memiliki kecenderungan
untuk tidak bersikap positif terhadap bahasa daerahnya (Nugrahani, 2014:5).
Kondisi melemahnya sikap positif masyarakat Jawa terhadap bahasa
daerahnya itu telah menunjukkan bahwa sesungguhnya posisi bahasa Jawakini mulai
terdesak dan tergeser oleh bahasa lain yang posisinya lebih kuat (yaitu Bahasa
Indonesia, dan mungkin juga bahasa asing). Apabila pergeseran bahasa ini terus
dibiarkan, maka dapat mengakibatkan posisi bahasa Jawa menjadi bahasa yang
lemah atau terdesak dan akhirnya bisa mati (language death).Oleh sebab itu, agar
semua itu tidak terjadi, upaya pemertahanan bahasa daerah (Jawa) perlu dilakukan.
Hal itu sesuai dengan pendapat Fasold (1991:213), bahwa pemertahanan bahasa itu
sudah merupakan ciri dari masyarakat dwibahasawan atau multibahasawan.
Sesungguhnya, status bahasa Jawa merupakan bagian dari inti budaya
masyarakat Jawa, yang tumbuh dan berkembang dari atau sebagai ciri hakiki para
218
penuturnya. Oleh sebab itu perlu dijaga eksistensinya. Smolicz & Secombe (1985)
menyatakan bahwa apabila bahasa bukan merupakan nilai budaya inti sebuah
masyarakat, ia akan rentan terhadap penglepasan dan apabila ada upaya
pemertahanan, maka upaya itu tidak akan terlalu kuat menopang kekokohan daya
hidup bahasa itu. Di sisi lain, sikap para penutur terhadap bahasa itu juga
dikhawatirkan tidak akan terlalu kuat/positif.
Dalam konteks ini, jika memperhatikan teori yang disampaikan oleh
Smolicz & Secombe tersebut, maka masih terdapat celah bagi bahasa Jawa untuk
diselamatkan, mengingat bahasa Jawa adalah bagian dari budaya inti, sehingga
diharapkan sikap positif masyarakat pemiliknya masih dapat ditumbuhkan.
Sepanjang masyarakat Jawa masih ada, tentunya bahasa Jawa itu masih akanterus
ada dan dibutuhkan sebagai identitas masyarakatnya. Masalahnya adalah, bagaimana
agar generasi muda (Jawa) sebagai penerus bangsa itu menyadari akan pentingnya
fungsi bahasa daerah sebagai identitas, sekaligus simbol dari karakter bangsanya?
Mungkin masalah itu dapat diurai satu-persatu dari akarnya, dan dapat dicari solusi
dengan mempertimbangkan telah terjadinya pergeseran nilai nilai budaya, dan
percepatan perkembangan zaman yang diwarnai dengan pesatnya kemajuan
teknologi canggih. Berdasarkan kenyataan itu, beberapa alternatif solusi yang
diusulkan sebagai upaya pemertahanan bahasa Jawa dapat dilakukan melalui
berbagai langkah berikut.
a. Pemertahanan bahasa Jawa melalui pengguaannya dalam lingkungan
keluarga (Jawa).
Pembelajaran bahasa Jawa melalui lingkungan keluarga dapat dilakukan
dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Ketika anak lahir maka
seharusnya bahasa Jawa yang pertama diperkenalkan kepada anak (bukan
bahasa Indonesia). Pada tahap selanjutnya, bahasa Jawa akan terus digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Dalam posisi ini peran orang tua sangat penting dalam
memberikan contoh dan bimbingannya kepada anak-anaknya.
b. Pemertahananbahasa Jawa melalui pembelajaran di Sekolah yang didukung
sepenuhnya oleh Kebijakan Pemerintah.
Mengenai pembelajaran bahasa Jawa di sekolah ini secara hukum sangat kuat
kedudukannya, setidaknya untuk Provinsi Jawa Tengah dan DIY sudah
ditetapkan dalam keputusan Gubernur bahkan sudah dikuatkan melalui
Peraturan daerah. Namun barangkali yang menjadi masalah adalah waktu
yang disediakan dalam kurikulum sangatlah sempit, yaitu antara satu sampai
dua jam perminggu. Dalam waktu yang sangat sempit itu, guru bahasa Jawa
sangat terbatas ruang geraknya dalam mendidik generasi muda untuk mahir
berbahasa Jawa. Lebih-lebih setelah diberlakukannya Kurikulum 2013 yang
meniadakan mata pelajaran bahasa daerah sebagai mata pelajaran yang
mandiri. Boleh jadi Kurikulum 2013 merupakan ‘bencana’ bagi usaha
pemertahanan bahasa daerah. Sekaligus merupakan tantangan bagi pakar dan
pemerhati budaya Jawa. Semoga rencana presiden terpilih (Jokowi-JK) yang
ingin melakukan revolusi mental melahirkan kebijakan yang mendukung
eksistensi budaya daerah dengan kearifan lokalnya, termasuk di dalamnya
219
adalah pembelajaran bahasa Jawa di sekolah.
c. Pemertahananbahasa Jawa melalui media berbasis kompeter dan media
massa.
Telah dimaklumi bersama, jika dewasa ini media berbasis komputer dan
media massa telah memiliki peran yang penting dalam semua lini kehidupan.
Dalam hal ini media berbasis komputer seperti: HP, Laptop, dan Tap sudah
menjadi piranti wajib bagi semua orang. Sementara itu media massa cetak
seperti koran, majalah, jurnal, dan tabloit, juga telah menjadi konsumsi
sehari-hari masyarakat luas. Lebih-lebih lagi media massa elektronik seperti
radio, televisi, dan internet. Berbagai media itu sudah menjadi kebutuhan
wajib bagi kehidupan masyarakat modern di era global. Dengan
memperhatikan betapa sangat dekatnya media dengan masyarakat, maka
sudah waktunya dipikirkan cara untuk mengisi (content) media tersebut
dengan menggunakan bahasa Jawa. Apabila bahasa Jawa dapat tampil
sebagai bahasa pengantar dalam berbagai media, maka belajar bahasa Jawa
menjadi sebuah kebutuhan. Selain itu pandangan orang yang menganggap
bahwa bahasa Jawa itu ‘kuna’ dan ketinggalan zaman dapat terbantahkan.
d. PemertahananbahasaJawa melalui kesenian tradisi.
Pemberdayaan bahasa Jawa juga dapat dilakukan melalui jalur kesenian
tradisi yang menggunakan bahasa Jawa. Berbagai kesenian tradisi yang dapat
dimanfaatkan antara lain: pementasan kethoprak, wayang orang, wayang
kulit, ludruk, karawitan, reog, dan semacamnya. Sayangnya jenis-jenis
kesenian tradisional semacam ini cenderung kurang diminati oleh generasi
muda. Barangkali ada satu jenis kesenian yang cukup populer dan
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pelestarian bahasa Jawa,
yaitu lagu ’campur sari’ yang dibawakan oleh Didi Kempot. Selain itu, tentu
masih perlu dikembangkan lagi jenis kesenian yang kiranya menarik minat
generasi muda sebagai sarana untuk mempelajari bahasa daerahnya.
C. Simpulan
1. Kehidupan modern di era global, dengan tatanan kehidupan yang bersifat
universal telah mendorong masyarakat Jawa untuk menggunakan bahasa
yang dipandang memiliki jangkauan lebih luas dalam pergaulan
antarbangsa. Secara terpaksa ataupun sukarelamasyarakat dituntut untuk
lebih mengutamakan bahasa lain (bahasa Indonesia dan asing) untuk
berkomunikasi dalam berbagai kepentingan di setiap lini kehidupan. Hal
itu menyebabkan terjadinya kompetisibahasa, yang dampaknya muncul
pergeseran bahasa, yaitu pergeseran posisi bahasa yang ‘lama’ diambil
alih oleh bahasa ‘baru’. Peristiwapergeseran bahasa(language
shift)ituditandai dengan lebih diterimanya bahasa Indonesiadan bahasa
asing sebagai bahasa baru, daripada bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa
yang ‘lama’. Perubahan peran dan fungsi bahasa Jawa yang diambil alih
bahasa Indonesia dan asing itu, terjadi seiring dengan perkembangan
zaman, dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia selama ini.
220
2. Dalam bahasa Jawa dapat digali nilai-nilai moral sebagai cermin karakter
bangsa. Berbagai nilai moral yang dapat dikembangkan untuk membentuk
karakter bangsa melalui bahasa Jawa itu, adalah prinsip kesantunan dalam
berbahasa. Nilai nilai kesantunan yang dimaksud antara lain adalah: (1)
Andhap asor atau anor raga (merendahkan diri terhadap orang lain); (2)
Empan papan (fleksibel menyesuaikan tempat); (3) Tata krama ngedohake
panyendhu (tata karma menjauhkan prasangka buruk); dan (4) Undha usuk
atau Unggah-ungguhing basa (tingkat tutur dalam berbahasa).Kesantunan
berbahasa Jawa itu disebut dengan etiket tutur yang mengatur tentang
tindak laku berbahasa seseorang. Bagi masyarakat Jawa, etiket tutur adalah
tata cara merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan
yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat
atau yang lebih tinggi. Penerapan etiket tutur atau unggah-ungguh
basasebagai bentuk perwujudan sopan santun dalam masyarakat Jawa itu,
terdiri dari pocapan dan pratapyang merupakan tata cara atau aturan yang
turun-temurun dan berkembang dalam budaya masyarakat Jawa yang
bermanfaat dalam pergaulan dengan orang lain agarterjalin hubungan yang
akrab, saling pengertian, hormat-menghormati menurut adat yang telah
ditentukan. Unsur-unsur nilai moral yang terdapat dalam bahasa Jawa
tersebut, jika dipakai sebagai pedoman dalam bertindak maka akan
membangun dan menunjukkan karakter seseorang. Nilai-nilai tersebut
telah diwariskan oleh para pendahulu, yang merupakan penciri bangsa
Indonesia sebagai bangsa Timur yang memiliki prototipe: ramah, santun,
suka bergotong royong, dan menghormati orang lain. Dengan menerapkan
nilai-nilai moral yang terdapat dalam bahasa Jawa itu, maka perselisihan,
salah paham, dan hal-hal negatif lainnya yang kini marak terjadi dalam
kehidupan masyarakat dapat terhindarkan, sehingga tugas dan kewajiban
manusia sebagai makhluk individu dan sosial dapat terlaksana
sebagaimana seharusnya, dalam suasana kehidupan yang baik, dan penuh
kedamaian.
3. Kondisi kehidupan bahasa Jawa dewasa ini mengkhawatirkan, sebagai
akibat dari kuatnya dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing, serat
menurunnya penghargaan masyarakat Jawa (utamanya generasi muda)
terhadap bahasa daerahnya. Akibatnya, kondisi bahasa Jawa dewasa ini
semakin lemah dan terdesak (endangered language). Jika hal itu
dibiarkan, maka sangat dimungkiakan bila bahasa Jawa pada akhirnya
akan punah atau mati (language death). Oleh sebab itu, perlu upaya
pemertahanannya. Dalam makalah ini disampaikan beberapa alternatif
upaya pemertahanan bahasa Jawa melalui langkah-langkah berikut. (1)
Pemertahanan bahasaJawa melalui pengguaannya dalam lingkungan
keluarga (Jawa). (2) Pemertahananbahasa Jawa melalui pembelajaran di
Sekolah yang didukung sepenuhnya oleh Kebijakan Pemerintah.(3)
Pemertahanan bahasa Jawa melalui media berbasis kompeter dan media
massa. (4) Pemertahanan bahasaJawa melalui kesenian tradisi.
221
Semoga niat baik untuk mempertahankan bahasa Jawa sebagai
identitas karakter bangsa dan sekaligus sebagai budaya kebanggaan bangsa
mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak, demi kejayaan bangsa
ini di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Dwirahardjo., Maryono. 2003. “Pokok- pokok Pikiran tentang Sopan Santun
Berbahasa bagi Generasi Muda dalam Era Globalisasi”, dalam Jurnal
Linguistik Jawa. Vol 1 No. 02. UNS.
Fasold, Ralp. 1991. Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Publisher.
Nugrahani, Farida. 2013. “Menurunnya Kebanggaan Masyarakat terhadap Bahasa
Indonesia Sebagai Jatidiri Bangsa “. Dalam kumpulan makalah konggres
bahasa Indonesi X Sub Tema 3. (http/www/badanbahasa kemendikbud
go.id. Diakses 20 Agustus 2014).
Soepomo Poedjosoedarmo; Th. Kundjana; Gloria Soepama; Alip Suharso.1979.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ratnanigsih, Rina Iriani. 2010. ”Penggunaan Bahasa Jawa di Kalangan Generasi
Muda Kabupaten Karanganyar (Studi Evaluasi Kebijakan Bupati tentang
“Program RabuBerbahasa Jawa”)”. Disertasi Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana UNS.
Edi Subroto, Maryono Dwirahardjo, Budhi Setiawan. 2007. “Model Pelestarian dan
Pengembangan Kemampuan Berbahasa Jawa Krama di Kalangan Generasi
Muda Wilayah Surakarta dan Sekitarnya”. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Penelitian Tim Pascasarjana HPTP Tahun I Tahap I
Suharti. 2006. “Penerapan Unggah-Ungguh Berbahasa Jawa di Sekolah: Upaya
Pembinaan Perilaku Bangsa yang Tangguh” Proseding Konggres Bahasa
Jawa di Semarang, 10-14 september 2006.
Widyastuti, Sri Harti. 2006. “Pembelajaran Bahasa Jawa di Era Kesejagadan”.
Proseding Konggres Bahasa Jawa di Semarang, 10-14 september 2006.
222
BIODATA
Dr. Farida Nugrahani, M.Hum. lahir di Boyolali 11 Juni
1964 adalah alumnus dariUniversitas Sebelas Maret
Surakarta. Lulus S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (1988) dan S2 Program Studi Linguistik Minat
Utama Pengajaran Bahasa (2000); Pada tahun 2008, berhasil
meraih gelar Doktor dengan predikat Cumlaude, dari
Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas
Sebelas maret Surakarta. Kariernya dimulai sebagai dosen
tetap yayasan di Universitas Muhammdiyah Surakarta
(1989-1993). Pernah menjadi guru (PNS) di SMA Negeri 8
Surakarta (1995-2000). Sejak tahun 2001 tercatat sebagai
dosen Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah, Dpk di
Universitas Widya Dharma Klaten (2001-2003), dan kini
Dpk di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
(2003- sekarang). Selain mengajar di PBSD dan PBSI
program S1, Ia juga dipercaya sebagai Ketua Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa Indonesia (S2) di Universitas
Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Di Universitas Sahid
Surakarta (USS), Universitas Batik Surakarta (Uniba),
STIBA IEC, dan STAIN Surakarta, dipercaya mengampu
mata kuliah Penulisan Karya Ilmiah dan Metodologi
Penelitian. Buku yang telah dihasilkan antara lain:Metodologi Penelitian Kualitatif: Teori
dan Aplikasi (UNS Press, 2010). Metode Penyusunan Karangan Ilmiah Panduan bagi
Mahasiswa, Ilmuwan, dan Eksekutif. (Pilar Media, 2010). Apresiasi Sastra (Pilar Media
2008); Metode Penelitian Sastra (Pilar Media, 2007). Selain menulis buku, penulis aktif
menjadi pembicara dalam pertemuan ilmiah, dan makalahnya banyak diterbitkan melalui
proseding seminar ilmiah nasional dan internasional yang diselenggarakan oleh organisasi
profesi Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI), Ikatan Dosen Budaya Daerah
Indonesia (IKADBUDI), dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra (PIBSI). Banyak pula
tulisannya yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, seperti Kajian Bahasa Sastra dan
Pengajarannya (UMS), Varidika (UMS), Akademika (UMS), Stilistika (Pascasarjana
Univet), Varia Pendidikan (UNS), dan Litera (UNY), dan sebagainya. Selain mengajar dan
menulis, Ia juga aktif sebagai asesor sertifikasi guru rayon 41 UMS, ketua redaksi jurnal
Stilistika (Pascasarjana Univet), dan Sekretaris umum Ikatan Alumni Pascasarjana UNS.
Dalam berorganisasi, penulis dipercaya sebagai pengurus pusat IKADBUDI dan HISKI,
sekaligus sebagai Ketua HISKI untuk Komisariat Kabupaten Sukoharjo.