230210090006_2_5672(1)

9
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56’002” LS dan 108 0 22’015” BT. Luas pulau ± 120 Ha, terdiri dari ± 80 Ha hutan bakau dan ± 40 Ha darat. Dasar hukum penetapan Pulau Biawak sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut adalah SK Bupati Indramayu No.556/Kep.528 Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 SK Bupati Indramayu No. 556/Kep.528 Diskanla/2004 (DKP 2005). Kawasan ini mempunyai potensi sumberdaya alam laut yang tinggi karena keanekaragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Iklim Kabupaten Indramayu termasuk tipe D (iklim sedang) dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.428 mm/tahun. Suhu harian berkisar 26 0 C - 27 0 C dengan suhu tertinggi 30 0 C dan terendah 18 0 C, serta kelembaban udara berkisar antara 70% - 80%. Angin barat dan timur bertiup secara bergantian kurang lebih setiap 6 bulan, angin barat bertiup bulan Desember sampai bulan April dan angin timur pada bulan Mei sampai bulan Oktober (Zakiyan 2011). Gelombang laut di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya dipengaruhi oleh gelombang musiman, yaitu musim barat dan timur serta musim peralihan dengan ketinggian mencapai 0,5 - 0,8 meter. Sedangkan suhu perairan berkisar antara 28 0 C - 29 0 C, pH antara 7 - 9 dan salinitas air laut berkisar antara 32 - 34 g/l (DKP 2005). 2.2 Fitoplankton Fitoplankton (dari bahasa latin phyton, atau tanaman), Autotrophic, Prokaryotic, atau Eukaryotic algae yang hidup di dekat permukaan air dengan cahaya yang cukup untuk membantu proses fotosintesis. Fitoplankton memiliki ukuran dan morfologi yang beragam (Gambar 2).

description

kelautan

Transcript of 230210090006_2_5672(1)

Page 1: 230210090006_2_5672(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak

Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis

berada pada posisi 05056’002” LS dan 108

022’015” BT. Luas pulau ± 120 Ha,

terdiri dari ± 80 Ha hutan bakau dan ± 40 Ha darat. Dasar hukum penetapan Pulau

Biawak sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut adalah SK Bupati

Indramayu No.556/Kep.528 Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April

2004 SK Bupati Indramayu No. 556/Kep.528 Diskanla/2004 (DKP 2005).

Kawasan ini mempunyai potensi sumberdaya alam laut yang tinggi karena

keanekaragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Iklim Kabupaten

Indramayu termasuk tipe D (iklim sedang) dengan curah hujan rata-rata tahunan

1.428 mm/tahun. Suhu harian berkisar 26 0C - 27

0C dengan suhu tertinggi 30

0C

dan terendah 18 0C, serta kelembaban udara berkisar antara 70% - 80%. Angin

barat dan timur bertiup secara bergantian kurang lebih setiap 6 bulan, angin barat

bertiup bulan Desember sampai bulan April dan angin timur pada bulan Mei

sampai bulan Oktober (Zakiyan 2011).

Gelombang laut di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya dipengaruhi oleh

gelombang musiman, yaitu musim barat dan timur serta musim peralihan dengan

ketinggian mencapai 0,5 - 0,8 meter. Sedangkan suhu perairan berkisar antara

280C - 29

0C, pH antara 7 - 9 dan salinitas air laut berkisar antara 32 - 34 g/l (DKP

2005).

2.2 Fitoplankton

Fitoplankton (dari bahasa latin phyton, atau tanaman), Autotrophic,

Prokaryotic, atau Eukaryotic algae yang hidup di dekat permukaan air dengan

cahaya yang cukup untuk membantu proses fotosintesis. Fitoplankton memiliki

ukuran dan morfologi yang beragam (Gambar 2).

Page 2: 230210090006_2_5672(1)

6

Gambar 2. Jenis-jenis fitoplankton

(Sumber: www.planktonchronicles.org 2013)

Fitoplankton sebagai produsen tingkat pertama atau dasar mata rantai

makanan di perairan. Fitoplankton dapat berperan sebagai parameter ekologi yang

dapat menggambarkan kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah satu

parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Keberadaan fitoplankton di suatu

perairan dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis perairan di daerah

tersebut. Fungsi fitoplankton di perairan sebagai makanan bagi zooplankton dan

beberapa jenis ikan serta larva biota yang masih muda, mengubah zat anorganik

menjadi organik dan mengoksigenasi air (Odum 1993).

2.3 Zooplankton

Zooplankton (dari bahasa latin zoon, atau hewan), Protozoans atau

Metazoans (Crustacean dan hewan lain) yang memangsa plankton lain dan

Telonemia. Beberapa larva hewan yang besar, seperti ikan, Crustacean, dan

Annelid, termasuk zooplankton (Thurman 1997). Berdasarkan siklus hidupnya

zooplankton dibedakan menjadi dua yaitu, holoplankton dan meroplankton.

Holoplankton merupakan kelompok organisme yang seluruh hidupnya berupa

plankton, sedangkan meroplankton merupakan kelompok organisme yang

sebagian fase hidupnya berupa plankton, seperti larva ikan (Newell 1977).

Zooplankton memiliki ukuran dan morfologi yang beragam (Gambar 3).

Page 3: 230210090006_2_5672(1)

7

Gambar 3. Jenis-jenis zooplankton

(sumber:www.planktonchronicles.org 2013)

Komunitas zooplankton sangat dinamis, populasi-populasi yang ada

didalamnya saling berinteraksi dan mengalami perubahan setiap saat. Perubahan

atau variasi tersebut disebabkan karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan.

Perubahan tersebut mencerminkan perkembangan komunitas zooplankton secara

keseluruhan, seperti kelimpahan, keragaman, dan distribusinya (Hutabarat dan

Evans 1988).

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Zooplankton

Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimiawi perairan sangat penting

dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor

biotik, seperti plankton, perlu dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik

dan kimiawi) perairan, karena faktor abiotik dan biotik saling ketergantungan

antara organisme dengan faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang

kualitas suatu perairan.

a. Suhu Perairan

Menurut Nontji (2008), suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi

meteorologi. Faktor - faktor meteorologi yang berperan disini adalah curah

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan

intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu dipermukaan mengikuti pola

musiman. Menurut Krebs (1972), suhu mempengaruhi suatu stadium daur

Page 4: 230210090006_2_5672(1)

8

hidup organisme dan merupakan faktor pembatas penyebaran suatu jenis

dalam hal mempertahankan kelangsungan hidup, reproduksi, perkembangan

dan kompetisi. Kennish (1990) menyatakan bahwa suhu perairan juga

mempengaruhi keberadaan zooplankton secara fisiologi dan ekologis. Secara

fisiologis perbedaan suhu perairan sangat berpengaruh terhadap fekunditas,

lama hidup, dan ukuran dewasa zooplankton. Secara ekologis perubahan

suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan zooplankton di

perairan dangkal.

Kehidupan binatang laut sangat dibatasi oleh suhu. Beberapa jenis

mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu (euritermal),

sebaliknya ada pula yang memiliki batas toleransi yang kecil (stenotermal)

(Nontji 2008). Globigerina spp (ordo Foraminiferida) dapat hidup pada

kisaran suhu 17 0C - 23

0C di Samudera Hindia atau 16

0C - 24

0C di Laut

Jawa, sedangkan Aequorea pensilis (Hydrozoa) dapat hidup pada suhu lebih

dari 19 0C. Euphysosa furcate hidup pada kisaran suhu 26

0C - 27

0C di Laut

Jawa. Penilia avirostris (Cladocera) dapat hidup pada kisaran suhu 8,7 0

C -

30,170C di Samudera Hindia. Pleusoma indica dapat hidup di perairan

dangkal dengan kisaran suhu antara 6 0

C - 23 0C (Rao 1979).

Riley (1975) mengemukakan bahwa pada umumnya jenis zooplankton

dapat berkembang dengan baik pada suhu 25 0C atau lebih. Nontji, (2008)

mengemukakan bahwa suhu air di perairan Indonesia umumnya berkisar

280C - 31

0C.

b. Arus

Menurut Wickstead (1965) arus merupakan salah satu parameter fisik

yang mempengaruhi penyebaran zooplankton di laut. Menurut Nontji

(2008), di perairan pantai dan teluk, arus lebih banyak dipengaruhi oleh

pasang surut dan aliran sungai.

c. Salinitas

Salinitas merupakan faktor pembatas penyebaran zooplankton di

perairan. Kennish (1990) mengemukakan bahwa perubahan salinitas yang

dapat ditolerir oleh holoplankton dan meroplankton berbeda-beda tergantung

Page 5: 230210090006_2_5672(1)

9

spesies dan stadium daur hidupnya. Salinitas diduga mempengaruhi struktur

dan fungsi fisiologis organisme perairan melalui perubahan tekanan

osmosis, proporsi relatif bahan pelarut, koefisien absorbs dan kejenuhan

kelarutan, kerapatan dan viskositas, perubahan penyerapan sinar, pengantar

suara, dan daya hantar listrik. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain, sirkulasi air, penguapan, dan curah hujan

(Nontji 2008).

Plankton eurihalin dapat mentolerir kisaran salinitas yang luas,

sedangkan plankton stenohalin hanya dapat mentolerir kisaran salinitas

sempit (Odum 1993). Perbedaan toleransi organisme terhadap salinitas

dipengaruhi oleh, umur, stadium daur hidup dan jenis kelamin (Nontji

2008).

d. Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam sistem perairan.

Hampir semua binatang dan tumbuhan membutuhkan oksigen untuk

pernafasan. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan dapat dijadikan

petunjuk untuk mengetahui aktifitas organisme dalam suatu perairan, antara

lain masuknya zat organik yang mudah terurai dalam suatu perairan dapat

menurunkan kadar oksigen terlarut. Sumber utama oksigen berasal dari

atmosfer dan hasil proses fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen juga

digunakan organisme pengurai dalam proses penguraian bahan organik

(Michael 1984).

Kadar oksigen terlarut di perairan tropis umumnya kurang dari 10 mg/l

(APHA 1989). Menurut Rao (1979), toleransi organisme zooplankton

terhadap oksigen terlarut sangat bermacam-macam. Euphysosa furcate

(Hydrozoa) dapat hidup pada kisaran oksigen terlarut antara 4,86 - 10,66

mg/l di Samudera Hindia. Sedangkan Limalina bulimoides (Mollusca) hidup

dengan kadar oksigen terlarut kurang dari 0,3 mg/l.

e. Derajat Keasaman (pH)

Davis (1995) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) merupakan

faktor pembatas bagi pertumbuhan plankton di laut. Fluktuasi pH

Page 6: 230210090006_2_5672(1)

10

mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan plankton, kisaran pH

normal air laut masih dapat ditolerir oleh organisme adalah 7,0 - 8,3. Nilai

pH relatif lebih tinggi didaerah lepas pantai dan relatif lebih rendah di

daerah pantai.

2.5 Hubungan Zooplankton Dan Fitoplankton

Ekosistem bahari dapat berfungsi, apabila terdapat energi dan seluruhnya

tergantung pada aktifitas fotosintesis tumbuhan bahari, salah satunya adalah

fitoplankton. Fitoplankton sebagai produsen primer karena mampu mengikat

energi matahari melalui proses fotosintesis dan dipindahkan ke komunitas-

komunitas lain (Nybakken 1992).

Pola hubungan antara zooplankton, fitoplankton, dan organisme lainnya

merupakan suatu rangkaian pemakan (predator) dan mangsa (prey). Rantai aliran

energi pada ekosistem perairan diamati dari pemanfaatan energi matahari oleh

organisme ototrof (Gambar 4).

Page 7: 230210090006_2_5672(1)

11

Gambar 4. Aliran Energi Dalam Ekosistem Perairan.

(sumber: Romimohtarto dan Juwana 2007)

Proses makan dan dimakan yang terjadi pada sebuah ekosistem juga

diikuti oleh perpindahan energi, menurut hukum kekekalan energi, energi tidak

dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi energi dapat berubah dari

satu bentuk ke bentuk lainnya. Semua energi yang ada di bumi berasal dari satu

sumber yaitu matahari. Energi cahaya matahari diubah menjadi makanan oleh

produsen melalui proses fotosintesis. Energi ini kemudian dimanfaatkan oleh

konsumer primer dan berlanjut sampai konsumer tersier. Tidak semua konsumen

memanfaatkan energi dari makanan yang didapatnya. Keadaan ini

mengisyaratkan adanya pengurangan energi pada setiap tingkatan trofik pada

suatu piramida. Piramida semacam ini disebut sebagai piramida energi. Piramida

energi mampu memberikan gambaran akurat tentang kecepatan aliran energi

dalam suatu ekosistem atau produktivitas pada tingkat trofik. Tingkatan trofik

pada piramida energi didasarkan pada energi yang dikeluarkan individu dan

dinyatakan dalam kilokalori/m2/waktu (Romimohtarto dan Juwana 2007). Skema

piramida energi disajikan pada Gambar 5.

MATAHARI

HASIL PENGURAIAN (NUTRIENT)

OTOTROF :FOTOSINTESIS

(PRODUSEN PRIMER)

PENGURAI HETEROTROF: HERBIVORA

(KONSUMEN 1)

HETEROTROF: KARNIVORA

(KONSUMEN 2)

Page 8: 230210090006_2_5672(1)

12

Gambar 5. Piramida Energi Dalam Ekosistem Perairan.

(sumber: Widayati dan Zubedi 2009)

Selama proses transfer energi, selalu terjadi pengurangan jumlah energi

setiap melewati suatu tingkat trofik. Selama terjadi aliran energi dalam suatu

rantai makanan, terjadi pula aliran materi. Materi berupa unsur- unsur dalam

bentuk senyawa kimia yang merupakan materi dasar makhluk hidup dan tak

hidup. Pergerakan energi dan materi melalui ekosistem saling berhubungan karena

keduanya berlangsung melalui transfer zat-zat di dalam rantai makanan. Dari

200 J energi yang dikonsumsi oleh zooplankton, misal nya, hanya sekitar 33 J

(seperenam) yang digunakan untuk pertumbuhannya, sedangkan sisanya dibuang

sebagai feses atau digunakan untuk respirasi seluler. Tentunya, energi yang yang

terkandung dalam feses tersebut tidak hilang dari ekosistem karena masih dapat

dikonsumsi oleh detritivora. Akan tetapi, energi yang digunakan untuk respirasi

hilang dari ekosistem. Dengan demikian, jika radiasi cahaya matahari merupakan

sumber utama energi untuk sebagian ekosistem, maka kehilangan panas pada

respirasi adalah tempat pembuangan energi. Hal inilah yang menyebabkan energi

dikatakan mengalir melalui ekosistem dan bukan didaur di dalam ekosistem

(Widayati dan Zubedi 2009).

Penyebab penurunan populasi fitoplankton yang utama adalah aktifitas

pemangsaan yang intensif oleh zooplankton dan hewan air mikro lainnya yang

herbivora, penyebab kedua adalah kematian. Kelompok zooplankton yang bersifat

Page 9: 230210090006_2_5672(1)

13

herbivora adalah protozoa, rotifera dan kopepoda. Kopepoda merupakan

zooplankton pemakan tumbuhan yang mendominasi di semua lautan. Beberapa

peneliti menyimpulkan bahwa kopepoda yang bertanggung jawab dalam mengatur

populasi fitoplankton (Nybakken 1992).

Tiga teori penting yang dapat menerangkan hubungan terbalik antara

fitoplankton dengan zooplankton dijelaskan oleh Davis (1995) sebagai berikut:

a. Teori dimakannya fitoplankton oleh zooplankton atau the theory of grazing

(Harvey dkk 1935). Teori ini menyatakan bahwa bila populasi fitoplankton

meningkat, maka grazing oleh zooplankton akan sampai pada kecepatan

tertentu sehingga fitoplankton tidak sempat membelah diri. Populasi

zooplankton menurun, maka fitoplankton akan berkembang sehingga

fitoplankton akan melimpah.

b. Teori penyingkiran hewan atau the theory of animal exclusion (Hardy dan

Gunther 1935). Teori ini mengatakan bahwa selama zooplankton melakukan

migrasi vertikal harian, akan menemukan hambatan untuk mencapai

permukaan bila berjumpa dengan kelimpahan fitoplankton yang sangat

padat. Hal ini diduga karena fitoplankton menghasilkan suatu zat kimia tertentu

sehingga zooplankton tidak mendekatinya.

c. Teori perbedaan laju pertumbuhan atau the theory of different rate (Nielsen

1973). Mengemukakan bahwa meskipun zooplankton memakan fitoplankton

tetapi untuk mencapai populasi yang melimpah akan membutuhkan waktu

yang lebih lama dibandingkan fitoplankton. Hal ini disebabkan zooplankton

mempunyai siklus reproduksi yang lebih panjang dibandingkan fitoplankton.