210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

6
1 Panduan tentang Penerapan Pasal 127 UU Narkotika dan Penempatan Pemakai Narkotika Berhadapan Hukum di Rehabilitasi PENANGKAPAN PRINSIP Dalam setiap penanganan kasus yang melibatkan pemakai narkotika berhadapan hukum, anggota Polri harus mendukung pemberian layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lain yang diperlukan kepada pemakai narkotika berhadapan hukum tersebut. Penyidik harus mencaritahu terlebih dahulu apakah orang yang ditangkap memiliki riwayat pemakaian narkotika* ATAU rehabilitasi narkotika**. YA Dalam waktu maksimal 1x24 jam sejak penangkapan, penyidik meng- hubungi Tim Dokkes untuk meminta di- lakukan penilaian medis (assess- ment)***. Assessment dilakukan dalam waktu maksimal 1x24 jam sejak permintaan penyidik. Assessment se- dapat mungkin dila- kukan di fasilitas kesehatan Dokkes. Dalam waktu maksimal 3x24 jam dari pelaksanaan assessment, Tim Dokkes menyerahkan hasil assess- ment kepada penyidik. Selanjutnya, penyidik perlu mencaritahu apakah pe- makai narkotika ber- hadapan hukum tersebut memiliki keterlibatan de- ngan jaringan peredaran gelap narkotika****. YA TIDAK Terhadap pemakai narkotika berhadapan hukum tersebut, HARUS dikenakan tambahan Pasal 127 UU Narkotika. Terhadap pemakai narkotika berhadapan hukum tersebut, HANYA dikenakan Pasal 127 UU Narkotika saja. TIDAK LANJUT PROSES HUKUM Tidak memiliki riwayat pemakaian narkotika atau rehabilitasi narkotika Memiliki riwayat pemakaian narkotika atau rehabilitasi narkotika PRINSIP Selama menjalani proses hukum, pemakai narkotika berhadapan hukum harus mendapatkan layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lainnya yang diperlukan, termasuk di antaranya penempatan di lembaga rehabilitasi sosial ataupun medis.*****

Transcript of 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

Page 1: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

1

Panduan tentang Penerapan Pasal 127 UU Narkotika dan Penempatan Pemakai Narkotika Berhadapan Hukum di Rehabilitasi

PENANGKAPAN PRINSIP Dalam setiap penanganan kasus yang melibatkan pemakai narkotika berhadapan hukum, anggota Polri harus mendukung pemberian layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lain yang diperlukan kepada pemakai narkotika berhadapan hukum tersebut.

Penyidik harus mencaritahu

terlebih dahulu apakah orang

yang ditangkap memiliki riwayat

pemakaian narkotika* ATAU

rehabilitasi narkotika**.

YA

Dalam waktu maksimal 1x24 jam sejak penangkapan, penyidik meng-hubungi Tim Dokkes untuk meminta di-lakukan penilaian medis (assess-ment)***.

Assessment

dilakukan dalam

waktu maksimal

1x24 jam sejak

permintaan

penyidik.

Assessment se-

dapat mungkin dila-

kukan di fasilitas

kesehatan Dokkes.

Dalam waktu maksimal

3x24 jam dari pelaksanaan

assessment, Tim Dokkes

menyerahkan hasil assess-

ment kepada penyidik.

Selanjutnya, penyidik perlu mencaritahu apakah pe-makai narkotika ber-hadapan hukum tersebut memiliki keterlibatan de-ngan jaringan peredaran

gelap narkotika****.

YA

TIDAK

Terhadap pemakai narkotika

berhadapan hukum tersebut,

HARUS dikenakan tambahan

Pasal 127 UU Narkotika.

Terhadap pemakai narkotika

berhadapan hukum tersebut,

HANYA dikenakan Pasal 127

UU Narkotika saja.

TIDAK LANJUT PROSES

HUKUM

Tidak memiliki riwayat pemakaian narkotika atau

rehabilitasi narkotika

Memiliki riwayat pemakaian narkotika atau

rehabilitasi narkotika

PRINSIP Selama menjalani proses hukum, pemakai narkotika berhadapan hukum harus mendapatkan layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lainnya yang diperlukan, termasuk di antaranya penempatan di lembaga rehabilitasi sosial ataupun medis.*****

Page 2: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

2

Keterangan Bagan:

1. Sejak penangkapan sampai keputusan setelah penilaian medis (assessment) harus

diselesaikan dalam waktu maksimal 6x24 jam.

2. (*) Riwayat pemakaian narkotika termasuk bagi mereka yang baru pertama kali memakai

narkotika.

3. (**) Rehabilitasi narkotika mencakup baik rehabilitasi medis maupun sosial, serta baik yang

sifatnya rawat jalan ataupun rawat inap. Contoh rehabilitasi rawat jalan adalah terapi

rumatan metadon atau akses layanan alat suntik steril.

4. (***) Bagi penyidik di lingkungan Polda, Tim Dokkes yang harus dihubungi adalah Tim

Dokkes di Polda. Bagi penyidik di lingkungan Polres dan Polsek, Tim Dokkes yang harus

dihubungi adalah Tim Dokkes di lingkungan Polres setempat. Dalam hal Tim Dokkes di

satu lingkungan tidak memiliki kapasitas yang diperlukan ataupun kapasitasnya sedang

berlebih (overload), Penyidik meminta/menerima bantuan assessment dari LSM maupun

penyelenggara rehabilitasi berbasis komunitas.

5. (***) Belum ada definisi baku “jaringan peredaran gelap narkotika” baik di dalam UU

Narkotika maupun konvensi narkotika internasional. (UU Narkotika hanya menyediakan

definisi “kejahatan terorganisasi” yang sepertinya berbeda dengan pemahaman “jaringan

peredaran gelap narkotika”). Pemahaman umum atas definisi “jaringan peredaran gelap

narkotika” adalah adanya keterlibatan banyak orang dalam suatu sindikat yang rapi dan

terorganisir dengan jaringan luas baik secara nasional ataupun internasional dengan

tujuan mencari keuntungan besar semata. Karena belum adanya definisi hukum yang baku

yang bisa digunakan, penyidik harus berhati-hati dan teliti dalam mengkategorikan apakah

seorang pemakai narkotika atau pelaku tindak pidana narkotika itu memiliki keterlibatan

dalam jaringan peredaran gelap narkotika.

6. (*****) Prinsip ini sesungguhnya bukanlah ketentuan yang asing atau baru sebab

Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP menyebutkan bahwa “tersangka atau

terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus

merupakan tempat perawatan.”

Page 3: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

3

Pelaksanaan Penegakan Pasal 127 UU Narkotika dan Problematikanya

Ketika penyidik memeriksa tertangkap kasus narkotika dan ada indikasi bahwa tertangkap

tersebut adalah seorang pemakai narkotika, penyidik terkadang menambahkan Pasal 127 UU

Narkotika ke dalam deretan pasal yang disangkakan kepada orang itu. Hal ini dilakukan terhadap

tertangkap yang ditangkap baik ketika menggunakan, menguasai, maupun membeli narkotika,

dengan ketentuan bahwa dirinya atau keluarganya dapat membuktikan bahwa tertangkap memiliki

riwayat perawatan terhadap pemakaian narkotikanya. Namun demikian, penerapan Pasal 127 UU

Narkotika terhadap seorang pemakai narkotika belum sepenuhnya konsisten terlepas dari upaya

penyidik untuk meminimalisir kesalahan/kelalaian. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya,

seorang pecandu dan/atau penyalahguna narkotika (hampir) pasti melakukan seluruh perbuatan

sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana UU Narkotika, dengan skenario sebagai berikut:1

Dengan skenario di atas, banyak pecandu/penyalahguna yang tertangkap sebelum mereka

menggunakan narkotika, misalnya ketika tengah melakukan pembelian, ataupun sedang dalam

perjalanan menuju tempat menggunakan narkotika dalam keadaan menguasai narkotika.

Seperti yang telah dijelaskan di awal, pecandu/penyalahguna yang tertangkap ketika sedang

tidak menggunakan narkotika tetap dapat dikenakan Pasal 127 UU Narkotika, selama

mereka dapat membuktikan bahwa mereka memiliki riwayat perawatan pemulihan

1 Tentu skenario di atas tidak berlaku bagi mereka yang memiliki sumber daya lebih, sehingga mereka

bisa membayar seseorang untuk melakukan pembelian narkotika, dan mengantarkannya sehingga ia hanya menunggu narkotika tersedia untuk kemudian dipakai. Tetapi bagi kebanyakan pecandu/penyalahguna narkotika, sumber daya lebih ini adalah sesuatu yang tidak mereka punya.

Sebagai seorang pencandu dan/atau penyalahguna narkotika, dirinya pasti

menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, di mana penyalahgunaan

tersebut melanggar Pasal 127 UU Narkotika. Sebelum dirinya dapat

menggunakan narkotika, maka tentu dia harus terlebih dahulu menguasai

atau membawa narkotika tersebut ke tempat dia merasa nyaman

menggunakan narkotika. Penguasaan ataupun proses pembawa narkotika

ini pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 111 UU Narkotika

maupun Pasal 112 UU Narkotika, ataupun pasal lain mengenai penguasaan

narkotika tergantung dari jenis dan golongan narkotikanya. Sebelum

seorang pecandu/penyalahguna dapat menguasai atau membawa narkotika

tentu dia perlu membelinya terlebih dahulu (baik langsung ataupun

menitipkan melalui orang lain). Perdagangan narkotika, baik sebagai

pembeli, penjual, maupun pihak lain yang terlibat dalam perdagangan

tersebut tentunya juga melanggar Pasal 114, ataupun pasal lain mengenai

perdagangan narkotika tergantung dari jenis dan golongan narkotikanya.

Page 4: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

4

penyalahgunaan narkotika. Misalnya: pernah menjalani rehabilitasi medis maupun sosial2,

pernah mengikuti program terapi metadon, maupun pernah menjalani bentuk program

pengurangan dampak buruk lainnya3. Namun, tidak semua pemakai narkotika yang tertangkap

itu memiliki kemampuan atau dukungan untuk membuktikan bahwa mereka memang

pernah memiliki riwayat perawatan pemulihan ketergantungan narkotika.

Selain itu, masih ada pecandu/penyalahguna yang sepanjang usianya belum pernah

mengakses layanan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika karena berbagai alasan.

Pertanyaan pun muncul di sini, apakah tertangkap yang adalah pecandu/penyalahguna

narkotika tetapi tidak dapat membuktikan atau tidak pernah mengakses layanan perawatan

pemulihan ketergantungan narkotika bisa dikenakan Pasal 127 UU Narkotika?

Bagi mereka yang tidak memiliki riwayat perawatan pemulihan penyalahgunaan narkotika, tentu

saja penyidik menghadapi dilema besar dalam menentukan apakah Pasal 127 UU Narkotika bisa

dikenakan kepada pecandu/penyalahguna seperti itu. Dilema ini bukan hanya bisa membuat

penyidik kehilangan jabatannya atas dugaan pelanggaran disiplin atau etika, tetapi bahkan bisa

membahayakan institusi kepolisian dengan munculnya tuduhan-tuduhan penyuapan dan

sebagainya yang membuat masyarakat mempertanyakan integritas penyidik dan institusi

kepolisian. Di satu sisi, naluri kemanusiaan anggota kepolisian tentu menginginkan

pecandu/penyalahguna narkotika mendapatkan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika,

bukan penjara minimal empat tahun. Namun di sisi lain, tanpa ada dukungan/bukti medis yang

memadai mengenai ketergantungan/penyalahgunaan narkotika, penyidik berada di posisi yang

lemah untuk dapat mengenakan Pasal 127 UU Narkotika.

Berangkat dari tersebut di atas, perlu ada panduan yang jelas yang dapat digunakan untuk

memenuhi hak pemakai narkotika yang berhadapan hukum atas layanan pemulihan

ketergantungan narkotika dan juga sekaligus melindungi langkah penyidik kepolisian

dalam menyelamatkan pecandu/penyalahguna dari jerat pemenjaraan dengan mengenakan

Pasal 127 UU Narkotika.

Apa isi Pasal 127 UU Narkotika?

Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa:

“(1) Setiap Penyalah Guna:

Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun;

2 Baik rawat inap ataupun rawat jalan.

3 Contohnya mengakses layanan alat suntik steril di Puskesmas maupun Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) yang menyediakan layanan alat suntik steril.

Page 5: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

5

Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun; dan

Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)

tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti

sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial.”

Melihat pada Pasal 127 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa subjek hukum yang dapat dikenakan

pasal ini adalah penyalahguna narkotika, di mana berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Narkotika,

penyalahguna narkotika diartikan sebagai orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak

atau melawan hukum. Artinya, Pasal 127 UU Narkotika hanya dapat dikenakan kepada mereka

yang berstatus sebagai penyalahguna narkotika, baik yang mengalami ketergantungan (pecandu)

maupun yang tidak.

Selain itu, Pasal 127 UU Narkotika ini juga mengatur mengenai perbedaan ancaman yang dapat

dijatuhkan terhadap penyalahguna narkotika golongan 1 (misalnya heroin), narkotika golongan 2

(misalnya katinon dan metadon), dan narkotika golongan 3 (misalnya kodein).

Dengan demikian, Pasal 127 UU Narkotika bukan hanya ditujukan kepada tertangkap yang

tertangkap tangan sedang menggunakan narkotika, tetapi juga bagi tertangkap yang

berstatus sebagai penyalahguna narkotika yang ditangkap sedang melakukan aktivitas

seperti membeli atau menguasai narkotika.

Konsep Pengenaan Pasal 127 UU Narkotika yang Humanis

Tentunya kita tidak bisa sembarang mengenakan Pasal 127 UU Narkotika kepada tertangkap

yang hanya sekedar “mengaku” sebagai pecandu/penyalahguna narkotika. Namun, jika ada

tertangkap yang memang benar-benar pecandu/penyalahguna narkotika yang karena tidak

memiliki riwayat perawatan pemulihan penyalahgunaan dirinya tidak bisa mendapatkan Pasal 127

UU Narkotika dan pada akhirnya berakhir di penjara, secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa

penyidik berperan dalam menempatkan orang yang sakit ke tempat di mana ia tidak seharusnya

berada. Penyidik juga memiliki kepentingan untuk mengetahui apakah seorang tertangkap adalah

pecandu/penyalahguna narkotika guna menentukan apakah ia memiliki kebutuhan medis selama

dalam tahanan kepolisian. Kepentingan ini sejalan dengan peraturan mengenai perlindungan

hak asasi manusia terhadap tahanan yang menjadi tanggung jawab kepolisian

Page 6: 210414_Panduan Penerapan Pasal 127_LBH Masyarakat

6

sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 10 huruf (f) yang menyatakan bahwa

dalam melaksanakan tugasnya setiap anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku

(code of conduct), di mana salah satunya adalah untuk “menjamin perlindungan

sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus

lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana

diperlukan.”

Dengan demikian menjadi hal yang penting bagi penyidik untuk memastikan bahwa tertangkap

yang berada dalam tanggung jawabnya mendapatkan penilaian medis (assessment) yang

memadai. Dengan penilaian medis (assessment) tersebut, penyidik dapat mengetahui kebutuhan

layanan kesehatan tertangkap sekaligus juga dapat membantu penyidik menentukan apakah

Pasal 127 UU Narkotika dapat dikenakan.

Penilaian medis (assessment) ini harus dilakukan secepatnya, bahkan sejak penangkapan.

Mengingat orang yang tengah ketergantungan narkotika dan kemudian sempat putus zat, yang

bersangkutan akan mengalami rasa sakit yang luar biasa. Penilaian medis baiknya dilakukan

bukan hanya terhadap mereka yang ditangkap karena tindak pidana narkotika, tetapi juga tindak

pidana umum selama terdapat dugaan bahwa dirinya merupakan pecandu/penyalahguna

narkotika. Hal ini dikarenakan adanya beberapa kasus tindak pidana umum di mana kondisi

ketergantungan narkotika si pelaku yang mendorongnya mencuri agar bisa membeli narkotika.