2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Besar II.pdf · Kandungan kalium dan fosfor yang tinggi pada cabai...

27
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Besar Tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman perdu semusim yang tergolong ke dalam suku terong-terongan. Tanaman ini berasal dari Amerika tropis seperti Meksiko dan Brazil kemudian menyebar ke berbagai negara tropis lainnya termasuk Indonesia. Cabai besar dapat tumbuh antara 1 m s.d. 1,25 m dengan panjang daun mencapai 12 cm dengan lebar antara satu centimeter sampai lima centimeter. Bunga tanaman menyerupai terompet berbentuk bintang dengan warna putih yang keluar dari ketiak daun. Buahnya berbentuk kerucut memanjang dengan permukaan mengkilap dan panjang buah mincapai hingga 17 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau kemudian setelah matang akan berubah menjadi merah cerah. Menurut Rahmat (1994 dalam Triwidiyaningsih, 2011), klasifikasi tanaman cabai adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Diviso : Spermatophyta Sub diviso : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Sub Kelas : Metachlamidae Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum annum L. Kondisi yang dikehendaki dalam budidaya cabai besar meliputi suhu, ketinggian tempat, dan jenis tanah. Suhu yang ideal untuk budidaya cabai adalah 24 0 C s.d. 28 0 C. Pada suhu tertentu seperti 15 0 C dan lebih dari 32 0 C akan 9

Transcript of 2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Besar II.pdf · Kandungan kalium dan fosfor yang tinggi pada cabai...

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Besar

Tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman perdu

semusim yang tergolong ke dalam suku terong-terongan. Tanaman ini berasal dari

Amerika tropis seperti Meksiko dan Brazil kemudian menyebar ke berbagai

negara tropis lainnya termasuk Indonesia. Cabai besar dapat tumbuh antara 1 m

s.d. 1,25 m dengan panjang daun mencapai 12 cm dengan lebar antara satu

centimeter sampai lima centimeter. Bunga tanaman menyerupai terompet

berbentuk bintang dengan warna putih yang keluar dari ketiak daun. Buahnya

berbentuk kerucut memanjang dengan permukaan mengkilap dan panjang buah

mincapai hingga 17 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau kemudian setelah

matang akan berubah menjadi merah cerah. Menurut Rahmat (1994 dalam

Triwidiyaningsih, 2011), klasifikasi tanaman cabai adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatophyta

Sub diviso : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Sub Kelas : Metachlamidae

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annum L.

Kondisi yang dikehendaki dalam budidaya cabai besar meliputi suhu,

ketinggian tempat, dan jenis tanah. Suhu yang ideal untuk budidaya cabai adalah

24 0C s.d. 28

0C. Pada suhu tertentu seperti 15

0C dan lebih dari 32

0C akan

9

10

menghasilkan buah cabai yang kurang baik. Penyinaran yang dibutuhkan adalah

penyinaran secara penuh dengan curah hujan yang dikehendaki yaitu 800 mm s.d.

2.000 mm per tahun (Tjahjadi, 1991 dalam Nurfalach, 2010). Ketinggian tempat

yang dikehendaki untuk penanaman cabai berkisar antara 0 m s.d. 1.400 m di atas

permukaan laut, sehingga cabai dapat ditanam pada dataran rendah hingga dataran

tinggi. Tanaman cabai dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada berbagai

jenis tanah, mulai dari tanah berpasir hingga tanah liat. Pertumbuhan tanaman

cabai akan optimal jika ditanam pada tanah dengan pH 6 s.d. 7 (Harpenas, 2010

dalam Nurfalach, 2010).

Cabai besar merupakan salah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan

dalam kehidupan sehari-hari. Buah cabai besar mengandung senyawa-senyawa

serta gizi yang sangat berguna bagi tubuh. Beberapa kandungan senyawa dalam

buah cabai besar adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1

Kandungan Senyawa Kimia dalam 100 g Cabai Besar Segar

Senyawa Kandungan

Kalori (kal) 31,00

Protein (g) 1,00

Lemak (g) 0,30

Karbohidrat (g) 7,30

Kalsium (mg) 29,00

Fosfor (mg) 24,00

Serat (g) 0,30

Zat Besi (mg) 0,50

Vitamin A (SI) 470,00

Vitamin B1 (mg) 0,05

Vitamin B2 (mg) 0,03

Vitamin C (mg) 18,00

Niasin (mg) 0,20

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1981 dalam Hasrayanti, 2013)

11

Cabai besar sangat bermanfaat bagi kesehatan terutama bagi sirkulasi

darah ke jantung dan sebagai analgesik untuk kejang otot dan rematik. Cabai

mengandung vitamin A dan Vitamin C yang mengandung beta karoten yang

berguna menangkal dampak radikal bebas. Kandungan kalium dan fosfor yang

tinggi pada cabai dapat membantu pertumbuhan tulang dan sel baru. Cabai juga

mampu memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi pada sistem

pencernaan. Banyaknya manfaat cabai bagi kesehatan membuat tanaman ini

banyak digunakan sebagai bahan baku industri obat-obatan (Hasrayanti, 2013).

2.2 Teknologi Budidaya Cabai Besar

Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan usahatani cabai

besar antara lain sebagai berikut.

1. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit dapat dilakukan dengan dua cara, yakni membuat sendiri atau

membeli bibit yang telah siap tanam. Pengadaan bibit dengan cara menbeli

akan lebih praktis, sedangkan pengadaan bibit dengan cara membuat sendiri

memerlukan perhatian khusus dan mutunya belum tentu terjamin bagus.

Anjuran penggunaan benih per hektar dalam budidaya cabai besar berkisar

antara 150 g s.d. 300 g atau sekitar 10.000 sampai dengan 20.000 pohon per

hektar (Cahyono, 2003 dalam Nurfalach, 2010).

2. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah diperlukan agar tanah-tanah yang padat bisa menjadi

longgar, sehingga pertukaran udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas

oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman

dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan

12

longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap

zat-zat makanan di dalamnya (Nurfalach, 2010).

3. Penanaman

Cabai ditanam dengan pola segitiga, jarak tanamnya adalah 50 cm s.d. 60 cm

dari lubang satu ke lubang lainnya. Jarak antar barisan berkisar antara 60 cm

s.d. 70 cm. Kedalaman lubang tanam dibuat antara 8 cm s.d. 10 cm dengan

diameter lubang sesuai ukuran polibag bibit cabai. Bibit cabai yang siap

dipindah ke areal tanam adalah yang telah berumur 15 hari s.d. 17 hari atau

telah memiliki tiga sampai empat helai daun. Penanaman sebaiknya dilakukan

pada sore hari untuk mengurangi paparan sinar matahari berlebih terhadap bibit

yang baru ditanam (Dermawan, 2010 dalam Nurfalach, 2010).

4. Pemeliharaan tanaman

Menurut Hewindati (2006 dalam Nurfalach, 2010), bibit cabai yang telah

ditanam harus selalu dipelihara agar dapat tumbuh dengan baik. Beberapa

macam pemeliharaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.

a. Penyulaman, yakni kegiatan mengganti bibit yang rusak dengan bibit yang

baru agar jumlah tanaman tetap terjaga.

b. Penyiangan, yakni membersihkan segala jenis gulma yang tumbuh di sekitar

tanaman agar zat hara tanah dapat diserap tanaman secara optimal

c. Pemangkasan, yakni pemotongan terhadap beberapa tunas yang tidak

dikehendaki. Biasanya dilakukan antara 17 s.d. 21 hari setelah tanam (HST)

untuk di dataran rendah atau 25 s.d. 30 HST di dataran tinggi.

d. Pemupukan, yakni pemberian tambahan unsur hara tanah baik organik

maupun anorganik. Pupuk yang sering diberikan pada tanaman cabai

13

meliputi pupuk kandang, Urea, SP-36, KCL, dan NPK. Dosis penggunaan

pupuk kandang adalah 20 ton/ha, SP-36 400 kg/ha, urea 100 s.d. 150 kg/ha,

ZA 300 s.d. 400 kg/ha, KCL 200 s.d. 250 kg/ha, dan NPK 300 s.d. 500

kg/ha (Balai Pengkaji dan Pengembangan Teknologi Pertanian Republik

Indonesia, 2003).

e. Penyiraman diperlukan untuk menjaga kadar kelembabapan tanah disekitar

tanaman. Penyiraman biasanya dilakukan dengan cara penggenangan

ataupun penyemprotan dengan frekuensi sesuai dengan kondisi tanaman.

f. Pengendalian hama penyakit merupakan strategi untuk meminimalkan

kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit (Harpenas, 2010

dalam Nurfalach, 2010). Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman

cabai biasanya dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati maupun

kimia. Dosis penggunaan pestisida kimia bervariasi sesuai dengan

kandungan bahan aktif yang dimiliki. Penggunaan pestisida berbentuk

bubuk atau Wettable Powder (WP) misalkan dianjurkan penggunaannya

agar tidak melebihi 3.000 gram per hektar (BPTP Sumatra Utara, 2012).

5. Panen

Pemanenan buah cabai menurut Nurfalach (2010) adalah pada saat tanaman

cabai berumur 75 s.d. 85 HST yang ditandai dengan buahnya yang padat dan

warna merah menyala. Umur panen cabai tergantung varietas yang digunakan,

lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan serta kesehatan

tanaman. Cabai dapat dipanen setiap dua sampai lima hari sekali tergantung

dari luas penanaman dan kondisi pasar. Rata-rata hasil panen cabai besar untuk

lahan usahatani seluas satu hektar berkisar antara delapan ton sampai 12 ton.

14

2.3 Nilai Strategis Cabai Besar

Cabai besar merupakan salah satu komoditi strategis yang memiliki nilai

ekonomis cukup tinggi. Besarnya kebutuhan akan cabai membuat tingginya

konsumsi terhadap cabai besar di Indonesia. Konsumsi cabai di Indonesia

didominasi oleh rumah tangga dan industri. Konsumsi cabai besar di perkotaan

diperkirakan sebesar 0,219 ons per kapita per minggu, sedangkan konsumsi di

pedesaan sekitar 0,150 ons per kapita per minggu dengan peningkatan sekitar

7,5% per tahun (BP2TP, 2003). Beberapa produk industri yang menggunakan

cabai sebagai bahan baku diantaranya manisan cabai, abon cabai, sambal cabai,

bubuk cabai, koyo cabai, dan produk lainnya.

Perkembangan harga cabai besar di pasaran sangat bervariasi dan

mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Harga cabai akan tinggi pada musim

hujan, sedangkan pada musim kemarau harganya akan rendah. Rata-rata harga

cabai besar di Bali tahun 2014 adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2

Harga per kg Cabai Besar di Bali Tahun 2014

Bulan Harga Cabai (Rp)

Januari 18.893

Februari 19.036

Maret 17.393

April 9.786

Mei 6.000

Juni 5.068

Juli 4.986

Agustus 5.350

September 10.736

Oktober 14.874

November 26.607

Desember 43.012

Rata-rata 15.145

Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014

15

Berdasarkan Tabel 2.2 diketahui bahwa harga cabai besar di Bali berkisar

antara Rp 4.986 s.d. Rp 43.012 per kg. Harga tertinggi terjadi pada bulan

Desember yang merupakan puncak musim hujan, sedangkan harga terendah

terjadi pada bulan Juli yang merupakan puncak musim kemarau. Rata-rata harga

cabai besar di Bali pada tahun 2014 adalah sebesar Rp 15.145 per kg.

Nilai strategis cabai besar juga dapat dilihat dari trend produksi yang

bernilai positif. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, mulai tahun 2012 sampai

2014, produksi cabai besar di Bali selalu mengalami peningkatan. Tahun 2012,

produksi cabai besar di Bali adalah 13.785,50 ton dengan produktivitas mencapai

12,03 ton/ha. Tahun 2013 terjadi peningkatan produksi sebesar 11,93% dengan

jumlah produksi adalah 15.431 ton dan produktivitas mencapai 13,70 ton/ha.

Produksi cabai besar tahun 2014 adalah sebanyak 20.349 ton dengan produktivitas

mencapai 14,01 ton/ha, jumlah produksi tersebut meningkat sebesar 31,87% dari

tahun sebelumnya (BPS Provinsi Bali, 2014).

2.4 Teori Produksi

Menurut Joesron dan Fathorozi (2003 dalam Wibisono, 2011) produksi

merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan

beberapa masukan atau input. Beberapa aktifitas yang terjadi didalam proses

produksi diantaranya terjadi perubahan bentuk, tempat, dan waktu penggunaan

hasil-hasil produksi. Masing-masing perubahan ini menyangkut penggunaan input

untuk menghasikan output yang diinginkan. Jadi produksi meliputi semua aktifitas

menciptakan barang dan jasa (Sudarman, 1999 dalam Muhyidin, 2010).

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah produksi diartikan

sebagai pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk mengubah suatu komoditi

16

menjadi komoditi lainnya yang berbeda dari sebelumnya, baik dari segi bentuk,

tempat, waktu, maupun kegunaan komoditi tersebut bagi konsumen. Secara umum

istilah produksi berlaku untuk barang maupun jasa, karena pada dasarnya istilah

komoditi memang mengacu pada barang dan jasa.

Istilah produksi secara umum diartikan sebagai penggunaan atau

pemanfaatan sumberdaya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi

lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, di mana atau kapan

komoditi-komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dapat

dikerjakan oleh konsumen dengan komoditi tersebut (Miller dan Meiners, 2000

dalam Hidayat 2013). Produksi adalah transformasi atau perubahan menjadi

barang produk atau proses di mana input diubah menjadi output. Dalam suatu

produksi diusahakan untuk mencapai efisiensi produksi, yaitu menghasilkan

barang dan jasa dengan biaya yang paling rendah untuk mendapatkan hasil yang

optimal. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa produksi tidak terlepas

dari penggunaan sumber-sumber yang ada untuk menciptakan atau menambah

kegunaan suatu barang atau jasa, sehingga barang atau jasa yang dihasilkan akan

mempunyai nilai tambah untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu memperoleh

laba dari hasil usaha yang dilakukan.

2.4.1 Faktor produksi usahatani cabai besar

Perkembangan atau pertambahan produksi dalam kegiatan usahatani tidak

lepas dari peranan faktor-faktor produksi atau input yang digunakan. Para ahli

teori pertumbuhan Neoklasik seperti Dernberg, Dornbusch, dan Fischer

mengatakan bahwa untuk melakukan proses produksi harus didukung oleh faktor-

faktor produksi yang memadai. Faktor produksi bersifat mutlak, karena

17

merupakan syarat agar kegiatan produksi dapat dijalankan. Faktor produksi

merupakan segala elemen yang digunakan atau dilibatkan dalam menunjang suatu

kegiatan produksi. Faktor produksi juga dapat dikatakan sebagai semua korbanan

yang dicurahkan ke dalam kegiatan produksi. Faktor produksi menentukan besar

kecilnya produksi yang diperoleh. Semua faktor produksi tersebut dikombinasikan

dalam menunjang kegiatan produksi (Hidayat, 2013).

Menurut Soekartawi (2003), faktor-faktor produksi yang umum dikenal

dalam kegiatan usahatani yaitu tanah atau lahan, tenaga kerja, modal, dan keahlian

atau manajemen. Sedangkan faktor produksi yang umum digunakan dalam

kegiatan usahatani cabai besar antara lain: (1) lahan, (2) bibit, (3) pupuk, (4)

pestisida, dan (5) tenaga kerja.

2.4.2 Fungsi produksi

Sukirno (2000 dalam Wibisono, 2011) menyatakan bahwa fungsi produksi

adalah kaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakan

dimana faktor-faktor produksi dikenal juga dengan istilah input sedangkan hasil

produksi sering juga dinamakan output. Fungsi produksi dianggap penting karena

dapat menjelaskan pengaruh input terhadap output serta mengetahui bentuk

hubungannya. Suatu fungsi produksi dikatakan efisien secara teknis apabila

mampu menggunakan input yang minimal untuk mencapai output tertentu.

Soekartawi (1990 dalam Wibisono, 2011) menyatakan bahwa fungsi produksi

adalah hubungan fisik antara output (Q) dan input (X). Secara matematis, bentuk

persamaan fungsi produksi adalah sebagai berikut.

Q = f (X1, X2, X3,.......Xn) (2.1)

18

di mana:

Q = jumlah produksi yang dihasilkan

Xn = faktor produksi yang digunakan

f = fungsi hubungan antara faktor produksi dan hasil

Menurut Samuelson (2003 dalam Wibisono, 2011) proses produksi terbagi

menjadi tiga tipe, yaitu:

1. Skala hasil meningkat atau disebut juga skala ekonomis (increasing return to

scale), merupakan kondisi dimana penambahan suatu input produksi

menyebabkan penambahan yang semakin meningkat terhadap jumlah output

yang dihasilkan.

2. Skala hasil meningkat dengan tambahan hasil yang menurun (diminishing

return to scale), merupakan kondisi dimana penambahan suatu input produksi

menyebabkan penambahan terhadap output yang dihasilkan namun jumlah

penambahan tersebut akan mengalami penurunan.

3. Skala hasil menurun (decreasing return to scale), merupakan kondisi dimana

penambahan suatu input produksi menyebabkan penurunan terhadap tambahan

jumlah output yang dihasilkan.

Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014) menyatakan bahwa hubungan

antara hasil produksi (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang

digunakan dapat digambarkan kedalam suatu grafik yang disebut dengan kurva

Total Physical Product (TPP). Kurva TPP adalah kurva yang menunjukkan

tingkat produksi total (Q) pada berbagai tingkat penggunaan suatu faktor produksi

dimana faktor produksi lainnya dianggap tetap. Berdasarkan pengertian tersebut

maka dapat ditulis bentuk persamaan dari kurva TPP adalah sebagai berikut.

TPPx = f(X1, X2, X3, .... Xn) (2.2)

19

Output

Output

Tahap I

Ep > 1

Tahap II

1 > Ep > 0 Tahap III

Ep < 0

Increasing marginal return

Decreasing marginal return

Negative marginal return

MPP

APP Input

TPP

di mana:

TPPx = total produksi yang dihasilkan

Xn = faktor produksi yang digunakan

f = fungsi hubungan antara faktor produksi dan hasil

Secara grafis, kurva TPP digambarkan sebagai berikut.

Sumber : Soekartawi (1990 dalam Zamani (2008)

Gambar 2.1 Hubungan antara Kurva TPP, MPP, dan APP

Lebih lanjut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014) mengungkapkan

bahwa penurunan dari kurva TPP juga dapat digunakan untuk mengetahui

hubungan antara total produksi dengan produksi marjinal dan produksi rata-rata.

Kurva yang memperlihatkan jumlah produksi marjinal dari suatu kegiatan

produksi disebut kurva Marginal Physical Product (MPP). Kurva ini

menunjukkan tambahan produksi total (Q) karena adanya tambahan pengunaan

satu satuan faktor produksi (X). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.

MPPx =∆Q

∆X (2.3)

di mana:

MPPx = produksi marjinal yang dihasilkan

20

ΔQ = perubahan hasil produksi

ΔX = perubahan penggunaan faktor produksi

Kurva yang memperlihatkan jumlah produksi rata-rata dari suatu kegiatan

produksi disebut kurva Average Physical Product (APP). Kurva ini menunjukkan

hasil rata-rata dari penggunaan per unit satuan faktor produksi pada berbagai

tingkat penggunaan. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.

APPx =Q

X (2.4)

di mana:

APPx = produksi rata-rata faktor produksi x

Q = jumlah produksi yang dihasilkan

X = faktor produksi yang digunakan

Kurva MPP dan APP juga dapat digunakan untuk menentukan skala

produksi suatu usahatani. Dengan membandingkan MPP dan APP maka akan

diperoleh elastisitas produksi masing-masing faktor produksi. Apabila nilai

elastisitas produksi lebih besar dari satu maka usahatani tersebut berada pada

skala hasil meningkat (increasing return to scale). Apabila nilai elastisitas

produksi berada antara nol sampai dengan satu maka usahatani tersebut berada

pada skala hasil meningkat dengan tambahan hasil yang menurun (diminishing

return to scale). Sedangkan apabila nilai elastisitas produksi lebih kecil dari pada

nol maka usahatani tersebut berada pada skala hasil menurun (decreasing return

to scale). Menurut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014), elastisitas produksi

dapat dihitung sebagai berikut.

Ep =MPP

APP (2.5)

di mana:

Ep = elastisitas produksi

21

MPP = produksi marjinal

APP = produksi rata-rata

Soekartawi (2011) menyatakan bahwa pada fungsi produksi Cobb-Douglas

dengan bentuk fungsi Q = αXβ, maka produksi marjinal dari penggunaan faktor

produksi (X) diperoleh dengan menghitung turunan pertama dari fungsi produksi

terhadap faktor produksi, sehingga:

MPP = ∂Q/∂X = β . Q/X (2.6)

di mana:

MPP = produksi marjinal

∂Q = turunan pertama fungsi produksi Q

∂X = turunan pertama faktor produksi X

β = koefisien regresi

Q = produksi

X = faktor produksi

Berdasarkan persamaan 2.5 dan 2.6 diketahui bahwa elastisitas produksi

akan sama dengan koefisien regresi fungsi produksi Cobb-Douglas sehingga

besarnya nilai elastisitas produksi masing-masing faktor produksi dapat dilihat

dari nilai koefisien regresi masing-masing faktor produksi tersebut. Berdasarkan

persamaan 2.4, 2.5, dan 2.6, maka bukti bahwa Ep = β adalah sebagai berikut.

Ep = MPP

APP =

β .(Q/X)

Q/X = β (2.7)

Berdasarkan konsep elastisitas tersebut, kemungkinan kasus yang dapat

terjadi dalam penggunaan masing-masing fakror produksi antara lain:

1. Ep > 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi belum optimal sehingga

perlu penambahan terhadap jumlah penggunaan faktor produksi tersebut. Pada

kondisi ini, nilai MPP akan lebih besar dari APP sehingga proses produksi

usahatani berada pada skala pengingkatan hasil (increasing return to scale).

22

2. 0 < Ep < 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi menyebabkan nilai MPP

dan APP akan mengalami penurunan. Pada kondisi ini kegiatan usahatani

berada pada skala hasil meningkat dengan tambahan yang semakin menurun

(diminishing return to scale).

3. Ep < 0 berarti bahwa penggunaan faktor produksi sudah melebihi batas

maksimum sehingga harus dikurangi. Pada kondisi ini, nilai APP akan lebih

besar dari MPP dan nilai MPP adalah negatif, sehingga kegiatan usahatani

berada pada skala hasil menurun (decreasing return to scale).

4. EP = 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi sudah optimal dimana MPP

sama dengan APP sehingga produksi total berada pada titik optimal. Ep = 1

atau MPP = APP menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi efektif dari

segi ekonomi usahatani sehingga usahatani berada pada skala usaha dengan

penambahan hasil tetap (constant riturn to scale).

5. Ep = 0 berarti bahwa penggunaan faktor produksi menghasilkan produksi total

pada titik maksimum dimana nilai MPP sama dengan nol. Kondisi ini

menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi efektif dari segi budidaya.

2.4.3 Fungsi produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi yang umum

digunakan dalam menggambarkan kegiatan produksi. Parameter-parameter yang

diperoleh dari model ini merupakan elastisitas produksi bagi setiap faktor

produksi yang masuk dalam model dengan nilai elastisitas setiap faktor produksi

dalam model ini dianggap tetap. Model ini hanya mampu menerangkan proses

produksi pada fase diminishing return, yaitu fase dimana meningkatnya jumlah

produksi yang dihasilkan sebagai akibat adanya tambahan faktor produksi yang

23

digunakan, namun besarnya peningkatan tersebut makin lama makin berkurang.

Bentuk umum model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut

(Nachrowi dan Usman, 2006 dalam Warsana, 2007).

Q = α X1β1

X2β2

...Xnβn

еu (2.8)

di mana :

Q = Jumlah produksi yang diduga

α = Intersep

βi = Parameter penduga variabel ke-i dan merupakan elastisitas

Xi = Faktor produksi yang digunakan, i = 1, 2, 3,........., n

u = Kesalahan pengganggu

е = bilangan natural (2,718)

Kemudahan dalam estimasi atau pendugaan terhadap persamaan Cobb-

Douglas tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubahnya ke dalam bentuk

persamaan logaritma, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut (Nachrowi

dan Usman, 2006 dalam Warsana, 2007).

Log Q = log α + β1 logX1 + β2 logX2 +...+βn logXn (2.9)

Interpretasi terhadap parameter-parameter persamaan di atas dapat diartikan

sebagai berikut.

a. Log α menunjukkan tingkat efisiensi produksi usahatani tersebut secara

keseluruhan. Semakin besar nilai log α maka semakin efisien kegiatan

usahatani yang dilakukan.

b. Parameter beta (βi) menunjukkan elastisitas produksi untuk masing-masing

faktor produksi usahatani.

c. Jumlah beta (βi) menunjukkan tingkat skala usaha.

24

d. Parameter beta (βi) dapat digunakan untuk mengukur efektivitas penggunaan

faktor produksi. Semakin mendekati satu, maka penggunaan faktor produksi

semakin efektif untuk mencapai produksi optimum.

Pemilihan model ini didasarkan pada pertimbangan adanya kelebihan

fungsi produksi ini, antara lain sebagai berikut (Nachrowi dan Usman, 2006

dalam Warsana, 2007).

a. Koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas dapat digunakan sebagai

pendugaan terhadap skala usaha pada proses produksi yang berlangsung karena

koefisien pangkat menunjukkan besarnya elastisitas produksi masing-masing

faktor produksi.

b. Mengurangi terjadinya heterokedastisitas. Hal ini karena bentuk linier dari

fungsi Cobb-Douglas ditransformasikan dalam bentuk log e (ln), dalam bentuk

tersebut variasi data menjadi sangat kecil.

c. Perhitungannya sederhana karena dapat dimodifikasi ke dalam bentuk

persamaan linier.

d. Bentuk fungsi Cobb-Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian,

khususnya penelitian bidang pertanian.

Estimasi koefisien regresi dilakukan dengan metode OLS. Asumsi-asumsi

yang digunakan adalah sebagai berikut (Nachrowi dan Usman, 2006 dalam

Warsana, 2007).

1) E(ui) = 0 atau E(ui | xi) = 0 atau E(Yi) = β1+ β2 Xi, ui menyatakan variabel-

variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model.

Asumsinya pengaruh ui terhadap Yi diabaikan.

2) Kovarian (ui , uj) = 0, i≠j, berarti tidak ada korelasi antara ui dan uj.

25

3) Varian (ui) = σ2, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas

yaitu besar varian ui sama untuk setiap i.

4) Kovarian antara ui dan Xi nol atau cov (ui , Xi) = 0, asumsi tersebut berarti

tidak ada korelasi antara ui dan Xi.

5) Multikolinier tidak ada, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata

antara variabel-variabel bebas (Xi).

2.5 Teori Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil

atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer

mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau

menunjang tujuan. Atmosoeprapto (2002 dalam Suwarthiani, 2014)

mengemukakan bahwa efektivitas merupakan ukuran yang menggambarkan

sejauh mana sasaran dapat dicapai. Efeftivitas yang tinggi dengan efisiensi yang

tinggi berarti dalam mencapai sasaran menggunakan sumberdaya yang optimal

sehingga meminimumkan biaya. Suatu penggunaan sumberdaya dikatakan

memiliki efektivitas tinggi apabila hasil yang dicapai semakin mendekati sasaran

dan harus diimbangi dengan biaya yang efisien.

Menurut Wisnu dan Siti (2005 dalam Suwarthiani, 2014) penilaian

efektivitas dapat dilakukan dengan mengambil salah satu dari tiga pendekatan

yang ada. Tiga pendekatan tersebut antara lain:

a. Pendekatan sumberdaya eksternal (kontrol), yakni memungkinkan untuk

melihat kemampuan suatu usahatani dalam mengatur dan mengendalikan

pengaruh yang datang dari lingkungan luar usahatani.

26

b. Pendekatan sistem internal (inovasi), yakni memungkinkan untuk melihat

seberapa baik suatu usahatani tersebut bekerja dan berfungsi.

c. Pendekatan teknis (efisiensi), yakni memungkinkan untuk melihat efisiensi

usahatani dalam mengubah sumberdaya yang dimiliki menjadi output.

Efektivitas dari segi usahatani dapat diukur berdasarkan kemampuan input

dalam menghasilkan output yang paling optimum.

Gaspersz (1996) menyatakan bahwa efektivitas suatu kegiatan produksi

dapat diukur dengan melihat rasio antara output aktual dengan output yang

direncanakan. Soekartawi (1995 dalam Shinta, 2011) mengemukakan bahwa

penggunaan sumberdaya dalam usahatani dikatakan efektif apabila petani mampu

mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki sebaik mungkin. Penggunaan

sumberdaya dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan produksi yang optimal

sehingga pemanfaatan sumberdaya menjadi efektif. Samuelson (2003 dalam

Wibisono, 2011) mengemukakan bahwa produksi optimum terjadi apabila

elastisitas produksi sama dengan satu sehingga perbandingan produksi marjinal

(MPP) dengan produksi rata-rata (APP) sama dengan satu.

Menurut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa 2014), nilai elastisitas sama

dengan satu berarti bahwa penggunaan faktor produksi dalam usahatani

menghasilkan produksi yang optimum. Secara ekonomi usahatani, kondisi ini

merupakan kondisi yang dikehendaki dalam upaya memaksimumkan keuntungan

usahatani. Pada kondisi ini, semua faktor produksi digunakan secara efektif

sehingga mampu menghasilkan produksi yang optimum. Berdasarkan hal tersebut

dapat disimpulkan bahwa penggunaan faktor produksi dikatakan semakin efektif

27

apabila produksi usahatani mendekati titik optimum, atau nilai perbandingan MPP

dengan APP masing-masing faktor produksi tersebut semakin mendekati satu.

Halim (2004 dalam Pangastuti, 2013) menyatakan bahwa pengukuran

efektivitas merupakan persentase keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam

kegiatan usahatani, efektivitas penggunaan faktor produksi dapat dilihat dari

persentase kedekatan nilai perbandingan MPP dan APP dengan nilai satu. Bila

MPP dibanding APP sama dengan satu, maka efektivitas penggunaan faktor

produksi adalah 100%, bila nilai MPP dibanding APP semakin jauh dari satu,

maka persentase efektivitas penggunaan faktor produksi akan semakin rendah.

Persentase efektivitas penggunaan faktor produksi dapat dihitung dengan rumus:

Efektivitas = MPP

APP . 100% (2.10)

di mana:

MPP = produksi marjinal

APP = produksi rata-rata

Halim (2004 dalam Pangastuti, 2013) membagi kriteria efektivitas

menjadi lima tingkatan, yaitu:

1. Koefisien efektivitas bernilai dibawah 40% artinya sangat tidak efektif.

2. Koefisien efektivitas bernilai antara 40% s.d. 60% artinya tidak efektif.

3. Koefisien efektivitas bernilai antara 60% s.d. 80% artinya cukup efektif.

4. Koefisien efektivitas bernilai antara 80% s.d. 100% artinya efektif.

5. Koefisien efektivitas bernilai diatas 100% artinya sangat efektif.

28

2.6 Teori Efisiensi

Efisiensi dalam produksi merupakan ukuran perbandingan antara nilai

output dan nilai input. Konsep efisiensi diperkenalkan oleh Michael Farrell

dengan mendefinisikan sebagai kemampuan organisasi produksi untuk

menghasilkan produksi tertentu pada tingkat biaya minimum (Kopp, 1978 dalam

Kusumawardhani, 2002). Prinsip efisiensi dalam kaitannya dengan penggunaan

faktor-faktor produksi adalah bagaimana cara menggunakan faktor produksi yang

ada seefisien mungkin.

Efisiensi pada dasarnya merupakan alat ukur untuk menilai pemilihan

kombinasi input-input untuk menghasilkan output tertentu. Menurut Soekartawi

(1993 dalam Shinta 2011) ada tiga kegunaan mengukur efisiensi, yaitu: (1)

sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif, mempermudah

perbandingan antara unit ekonomi satu dengan lainnya. (2) Apabila terdapat

variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka dapat

dilakukan penelitian untuk menjawab faktor-faktor apa yang menentukan

perbedaan tingkat efisiensi. (3) Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi

kebijakan karena manajer dapat menentukan kebijakan usaha secara tepat.

Dalam ekonomi produksi, efisiensi ekonomi dapat dicapai jika dipenuhi

dua kriteria (Doll & Orazen, 1978 dalam Kusumawardhani, 2002), yaitu:

a. Syarat keharusan (necessary condition), yaitu suatu kondisi dengan produksi

dalam jumlah yang sama tidak mungkin dihasilkan dengan menggunakan

sejumlah input yang lebih sedikit dan produksi dalam jumlah yang lebih besar

tidak mungkin dihasilkan dengan menggunakan jumlah input yang sama.

29

b. Syarat kecukupan (sufficiency condition), yaitu syarat yang diperlukan untuk

menentukan letak efisiensi ekonomi yang terdapat pada daerah rasional, karena

dengan hanya mengetahui fungsi produksi saja maka letak efisiensi ekonomi

yang terdapat pada daerah rasional tidak bisa ditentukan. Untuk menentukan

letak efisiensi ekonomi diperlukan suatu alat yang merupakan indikator pilihan

yaitu berupa input dan harganya.

Soekartawi (2003) mengemukakan bahwa efisiensi dapat digolongkan

menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: efisiensi teknis, efisiensi alokatif (efisiensi harga)

dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis merupakan konsep efisiensi yang

menyatakan produk maksimal yang dapat diperoleh dengan penggunaan

kombinasi masukan tertentu dalam fungsi produksi. Dikatakan efisiensi harga atau

efisiensi alokatif apabila nilai dari produk marginal sama dengan harga faktor

produksi yang bersangkutan. Sedangkan efisiensi ekonomi terjadi apabila

usahatani tersebut mencapai efisiensi teknis dan sekaligus juga mencapai efisiensi

alokatif/harga. Suatu usahatani dikatakan efisien apabila nilai produk marjinal

(NPM) untuk suatu faktor produksi sama dengan harga faktor produksi tersebut

(Soekartawi, 2003). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.

NPMx = Px atau NPM x

Px = 1 (2.11)

di mana :

NPMx = MPPx . Pq (2.12)

MPPx = β . APPx (2.13)

APPx = Q

X (2.14)

30

keterangan:

Q = total produksi (output) usahatani

X = jumlah faktor produksi yang digunakan

APPx = produk rata-rata faktor produksi

MPPx = produk marjinal faktor produksi

Px = harga faktor produksi

Pq = harga komoditi usahatani

β = elastisitas produksi faktor produksi

NPMx = nilai produk marjinal faktor produksi

Menurut Soekartawi (2003), kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat

efisiensi penggunaan faktor produksi usahatani adalah sebagai berikut.

a. NPM x

Px > 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap

belum efisien sehingga penggunaannya harus ditambah.

b. NPM x

Px = 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap

sudah efisien.

c. NPM x

Px < 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap

tidak efisien sehingga penggunaannya harus dikurangi.

Pengujian untuk membuktikan bahwa NPM/Px = 1 dapat dilakukan

dengan membandingkan hasil dari (1-βi)/Sβi dengan nilai t-tabel. Nilai βi

menunjukkan besarnya koefisien regresi masing-masing faktor produksi,

sedangkan Sβi merupakan simpangan baku koefisien regresi masing-masing faktor

produksi. Bila hasil perhitungan dari (1-βi)/Sβi menunjukkan nilai yang lebih besar

dari nilai t-tabel, maka pengujian tersebut signifikan yang artinya NPM/Px ≠ 1,

sedangkan bila hasil perhitungan (1-βi)/Sβi menunjukkan nilai yang lebih kecil

dari nilai t-tabel, maka pengujian tersebut non signifikan yang artinya NPM/Px = 1.

31

2.7 Penelitian Terdahulu

Analisis mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi

usahatani sangat penting untuk dilakukan. Pengukuran efektivitas dan efisiensi

penggunaan faktor produksi akan memberikan manfaat dalam upaya optimalisasi

kegiatan usahatani. Pentingnya mengetahui efektivitas dan efisiensi penggunaan

faktor produksi usahatani membuat banyaknya orang melakukan penelitian

mengenai masalah tersebut. Beberapa contoh penelitian sejenis yang pernah

dilakukan sebelumnya antara lain sebagai berikut.

1. Penelitian Akhmad Hidayat tahun 2013 berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan

Faktor-Faktor Produksi Pada Usaha Kecil dan Menengah Batik di Kelurahan

Kauman Kota Pekalongan. Persamaan kedua penelitian ini adalah

menggunakan fungsi Cobb-Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis

efisiensi penggunaan faktor produksi. Perbedaannya adalah komoditi, lokasi,

jumlah sampel, dan jumlah variabel yang digunakan. Penelitian tersebut

menggunakan modal, tenaga kerja, dan bahan baku sebagai variabel,

sedangkan penelitian ini menggunakan luas lahan, benih, pupuk urea, ZA,

KCL, TSP, NPK, pestisida, serta jumlah jam kerja. Selain itu, penelitian ini

juga mengukur efektivitas penggunaan faktor produksi dalam menunjang

produksi yang optimum.

2. Penelitian Amat Muhyidin tahun 2010 berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan

Faktor-Faktor Produksi Pada Usaha Tani Padi Di Kecamatan Pekalongan

Selatan. Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi Cobb-

Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor

produksi. Perbedaannya adalah komoditi, lokasi, jumlah sampel, dan jumlah

32

variabel yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan luas lahan, bibit,

pupuk, pestisida, dan tenaga kerja sebagai variabel, sedangkan penelitian ini

menggunakan sembilan variabel yakni luas lahan, benih, pupuk urea, ZA,

KCL, TSP, NPK, pestisida, serta jumlah jam kerja. Selain itu, penelitian ini

juga mengukur efektivitas penggunaan faktor produksi dalam menunjang

produksi yang optimum.

3. Penelitian Annora Khazanani tahun 2011 berjudul Analisis Efisiensi

Penggunaan Faktor Faktor Produksi Usahatani Cabai Kabupaten

Temanggung (Studi Kasusd di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu Kabupaten

Temanggung). Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi

Cobb-Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis efisiensi penggunaan

faktor produksi. Perbedaannya adalah lokasi, jumlah sampel, dan jumlah

variabel yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan luas lahan, bibit,

pupuk, pestisida, dan tenaga kerja sebagai variabel, sedangkan variabel

penelitian ini meliputi luas lahan, benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK,

pestisida, serta jumlah jam kerja. Perbedaan lainnya yaitu penelitian ini

menganalisis efektivitas penggunaan faktor produksi yang tidak dilakukan pada

penelitian tersebut, sedangkan pada penelitian tersebut dilakukan analisis

keuntungan usahatani yang tidak dilakukan pada penelitian ini.

4. Penelitian Maharani Triwidiyaningsih tahun 2011 berjudul Analisis Efisiensi

Ekonomi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatai Cabai Merah di

Kabupaten Bantul. Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi

cobb-Douglas untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor produksi.

Perbedaannya adalah lokasi, jumlah sampel, dan jumlah variabel. Variabel

33

penelitian tersebut meliputi tenaga kerja, pupuk kandang, phonska, NPK, dan

KCL, sedangkan penelitian ini juga menggunakan variabel luas lahan, pupuk

urea, ZA, TSP, dan pestisida.

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian

Petani merupakan pelaku utama dalam kegiatan produksi cabai besar di

Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tababan. Selain faktor alam,

kegiatan usahatani cabai besar juga dipengaruhi oleh penggunaan faktor produksi

seperti luas lahan, penggunaan benih, pupuk, pestisida, serta pencurahan tenaga

kerja. Penggunaan faktor produksi secara optimal akan meminimalkan biaya

produksi dan meningkatkan produksi cabai besar. Namun apabila penggunaan

faktor produksi tidak tepat, maka hasil produksi tidak akan optimal. Rendahnya

pemahaman petani merupakan salah satu penyebab kesalahan alokasi faktor

produksi seperti halnya yang terjadi pada petani cabai besar di Desa Baturiti,

Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan produksi

cabai besar adalah dengan menggunakan faktor produksi secara efektif dan

efisien. Efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi dapat dianalisis

menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Pendugaan fungsi produksi Cobb-

Douglas akan memberikan informasi mengenai elastisitas dan nilai produk

marjinal masing-masing faktor produksi usahatani cabai besar sehingga kita

mengetahui efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi. Hasil analisis

mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi dapat digunakan

sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi kepada petani cabai besar di Desa

34

Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Secara grafis, alur pemkiriran

dari penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian dan kajian teoritis yang telah

dilakukan sebelumnya oleh peneliti, maka dapat dirumuskan tiga buah hipotesis

dari penelitian ini, antara lain sebagai berikut.

Petani Cabai Besar di

Desa Baturiti

Efisiensi Penggunaan

Faktor Produksi

Faktor Produksi:

- Lahan

- Benih

- Pupuk urea

- Pupuk ZA

- Pupuk KCL

- Pupuk TSP

- Pupuk NPK

- Pestisida

- Tenaga kerja

Kegiatan Usahatani:

- Penggunaan faktor

produksi belum

optimal

- Rendahnya

pemahaman petani

Efektivitas Penggunaan

Faktor Produksi

Simpulan

Rekomendasi

Faktor Alam

Fungsi Produksi Cobb-Douglas:

Y = α X1β1

X2β2

...Xnβn

еu

NPMx/Px = 1 (MPPx/APPx) . 100%

35

1. Hipotesis Pertama:

Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti

luas lahan, benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja

secara simultan berpengaruh terhadap jumlah produksi cabai besar di Desa

Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.

2. Hipotesis Kedua:

Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti

benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja di Desa

Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan belum efektif.

3. Hipotesis Ketiga:

Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti

benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja di Desa

Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan tidak efisien.