2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar Cherax quadricarinatus · Lobster air tawar terbagi menjadi tiga...
Transcript of 2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar Cherax quadricarinatus · Lobster air tawar terbagi menjadi tiga...
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) merupakan hewan avertebrata
air yang memiliki pelindung tubuh berupa rangka eksoskeleton yang keras.
Lobster air tawar tergolong sebagai hewan krustasea dari famili Parastacidae.
Hewan ini umumnya dikenal dengan sebutan red claw, karena memiliki sepasang
capit yang berwarna merah. Lobster air tawar selain dimanfaatkan untuk
keperluan konsumsi juga dimanfaatkan sebagai lobster hias, karena lobster jenis
ini memiliki keunggulan pada bentuk tubuhnya dan warna biru yang mengkilap
(Hartono dan Wiyanto 2006).
Lobster air tawar berbeda dengan lobster air laut. Lobster air laut berasal
dari Famili Palinuridae, Penasidae dan Scyllaridae; sedangkan lobster air tawar
berasal dari Famili Astacidae, Cambridae dan Parastacidae (Kurniawan dan
Hartono 2007). Lobster air tawar termasuk kelompok udang air tawar (crustaceae)
yang secara alami memiliki ukuran tubuh relatif besar dan daur siklus hidupnya
hanya di lingkungan air tawar. Beberapa nama internasional lobster air tawar yaitu
crayfish, crawfish dan crawdad (Sukmajaya dan Suharjo 2003).
Lobster air tawar terbagi menjadi tiga famili berdasarkan daerah
penyebarannya di dunia, yaitu famili Astacidae dan Cambridae yang tersebar di
belahan bumi utara serta famili Parastacidae yang tersebar di belahan bumi selatan
(Sukmajaya dan Suharjo 2003). Lobster air tawar di Indonesia umumnya berasal
dari Famili Parastacidae yang terdiri dari beberapa jenis seperti Cherax albertisi,
Cherax lorentzi, Cherax lorentzi auranus (Iskandar 2003), Cherax papuanus,
Cherax quadricarinatus, Cherax monticola, Cherax black-tiger (Lukito dan
Prayugo 2007) dan Cherax zebra (Panggabean et al. 2006).
Jenis lobster air tawar yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah
Cherax quadricarinatus atau yang lebih dikenal dengan sebutan red claw.
Cherax quadricarinatus adalah salah satu jenis lobster air tawar yang berasal
dari Australia. Lobster jenis ini banyak ditemukan di sungai air deras serta danau
di pantai utara dan daerah timur laut Queensland (Lukito dan Prayugo 2007).
Klasifikasi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) menurut
Holthuis (1950) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Parastacidae
Genus : Cherax
Spesies : Cherax quadricarinatus (von Martens)
Gambar 1 Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) (Sumber: Bintaro Fish Center 2004)
Lobster air tawar (red claw) memiliki ciri morfologi berupa tubuh yang
berwarna biru kehijauan (Lukito dan Prayugo 2007), hijau kemerahan (Sukmajaya
dan Suharjo 2003), hingga berwarna biru laut dengan sedikit bercak kemerahan
(Kurniawan dan Hartono 2007). Perbedaan warna tubuh pada lobster air tawar
tersebut disebabkan oleh perbedaan strain induk dan lingkungan pemeliharaan
(Iskandar 2003). Strain yang bagus untuk lobster budidaya yaitu walkamin,
flinders dan gilbert (Lukito dan Prayugo 2007).
Ciri utama lobster air tawar yang sangat menonjol yaitu memiliki sepasang
capit yang ujungnya berwarna merah (Kurniawan dan Hartono 2007), terutama
pada induk jantan yang telah berumur lebih dari 7 bulan (Sukmajaya dan
Suharjo 2003). Warna antar ruas kelopak berwarna putih (Kurniawan dan
Hartono 2007) serta memiliki duri-duri kecil yang terletak di atas setiap segmen
capit (Sukmajaya dan Suharjo 2003).
Tubuh lobster terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian
belakang. Bagian depan terdiri dari kepala dan dada yang disebut cephalothorax.
Kepala ditutupi oleh cangkang kepala (carapace) dan bagian depan kepala
memiliki kelopak yang disebut rostrum. Rostrum berbentuk seperti segitiga
memipih, lebar, dikelilingi duri (Sukmajaya dan Suharjo 2003) serta meruncing di
bagian ujung dan bergerigi (Hartono dan Wiyanto 2006).
Bagian belakang tubuh lobster terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen
(Hartono dan Wiyanto 2006). Bagian badan terdiri dari enam ruas badan dengan
bentuk agak memipih. Lebar badan rata-rata hampir sama dengan lebar kepala
(Sukmajaya dan Suharjo 2003). Morfologi lobster air tawar dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Morfologi lobster air tawar (Sumber: Dery 2007)
Panjang tubuh lobster air tawar dapat mencapai 50 cm dengan bobot sekitar
800-1000 g per ekor. Lobster termasuk hewan nokturnal yang memiliki sifat
kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Lobster yang berada dalam
kondisi lemah atau sedang mengalami ganti kulit (moulting) akan dimangsa oleh
lobster lainnya. Kanibalisme lobster air tawar tersebut dapat dihindari dengan
menyediakan tempat persembunyian bagi lobster (Hartono dan Wiyanto 2006).
2.2 Komposisi Kimia Lobster Air Tawar
Komposisi kimia daging lobster air tawar jantan dan betina yang
dibudidayakan di kolam tanah tidak memiliki perbedaan yang nyata
(p>0.05) setelah dianalisis menggunakan basis basah dan basis kering
(Thompson et al. 2004). Komposisi kimia lobster air tawar (red claw) berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia daging lobster air tawar jantan dan betina
Komposisi Jantan (%) Betina (%)
Basis Basah
Air
Protein
Lipid
Serat
Abu
Basis Kering
Protein
Lipid
Serat
Abu
80,37±0,45
16,71±0,33
0,14±0,02
0,10±0,01
1,41±0,08
85,36±2,59
0,70±0,10
0,50±0,10
7,18±0,35
86,61±0,68
16,20±0,66
0,17±0,02
0,10±0,01
1,42±0,056
88,04±1,21
0,94±0,11
0,52±0,02
7,75±0,35 (Sumber: Thompson et al. 2004)
2.3 Budidaya Lobster Air Tawar
Budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) saat ini telah
berkembang menjadi suatu industri yang sukses secara komersial terutama di
negara-negara tropis dan subtropis di seluruh dunia (Rodgers et al. 2006).
Budidaya lobster air tawar sebagai komoditas konsumsi cukup diminati karena
menyimpan banyak potensi. Udang jenis ini memiliki pertumbuhan yang cepat,
relatif tahan terhadap serangan penyakit, perubahan lingkungan dan kepadatan
yang tinggi, tidak memiliki stadia larva serta pemeliharaannya relatif mudah
(Thompson et al. 2004). Jenis yang saat ini banyak dipilih pembudidaya adalah
red claw dan yabby yang habitat aslinya berasal dari Australia (Ruscoe 2006).
Kondisi alam di Indonesia yang beriklim tropis dan tidak mengenal musim
dingin merupakan tempat yang cocok bagi budidaya lobster air tawar. Beberapa
faktor yang mendukung dalam budidaya lobster air tawar di Indonesia antara lain
iklim dan geografi yang kondusif, teknik budidaya yang sudah ada dan terus
berkembang, pasar konsumsi yang nyata, serta ragam bentuk olahan yang
menarik. Tingkat kesulitan budidaya lobster air tawar dapat disejajarkan dengan
komoditas perikanan lainnya. Kendala budidaya lobster air tawar umumnya
terganjal pada lama waktu pembesaran. Lobster air tawar dapat dibudidayakan di
akuarium, kolam semen skala kecil hingga kolam yang luas dengan manajemen
pemeliharaan yang intensif (Lukito dan Prayugo 2007).
Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya lobster air tawar
karena air merupakan media hidup yang utama. Beberapa faktor fisika dan kimia
air yang dapat mempengaruhi hidup lobster air tawar adalah suhu, oksigen terlarut
(dissolved oxygen), karbondioksida (CO2) bebas, pH, alkalinitas, amoniak, nitrat
dan nitrit. Air yang digunakan untuk pemeliharaan lobster air tawar secara umum
memiliki beberapa persyaratan seperti suhu, pH, degree of hardness (dH),
alkalinitas, oksigen terlarut, CO2, amoniak dan H2S (Lukito dan Prayugo 2007).
Kualitas air pemeliharaan lobster air tawat ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kualitas air pemeliharaan lobster air tawar
Parameter Standar
Suhu
pH
dH
Alkalinitas
Oksigen Terlarut
Karbondioksida
Amoniak
H2S
Sumber air
25-29 oC
7-9
50-500 ppm
50-200 ppm
± 5 ppm
Maks. 10 ppm
Maks. 0,05 ppm
Maks. 0,02 ppm
Air sungai, air tanah, irigasi (Sumber: Lukito dan Prayugo 2007)
2.4 Penanganan dan Transportasi Lobster Air Tawar
Salah satu kelebihan lobster air tawar dibandingkan lobster air laut adalah
kemampuan hidupnya di luar media air dalam lingkungan yang lembab dengan
waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, lobster air tawar dapat diperdagangkan
hidup dan transportasi dilakukan dengan sistem kering. Media kemasan yang
digunakan untuk transportasi harus bersifat lembab dan suhu di dalam kemasan
dipertahankan berkisar antara 12,9-25,4 oC. Transportasi lobster dalam kondisi ini
lebih lama dan kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007).
Lobster air tawar yang ditransportasikan umumnya merupakan lobster
ukuran konsumsi. Lobster hidup untuk konsumsi adalah lobster hidup yang sehat
dan memiliki kelengkapan organ tubuh dengan berat tubuh lebih besar atau sama
dengan 60 g/ekor sesuai dengan SNI 4488.2:2011. Lobster harus dalam keadaan
bugar, sehat, tidak sedang ganti kulit (moulting) dan tidak sedang bertelur. Organ
tubuh lobster seperti antena dan kaki juga harus lengkap dan tidak boleh patah
(BSN 2011a). Lobster yang mengalami ganti kulit (moulting) atau bertelur
mempunyai daya tahan tubuh yang lemah dan berpeluang mati selama proses
transportasi (Suryaningrum et al. 2005). Lobster yang berasal dari tambak atau
hasil budidaya perlu diadaptasikan terlebih dahulu sebelum proses pemindahan
atau transportasi hidup (Wibowo dan Soekarto 1993).
Tahap penanganan lobster air tawar untuk transportasi yang ditetapkan
oleh SNI 4488.3:2011 yaitu penanganan awal, sortasi, penampungan dan
pengkondisian, penenangan dan pengemasan (BSN 2011b). Penanganan awal
dilakukan segera setelah lobster dipanen. Lobster terlebih dahulu dicuci dengan
air mengalir dalam bak penampungan selama 24 jam untuk menghilangkan
kotoran terutama kotoran yang masuk dalam karapas, yang dapat menyebabkan
infeksi insang selama proses transportasi (Suryaningrum et al. 2007). Selama
penanganan awal, kualitas air dipertahankan sesuai habitatnya. Sortasi dilakukan
dengan cara memisahkan lobster sesuai mutu dan ukuran dengan mempertahankan
lobster tetap dalam keadaan hidup.
Penampungan diperlukan apabila lobster yang dipasarkan tidak langsung
dikirim ke konsumen atau jumlah lobster yang hendak dijual belum mencukupi
sehingga dikumpulkan terlebih dahulu dalam bak penampungan. Hal penting yang
harus diperthatikan selama penampungan adalah kualitas air, kelarutan oksigen,
pH dan suhu air selama penampungan. Pengkondisian dilakukan apabila lobster
yang akan dipasarkan tidak dalam keadaan bugar, sehingga dibutuhkan
pemeliharaan terlebih dahulu selama beberapa hari (Suryaningrum et al. 2007).
Penenangan dilakukan untuk mendapatkan lobster dalam keadaan pingsan
sempurna (mencapai metabolisme basal). Penenangan dapat dilakukan dengan
pembiusan menggunakan suhu rendah, baik secara bertahap maupun langsung
hingga lobster imotil. Pengemasan dilakukan dengan membungkus lobster
menggunakan kertas koran di bagian badan dan ekor dengan bagian kepala
terbuka dan/atau disusun berlapis dalam media kemasan kemudian dimasukkan ke
dalam kotak stirofoam dan ditutup rapat (BSN 2011b).
Lobster air tawar yang akan ditransportasikan terlebih dahulu dipuasakan
selama 1-2 hari. Pemuasaan bertujuan untuk mengurangi kotoran yang ada pada
organ pencernaan lobster sebanyak mungkin serta mengurangi aktivitas
metabolisme lobster selama transportasi (Suryaningrum et al. 2005). Waktu
transportasi maksimal lobster air tawar yang dipasarkan untuk tujuan ekspor
adalah 72 jam atau 3 hari (Suryaningrum et al. 2008).
2.5 Transportasi Hidup Sistem Kering
Transportasi hidup biota perairan yaitu memindahkan biota perairan dalam
keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup
(survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan. Metode transportasi hidup
biota perairan secara umum ada dua jenis, yaitu menggunakan media air (sistem
basah) dan tanpa media air (sistem kering). Transportasi hidup sistem basah
umumnya digunakan untuk transportasi jarak dekat (lokal), sedangkan transportasi
hidup sistem kering digunakan untuk transportasi jarak jauh dengan tujuan ekspor
(Suryaningrum et al. 2005).
Transportasi hidup dengan media non air (sistem kering) menggunakan
prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan upaya untuk menekan metabolisme biota
perairan sehingga dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang minimum
(Junianto 2003). Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan
(imotilisasi). Metabolisme biota perairan pada kondisi ini berada pada kondisi
basal dan oksigen yang dikonsumsi sangat sedikit, hanya sekedar untuk
mempertahankan kelangsungan hidup biota tersebut (Shigeno 1979 dalam
Andasuryani 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi biota
perairan hidup sistem kering antara lain suhu lingkungan, kadar oksigen dan
proses metabolisme (Andasuryani 2003), serta tingkat kepadatan dalam kemasan
(Suryaningrum et al. 2008). Biota yang dikemas dengan kepadatan yang lebih
tinggi akan memiliki risiko kelulusan hidup yang lebih rendah (Ning 2009).
Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat
mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan
metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik
(getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta
tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam
kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat
menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006).
Hubungan suhu dengan lama penyimpanan pada transportasi lobster hidup sistem
kering ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hubungan lama penyimpanan dengan suhu penyimpanan
Lama pengangkutan (jam) Suhu penyimpanan (oC)
12-15
15-20
20-80
30-50
50-90
16-14
14-12
12-10
10-6
6-4 (Sumber: Rahman dan Srikirishnadhas 1994)
2.6 Pembiusan (Imotilisasi)
Pembiusan (imotilisasi) merupakan proses yang dilakukan untuk
menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi biota perairan sebelum
ditransportasikan. Kondisi imotil diperlukan agar proses metabolisme lobster
berkurang sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen dan produksi CO2
lobster menjadi rendah (Nitibaskara et al. 2006).
Terdapat beberapa teknik imotilisasi biota perairan, yaitu dengan
menggunakan suhu rendah atau zat anti metabolit (anestesi). Teknik imotilisasi
menggunakan suhu rendah dapat dilakukan dengan penurunan suhu secara
bertahap maupun secara langsung, sedangkan zat anti metabolit yang digunakan
dapat bersifat alami atau sintetis (Suryaningrum et al. 2005).
Bahan anti-metabolit alami yang dapat digunakan untuk membius udang
atau lobster antara lain ekstrak biji karet dan minyak cengkeh, sedangkan bahan
anti-metabolit sintetis yang biasa digunakan dalam transportasi ikan hidup adalah
MS-222 dan CO2. Pemakaian CO2 yang disarankan adalah dengan mencelupkan
campuran gelembung CO2 dan O2 (1:1) dalam media air (Nitibaskara et al. 2006).
Coyle et al. (2005) menambahkan bahwa bahan anti-metabolit yang paling cocok
digunakan untuk membius udang galah adalah minyak cengkeh dengan dosis
100 mg/l, sedangkan MS-222 dengan dosis 25 mg/l dan 100 mg/l tidak efektif bila
digunakan dalam proses imotilisasi udang galah. Namun dari berbagai cara
imotilisasi tersebut, pembiusan menggunakan suhu rendah lebih menguntungkan
dibandingkan menggunakan zat anti-metabolit, karena lebih murah, mudah dan
aman serta tidak meninggalkan residu kimia yang membahayakan konsumen
(Junianto 2003; Suryaningrum et al. 2005; Nitibaskara et al. 2006).
Imotilisasi menggunakan suhu rendah secara bertahap dapat dilakukan
dengan menurunkan suhu media air dari suhu normal (±27 oC) ke suhu pembiusan
secara perlahan-lahan. Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10 oC/jam
atau 0,4-0,8 oC/menit (Suryaningrum et al. 2005). Penurunan suhu secara bertahap
ini dimaksudkan agar ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan
metabolismenya sampai titik imotil yang diperlukan. Aktivitas ikan pada kondisi
imotil diharapkan sudah cukup rendah bahkan sudah pingsan sehingga mudah
ditangani untuk proses transportasi (Nitibaskara et al. 2006).
Hasil penelitian Suparno et al. (1994a) pada biota lobster hijau pasir
(Panulirus homarus) menunjukkan bahwa imotilisasi dengan penurunan suhu
secara bertahap mampu mempertahankan kelangsungan hidup lobster di dalam
media serbuk gergaji dingin (14-15 oC) selama 25 jam dengan tingkat kelulusan
hidup 100% atau 35 jam dengan tingkat kelulusan hidup 66,5%. Hasil penelitian
Handini (2008) menunjukkan bahwa teknik pembiusan melalui penurunan suhu
secara bertahap hingga suhu pembiusan 15 oC pada udang galah menghasilkan
kelulusan hidup lebih baik dibandingkan pembiusan secara langsung. Perbedaan
kecepatan penurunan suhu pada proses pembiusan dapat menghasilkan kelulusan
hidup yang berbeda selama proses transportasi (Salin et al. 2001).
2.7 Pengemasan
Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana dalam
penyimpanan dan transportasi serta alat persaingan dalam pemasaran suatu produk
(Hambali et al. 1990). Pengemasan juga berperan penting untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan bahan yang dikemas serta mempermudah penyimpanan,
pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian et al. 2004).
Pengemasan lobster air laut yang biasa dilakukan adalah mengemas lobster
dalam kotak stirofoam yang berisi media serbuk gergaji dingin kemudian kotak
pengemas disegel dengan lakban. Suhu media kemasan dipertahankan sama
dengan suhu pembiusan menggunakan satu atau dua bongkahan es seberat
0,5-1 kg yang dibungkus plastik. Bongkahan es ini diletakkan di bagian atas atau
bawah kemasan. Jumlah es yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kotak
kemasan. Kemasan berukuran 50x50x50 cm3 menggunakan es seberat 0,5-1 kg;
kemasan berukuran 40x60x40 cm3 dan 40x30x30 cm
3 menggunakan es seberat
0,5 kg; sedangkan kemasan berukuran 30x30x40 cm3 menggunakan es seberat
0,3-0,5 kg (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000; Suryaningrum et al. 2005).
Jumlah es yang digunakan dalam media kemasan harus tepat. Apabila
jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun
menjadi lebih rendah dari suhu pembiusan (Suryaningrum et al. 2007). Udang
windu tambak (Penaeus monodon) tidak mampu hidup lama pada suhu di bawah
suhu pembiusan (12 oC) karena pada suhu ini terjadi kerusakan sistem syaraf dan
otak yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian (Andasuryani 2003).
Pengemasan dalam transportasi lobster hidup untuk tujuan ekspor biasanya
menggunakan kotak stirofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai
kemasan sekunder. Kotak stirofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk
mencegah penetrasi panas yang masuk ke dalam kemasan. Kotak karton yang
digunakan sebaiknya memiliki dinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin.
Tujuan penggunaan karton adalah untuk menekan goncangan yang terjadi selama
pengangkutan dan memperbaiki penampilan dan estetika kemasan. Lapisan lilin
dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak kardus karena kelembaban yang
tinggi selama pengemasan (Junianto 2003; Herodian et al. 2004).
Media pengemas udang dalam kemasan stirofoam yang dibantu dengan
penggunaan es tidak mampu dipertahankan suhunya tetap stabil selama
penyimpanan pada suhu kamar. Suhu kemasan yang digunakan akan terus
mengalami peningkatan sehingga mempengaruhi kelulusan hidup udang
(Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu terjadi karena penetrasi udara luar yang
lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk
gergaji (Kumum 2006). Suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar yang
terlalu tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu kemasan lebih cepat terjadi
(Nitibaskara et al. 2006).
2.8 Media Pengisi Kemasan
Media pengisi kemasan adalah bahan yang ditempatkan di antara biota
hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal posisi biota tersebut
(Herodian et al. 2004). Media pengisi yang digunakan dalam transportasi hidup
sistem kering berfungsi untuk mencegah biota tidak mengalami pergeseran dalam
kemasan, menjaga suhu lingkungan di dalam kemasan tetap rendah sehingga biota
tetap dalam keadaan pingsan serta memberikan kelembaban dan lingkungan udara
yang memadai untuk kelangsungan hidupnya selama transportasi (Prasetyo 1993;
Wibowo dan Soekarto 1993; Junianto 2003).
Penggunaan media pengisi harus memperhatikan kestabilan suhu media
kemasan. Suhu media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin
mendekati suhu pembiusan (imotilisasi). Hal ini karena suhu media kemasan
berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya biota perairan selama
pengangkutan, sehingga ketahanan hidup biota dalam media bukan air dapat
dijaga (Junianto 2003). Suryaningrum et al. (1994) menyatakan bahwa suhu akhir
media pengisi kemasan yang ideal untuk transportasi sistem kering adalah tidak
lebih dari 20 oC. Beberapa jenis media pengisi dapat digunakan dalam transportasi
lobster hidup sistem kering, seperti serbuk gergaji, sekam padi, serutan kayu,
kertas koran, karung goni, rumput laut jenis Gracilaria sp. dan spons busa
(Prasetyo 1993; Ning 2009), akan tetapi dalam aplikasinya memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing.
Syarat media pengisi kemasan yang baik adalah memiliki sifat berongga,
dapat mempertahankan posisi biota dalam kemasan, tidak mudah rusak atau
menimbulkan bau serta memiliki nilai ekonomis yang rendah ditinjau dari harga
bahan baku (Prasetyo 1993). Media pengisi yang baik juga harus memiliki daya
serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu relatif
lama dan kondisi media harus stabil (Suryaningrum et al. 2007).
Sampai saat ini, serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling
sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk
gergaji mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan
kayu, memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonomisnya relatif
rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang
sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun,
tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan
antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati
(Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001).
Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994) menyatakan bahwa penggunaan
serbuk gergaji sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau
sisa potongan karung goni. Bahan tersebut didinginkan menggunakan freezer
terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu kemasan dijaga tetap rendah dengan
menambahkan es batu pada bagian dasar kemasan. Pada lapisan dasar kemudian
ditebarkan serbuk gergaji ±0,5 cm dan diatasnya ditempatkan lapisan jerami atau
potongan karung goni.
Spons busa mempunyai prospek yang baik untuk digunakan sebagai media
pengisi kemasan dalam transportasi lobster air tawar hidup sistem kering
(Suryaningrum et al. 2007). Spons busa diketahui dapat menyerap air sebanyak
empat belas kali berat spons itu sendiri (Hastarini et al. 2006). Penggunaan media
pengisi spons pada penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii)
menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 74% pada kemasan sebanyak satu
lapis yang berisi 20 ekor udang selama 24 jam penyimpanan (Ning 2009). Media
pengisi yang memiliki daya serap air tinggi mampu mempertahankan suhu dingin
kemasan lebih lama (Prasetyo 1993).
Kestabilan suhu media kemasan dalam transportasi biota hidup sistem
kering merupakan faktor yang harus dapat dipertahankan mendekati titik imotil.
Suhu media di bawah suhu pembiusan akan menyebabkan lobster mengalami
kejang (eklamsia) dan kematian, sedangkan suhu media kemasan di atas 21 oC
akan mengakibatkan aktivitas lobster kembali normal sehingga memerlukan
banyak oksigen untuk respirasi dan metabolismenya (Suryaningrum et al. 1999).
Suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya lobster
selama pengangkutan (Junianto 2003).