readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan...

193

Transcript of readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan...

Page 1: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 2: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 3: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 4: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 5: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 6: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 7: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 8: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 9: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 10: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang
Page 11: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

1

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini setidaknya terdapat 5 daerah di Indonesia yang menyandang status

otonomi khusus atau istimewa, antara lain: (i) Provinsi Aceh berdasarkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; (ii) Daerah Khusus Ibukota

Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia; (iii) Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; (iv) Provinsi Papua

dan Papua Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.

Pengakuan dan penghormatan negara terhadap suatu daerah dengan otonomi

khusus dan istimewa di beberapa daerah di Indonesia merupakan kesepakatan politik

pembentuk konstitusi. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang

bersifat khsusus dan istimewa merupakan hal pokok yang diatur dalam ketentuan Pasal

18B ayat (1) UUD 1945. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip yang

terkandung dalam Pasal 18B merupakan pengakuan negara terhadap pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa { ayat (1) }, dan prinsip eksistensi

dan hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama

lain.1 Ketentuan Pasal 18B ayat (1) tersebut mendukung keberadaan berbagai satuan

pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi,

kabupaten dan kota atau desa).

Sebelum kemerdekaan, Yogyakarta merupakan sebuah negara bagian Hindia

Belanda yang berbentuk kerajaan istimewa yang disebut Zelfbestuurende Landschappen

dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara

1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni 2004.

2 Saafroedin Bahar et. al., ed. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 58

Page 12: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

2

Republik Indonesia melalui Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII secara terpisah akan tetapi

dengan format dan isi yang sama. Berdasarkan Amanat 5 September 1945 Kasultanan

Ngajokjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang bersifat kerajaan

menyatakan pengintegrasian kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

memilih status sebagai daerah istimewa.3 Dalam Amanat 5 September 1945 tersebut, Sri

Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII juga menyatakan bahwa

mereka merupakan kepala daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan di daerah

Yogyakarta dan Paku Alaman4 dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.5

Kemudian diakui oleh Presiden Republik Indonesia melalui Piagam Kedudukan Presiden

Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan.6

Keadaan tersebut tetap berlaku sampai dengan wafatnya Sri Sultan Hamengku

Buwono IX pada tahun 1988 setelah memimpin Yogyakarta selama 43 tahun dan

kemudian digantikan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII sampai tahun 1998. Barulah

setelah Sri Paduka Paku Alam VIII meninggal pada tahun 1998 mulai muncul polemik

tentang siapa dan bagaimana proses pengisian jabatan gubernur Yogyakarta

berikutnya.7 Akan tetapi pada saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung

ditetapkan sebagai Gubernur DIY periode 1998-2003.8

Pada tahun 2003 masa Jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka

Paku Alam IX akan berakhir yang kemudian diikuti oleh perseteruan di DPRD Provinsi

DIY yang menginginkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, akan tetapi

mayoritas rakyat menginginkan penetapan.9 Sehingga pada akhirnya pada tahun 2003

3 Diktum 1 Amanat 5 September 1945 berbunyi : “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”

4 Ketentuan mengenai pernyataan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai kepala daerah dalam status keistimewaan yang dimilikinya tersebut terdapat dalam ketentuan diktum 2 Amanat 5 Sptember 1945 yang berbunyi : “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami

pegang seluruhnya. 5 Ketentuan tersebut terdapat dalam diktum 3 Amanat 5 September 1945 yang berbunyi :” Bahwa perhubungan

antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

6 Saafroedin Bahar et. al., ed., Loc.Cit. 7 http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/01/brk,20101201-295774,id.html. Diakses pada Tanggal 28

Februari 2011 8 Ibid 9 Ibid

Page 13: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

3

Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan kembali

sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2003-2008. Akan tetapi pada tanggal 7

April 2007 Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi menjabat

gubernur setelah masa jabatannya selesai pada 2008. Janji ini diulangi kembali pada

Pisowanan Agung di depan 40 ribu rakyat Yogyakarta pada tanggal 18 April 2007. Pada

Oktober 2008 jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakhir. Kemudian Presiden

memanggil Sultan untuk menjadi penanggung jawab sementara selama 3 tahun yaitu

sampai tahun 2011 atau sampai RUU Keistimewaan Yogyakarta selesai dibahas.10

Setelah 3 tahun berlalu sejak 2008, polemik mengenai status keistimewaan

Yogyakarta tersebut kembali muncul ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mengeluarkan statemen dalam rapat terbatas kabinet untuk membahas Rancangan

Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada hari Jum’at tanggal 26 November 2010

yang menyatakan bahwa tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan

dengan demokrasi.11 Berikut ini pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

tanggal 26 November 2010 mengenai keistimewaan Yogyakarta:

“…Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang-undang tentang Keistimewaan Yogyakarta atau tentang pemda DIY. Pertama pilarnya adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-undang Dasar telah diatur dengan gamblang. Kedua, harus dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Ketiga, harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi.”12

Setidaknya ada dua permasalahan utama yang melatarbelakangi statemen

Presiden Susilo bambang Yudhoyhomo di atas, yaitu pertama masalah keistimewaan

Yogyakarta yang dianggap bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang dianut

oleh Indonesia yaitu bahwa hanya ada satu negara dalam negara atau tidak ada negara

10 Ibid 11http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-polemik, Diakses pada

tanggal 28 Februari 2011 12 http://www.rimanews.com/.../inilah-pernyataan-sby-soal-ruu-keistimewaan-yogyakarta 29 November 2010,

Diakses Pada Tanggal 28 Februari 2011

Page 14: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

4

di dalam negara13 dan Pemerintah Pusat merupakan pemegang kekuasaan

pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar

Tahun 1945. Kedua yaitu masalah pengisian jabatan Gubernur dan wakil Gubernur

Provinsi DIY yang dianggap tidak demokratis atau tidak sesuai dengan prinsip

kedaulatan rakyat.

Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pada dasarnya dalam negara kesatuan

hanya ada satu negara dengan suatu pmerintah pusat yang memiliki seluruh tugas dan

kewenangan negara.14 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara kesatuan,

pemerintah lokal harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat.15

Berbeda halnya dengan negara federasi yang memiliki kewenangan asli dan

menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan tertentu untuk diselenggarakan oleh

suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan

negara bagian.16 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut juga sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Soehino tentang konsep negara kesatuan, yaitu:

“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”17 Selanjutnya Eko Prasodjo seperti yang dikutip Hendratno menyatakan bahwa

Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan

negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan

dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.18

Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di

13 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009), hlm.45

14 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7 ( Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 216 15 Ibid 16 Ibid 17 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224 18 Ibid., hlm.238

Page 15: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

5

Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.19

Nilai-nilai demokrasi yang dimaksud oleh Presiden tersebut yakni berkaitan

dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang selama

ini dilakukan melalui mekanisme penetapan. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 menghendaki kepala pemerintah di daerah hendaknya dipilih secara

demokratis “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Apa yang dikemukakan

oleh Presiden tersebut mungkin juga memang ada benarnya, sebagai contoh bahwa

dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal Pengujian

Undang-undang Pemerintahan Daerah, bagian pertimbangan hukum Mahkamah

Konstitusi menyatakan:

“ Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi .20

Putusan Mahkamah Konstitusi di atas dengan jelas menggariskan bahwa

pemilihan kepala daerah haruslah secara demokratis, bukan dengan jalan penunjukan

ataupun pengangkatan. Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis

diharapkan akan mampu meningkatkan hubungan dan interaksi antara pemerintah

sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan masyarakat di daerah.21 Titik Triwulan

Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna

kedaulatan rakyat22 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang

terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan

19 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 95 20 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 15/PUU-V/2007. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode 2003-2008), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm. 10

21 Marijan, Kacung, Sistem Politik di Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 170

22 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010) , hlm. 66

Page 16: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

6

Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan

rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi.23 Soehino membedakan demokrasi

menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi

perwakilan.24 Sedangkan terkait dengan bentuk penyaluran kedaulatan rakyat secara

langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:

”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar.”25

Dengan demikian, dari uraian di atas, paling tidak terdapat 2 permasalahan

penting yang menjadi alasan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menginginkan agar Gubernur Provinsi DIY dipilih secara demokratis. Pertama, Presiden

menganggap bahwa prinsip Negara Kesatuan harus ditegakkan di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu bahwa sistem pemerintahan maupun sistem

hukum adalah sama atau tidak boleh ada negara dalam negara sebagaimana halnya

dengan negara federal. Kedua, bahwa sistem yang ada dan hidup di Yogyakarta selama

ini, yaitu bahwa meknisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui

proses penetapan yang kemudian akan digantikan oleh pewaris sah Kesultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang bertahta dianggap bertentangan dengan

prinsip kedaulatan rakyat.

Namun pada tanggal 3 September 2012, akhirnya Pemerintah Pusat

mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah

Istimewaan Yogyakarta. Setelah lebih dari 60 Tahun DIY bergabung dengan NKRI, baru

pada tahun 2012 Pemerintah Pusat mengesahkan Undang-Undang tentang

keistimewaan DIY. Penegsahan undang-undang keistimewaan DIY tersebut membuat

seluruh elemen bangsa menjadi tenang dan menyambut keberadaan undang-undang

tersebut. Akan tetapi, tetap saja model otonomi daerah yang diberikan kepada DIY tetap

menarik untuk dikaji dan diteliti dalam perspektif hukum tata negara dan hukum

administrasi. Dua bidang ilmu ini (HTN dan Hukum Administrasi) dewasa ini semakin

banyak diminati untuk ditekuni oleh berbagai pihak. Tentunya hal ini tudak lepas dari

23 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7 ( Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm.130

24 Ibid, hlm. 240 25 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59

Page 17: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

7

sangat dinamisnya perkembangan hukum tata negara dan hukum administrasi. Philipus

M. Hadjon manyatakan bahwa kedua bidang ilmu hukum tersebut yaitu Ilmu Hukum

Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi secara prinsip tidak dapat dipisahkan.26 Hal

yang sama juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa perbedaan antara

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi tidak begitu tampak dengan jelas.27 Oleh

karena itu, kajian dalam buku ini akan menyajikan dua sudut pandang ilmu hukum

tersebut, baik dari perspektif hukum tata negara maupun hukum administrasi.

26 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, (Surabaya:Peradaban, 2007), hlm.23

27 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet.6, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm.7

Page 18: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

8

BAB II

BEBERAPA TEORI DALAM ILMU NEGARA DAN ILMU HUKUM TATA NEGARA

1. Teori Bentuk Susunan Negara

Sri Soemantri Martosoewignyo dalam Hendratno mengatakan bahwa bentuk

negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan.28 Hendra Nustjahjo

mengatakan susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga yang

berbentuk kesatuan. Jimly Asshiddiqie membagi bentuk negara kedalam 3 jenis,

yaitu bentuk negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), bentuk negara serikat

(federal, bonds-staat) dan bentuk konfederasi (confederation, staten-bond).29

Ramlan Surbakti menyatakan bahwa bentuk susunan negara dibagi menjadi dua,

yaitu kesatuan (unitaris) dan federasi (negara serikat).30 Sama dengan Ramlan

Surbakti, Edie Toet Hendratno membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis

yaitu bentuk susunan negara kesatuan dan bentuk sususan negara federasi.31

Soehino menyatakan apabila ditinjau dari segi susunannya, maka akan

ditemukan dua jenis bentuk susunan negara, yakni sebagai berikut:32

a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan

b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.

Dari beberapa pendapat megenai bentuk atau susunan negara di atas, ada dua

hal yang menjadi titik perhatian, yaitu pertama; bahwa ada sarjana yang

menggunakan istilah “bentuk negara” dan adapula yang menggunakan istilah

“bentuk susunan negara”, sehingga dalam penelitian ini akan dipergunakan istilah

“bentuk susunan negara”. Kedua, bahwa ada 2 pendapat mengenai jenis bentuk

susunan negara yang dikemukakan oleh sarjana tersebut, sebagian sarjana

membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis saja yaitu bentuk susunan negara

kesatuan dan bentuk susunan negara serikat. Sarjana yang lainnya menambahkan

satu jenis bentuk susunan negara selain bentuk negara kesatuan dan bentuk negara

28 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 44 29 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 211 30 Ramlan Surbakti, Loc.Cit 31 Edie Toet Hendratno, Loc.Cit 32 Soehino, Loc.Cit.

Page 19: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

9

serikat yaitu bentuk negara konfederasi. Dalam penelitian ini hanya akan

dikemukakan mengenai teori atau prinsip bentuk susunan negara kesatuan dan

prinsip bentuk susunan negara serikat (federal) saja.

1.1. Prinsip Negara Kesatuan

Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara kesatuan

sebagai berikut:

“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”33

Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat

absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik

pemerintah pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan

pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam

perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu

negara, yaitu semakin luasnya wilayah, urusan pemerintahan semakin kompleks,

serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka di berbagai negara

telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka penyelenggaraan

pemeintahan di daerah.34

Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah

dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke

daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas

desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat

mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.35 Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang

33 Ibid, hlm.224 34 Ibid, hlm.224-225 35 Ibid, hlm.225-226

Page 20: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

10

didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh M.

Solly Lubis berikut ini:

“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat.” 36

Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, Edie Toet Hendratno menyatakan

bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara kesatuan dipegang sepenuhnya oleh

Pemerintah Pusat.37 Penjelasan Edie Toet Hendratno mengenai konsep negara

kesatuan yang kedaulatan sepenuhnya dipegang pemerintah pusat adalah sebagai

berikut:

“Negara kesatuan adalah negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu Pemerintah Pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan karena di dalam negara kesatuan itu tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian dalam bentuk negara federasi.”38 Pada saat sekarang ini suatu negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua

bentuk:39

1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi.

2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi

36 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah (Bandung; Alumni, 1983), hlm. 8

37 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.46 38 Ibid. 39 Ibid., hlm. 46

Page 21: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

11

Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam

negara langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat dan daerah-daerah hanya

tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh Pusat itu.40

Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada daerah-

daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

yang kemudian melahirkan atau dibentuknya daerah-daerah otonom, yaitu suatu

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,

berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.41

Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda

menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara

diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat

kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya

sebagai bagian dari satu negara.42 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi

negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di

dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar

itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian

diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai

kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber

kekuasaannya.43

Menurut C.F. Strong dalam Hendratno, bahwa esensi negara kesatuan adalah

negara yang kedaulatnnya (the souvereignty) tidak terbagi-bagi, atau dengan kata

lain, kekuasaan pusatnya tak terbatas (unrestricted) karena konstitusi negara

kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan

pembentuk undang-undang pusat.44

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa

di dalam negara kesatuan, kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam

genggaman pemerintah pusat dan tidak dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan,

tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada

di tangan pemerintah pusat walaupun dengan sistem desetralisasi.

40 Ibid, hlm.46-47 41 Soehino, Op.Cit., hlm. 225 42 Huda, Ni’matul, Op.Cit., hlm. 92 43 Ibid. 44 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 48

Page 22: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

12

Adapun hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah

sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh

pendapat Philip Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam

Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:

“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.”45

Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi

daerah di Indonesia:

“…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.” 46 Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno

diserupai dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan,

yaitu adanya pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas

desentralisasi dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara

gamblang berikut ini:

“Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah

45 Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 13 46 Huda, Ni’matul, Op.cit, hlm.93

Page 23: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

13

ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah.” 47

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan

hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang

menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat

dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan

kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan.48

1.2. Prinsip Negara Serikat

Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya

negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai

negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta

pemerintahan sendiri.49 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah

tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,

sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.50 Ramlan

Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian

bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.51

C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar

pembentukan negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah

satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk

negara serikat tidak dapat terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat

menurut C.F.Stronk;52

1) Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yang membentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum

47 Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm. 7 48 H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 2 49 Soehino, Op.Cit, hlm.226 50 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216 51 Ibid. 52 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.53

Page 24: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

14

menjadi federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama seperti Amerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada.

2) Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unit-unit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity); karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negara federal, melainkan negara kesatuan.

Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan

memiliki kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti

ekonomi, politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang

efektif.53 Ikatan kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang

kemudian memiliki Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah

Gabungan atau Pemerintah Federasi.54

Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan

sistem atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara

bagian, yaitu:55

a. 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan Negara-negara Bagian.

b. 2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah Negara-negara Bagian.

c. 2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian.

d. Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam Negara Federasi.

e. 2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokok-pokok dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negara-bagian.

R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu

terletak pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh

pemerintah federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada

53 Soehino, Loc.Cit. 54 Ibid. 55 Ibid., hlm 227

Page 25: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

15

negara kesatuan ataukah memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah

negara bagian. Berikut ini pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait

dengan masalah keberlakuan hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni:

“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”56 Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip partnership

yang dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal

diantara pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang

saling menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan

integritas pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang

bersepakat harus menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru

(federal) untuk mengatur dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg

mengatakan bahwa dalam negara srikat, negara-negara bagian mempunyai

kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri (pouvoir constituant), negara-negara

bagian dapat mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya dalam batas-batas yang

ditentukan konstitusi federalnya.57 Aktivitas pemerintahan dalam negara federal itu

dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan

langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional.58

C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah

adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi.

Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan

dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan

simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu

kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang

terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal

56 Edie Toet Hendratno, Ibid., hlm. 52 57 R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1989),

hlm. 180 58 Suzie S. Sudarman dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit. hlm. 61

Page 26: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

16

yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat dan Australia. Kedua,

konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian,

sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada

pemerintah federal. Kanada merupakan contoh negara federal yang menerapkan

sistem ini.59

2. Teori Pembagian Kekuasaan Dalam Negara Kesatuan

Salah satu ciri negara hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara. Konsep negara hukum Eropa Kontinental

Rechtstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Konsep

rechtstaat ditandai oleh empat unsure pokok yaitu: (i) pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia; (ii) negara didasarkan pada teori trias politika; (iii)

pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan

(iv) ada peradilan negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar

hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaa). 60

Gagasan bahwa kekuasaan harus dibagi pada beberapa organ bukanlah hal

baru dalam abad ke-18, tetapi sangat aktual.61 Berikut ini penjelasan I.C. Van der

Viles tentang pembagian kekuasaan negara: 62

“Jauh sebelumnya, kemungkinan adanya suatu pemisahan kekuasaan telah diuraikan oleh Plato. Ia mengatakan bahwa berbagai bentuk pembagian kekuasaan muncul bergantian. Dari suatu monarki ke suatu aristokrasi yang merosot ke suatu anarki yang kemudian terkendali lagi jika seorang tiran merebut kekuasaan. Menurut dia, tirani itu bentuk negara yang paling harus ditolak. Tiran kemudian akan ditumbangkan lagi oleh seorang raja yang baik. Ini selanjutnya, akan diambil alih oleh sekelompok bangsawan: aristokrasi, dan seterusnya. Aristoteles pun seorang penganut pemisahan kekuasaan. Menurut dia, kontemplasi dan tradisi harus dijamin oleh suatu lembaga perwakilan rakyat; sifat dinamis tugas negara harus dipelihara oleh suatu pemerintah. Ia juga berpendapat bahwa orang harus melaksanakan yang satu dengan yang

59 Edi Toet Hendratno, Ibid, hlm. 58 60 Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum

Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66. Mengenai rechtstaat, lihat juga beberapa tulisan dalam Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).

61 I.C. van der Viles, Handboek Wetgeving ,(Terjemahan: Buku Pegangan Perancang Perundang-Undangan), ( Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2005), hlm. 62

62 Ibid.

Page 27: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

17

lainnya secara berganti-ganti agar pengertian bagi kedua fungsi itu tetap terpelihara.”

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pembatasan kekuasaan berkaitan erat

dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian

kekuasaan (distribution of power).63 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan

istilah pemisahan kekuasaan sebagai berikut:

“Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara structural dalam organ-organ yang tidak salaing mencampuri urusan masing-masing”. Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa berdasarkan ajaran

pemisahan kekuasaan tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh

memengaruhi, antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya, masing-masing

terpisah dalam menjalankan tugas dan fungsinnya yang berbeda-beda itu. Oleh

karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan, artinya ketiga

kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang

menanganinya.64 Namun menurut Ismail Sunny bahwa dalam praktek

penyelenggaraan negara, teori pemisahan kekuasaan tersebut tidak selalu

sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya saling pengaruh-

memengaruhi.65

Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power),

para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan

istilah division of power atau distribution of power. Arthur Mas sebagaimana dikutip

Jimly Ashiddiqie66 membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of

power) tersebut ke dalam dua pengertian, yaitu: (i) capital division of power; dan (ii)

territorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fugsional, sedangkan

yang kedua bersifat kewilayahan atau kedaerahan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie

63 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 284 64 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988) hlm, 141

65 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), hlm. 15 66 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 287

Page 28: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

18

menyatakan bahwa di Amerika Serikat, istilah division of power itu digunakan dalam

konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau terkait

dengan pengertian territorial division of powers. Sedangkan istilah separation of

powers digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan tingkat pemerintahan

federal, yaitu antara legislature, the executive dan judiciary.

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie67 menjelaskan sebagai berikut:

“Dengan demikian dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang horizontal dan vertikal. Dalam konteks vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state)”. Philipus M. Hadjon68 menyatakan bahwa pembagian kekuasaan negara pada

dasarnya menganut dua pola, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan

secara vertikal. Berikut ini pola pembagian kekuasaan di Indonesia berdasarkan

UUD NRI Tahun 1945 menurut Philipus M. Hadjon:

“Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ negara dalam ketatanegaraan kita disebut Lemabaga Negara. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Disamping kedua kekuasaan yang secara tegas disbutkan dalam Bab III dan Bab IX melalui interpretasi sistematis, dalam Pasal 1 ayat (2) secara tersendiri masih terdapat kekuasaan lain yaitu kedaulatan.” Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih69 menyatakan: “Disebut negara kesatuan apabila kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan Pemerintahan Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari Badan Legislatif Pusat dalam membentuk undang-

67 Jimly Asshiddiqie (1), Ibid, hlm. 288 68 Philipus M. Hadjon, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara (Analisis Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum

Universitas Airlangga Surabaya, t.t., hlm. 1-2 69 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 195

Page 29: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

19

undang. Kekuasaan pemerintahan yang di daerah bersifat derivative (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas”.

Sementara itu, C.F. Strong sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri

Martosoewignjo70 menyatakan bahwa wewenang daerah otonom pada negara

kesatuan diperoleh dari Pemerintah Pusat. Berikut ini penjelasan C.F. Stronk:

“negara kesatuan adalah suatu negara yang berada di bawah satu Pemerintahan Pusat. Pemerintahan Pusat ini yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut. meskipun wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara, akan tetapi bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli. Artinya yang terdapat dalam bagian-bagian negara di atas bukanlah sesuatu yang asli. Wewenang yang ada pada bagian-bagian negara yang disebut daerah otonom itu diperoleh dari Pusat.” Bagir Manan71 menyatakan bahwa dari segi hukum tata negara,

khususnya teori bentuk negara, bahwa otonomi daerah adalah subsistem dari

negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomena

negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah

pengertian dan isi otonomi. Berdasarkan hal tersebut dikembangkanlah

berbagai aturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan

keseimbangan antara tuntutan keksatuan dan tuntutan otonomi.

3. Bentuk Pemerintahan Republik

Montesqieu dalam Hendratno membagi bentuk pemerintahan kedalam tiga

bentuk pokok, yaitu: (i) bentuk republik, (ii) bentuk monarki, dan (iii) bentuk

despotisme.72 Berbeda halnya dengan Montesqiue, George Jellinek menyebutkan

bahwa bentuk negara terdiri dari dua macam, yaitu bentuk republik dan bentuk

monarki.73 Hal yang sama juga dikemukan oleh Jimly Asshiddiqie yang

70 Sri Soemantri Martosaewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali,

1982), hlm. 48 71 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya),

(Jakarta: Unsika, 1995), hlm. 1 72 Ibid, hlm. 88 73 Soehino, Op.Cit., hlm. 174

Page 30: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

20

menyatakan bahwa bentuk negara itu ada dua pilihan, yaitu bentuk kerajaan

(monarki) dan bentuk republik.74

Penggunan istilah bentuk negara juga dapat dilihat dalam Pembukaan maupun

dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV menyatakan “…..maka disusunlah

Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik

Indonesia….”. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Negara

Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.

Penjelasan Jimly Asshiddiqie yang membagi bentuk negara republik dan

bentuk negara kerajaan (monarki) tidak sesuai dengan penjelasannya dalam

bukunya yang lain yang menyatakan bahwa bentuk negara harus dipisahkan dan

dibedakan dengan istilah bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan.75 Dalam

penjelasan lainnya tersebut, Jimly Asshiddiqie membagi bentuk pemerintahan

kedalam bentuk pemerintahan republik dan bentuk pemerintahan kerajaan

(monarki).76

Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk pemerintahan berkaitan dengan

bagian dalam, yaitu pemerintahan negara yang dibedakan antara pemerintahan

republik dan pemerintahan kerajaan, sebagaimana penjelasannya berikut ini:

“ Dalam Ilmu Negara (Algemene Staatsleer) dan Ilmu Hukum Tata Negara dibedakan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Bentuk negara menyangkut kerangka bagian luar organisasi negara yang dibedakan antara bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. Sedangkan bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam yaitu pemerintah negara yang dibedakan antara pemerintah republik dan pemerintah kerajaan.”77 Oleh karena itu, dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah istilah

bentuk pemerintahan.

Tutik menyatakan bahwa istilah Republik berasal dari bahasa Latin yaitu dari

istilah respublica yang artinya “kepentingan umum” adalah negara dengan

74 Jimly Asshiddiqie (2), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cet.2 ( Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 277. Lihat Juga Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm. 165

75 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 211 76 Ibid. 77 Bagir Manan (1), Lembaga Kepresidenan. Cet. 3. Yogyakarta: FH UII Press

Page 31: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

21

pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai kepala negara

yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu.78 Jimly

Asshiddiqie menyatakan bahwa istilah republik mengandung pengertian “hak atau

kepentingan rakyat”.

Jimly Asshiddiqie kemudian menyatakan bahwa “ jika jabatan kepala negara

itu bersifat turun temurun, maka negara itu disebut kerajaan. Jika kepala

pemerintahannya tidak bersifat turun temurun, melainkan dipilih maka negara itu

disebut republik. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dengan mengutip pendapat

Leon Duguit juga menyatakan bahwa “ jika seorang Kepala Negara dipilih melalui

suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya

disebut republik dan Kepala Negaranya adalah seorang Presiden”.79 Ramlan

Surbakti menyatakan bahwa “jika penetapan kepala negara dilakukan dengan

pemilihan umum baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh para

wakil rakyat yang dipiliholeh rakyat yang berhak memilih, bentuk negara ini disebut

republik”.80

Montesqieu sebagaimana dikutip Hendratno menyatakan bahwa “ bentuk

republik, dimana kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah di tangan rakyat ( atau

dilakukan atas nama rakyat, jika lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi disebut

demokrasi, sedangkan kekuasaan tertinggi berada pada sebagian rakyat dinamakan

aritokrasi)”.81 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa konsep republik dewasa ini

dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuaan dari rakyat.

Berikut ini penjelasan Jimly Asshiddiqie mengenai konsep republik:

“ Di zaman sekarang, konsep republik dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuasaan dari rakyat, sedangkan monarki atau kerajaan kekuasaan yang dating secara turun temurun dari raja atau ratu kepada putera/puteri mahkotanya. Bangsa Indonesia mempunyai sejarah yang sangat panjang dengan silih bergantinya kerajaan-kerajaan yang memerintah wilayah nusantara”.82

78 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 142 79 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm. 167 80 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 217 81 Edie Toet Hendratno, Loc.Cit. 82 Jimly Asshiddiqie (2), Op.Cit. hlm. 280

Page 32: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

22

Soehino dengan mengutip pendapat Jellinek membedakan konsep republik

dan monarki dari siapa yang membentuk undang-undang. Soehino menyatakan

bahwa jika undang-undang dalam suatu negara ditetapkan dan merupakan hasil

karya suatu dewan maka negara itu disebut republik. Dan sebaliknya jika dalam

suatu negara itu undang-undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal

saja, maka negara itu disebut monarki.83

Bagir Manan menyatakan bahwa secara asasi paham republik (republicanism)

mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh kepentingan umum

(rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan (state institution) dalam republik

harus senantiasa mencerminkan penyelenggaraan oleh dan untuk kepentingan

umum.84 Menurut Hamilton sebagaimana dikutip Abdul Goffar menyatakan bahwa

yang paling esensial dalam republik yaitu pemerintah berasal dari rakyat banyak,

bukan dari suatu jumlah (kecil) yang tidak berarti atau dari kelas tertentu.85

4. Konsep Keistimewaan

Sebagai akibat perkembangan kehidupan bernegara yang semakin kompleks,

serta warga negaranya semakin menjadi semakin banyak dan heterogen maka

dibeberapa negara (negara kesatuan) telah dilaksanakan asas dekonsentrasi dan

desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang

kemudian melahirkan daerah-daerah otonom.86 Penyelenggaraan pemerintahan

daerah di Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu berdasarkan pada asas otonomi

dan tugas pembantuan. Dari konsep itu maka lahirlah daerah otonom dan daerah

otonom itu memiliki otonomi daerah. Menurut Soehino, bahwa otonomi daerah yaitu

hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.87

Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai suatu kebebasan dan kemandirian

83 Soehino, Op.Cit., hlm.176 84 Bagir Manan (1), Op.Cit. hlm. 2-3 85 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan

Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 ), hlm. 42 86 Soehino, Op.Cit, hlm.225 87 Ibid., hlm. 225-226

Page 33: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

23

(vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan

mengurus sebagian urusan pemerintahan.88

Selain itu, Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, juga memberikan suatu prevelege terhadap suatu daerah

yang bersifat khusus atau dikenal dengan daerah otonomi khusus yang tentunya

sifat otonominya berbeda dengan daerah lainnya. Pasal 18 B ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga mengakui dan

meghormati daerah yang bersifat istimewa dan tentunya juga memiliki keistimewaan

dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.

Sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan “istimewa” tercantum dalam batang tubuh

Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga

dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD

1945). Sebagaimana diketahui, bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tidak

dijabarkan kedalam ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan.

Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan:

Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa. Bagir Manan menjelaskan mengenai penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut

bahwa “hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai

daerah-daerah yang mempunyai susunan asli, yaitu zelfbesturende landschappen

dan volksgemenschappen.89 Supomo tidak secara tegas menyatakan

Zelfbesturende landschappen sebagai daerah besar tetapi menurut Bagir Manan,

secara contrario dapat dikatakan bahwa zelfbesturende landschappen itu adalah

daerah besar karena tidak dimasukkan dalam arti daerah kecil. Dengan demikian,

susunan pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari dua, yaitu zelfbesturendedan

atau daerah kecil berupa desa atau satuan lain semacam desa.

88 Bagir Manan (2), Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Jakarta: UNSIKA, 1993), hlm. 2

89 Ibid.

Page 34: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

24

Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut menyebutkan “hak-hak asal-usul

dalam daerah yang bersifat istimewa”. Bagir Manan menjelaskan istilah “istimewa”

yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut sebagai berikut:

“Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan istilah “istimewa” atau”khusus” untuk menunjuk sifat suatu satuan daerah pemerintahan tertentu. Demikian pula beberapa buku mengenai susunan kenegaraan Hindia Belanda tidak menggunakan istilah “istimewa” atau yang semacam itu. Klenjtes, ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere territorial rechtsgemenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie regentschappen, standsgemeenten, plaatselijke resorten, inlandsche gemeenten, rechtspersoonlijkheid bezittend, waterschappen dan landschappen.”90 Istilah “istimewa” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 tersebut juga

dijelaskan panjang lebar oleh Supomo dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945

selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yakni sebagai berikut:

“Tentang daerah kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie91 oleh karena itu dibawah pemerintah pusat, dibawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya daerah-daerah. Bentuknya daerah itu dan bagaimana bentuk pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang. Beginilah bunyinya Pasal 1692: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa.” Jadi rancangan Undang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian seluruh daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar, dan di dalam daerah besar itu ada lagi daerah-daerah yang kecil. Apakah arti “mengingati dasar permusyawaratan”? Artinya, bagaimanapun penetapan tentang bentuk pemerintahan daerah, tetapi harus berdasarkan atas permusyawaratan. Jadi misalnya aka nada juga dewan permusyawaratan daerah. Lagi pula harus diingat hak asal-usul dalam daerah-

90 Ibid., hlm. 158 91 Bagir Manan memaknai istilah “unie” yang dikatakan Soepomo tersebut sebagai merujuk kepada bentuk

negara kesatuan. Lihat Bagir Manan (2), Ibid., hlm. 14 92 M.Yamin dalam Bagir Manan (2), Ibid., menjelaskan rancangan yang disusun paniti kecilm Pemerintah

Daerah terdapat dalam Pasal 16 bukan Pasal 18, perubahan mungkin terjadi setelah rancagan tersebut diubah oleh Panitia Penghalus Bahasa (Djajaningrat, Salim dan Soepomo).

Page 35: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

25

daerah yang bersifat istimewa. Di papan daerah istimewa saya gambar dengan streep, dan ada juga saya gambarkan desa-desa.93 Panitia mengingat kepada, pertama, adanya sekarang kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang meskipun kerajaan, tetapi mempunyai status zelfbestuur. Kecuali dari Panitia mengingat kepada daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, yaitu Volksgemeinschappen barangkali perkataan ini salah tetapi yang dimaksud ialah daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat seperti misalnya di Jawa: desa diminangkabau nagari, di Tapanuli: huta, di Aceh: Kampong, semua daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat, daerah istimewa tadi, jadi daerah kerajaan (zelfbesturende landschappen), hendaknya dihormati dan diperhatikan susunannya yang asli. Begitulah yang dimaksud Pasal 16.”94 Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi, atas permintaan

Soekarno (Ketua PPKI), Supomo memberi penjelasan mengenai Rancangan

Undang-Undang Dasar yang akan disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Mengenai pemerintah daerah, Supomo menjelaskan sebagai

berikut:95

“Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah. Zelfbesturende Landschappen, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli dan dihormati.”

Supomo juga menjelaskan kembali penegasannya bahwa yang termasuk

daerah-daerah yang bersifat istimewa adalah kooti dan desa.96 Sebagaimana

disebutkan dalam latar belakang masalah bahwa dalam bahasa Jepang, Kasultanan

Ngajokjarta Hadiningrat tersebut disebut kooti yang merupakan salah satu negara

bagian dari pemerintahan Hindia Belanda waktu itu. Begitu pula halnya telah

93 Gambar yang dimasud Soepomo, seperti dimuat Muhmmad Yamin dalam Bagir Manan, Ibid., hlm. 15 94 Ibid, hlm.15 95 Ibid, hlm 16 96 Ibid, hlm. 17

Page 36: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

26

dikemukakan sebelumnya bahwa Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat dan

Kadipaten Paku Alaman mendeklarasikan penggabungan dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia pada tanggal 5 Septenber 1945 atau tepatnya 20 hari setelah

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau 19 hari setelah ditetapkannya Rancangan

Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Maka sebagai kooti Sri Sultan Hamnegku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman

VIII dalam amanat 5 September 1945 menyatakan diri sebagai daerah istimewa

dalam Negara Republik Indonesia.97

Di dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan

Yogyakarta Tahun 2001 yang merupakan RUU usulan Pemerintah Provinsi DIY,

konsep keistimewaan didefininisikan sebagai berikut:98

Istimewa adalah kedudukan hukum yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan hak asal usul secara historis yuridis yang meliputi aspek kelembagaan dan aparat, penyelenggaraan pemerintahan, pertanahan, sejarah dan budaya sebagaimana dimaksud pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Sedangkan dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan

Yogyakarta tahun 2008 dan Dratt tahun 2010 yang merupakan RUU usulan

Pemerintah serta Draft RUU dari Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada tahun 2008, definisi konsep

keistimewaan adalah sebagai berikut:99

Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.

97 Diktum 1 Amanat 5 September tersebut berbunyi “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”

98 Pasal 1 angka 3 Draft Rancangan Undang-Undang Keitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta usulan Pemprov DIY. Diakses dari http://www.pemda-diy.go.id/

99 Diakses dari : - http://bdardias.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/06/Naskah-Akademik-dan-RUUK-Keistimewaan-

Yogyakarta-JPP-Fisipol-UGM.pdf. - http://djpp.depkumham.go.id/files/RUU/2008/ruu%20yogya.pdf

- http://hukum.kompasiana.com/2010/12/18/draf-ruu-keistimewaan-diy/18 desember 2010. Diakses pada tanggal 15 Februari 2011

Page 37: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

27

Sementara itu yang dimaksud dengan kewenangan istimewa adalah

wewenang tambahan tertentu yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang

Pemerintahan Daerah.100 Terkait dengan kewenangan istimewa yang merupakan

hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa (hak yang bersifat autochtoon),

atau hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara

Republik Indonesia, Sujamto mengemukakan bahwa ada tiga garis besar macam-

macam hak autochtoon itu, yakni sebagai berikut:101

1. Hak asal usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari kata-kata “susunan asli”;

2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangktan dan pemberhentian pemimpin;

3. Hak asal usul yang yang menyangkut penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.

Ni’matul Huda berendapat bahwa konsekuensi dari dari jaminan yang

diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau

peraturan perundang-undangan mengenai “daerah yang bersifat istimewa” itu

haruslah tidak mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.

5. Teori Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi

Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa asal muasal konsep kedaulatan dalam

bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu daulat, dan dulatan

yang berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan).102 Dalam bahasa

Inggris istilah kedaulatan disebut souveregnty yang berasal dari bahasa Latin,

superanus yang pada intinya bahwa konsep kedaulatan itu berkaitan dengan konsep

kekuasaan tertinggi.103 Jean Bodin sebagaimana dikutip oleh Soehino mengatakan

100 Ibid. 101 Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988),

hlm.15 102 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 97 103 Ibid. 98-99

Page 38: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

28

bahwa “kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam

suatu negara, yang sifatnya tunggal, asli, abadi dan tidak dapat dibagi-bagi”.104

Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa ada lima teori atau ajaran tentang

kedaulatan sebagai ide mengenai kekuasaan tertinggi. Kelimanya adalah (i) Teori

Kedaulatan Tuhan, (ii) Teori Kedaulatan Raja, (iii) Teori Kedaulatan Negara, (iv) Teori

Kedaulatan Rakyat, dan (v) Teori Kedaulatan Hukum.105 Dalam teori kedaulatan

rakyat, kedaulatan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat

negara itu sendiri.106

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang

menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi.107 Titik

Triwulan Tutik juga menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik

dengan makna kedaulatan rakyat108 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun

1945. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di

tangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional

democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara

hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi (democratische rechtsstaat).109

Titik Triwulan Tutik kemudian menyatakan bahwa negara demokrasi adalah

negara yang sistem pemerintahannya (kedaulatannya) berada di tangan rakyat,

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan

rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.110 Sejalan dengan itu, Jimly Asshiddiqie

menyatakan bahwa dalam sistem participatory democracy kedaulatan rakyat itu

mengandung makna kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk

rakyat,oleh rakyat dan bersama rakyat.111

Berdasarkan sejarahnya, perjalanan demokrasi sudah tumbuh sejak jaman

Yunani Kuno, sekitar abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi yang kemudian

104 Soehino, Op.Cit, hlm. 151 105 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 114 . Soehino mengemukakan bahwa ada empat macam teori

kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Lihat Soehino, Op.Cit., hlm. 152-160

106 Ibid, hlm. 117 107 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Loc.Cit. 108 Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit. 109 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58 110 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 67 111 Jimly Assiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 117

Page 39: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

29

berkembang hingga saat ini.112 Dalam demokrasi, semestinya, hak-hak rakyat

dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam demokrasi tidak dibenarkan adanya keputusan

politik dari pejabat yang dapat merugikan hak-hak rakyat, apalagi kebijakan yang

bertujuan untuk menindas rakyat demi kepentingan penguasa. Demokrasi

sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan.

Tetapi, demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk

dalam sejarah panjang dan berliku. Demokrasi, seringkali disebut pelembagaan dari

kebebasan. 113

Hendry B. Mayo memberikan pengertian mengenai demokrasi sebagai berikut:

”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).114 Dalam perkembangannya, demokrasi telah mengalami pasang surut

sebagaimana yang dikemukan oleh Abdullah Yazid berikut ini:

”Pasang surut demokrasi ini ditandai antara lain dengan adanya istilah atau nama dari demokrasi yang menunjukkan bentuk pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi di suatu negara dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara Dalam demokrasi seringkali terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan agama serta kualitas psikososial para penyelenggara negara.”115

Sebaliknya, demokrasi akan tumbuh kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh

kultur dan nilai-nilai demokrasi, seperti toleransi, bebas mengemukakan pendapat,

menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat;

112 Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet 2 (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2003),hlm. 20 113 http://www.cidesonline.org 114 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Op.Cit, 19-20 115 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,

(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006),hlm.14

Page 40: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

30

terbuka dalam berkomunikasi, serta menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan.

Demokrasi juga harus memiliki nilai percaya diri atau tidak tergantung pada orang lain

dan saling menghargai.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan oleh BPUPKI pada tanggal

18 Agustus 1945 pun telah memuat berbagai hak dan kewajiban warga negara serta

pemerintah agar terwujud hubungan politik yang demokratis. Dewasa ini, di saat

gagasan demokrasi semakin mendunia, bangsa Indonesia didorong oleh semangat

reformasi berusaha mewujudkan suatu sistem pemerintah yang demokratis pula.116

Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka segala proses penyelenggaraan

negara, termasuk pemilu, harus diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rakyat.117

Sohenino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan

Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.118 Robert Dahl sebagaimana

dikutip oleh Kacung Marijan menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan,

partisipasi publik atau masyarakat itu dimaksudkan sebagai keterlibatan warga

negara dalam pemilu.119 Sedangkan terkait dengan penyaluran kedaulatan rakyat

secara langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:

”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebesasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.”120

Berkaitan dengan masalah pemilihan umum sebagai wujud pelaksanaan

kedaulatan rakyat secara langsung (demokrasi langsung), Philipus M. hadjon

sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa:

116 Abdullah Yazid et.all, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang:Avveroes Press, 2007), hlm.32 117 Redi Penuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Book

Publisher, 2009) hal 7 118 Ibid, hlm. 240 119 Kacung Marijan, Op.Cit, hlm. 112-113 120 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit, hlm. 59

Page 41: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

31

“Prinsip demokrasi yang terkandung dalam Pasal 18 (ayat 3 dan 4) menyangkut pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih wakil rakyat ( DPR, DPD, DPRD ) tetapi juga untuk kepala pemerintahan”121

Dalam putusan Mahmah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal

Pengujian Undang-undang Pemerintahan Daerah, dalam bagian pertimbangan

hukum Mahkamah Konstitusi menyatakan:

“ Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mewajibkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk menggunakan prosedur atau tata cara pemilihan tertentu, secara langsung ataupun tidak langsung. Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sepanjang telah terpenuhinya kaidah-kaidah demokrasi. 122

Terkait dengan proses tumbuhnya demokrasi di tingkat nasional pada suatu

negara, Brian C.Smith menekankan perlunya perhatian terhadap demokrasi di

daerah. Hal itu berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah

merupakan prasayarat bagi munculnya demokrasi ditingkat nasional.123 Pandangan

yang bercorak fungsional tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa ketika terdapat

perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai

adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional.

121 Philipus M. Hadjon dalam Tititk Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 270 122 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 123 Brian C.Smith dalam Kacung Marijan, Op.Cit., hlm 170

Page 42: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

32

BAB III

LANDASAN KONSTITUSIONAL DAERAH ISTIMEWA DAN

DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Sejarah keistimewaan Yogyakarta berawal dari zaman sebelum kemerdekaan, dimana

Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah negara tersendiri yang dikendalikan dan

bertanggungjawab secara langsung kepada pemerintahan Hindia-Belanda.124 Setelah

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 maka Pada Tanggal 18 atau 19

Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII)

mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas

terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan

ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan

Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya.

Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil

keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan

mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia

kokoh dan abadi.125

Di Jakarta, pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI

membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam

UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari

Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom,

dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya.

Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara

kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak

kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat

menimbulkan keguncangan.126

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara

, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit

dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan

menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta,

124 Saafroedin Bahar .,et. al., Loc.Cit. 125 P.J. Soewarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah

Tinjauan Historis. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.7 126 Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit. Lihat juga Huda, Ni’matul, Op.Cit.,hlm.286

Page 43: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

33

Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai

dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga

Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta

Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada

6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan yang dikenal

dengan amanat 5 September 1945.127

Pada tahun 1946-1949, Ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, dan pada

saat itu Belanda bersedia untuk melakukan perundingan dengan Indonesia, yaitu

perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan akhirnya Republik Indonesia berhasil

membebaskan diri dari pengaruh Belanda. Walaupun pada waktu itu Belanda masih ingin

memecah belah persatuan Indonesia dengan membentuk model negara federalis Indonesia.

Akan tetapi, pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan.128

Itulah sejarah singkat perjalanan keistimewaan Yogyakarta yang sampai saat ini masih

dalam polemik terutama setelah meninggalnya Sri Paduka Paku Alam VIII pada tahun 1998.

Dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai dasar hukum keistimewaan

Provinsi DIY dan juga karakteristik keitimewaan Provinsi DIY.

Pada penjelasan mengenai dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY, penulis akan

menjelaskan dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY mulai dari UUD 1945 sebelum

perubahan maupun setelah perubahan hingga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Perubahan

Keistimewaan Provinsi DIY tidak terlepas dari sejarah perjalanan bangsa

Indonesia sebagaimana telah dijelaskan secara singkat sebelumnya. Akan tetapi,

sebagai sebuah negara hukum, legitimasi dan keabsahan tetaplah menjadi hal yang

utama. Perjalanan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat

dilepaskan dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum

perubahan.

Sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan “istimewa” tercantum dalam batang tubuh

Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga

127 Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit. 128 P.J. Soewarno dalam Aloysius Soni BL de Rosari, ed. “Monarki Yogya”: Inkonstitusional?, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2011), hlm.18-19

Page 44: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

34

dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

Sebagaimana diketahui, bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tidak

dijabarkan kedalam ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan.

Pasal 18 UUD 1945 ini merupakan landasan konstitusional bagi sistem otonomi daerah

atau sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Bagir Manan menyebutkan bahwa Pasal

18 UUD 1945 merupakan sumber penyelenggaraan otonomi dapat dipahamkan sebagai

normatifisasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk

dan cara menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah.129

Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan:

Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa.

Bagir Manan menjelaskan mengenai Pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa “hak-

hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerah-daerah yang

mempunyai susunan asli, yaitu zelfbesturende landschappen dan

volksgemenschappen.130 Supomo tidak secara tegas menyatakan Zelfbesturende

landschappen sebagai daerah besar tetapi menurut Bagir Manan, secara contrario dapat

dikatakan bahwa zelfbesturende landschappen itu adalah daerah besar karena tidak

dimasukkan dalam arti daerah kecil. Dengan demikian, susunan pemerintahan daerah di

Indonesia terdiri dari dua, yaitu zelfbesturende dan daerah kecil berupa desa atau

satuan lain semacam desa.

Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut menyebutkan “hak-hak asal-usul dalam

daerah yang bersifat istimewa”. Bagir Manan menjelaskan istilah “istimewa” yang

terdapat dalam UUD 1945 tersebut sebagai berikut:

“Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan istilah “istimewa” atau”khusus” untuk menunjuk sifat suatu satuan daerah pemerintahan tertentu. Demikian pula beberapa buku mengenai susunan kenegaraan Hindia Belanda tidak menggunakan istilah “istimewa” atau yang semacam itu. Klenjtes, ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere territorial

129 Bagir Manan, Perjalanan…Op.Cit., hl. 9 130 Ibid.

Page 45: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

35

rechtsgemenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie regentschappen, standsgemeenten, plaatselijke resorten, inlandsche gemeenten, rechtspersoonlijkheid bezittend, waterschappen dan landschappen.”131

Istilah “istimewa” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 tersebut juga

dijelaskan panjang lebar oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945

selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yakni sebagai berikut:

“Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh karena itu dibawa negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat,” akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang. Menurut Pasal 16 pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Jadi rancangan Undang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi daerah-daerah besar itu atas daerah daerah-daerah yang kecil. Dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasar atas permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (Kooti), baik di Djawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan “zelfbesturende landschappen”. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah Dorfgemeinschaften”, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Maksud panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi. Ialah daerah kerajaan (zelfbsturende landschappen) dan desa-desa itu dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli. Begitulah maksud Pasal 16.”132

131 Ibid., hlm. 158 132 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 1 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.46-47

Page 46: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

36

Dalam penegasan pendapat Soepomo sebagaimana yang terdapat dalam Buku

Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 di atas terdapat kalimat yang meyebutkan

bahwa “…Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan

(Kooti), baik di Djawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda

dinamakan “zelfbesturende landschappen”. Dengan penjelasan tersebut tergambar

bahwa Soepomo menekankan adanya pengakuan terhadap daerah istimewa yang

berbentuk kerajaan (Kooti) yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai “zelfbesturende

landschappen”. Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan itilah

“istimewa” dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum adanya perubahan tersebut

juga termasuk “kooti” atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai “zelfbesturende

landschappen”.

Bahkan pandangan Soepomo tentang penghormatan terhadap “kooti-kooti” di

atas dinilai kurang tegas oleh anggota Panitia Perancang UUD lainnya, yaitu

Soerjohamidjojo. Soerjohamidjojo memandang perlunya pasal tersendiri terhadap

keistimewaan “kooti-kooti” tersebut.133 Walaupun secara ekspilisit Soerhohamidjojo

hanya menyebutkan daerah Soerakarta saja pada saat itu, tetapi juga Soerhohamidjojo

menyebutkan bahwa “kooti-kooti” lain juga harus mendapatkan pengakuan dan

penghormatan atau keistimewaan yang harus diatur dalam pasal tersendiri dalam UUD

1945. Berikut ini penggalan pernyataan Soerjahamidjojo yang disampaikan setelah

Soepomo menjelaskan mengenai makna Pasal 16 (Setelah penulisan naskah UUD 1945

berubah menjadi Pasal 18), yakni:

“…dan kedua kali untuk para Kooti sendiri, menurut pendapat kami perlu masih ditambahi pasal yang tegas pernyataannya lagi…..Saya mengerti juga bahwa dalam hal ini, kita haruslah mengingat keadaan perang pada waktu sekarang, akan tetapi dalam Undang-Undang Dasar ini barangkali perlulah ada pernyataan yang lebih terutama bagi rakyat kita di Surakarta dan Kooti-kooti lain.”134

Dalam menanggapi apa yang dikemukakan oleh Soerjohamidjojo, Soepomo

menyatakan bahwa penjelasan mengenai keistimewaan “kooti-kooti” sudah cukup jelas

dan tidak perlu diperjelas lagi. Kemudian para anggota Perumus UUD lainnya juga

sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Soepomo dan mereka juga tidak sepakat

133 Ibid, hlm. 47 134 Ibid.

Page 47: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

37

untuk menambah pasal tersendiri tentang keistimewaan “kooti-kooti” sebagaimana yang

diusulkan oleh Sooerjohamidjojo.135

Penjelasan Soepomo di atas telah disepakati oleh Perumus UUD, dan itulah

sebenarnya makna Pasal 18 UUD 1945 sebelum adanya perubahan. Yaitu mengakui

dan menghormati susunan daerah yang bersifat istimewa.

Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi, atas permintaan

Soekarno (Ketua PPKI), Supomo memberi penjelasan mengenai Rancangan Undang-

Undang Dasar yang akan disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia. Mengenai pemerintah daerah, Supomo menjelaskan sebagai berikut:136

“Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah. Zelfbesturende Landschappen, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli dan dihormati.”

Supomo juga menjelaskan kembali penegasan sebelumnya yang telah

dikemukakan pada tanggal 15 Juli 1945, bahwa yang termasuk daerah-daerah yang

bersifat istimewa adalah kooti dan desa.137 Sebagaimana disebutkan dalam bab

pendahuluan bahwa dalam bahasa Jepang, Kasultanan Ngajokjarta Hadiningrat tersebut

disebut sebagai kooti yang merupakan salah satu negara bagian dari pemerintahan

Hindia Belanda waktu itu. Begitu pula halnya telah dikemukakan sebelumnya bahwa

Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman mendeklarasikan

penggabungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 5 Septenber

1945 atau tepatnya 20 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau 19 hari

setelah ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia. Maka sebagai kooti Sri Sultan Hamnegku Buwono IX

135 Ibid., hlm. 48

136 Bagir Manan, Perjalanan Historis…..Op.Cit, hlm 16 137 Ibid, hlm. 17

Page 48: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

38

dan Sri Paduka Paku Alaman VIII dalam amanat 5 September 1945 menyatakan diri

sebagai daerah istimewa dalam Negara Republik Indonesia.138

Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ”istimewa”

sebagaimana yang dikemukakan oleh Soepomo merupakan daerah-daerah otonom

yang juga didalamnya dapat dimasukkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan hanya

desa atau sebutan lainnya. Walaupun dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tidak

disebutkan bahwa yang dimaksud daerah istimewa itu adalah daerah otonom seperti

Provinsi DIY.

Berikut ini bunyi penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, yang oleh

sebagian kalangan menganggap bahwa letak keistimewaan itu hanyalah pada desa atau

nagari atau lainnya:139

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

138 Diktum 1 Amanat 5 September tersebut berbunyi “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”

139 Lihat pernyataan Bambang Kesowo yang menyatakan bahwa yang dimaksud “istimewa” dalam ketentuan pasal 18 UUD 194 adalah Desa dan sejenisnya, bukan daerah besar seperti Yogyakarta atau Surakrta. Bambang Kesowo dalam Aloysius Sony BL de Rosari, Monarki Yogya…, Op.Cit, hlm. 36-37.

Page 49: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

39

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Oleh sebagian kalangan, penjelasan Pasal 18 UUD 1945 angka II diartikan

sebagai bentuk pengakuan negara bagi keistimewaan daerah kecil seperti desa di Jawa

dan Bali atau Nagari di Minangkabau, bukan terhadap daerah besar seperti bentuk

provinsi. Penulis berpendapat bahwa anggapan seperti itu adalah pendapat yang yang

menyesatkan. Penggunaan bentuk Desa atau Nagari dalam penjelasan tersebut

merupakan contoh saja dan bukan merupakan objek dari istilah “zelfbesturende

landchappen”.

Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 angka II di atas disebutkan bahwa “Dalam

territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan

volksgemeenschappen”. Penggunaan kata “dan” diantara istilah “zelfbesturende

landchappen” dengan istilah “volksgemeenschappen” menunjukkan bahwa antara

zelfbesturende landchappen dengan volksgemeenschappen memiliki makna dan arti

yang berbeda, dan kedua-duanya di Indonesia waktu itu terdapat lebih kurang 250

zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen.

I Gde Pantja Astawa sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno menyebutkan

bahwa Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 memuat beberapa hal pokok sebagai berikut:140

Pertama : Daerah besar dan kecil bukanlah “negara bagian”, karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangka negara kesatuan (eenheidstaat);

Kedua : Daerah Besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administrative (belaka);

Ketiga : Daerah yang mempunyai hak-hak asal usul yang bersifat istimewa adalah swapraja (Zelfbesturende Landschappen) dan desa atau semacam itu (Volkgemenschappen);

Keempat : Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal usul yang bersifat istimewa itu.

Zelfbesturende landchappen sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan

sebuah daerah besar/kerajaan yang dalam bahasa Jepang disebut Kooti. Sedangkan

volksgemeenschappen itu merupakan daerah kecil seperti desa atau sebutan lainnya

140 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 166

Page 50: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

40

sebagaimana yang dijelaskan oleh Soepomo pada tanggal 18 Agustus 1945 seperti

yang sudah dikemukakan sebelumnya. Oleh karena itu, Pasal 18 UUD 1945 telah

memberikan pengakuan dan penghormatan yang tegas bagi daerah-daerah yang

bersifat istimewa, termasuk Provinsi DIY. Sehingga Pasal 18 UUD 1945 sebelum

perubahan merupakan landasan konstitusional bagi pemerintahan daerah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Setelah Perubahan

Pada perubahan tahap II UUD 1945, yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000, dalam

Sidang Tahunan MPR menyetujui untuk melakukan perubahan kedua terhadap UUD

1945 dengan mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal

19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IX, Pasal 25E, Bab X,

Pasal 26 Ayat (2) clan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal

28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 281, Pasal 283,

Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 368, dan Pasal 36C UUD 1945. Pasal 18,

Pasal 18A dan Pasal 18B UUD1945 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai

pemerintahan daerah. Berikut ini bunyi Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 setelah

perubahan:

Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Page 51: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

41

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara

struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur,

Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru.141 Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan

terlihat lebih rinci dibandingkan dengan Pasal 18 sebelum perubahan. Selain itu,

penjelasan UUD 1945 yang selama ini juga merupakan bagian dari UUD 1945 telah

dihapus. Bagir Manan menyatakan bahwa penjelasan Pasal 18 UUD 1945 merupakan

bentuk “keganjilan”, “kerancuan” bahkan “anomali” bagi Pasal 18 itu sendiri. Sehingga

dengan dihapusnya ketentuan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka satu-

satunya sumber konstitusional pemerintahan daerah adalah Pasal 18, Pasal 18A dan

Pasal 18B UUD 1945.142

141 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII, 2005), hlm. 7

142 Ibid.

Page 52: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

42

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari

ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:143

1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1); 2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2); 3. Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan 4. Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai

Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7

prinsip yang menjadi paradigm dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal

18B UUD 1945, yaitu:144

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) } 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) } 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) } 5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat

khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) } 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum {

Pasal 18 ayat (3) } 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil {

Pasal 18A ayat (2) }.

Dalam kaitannya dengan dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah yang bersifat

istimewa, Penulis hanya akan membahas 3 prinsip yang dianggap berkaitan dengan

Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa, khususnya Daerah Provinsi

DIY. Ketiga prinsip itu yaitu pertama, Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kedua, Prinsip

143Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni 2004.

144 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm.102-103

Page 53: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

43

kekhususan dan keragaman daerah. Ketiga, Prinsip mengakui dan menghormati

Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa.

2.1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan.

Di dalam Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan mengandung makna bahwa

pemerintahan daerah di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas otonomi dan

tugas pembantuan. Dengan adanya ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut semakin

meneguhkan bahwa sistem pemerintahan daerah Indonesia mengadopsi prinsip

otonomi atau desentralisasi.145 Tidak ada lagi unsur atau sistem pemerintahan

sentralisasi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

Pasal 18 UUD 1945 sekaligus juga menegaskan bahwa Negara Kesatuan

Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan

daerah yang bersifat desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa

sebuah negara kesatuan memiliki sistem pemerintahan (penyelenggaraan urusan

pemerintahan) yang bersifat sentralisasi atau desentralisasi. Dengan kata lain, jika

berbicara masalah otonomi atau desentralisasi, maka kita pasti berbicara dalam konteks

negara kesatuan. Otonomi daerah merupakan subsistem dari negara kesatuan (unitary

state, eenheidstaat).146

Pembahasan mengenai bentuk otoniomi daerah maka tidak akan lepas dari

kerangka negara kesatuan. Sebuah negara kesatuan adalah sebuah bentuk negara

yang didalamnya tersusun oleh negara-negara bagian, melainkan hanya terdapat

daerah-daerah atau satuan pemerintahan yang lebih rendah kekuasaannya daripada

pemerintah pusat yang diserahi atau diberikan kewenangan untuk mengatur suatu

urusan pemerintahan tertentu.

145 Bagir Manan menyatakan bahwa sistem pemerintahan daerah Indonesia hanya mengadopsi asas otonomi dan tugas pembantuan, bukan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi dan dekonsetrasi bukanlah suatu asas melainkan suatu proses atau cara untuk menyelenggarakan sesuatu. Lihat Bagir Manan, Menyongsong……,Ibid, hlm.8-11. Akan tetapi banyak juga pakar lainnya yang menyatakan bahwa sesungguhnya Pasal 18 UUD 1945 itu mengadopsi asas desentralisasi, pendapat ini disampaikan oleh Philipus M.Hadjon dalam Sri Winarsi, Hand Out Mata Kuliah Sistem Otonomi Daerah, Program Studi Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga, Surabaya Tahun 2010. Lihat juga pendapat Syaukani AR, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cet.7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 36

146 Bagir Manan, Perjalanan…,Op.Cit., hlm. 1

Page 54: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

44

Dengan demikian, maka Pasal 18 UUD 1945 merupakan penegasan kembali

megenai bentuk negara Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sebagaimana

disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Dalam sebuah negara

kesatuan, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaan tersebut

kemudian dipencarkan kepada satuan pemerintahan daerah atau satuan pemerintahan

yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pola pembagian kekuasaan yang dianut oleh

UUD 1945, yaitu pembagian kekuasaan negara secara horizontal dan secara vertikal.147

Seberapapun luasnya otonomi yang diberikan kepada suatu daerah, tidaklah

mengakibatkan daerah itu seperti layaknya sebuah negara bagian dalam negara federal.

Tetaplah statusnya sebagai sebuah daerah dalam bingkai negara kesatuan.

Sebagaimana pendapat Soehino yang menyatakan bahwa:

“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”148

Dalam sebuah negara kesatuan, tidak terdapat negara dalam negara.

Seberapapun luasnya otonomi yang terdapat dalam sebuah negara kesatuan, tidak

menjadikan daerah tersebut sebagai sebuah negara bagian. Formasi negara kesatuan

dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh

wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.149 Tidak ada kesepakatan para penguasa

apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di

dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu,

maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi

kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai

kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber

kekuasaannya.150 Hal ini sesuai dengan paparan Supomo dalam sidang BPUPKI tanggal

15 Juli 1945 selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yang

147 Sri Winarsih, Hand Out…..,Loc.Cit. 148 Soehino, Op.Cit, hlm.224 149 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara… Op.Cit., hlm. 92 150 Ibid.

Page 55: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

45

menyatakan bahwa “Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh

karena itu dibawa negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat,”

akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka.”151

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa Pasal 18 Ayat (1) merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari ayat-ayat atau Pasal-Pasal lainnya dari UUD 1945 yang

merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah di

Indonesia, yaitu tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Indonesia. Adanya

pandangan yang menyatakan bahwa pemberian status otonomi luas terhadap dearah itu

lebih condong kedalam bentuk negara federal dan berbahaya bagi NKRI152 merupakan

pandangan yang terlalu berlebihan.

Padangan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (5) yang

menyatakan “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya”. Ketentuan

tersebut dianggap sebagai bentuk federalisme dalam NKRI dan membahayakan NKRI.

Padahal, menurut penulis, bunyi ayat (5) tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus

tetap mengacu pada konsep negara kesatuan. Sehingga kelanjutan dari norma tersebut

yang menyatakan “kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai urusan Pemerintah Pusat” merupakan bentuk pembatasan yang sesuai dengan

prinsip negara kesatuan yaitu bahwa pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan

serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan

kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat

maupun di daerah-daerah.”153

Kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tetaplah

dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah Pusat ( DPR bersama Presiden )

menetapkan kewenangan apa saja yang dapat menjadi urusan rumah tangga

pemerintah daerah berdasarkan undang-undang. Jika suatu kewenangan ditetapkan

oleh undang-undang sebagai kewenangan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah

tidak dapat mengurus urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat tersebut.

Berbeda halnya dengan bentuk negara federal yang terdiri dari negara-negara

bagian. Negara-negara bagian itu menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan untuk

diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap

menjadi kewenangan negara bagian.154 Ramlan Surbakti bahkan menambahkan bahwa

151 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif….,Lo.Cit. 152 Lihat pendapat Arief Muljadi dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit.,hlm. 171 153 Soehino, Loc.Cit. 154 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216

Page 56: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

46

dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak

bertanggungjawab kepada pemerintah federal.155

Begitu juga halnya jika pemerintah pusat dalam suatu negara kesatuan sudah

menetapkan suatu aturan (peraturan perundang-undangan), maka pemerintah daerah

harus tunduk pada peraturan tersebut. Pemerintah daerah juga tidak perlu ( bahkan

tidak boleh) melakukan suatu tindakan hukum tertentu sebelum memberlakukan

peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat di daerahnya. Hal ini berbeda dengan

negara federal sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Kranenburg berikut ini:

“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”156 Dalam bentuk negara federal, dikarenakan kewenangan (kedaulatan) asli berasal

dari negara-negara bagian, maka sebelum diberlakukannya suatu peraturan pemerintah

federal, pemerintah negara bagian haruslah melakukan tindakan hukum terlebih dahulu

apakah peraturan tersebut akan mengikat bagi negara bagian itu atau tidak. Bereda

halnya dengan bentuk negara federal, dalam konsep negara kesatuan tidaklah demikian

halnya. Karena kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada pada pemerintah pusat,

maka pemerintah daerah harus tunduk pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh

pemerintah pusat tersebut. Akan tetapi, keputusan-keputusan yang dibuat oleh

pemerintah pusat tersebut tetap harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan

konstitusi sebagaui hukum dasar.

Menurut pendapat penulis, bahwa itulah makna Pasal 18 ayat (5) UUD 1945

tersebut. Walaupun otonomi itu seluas-luasnya tetaplah berpegang pada undang-

undang yang dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

Pemerintah pusat memiliki hak (kewenangan) untuk menentukan urusan apa saja yang

menjadi urusan pemerintah pusat yang tidak boleh diurus oleh pemerintah daerah.

Begitu juga sebaliknya, pemerintah pusat juga memiliki kekuasaan untuk menetapkan

155 Ibid. 156 Edie Toet Hendratno, Op.Cit, hlm. 52

Page 57: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

47

urusan apa saja yang dipencarkan atau dibagi kepada pemerintah daerah sebagai

urusan rumah tangganya dalam menjalankan otonomi daerah.

Bahkan pendapat yang lebih ekstrim dijelaskan oleh M. Solly Lubis yang

menyatakan bahwa dalam negara kesatuan terdapat asas kebulatan (eenheid)

kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan tidak dibagi kepada pemerintah

lokal,. Berikut ini pendapat M. Solly Lubis:

“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat.” 157

Pendapat M.Solly Lubis tersebut menurut penulis merupakan konsep negara

kesatuan dengan sistsem sentralisasi. Dalam negara kesatuan dengan sistem

sentralisasi segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah

Pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah

diinstruksikan oleh Pusat itu.158 Akan tetapi, dengan konsep tersebut dapat dijadikan

sebuah argumentasi yang cukup kuat untuk menjawab kekhawatiran berbagai

kalangan159 tentang konsep otonomi daerah Indonesia yang cenderung ke arah

federalisme. Padahal menurut penulis, justru adanya pasal 18 ayat (5) ini semakin

menegaskan konsep negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang dianut oleh

Indonesia. Yaitu bahwa daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan tetap berpedoman

pada undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah pusat ( DPR bersama dengan

Presiden).

157 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis….,Loc.Cit. 158 Soehino, Op.Cit, hlm.46-47 159 Kekhawatiran tersebut bahkan muncul dari statemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang

menghawatirkan status keistimewaan Provinsi DIY keluar dari prinsip NKRI.

Page 58: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

48

2.2. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah

Pasal 18A ayat (1) dilandasi oleh Prinsip kekhususan dan keberagaman daerah.

Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus

seragam (uni-formitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai

keadaan khusus dan keragaman setiap daerah.160

Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk

negara kesatuan, tetapi di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang

memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keberagaman antardaerah di seluruh tanah

air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur

NKRI. Dengan perkataan lain, bentuk NKRI diselenggarakan dengan jaminan otonomi

yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi

dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan

dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.161

Dalam proses pembahasan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar

berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari 5 butir, salah

satu dari kelima butir kesepakatan dasar tersebut adalah tetap mempertahankan

NKRI.162 Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5)

UUD 1945 yang menyatakan “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa NKRI merupakan Negara Persatuan.163

Prinsip negara persatuan yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie tersebut benar

adanya. Hal ini sesuai dengan Falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila sila ke-3

yang menyatakan “Persatuan Indonesia”. Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena

keragaman suku bangsa, agama dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia.

Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak

boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip persatuan

Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan.164

Prinsip persatuan ini juga disinggung dalam Rapat PAH I BP MPR ke-4, 7

Desember 1999 yang disampaikan oleh Anthonius Rahail dari Fraksi Kesatuan

Kebangsaan Indonesia (F-KKI) yang mengusulkan perlunya perubahan terhadap Pasal

160 MPR RI, Panduan dalam….,Loc.Cit. 161 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan….,Op.Cit.,hlm. 65 162 MPR RI, Panduan dalam…,Op.Cit.,hlm.25 163 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Ibid., hlm. 64 164 Ni’matul Huda, Hukum Tata…,Op.Cit., hlm. 94-95

Page 59: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

49

18 UUD 1945 dengan kembali kepada falsafah negara serta bentuk negara kesatuan

yang telah dianut oleh bangsa Indonesia. Berikut ini pandangan F-KKI yang

disampaikan oleh Anthonius Rahail:165

“Apakah kita komitmen pada persatuan (unity) atau keseragaman (uniformity)? Selama ini semboyan-semboyan ideologis berkenaan dengan hal tersebut terasa dipaksakan. Semboyan persatuan dan kesatuan dalam dirinya membawa konsekuensi otoriter dari Pemerintah Pusat. Ini jauh berbeda dengan ideologi yang diletakkan oleh para pendiri republik ini yaitu Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), sehingga Pemerintahan Daerah di masa datang adalah Pemerintahan Daerah yang bhinneka tersebut minimum memiliki otonomi sempurna di tingkat propinsi.

Pendapat F-KKI diatas bermakna bahwa semboyan bangsa Indonesia yaitu

Bhineka Tunggal Ika yang dirjemahkan sebagai unity in diversity ( persatuan dalam

keberagaman) hendaknya diimplementasikan dalam sistem pemerintahan daerah di

Indonesia. Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan (Unitary State), sedangkan

persatuan Indonesia merupakan prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas

dasar persatuan (unity), bukan kesatuan atau penyeragaman (uniformity).

Dengan demikian, makna dari prinsip kekhususan dan keragaman daerah yang

menjiwai Pasal 18A ayat (1) tersebut adalah bahwa sistem otonomi daerah di Indonesia

harus menghormati kekhususan dan keragaman suatu daerah tanpa adanya paksaan

untuk diseragamkan. Otonomi yang seluas-luasnya diberikan kepada daerah-daerah

untuk berkembang sesuai dengan potensi, budaya dan kekayaan yang dimilikinya

masing-masing. Misalnya otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda

dengan otonomi untuk daerah-daerah industri atau antara daerah pantai dan

pedalaman. Daerah yang kebudayaannya masih hidup dan melekat dalam kehidupan

masyarakat seperti Daerah Yogyakarta diberikan otonomi yang berbeda dengan

masyarakat yang sudah modern atau heterogen seperti Jakarta atau Surabaya

misalnya.

165 Mahkamah Konstitusi RI (Selanjutnya disebut MK RI 2), Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 2 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.1114-1117

Page 60: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

50

2.3. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus

dan istimewa

Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus

dan istimewa merupakan hal pokok yang diatur dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1)

UUD 1945. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip yang terkandung dalam

Pasal 18B merupakan pengakuan negara terhadap Pemerintahan Daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa { ayat (1) }, dan prinsip eksistensi dan hak-hak tradisional

masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama lain.166 Ketentuan Pasal

18B ayat (1) tersebut mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang

bersifat khsusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota atau

desa).167

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa UUD 1945 setelah perubahan

tidak menggunakan penjelasan. Oleh karena itu, Pasal 18B UUD 1945 (selain Pasal 18

dan Pasal 18A) merupakan landasan konstitusional bagi pemerintah daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa. Bagir Manan dalam uraiannya menjelaskan

bahwa makna dari “bersifat istimewa” adalah pemerintahan asli atau pemerintahan

bumiputra.168 Salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang keistimewaanya

terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Kesultanan Yogyakarta dan

Paku Alaman.169

Pembicaraan mengenai daerah khusus dan daerah istimewa sudah mulai dibahas

oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR pada Rapat PAH I BP MPR ke-

18, tanggal 22 Februari 2000, yang dipimpin oleh Harun Kamil.170 Sedangkan

Pembahasan secara khusus Bab VI mengenai pemerintahan daerah dilakukan pada

Rapat PAH I BP MPR ke-36, 29 Mei 2000, yang dipimpin oleh Jakob Tobing.171 Ali

Hardi Kiaidemak dari F-PPP menyebutkan materi-materi berkaitan dengan Bab tentang

Pemerintahan Daerah ini, yaitu sebagai berikut:172

166 Philipus M.Hadjon, Kedudukan Undang-Undang….,Op.Cit. 167 MPR RI, Panduan dalam….,Loc.Cit

168 Bagir Manan, Menyongsong…,Op.Cit.,hlm. 15 169 Ibid. 170 MK RI 2, Naskah Komprehensif…,Op.Cit.,hlm. 1134 171 Ibid.,hlm. 1165-1166 172 Ibid.

Page 61: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

51

“Daerah-daerah dibentuk dengan memandang dan mengingat hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, ini pun perlu mendapatkan catatan karena pemahaman tentang daaerah asal usul dan istimewa ini juga dalam prakteknya juga telah berkembang yang tidak seirama. Sebagai contoh Daerah Istimewa Aceh, namanya Daerah Istimewa Aceh tetapi dalam prakteknya struktur dan fungsi daerahnya sama Pemerintah Daerahnya sama dengan Provinsi yang lain. Daerah Istimewa Yogyakarta, belakangan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX meninggal dunia, ternyata tidak serta merta gubernur Kepala Daerahnya beralih ke Hamengkubuwono Ke-X sehingga mengubah perkembangan daripada Daerah Istimewa itu sendiri bahkan terakhir telah dipilih oleh DPRD. Ini semua perlu perhatian kita semua untuk tidak kita menemukan masalah-masalah di kemudian hari”. Penyebutan Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta secara

eksplisit oleh Ali Hardi dari Fraksi PPP dalam pembahasan mengenai materi muatan

yang nantinya akan menjadi Pasal 18B ayat (1) ini menandakan bahwa istilah “bersifat

istimewa” yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 memang

ditujukan kepada Daerah Istimewa yang sudah ada di Indonesia, yaitu Daerah Istimewa

Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.173 Bahkan Ali Hardi menambahkan bahwa

perlunya perhatian semua kalangan terhadap status keistimewaan yang dimiliki oleh

kedua Daerah Istimewa tersebut agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.

Pandangan dari F-PPP di atas kemudian diikuti (dikuatkan) oleh pandangan dari

Fraksi Partai Golkar (F-PG) yang disampaikan oleh Hatta Mustafa. Hatta Mustafa

menyatakan bahwa pentingnya pengakuan terhadap daerah yang bersifat istimewa

(DIY) dalam amandemen UUD 1945 karena faktor asal usul dan kesejarahannya.

Berikut ini pendapat Hatta Mustafa dari F-PG: 174

…mengenai masyarakat hukum adat dan teritorial untuk memiliki Pemerintahan sendiri berdasarkan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Pengertian kami yang istimewa dan khusus itu yang sudah ada kita akui dalam amendemen ini, bahwa misalnya marga di Sumatera Selatan di bawahnya ada dusun sekarang sudah tidak lagi marga dan dusun itu, semuanya sudah desa. Memang ini akibat dari penyeragaman di zaman yang lalu. Jadi seandainya di bawah Kecamatan ini ada hota, huria, dan sebagainya itu masih ingin diakui apa tidak, tidak ada masalah tapi itu sudah di bawah

173 Pembicaraan PAH I BP MPR diatas terjadi pada waktu Provinsi Naggroe Aceh Darussalam masih berstatus sebagai Daerah Istimewa.

174 MK RI 2, Ibid., hlm. 1183-1184

Page 62: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

52

Kecamatan. Tapi di dalam Undang-Undang Dasar ini misalnya DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu karena asal usul dan kesejarahannya, demikian juga DKI (Daerah Khusus Jakarta), ini karena kekhususannya menjadi ibukota dan ini harus diakui oleh Undang-Undang Dasar, Daerah Istimewa Aceh sekarang dengan Tap yang baru kita putuskan akan menjadi daerah khusus termasuk Irian, ini harus kita akui karena keinginan masyarakat dan keinginan kita semua, Jadi masalah masyarakat hukum adat ini mestinya bukan untuk Provinsi-nya tapi yang semula desa atau yang tadinya tetap namanya hota atau huria kalau marga di daerah Sumetera Selatan sudah tidak ada lagi, dan dusun sudah menjadi desa tadinya satu marga terdiri sepuluh dusun itu lah makanya Kepala Desa-nya disebut Pasira, Wakil-nya adalah Pembarap dan Wakil Dusun adalah Kriya-kriya dulunya tapi sekarang sudah tidak ada lagi sudah hapus. Sehingga kami mengganggap di Ayat (3) ini kita mengakui apa yang ada di tingkat Provinsi itu. Penting bagi kita untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Hatta Mustafa di

atas, yaitu bahwa daerah istimewa yang sudah ada penting untuk diakui keberadaannya

dalam UUD 1945. Bahkan secara eksplisit juga Hatta Mustafa menyebutkan nama

daerah yang dimaksud, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Keitimewaan DIY menurut

Hatta Mustafa yaitu karena asal usul dan kesejarahannya. Selain DIY, juga disebutkan

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang kekhususannya karena merupakan Ibukota

Negara harus diakui oleh Undang-Undang Dasar.

Pandangan Hatta Mustafa dari F-PG tersebut juga kemudian diamini (didukung)

oleh Fraksi Utusan Gologan (F-UG). Soedijarto dari F-UG menyatakan bahwa otonomi

khusus merupakan ciri khas Indonesia, yang ada pada saat maupun sebelum

pembentukan negara Indonesia. Sehingga harus dipertahankan keberadaannya, bukan

semua daerah yang bersifat khusus (atau juga istimewa) melainkan yang karena

kesejarahannyalah suatu daerah diktakan khusus atau istimewa. Berikut ini pendapat

Soedarjito dari F-UG:175

…berhubungan dengan masalah otonomi khusus. Kami masih tetap menganggap ada daerah di republik ini yang sejarahnya berbeda sekali dari Negara lain dalam pembentukan Negara Republik Indonesia ini. Ada yang menjadi bagian republik karena ikut Proklamasi tapi ada sebelum Proklamasi-pun identitasnya sangat menonjol. Yang seperti itu yang perlu mendapatkan kekhususan bukan semuanya itu

175 MK RI 2, Ibid., hlm.1186-1187

Page 63: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

53

Pandangan Soedijarto dari F-UG tersebut kemudian disetujui juga oleh Hendi

Tjaswadi dari F-TNI/Polri. Hendi Tjaswadi menyatakan bahwa Daerah Istimewa yang

sudah dinyatakan istimewa berdasarkan sejarah tetap harus dipertahankan dan tidak

dapat dihilangkan begitu saja. Berikut ini pendapat Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri:176

“Mengenai keistimewaan daerah kami sependapat dengan dari Fraksi Utusan Golongan. Bahwa memang tidak seluruh Daerah Istimewa. Kemudian daerah tertentu yang sudah dinyatakan istimewa berdasarkan sejarah dan dalam perjuangan itu tetap dipertahankan. Jadi saya kira tidak pas kalau misalnya yang sudah betul-betul memang ada keistimewaan terus dihilangkan begitu saja.” Pendapat Soedijarto dari F-UG dan Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri di atas adalah

untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Ali Marwan Hanan dari F-PPP

yang mengkhawatirkan adanya tuntutan pemberlakuan istimewa dari semua provinsi

yang ada di Indonesia (27 Provinsi).177 Oleh karena itu, Soedijarto dan Hendi Tjaswadi

menegaskan bahwa daerah istimewa itu harus diakui dan dilihat dari asal usul serta

kesejarahan daerah bersangkutan. Tidak semua daerah dapat dikatakan atau menyebut

dirinya istimewa jika tidak memiliki latar belakang sejarah atau asal-usul yang sudah

diakui sebelum maupun saat kemerdekaan Indonesia.

Dalam pembahasan mengenai perubahan Pasal 18, khususnya yang menyangkut

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hampir semua anggota PAH I BP

MPR sepakat bahwa keberadaan daerah khusus atau daerah istimewa tersebut harus

tetap dipertahankan. Gregorius Seto Harianto dari Fraksi Partai Demokrasi Kasih

Bangsa (F-PDKB) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:178

Soal penyebutan Daerah Istimewa saya kira ini perlu kita sepakati bersama bahwa Daerah Istimewa yang lahir karena kesejarahan tentu tidak bisa kita cabut begitu saja, hanya karena ada daerah lain yang iri hati. Jadi daerah yang ingin disebut Daerah Istimewa panjang kriterianya. Kita sepakati mari kita sebut Daerah Istimewa tapi jangan merugikan daerah yang sudah memang selama ini kita akui memang berhak untuk itu sehingga tidak akan menimbulkan problem baru. Saya kira itu beberapa catatan dari kami dan akhirnya saya pikir tadi ingin saya garis bawahi beberapa contoh-contoh yang diberikan oleh Prof.Dr. Soedijarto yang

176 MK RI 2, Ibid., hlm.1187 177 Ibid., hlm.1181-1182 178 Ibid., hlm. 1189-1190

Page 64: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

54

sangat menarik, memang Prof. Soedijarto ini yang paling suka memberikan catatan contoh Amerika, semoga saja karena bukan Amerika dan juga bukan karena ada NDA.

Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan, bahwa dalam proses pembahasan

mengenai status suatu daerah yang bersifat istimewa maupun yang bersifat khusus,

hamper tidak ada penolakan dari anggota PAH I BP MPR. Mereka sepakat untuk tetap

mempertahankan status daerah istimewa yang telah dimiliki oleh suatu daerah

(termasuk DIY) karena berdasarkan asal usul maupun kesejarahan daerah tersebut.

penegasan itu kembali dikatakan oleh Ali Masykur Musa dari Fraksi Kebangkitan

Bangsa (F-KB) selaku ketua Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, pada tanggal 31 Mei

2000. Ali Masykur Musa menyatakan bahwa “...istilah istimewa itu perlu ada bahwa itu

sejarah bangsa Republik”.179Perdebatan mengenai pengakuan bangsa terhadap

keberadaan daerah istimewa dalam rapat PAH I BP MPR akhirnya berakhir dengan

kesepakatan bulat dari semua anggota PAH I BP MPR bahwa daerah istimewa dan

khusus itu penting diakui keberadaannya dan tidak dapat dihilangkan dari NKRI.

Ali Masykur Musa dalam mengakhiri perdebatan Rapat Tim Perumus PAH I BP

MPR pada tanggal 31 Mei 2000 tersebut kemudian menyatakan:180

Oke beginilah, ini waktu ya, memang ini perlu waktu. Jadi, yang pertama hilang, yang pertama hilang hak usul-usul itu. Itu ke bawah di-del menjadi dua sub ayat cuma yang pada strip kedua itu tadi ada bicara Pak Asnawi. Negara mengakui keberadaan daerah istimewa yang bersifat otonom dan khusus. Bukan daerah istimewa kan, sebutannya istimewa dulu lalu khusus dan otonom begitu lho, bukan daerah otonom yang khusus dan istimewa, bahasanya kan begitu. Jadi, kalau pak Asnawi mengatakan negara mengakui keberadaan daerah istimewa yang bersifat khusus dan otonom, yang telah diatur dengan undang-undang, jadi dibalik saja begitu. Karena yang sebetulnya stresing dari Pak Ruki kan istimewanya. Yang poin kedua ya! Negara mengakui keberadaan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Yang bersifat istimewa dan khusus. Khusus dan istimewa, ya sudah. Yang diatur dengan undang-undang. Oke di-print.

Jadi, itulah suasana kebatinan yang muncul dalam dinamika yang terjadi selama

proses pembahasan perubahan UUD 1945 khususnya ketika perumusan Pasal 18B oleh

179 MK RI 2, Ibid., hlm. 1242 180 Ibid., hlm. 1244-1245

Page 65: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

55

Tim Perumus PAH I BP MPR. Dengan melihat dan memperhatikan suasana perdebatan

dalam perumusan Pasal 18B, maka Pasal 18B UUD 1945 tersebut merupakan landasan

konstitusional yang sangat kuat bagi kedudukan atau status keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Page 66: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

56

BAB IV

PERJALANAN HISTORIS PENGATURAN DAERAH ISTIMEWA

DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, khususnya sejarah

pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan Indonesai hingga saat ini telah

diberlakukan sekian banyak undang-undang pemerintahan daerah. Undang-undang

pemerintahan daerah tersebut kemudian silih berganti menjadi landasan yuridis

penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Beberapa Undang-Undang (ada juga

Penetapan Presiden) yang pernah berlaku sebagai landasan yuridis pemerintahan

daerah di Indonesia antara lain: 181

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan

Komite Nasional Daerah;

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Peraturan tentang penetapan aturan-

aturan pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

d. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah;

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

g. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan

h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam sub bab ini, penulis akan membahasa mengenai pengaturan daerah

istimewa dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Penulis menganggap ini

sangat penting karena juga berkaitan dengan perjalanan sejarah keistimewaan Provinsi

DIY, khususnya yang berkaitan dengan landasan yuridis dari status keistimewaan

tersebut.

181 Selain UU tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah pertama kali diatur dan disusun pada tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut PPKI menetapkan: (1) Untuk sementara RI dibagi menjadi delapan propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil); (2) Setiap Propinsi dibagi kedalam keresidenan-keresidenan; (3) Pemerintahan Swapraja dan Kota tetap dipertahankan. Lihat Bagir Manan, Perjalanan Historis…,Op.Cit.hlm. 23. Selain UU No.32 Tahun 2004, semua undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut sudah tidak berlaku.

Page 67: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

57

1. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Sesuai dengan penomorannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

(selanjutnya disebut UU No.1 Tahun 1945) merupakan undang-undang yang pertama

dibuat dan ditetapkan setelah bangsa Indonesia merdeka. UU No.1 tahun 1945 tersebut

diundangkan pada tanggal 23 Nopember 1945. UU No.1 Tahun 1945 dikeluarkan

sebagai tindak lanjut perubahan kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

menjadi badan yang menjalankan kekuasaan legislatife (DPRS).182 Perubahan tersebut

merupakan konsekuensi dari dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada

tanggal 16 Oktober 1945.183 Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945

menetapkan tugas-tugas KNIP sebagai pelaksana kekuasaan legislatif (diserahi

kekuasaan legislatif). Sehingga diperlukannya penyesuaian mengenai kedudukan

Komite Nasional Daerah sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara” seperti

halnya dengan KNIP.184

Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945 menyatakan “Komite Nasional Daerah diadakan

(ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta) di Keresidenan, di Kota berautonomi,

Kabupaten dan lain-lain daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Dari

ketentuan Pasal 1 tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai Yogyakarta

memang diperlakukan khusus. Yaitu bahwa ketentuan mengenai Komite Nasional

Daerah (KNDP) tidak diadakan (dibentuk) di daerah Yogyakarta dan Surakarta.

Pengkhususan ini menandakan bahwa pada waktu diberlakukannya UU No.1 Tahun

1945 ini pembicaraan mengenai status keistimewaan Yogyakarta memang masih

berlangsung. Hal ini dapat dilihat dari penjelsan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945 yang

menyatakan:

Tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika begitulah surat pengantar sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan

182 Bagir Manan, Perjalanan Historis….,Op.Cit.,hlm. 24 183 Joeniarto menulis bahwa Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945 tersebut ditetapkan pada tanggal

20 Oktober 1945, tetapi dalam konsideran UU No.1 Tahun 1945 disebutkan bahwa Maklumat Wakil Presiden tersebut tertanggal 16 Oktober 1945. Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cet. 5 (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 156

184 Bagir Manan, Perjanalan Historis…,Op.Cit. hlm. 24-25

Page 68: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

58

jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia menerima untuk membicarakannja rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu. Kalimat “diadakan aturan jang berlainan” dalam penjelasan Pasal 1 UU No.1

Tahun 1945 tersebut mengindikasikan bahwa memang Yogyakarta diperlakukan

berbeda (istimewa) dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, secara de facto dapat

disimpulkan bahwa pengakuan status keistimewaan Yogyakarta secara yuridis sudah

diakui sejak tahun 1945 ketika UU No.1 Tahun 1945 diberlakukan. Walaupun secara de

jure kedudukan Provinsi DIY sebagai sebuah daerah Istimewa baru terjadi pada saat UU

Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan

pada tanggal 3 Maret 1950.

2. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 (selanjutnya disebut UU No.22 Tahun

1948) ditetapkan pada tanggal 10 Juli 1948. Jika melihat dari konsiderannya, UU No.22

Tahun 1948 ini masih dibuat dan menjadikan Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun

1945 sebagai landasan yuridisnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa setelah

ditetapkannya UU No.1 Tahun 1945, belum ada undang-undang yang mengatur

mengenai keistimewaan Yogyakrta seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 1 UU

No.1 Tahun 1945. UU No.22 Tahun 1948 merupakan pengganti UU No.1 Tahun 1945.

Walaupun dalam batang tubuhnya (Pasal-Pasal) UU No.22 Tahun 1948 tidak

menyebutkan bahwa UU No.1 Tahun 1945 tersebut dicabut. Akan tetapi, ketentuan

mengenai digantinya UU No.1 Tahun 1945 oleh UU No.22 Tahun 1948 dapat dilihat

dalam ketentuan Penjelasan Umum angka I ke-1 UU No.22 Tahun 1948.

Dalam ketentuan UU No.22 Tahun 1948 seikitnya terdapat tiga pasal yang

mengatur mengenai daerah istimewa yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (5) dan ayat

(6), serta Pasal 19. Pertama-tama, penyebutan “daerah istimewa” secara eksplisit dapat

dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No.22 Tahun 1948 yang bunyi lengkapnya

sebagai berikut:

(1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa

Page 69: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

59

dengan Undang-undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerahdaerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, dapat dilihat bahwa adanya pengakuan

terhadap sebuah daerah yang bersifat istimewa yang terbentuk sebelum Republik

Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri. Daerah istimewa tersebut mempunyai hak-

hak asal usul dan dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat provinsi.

Ketentuan tersebut semakin diperjelas oleh penjelasan Pasal 1 ayat (2) UU No.22

Tahun 1948 yang menyatakan:

"daerah-daerah yang mempunyai hak-hak usul-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa" ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan "Zelfbesturende landschappen".

Jadi, Pasal 1 ayat (2) tersebut juga sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan

Pasal 18 UUD 1945 terutama Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 angka II yang

menyebutkan secara spesifik istilah “Zelfbesturende landschappen”. Bahkan UU No.22

Tahun 1948 tersebut tidak lagi menyebut istilah “Volksgemeenschappen” yang

berdasarkan penjelasan sebelumnya dimaksudkan untuk menyebut desa, nagari atau

sejenisnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa titik berat “istimewa” dalam UU

No.22 Tahun 1948 tersebut adalah daerah besar setingkat provinsi, seperti halnya

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam UU No.22 Tahun 1948 hanya

mengatur mengenai kepala daerahnya saja. Dengan kata lain bahwa letak keistimewaan

yang dimaksud dalam UU No.22 Tahun 1948 adalah terletak pada mekanisme

pengangkatan kepala daerahnya. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan (pasal-pasal)

lainnya tidak ada pengaturan mengenai daerah istimewa kecuali yang terdapat dalam

ketentuan Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 19 yang mengatur mengenai

kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa. Berikut ini bunyi ketentuan

Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6):

Page 70: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

60

5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

6) Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggauta Dewan Pemerintah Daerah.

Ketentuan mengenai letak keistimewaan suatu daerah istimewa yang terletak

pada mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya tersebut dapat juga dilihat dalam

penjelasan Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 22 tahun 1948 yang berbunyi:

Keistimewaan peraturan untuk daerah istimewa dalam Undang-undang ini hanya mengenai Kepala daerah (lihat pasal 18 ayat (5) dan (6) dimana ditentukan bahwa kepala (wakil kepala) daerah istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

Dengan demikian, walaupun UU No.22 Tahun 1948 sudah mengatur mengenai

daerah istimewa, akan tetapi yang istimewa hanyalah mengenai kepala daerahnya saja.

Akan tetapi, ketentuan ini merupakan dasar yuridis (selain Pasal 18 UUD 1945 sebagai

landasan konstitusional) pertama yang mengatur secara eksplisit mengenai daerah

istimewa.

3. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun

1957) merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang ditetapkan pada masa

berlakunya UUDS 1950. UU No.1 Tahun 1957 ditetapkan pada tanggal 18 Januari 1957

dan sekaligus mencabut UU No.22 Tahun 1948. Akan tetapi, sebelum ditetapkannya UU

No.1 Tahun 1957 ini, sebelumnya dalam masa bentuk negara Indonesia Serikat telah

dibentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta. UU No.3 Tahun 1950 tersebut ditetapkan pada tanggal 4 Maret 1950.

Pembahasan mengenai UU No.3 Tahun 1950 akan dibahas tersendiri dalam sub

bahasan berikutnya.

Nomenklatur “daerah istimewa” dalam UU No.1 Tahun 1957 ini dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

Page 71: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

61

Yang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga "Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa"

Ketentuan berikutnya yang mengatur mengenai kemungkinan perubahan status

suatu Daerah Swapraja menjadi Daerah Istimewa terdapat dalam rumusan Pasal 2 ayat

(2) UU No. 1 Tahun 1957 yang berbunyi:

Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Letak keistimewaan dari suatu daerah istimewa adalah terletak pada mekanisme

pengangkatan kepala daerahnya. Sebagaimana halnya dengan UU No.22 Tahun 1948.

Perbedaannya yaitu UU No.1 Tahun 1957 menentukan bahwa calon kepala daerah

istimewa diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan UU

No.22 Tahun 1948 langsung diangkat oleh Presiden tanpa proses pencalonan oleh

DPRD. Persamaannya yaitu baik oleh UU No.22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957,

calon kepala daerah istimewa berasal dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah

itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya. Berikut

ini bunyi ketentuan Pasal 25 UU No.1 Tahun 1957:

(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah

Istimewa tingkat II dan III. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat /memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).

Page 72: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

62

(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.

Untuk mekanisme pengisian jabatan kepala daerah Swatantra atau Kepala

Daerah Kotapraja berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 UU No.1 Tahun 1957

dilakukan melalui mekanisme pemilihan yang akan diatur oleh undang-undang.

Sedangkan untuk sementara waktu sampai dengan ditetapkannya undang-undang

tentang pemilihan kepala daerah, maka Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Hal tersebut

tentunya berbeda dengan mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah Istimewa yang

calonnya harus berasal dari keturunan penguasa daerah tersebut, dan kemudian

diangkat dan berhentikan oleh Presiden untuk Daerah Istimewa Tingkat I atau oleh

Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Istimewa Tingkat II dan III berdasarkan usulan

DPRD.

4. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (selanjutnya disebut Penpres No.6

Tahun 1959) ditetapkan pada tanggal 7 September 1959. Penpres tersebut ditetapkan

setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959

yang salah satu isinya adalah memerintahkan kembali kepada UUD 1945.

Dikarenakan Penpres No.6 Tahun 1959 dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 18

UUD 1945, maka Penpres tersebut juga mengakui keberadaan daerah istimewa. Hal

tersebut dapat dilihat dianaranya dari ketentuan Pasal 3 yang menyebutkan “Dengan

Kepala Daerah dimaksud juga Kepala Daerah Istimewa, kecuali apabila ditentukan lain”.

Sama halnya dengan UU No.22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957, letak

keistimewaan daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa yang dianut oleh Penpres

No.6 Tahun 1959 adalah pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Jika

daerah lain selain Daerah Istimewa, hanya memiliki Kepala Daerah yang proses

pengangkatannya berdasarkan calon yang diusulkan oleh DPRD atau bisa diangkat

langsung oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri diluar calon yang diusulkan oleh

DPRD (Pasal 4 Penpres No 6 Tahun 1959). Maka Daerah Istimewa memiliki Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang langsung diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden dari keturunan penguasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia

dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya. Hal tersebut dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959 yang berbunyi:

Page 73: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

63

(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Untuk Kepala Daerah Istimewa, dalam ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun

1959 tersebut tidak lagi dicalonkan oleh DPRD, melainkan ditetapkan langsung oleh

Presiden. Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1957 yang

mensyaratkan adanya pencalonan terlebih dahulu dari DPRD. Hal ini juga dipertegas

dalam Penjelasan Pasal 6 Penpres No.1 Tahun 1959 yang berbunyi “Dalam ketentuan

ini tidak dimasukkan lagi unsur pencalonan”. Dengan demikian, maka letak

keistimewaan dari daerah istimewa tersebut adalah pada Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerahnya yang langsung diangkat oleh Presiden dari keturunan penguasa di

daerah itu tanpa melalui mekanisme pencalonan oleh DPRD.

5. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 (selanjutnya disebut UU No.18 Tahun

2005) ditetapkan pada tanggal 1 September 1965. UU No.18 Tahun 1965 merupakan

undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959

atau setelah berlakunya UUD 1945 sekaligus sebagai undang-undang pemerintahan

daerah yang ditetapkan oleh kepemimpinan Orde Lama.

Berbeda dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, dalam UU No.18 Tahun 1965

adanya keinginan untuk “menghapus” daerah istimewa mulai terlihat. Pembagian daerah

ke dalam daerah “biasa” dan daerah “istimewa” tidak lagi disebutkan dalam ketentuan

UU No.18 Tahun 1965. Pembagian daerah dalam undang-undang tersebut hanya

mengenal “daerah besar” dan “daerah kecil” sebagaimana yang tercantum dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan: ”Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam

Undang-undang ini, ialah daerah besar dan daerah kecil tersebut dalam pasal 18

Undang-undang Dasar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1), Wilayah Indonesia dibagi habis (tersusun)

Page 74: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

64

kedalam tiga tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Yaitu Provinsi dan/atau Kotapraja sebagai daerah tingkat I, Kabupaten dan/atau

Kotamadya sebagai Daerah tingkat II, Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai daerah

tingkat III.

Penyebutan “Daerah Istimewa” hanya ditentukan dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a

dan ayat (2) huruf a dan huruf b Peraturan Peralihan. Dalam ketentuan tersebut, yang

dimaksud dengan “Daerah Istimewa” adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah

Istimewa Aceh. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 88 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a

dan huruf b UU No.18 Tahun 1965:

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a. "Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak

mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini.

(2) a. Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan;

b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

Dalam ketentuan Pasal 88 di atas, adanya keinginan untuk menghapus status

Daerah Istimewa dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a. Keinginan untuk

menghapus status “istimewa” juga dapat dilihat dari ketentuan Penjelasan Pasal 1 dan

Pasal 2 UU No.18 Tahun 1965 yang mengisyaratkan bahwa suatu saat status istimewa

yang melekat pada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh akan

dihapuskan:

“Karena itu, maka sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sifat keistimewaannya yang bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan sebutan Daerah Istimewa Aceh dengan keistimewaannya yang terletak dalam

Page 75: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

65

suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang urusan pemerintahan, berdasarkan pasal 88 ayat.(2), berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah…… Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud diatas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus”. Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan /diakui

dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a serta penjelasan UU No.18 Tahun 1965 tersebut adalah

bersumber dari Pasal 18 UUD 1945. Maka akan menjadi suatu penyimpangan atau

pelanggaran terhadap UUD 1945 jika status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah

Istimewa Yogyakarta dihapus begitu saja dengan suatu undang-undang atau peraturan

perundang-undangan dibawah undang-undang. Pencabutan status keistimewaan

Daerah Istimewa Yogyakarta hanya akan sah jika ketentuan “istimewa” yang terdapat

dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut dihapus atau diamandemen.

Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan

Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh. Dalam Penjelasan UU No.18

Tahun 1965 di atas disebutkan bahwa status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

terjadi karena suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang

urusan pemerintahan. Oleh karena itu, jika status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

dihapus dengan peraturan perundang-undangan seperti undang-undang, maka itu

tetaplah sah. Hal tersebut dikarenakan status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

bukan bersumber langsung dari UUD 1945. Sehingga kapanpun pemerintah dapat

mencabut status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh dengan

peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi dengan peraturan

perundang-undangan yang memberikan status keistimewaan kepada Daerah Istimewa

Aceh tersebut.

Letak keistimewaan yang dimiliki oleh Dearah Istimewa Yogyakarta berdasarkan

ketentuan Pasal 88 ayat (2) huruf b adalah terletak di Kepala Daerahnya. Ketentuan ini

sama dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya yang “mengistimewakan” mekanisme

pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa

Yogyakarta, walaupun agak terbatas. Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah

yang “istimewa” itu hanya pada masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerahnya saja. Tidak pada prosedur pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerahnya.

Page 76: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

66

Ketentuan mengenai masa jabatan Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 17

ayat (1) yang hanya 5 tahun tidak berlaku bagi Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Begitu pula halnya dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5) yang mengatur

mengenai masa jabatan Wakil Kepala Daerah yang hanya 5 tahun, tidak berlaku bagi

Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketentuan khusus yang yang mengatur masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut merupakan letak

keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, berbeda

dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya (termasuk Penetapan

Presiden No. 6 Tahun 1959), dalam UU No. 18 Tahun 1965 tersebut tidak memberikan

“keistimewaan” pada prosedur pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

yang harus diajukan oleh DPRD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat

(1) dan Pasal 21 ayat (1). Akan tetapi, karena ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25

ayat (1) tidak berlaku bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Prrovinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, maka sudah bisa dipastikan bahwa pencalonan Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya satu kali saja.

Dengan kata lain bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dibatasi sampai adanya ketentuan peraturan

perundang-undangan berikutnya yang menyatakan lain.

6. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UU No.5 Tahun 1974)

merupakan sartu-satunya undang-undang pemerintahan daerah yang ditetapkan oleh

Presiden Soeharto selama era Orde Baru. UU No.5 Tahun 1974 berlaku pada tanggal

23 Juli 1974 sampai dengan tanggal 7 Mei 1999. Berlaku selama lebih kurang 25 tahun.

Dalam UU No.5 Tahun 1974, pengaturan Daerah Istimeawa diatur dalam Pasal

91 huruf b Aturan Peralihan. Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan daerah

sebelumnya bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu

terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Pasal 91 huruf b UU No.5

Tahun 1974 berbunyi:

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah

Page 77: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

67

Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seperti mekanisme

pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Misalnya dalam hal

masa jabatan, Pasal 17 menentukan bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah lainnya hanya bisa menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat

kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Begitu pula mengenai syarat untuk

menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan

Pasal 24 UU No.5 Tahun 1974 juga tidak mengikat bagi Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti harus berpendidikan Sarjana Muda bagi

Kepala Daerah dan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat bagi Wakil Kepala

Daerah.

Dengan demikian, maka letak keistimewaan pada Daerah Istimewa Yogyakarta

berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 sama dengan ketentuan undang-undang

pemerintahan daerah sebelumnya, yaitu terletak pada mekanisme pengisian jabatan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Termasuk cara pengangkatannya yang

tidak memerlukan pencalonan dan dipilih oleh dan dari DPRD terlebih dahulu.

7. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Setelah reformasi bergulir pada tahun 1998, banyak tuntutan untuk diberlakukan

otonomi yang seluas-luasnya. Oleh karena itu sebagai bentuk implementasi dari

tuntutan-tuntutan itu akhirnya pada tanggal 7 Mei 1999 ditetapkanlah Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No.22

Tahun 1999). UU No.22 Tahun 1999 tersebut dibentuk untuk mengganti UU No.5 Tahun

1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Desa.

UU No.22 Tahun 1999 tersebut lahir setelah meninggalnya pemimpin Daerah

Istimewa Yogyakarta generasi pertama, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri

Paduka Paku Alam VIII. Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam UU No.22 Tahun

1999 dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 122 yang berbunyi:

Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5

Page 78: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

68

Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa UU No.22 Tahun 1999 tetap

mengakui eksistenasi dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh.

Dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahannya tetap berdasarkan UU

No.22 Tahun 1999. Lalu bagaimanakah dengan isi dari keistimewaan kedua daerah

istimewa itu sendiri ? Isi dari keistimewaan kedua daerah tersebut dijelaskan dalam

Penjelasan Pasal 22 yang berbunyi:

Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaan-nya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini

Jika dilihat dari sudut pandang ilmu tehnik perundang-undangan, seharusnya

penjelasan Pasal 22 tersebut dirumuskan dalam bentuk norma yang diletakkan dalam

sebuah atau beberapa Pasal dalam batang tubuh dari UU No.22 Tahun 1999 itu sendiri.

Terutama dalam ketentuan yang menyatakan “pengangkatan Gubernur dengan

mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur

dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat

sesuai dengan undang-undang ini” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 122 di atas.

Ketentuan tersebut merupakan bentuk norma yang harus diletakkan dalam rumusan

pasal atau ayat tersendiri setelah rumusan Pasal 34 tentang ketentuan mengenai calon

kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bukan meletakkannya dalam bagian penjelasan

karena penjelasan suatu peraturan perundang-undangan seharusnya tidak merumuskan

norma.

Selain itu, penulis berpendapat bahwa UU No.22 Tahun 1999 tersebut

memberikan keistimewaan yang “setengah hati” kepada Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal itu dapat dilihat dari 3 hal yaitu, pertama; Pasal 122 tersebut dengan tegas

Page 79: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

69

menggariskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah istimewa tetap didasarkan

pada undang-undang tersebut. Artinya bahwa isi keistimewaannya hanyalah pada

mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya saja. Dengan demikian, tidak ada yang

membedakannya dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya.

Kedua, dengan diletakkannya rumusan mengenai isi dari keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta (termasuk Daerah Istimewa Aceh) didalam ketentuan penjelasan

adalah suatu hal yang bisa menimbulkan permasalahan baru, yaitu terkait dengan

keberlakuan atau daya mengikat dari penjelasan undang-undang itu sendiri dapat

dipersoalkan dan diperdebatkan. Seharusnya rumusan tersebut diletakkan dalam Pasal

atau Ayat tersendiri dalam batang tubuh UU No.22 Tahun 1999 tersebut. Sehingga tidak

ada lagi yang memepersoalkan mengenai daya mengikat dari rumusan tersebut.

Ketiga yaitu berkaitan dengan penggunaan rumusan ketentuan “dengan

mempertimbangkan calon dari keturunan…”. Rumusan tersebut merupakan suatu

rumusan yang sangat bebas. Apalagi dijumbuhi dengan rumusan ” yang memenuhi

syarat sesuai dengan undang-undang ini”. Yang dimaksud dengan rumusan yang

sangat bebas yaitu dapat dilihat dari arti istilah “mempertimbangkan” itu sendiri. Dengan

menggunakan istilah “mempertimbangkan”, itu bermakna bahwa masih dapat

memunculkan kemungkinan-kemungkinan lain selain yang dipertimbangkan itu.

Misalnya, setelah DPRD menimbang bahwa calon dari keturunan Sultan Yogya dan dari

keturunan Paku Alam tidak memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah dan calon

Wakil Kepala Daerah seperti yang disyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 itu, maka

DPRD dapat memilih calon lainnya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pengakuan eksistensi Yogyakarta

sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut

adalah “setengah hati” bahkan mengalami kemunduran. Hal ini berbeda dengan

ketentuan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya yang langsung

mengangkat dan menetapkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa harus

terikat dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah lainnya.

8. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Setelah terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang dilakukan dalam empat tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan tahun

Page 80: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

70

2002, telah banyak perubahan-perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,

termasuk berubahnya sistem pemerintahan daerah yang diatur dalam Pasal 18 UUD

1945. Sebenarnya, perubahan sistem pemerintahan daerah yang diatur dalam Pasal 18

UUD 1945 tersebut telah terjadi pada tahun 2000. Akan tetapi, penyesuaian undang-

undang pemerintahan daerah dengan Pasal 18 UUD 1945 tersebut baru dilakukan pada

tahun 2004. Yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

(selanjutnya disebut UU No.32 tahun 2004) sebagai pengganti UU No.22 Tahun 1999

pada tanggal 15 Oktober 2004. Akan tetapi, dalam perjalanannya UU No.32 Tahun 2004

ini telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 2005,

melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005. Sedangkan perubahan kedua pada tahun

2008 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005.

Pengaturan megenai Daerah Istimewa dalam UU No.32 Tahun 2004 tentunya

harus sesuai dengan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 seperti yang telah

dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Rumusan “istimewa” langsung dapat

dijumpai dalam konsideran menimbang yang merupakan landasan filosofis, sosiologis,

yuridis bahkan sebagai landasan politik dalam pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan. UU No.32 Tahun 2004 dibentuk dengan memperhatikan lima

prinsip, yaitu (i) prinsip demokrasi, (ii) prinsip pemerataan, (iii) prinsip keadilan, (iv)

prinsip keistimewaan suatu daerah, dan (v) prinsip kekhususan suatu daerah dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari konsideran

menimbang huruf a yang menyatakan:

bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa pengaturan sistem

otonomi daerah dalam UU No.32 Tahun 2004 haruslah memperhatikan kelima prinsip

yang disebutkan di atas. Termasuk prinsip keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.

Oleh karena itu, tentunya diharapkan pengaturan mengenai daerah Istimewa di dalam

UU No.32 Tahun 2004 tersebut lebih jelas daripada undang-undang pemerintahan

Page 81: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

71

daerah sebelumnya. Penegasan tersebut kemudian dituangkan dalam ketentuan Pasal

2 ayat (8) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang-undang”. Ketentuan tersebut sebenarnya sama dengan bunyi Pasal 18B ayat

(1) UUD 1945.

Akan tetapi, pengaturan mengenai daerah istimewa atau daerah khusus dalam

UU No.32 Tahun 2004 sangat terbatas. Hal ini mungkin karena pemerintahan daerah

istimewa atau pemerintahan daerah khusus tersebut “bersifat istimewa” dan “bersifat

khusus” sehingga pengaturannya pun bukan sepenuhnya dengan UU No.32 Tahun

2004 tersebut. Melainkan harus diatur dengan undang-undang khusus. Hal itu dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 225 yang menyatakan: “Daerah-daerah yang memiliki status

istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang- Undang ini

diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain”.

Ketentuan Pasal 25 tersebut bermakna bahwa bagi Daerah Istimewa dan Daerah

Otonomi Khusus akan diberlakukan ketentuan khusus lainnya yang diatur dalam

undang-undang lain selain ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004. Artinya bahwa

memang dikehendaki untuk dibentuknya undang-undang lain yang bersifat khusus untuk

mengatur suatu pemerintahan daerah yang memiliki status istimewa dan khusus. Hal

tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang

memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau istimewa. Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 226 ayat (1) yang berbunyi:

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.

Maksud dari ketentuan itu bahwa jika ada ketentuan yang bersifat lebih khsusus

menyangkut daerah istimewa dan daerah otonomi khusus dalam undang-undang lain,

maka ketentuan-ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004 tersebut tidak berlaku bagi

daerah istimewa dan daerah khusus. Hal ini sesuai dengan asas preferensi hukum yang

berbunyi “Lex Spesialis Derogat Legi Lex Generalis ”, bahwa peraturan (undang-

undang) yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan (undang-undang) yang

bersifat umum. Oleh karena itu, penting untuk segera ditetapkannya undang-undang

Page 82: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

72

khusus yang mengatur keistimewaan Yogyakarta, termasuk mengenai penyelenggaraan

pemerintahannya.

Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa

Yogyakarta selama ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini undang-undang keistimewaan

Yogyakarta belum ditetapkan. Sehingga berdasarkan Pasal 226 ayat (2) UU No.32

Tahun 2004, penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

tetap berdasarkan ketentuan UU No.32 Tahun 2004.

Padahal daerah lainnya sebagimana yang disebutkan pada Pasal 225 j.o Pasal

226 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut sudah diatur dalam

Undang-Undang tersendiri. DKI Jakarta diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744), kekhususan bagi

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No.62; TLN 4633). Sementara itu,

kekhususan Provinsi Papua diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135

dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1

Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843).

Di dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa

Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut harus didsarkan

pada UU No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian, isi dari keistimewaan Provinsi DIY tetap

seperti yang diatur di dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam pembahasan sebelumnya. Dengan demikian, walaupun UU No. 22 Tahun 1999

sudah tidak berlaku, akan tetapi khusus mengenai ketentuan pengisian jabatan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY tetap mengacu pada UU No. 22 Tahun

1999 tersebut.

9. Pengaturan Daerah Istimewa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950

UU No.3 Tahun 1950 merupakan undang-undang tentang pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta. Pembentukan UU No.3 Tahun 1950 tidak lepas dari sejarah

ketatanegaraan Republik Indonesia. UU No.3 Tahun 1950 ditetapkan pada tanggal 3

Maret 1950. UU No.3 Tahun 1950 dibentuk pada masa berlakunya Konstitusi Sementara

Page 83: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

73

Republik Indonesia Serikat (KRIS).185 Dengan kata lain bahwa UU No.3 Tahun 1950

dibentuk ketika Indonesia masih berbentuk negara serikat (federal).186

Pada saat dibentuknya UU No.3 Tahun 1950, Republik Indonesia merupakan

sebuah negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.187 Ibukota Republik

Indonesia terletak di Kota Yogyakarta.188 UU No.3 Tahun 1950 tersebut masih berlaku

hingga saat ini. Sebelum melakukan pembahasan mengenai pengaturan daerah

istimewa dalam UU No.3 Tahun 1950 tersebut maka penting untuk dikaji mengenai

keabsahan dari UU No.3 Tahun 1950 itu senditi. Hal ini dikarenakan UU No.3 Tahun

1950 tersebut ditetapkan pada saat Indonesia masih berbentuk negara federal dengan

Konsitusi RIS sebagai Undang-Undang Dasarnya.

9.1. Keabsahan UU No.3 Tahun 1950

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UU No.3 Tahun 1950 pada masa

berlakunya Konsitusi RIS, yaitu ketika Republik Indonesia sebagai sebuah negara

bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat. Dalam sebuah negara federal

sebagaimana yang dinyatakan oleh Soehino terdapat 2 (dua) macam undang-undang

185 Konstitusi RIS berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 186 Berdasarkan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang dilangsungkan di S’Gravenhage, Den Haag Belanda

pada tanggal 2 Nopember 1949. Dari KMB tersebut, dihasilkanlah sebuah Negara Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 dengan Konstitusi RIS sebagai Undang-Undang Dasarnya. Negara Indonesia Serikat ini terdiri dari beberapa negara bagian seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 Konstitusi RIS. Salah satu negara bagian dari Negara Indonesia Serikat tersebut adalah Republik Indonesia. Bentuk Negara Indonesia Serikat sendiri hanya mampu bertahan kurang dari setahun. Pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatangani Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI yang pada pokoknya disetujui untuk segera kembali kepada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1950 disahkanlah Undang-Undang Federal No.7 Tahu 1950 tentang Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara RI. Pada tanggal 17 Agustus 1950 berlakulah kembali bentuk susunan negara kesatuan dengan UUD Sementara Tahun 1950 sebagai Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, maka bentuk susunan Negara Indonesia Serikat hanya berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan….,Op.Cit. hlm. 59-73

187 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS disebutkan bahwa wilayah Republik Indonesia Serikat terdiri dari beberapa daerah negara bagian yaitu: Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan. Selain itu ada juga satuan-satuan kenegaraan yang berdiri tegak yaitu Djawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur.

Wilayah atau daerah yang merupakan wilayah dari Negara Bagian Republik Indonesia sendiri adalah seperti yang terdapat dalam Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, yaitu bahwa Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia.

188 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan…,Loc.Cit.

Page 84: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

74

dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-

masing Negara Bagian.189 Selain itu, dalam negara berbentuk federal juga terapat 2

(dua) jenis undang-undang, yaitu undang-undang federal dan undang-undang negara

bagian. UUD 1945 (yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945)

merupakan Undang-Undang Dasar yang berlaku di Republik Indonesia. Sedangkan UU

No.3 Tahun 1950 merupakan undang-undang negara bagian Republik Indonesia.

UU No.3 Tahun 1950 ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950 oleh

Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia dan A.G.

Pringodigdo sebagai Menteri Dalam Negeri, serta Soesanto Tirtoprodjo sebagai

Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian, karena UU No.3 Tahun 1950 tersebut merupakan sebuah

undang-undang negara bagian, maka hanya berlaku mengikat bagi Negara Republik

Indonesia saja. Akan tetapi hingga saat ini UU No.3 Tahun 1950 tetap berlaku sah

sebagai sebuah undang-undang yang berlaku mengikat di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan dasar hukum

keabsahan dari UU No.3 Tahun 1950 tersebut.

Berdasarkan Pasal 5 juncto Pasal 20 ayat (1) dan Pasal IV Aturan Peralihan UUD

1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Berarti UU No.3 Tahun 1950 telah memenuhi persyaratan konstitusional, terkait dengan

pejabat yang berwenang membentuknya. Jika melihat pada konsideran menimbangnya,

UU No.3 Tahun 1950 dibentuk dengan tetap berdasarkan pada UU No.22 Tahun 1948.

Pasal 192 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Peralihan Konstitusi RIS menyatakan bahwa:

Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha jang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak ditjabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Konstitusi ini. UU No.22 Tahun 1948 ditetapkan pada masa berlakunya UUD 1945 sebagai

Undang-Undang Dasar bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(sebelum Komperensi Meja Bundar). Maka berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 192

ayat (1) Konstitusi RIS di atas, UU No.22 Tahun 1948 dapat berfungsi sebagai:

189 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit. hlm. 227

Page 85: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

75

1. undang-undang federal yang berlaku bagi seluruh wilayah negara bagian dalam

Negara Republik Indonesia Serikat, termasuk Republik Indonesia;

2. undang-undang negara bagian Republik Indonesia, karena UU No.22 Tahun 1948

tersebut dibuat berdasarkan UUD 1945. Sedangkan UUD 1945 masih berlaku

sebagai Undang-Undang Dasar bagi negara bagian Republik Indonesia.

Oleh karena itu, pembentukan UU No.3 Tahun 1950 telah memenuhi kriteria

keabsahan suatu peraturan perundang-undangan, baik secara legalitas maupun

konstitusional. Lalu bagaimanakah keabsahan UU No.3 Tahun 1950 tersebut setelah

bentuk susunan negara Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan pada

tanggal 17 Agustus 1950 ? Selain itu, Konstitusi RIS juga tidak berlaku dan diganti

dengan UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950).

Sebelum kembali ke bentuk negara kesatuan sebagai akibat dari banyaknya

tuntutan rakyat yang menghendaki untuk kembali dalam bentuk negara kesatuan,190

diadakan permusyawaratan yang diadakan antar Pemerintah Negara Republik

Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia.191 Dalam

permusyawaratan itu Pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat bertindak pula

mewakili Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera

Timur.192

Dalam permusyawaratan itu dicapai suatu hasil keputusan bersama pada tanggal

19 Mei 1950, yaitu Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan

Pemerintah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Piagam Persetujuan 19 Mei 1950).

Selain menghendaki untuk segera kembali kepada bentuk negara kesatuan, dalam

Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut disetujui untuk dibentuknya Undang-Undang

Dasar Sementara dengan melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan yang

esensial dari Konstitusi RIS. Kemudian salah satu isi dari piagam tersebut membahas

megenai status dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang yang sudah ada

sebelumnya. Berikut ini bunyi Diktum II butir A Nomor 4 Piagam Persetujuan 19 Mei

1950:

Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, maka undang-undang yang ada tetap berlaku, akan tetapi di mana mungkin diusahakan upaya perundang-undangan Republik Indonesia berlaku.

190 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan…,Op.Cit. hlm. 70 191 Ibid. 192 Ibid.

Page 86: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

76

Dari ketentuan di atas, maka undang-undang Republik Indonesia (termasuk UU

No. 3 Tahun 1950) tetap berlaku dan diupayakan agar perundang-undangan Republik

Indonesia berlaku. Maksudnya bahwa segala Perundang-undangan yang ada dan/atau

yang telah dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia akan diupayakan tetap berlaku

mengikat secara nasional kelak ketika bentuk negara sudah kembali kedalam bentuk

negara kesatuan. Pada tanggal 14 Agustus 1950, terjadi perubahan terhadap UU No.3

Tahun 1950, yaitu melalui UU No. 19 Tahun 1950.

Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut merupakan kesepakatan dasar yang

mengikat untuk dijadikan rujukan atau dasar pembentukan negara kesatuan dan

perumusan UUD Sementara 1950. Hal itu dapat dilihat dari Konsideran Mengingat dari

UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara

Republik Indonesia yang mengacu pada Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut.

Sesuai dengan kesepakatan pada Piagam Persetujuan 19 Mei 1950, maka Pasal

142 UUD Sementara 1950 berbunyi:

Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUD Sementara 1950 diatas, maka undang-

undang Republik Indonesia (termasuk UU No.3 Tahun 1950) tetap berlaku dan bukan

hanya berlaku bagi bekas negara bagian Republik Indonesia, tetapi juga berlaku

mengikat secara nasional. Dengan demikian, maka UU No.3 Tahun 1950 j.o UU No. 19

Tahun 1950 tetap berlaku sah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca

kembalinya bentuk susunan negara dari bentuk negara serikat kedalam bentuk negara

kesatuan.

Kemudian pada tahun 1955, kembali terjadi perubahan kedua terhadap UU No. 3

Tahun 1950, yaitu berdasarkan UU No.9 Tahun 1955 yang disahkan pada tanggal 30

Juni 1955. UU No. 9 Tahun 1955 tersebut hanyalah mengubah ketentuan Pasal 3 ayat

(2) UU No.3 jo UU No. 19 Tahun 1950. Dengan dilakukannya perubahan terhadap UU

No. 3 Tahun 1950 oleh Presiden Soekarno tersebut maka secara faktual UU No.3 Tahun

1950 itu diakui keberadaannya.

Page 87: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

77

Setelah Konstituante gagal membentuk Undang-Undang Dasar sebagai

pengganti UUD Sementara Tahun 1950, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden

Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden. Salah satu Diktum dari Dekrit Presiden

tersebut adalah menetapkan UUD 1945 berlaku kembali di Seluruh wilayah tumpah

darah Indonesia dan menetapkan tidak berlakunya UUD Sementara. Lalu

bagaimanakah “nasib” UU No. 3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU

No.9 Tahun 1955 tersebut?

Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa UU No.3 Tahun 1950 tersebut

dibentuk berdasarkan UUD 1945. Kemudian secara faktual sudah diakui keabsahannya

melalui perubahan yang dilakukan pada tahun 1955. Oleh karena itu, berdasarkan

ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala Badan

Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang

baru menurut Undang-undang Dasar ini ”, tetaplah sah dan berlaku mengikat.

Begitu pula halnya setelah terjadinya Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999

hingga 2002. Berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 hasil

perubahan menyatakan bahwa “ Segala peraturan prundang-undangan yang ada masih

tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”,

maka UU No.3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.9 Tahun 1955

tetap sah dan berlaku mengikat.

Dengan demikian, maka UU No.3 Tahun 1950 memiliki landasan hukum yang

kuat untuk tetap berlaku. Selain karena belum adanya undang-undang yang mencabut

undang-undang tersebut secara tegas, Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 juga

memberikan landasan konstitusional yang kuat bagi keberlakuan dan keabsahan UU

No.3 Tahun 1950 tersebut.

Keberadaan UU No. 3 Tahun 1950 juga diakui oleh UU No. 13 Tahun 2012

tentang Keistimewaan DIY. Dalam Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2012 menyebutkan “Pada

saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827) tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang ini”.

Page 88: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

78

9.2. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam UU No.3 Tahun 1950

Sesuai dengan namanya, UU No.3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta, merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Daerah Istimewa

Yogyakarta. Setiap daerah yang hendak dibentuk harus dibentuk atau ditetapkan

dengan undang-undang. Sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1)

UU N0. 32 Tahun 2004.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa UU No.1 Tahun 1945

merupakan undang-undang yang mengatur mengenai daerah (walaupun hanya terkait

dengan pembentukan Komite Nasional Daerah). Di dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945

tersebut dinyatakan bahwa “Komite Nasional Daerah diadakan (ketjuali di Daerah

Surakarta dan Jogjakarta) di Keresidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain

daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Dengan adanya penyebutan

“daerah Jogjakarta” maka secara de facto sesungguhnya Daerah Istimewa Yogyakarta

telah diakui sejak tahu 1945. Walaupun secara hukum (de jure), Daerah Istimewa

Yogyakarta terbentuk pada tahun 1950 melalui UU No.3 Tahun 1950.

UU No. 3 Tahun 1950 menegaskan kedudukan Yogyakarta sebagai sebuah

daerah istimewa. Hal itu apat dilihat dari nama unang-undang itu sendiri, yaitu Undang-

Undang tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 1 UU No. 3 Tahun

1950 berbunyi:

(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.

(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi.

Pasal 1 ayat (1) menegaskan wilayah yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa

Yogyakarta, yaitu meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman.

Sedangkan pada ayat (2) menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta itu setingkat

dengan provinsi. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1

ayat (2) UU No.22 Tahun 1948 yang memungkinkan dibentuknya daerah istimewa

setingkat propinsi. Daerah istimewa tersebut juga bersifat otonom sebaimana daerah

lainnya.

Penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tetaplah

diselenggarakan berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. UU No. 3 Tahun

1950 lebih pada fungsinya sebagai dasar hukum pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta saja. Jadi, UU No. 3 Tahun 1950 tersebut tidak menjabarkan hal-hal yang

Page 89: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

79

bersifat istimewa seperti mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta. Isi keistimewaan itu justru terdapat pada undang-undang

pemerintahan daerah. Berbeda dengan Daerah Istimewa Aceh (sekarang menjadi

daerah otonomi khusus) yang penyelenggaraan pemerintahannya sudah diatur dengan

undang-undang tersendiri, seperti UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian terakhir diganti dengan UU No.

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap menyelenggarakan

pemerintahannya berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. Sebagai contoh

misalnya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 yang

menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta tetap berdasarkan ketentuan UU No.32 Tahun 2004. Berikut ini bunyi

ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004:

Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka muncul pertanyaan, apakah urusan-

urusan rumah tangga yang diberikan oleh UU No.3 Tahun 1950 kepada Daerah

Istimewa Yogyakarta dengan mengacu kepada Pasal 23 ayat (2) UU No.22 Tahun 1948

tersebut menjadi batal atau gugur dengan adanya ketentuan Pasal 226 UU No. 32

Tahun 2004 tersebut? Pasal 23 ayat (2) UU No.22 Tahun 1948 menyatakan “ Hal-hal

yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam Undang-

undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah ”. Ketentuan tersebut bermakna bahwa salah

satu materi muatan undang-undang tentang pembentukan daerah yang akan dibentuk

adalah mengenai urusan rumah tangga yang akan menjadi urusan atau kewenangan

pemerintahan daerah. Walaupun UU No.22 Tahun 1948 tersebut sudah tidak berlaku.

Akan tetapi UU No. 3 Tahun 1950 tetap berlaku hingga saat ini.

Dalam UU No. 3 Tahun 1950, urusan rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta

ditetapkan sebanyak 13 urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban Daerah

Istimewa Yogyakarta. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1950:

Page 90: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

80

(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:193 I. Urusan Umum. II. Urusan Pemerintahan Umum. III. Urusan agraria. IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung. V. Urusan pertanian dan perikanan.

VI. Urusan kehewanan. VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan

koperasi. VIII. Urusan perburuhan dan sosial.

IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja. X. Urusan penerangan.

XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan XII. Urusan kesehatan.

XIII. Urusan perusahaan.

Penjelasan mengenai urusan rumah tangga dan kewajiban Daerah Istimewa

Yogyakarta tersebut dijelaskan dalam lampiran UU No.3 tahun 1950. Pada penjelasan

mengenai keabsahan UU No. 3 Tahun 1950 di atas sudah dijelaskan bahwa tidak ada

undang-undang yang mencabut UU No.3 Tahun 1950 tersebut. Perubahan hanyalah

dilakukan terhadap ketentuan Pasal 3 ayat (2) berdasarkan UU No. 9 Tahun 1955. Pasal

I Aturan Peralihan UUD 1945 juga menjadi landasan konstitusional bagi keberlakuan UU

No. 3 Tahun 1950.

Dalam ketentuan Pasal 238 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa

“Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan

tetap berlaku”. Dari ketentuan tersebut maka dapat dimunculkan 2 penafsiran, yaitu:

pertama, bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan UU

No.32 Tahun 2004 dinyatakan tetap berlaku. Kedua bahwa hanyalah peraturan

perundang-undangan yang bertentangan dengan UU No.32 Tahun 2004 itulah yang

dinyatakan tidak berlaku, a contrario bahwa peraturan perundang-undangan yang

bertentangan dinyatakan tidak berlaku.

193 Bandingkan dengan ketentuan UU No. 32 tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Page 91: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

81

Pertanyaan hukum yang muncul adalah: (i) apakah UU No.3 Tahun 1950

termasuk jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal

238 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004?, (ii) apakah UU No.3 Tahun 1950 bertentangan

dengan UU No.32 Tahun 2004?, (iii) Jika memang UU No.3 Tahun 1950 itu termasuk

jenis peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU No.32 Tahun 2004,

apakah UU No.3 Tahun 1950 tersebut kemudian batal demi hukum?

Dari tiga pertanyaan hukum di atas, pertanyaan hukum yang paling penting untuk

dibahas adalah pertanyaan yang ketiga. Karena pada pertanyaan hukum pertama dan

kedua mungkin masih dapat diberdebatkan.194 Anggap saja bahwa UU No.3 Tahun 1950

tersebut merupakan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 238 ayat (1)195 dan UU No. 3 Tahun 1950 tersebut bertentangan dengan

UU No. 32 Tahun 2004. Lalu apakah kemudian UU No.3 Tahun 1950 tersebut batal

demi hukum? Penulis memilih pertanyaan dengan istilah “batal demi hukum”, hal ini

karena Pasal 238 ayat (1) UU No.32 tahun 2004 menyebutkan bahwa jika ada peraturan

perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut, maka

peraturan perundang-undangan tersebut menjadi tidak berlaku atau dengan kata lain

menjadi batal demi hukum.

Sukardi menyatakan bahwa di dalam sistem hukum Indonesia tidak dikenal

adanya putusan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat batal demi

hukum ( nul and void atau van rechtswege nieteg ).196 Berikut ini penjelasan mengenai

pembatalan peraturan perundang-undangan di Indonesia:197

Di dalam sistem hukum Indonesia tidak dikenal adanya putusan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat batal demi hukum ( nul and void

194 Perdebatan yang dimaksud oleh penulis yaitu, pertama berkaitan dengan penggunaan istilah “perturan perundang-undangan” dalam ketentuan Pasal 238 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tersebut. Apakah istilah “peraturan perundang-undangan” yang dimaksud hanyalah ditujukan pada jenis peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden,peraturan daerah dan sebagainya ataukah juga termasuk undang-undang. Kedua berkaitan dengan apakah ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 1950 itu bertentangan dan/atau dapat dipertentangkan dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2004, khususnya Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.

195 Dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa pertauran perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari ketentuan tersebut, undang-undang juga dapat dimasukkan kedalam jenis peraturan perundang-undangan. Apalagi ditambah dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang menentukan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut, undang-undang termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan.

196 Sukardi, Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Ailrangga, Surabaya, 2009, hlm. xiii. Lihat juga Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Perailan Aministrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi 2, ( Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 60

197 Sukardi, Ibid.

Page 92: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

82

atau van rechtswege nieteg ), melainkan yang dipakai adalah sifat dapat dibatalkan (Vernietigbaar). Adapun asas yang digunakan adalah asas praduga keabsahan (praduga rechtmatigheid) dimana di dalam keputusan dikenal dengan asas praesumptio iustae causa yang maknanya adalah bahwa setiap tindakan pemerintahan adalah sah sepanjang belum dibuktikan sebaliknya. Dengan penggunaan asas praesumptio iustae causa, maka akibat hukum yang terjadi adalah ex nunc atau sejak adanya pembatalan. Dalam praktek (berdasarkan hasil penelitian) hal ini belum diatur di dalam undang-undang. Penulis sepakat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi di atas.

Penulis berpendapat bahwa untuk kepastian hukum, dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan sebaiknya tidak (bahkan tidak boleh) menggunakan rumusan yang

menggeneralisir suatu peraturan perundang-undangan lain menjadi tidak berlaku jika

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan a quo. Seperti yang terdapat

dalam rumusan Pasal 238 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Pasal 238 ayat (1)

tersebut menggeneralisir semua peraturan perundang-undangan yang dianggap

bertentangan dengan undang-undang a quo menjadi tidak berlaku. Hal ini akan

membawa dampak kekacauan dan kesimpangsiuran hukum (ketidak pastian hukum).

Akan muncul perbedaan penafsiran apakah suatu peraturan perundang-undangan itu

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan a quo atau tidak. Sehingga hal ini

berpotensi akan menimbulkan konflik aturan hukum.

Oleh karena suatu peraturan perundang-undangan tidak bersifat batal demi

hukum (Van Rechtswege Nieteg), maka walaupun UU No. 3 Tahun 1950 bertentangan

dengan UU No. 32 Tahun 2004, undang-undang tersebut tetaplah berlaku sah dan

mengikat sampai dengan adanya pembatalan. Penulis berpendapat bahwa pembatalan

atau batalnya suatu undang-undang hanya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu

pertama, undang-undang itu sendiri menentukan batas keberlakuannya. Misalnya hanya

berlaku sampai tanggal berapa bulan apa dan tahun berapa. Kedua, telah dibentuknya

undang-undang baru yang mencabut suatu undang-undang tertentu secara tegas.

Misalnya UU No.22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No.32 Tahun 2004

Pasal 239. Ketiga, dengan melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU

No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah

Istimewa Yogyakarta harus didasarkan dengan UU No. 32 tahun 2004 telah

menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait mengenai urusan-urusan rumah

tangga yang menjadi urusan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di satu sisi UU No.3

Tahun 1950 telah mengatur urusan rumah tangga bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dan

Page 93: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

83

UU tersebut belum dicabut maupun diubah (khususnya Pasal 4). Di sisi lain Pasal 226

tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa

Yogyakarta harus berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004.

10. Pengaturan Daerah Istimewa Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012

Pada tanggal 3 September 2012, akhirnya Pemerintah Pusat mengundangkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewaan

Yogyakarta. Setelah lebih dari 60 Tahun DIY bergabung dengan NKRI, baru pada tahun

2012 Pemerintah Pusat mengesahkan Undang-Undang tentang keistimewaan DIY.

Penegsahan undang-undang keistimewaan DIY tersebut membuat seluruh elemen

bangsa menjadi tenang dan menyambut keberadaan undang-undang tersebut.

pengesahan/penetapan UU No. 13 Tahun 2012 tersebut merupakan bagian dari politik

hukum pemerintahan daerah atau khususnya pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau istimewa. Disamping karena daerah-daerah otonomi khusus atau istimewa lainnya

seperti Aceh, Papua, Papua Barat dan DKI Jakarta telah memiliki undang-undang

tersendiri, kehadiran UU No. 13 Tahun 2012 juga menegaskan status Yogyakarta

sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

UU No. 13 Tahun 2012 merupakan landasan yuridis tambahan bagi

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY, disamping undang-undangh

pemerintahan daerah. Undang-undanga pemerintahan daerah masih tetap berlaku

dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY, sepanjang UU No.

13 Tahun 2012 tidak mengatur lain. Dengan kata lain bahwa UU No. 13 Tahun 2012

merupakan lex specialis bagi undang-undang pemerintahan daerah. Hal ini juga berlaku

bagi pemerintahan daerah lainnya yang bersifat khusus atau istimewa.

Konsideran menimbang huruf b UU No. 13 Tahun 2012 menyatakan “bahwa

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah

mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan

Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan

sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam konteks ilmu negara, pengakuan

pemerintah pusat pada keberadaan DIY yang memiliki wilayah, pemerintahan dan

penduduk menandakan pengakuan secara de jure maupun de facto bahwa DIY sebelum

kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah negara yang berdaulat. Unsur-unsur negara

Page 94: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

84

yaitu adanya wilayah, pemerintahan dan rakyat, telah dipenuhi oleh DIY sebagai sebuah

negara yang berdaulat.

Pengaturan keistimewaan DIY dengan undang-undang tersendiri telah tepat

adanya, walaupun penetapannya sangat lambat. Dalam UU No. 13 Tahun 2012

disebutkan bahwa keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki

oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan

istimewa. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan Istimewa adalah wewenang

tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam

undang-undang tentang pemerintahan daerah.

Kewenangan Istimewa DIY berada di tingkat Provinsi. Dengan demikian, maka

kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi DIY tetap menjalankan pemerintahan daerah

sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah, karena keistimewaan hanya

diberikan pada tingkat Provinsi. Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup

kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana diatur dalam

undang-undang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam

UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.

Dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan atau urusan yang bersifat

istimewa dari DIY antara lain:

a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil

Gubernur;

b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;

c. kebudayaan;

d. pertanahan; dan

e. tata ruang.

Jadi, kewenangan istimewa yang dimiliki oleh DIY hanya menyangkut 5 aspek

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.

Penulis berpendapat bahwa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan,

kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan

keistimewaan utama yang dimiliki oleh Provinsi DIY. Sedangkan 4 urusan lainnya

merupakan keistimewaan tambahan sebagai ikutan dari keistimewaan utama yang

dimiliki oleh Provinsi DIY. Mengenai isi dari otonomi khusus dan istimewa dari masing-

masing daerah yang bersifat otomomi dan istimwa tersebut akan dibahas tersendiri

dalam bab berikutnya.

Page 95: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

85

BAB V

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK DAERAH ISTIMEWA

DAN DAERAH OTONOMI KHUSUS

Pembahasan mengenai karakteristik keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) tidak terlepas dari dasar hukum (undang-undang) yang mengatur

mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Dalam pembahasan sebelumnya sudah

dijelaskan mengenai dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY. Dalam pembahasan ini,

akan diambil beberapa dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY yang masih berlaku,

yaitu:

1. UU No. 3 Tahun 1950;

2. UU No. 22 Tahun 1999, khusus dalam kaitannya dengan mekanisme pengisian

jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY; dan

3. UU No. 32 Tahun 2004.

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai seberapa besar isi keistimewaan

yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, maka akan dibandingkan dengan

karakteristik kekhususan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus lainnya di Indonesia

yaitu DKI Jakarta yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007, Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006, Provinsi Papua dan Papua Barat

yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001sebagaimana yang telah diubah dengan Perpu

No. 1 Tahun 2008.

Perbandingan karakteristik Provinsi DIY dengan daerah yang memiliki otonomi

khusus tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai keberadaan Daerah

Istimewa Yogyakarta dalam kerangka atau bingkai Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Hal ini berdasarkan asumsi dari berbagai kalangan bahwasanya sistem yang

ada di Provinsi DIY saat ini telah keluar dari bingkai NKRI.

Untuk menjawab asumsi itu, penting bagi penulis untuk membandingkan

karakteristik keistimewaan Provinsi DIY dengan daerah lainnya yang memiliki status

otonomi khusus. Dengan asumsi bahwa penyelenggaraan pemerintahan derah di

daerah otonomi khusus tersebut sudah ditetapkan dengan undang-undang sehingga

dianggap berada dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu perbandingan ini dapat dijadikan

bahan masukan untuk menjelaskan mengenai sistem yang ada maupun yang akan

diterapkan di Provinsi DIY, apakah tetap berada dalam bingaki NKRI atau tidak,

sebagaimana kekhususan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus tersebut.

Page 96: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

86

Untuk itu, pembahasan ini pertama-tama akan membahas mengenai isi atau

substansi atau karakteristik keistimewaan Provinsi DIY dan bagaimana

perbandingannya dengan daerah yang memiliki status otonomi khusus terhadap

karakteristik keistimewaan Provinsi DIY tersebut. Selanjutnya, dalam pembahasan

berikutnya akan dibahas mengenai karakteristik lainnya yang dimiliki oleh daerah

otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh Provinsi DIY dan dianggap mengarah pada

bentuk federalisme. Baru kemudian akan dijelaskan mengenai penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi DIY, baik yang sekarang maupun yang akan diterapkan

berdasarkan RUU Keistimewaan Provinsi DIY.

1. Alasan Konstitusional Pemberian Status Istimewa atau Status Otonomi Khusus

Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat

berkedudukan sebagai daerah Provinsi. Keistimewaan Provinsi DIY diakui dan dihormati

keberadaannya yang didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah

perjuangan nasional.198 Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat para anggota Tim

Perumus Perubahan UUD 1945 PAH I BP MPR pada saat merumuskan perubahan

Pasal 18 UUD 1945.199 Selain itu, Penjelasan Pasal 22 UU No.22 Tahun 1999 juga

menyatakan bahwa “Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan

pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional…”. Sedangkan

keistimewaan (sekarang khusus) Aceh juga didasarkan pada perjuangan kemerdekaan

nasional sebagaimana yang dimaksud pada penejelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun

1999. Disamping itu, dalam konsideran menimbang UU No.11 Tahun 2006 juga

mengakui kesejarahan Aceh dalam perjuangan kemerdekaan dengan memiliki daya

juang yang tinggi.200

198 Yang dimaksud dengan “asal-usul kesejarahannya” yaitu bahwa sebelum kemerdekaan RI, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah negara bagian pemerintahan HindiaBelanda yang disebut dengan Zelfbesturende Landschappen atau dalam bahasa Jepang disebut dengan Kooti/koti yang kemudian melalui amanat 5 September 1945 menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat catatan kaki nomor 1.Sedangkan yang berkaitan dengan sejarah perjuangan nasional, salah satu peran Yogyakarta yaitu bahwa pada kurun waktu 6 Januari 1946 sampai dengan 27 Desember 1949 (kurang lebih 3,5 tahun) Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia. Pada waktu itu, situasi keamanan Jakarta semakin memburuk sehingga menyebabkan Pemerintah Indonesia memindahkan Ibukota untuk sementara ke Yogyakarta. Presiden dan Wakil Presiden pertama RI beserta seluruh keluarga dan staf menuju Yogyakarta dengan kereta api dan mengendalikan pemerintahan di Yogyakarta. Lihat Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit, hlm. 65

199 Lihat catatan kaki nomor 166, 168 dan seterusnya. 200 Dalam UU No. 11 Tahun 2006 konsideran menimbang huruf b serta bagian penjelasan umum, disebutkan

bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang

Page 97: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

87

Dari perdebatan yang muncul pada saat pembahasan perubahan Pasal 18 UUD

1945, Hatta Mustafa dari F-PG menyatakan bahwa DKI Jakarta mendapatkan

kekhususan karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara dan harus diakui oleh

Undang-Undang Dasar.201 Dalam Pasal 117 UU No. 22 Tahun 1999 jo Pasal 227 ayat

(1) UU No. 32 Tahun 2004 juga menegaskan kedudukan Jakarta sebagai daerah

khusus karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara. Pasal 1 angka 6 UU No. 29

Tahun 2007 juga menyatakan bahwa “ …Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang

mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena

kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pemberian status otonomi khusus terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat

disebabkan karena adanya kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dan

Provinsi lain. Hal tersebut tercermin dalam konsideran menimbang huruf h UU No. 21

Tahun 2001 yang berbunyi:

bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Selain itu, penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik dianggap

belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),

terutama bagi rakyat asli Papua. Akibat dari kesejenjangan dan pelanggaran HAM

tersebut kemudian memicu ketidakpuasan dan kekecewaan dari penduduk asli Papua

sehingga melahirkan organisasi maker yang bernama Organisasi Papua Merdeka.

Penjelasan umum UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi:

Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya

memiliki ketahanan dan daya juang tinggi . Pembentukan UU No.11 Tahun 2006 sebenarnya juga tidak terlepas dari adanya perjanjian nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Lihat Penjelan Umum UU No 11 Tahun 2006

201 Lihat catatan kaki nomor 166

Page 98: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

88

menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan. Dengan demikian, alasan pemberian status khusus atau istimewa terhadap

daerah daerah tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Daerah Istimewa

Yogyakarta istimewa karena asal usul dan kesejarahannya, Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam diberikan kekhususan karena berdasarkan sejarah perjuangan nasional dan

juga termasuk adanya perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan GAM pada

tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian DKI Jakarta memiliki kekhususan karena

kedudukannya sebagai Ibukota Negara sedangkan Provinsi Papua dan Papua Barat

diberikan status khusus karena adanya kesenjangan pembangunan serta pelanggaran

Hak Asasi Manusia.202

2. Isi Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan perbandingannya dengan isi

Kekhususan Daerah Daerah Otonomi Khusus

Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan karakteristik (isi) keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY.

Sejak undang-undang pemerintahan daerah pertama sampai dengan UU No. 22 Tahun

1999, mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta selalu memiliki keistimewaan (perbedaan) dengan daerah lainnya. Dalam

penjelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

202 Yudi Latif bahkan menulis bahwa pemberian status otonomi khusus terhadap Aceh dan Papua itu didasarkan karena ancaman disintegrasi bangsa yang cukup tinggi dari kedua daerah tersebut. Hal tersebut dipicu oleh lepasnya Provinsi Timor-Timur dari NKRI berdasarkan hasil referendum pada tahun 1999. Yudi Latif dalam Jurnal Konstitusi, Otonomi Khusus Provinsi Papua Pasca Pembatalan UU No.45 Tahun 1999, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2004), Volume 1 Nomor 2 Desember 2004, hlm. 50-51

Page 99: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

89

Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini

Berdasarkan ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme

pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY, tetap

mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, salah satu mekanisme

pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yaitu harus

mempertimbangkan calon yang berasal dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil

Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.203

Dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1974, masa jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY tidaklah dibatasi. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 91

huruf b UU No.5 Tahun 1974. Akan tetapi, setelah diberlakukannya UU No.22 Tahun

1999 sampai dengan UU No.32 Tahun 2004, ketentuan mengenai masa jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak pasti (mengambang). Hal tersebut

disebabkan karena adanya perbedaan tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY. Jika sebelumnya dalam UU No.5 Tahun 1974 jelas disebutkan

bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta

tidak terikat dengan masa jabatan sebagaimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah lainnya, maka dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 tidak

disebutkan demikian.204 Dalam UU No.22 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY diangkat dengan mempertimbangkan

keturunan dari Kesultan Yogyakarta dan keturunan Paku Alam dan harus memenuhi

syarat yang sesuai dengan undang-undang tersebut.

Dalam UU No.22 Tahun 1999, tidak dicantumkan ketentuan yang menegaskan

masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Hal itulah yang kemudian

menjadi perdebatan di DPRD Provinsi DIY ketika Sultan Hamengku Buwono X akan

berakhir masa jabatannya pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 masa Jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka

Paku Alam IX akan berakhir yang kemudian diikuti oleh perseteruan di DPRD Provinsi

203 Lihat pembahasan nomor 1.3.7. bandingkan dengan ketentuan Pasal 58 j.o Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.

204 Lihat: Pembahasan Nomor 1.3.7

Page 100: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

90

DIY. DPRD Provinsi DIY menginginkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY,

akan tetapi mayoritas rakyat menginginkan penetapan.205 Sehingga pada akhirnya pada

tahun 2003 Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan

kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2003-2008. Akan tetapi pada

tanggal 7 April 2007 Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi

menjabat gubernur setelah masa jabatannya selesai pada 2008. Janji ini diulangi

kembali pada Pisowanan Agung di depan 40 ribu rakyat Yogyakarta pada tanggal 18

April 2007. Pada Oktober 2008 jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakhir.

Kemudian Presiden memanggil Sultan untuk menjadi penanggung jawab sementara

selama 3 tahun yaitu sampai tanggal 9 Oktober 2011 atau sampai RUU Keistimewaan

Yogyakarta selesai dibahas.206 Perpanjangan masa jabatan tersebut didasarkan pada

Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 2008. Dengan demikian, maka secara factual (de

facto) masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY sejak diberlakukannya

UU No.22 Tahun 1999 adalah selama lima tahun.

Jika Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY diangkat oleh Presiden

dengan mempertimbangkan keturunan Sultan Yogyakarta dan keturunan Paku Alam,

maka Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat harus

orang asli Papua sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 butir a UU No. 21 Tahun

2001. Sedangkan untuk DKI Jakarta dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak ada

ketentuan khusus dalam hal persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernurnya.

Perbedaan lainnya antara Provinsi DIY dengan daerah otonomi khsusus dalam hal tata

cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY selama ini diangkat langsung oleh Presiden, sedangkan

Gubernur dan Wakil Gubernur daerah otonomi khusus tersebut dipilih langsung oleh

rakyat, sejak ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004.

Kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara yaitu dengan meletakkan

otonominya pada tingkat Provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam

wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif.207 Kota Jakarta merupakan satu-

satunya kota di Indonesia yang statusnya sebagai daerah provinsi. Gubernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah

205 http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/01/brk,20101201-295774,id.html. Diakses pada Tanggal 28 Februari 2011

206 Ibid 207 Lihat: Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 29 Tahun 2007

Page 101: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

91

dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Sedangkan Walikota/Bupati di dalam wilayah

Provinsi DKI Jakarta diangkat oleh Gubernur dengan pertimbangan DPRD.208

Model ini terbalik dengan model yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY pada tingkat Provinsi seperti halnya DKI

Jakarta. Akan tetapi Bupati/Walikota yang ada di Provinsi DIY dipilih secara langsung

melalui Pemilukada.209 Sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernurnya ditetapkan oleh

Presiden.210

Sementara itu, letak kekhususan Provinsi NAD bukan hanya diletakkan di tingkat

Provinsi saja melainkan juga dapat diletakkan di tingkat Kabupaten/Kota.211

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi

NAD dipilih secara langsung oleh rakyat.212 Isi kekhususan Provinsi DKI Jakarta, Aceh,

Papua dan Papua Barat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.

3. Beberapa Kekhususan Daerah Otonomi Khusus yang Mengarah Pada Bentuk

Federalisme

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2010 lalu

menyatakan bahwa hendaknya keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh

keluar dalam bingkai NKRI. Dengan kata lain bahwa bentuk negara kesatuan yang

dianut oleh Indonesia harus tercermin dalam keistimewaan Provinsi DIY maupun daerah

lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa

sebagai daerah istimewa, penyelenggaraan pemerintahan DIY belum didasarkan pada

sebuah undang-undang tersendiri seperti halnya dengan daerah-daerah yang memiliki

status otonomi khusus. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, penulis akan membahas

beberapa kekhususan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus yang penulis

anggap tidak sesuai dengan konsep negara kesatuan. Dengan pembahasan ini nantinya

akan bisa dibandingkan dengan model penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY,

208 Lihat: Pasal 10 dan Paal 19 UU No. 29 Tahun 2007 209 Pada tanggal 23 Mei 2010, tiga Kabupaten di Provinsi DIY melaksanan Pemilukada secara bersamaan,

yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman. Diakses di http://www.solopos.com/2010/channel/jateng/tingkat-golput-pilkada-di-yogyakarta-di-atas-30-22712, Diakses Pada tanggal 12 Mei 2011

210 Lihat: Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, dan Penjelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun 1999. 211 Lihat : Pasal 4 UU No.11 Tahun 2006 212 Lihat: Pasal 56 j.o Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2006

Page 102: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

92

baik yang ada saat ini maupun model yang akan diterapkan nantinya, yaitu berdasarkan

RUU Keistimewaan.

3.1. Daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat

Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21

Tahun 2001. Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21

November 2001. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian status otonomi

khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya

kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah

pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan

Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi

sebagai berikut:

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan

istilah “legislatif dan eksekutif” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Pertama, dilihat

dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan

negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga

legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan

legislatif adalah undang-undang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif

adalah lembaga pelaksana undang-undang.213 Pembagian kekuasaan negara kedalam

badan eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan

Montesquieu.214

213 Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 37- 40 214 Jhon Locke merupakan peletak dasar ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan negara. Jhon Locke

membagi kekusaan negara kedalam 3 macam kekusaan: (i) keusaan legisltif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, (iii) kekuasaan federative sebagai kekuasaan yang melakukan hubungan dengan negara lain. Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan negara kedalam 3 macam kekuasaan: (i) kekuasaan legislatif sebagai kekuaaan perundang-undangan, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan (iii) Kekuasaan judikatif sebagai kekuasaan kehakiman. Lihat: Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit. hlm. 109-117

Page 103: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

93

C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara

tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk

undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat.215 Sukardi dengan

mengutip pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi

utama (supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau

delegated legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan

dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga

lain di luar lembaga pemegang kedaulatan.216 Di Indonesia, Peraturan Daerah

merupakan salah produk hukum dari delegated legislation.217

Dari paparan di atas, yang ingin penulis tekankan adalah penggunaan istilah

“badan legislasi dan badan eksekutif”, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah

“badan legislasi dan badan eksekutif” adalah tidak lazim dalam sistem perundang-

undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga

memiliki fungsi legislasi.218 Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.

Menurut penulis, penyebutan “badan legislatif dan badan eksekutif” merupakan

bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan

daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan

istilah “badan legislatif dan badan eksekutif”. Dalam sistem otonomi daerah,219

kekuasaan yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja.220

Sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah.

Pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-

kesatuan pemerintahan (mitra) dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan

kekuasaan.

Dengan penggunaan istilah “badan legislatif dan badan eksekutif” maka memiliki

kesamaan dengan bentuk pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari

bentuk negara federal. Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu

pemerintah negara federasi dan pemerintah negara bagian.221 Oleh karena adanya dua

macam pemerintah tersebut maka pembagian kekuasaan negara juga berbeda antara

215 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan…,Op.Cit.hlm. 48 216 Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 36 217 Ibid, hlm. 44 218 Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan

pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009. 219 Berbicara mengenai sistem otonomi daerah maka tidak akan lepas dari bentuk negara kesatuan 220 Sri Winarsi, Hand Out.…,Loc.Cit 221 Soehino, Ilmu Negara..,Op.Cit. hlm 227

Page 104: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

94

negara federal dengan negara bagian. Sehingga badan pembentuk undang-undangnya

pun ada dua, yaitu badan pembentuk undang-undang di negara federal dan badan

pembentuk undang-undang di negara bagian. Produk hukum badan legislatif federal

disebut undang-undang federal sedangkan produk hukum badan legislatif negara bagian

disebut undang-undang negara bagian.

Selain itu, penggunaan istilah “DPRP” juga tidak lazim dalam sistem perundang-

undangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004

serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

atau biasa disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Penulis berpendapat bahwa penggunaan istilah DPRP tanpa ditambahi kata

“daerah provinsi” menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah “DPR RI”. Istilah

“RI” dalam DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau tingkatan badan

perwakilan tingkat pusat. Penggunaan istilah “daerah provinsi” di akhir istilah “DPR” itu

menunjukkan bahwa badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi.

Dengan tidak digunaknannya istilah “daerah provinsi” dalam istilah “DPRP” maka secara

a contrario itu berarti bahwa DPRP “bukanlah” DPRD Provinsi sebagaimana DPRD

Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan

pada sebuah negara bagian, bukan pada daerah dalam negara kesatuan.

Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan

pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur

dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat

juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP

bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.

21 Tahun 2001. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun

dalam ketentuan Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan

produk hukum yang tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang

dimaksud oleh kedua undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang

berwenangan membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur.222

222 Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: “Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur”. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD”. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan :”Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur”.

Page 105: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

95

Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di

Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan

Perdasi pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara

federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan

Perdasi sebagai peraturan pelaksananya.

Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada

bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001

disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana

Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya

sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol

kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.

3.2. Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum

bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak

bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota

kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM

pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006,

akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.

Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun

2006 tersebut merupakan suatu yang tidal lazim dalam sistem perundang-undangan

Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan

Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di

dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai

dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004.223 Tidak terdapatnya istilah “daerah

provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan

istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan

sebuah negara, bukan sebuah daerah.

Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah “DPRP” untuk menyebut

dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh “DPRA”.224 Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat

223 Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.

224 Lihat: Pasal 1 angka 10 UU No. 11 Tahun 2006

Page 106: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

96

kabupaten/kotanya, digunakan istilah “DPRK” atau Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata “daerah”.225

Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan

undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang

memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil

Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,

anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan

walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang

terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum

Daerah “KPUD”.226

Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah

sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006.

Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan

sebelumnya.

Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan

daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana

yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:

1. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,

mukim, kelurahan dan gampong.227 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum

di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan

kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah

mukim.228

2. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

DPRA.229 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau

225 Lihat: Pasal 1 angka 11 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah DPRD Kabupaten/Kota dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 27 Tahun 2009

226 Lihat: Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 32 Tahun 2004

227 Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006 228 Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Bandingkan dengan

UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang terkecil dalam pembagian wilayah suatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong/kelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepala desa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau kepala gampong sama-sama dipilih secara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais gampong yang berasal dari PNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkan dengan Pasal 202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004

229 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006

Page 107: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

97

badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah

kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi

secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.230

3. Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan DPRA.231

4. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang

akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

Gubernur.232

5. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain;

mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan

calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon

walikota dan wakil walikota di Aceh.233

6. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai

pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai

pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,

memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah

(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang

didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan

Qanun.234

7. Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah

“Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh

Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun

Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan

bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan

Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.235

Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan

kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).

230 Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2006 231 Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 232 Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 233 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006 234 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006 235 Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006.

Page 108: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

98

Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan

bentuk ancaman pidana tersendiri. 236

8. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,

badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.237 Di Aceh terdapat

institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,

Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK,238 Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga

Adat,239 Pengadilan Hak Asasi Manusia,240 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,241

dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja,

sebagai penegak Syari’at Islam.242

Masih ada beberapa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD yang tidak

ditulis oleh penulis. Akan tetapi, beberapa kekhususan tersebut di atas sudah cukup

untuk memberikan argumentasi bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Aceh

memang berbeda dengan daerah lainnya. Point nomor 2, 3 dan 4 sangat mirip dengan

apa yang dikatakan oleh Ross. K. Baker bahwa dalam aktivitas pemerintahan di

negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers)

yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional.243

Misalnya terkait dengan Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharusakan

untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur. Penulis

berpendapat bahwa ketentuan ini sudah tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan,

dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan tertinggi dalam pemerintahan baik di

tingkat pusat maupun di daerah. Lalu bagaimana jika kebijakan administratif tersebut

ditolak oleh Pemerintah Aceh? Maka tentunya secara yuridis kebijakan tersebut tidak

boleh diteruskan oleh Pemerintah. Jika kebijakan tersebut tetap diteruskan, maka secara

yuridis kebijakan tersebut cacat prosedur. Akan tetapi, secara teoritik pemerintah pusat

berwenang untuk menentukan kebijakan apa saja yang akan diterapkan di daerah tanpa

memerlukan persetujuan daerah tersebut, tentunya sesuai dengan peraturan

236 Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004 237 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006 238 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006 239 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006 240 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006 241 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006 242 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 243 Ross K. Baker dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 16

Page 109: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

99

perundang-undangan serta tanpa adanya kewajiban bagi pemerintah untuk

berkonsultasi dengan pemerintah daerah.

Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya seperti

disebutkan di atas, penulis mengutip pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa

dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat

mengatur sendiri organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan

konstitusi federalnya.244 Bandingkan dengan ketentuan yang memberikan kewenangan

kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga, badan dan/atau institusi yang

berbeda dengan ketentuan yang diterapkan pada daerah lainnya, misalnya berdasarkan

PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah

badan atau institusi di daerah. Begitu juga dengan diberikannya kewenangan untuk

membentuk Partai Politik Lokal di Aceh. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan

konsep negara kesatuan. Dengan demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan di

Daerah Otonomi Khusus NAD menyerupai konsep negara federal.

4. Karakteristik Keistimewaan Provinsi DIY dalam Rancangan Undang-Undang

Keistimewaan Provinsi DIY

Sampai saat ini telah ada beberapa draft Rancangan Undang-Undang (RUU)

tentang Keistimewaan Provinsi DIY (Selanjutnya disebut RUUK).245 Dalam pembahasan

ini, penulis hanya akan membahasa draft RUUK yang diusulkan oleh Kementerian

Dalam Negeri kepada DPR RI pada tanggal 15 Desember 2010. Sampai dengan

selesainya penulisan penelitian ini, draft RUUK tersebut masih dibahas di DPR RI.

Di dalam RUUK tersebut disebutkan alasan pemberian status keistimewaan

kepada Provinsi DIY yaitu bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten

Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan

memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.246 Penulis berpendapat bahwa alasan

tersebut sebenarnya sama dengan alasan pemberian status keistimewaan yang

244 R. Kranenburg, Ilmu Negara…,Loc.Cit. 245 Dalam catatan penulis, beberapa draft RUUK tersebut yaitu: RUUK dari DPRD Provinsi DIY pada tahun

2001, draft RUUK dari DPD, draft RUUK dari Kagama UGM, draft RUUK dari Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM dan terakhir adalah draft RUUK yang diusulkan oleh Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri) pada tahun 2010.

246 Lihat: Konsideran menimbang huruf b RUUK

Page 110: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

100

terdapat pada undang-undang pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam pembahasan nomor 2.1.1. di atas. Akan tetapi, jika diteliti secara cermat, kalimat

yang menyatakan bahwa “Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten

Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945” merupakan bentuk

penegasan Pemerintah (negara) bahwa memang benar adanya Kesultanan Yogyakarta

dan Kadipaten Paku Alaman tersebut merupakan sebuah negara yang berdaulat

sebelum terbentuknya NKRI. Penulis katakan sebagai sebuah negara yang berdaulat

adalah karena dalam rumusan tersebut diakui bahwa Kesultanan Yogyakarta dan

Kadipaten Paku Alaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan dan penduduk.

Soehino menyatakan bahwa unsur-unsur (syarat-syarat adanya) negara itu yaitu

(i) ada daerahnya yang tertentu, (ii) ada rakyatnya, (iii) ada pemerintahnya yang

berdaulat.247 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa sebenarnya rumusan

konsideran menimbang huruf b RUUK tersebut berbunyi:

bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman merupakan sebuah negara yang berdaulat sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Akan tetapi, rasanya tidak mungkin untuk memasukkan rumusan “negara” dalam

konsideran menimbang tersebut, mengingat bahwa bentuk negara Indonesia adalah

berbentuk kesatuan. Dalam sistem negara kesatuan, tidak mungkin adanya negara

dalam negara. Walaupun sebenarnya rumusan tersebut sudah dapat difahami sebagai

unsur-unsur negara. Akan tetapi, diperhalus bahasanya agar tidak terkesan bahwa ada

negara dalam negara. Dengan penggunaan istilah “negara”maka hal itu juga akan

bertentanan dengan teori terbentuknya negara kesatuan. Akan tetapi fakta sejarah

tersebut harus diakui, bahwa pengintegrasian Yogyakarta kedalam NKRI itu sesuai

dengan teori terbentuknya negara federal.

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY dalam RUUK

tersebut. Penulis akan mengemukakan beberapa keistimewaan dalam RUUK tersebut

yang kemudian penulis bandingkan dengan kekhususan yang dimiliki oleh daerah

otonomi khusus sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan nomor 2.2.1 dan

247 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 7

Page 111: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

101

pembahasan nomor 2.2.2 di atas. Paling tidak penulis mendapatkan ada 6 (enam)

bentuk keistimewaan yang akan dimiliki oleh Provinsi DIY apabila RUUK tersebut

diberlakukan. Keenam jenis keistimewaan tersebut yaitu: (1) Letak Keistimewaan

Provinsi DIY di tingkat Provinsi; (2) Memiliki kewenangan istimewa; (3) Memiliki bentuk

dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa; (4) Tata cara pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur yang istimewa; (5) Produk hukum daerah yang bersifat

istimewa;dan (6) Mendapatkan dana istimewa.

Berikut ini akan penulis paparkan keistimewaan yang akan dimiliki oleh Provinsi

DIY sebagaimana yang terdapat dalam RUUK tersebut.

4.1. Letak keistimewaan Provinsi DIY berada di tingkat provinsi

Dalam pembahasan nomor 2.1.2 penulis telah menyinggung mengenai letak

keistimewaan Provinsi DIY. Sejak awal, keistimewaan Provinsi DIY berada di tingkat

provinsi. Pasal 6 RUUK menyebutkan bahwa keistimewaan Provinsi DIY berada di

provinsi. Ketentuan tersebut bermakna bahwa hanya tingkat provinsi sajalah yang

memiliki kewengan istimewa atau dengan kata lain bahwa hanya tingkat provinsi sajalah

yang diistimewakan.

Di Provinsi DIY terdapat 5 (lima) Kabupaten/Kota, sebagaimana yang dimaksud

dalam ketentuan Pasal 3 RUUK. Karena keistimewaan hanya diberikan pada tingkat

Provinsi DIY saja, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di 5 kabupaten/kota

tersebut tetap mengacu pada undang-undang pemerintahan daerah. Termasuk tata cara

pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya.248

Ketentuan tersebut berbeda dengan kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD.

Kekhususan Provinsi NAD tersebut bukan hanya diletakkan di tingkat provinsi,

melainkan juga di tingkat kabupaten. Sebagai contoh misalnya, dewan perwakilan

daerahnya disebut “DPRK”, kemudian kabupaten/kota dapat membentuk Qanun,

memiliki Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota dan sebagainya. Akan tetapi,

kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua juga tidak memiliki kekhususan

sebagaimana yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi NAD. Misalnya

kabupaten/kota di Papua tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Perdasus, tidak

ada penyebutan khusus terhadap nama lembaga yang terdapat di daerah

kabupaten/kota sebagaimana yang terdapat di kabupaten/kota di Provinsi NAD.

248 Lihat: catatan kaki nomor 204

Page 112: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

102

4.2. Memiliki Kewenangan Istimewa

Sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa, selain memiliki kewenangan

sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang pemerintahan daerah, maka sudah

semestinya memiliki kewenangan yang istimewa pula.249 Dalam RUUK, kewenangan

istimewa Provinsi DIY diatur dalam ketentuan Pasal 7. Kewenangan dalam urusan

istmewa tersebut antara lain: (i) penetapan fungsi, tugas dan wewenang Gubernur

Utama dan Wakil Gubernur Utama, (ii) penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah

Provinsi; (iii) kebudayaan; dan (iv) pertanahan dan penataan ruang.

Dalam RUUK tersebut, terdapat sebuah lembaga/jabatan yang sangat unik.

Lembaga/jabatan tersebut dinamakan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8, bahwa yang dimaksud dengan Gubernur dan Wakil

Gubernur Utama adalah:

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai satu-kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta

Berdasarkan ketentuan di atas, maka Gubernur Utama dan Wakil Gubernur

Utama memiliki fungsi sebagai symbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom

dan pemersatu Masyarakat DIY. Ketentuan tersebut sebenarnya menyerupai bentuk

pemerintahan monarki, dimana raja merupakan symbol negara (The Symbol of Nation)

yang tidak dapat diganggu gugat.

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memiliki beberapa kewenangan dan

hak. Kewenangan tersebut antara lain adalah:250

1. Memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang, dan penganggaran;

2. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;

3. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

249 Lihat: Pembahasan mengenai tarik ulur kewenangan Provinsi DIY dalam pembahasan nomor 1.4.2 250 Lihat: Pasal 10 RUUK

Page 113: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

103

Kewenangan lain yang dimiliki oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama

adalah; Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memberikan persetujuan terhadap

bakal calon Gubernur Jika Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama tidak

mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur.251 Gubernur Utama dan

Wakil Gubernur Utama berhak mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil

Gubernur.252 Sedangkan hak lainnya yang dimiliki oleh Gubernur dan Wakil Gubernur

Utama adalah:253

1. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;

2. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;

3. mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais; 4. memiliki hak protokoler; dan 5. kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama ini sebenarnya sebuah lembaga

istimewa yang juga terdapat daerah otonomi khusus. Jika kita bandingkan dengan

Majelis Rakyat Papua (MRP), maka ada beberapa kesamaan wewenang maupun hak

yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut. Misalnya MRP memiliki kewenangan untuk

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang

diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.254 MRP juga berwenang

memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian

kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak

ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak

orang asli Papua.255 MRP juga berwenang memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP.256

251 Lihat: Pasal 19 ayat (4) RUUK 252 Lihat: Pasal 17 RUUK 253 Lihat: Pasal 11 RUUK 254 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2001 kemudian bandingkan dengan Pasal 10 huruf b

RUUK 255 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf d UU No.21 Tahun 2001kemudian bandingkan dengan Pasal 10 hurf c

RUUK 256 Lihat Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No. 21 Tahun 2001 kemudian bandingkan dengan ketentuan Pasal 19

ayat (4) RUUK

Page 114: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

104

4.3. Bentuk dan Susunan Pemerintahan Provinsi DIY yang Bersifat Istimewa

Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Provinsi DIY dalam RUUK tersebut adalah

bentuk dan struktur pemerintahannya yang bersifat “unik”. Struktur Pemerintahan

Provinsi DIY terdiri atas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Pemerintah

Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.257 Struktur

pemerintahan daerah seperti itu sangatlah unik. Gubernur Utama dan Wakil Gubernur

Utama bukan hanya berkedudukan sebagai lembaga istimewa saja, melainkan ikut

berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DIY.

Selain kewenangan dan hak-hak yang dimiliki oleh Gubernur Utama dan Wakil

Gubernur Utama sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, Gubernur

Utama dan Wakil Gubernur Utama juga ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan

provinsi DIY. Pasal 14 RUUK merumuskan ketentuan mengenai keikutsertaan Gubernur

Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi

DIY. Apabila Gubernur tidak dijabat oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama,

maka Gubernur berkewajiban untuk:

a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;

b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah;

c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran;

d. memberikan laporan penyelenggaraan kewenangan istimewa kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama setiap tahun; dan

e. memberikan tembusan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.

Bukan hanya Gubernur yang memiliki kewajiban seperti itu, akan tetapi DPRD

juga memiliki beberapa kewajiban yang hampir sama dengan kewajiban yang dimiliki

oleh Gubernur tersebut. Kewajiban DPRD Provinsi DIY terhadap Gubernur dan Wakil

Gubernur Utama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 16 RUUK adalah

sebagai berikut:

257 Lihat Pasal 8 RUUK

Page 115: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

105

a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;

b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);

c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran.

Pembahasan lebih lanjut mengenai struktur pemerintahan Provinsi DIY tersebut

akan penulis bahas lebih lanjut dalam pembahasan bab berikutnya.

4.4. Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang Istimewa

Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY ini

merupakan isu sentral dari perdebatan mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Terdapat

beberapa “keunikan” (keistimewaan) dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur DIY dalam RUUK tersebut. Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 RUUK.

Beberapa keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi DIY ini misalnya:

f. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi DIY, bukan

dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur di daerah lainnya.

g. Penyelenggara Pemilihan Gubernur diwajibkan untuk bertanya kepada Gubernur

Utama dan Wakil Gubernur Utama mengenai kesediannya untuk ikut dalam

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY

h. Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dapat mencalonkan diri sebagai Calon

Gubernur dan Wakil Gubernur melalui prosedur calon perseorangan khusus. Yaitu

tidak melalui pengusulan oleh partai politik atau calon perseorangan biasa. Dengan

kata lain bahwa jika Gubernur Utama dan Wakil Gubernur mncalonkan diri sebagai

calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka penyelenggara pemilihan langsung

menetapkannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui

persyaratan yang berlakui seperti calon Gubernur dari Parpol dan/atau calon

perseorangan lainnya.

Page 116: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

106

i. Bahwa jika Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur.

Maka Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dengan kata lain

bahwa Paku Alam harus berpasangan dengan Sultan Hamengku Buwono.

j. Bahwa jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur maka pemilihan hanya dilakukan untuk Gubernur.

Dengan demikian, hanya aka nada jabatan Gubernur saja tanpa adanya jabatan

Wakil Gubernur.

k. Jika hanya Hamengku Buwono dan Paku Alam yang mencalonkan diri sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur maka DPRD melakukan musyawarah untk mufakat

dalam menetapkan dan mengusulkan keduanya kepada Presiden untuk disahkan

sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

l. Kerabat kasultanan dan kerabat pakualaman dapat mencalonkan diri sebagai Calon

Gubernur jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur.

m. Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 2 periode ( satu

periode selama 5 tahun) tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam apabila menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Itulah beberapa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY yang terdapat dalam RUUK. Penulis akan membahas lebih

lanjut mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

DIY ini dalam pembahasan Bab II.

4.5. Produk Hukum Daerah di Provinsi DIY yang Besifat Istimewa

Keistimewaan lain yang akan dimiliki oleh Provinsi DIY adalah masalah jenis

produk hukum yang bisa dibuat dan ditetapkan di Provinsi DIY. Dalam RUUK,

pengaturan mengenai jenis dan bentuk produk hukum di Provinsi DIY diatur dalam Pasal

27 sampai dengan Pasal 31 RUUK.

Adapun jenis produk hukum yang dapat dibuat atau dibentuk di Provinsi DIY

nantinya adalah: (i) Peraturan Gubernur Utama; (ii) Keputusan Gubernur Utama; (iii)

Peraturan Daerah Istimewa atau Perdais; (iv) Peraturan Daerah Provinsi; dan (v)

Peraturan dan/atau Keputusan Gubernur. Jenis produku hukum yang ada di provinsi DIY

Page 117: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

107

tersebut bahkan lebih banyak daripada jenis produk hukum yang terdapat di Provinsi

NAD dan Provinsi Papua.258

Peraturan Gubernur Utama dan Keputusan Gubernur Utama dibentuk dan

ditetapkan oleh Gubernur Utama dengan mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam

Negeri. Rancangan Perdais dapat diajukan oleh DPRD Provinsi DIY atau Gubernur

berdasarkan arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama. Rancangan

Perdais yang telah disetuji bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur diajukan

kepada Gubernur Utama untuk mendapatkan persetujuan. Dengan demikian, maka

dalam pembentukan Perdais, Gubernur Utama juga terlibat.

Perda Provinsi dibentuk dan ditetapkan bersama oleh Gubernur dan DPRD

Provinsi DIY. Pembentukan Perda Provinsi DIY tersebut mengikuti ketentuan Peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, maka Perda Provinsi ini

merupakan jenis produk hukum yang sejajar dengan Peraturan Daerah yang berlaku di

daerah lainnya. Sedangkan untuk melaksanakan ketentuan Perdais dan/atau Perda

Provinsi, Gubernur berwenang membentuk dan menetapkan Peraturan dan/atau

Keputusan Gubernur.

4.6. Mendapat Dana Keistimewaan

Sebagai sebuah daerah istimewa, maka sudah sepantasnyalah Provinsi DIY

mendapatkan anggaran atau dana keistimewaan sebagaimana dana otonomi khusus

yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah yang berstatus otonomi khusus.

Mengenai pendanaan (dana istimewa) diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33 RUUK.

Dalam draft RUUK Pasal 32 disebutkan bahwa “semua peraturan perundang-undangan

yang mengatur keuangan daerah berlaku bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.

Dengan demikian maka semua ketentuan tentang keuangan yang berlaku di daerah lain

juga berlaku di Provinsi DIY, termasuk ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan mengenai keuangan daerah

otonomi khusus. UU No. 11 Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2001 mengatur secara

khusus tentang keuangan dan perekonomian kedua daerah otonomi khusus tersebut.259

258 Di Provinsi NAD hanya ada satu produk hukum yang khusus yang kedudukannya sejajar dngan Perda yaitu Qanun, sedangkan di Provinsi Papua dan Papua Barat hanya terdapat Peradasus dan Perdasi. Lihat: Pembahasan 2.2.1 dan Pembahasan 2.2.2

259 Lihat. Pasal 33 sampai dengan Pasal 42 UU No. 21 Tahun 2001. Lihat juga Pasal 178 sampai dengan Pasal 201 UU No. 11 Tahun 2006

Page 118: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

108

Provinsi DIY akan mendapatkan dana keistimewaan dari APBN dalam rangka

pelaksanaan keistimewaan Provinsi DIY yang akan ditetapkan oleh Pemerintah bersama

dengan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DIY.

5. Karakteristik Keistimewaan Provinsi DIY Dalam UU No. 13 Tahun 2012

Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2012 disebutkan bahwa keistimewaan

adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan

hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Sedangkan yang dimaksud

dengan kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY

selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan

daerah.

Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa kewenangan Istimewa DIY berada di tingkat

Provinsi. Dengan demikian, maka kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi DIY tetap

menjalankan pemerintahan daerah sesuai dengan undang-undang pemerintahan

daerah, karena keistimewaan hanya diberikan pada tingkat Provinsi. Kewenangan DIY

sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah

DIY sebagaimana diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah dan urusan

Keistimewaan yang ditetapkan dalam UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.

Dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan atau urusan yang bersifat

istimewa dari DIY antara lain:

a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil

Gubernur;260

a. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;261

b. kebudayaan;262

c. pertanahan;263 dan

d. tata ruang.264

Jadi, kewenangan istimewa yang dimiliki oleh DIY hanya menyangkut 5 aspek

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.

260 Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26 UU No. 13 Tahun 2012.

261 Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diatur dalam Pasal 30 UU No. 13 Tahun 2012. 262 Pengaturan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2013 263 Pengaturan mengenai pertanahan diatur dalam Pasal 32 dan 33 UU No. 13 Tahun 2013 264 Pengaturan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 34 dan 35 UU No. 13 Tahun 2013

Page 119: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

109

Penulis berpendapat bahwa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan,

kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan

keistimewaan utama yang dimiliki oleh Provinsi DIY. Sedangkan 4 urusan lainnya

merupakan keistimewaan tambahan sebagai ikutan dari keistimewaan utama yang

dimiliki oleh Provinsi DIY.

Dalam UU No. 13 Tahun 2013 pengaturan mengenai kewenangan istimewa

dalam bidang kelembagaan pemerintahan DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang

tidaklah sedetail atau serigid pengaturan mengenai tata cara pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam UU No. 13 Tahun 2013, norma yang

mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata

ruang sangat terbatas dan hanya terdiri atas 1 atau 2 Pasal saja. Berbeda halnya

dengan pengaturan mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY yang diatur sangat rigid dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26 UU No. 13 Tahun

2012. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kewenangan istimewa DIY dibagi

dalam dua bagian, yaitu kewenangan istimewa utama dan kewenangan istimewa

tambahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga disebabkan karena

perdebatan utama dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY ialah menyangkut

tentang mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2), DIY juga

memiliki hak untuk menetapkan Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan

Daerah Provinsi (Perda). Ketentuan mengenai Perda dan Perdais di DIY juga diatur

dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UU No. 13 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 36

dan 37 UU No. 13 Tahun 2013 maka di DIY terdapat 2 (dua) jenis produk hukum

daerah, yaitu Perda dan Perdais. Dalam UU No. 13 Tahun 2013 tidak disebutkan

mengenai hirarki Perda dan Perdais. Namun berdasarkan urutan pengaturan Perda dan

Perdais dalam UU No. 13 Tahun 2012, Perda diatur atau diletakkan lebih awal

dibandingkan dengan Perdais. Pengaturan demikian bukan berarti serta merta

kedudukan Perda lebih tinggi dibandingkan dengan Perdais, atau sebaliknya, bahwa

kedudukan Perdais lebih tinggi dibandingkan dengan Perda. Hal ini berbeda dengan

Perdasus yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan Perdasi. Akan

tetapi, jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 13 UU No. 13 Tahun 2012, Perdais

merupakan Perda. Namun, materi muatan antara Perda dan Perdais itu berbeda.

Perdais dibentuk untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa, sedangkan

Perda dibentuk untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi

sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Pembedaan

karakter antara Perda dan Perdais yang disebutkan sebagai Perda DIY tidak disebutkan

Page 120: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

110

dalam UU No. 13 Tahun 2012. UU No. 13 Tahun 2012 hanya menyebutkan perbedaan

materi muatan antara Perda dan Perdais. Perdais merupakan bagian dari kewenangan

pemerintahan daerah DIY dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya untuk

menjalankan tugas keistimewaan yang diberikan oleh UU No. 13 Tahun 2012 maupun

oleh Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan kata lain bahwa Perdais

merupakan bentuk produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh Pmerintah Provinsi DIY

dalam menjalankan tugas keistimewaan tersebut.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa dalam ketentuan Pasal 18B ayat

(1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka negara

seharusnya mengakui dan menghormati pelaksanaan otonomi khusus di daerah yang

bersifat khusus dan bersifat istimewa, termasuk produk hukum yang dikeluarkan oleh

daerah yang bersifat khusus dan istimewa tersebut. Namun dalam mengakui dan

menghormati pelaksanaan otonomi khusus dan keistimewaan yang dimiliki oleh daerah-

daerah tersebut tetap harus berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Produk hukum daerah otonomi khusus dan istimewa tersebut harus tetap sejalan

dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

Dengan kata lain, bahwa sinkronisasi dan harmonisasi produk hukum daerah otonomi

khusus dan istimewa harus tetap terjaga sehingga tidak bertentangan dengan hakekat

otonomi daerah dalam negara kesatuan itu sendiri. Sukardi265 menyatakan bahwa

Peraturan Daerah diadakan semata-mata untuk melaksanakan fungsi demokrasi dalam

negara hukum yang berbentuk negara kesatuan. Soewoto sebagaimana dikutip oleh

Sukardi menyatakan:

“Hakekat otonomi daerah ditinjau secara yuridis adalah pemberian kebebasan

oleh Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengambil putusan yang sesuai

dengan kehendak masyarakat daerah. Pemberian kebebasan mengambil

kebijakan daerah ini sangat terbatas, karena harus dalam “corridor” kebijakan

pusat. Dalam mengembangkan keanekaragaman daerah, daerah diberikan

kebebasan menyusun produk hukum daerah berdasarkan kearifan lokal.

Pemberian otonomi daerah dalam negara kesatuan, sudah tentu harus

265 Sukardi, Op. Cit., hlm. 27

Page 121: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

111

berpedoman pada garis kebijakan pusat. Kearifan lokal dapat dirumuskan

sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat”.

Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pada dasarnya dalam negara kesatuan

hanya ada satu negara dengan suatu pemerintah pusat yang memiliki seluruh tugas dan

kewenangan negara.266 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara

kesatuan, pemerintah lokal harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pemerintah

pusat.267 Berbeda halnya dengan negara federasi yang memiliki kewenangan asli dan

menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan tertentu untuk diselenggarakan oleh

suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan

negara bagian.268 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut juga sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Soehino tentang konsep negara kesatuan, yaitu:

“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,

melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam

negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,

yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi

dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan

dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-

daerah.”269

Menurut C.F. Strong270 bahwa “the essence of unitary state is that the

souvereignty is undivided, or, in other word, that the powers of the central government

are unrestricted, for the constitution of a unitary state does not admit of any other law-

making body than the central one.” Jadi, Esensi negara kesatuan adalah negara yang

kedaulatnnya (the souvereignty) tidak terbagi-bagi, atau dengan kata lain, kekuasaan

pusatnya tak terbatas (unrestricted) karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui

adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang

pusat.

266 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7 ( Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 216 267 Ibid 268 Ibid 269 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224 270 C.F. strong, Modern Political Constitution: An Introduction to Comparative Study of Their History and

Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1996, hlm. 84

Page 122: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

112

BAB VI

PRINSIP NEGARA KESATUAN DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sejak diakui keberadaannya secara de jure sebagai sebuah daerah istimewa

melalui UU No.3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No 9 Tahun

1955, pemerintah ( DPR bersama Presiden) belum pernah membuat undang-undang

tersendiri mengenai penyelenggaraan keistimewaan Provinsi DIY. Penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi DIY selama ini hanya berdasarkan undang-undang

pemerintahan daerah. Berbeda dengan DKI Jakarta, selain berdasarkan undang-undang

pemerintahan daerah, penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta secara khsusus

sudah diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.271 Begitu pula dengan Provinsi NAD,

penyelenggaraan pemerintahannya sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.272

Sedangkan Provinsi Papua dan Papua Barat, diatur berdasarkan UU No. 21 Tahun

2001.

Ari Susanto menyatakan bahwa“satu-satunya daerah istimewa yang tak lagi

istimewa” adalah Yogyakarta.273 Selama ini keistimewaa Yogyakarta hanya terbatas

pada status kepala daerahnya saja. Sedangkan pemerintahan, pertanahan, pendidikan,

kebudayaan, anggaran keistimewaan dan sebagainya tidak dimiliki oleh Daerah

Istimewa Yogyakarta.274 Ari Susanto menyatakan:275

Dalam hal pemerintahan, hampir tidak ada perbedaan DIY dengan daerah lain. Padahal, seharusnya keistimewaan melingkupi semua aturan pemerintahan yang ada di DIY, misalnya adanya Peraturan (Perda) Istimewa untuk menjalankan ketentuan yang sifatnya istimewa, atau adanya Majelis Istimewa. Semua tata pemerintahan di DIY persis sama dengan provinsi lain, kecuali status Gubernur dan Wakilnya yang selalu dijabat oleh Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alaman.

271 Sebelumnya pernah berlaku UU No. 34 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1990, UU No. 2 Pnps Tahun 1961 j.o UU No. 15 Tahun 1963 dan UU No. 10 Tahun 1964. Semua undang-undang tersebut mengatur kekhususan DKI Jakarta.

272 Sebelumnya pernah berlaku UU No. 18 Tahun 2001 273 Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op. Cit. hlm. 40 274 Nasrullah Kisnam Ketua Pansus RUU Keistimewaan, DPRD DIY sebaimana dikutip Ari Susanto dalam

Aloysius Soni BL de Rosari, Ibid 275 Ibid, hlm. 41-42

Page 123: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

113

Pernyataan Ari Susanto tersebut memang sesuai dengan ketentuan Pasal 226

ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY

tetap berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. Praktis tidak ada

keistimewaan lain yang dimiliki oleh Provinsi DIY selain pada jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernurnya saja.

Dalam kaitannya dengan konsep negara kesatuan, penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi DIY tersebut telah sesuai dengan konsep negara kesatuan.

Dalam sebuah negara kesatuan pemerintah pusat mempunyai kekuasaan dan

wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara dan menetapkan kebijaksanaan

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Berikut ini konsep negara kesatuan yang

dikemukakan oleh Soehino:

“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”276

Kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32

Tahun 2004 telah dilaksanakan di Provinsi DIY, bahkan undang-undang pemerintahan

daerah sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Tidak ada protes maupun

tindakan-tindakan yang menolak ketentuan undang-undang tersebut. Pemerintah

Provinsi DIY tidak pernah melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum untuk

memprotes kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam undang-undang

pemerintahan daerah tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut

tidak berlaku mengikat bagi Provinsi DIY. Karena memang dalam sistem negara

kesatuan, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan. Bandingkan dengan sistem yang

berlaku di Aceh, jika Pemerintah hendak melakukan suatu kebijakan administratif yang

berkaitan dengan Aceh, maka Pemerintah diharuskan melakukan konsultasi dan

mendapat pertimbangan Gubernur Aceh.

276 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit, hlm.224

Page 124: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

114

Dalam sistem negara kesatuan, hanya terdapat satu hukum nasional yang

berlaku secara nasional pula. Keberlakuan hukum nasional pada suatu negara kesatuan

tidak memerlukan persetujuan negara bagian terlebih dahulu. Berbeda dengan bentuk

susunan negara serikat, keberlakuan suatu aturan federal harus mendapatkan

pengakuan atau pengesahan dari negara bagian, apakah suatu peraturan hukum dari

negara federal atau negara gabungannya itu berlaku terhadap warga negaranya atau

tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kranenburg berikut ini:

“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”277

Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat

berlaku mengikat secara langsung bagi Provinsi DIY tanpa perlu disetujui oleh Sultan

Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Ketentuan ini dapat dibandingkan

dengan sistem yang berlaku di Aceh, dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 11

Tahun 2006 menyatakan bahwa DPR RI harus berkonsultasi dan mendapat

pertimbangan dari DPRA jika hendak membuat undang-undang yang akan berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Padahal jika merujuk pada teori terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya

negara serikat. Dengan kata lain bahwa terbentuknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia tidak murni memenuhi konsep terbentuknya negara kesatuan.

Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda

menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik

dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh

para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu

negara.278 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena

diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian

277 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 52 278 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara…,Op.Cit., hlm. 92

Page 125: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

115

wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-

daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh

pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini

diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.279

Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak,

maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri

sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri

serta pemerintahan sendiri.280 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan

sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,

sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.281 Ramlan

Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian

bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.282

Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah

negara atau pembagian wilayah negara kedalam beberapa daerah baru dilakukan

setelah terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu,

barulah kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses

terbentuknya negara federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri

sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk

membentuk pemerintah dan/atau negara gabungan (pemerintah/negara federal).

Sejarah terbentuknya NKRI tidak sepenuhnya memenuhi konsep terbentuknya

negara kesatuan di atas. Sebelum diproklamasikannya kemerdekaan RI pada tanggal

17 Agustus 1945 sebagai hari terbentuknya RI, Pemerintahan Yogyakarta sudah ada

terlebih dahulu. Sebelum terbentuknya RI, Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah

negara tersendiri yang dikendalikan dan bertanggungjawab secara langsung kepada

pemerintahan Hindia-Belanda.283 Bahkan dalam konsideran menimbang huruf b draft

RUU Keistmewaan Provinsi DIY yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri284 dan

hingga selesainya penulisan penelitian ini masih dibahas dengan Komisi II DPR RI

279 Ibid. 280 Soehino, Op.Cit, hlm.226 281 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216 282 Ibid. 283 Saafroedin Bahar .,et. al., Loc.Cit. 284 Draft RUU Keistimewaan Provinsi DIY diserahkan oleh Kementerian Dalam Negeri untuk dibahas di DPR RI

pada tanggal 15 Desember 2010. Draft RUUK tersebut dapat diakses di http://www.dpr.go.id/

Page 126: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

116

mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai sebuah negara285 yang telah ada sebelum

terbentuknya NKRI. Berikut ini bunyi ketentuan konsideran menimbang huruf b draft

RUUK tersebut:

bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Joko Suryo Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa

Belanda mengakui otoritas Sultan Yogyakarta sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. Ini

berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan oleh

Belanda, maka langsung dihapuskan.286 Jawahir Thontowi menyatakan bahwa status

dan posisi Yogyakarta sebagai kerajaan yang merdeka sebenarnya memungkinkan

Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman pada saat itu menuntut hak untuk memisahkan

diri sebagai sebuah negara baru berdasarkan asas the rights for self-determination

dalam arti self-governing.287 Bahkan pada 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno

mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang isinya

mengakui keberadaan keduanya sebagai penguasa daerah Yogyakarta.288

Sebagaimana yang dinayatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa negara-negara

bagian dalam bentuk susunan negara federal kemudian menyerahkan sejumlah tugas

dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan

urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.289 Dengan kata lain

bahwa, negara bagian tersebut menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada negara

gabungan dengan tetap mempertahankan beberapa kewenangan yang dimilikinya.

Bandingkan dengan sejarah bergabungnya Yogyakarta dengan Negara Republik

Indonesia melalui Amanat 5 September 1945. Kejadian tersebut sebenarnya lebih mirip

285 Dalam konsideran menimbang huruf b Draft RUUK disebutkan bahwa sebelum kemerdekaan RI, Yogyakarta telah memiliki wilayah, pemerintah dan penduduk. Dengan demikian maka pemerintah mengakui bahwa sebelum terbentuknya NKRI, Yogyakarta tersebut merupakan sebuah negara. Karena unsur terbentuknya sebuah negara itu ada 3 (tiga) yaitu wilayah, pemerintah dan penduduk. Lihat: Syarat-syarat terbentuknya negara dalam Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 7

286 Joko Suryo dalam Kompas, 29/9/2008 sebagaimana dikutip oleh Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit, hlm. 62-63

287 Ibid. 288 Ibid. 289 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216

Page 127: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

117

dengan konsep terbentuknya negara serikat. Dalam Amanat 5 September 1945 tersebut

tercermin sebagai bentuk “penyerahan” kedaulatan yang dimiliki oleh Kesultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman kepada pemerintah RI. Dalam amanat tersebut

juga disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dan lainnya tetaplah dipegang oleh

Sultan dan Adipati. Berikut ini isi Amanat 5 September 1945 yang berbunyi:290

1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Dalam amanat di atas, kedua penguasa di Yogyakarta tersebut mengakui Negara

Republik Indonesia sebagai sebuah negara “induk” disamping tetap mempertahankan

kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan di daerah yang bersifat istimewa. Dengan

demikian, pembentukan NKRI tidaklah sepenuhnya berdasarkan konsep atau teori

terbentuknya sebuah negara kesatuan. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa

tidaklah rasional untuk tetap memaksakan penerapan teori negara kesatuan secara

murni dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini disebabkan karena sejarah

terbentuknya NKRI (khususnya sejarah bergabungnya Yogyakarta) juga tidak

sepenuhnya sesuai dengan teori terbentuknya negara kesatuan.

Konsep bentuk negara kesatuan maupun bentuk negara serikat merupakan

konsep yang terdapat dalam Ilmu Negara dan Ilmu Hukum Tata Negara. Jellinek

menyatakan bahwa teori ilmu negara (teoretische staatswissenschaft) ada yang bersifat

umum dalam arti berlaku untuk semua negara, yang disebut algemeene staatslehre.

Selain itu, ada juga ilmu negara yang bersifat khusus, bezonde staatslehre, yaitu teori

290 Amanat 5 September 1945 tersebut sebenarnya terbagi kedalam dua amanat. Yaitu amanat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan amanat Sri Paduka Paku Alam VIII. Akan tetapi isi amanat tersebut sebenarnya sama. Perbedaannya hanya pada penyebutan “Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat” pada amanat yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan “Negeri Paku Alaman” pada amanat yang dikeluarkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII .

Page 128: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

118

bernegara yang dilakukan untuk negara tertentu saja.291 Lukman Hakim menyatakan

bahwa karena sifatnya yang umum, maka misalnya mengenai bentuk negara republik

dapat saja sama, tetapi bagaimana isinya (materi) dapat saja berbeda.292 Bagaimana

suatu negara republik mengangkat Presiden, seluas apa kekuasaan yang melekat

dalam jabatan Presiden, lebih luas lagi bagaimana suatu bangsa mengatur kehidupan

bernegaranya, semuanya itu tergantung pada bangsa itu sendiri, yang kesemuanya itu

biasa diatur dalam hukum tata negara (positif) seperti konstitusi maupun undang-

undang.293

Lukman Hakim juga menjelaskan bahwa hampir tidak ada hal yang sama dan

serupa dari hukum tata negara suatu bangsa dibandingkan dengan hukum tata negara

bangsa yang lain. Perbedaan itu disebabkam oleh tidak samanya sejarah dan latar

belakang suatu bangsa, juga oleh kepribadian yang dimiliki oleh setiap bangsa.294

Berikut ini catatan Lukman Hakim mengenai perbedaan hukum tata negara suatu

bangsa:295

Apabila diperhatikan teori-teori hukum tata negara, maka akan ditemukan teori-teori hukum tata negara dari para ahli hukum tata negara bagi hukum tata negaranya masing-masing. Teori hukum tata negara Belanda dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Belanda, teori hukum tata negara Inggris dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Inggris, teori hukum tata negara Rusia dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Rusia. Dan setiap hukum tata negara suatu negara atau bangsa menunjukkan sifat atau ciri-ciri dari bangsa yang bersangkutan.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka penulis juga berpendapat sama, bahwa

hukum tata negara suatu bangsa tidak dapat disamakan dengan hukum tata negara

bangsa lainnya. Walaupun pada tataran tertentu ada kemiripan. Akan tetapi hukum tata

negara yang ada di suatu negara tidak dapat dipaksakan untuk diberlakukan secara

sama di negara lainnya.

291 Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia:Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan, (Malang: Intrans Publishing, 2010), hlm. 15

292 Ibid., hlm. 14 293 Ibid, hlm.14-15 294 Ibid., hlm. 1 295 Ibid.

Page 129: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

119

Sama halnya dengan Indonesia, bangsa Indonesia telah menentukan sendiri isi

(materi) hukum tata negaranya. Misalnya mengenai konsep negara kesatuan, Indonesia

memang menganut prinsip negara kesatuan sebagaimana yang tedapat dalam Pasal 1

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi isi (materi) dari negara kesatuan yang ada di

Indonesia tidak harus sama dengan isi atau materi negara kesatuan lainnya, misalnya

seperti berapa jumlah provinsi atau daerah yang akan dibentuk, bagaimana bentuk

penyelenggaraan pemerintahannya (apakah sentralistik atau desentralisasi), bagaimana

prosedur atau mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya, apa saja institusi yang

dibentuk di daerah dan sebagainya. Itu tergantung kesepakatan dari bangsa Indonesia

sendiri yang tertuang dalam konstitusi.

Penulis sangat tidak setuju dengan argumentasi yang membandingkan hukum

tata negara yang dianut bangsa lainnya untuk kemudian diterapkan secara langsung di

Indonesia. Padahal sejarah dan latar belakang suatu negara itu berbeda-beda. Sejarah

berdirinya Indonesia tidak sama dengan sejarah berdirinya negara Inggris, Belanda,

Spanyol, Filipina, Thailand, Turki atau China walaupun sama-sama memilih bentuk

negara kesatuan.

Terbentuknya negara Indonesia, tidak sepenuhnya memenuhi konsep

terbentuknya negara kesatuan. Terbentuknya negara Indonesia juga memiliki kesamaan

dengan konsep terbentuknya negara federal. Dalam konsep terbentuknya negara

kesatuan, bahwa negara (pusat) terbentuk terlebih dahulu baru kemudian dibentuklah

daerah-daerah, apakah diberikan status otonomi atau tidak. Sedangkan konsep

terbentuknya negara federal sebaliknya, yaitu negara-negara bagian yang merdeka dan

memiliki kedaulatan sudah terbentuk terlebih dahulu sebelum terbentuknya negara

gabungan. Karena adanya cita-cita yang sama atau mungkin karena negara-negara

tersebut lemah jika menjalankan pemerintahannya sendiri, maka negara-negara tersebut

sepakat untuk bergabung membentuk negara gabungan (federal). Oleh karena negara-

negara bagian itu sudah berdiri sebelum berdirinya negara federal, maka negara federal

tidak membentuk daerah (negara) lagi dalam negaranya sebagaimana negara kesatuan.

Lalu bagaimanakah dengan sejarah bergabungnya Yogyakarta dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Bukankah Yogyakarta sudah

merupakan negara bagian dari pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki

kedaulatan?296 Bukankah ada pernyataan pengintegrasian Yogyakarta ke dalam wilayah

Republik Indonesia melalui amanat 5 September 1945? Bukankah Presiden Soekarno

296 Lihat: konsideran menimbang huruf b Draft RUUK Tahun 2010 dari Kemendagri pada catatan kaki nomor 255

Page 130: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

120

mengakui dan menghormati kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri

Paduka Paku Alam VIII sebagai penguasa Yogyakarta dengan Surat Kedudukan

Presiden RI tanggal 6 September 1945?. Semua itu lebih mirip pada konsep

terbentuknya negara serikat. Akan tetapi, Yogyakarta tidak menyatakan dirinya sebagai

negara bagian, walaupun Yogyakarta merupakan negeri yang bersifat kerajaan saat itu.

Yogyakarta tetap menyatakan dirinya sebagai sebuah daerah istimewa dan merupakan

bagian dari Negara Republik Indonesia.297

Oleh karena itu, walaupun dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi

Aceh dan Papua atau bahkan Provinsi DIY mengarah kepada bentuk negara federal

(secara konsep) akan tetapi penulis menganggap hal itu merupakan ciri atau karakter

khas dari model negara kesatuan yang kita anut, sehingga daerah-daerah tersebut tetap

berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan

konstitusionalnya juga sangat kuat, yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 18B UUD NRI

Tahun 1945.298

297 Diktum 1 Amanat 5 September 1945 berbunyi : “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”

298 Baca pembahasan mengenai sejarah dirumuskannya Pasal 18B ayat (1) pada pembahasan nomor 1.2.3

Page 131: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

121

BAB VII

PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT DALAM MEKANISME

PENGISIAN JABATAN KEPALA DAERAH

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jimly Asshiddiqie

menyatakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di tangan rakyat yang diberlakukan

menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy) yang diimbangi dengan

penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau

demokrasi (democratische rechtsstaat).299 Pendapat Jimly Asshiddiqie tersebut mengandung

makna bahwa kedaulatan memang berada di tangan rakyat, akan tetapi pelaksanaan

kedaulatan rakyat tersebut tetap harus sesuai dengan konstitusi. Dengan kata lain bahwa

prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah prinsip demokrasi konstitusi

(constitutional democracy).

Penulis berpendapat bahwa prinsip demokrasi konstitusi merupakan bentuk demokrasi

yang dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan dalam konstitusi.

Jadi asumsinya yaitu bahwa apa yang ditentukan oleh konstitusi merupakan sesuatu yang

demokratis. Ukuran demokratis atau tidak demokratis tergantung dari ketentuan yang diatur

dalam konstitusi. Penulis berpendapat bahwa walaupun Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun

1945 menegaskan secara eksplisit bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, akan tetapi

dibatasi pelaksanaannya berdasarkan konstitusi dan hukum sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu,

pelaksanaan kedaulatan rakyat tetap harus berdasarkan konstitusi dan hukum.

1.1. Landasan Konstitusional Mekanisme Pengisian Jabatan Kepala Daerah

Setelah terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 1999 sampai dngan

tahun 2002, maka telah terjadi perubahan yang sangat besar bagi sistem ketatanegaraan

Indonesia. Jika sebelum terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka setelah

perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedaulatan rakyat bukan lagi dilaksanakan oleh MPR,

melainkan dilaksanakan menurut UUD. Ketentuan mengenai kedaulatan rakyat ini dimuat

dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

299 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58

Page 132: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

122

Paham kedaulatan rakyat ini sudah dikemukakan oleh kaum Monarchomachen,

Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa rakyatlah yang berdaulat

penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat.300 Inti dari ajaran

kedaulatan rakyat yaitu bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Akan

tetapi, cara untuk melaksanakan kekuasaan itu ditentukan dalam suatu kesepakatan

bersama yang dijadikan sebagai landasan bernegara, yaitu konstitusi. Oleh karena itu,

prinsip kedaulatan yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan sebelumnya

adalah prinsip kedaulatan rakyat yang berdasarkan konstitusi. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI

Tahun 1945 merupakan landasan konstitusional utama bagi mekanisme pengisian jabatan

publik, termasuk pengisian jabatan kepala daerah.

Pelaksanaan atau tata cara pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam mekanisme

pengisian jabatan kepala daerah tersebut kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4)

UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

berbunyi sebagai berikut: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Secara

gramatikal, ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tersebut menentukan tata cara pengisian

jabatan kepala daerah ( Gubernur, Bupati dan Walikota ) dilakukan melalui mekanisme

pemilihan secara demokratis.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa suatu negara yang menganut azas

kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi301 atau sebaliknya bahwa

pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat.302 Oleh

karena itu, ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 merupakan penjabaran lebih

lanjut dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Hendry B. Mayo memberikan pengertian mengenai demokrasi sebagai berikut:

”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh

300 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 188

301 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum…,Op.Cit., hlm.130 302 Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit.

Page 133: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

123

rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).303

Ni’matul Huda menyatakan bahwa pemakaian kata “demokratis” dalam ketentuan

Pasal 18 ayat (4) UD NRI Tahun 1945 tersebut mengandung dua makna, yaitu baik

pemilihan secara langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, kedua-duanya

mengandung makna demokratis.304 Pendapat Ni’matul Huda tersebut juga sesuai dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-

Undang Pemerintahan Daerah, dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi

menyatakan:

“Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mewajibkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk menggunakan prosedur atau tata cara pemilihan tertentu, secara langsung ataupun tidak langsung. Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sepanjang telah terpenuhinya kaidah-kaidah demokrasi. 305

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat diketahui bahwa

makna kata “demokratis” itu artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi, yaitu

menggunakan prosedur pemilihan tertentu, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Oleh karena itu, UUD NRI Tahun 1945 memberikan kebebasan kepada pembentuk undang-

undang, untuk menentukan cara pemilihan kepala daerah tersebut, apakah akan dipilih

secara langsung oleh rakyat (direct democracy) atau dengan cara dipilih oleh DPRD sebagai

wakil rakyat (undirect demoracy) yang biasa disebut dengan istilah demokrasi perwakilan.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat ketentuan bahwa pengisian

jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, bahwa pengisian

jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan,

303 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Op.Cit, 19-20 304 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah…,Op.Cit., hlm. 206. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan secara langsung didepan penulis ketika penulis melakukan wawancara dengan Ni’matul Huda pada tanggal 6 Juli 2011 di Kampus UII Yogyakarta.

305 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 15/PUU-V/2007

Page 134: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

124

misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Penafsiran Mahkamah Konstitusi

tersebut sesungguhnya telah menutup ruang bagi mekanisme pengisian jabatan kepala

daerah melalui sistem pengangkatan atau penunjukan. Sedangkan yang selama ini terjadi di

Provinsi DIY, mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilaksanakan

melalui mekanisme penetapan oleh Presiden. Begitu juga halnya dengan mekanisme

pengisian jabatan Walikota dan Bupati di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang diisi dengan cara

pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta. Jika dilihat secara sepintas, maka tata cara

pengisian jabatan yang seperti sudah tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4)

UUD NRI Tahun 1945 dan juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut. Permasalahan ini akan dibahas tersendiri dalam pembahasan berikutnya.

1.2. Prinsip Demokrasi dalam Mekanisme Pengisian Jabatan Kepala Daerah Menurut

UU No. 32 Tahun 2004

Secara historis, perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang pernah

berlaku di Indonesia, menganut sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung. M. Hadin

Muhjad menyatakan bahwa ada tiga pola pengisian jabatan kepala daerah yang dianut oleh

undang-undang pemerintahan daerah sebelum UU No. 32 Tahun 2004, yaitu: (1)

pengangkatan oleh pemerintah pusat, (2) pengangkatan atas usul DPRD dan (3) pemilihan

oleh DPRD.306 Muhjad menyatakan bahwa semua pola yang dianut dalam undang-undang

pemerintahan daerah tersebut ternyata tidak demokratis, karena dominannya peran

pemerintah pusat. Sebagai suatu masalah dalam hal DPRD diberikan wewenang untuk untuk

memilih kepala daerah, kandidat yang dipilih dapat dianulir dan ditolak untuk diangkat oleh

pemerintah pusat.307

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun

1945, pembentuk undang-undang (DPR bersama dengan Presiden) memilih bentuk

pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Ketentua tersebut dirumuskan dalam

Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala

daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan

asas langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil. ” Penggunaan asas tersebut oleh

pembentuk undang-undang merupakan bentuk pelaksanaan pemilihan secara demokratis.

306 M. Hadin Muhjad, Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hlm. vi-vii

307 Ibid.

Page 135: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

125

Dengan kata lain bahwa pembentuk undang-undang telah memilih bentuk pemilihan kepala

daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bentuk pemilihan secara demokratis

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu,

dipilihnya bentuk pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut merupakan wujud dari

pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung pula (direct democracy).

Terkait dengan penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (demokrasi langsung),

Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:

”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebesasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.”308

Pertanyaan hukum yang muncul dari konsep demokrasi langsung yang dikemukakan

oleh Jimly Asshiddiqie di atas adalah apakah pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan

umum sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945? Ada

perbendaan pandangan mengenai pemilukada, apakah termasuk bagian dari sistem pemilu

sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 ataukah bukan

merupakan bagian dari Pemilu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI

Tahun 1945 tersebut.309 Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik

menyatakan bahwa:

“Prinsip demokrasi yang terkandung dalam Pasal 18 (ayat 3 dan 4) menyangkut pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih wakil rakyat ( DPR, DPD, DPRD ) tetapi juga untuk kepala pemerintahan”310

308 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit, hlm. 59 309 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa Pemiliukada bukanlah bagian dari sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, karena sistem pemilihan kepala daerah yang dianut dalam UU No. 32 Tahun 2004 menganut sistem pemilihan langsung, maka sudah semestinya asas-asas penyelenggraan pemilukada sama dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

310 Philipus M. Hadjon dalam Tititk Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 270

Page 136: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

126

Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa Philipus M. Hadjon memasukkan

Pemilukada sebagai bagian dari sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, asas-asas penyelenggaraan pemilihan

umum harus tercermin dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung

yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah ketentuan mengenai mekanisme pemilukada

yang dianut dalam UU No. 32 tahun 2004 tersebut diatas sudah memenuhi prinsip-prinsip

demokrasi ? M. Hadin Muhjad dalam disertasinya menyatakan bahwa pengaturan pilkada

langsung dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak demokratis. Berikut ini pendapat M. Hadin

Muhjad mengenai aturan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004:

Pengaturan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 terbukti tidak demokratis. Ada dua alasan, pertama karena sistem pemilihan yang mengutamakan efisiensi dan kedua penyelenggaraannya ada diintervensi dari pemerintah serta dominannya peran partai politik. Jika pilkada dilakukan secara demokratis sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4), maka dapat melalui Pilkada tidak langsung oleh DPRD berdasarkan aturan dan prosedur yang transparan dan akuntabel. Sedangkan pemerintah pusat hanya memberikan pengesahan saja, dan dapat juga dilakukan pilkada secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya berdasarkan parameter pemilihan yang dilakukan secara demokratis. UU No. 32 Tahun 2004 menganut Pilkada langsung tetapi diperdebatkan konstitusionalitasnya, karena sistem Pilkada langsung menurut UU No. 32/2004 tidak demokratis, karena sistem pemilihannya mengutamakan efisiensi daripada legitimasi dan dalam proses penyelenggaraannya KPUD diintervensi pemerintah pusat melalui PP No. 6 Tahun 2005 menyangkut data pemilih dan pelantikan. Dalam proses pencalonan dominannya peran partai politik sehingga calon perseorangan harus melalui partai politik.311 M. Hadin Muhjad berkesimpulan bahwa pengaturan mengenai Pilkada dalam UU No.

32 Tahun 2004 tersebut tidaklah demokratis dikarenakan beberapa alasan tersebut di atas.

Akan tetapi, penulis tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh M.

Hadin Muhjad di atas. Penulis berpendapat bahwa dipilihnya bentuk pemilihan kepala daerah

secara langsung tersebut sudah menunjukkan salah satu nilai-nilai demokrasi atau dengan

kata lain bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat tersebut merupakan

wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dikatakan demokratis jika sekiranya undang-

311 M. Hadin Muhjad, Sistem Pemilihan…,Op.Cit.,hlm. 209-210

Page 137: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

127

undang tersebut menentukan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dilakukan dengan

cara penetapan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 seperti yang telah disebutkan di atas.

Dikatakan tidak demokratis dikarenakan berkaitan mengenai proses dan hasil

penyelenggaraannya yang lebih mengutamakan efisiensi daripada legitimasi juga penulis

anggap kurang argumentatif. Efisiensi yang dimaksud adalah berkaitan dengan jumlah

perolehan suara sah dari pasangan calon kepala daerah yang tidak harus mendapatkan lebih

dari 50% ( lima puluh persen) suara, dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Pasal

107 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa jika tidak ada pasangan calon

kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% ( lima puluh persen), maka pasangan

calon kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% ( dua puluh lima persen) dari

jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai

pasangan calon terpilih. Hal itu kemudian dianggap tidak legitimid, atau dengan kata lain

bahwa ketentuan tersebut tidak mengutamakan legitimasi dari rakyat. Akan tetapi, jika hal itu

dijadikan argumentasi untuk menyatakan bahwa ketentuan Pilkada langsung dalam UU No.

32 Tahun 2004 tidak demokratis dikarenakan mengabaikan legitimasi, maka pertanyaannya

adalah, apakah suatu pemilihan secara langsung yang tingkat partisipasi pemilihnya kurang

dari 50% (lima puluh persen) dapat dikatakan tidak demokratis atau tidak legitimid? Hal itulah

yang menjadi alasan mengapa penulis kurang sependapat dengan pendapat yang

dikemukakan oleh M. Hadin Muhjad tersebut.

Disamping itu, dominanya peran partai politik dalam proses pencalonan pasangan

calon kepala daerah dan wakil kepala daerah juga bukan merupakan alasan lagi. Mengingat

bahwa pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-

V/2007 mengabulkan gugatan yang dimohonkan oleh Lalu Ranggalawe, seorang anggota

DPRD Kabupaten Lombok Barat, NTB yang mengakomodir calon perseorangan

(independen) untuk dapat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah tanpa harus

memalui partai politik. Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008

tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa

ketentuan Pilkada langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 telah

memenuhi prinsip demokrasi.

Page 138: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

128

BAB VIII

PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT DAN DEMOKRASI DALAM MEKANISME

PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

Isu utama dalam permasalahan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta adalah berkaitan dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Paling tidak terdapat tiga pandangan

(pendapat) yang memperdebatkan mekanisme yang tepat untuk mengisi jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pertama adalah kelompok yang tetap

menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono

dan Sri Paduka Paku Alam. Pandangan ini berlandaskan pada sejarah ketatanegaraan

yang berkaitan dengan proses pengintegrasian Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten

Paku Alaman kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, pandangan ini

berpegangan pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan

konstitusional pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah yang bersifat

khsusus dan istimewa.

Kedua adalah golongan yang menginginkan agar mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur secara demokratis. Pandangan ini juga beranggapan

bahwa mekanisme yang ada di Provinsi DIY saat ini dianggap sama dengan bentuk

monarki. Kelompok ini menjadikan Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai

landasan konstitusional untuk dipilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur secara

demokratis. Ketiga adalah kelompok yang memadukan antara dua pandangan

sebelumnya, yaitu dengan tetap mempertahankan keistimewaan dan keistimewaan itu

harus berdasarkan nilai-nilai demokrasi.

Sejak bergabungnya Yogyakarta kedalam NKRI melalui amanat 5 September

1945, Presiden Soekarno mengirimkan Surat Kedudukan Presiden pada tanggal 6

September 1945. Sebenarnya surat tersebut sudah disiapkan dan akan dikirim pada

tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah Presiden RI pertama tersebut dilantik. Akan

tetapi, Presiden Soekarno menunggu sikap dari Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku

Alam VIII. Sehingga surat tersebut tetap ditahan sampai tanggal 6 September 1945,

sehari setelah kedua pemimpin di wilayah Yogyakarta tersebut mengeluarkan sikap.

Pada intinya, surat Presiden Soekarno tersebut mengakui dan menghormati

kedudukan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai penguasa di

Page 139: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

129

wilayah Yogyakarta. Sejak saat itulah, semua kebijakan pemerintahan daerah

khususnya menyangkut masalah kepala daerah, pemerintah pusat tetap mengakui dan

menghormati keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perdebatan mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY antara kelompok yang tetap menginginkan Sultan Hamengku

Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kelompok yang

menginginkan agar Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara demokratis sama-sama

menjadikan konstitusi sebagai dasar argumentasi. Kelompok yang menginginkan

Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara demokratis menghendaki agar Pasal 18

ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar konstitusional pemilihan kepala daerah

dipegang secara konsisten di seluruh NKRI.

Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis diharapkan akan mampu

meningkatkan hubungan dan interaksi antara pemerintah sebagai wakil pemerintah

pusat di daerah dengan masyarakat di daerah.312 Pemilihan kepala daerah secara

demokratis dianggap sebagai perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat seperti

yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan

bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai

negara demokrasi.313 Oleh karena itu, maka negara harus memberikan kesempatan dan

perlakuan yang sama terhadap seluruh warga negara dalam hukum dan pemerintahan.

Itulah alasan mengapa kelompok tersebut menginginkan agar Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY dipilih secara demokratis.

Sedangkan kelompok yang menginginkan agar Sultan Hamengku Buwono dan

Paku Alam secara otomatis tetap menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi DIY berpegang pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai

landasan konstitusional penetapan. Sebagai sebuah daerah istimewa, maka memang

harus memiliki keistimewaan pula. Fakta sejarah tidak dapat dihapus begitu saja dalam

praktek bernegara. Sujamto menyatakan bahwa salah satu hak asal usul yang bersifat

istimewa (hak autochtoon) dalam daerah istimewa adalah hak asal-usul yang

menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian

pemimpin.314 Jadi mekanisme penetapan dan/atau pengangkatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY merupakan bagian dari hak autochtoon itu.

312 Marijan, Kacung, Sistem Politik …,Op.Cit. hlm. 170 313 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum…,Op.Cit., hlm.130 314 Sujamto, Daerah Istimewa….,Op.Cit., hlm.15

Page 140: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

130

Beranjak dari perbedaan pandangan tersebut, maka dalam Bab ini penulis akan

membahas mengenai prinsip kedaulatan rakyat dalam mekanisme pengisian jabatan

kepala daerah. Pembahasan ini nantinya diharapkan akan bisa memberikan solusi

terhadap perdebatan mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY.

Sebelum Kemerdekaan, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan

sebuah negara bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri yang disebut dengan

Zelfbestuurende Landschappen.315 Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Surat

Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal

18 Maret 1940.316 Pasal 1 ayat (2) Surat Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa

Kekuasaan atas Kesultanan diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh

Gubernur Jenderal. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku penguasa di wilayah Yogyakarta

adalah sah secara hukum sejak pemerintahan penjajah Hindia Belanda.

Adapun wilayah Kesultanan Ngayogyakarta ketika GRM Dorodjatun dinobatkan

sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang

315 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1756 Masehi bertepatan dengan tahun 1682 Jawa setahun setelah ditantada tanganinya perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi ( kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I ) dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Nicholas Hartingh. Isi dari perjanjian Giyanti itu sendiri paling tidak mencakup 3 hal, yaitu (1) Pembagian wilayah kerajaan Mataram, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mendapat ½ dari wilayah kerajaan Mataram, sedangkan Kasunanan Surakarta mendapatkan ½ bagian lainnya; (2) Nama dan Gelar Pangeran Mangkubumi adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakarto Hadiningrat; (3) Penempatan Keraton dari Pangeran Mangkubumi, yaitu di Alas Beringan Desa Pachetoan, pusat pemerintahan wilayah kerajaan Mataram zaman Panembahan Senopati yang kemudian dikenal dengan Ngayogyakarta (Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi merupakan adik dari Susuhunan Paku Buwana II (Raja dari Kerajaan Mataram yang kemudian setelah perjanjian Giyanti dinamakan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Pangeran Mangkubumi keluar dari Keraton untuk melawan Belanda, karena Susuhunan Paku Buwana II sangat berpihak kepada Belanda. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhunan Paku Buwana II menyerahkan kerajaannya kepada Belanda dengan permintaan agar Pangeran Adipati Anom sebagai putra Mahkota dapat menggantikannya. Mendengar hal tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian dinobatkan sebagai raja oleh para Kawula dan dukungan seluruh keluarga pada tanggal 11 Desember 1749 tersebut dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pangeran Mangkubumi secara terus menerus melakukan perlawanan kepada pihak Belanda selama kurang lebih 9 tahun, sehingga kedua belah pihak sepakat untuk berdamai melalui perjanjian Giyanti yang ditandatngani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti di sebelah tenggara Karanganyar. Sumber: Hasil wawancara Penulis dengan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 8 Juli 2011di Komplek Keraton Yogyakarta.

316 Lihat: Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta dalam Atmakusumah, Ed, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Cet. 4. Edisi Revisi ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 365. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku wakil Kesultanan Yogyakarta dan L. Adam, Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta saat itu. Tanggal perjanjian itu tepat dengan tanggal dinobatkannya GRM Dorodjatun sebagai Sultan Hamengku Buwono IX

Page 141: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

131

Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX Senopati Ing Ngalogo

Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing

Ngayogyakarto Hadiningrat adalah sebagai berikut:317

1. Kabupaten Kota Yogyakarta (bekas Kawedanan Kota Yogyakarta); 2. Kabupaten Sleman (bekas Kawedanan Sleman, Kalasan, dan Godean- dulunya

masuk Kabupaten Bantul); 3. Kabupaten Bantul, meliputi Kabupaten Bantul minus bekas Kawedanan Godean; 4. Kabupaten Gunung Kidul; dan 5. Kabupaten Kulon Progo.

Setelah dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus

Tahun 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII memerintahkan

K.R.T. Hanggawangsa mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs.

Mohammad Hatta serta dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat selaku ketua Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI) pada tanggal 18

Agustus Tahun 1945 yang kemudian disusul telegram yang menyatakan Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII siap berdiri di belakang Republik.318

Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah pusat mengutus dua orang

Menteri Negara yaitu Mr. Sartono dan M.r. A.A. Maramis dating ke Yogyakarta untuk

menyampaikan piagam penetapan mengenai kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono

IX sebagai penguasa di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang

merupakan bagian dari Republik Indonesia.319 Akan tetapi, piagam kedudukan yang

317 Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Yogyakarta: Dharmakaryadhika Publisher, 2008), hlm. 76. Hasil wawancara penulis dengan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 7 Juli 2011 juga menyebutkan bahwa wilayah Provinsi DIY yang ada saat ini merupakan sisa wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak terjadinya Perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi ( Sri Sultan Hamengku Buwono I ) dengan Nicholas Hartingh di Desa Padegangan Grobongan, tanggal 22-23 September 1754 dan ditanda tangani pada tanggal 13 Februari 1755. K.R.T. Jatiningrat menyatakan bahwa berdasarkan perjanjian Giyanti tersebut, wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah separoh (1/2) dari wilayah Kerajaan Mataram. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, sesudah perang Diponegoro, wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat tinggal Negara Agung saja, adapun Manca Negara dikuasai oleh Belanda sebagai akibat kekalahan Diponegoro. Negaraagung itu wilayahnya yang sekarang ini disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta ( Mung gari sak megare payung ) yang meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo.

318 Atmakusumah, ed, Takhta Untuk…,Op.Cit., hlm. 61.Hal tersebut juga disampaikan oleh K.R.T. Jatiningrat dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 7 dan 8 Juli di Komplek Keraton Yogyakarta. Sebelumnya pada tanggal 6 Juli 2011, bertempat di Gedung Pracimasono Komplek Kepatihan Yogyakarta, dalam acara audiensi dengan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Jawa Tengah dan DIY, K.R.T.Jatiningrat juga menyampaikan hal yang sama.

319 Ibid., hlm. 62

Page 142: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

132

ditandatangani oleh Presiden Soekarno tersebut urung (tidak jadi) disampaikan

langsung oleh kedua menteri tersebut. Hal itu dikarenakan kedua menteri tersebut

sudah mengetahui bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII akan

mengeluarkan pernyataan tertulis terkait dengan kedudukannya dalam wilayah Republik

Indonesia. Kedua menteri negara tersebut khawatir jika sikap yang dikeluarkan oleh

kedua penguasa Yogyakarta dan Paku Alaman tersebut bertentangan dengan piagam

penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945.320 Baru setelah Sri Sultan Hamengku

Buwono IX dan Sri Paku Alam membacakan Amanat pada tanggal 5 September 1945,321

Piagam Penetapan Presiden tersebut kemudian diserahkan kepada Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 6 September 1945, karena

kedua menteri negara tersebut berpandangan bahwa tidak ada pertentangan antara

Amanat yang dikeluarkan oleh kedua penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

dan Kadipaten Paku Alaman dengan Piagam Penetapan Presiden tersebut.322

Dengan demikian, secara historis-yuridis, kedudukan Sri Sultan Hamengku

Buwono IX dan Sri Paku Alama VIII dalam jabatan sebagai kepala daerah dan wakil

kepala daerah Provinsi DIY telah diakui oleh Pemerintah Pusat sejak tanggal 19 Agustus

1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pengakuan tersebut semakin kuat dengan di undang-undangkannya UU No. 22 Tahun

1948 dan UU No. 3 Tahun 1950. K.R.T. Harsadiningrat menyatakan bahwa dengan

diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 3 Tahun 1950 merupakan bukti-bukti

otentik atas kehendak politik sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 beserta

penjelasannya.323

320 Hasil wawancara penulis dengan K.R.T. Jatiingrat pada tanggal 7 Juli 2011. 321 Dalam wawancara penulis dengan GBPH. H. Djoyokusumo ( adik kandung Sri Sultan Hamengku Buwono X

) dan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 7 Juli 2011, kedua orang cucu Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut menyatakan bahwa Amanat 5 September 1945 tersebut dibuat dan dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dipilihnya status istimewa tersebut bukan tanpa dasar, isi dari amanat 5 September 1945 tersebut telah dibahas secara matang dengan berbagai kalangan (tokoh) sehingga tidak mungkin bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dengan ditetapkannya Piagam Penetapan Presiden yang disampaikan pada tanggal 6 September 1945 tersebut merupakan pengakuan atau bukti autentik bahwa pemerintah pusat mengakui status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai penguasa di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman pada waktu itu.

322 K.R.T.Jatiningrat mengungkapkan bahwa sebelum dikeluarkannya amanat 5 September 1945 tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah meminta pendangan dan pendapat dari berbagai pihak (tokoh), termasuk Ki Hajar Dewantara. Sehingga pada akhirnya amanat tersebut dikeluarkan (dibacakan) pada tanggal 5 September 1945. K.R.T. Jatiningrat menyatakan bahwa kata “amanat” digunakan bukan karena tanpa alasan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak menggunakan kata “maklumat” melainkan kata “amanat”. Hal ini dikarenakan bahwa pernyataan tersebut bukan semata-mata kehendak atau keinginan Sultan semata, melainkan amanat yang diemban oleh Sultan dari seluruh rakyat Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat untuk disampaikan kepada pemerintah pusat (Presiden) RI.

323 Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali…,Op.Cit.,hlm. 36

Page 143: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

133

5.1.1. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY

dalam berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Dalam pembahasan sebelumnya, penulis sudah mengemukakan secara singkat

mengenai pengaturan daerah istimewa dalam berbagai undang-undang pemerintahan

daerah yang pernah dan/atau masih berlaku di Indonesia. Beberapa undang-undang

pemerintahan daerah tersebut diantaranya adalah UU No. 22 Tahun 1948; UU No. 1

Tahun 1957; Penpres Nomor 6 Tahun 1959; UU No. 18 Tahun 1965; UU No. 5 Tahun

1974; UU No. 22 Tahun 1999; dan UU No. 32 Tahun 2004.

Pengaturan mengenai mekanisme pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY sebagai sebuah daerah istimewa dalam UU No. 22 Tahun 1948,

diatur dalam Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6). Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (5)

dan ayat (6) UU No. 22 Tahun 1948:

5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

6) Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggauta Dewan Pemerintah Daerah.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan

kepala daerah istimewa adalah diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang

masih berkuasa di daerah itu. Kemudian bagi daerah istimewa juga dapat diangkat

seorang wakil kepala daerah. Sedangkan bagi daerah lainnya, jabatan wakil kepala

daerah ditiadakan.

Ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU No. 22 Tahun 1948 tersebut di atas paling tidak

mengandung 2 hal, yaitu:

1. Bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat kepala daerah istimewa.

Dengan adanya ketentuan ini, maka kepala daerah istimewa diangkat langsung oleh

Presiden tanpa melalui pencalonan terlebih dahulu oleh DPRD sebagaimana

ketentuan bagi daerah-daerah lainnya.

2. Bahwa calon kepala daerah istimewa itu berasal dari “keturunan” keluarga yang

masih berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih

menguasai daerahnya. Dalam ketentuan ini, yang digunakan adalah istilah

“keturunan”, dengan demikian, maka Presiden berhak menentukan atau memilih

Page 144: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

134

siapa saja dari keturunan penguasa di daerah istimewa itu. Tidak harus seorang raja

atau sultan yang sedang bertahta. Akan tetapi bisa saja dari keturunan raja atau

sultan sebelumnya yang dianggap mampu secara subjektif oleh Presiden. Sebagai

contoh misalnya Presiden dapat mengangkat siapa dari keturunan lain dari Sri Sultan

Hamengku Buwono IX, tanpa harus mengangkat Sultan Hamengkubuwono yang

sedang bertahta yang mengggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Misalnya

saudara dari Herjuno Darpito atau GPH. Mangkubumi ( saat ini bertahta sebagai Sri

Sultan Hamengku Buwono X) seperti GBPH. Djoyoningrat atau GBPH.Yudhaningrat

yang dianggap mampu dan memenuhi persyaratan oleh Presiden.

Dalam UU No. 22 Tahun 1948 tersebut, tidak terdapat ketentuan mengenai masa

jabatan seorang kepala daerah, termasuk masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala

daerah istimewa. Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan bahwa “Kepala Daerah dapat

diberhentikan oleh yang berwajib atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan”. Yang dimaksud dengan “yang berwajib” adalah Presiden, Menteri dan

Gubernur sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Penjelasan Umum Bagian VI

ke-24 UU No. 22 Tahun 1948. Penulis berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak

mengikat bagi daerah istimewa, hal tersebut dikarenaka mekanisme pengangkatan

kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tidak seperti mekanisme pengangkatan

kepala daerah lainnya yang dicalonkan oleh DPRD terlebih dahulu. Akan tetapi, secara

konseptual kepala daerah istimewa dapat diberhentikan kapan saja oleh Presiden jika

Presiden menghendaki pemberhentian itu. Hal ini sebagai wujud bentuk negara

kesatuan yang kita anut, dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk

mengatur urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Lain halnya dengan UU No.22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 mengharuskan

adanya pencalonan kepala daerah istimewa yang berasal dari keturunan keluarga yang

berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia. Jadi, dalam UU No. 1

Tahun 1957, DPRD memiliki hak untuk mengajukan calon kepala daerah istimewa.

Dengan kata lain bahwa mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa menurut

UU No. 1 Tahun 1957 bukan lagi diangkat langsung oleh Presiden, melainkan harus

dicalonkan terlebih dahulu oleh DPRD. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 25 UU No.1

Tahun 1957:

(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,

Page 145: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

135

kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah

Istimewa tingkat II dan III. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat /memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).

(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.

Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 juga tidak

menyebutkan masa jabatan seorang kepala daerah termasuk kepala daerah istimewa.

Akan tetapi, dalam Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1957 disebutkan bahwa cara

pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah diatur dengan undang-undang.

Penulis tidak menemukan adanya sebuah undang-undang khusus yang mengatur

mengenai cara pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1957 tersebut. Oleh karena itu,

penulis berpendapat bahwa mekanisme pemberhentian kepala daerah istimewa juga

sama dengan mekanisme pemberhentian kepala daerah istimewa sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 22 Tahun 1948.

Pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa oleh DPRD tidak

lagi diperlukan setelah berlakunya Penpres No. 6 Tahun 1959. Untuk Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, dalam ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959

tersebut tidak lagi dicalonkan oleh DPRD, melainkan ditetapkan langsung oleh Presiden.

Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1957 yang

mensyaratkan adanya pencalonan terlebih dahulu dari DPRD. Hal ini juga dipertegas

dalam Penjelasan Pasal 6 Penpres No.1 Tahun 1959 yang berbunyi “Dalam ketentuan

ini tidak dimasukkan lagi unsur pencalonan”.

Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959 yang berbunyi:

(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,

Page 146: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

136

kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 6 Penpres No. 6 Tahun 1959

tersebut, maka mekanisme pengangkatan kepala daerah istimewa adalah diangkat

dan/atau ditetapkan langsung oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa

menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia.

Mengenai masa jabatan kepala daerah, Penpres No. 6 Tahun 1959 juga tidak

mengaturnya secara eksplisit. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (6) Penpres

No. 6 Tahun 1959 disebutkan bahwa “Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa

jabatan yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan, tetapi dapat diangkat kembali setelah masa jabatannya berakhir”.

Ketentuan tersebut sebenarnya masih bisa ditafsirkan berbeda, apakah berlaku bagi

kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa atau tidak. Hal ini dikarenakan cara

pengangkatan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa berbeda dengan

cara pengangkatan kepala daerah biasa yang harus melalui pencalonan oleh DPRD.

Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa masa jabatan kepala daerah istimewa

tergantung dari kehendak Presiden selaku penguasa yang mengangkat dan

memberhentikan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tersebut.

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, dalam UU No. 18 Tahun 1965,

tidak ditentukan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah

istimewa. UU No. 18 Tahun 1965 langsung menyebutkan bahwa kepala daerah dan

wakil kepala daerah istimewa Jogyakarta yang sedang menjabat saat diberlakukannya

UU No. 18 Tahun 1965 tersebut secara otomatis menjadi kepala daerah dan wakil

kepala daerah istimewa Jogyakarta. Dengan kata lain bahwa UU No. 18 Tahun 1965

tidak mengatur ketentuan antisipatif jika kepala daerah dan wakil kepala daerah

istimewa Jogyakarta itu mangkat, berhenti atau diberhentikan. Apakah mengikuti

mekanisme pengisian jabatan kepala daerah biasa sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 22 UU No. 18 Tahun 1965 atau tidak. Akan

tetapi, UU No. 18 Tahun 1965 tidak membatasi masa jabatan kepala daerah dan wakil

kepala daerah istimewa Jogyakarta dalam masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana

yang diberlakukan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah biasa. Pasal 88 ayat (2)

huruf b UU No. 18 Tahun 1965 berbunyi:

Page 147: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

137

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa

Yogyakarta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 ayat (2) huruf b UU No. 18 Tahun

1965 diadopsi kembali dalam UU No. 5 Tahun 1974. Pasal 91 huruf b UU No.5 Tahun

1974 berbunyi:

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seperti mekanisme

pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Misalnya dalam hal

masa jabatan, Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1974 menentukan bahwa masa jabatan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya hanya bisa menjabat selama 5 (lima) tahun

dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Begitu pula

mengenai syarat untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana

dimaksud Pasal 14 dan Pasal 24 UU No.5 Tahun 1974 juga tidak mengikat bagi Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti harus berpendidikan

Sarjana Muda bagi Kepala Daerah dan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat

bagi Wakil Kepala Daerah.

Akan tetapi, permasalahan yang sama dapat terjadi sebagaimana permasalahan

yang terjadi dalam UU No. 18 Tahun 1965. Permasalahan tersebut ialah bagaimana

mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa

Yogyakarta berikutnya, jika Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta yang ada saat itu berhenti atau diberhentikan. Apakah mekanisme pengisian

jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tersebut sama dengan

mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah biasa. Karena dari

ketentuan tersebut, pengkhususan hanya diberlakukan bagi kepala daerah istimewa dan

wakil kepala daerah istimewa Yogyakarta yang ada pada saat itu, yaitu Sri Sultan

Page 148: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

138

Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII masing-masing sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut juga diadopsi kembali dalam UU

No. 22 Tahun 1999. Walaupun UU No. 5 Tahun 1974 sudah dinyatakan tidak berlaku,

akan tetapi khusus mengenai ketentuan daerah istimewa tetap berlaku, karena Pasal

122 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Keistimewaan Provinsi Daerah

Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam

UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap.324 Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 122 yang

berbunyi UU No. 22 Tahun 1999:

Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.

Penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 berbunyi:

Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pemabahasan nomor

1.3.7, penulis berpendapat bahwa UU No.22 Tahun 1999 tersebut memberikan

keistimewaan yang “setengah hati” kepada Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya

menyangkut mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY.

Hal itu dapat dilihat dari penggunaan rumusan ketentuan “dengan mempertimbangkan

calon dari keturunan…”. Rumusan tersebut merupakan suatu rumusan yang sangat

bebas. Apalagi dijumbuhi dengan rumusan ” yang memenuhi syarat sesuai dengan

undang-undang ini”. Yang dimaksud dengan rumusan yang sangat bebas yaitu dapat

dilihat dari arti istilah “mempertimbangkan” itu sendiri. Dengan menggunakan istilah

“mempertimbangkan”, itu bermakna bahwa masih dapat memunculkan kemungkinan-

324 Lihat: Pembahasan pada Bab II Nomor 1.3.7

Page 149: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

139

kemungkinan lain selain yang dipertimbangkan itu. Misalnya, setelah DPRD menimbang

bahwa calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan dari keturunan Paku Alam tidak

memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah seperti

yang disyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 itu, maka DPRD dapat memilih calon

lainnya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pengakuan eksistensi Yogyakarta

sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut

adalah “setengah hati” bahkan mengalami kemunduran. Hal ini berbeda dengan

ketentuan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya yang langsung

mengangkat dan menetapkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa harus

terikat dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah lainnya.

Sebagai akibat dari adanya ketentuan ini, pada tahun 19989, setelah Sri Paku

Alam VIII wafat, terjadi polemik di DPRD DIY mengenai mekanisme pengisian jabatan

Wakil Gubernur Provinsi DIY. Selain itu, konflik internal juga terjadi dalam lingkungan

Puro Paku Alaman. Sebuah konflik internal keluarga istana atau Puro Paku Alaman

muncul, berkaitan dengan dua calon yang diajukan kerabat keraton itu. Calon pertama

adalah Gusti Bendoro Pangeran Haryo Probokusumo (Angkling Kusumo) didukung

keluarga KRAy Retnaningrum, istri kedua Sri Pakualam VIII. Sedangkan calon kedua,

Sri Pakualam IX Kanjeng Pangeran Haryo Ambarkusumo didukung keluarga istri

pertama Sri Pakualam VIII, KRAy Purnamaningrum. Meski masih satu kerabat, kedua

kubu ahli waris Sri Pakualam VIII bersikeras memuluskan calonnya. Mereka terus

melobi pimpinan dan anggota DPRD. Oleh karena adanya konflik internal tersebut maka

pimpinan Dewan akhirnya menunda proses pemilihan Wagub hingga 2004. Dalam kurun

waktu itu, DPRD sepakat tetap mengosongkan jabatan Wakil Gubernur Provinsi DIY.325

Akhirnya pada tahun 2003, Sri Paku Alam IX dapat ditetapkan sebagai Wakil Gubernur

DIY setelah Angkling Kusumo mengundurkan diri dari pencalonan.

Ketentuan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999

tersebut sangat riskan terhadap terjadinya konflik internal dalam lingkungan keraton (

325 http://berita.liputan6.com/read/14384/Pemilihan.Wakil.Gubernur.Yogyakarta.Ditunda. Edisi 09/06/2001. diakses pada tanggal 10 Juli 2011

Page 150: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

140

Keraton Kasulatanan Yogyakarta maupun Pro Paku Alaman). Adanya ketentuan

pencalonan oleh DPRD dengan mempertimbangan keturunan dari Sultan Hamengku

Buwono dan Paku Alam akan membawa dampak tersendiri bagi munculnya konflik

internal dalam lingkungan keraton seperti yang terjadi pada pengisian jabatan Wakil

Gubernur DIY pada tahun 1999 tersebut. Konflik internal tersebut tidak akan terjadi jika

undang-undang secara jelas menyatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam yang bertahta langsung ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

DIY.

Di dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa

Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut harus didsarkan

pada UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan tersebut maka semakin

menjadikan status keistimewaan Provinsi DIY “mengambang”. Jika sebelumnya dalam

UU No. 22 Tahun 1999 masih diatur mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur Provinsi DIY, walaupun hanya dalam penjelasan Pasal 122 UU No.

22 Tahun 1999, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak disebutkan

mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut.

Dalam Pasal 226 ayat (2) tersebut hanya disebutkan mengenai status

keistimewaan Provinsi DIY yang tetap sebagaimana dimaksud dalam UU No.22 Tahun

1999. Oleh karena itu, polemik mengenai keistimewaan Provinsi DIY berawal dari

ketidak jelasan undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Akan tetapi, penulis

berpendapat jika tetap konsisten terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32

Tahun 2004 yang mengacu kepada ketentuan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 beserta

penjelasannya, maka sebenarnya titik permasalahannya adalah menyangkut

mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang riskan dengan

konflik internal dalam lingkungan keraton sendiri. Selain itu, karena Pasal 122 UU No. 22

Tahun 1999 juga mengacu kepada Pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974, maka

perdebatan mengenai masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga tidak perlu

diperdebatkan. Hal ini karena ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 sepanjang

mengatur masalah keistimewaan Yogyakarta, tetaplah berlaku, karena Pasal 122 UU

No. 22 Tahun 1999 menyatakan demikian. Begitu pula halnya dengan Pasal 226 ayat

(2) UU No. 32 Tahun 2004 tetap memberlakukan ketentuan yang mengatur

keistimewaan Provinsi DIY dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dengan demikian,

permasalahan yang masih tersisa yaitu menyangkut tata cara pengisian jabatan

Page 151: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

141

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY khususnya dalam hal pencalonan ( calon Gubernur

dan Wakil Gubernur ) dan mekanisme pengisian jabatan tersebut.

Permasalahan terkait dengan pencalonan yaitu apakah calon Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY secara otomatis adalah Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam yang bertahta, ataukah keturunan Sultan Hamengku Buwuno dan Paku Alam

lainnya dapat mencalonkan diri. Sedangkan terkait mekanisme pengisian jabatan

tersebut yaitu menyangkut mengenai cara yang ditentukan, apakah cara pemilihan

langsung oleh rakyat, atau dipilih oleh DPRD ataukah dengan cara pengangkatan

(penetapan) oleh Presiden.

Page 152: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

142

Dengan pendekatan historis, berikut ini disampaikan tabel tentang mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil

kepala daerah istimewa yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959, UU No. 18

Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.

KET. UU

NO.22/1948

UU NO.

1/1975

PENPRES

NO. 6/1959

UU NO.

18/1965

UU NO.

5/1974 UU NO. 22/1999

UU

NO.32/2004

Cara

Pengisian

Jabatan

Kepala

Daerah

Dan Wakil

Kepala

Daerah

Istimewa

Diangkat

oleh

Presiden

Diangkat dari

calon yang

diajukan oleh

DPRD.

Pengangkatan

dan

pemberhentian

dilakukan oleh:

a. Presiden

untuk

daerah

istimewa

tingkat I

b. Menteri

Dalam

Negeri atau

penguasa

yang

ditunjuk

olehnya

Diangkat oleh

Presiden

tanpa melalui

calon yang

diajukan oleh

DPRD

Kepala

daerah yang

sudah ada

sebelumnya

merupakan

kepala

daerah dan

wakil kepala

daerah

istimewa

Jogyakarta

Kepala

daerah yang

sudah ada

sebelumnya

merupakan

kepala

daerah dan

wakil kepala

daerah

istimewa

Jogyakarta

Secara normatif,

mekanisme yang

disebutkan adalah

pengangkatan.

Dalam praktek

pernah akan terjadi

pemilihan Wakil

Gubernur pada

Tahun 2001

Tidak ada

ketentuan

(norma) yang

mengatur

mengenai

mekanisme

pengisian

jabatan

Gubernur dan

Wakil

Gubernur DIY.

Akan tetapi

dalam praktek

ternyata

dilakukan

penetapan

(perpanjangan

masa jabatan)

ketika masa

jabatan

Page 153: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

143

bagi

Daerah

Istimewa

tingkat II

dan III

Gubernur dan

Wakil

Gubernur DIY

berakhir pada

tahun 2008

Asal Calon Dari

Keturunan

keluarga

yang

berkuasa di

daerah itu

dizaman

sebelum

Republik

Indonesia

dan yang

masih

menguasai

daerahnya

Dari

Keturunan

keluarga yang

berkuasa di

daerah itu

dizaman

sebelum

Republik

Indonesia dan

yang masih

menguasai

daerahnya

Dari

keturunan

keluarga

yang

berkuasa

menjalankan

pemerintahan

di daerah itu

dizaman

sebelum

Republik

Indonesia

dan yang

masih

berkuasa

menjalankan

pemerintahan

di daerahnya

Tidak diatur

kemungkinan

adanya calon

lain setelah

berakhirnya

masa jabatan

kepala

daerah dan

wakil kepala

daerah

istimewa

yang sedang

menjabat

Tidak diatur

kemungkinan

adanya calon

lain setelah

berakhirnya

masa jabatan

kepala

daerah dan

wakil kepala

daerah

istimewa

yang sedang

menjabat

dari keturunan

Sultan Yogyakarta

dan Wakil

Gubernur dengan

mempertimbangkan

calon dari

keturunan Paku

Alam

-

Syarat Cakap, jujur

dan setia

Cakap, jujur

dan setia serta

Cakap, jujur

serta setia

Tidak

disebutkan

Tidak terikat

dengan

Syarat-syarat calon

Gubernur dan

-

Page 154: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

144

serta adat

istiadat

dalam

daerah itu

adat istiadat

dalam daerah

itu

kepada

Pemerintah

RI serta adat

istiadat dalam

daerah itu

syarat-

syaratnya

syarat-syarat

sebagaimana

syarat-syarat

yang berlaku

bagi kepala

daerah

lainnya

Wakil Gubernur

DIY sama dengan

syarat-syarat yang

berlaku bagi calon

Gubernur dan

Wakil Gubernur

daerah lainnya

sebagaimana yang

diatur dalam

udang-undang

Masa

Jabatan

Tidak

ditentukan

masa

jabatan

Tidak

ditentukan

masa jabatan

Masa

Jabatan

mengambang

karena ada

ketentuan

yang

membatasi

masa jabatan

kepala

daerah

sesuai

dengan masa

jabatan

DPRD

Tidak terikat

dengan masa

jabatan

sebagaimana

kepala

daerah

lainnya

Tidak terikat

dengan masa

jabatan

sebagaimana

kepala

daerah

lainnya

Masa jabatan

mengambang,

karena tidak diatur

dengan tegas.

Akan tetapi dalam

praktek ternyata

masa jabatannya

adalah 5 (lima)

tahun

Dalam

praktek, masa

jabatan

gubernur dan

wakil

gubernur diy

adalah 5

(lima) tahun.

akan tetapi

pada tahun

2008

diperpanjang

selama 3

(tiga) tahun

sampai

Page 155: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

145

dengan

Oktober 2011.

Bahkan

adanya

kemungkinan

untuk

diperpanjang

lagi hingga

draft RUUK

disahkan

sebagai UU.

Page 156: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

146

5.1.2. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY

dalam Draft RUUK dan UU Keistimewaan DIY

Dalam pembahasan Bab sebelumnya, penulis sudah menggambarkan secara

singkat mengenai keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY.

Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY ini

merupakan isu sentral dari perdebatan mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Terdapat

beberapa “keunikan” (keistimewaan) dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur DIY dalam RUUK tersebut. Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 28 UU No. 13

Tahun 2012. Beberapa keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY ini antara lain:

a. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi DIY, bukan

dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur di daerah lainnya.

Dalam UU No. 13 Tahun 2012 mengatur tata cara pengisian jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yaitu dengan cara penetapan oleh DPRD DIY setelah

diajukannya calon dan melalui proses verifikasi. Hal ini berbeda dengan undang-undang

pemerintahan daerah sebelumnya, yang menggunakan cara pengangkatan langsung

oleh Presiden tanpa melalui proses pencalonan dan verifikasi di DPRD. Pemerintah

pusat menganggap bahwa cara ini merupakan cara yang tepat agar nilai-nilai demokrasi

tetap tumbuh di Provinsi DIY, sebagaimana yang statmen Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono pada tanggal 26 November 2010.

Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa semua daerah

tingkat Provinsi di Indonesia saat ini, kepala daerah dan wakil kepala daerahnya dipilih

langsung oleh rakyat. Tidak terkecuali daerah otonomi khusus seperti Provinsi NAD, DKI

Jakarta, Papua dan Papua Barat. Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004,

disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara

langsung. Begitu juga halnya dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi NAD, Provinsi Papua dan Papua Barat juga

dilakukan secara langsung. Hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 29

Tahun 2007, Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2006, dan Pasal 11 UU No. 21 Tahun 2001 j.o

Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004.

Walaupun demikian, digunakannya mekanisme pemilihan oleh DPRD tidaklah

bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Page 157: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

147

hanya menentukan bahwa mekanisme pengisian jabatan kepala daerah haruslah dipilih

secara demokratis. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pasal 18 ayat

(4) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat diterapkan bagi daerah yang berstatus khusus dan

istimewa? Ni’matul Huda menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

tidak dapat diterapkan secara umum (digeneralisir) di semua daerah di Indonesia,

terutama daerah otonomi khusus dan istimewa.326

Jika Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tersebut diterapkan di seluruh

Indonesia tanpa terkecuali, maka Walikota dan Bupati dalam wilayah Provinsi DKI

Jakarta juga harus dipilih secara demokratis. Bukan dengan cara pengangkatan oleh

Gubernur seperti yang berlaku saat ini. Jika Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

digeneralisir, maka pengangkatan Walikota dan Bupati di wilayah Provinsi DKI Jakarta

oleh Gubernur adalah inkonstitusional. Akan tetapi, karena Provinsi DKI Jakarta

merupakan daerah otonomi khusus, maka pengangkatan Walikota dan Bupati di wilayah

Provinsi DKI Jakarta tersebut konstitusional karena berlandaskan pada Pasal 18B ayat

(1) UUD NRI Tahun 1945.

Penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ni’matul Huda

tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat digeneralisir

untuk diterapkan bagi daerah-daerah yang memiliki status khusus dan istimewa. Begitu

pula dengan Provinsi DIY yang menyandang status sebagai daerah istimewa.

Keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY hanyalah terletak pada jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur yang dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang

sedang bertahta. Achiel Suyanto menyatakan bahwa jika satu-satunya isi keistimewaan

itu dicabut oleh pemerintah pusat, maka tidak ada lagi keistimewaan yang dimiliki oleh

Provinsi DIY.327 Dengan demikian, status keistimewaan tersebut hanyalah hiasan kata

tanpa makna.

Secara konseptual, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan daerah istimewa

atau daerah dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18B

ayat (1) UUD 1945? Apa sebenarnya criteria istimewa itu?

Dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta tahun

2008 dan Draft tahun 2010 yang merupakan RUU usulan Pemerintah (Kementerian

Dalam Negeri) serta Draft RUU dari Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah

326 Hasil wawancara penulis dengan Ni’matul Huda pada tanggal 6 Juli 2011

327 Achiel Suyanto, S.H., M.H., MBA, adalah ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Penulis melakukan wawancara dengan Achiel Suyanto pada tanggal 5 Juli 2011.

Page 158: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

148

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada tahun 2008, definisi konsep

keistimewaan adalah sebagai berikut:328

Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Sementara itu yang dimaksud dengan kewenangan istimewa adalah wewenang

tambahan tertentu yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain wewenang

sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.329

Terkait dengan kewenangan istimewa yang merupakan hak asal-usul dalam daerah yang

bersifat istimewa (hak yang bersifat autochtoon), atau hak yang dimilikinya sejak sebelum

daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia, Sujamto mengemukakan

bahwa ada tiga garis besar macam-macam hak autochtoon itu, yakni sebagai berikut:330

1. Hak asal usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari kata-kata “susunan asli”;

2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin;

3. Hak asal usul yang yang menyangkut penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.

Pendapat Sujamto di atas, sesuai dengan jiwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum

perubahan, bahwa yang dinamakan hak asal-usul itu yaitu menyangkut bentuk susunan

pemerintahan asli suatu daerah yang bersifat khusus. Ni’matul Huda berpendapat

bahwa konsekuensi dari dari jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah

bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundang-undangan mengenai “daerah

yang bersifat istimewa” itu haruslah tidak mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.331

Dengan demikian, secara konseptual, status istimewa tersebut juga mencakup ketentuan

yang menyangkut prosedur atau mekanisme pengisian kepala daerahnya. Oleh karena

328 Diakses dari : - http://bdardias.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/06/Naskah-Akademik-dan-RUUK-Keistimewaan-

Yogyakarta-JPP-Fisipol-UGM.pdf. - http://djpp.depkumham.go.id/files/RUU/2008/ruu%20yogya.pdf

- http://hukum.kompasiana.com/2010/12/18/draf-ruu-keistimewaan-diy/18 desember 2010. Diakses pada tanggal 15 Februari 2011

329 Ibid. 330 Sujamto, Daerah Istimewa …,Op.Cit., hlm.15 331 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah…,Op.Cit., hlm. 7

Page 159: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

149

itu dapat pula ditafsirkan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat berdiri

sendiri tanpa melihat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 194.

Penulis juga berpendapat bahwa penyimpangan dari ketentuan Pasal 18 ayat (4)

UUD 1945 dapat dilakukan. Jika kita memperhatikan ketentuan pasal 18B ayat (1)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan undang-undang.” Penulis berpendapat bahwa istiliah “mengakui”

menunjukkan bahwa satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa itu memang

sudah ada sebelumnya dan diakui serta dihormati keberadaannya.

Seperti penjelasan pada pembahasan sebelumnya, bahwa selain daerah yang

bersifat istimewa, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga didasarkan

pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ini. Daerah otonomi

khusus tersebut seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

disampaikan oleh Ali Masykur Musa dari F-KB dan Hobbes Sinaga dari F-PDIP pada

Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 31 Mei 2000, yang dipimpin oleh Ali Masykur Musa

dari F-KB.332 Berikut ini pendapat Hobbes Sinaga dari Fraksi PDIP

“Pak Pimpinan, saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Pimpinan, sebaiknya butir tujuh ini kita bagi dua, yang pertama yang kita hargai adalah masalah hukum adatnya, yang kedua ada daerah-daerah otonom tertentu yang mendapatkan predikat istimewa, contohnya seperti Jogja, Aceh, dan Papua yang saya dengar, otonomi khusus itu namanya…..Lalu yang kedua negara mengakui keberadaan daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa yang telah diatur dengan undang-undang. justru jangan sampai ada lagi, kita sudah cukup punya Jogja, punya Papua sama punya Aceh, sudah jangan sampai ada lagi. Yang lain sama. Jadi, makanya sudah diatur, tutup saja di sini maksud saya. Sudah ada Tap MPR.” 333

Jadi, yang dimaksud dengan daerah khusus dan istimewa dalam ketentuan Pasal

18B ayat (1) itu adalah seperti Jogja, Aceh, DKI Jakarta dan juga Papua. Sebagai

komparasi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menurut ketentuan Pasal 227 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DKI Jakarta berstatus sebagai

332 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 1 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 1203

333 Ibid, hlm. 1238-1239

Page 160: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

150

daerah otonom dan dibagi kedalam wilayah administrasi setingkat kota yang dipimpin

oleh Walikota yang tidak dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bersifat otonom.

Ketentuan Pasal 227 ayat (2) tersebut berbunyi :”Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah

administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom.”

Jika kita mengacu pada pola yang diterapkan di DKI Jakarta yang tidak menganut

konsep pembagian wilayah Provinsi ke dalam wilayah kabupaten/kota yang otonom

sebagaimana yang disebutkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Dapat disimpulkan secara awam bahwa Pasal 227 UU No.32 Tahun 2004 tersebut

bertentangan dengan Paal 18 ayat (1) UUD 1945. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penulis berpendapat bahwa tidak dibentuknya daerah otonom dalam wilayah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada DKI Jakarta

sebagai ibukota negara. Kekhususan tersebut tentunya juga berdasarkan pengakuan

oleh Pasal 18B ayat (1) undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kekhususan DKI Jakarta

juga dapat dilihat dari pengisian jabatan Walikota wilayah administratif yang tidak dipilih

langsung sebagaimana yang berlaku pada Walikota-Walikota lainnya di Indonesia. Ini

juga secara awam dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

yang menggariskan sistem pemilihan secara demokratis. Penulis berpendapat bahwa

Pasal 18B ayat (1) tersebut merupakan pengeculian terhadap ketentuan Pasal 18 ayat

(4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mana satu sama lain berdiri sendiri. Dengan

kata lain bahwa Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat dijadikan

landasan konstitusional bagi mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil

kepala daerah otonomi khusus dan istimewa.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 perihal

pengujian UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 29 Tahun 2007 dalam pertimbangan

hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:

Page 161: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

151

Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai sifat yang khusus. Kekhususannya itu memuat pengaturan mengenai (i) kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai ibukota negara; (ii) tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat; (iii) keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana umum tata ruang daerah sekitar; (iv) kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh Pemerintah….Pengaturan dalam pemberian status khusus yang demikian diakui dan dihormati berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945...Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan UU 29/2007, dibagi ke dalam daerah kota administrasi Kepulauan Seribu, yang walikota dan buaptinya ditunjuk…Menurut Mahkamah, pengaturan yang demikian tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945, karena adanya kedudukan norma konstitusi yang setara antara Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945…Pendirian Mahkamah yang berpendapat bahwa kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara sama, menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945…Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom, melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, secara sistematis maupun

analogi dapat dikatakan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak dapat

dipertentangkan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Masing-masing pasal

tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat mandiri secara sama. Jadi,

meknisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah khusus dan

istimewa tersebut tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (4) yang menentukan kepala

daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih secara demokratis, melainkan harus dilihat

ketentuan Pasal 18B ayat (1) sebagai landasan konstitusional bagi daerah khusus dan

istimewa.

Oleh karena itu, pendapat Sujamto yang menyatakan bahwa salah satu hak asal-

usul daerah yang istimewa atau disebut dengan hak autochtoon adalah keistimewaan

dalam prosedur dan mekanisme pengangkatan pemimpinnya, relevan dengan ketentuan

Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan juga sesuai dengan penafsiran yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 di

atas. Sehingga, dipakasakannya keberlakuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 di

daerah khusus dan istimewa merupakan suatu hal yang inkonsisten.

Page 162: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

152

b. Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah diwajibkan untuk bertanya kepada Sri Sultan

Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam mengenai kesediaannya untuk ikut dalam

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.334 Ketentuan ini adalah ketentuan yang

bersifat istimewa pula. Menurut ketentuan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono dan

Paku Alam merupakan pihak yang pasif. Berbeda dengan tata cara pencalonan kepala

daerah lainya, dimana bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerahlah

yang aktif mendatangi (mendaftarkan diri)335 ke penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Bahkan tata cara seperti itu juga berlaku bagi pemilihan umum Presiden dan Wakil

Presiden.336 Sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Sri Sultan Hamengku

Buwono dan Sri Paku Alam mendapatkan perlakuan yang kelihatan sangat istimewa.

Bandingkan dengan mekanisme yang diterapkan bagi bakal calon lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 RUUK yang mengikuti mekanisme sebagaimana yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

c. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam dapat mencalonkan diri sebagai Calon

Gubernur dan Wakil Gubernur melalui prosedur calon perseorangan khusus.337 Yaitu

tidak melalui pengusulan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan kata lain

bahwa jika Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam mencalonkan diri sebagai

calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka penyelenggara pemilihan langsung

menetapkannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui persyaratan

yang berlaku bagi calon Gubernur dari Parpol dan/atau calon perseorangan lainnya.

d. Bahwa jika Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur. Maka

Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dengan kata lain bahwa

Paku Alam harus berpasangan dengan Sultan Hamengku Buwono.338

e. Persyaratan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam

peraturan perundang-undangan tidak berlaku bagi Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri

Paku Alam jika keduanya menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan bagi

calon lainnya, berlaku persyaratan umum sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan.339

334 Lihat: Pasal 18 ayat (1) RUUK 335 Lihat: Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 j.o UU No. 12 Tahun 2010 yang mengharuskan partai politik

atau calon perseorangan untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ke KPUD. 336 Lihat: Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 42 Tahun 2008 yang mengaharuskan Partai Politik atau

Gabungan Partai Politik untuk mendaftarkan bakal pasangan calon Presiden dan wakil Presiden ke KPU. Bukan KPU yang mendatangi bakal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Draft RUUK

337 Lihat: Pasal 17 ayat (3) RUUK 338 Lihat: Pasal 17 ayat (6) RUUK 339 Lihat: Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (2) RUUK

Page 163: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

153

f. Bahwa jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur

dan Wakil Gubernur maka pemilihan hanya dilakukan untuk Gubernur. Dengan demikian,

hanya akan ada jabatan Gubernur saja tanpa adanya jabatan Wakil Gubernur.340

g. Jika hanya Hamengku Buwono dan Paku Alam yang mencalonkan diri sebagai Gubernur

dan Wakil Gubernur maka DPRD melakukan musyawarah untuk mufakat dalam

menetapkan dan mengusulkan keduanya kepada Presiden untuk disahkan sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur.341

h. Kerabat kasultanan dan kerabat pakualaman dapat mencalonkan diri sebagai Calon

Gubernur jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur.342 Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan

sebelumnya, bahwa ketentuan yang memungkinkan kerabat atau keturunan Sultan

Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur

akan memunculkan permasalahan tersendiri, yaitu terjadinya konflik internal dalam

lingkungan keraton dan pura.

i. Tidak terbukanya peluang bagi calon perseorangan (independen) untuk mencalonkan diri

sebagai calon Gubernur.343 Dalam RUUK tersebut, tidak disebutkan adanya kemungkinan

calon perseorangan untuk mecalonkan diri sebagai calon Gubernur. Masyarakat umum

yang ingin mencalonkan diri sebagai calon Gubernur haruslah melalui (mendapat

dukungan) partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini bertentangan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 yang memungkinkan calon

perseorangan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah. Penulis berpendapat bahwa ketentuan tersebut bisa saja dikesampingkan oleh

pembuat undang-undang, mengingat bahwa status yang dimiliki oleh Provinsi DIY adalah

berstatus istimewa. Keistimewaan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945, sehingga bisa saja diterapkan ketentuan yang bersifat istimewa

pula. Akan tetapi, jika ketentuan tersebut tetap dipaksakan maka akan terjadi

inkonsistensi. Di satu sisi Pemerintah Pusat mempertahankan agar mekanisme pengisian

jabatan Gubernur DIY dilakukan dengan cara pemilihan agar terpenuhnya nilai-nilai

demokratis. Sedangkan di sisi lainnya, terdapat perlakuan yang diskriminatif bagi

340 Lihat: Pasal 17 ayat (5) RUUK 341 Lihat: Pasal 20 ayat (6) RUUK 342 Lihat: Pasal 17 ayat (4) RUUK 343 Lihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 RUUK, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai adanya

peluang bagi calon perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon Gubernur tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik

Page 164: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

154

masyarakat umum yang ingin mencalonkan diri sebagai calon gubernur akan tetapi tidak

memiliki kendaraan politik (partai politik).

j. Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 2 periode ( satu

periode selama 5 tahun) tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam

apabila menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.344

k. Bakal calon Gubernur yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan, wajib mendapat

persetujuan dari Gubernur Utama apabila Gubernur Utama tidak mencalonkan diri

sebagai Gubernur.345 Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang terdapat dalam

mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dan Papua

Barat. Selain bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang harus asli Papua, bakal

calon Gubernur dan Wakil Gubernur juga harus mendapatkan persetujuan dari Majelis

Rakyat Papua (MRP).346

Itulah beberapa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY yang terdapat dalam RUUK yang diusulkan oleh Kementerian Dalam

Negeri yang sampai saat selesainya penelitian ini RUUK tersebut masih dibahas di DPR RI.

Penulis berpendapat bahwa ada beberapa kelemahan dalam mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY sebagaimana yang diatur dalam draft RUUK

tersebut. Beberapa kelemahan tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Adanya inkonsistensi, yaitu di satu sisi pemerintah pusat menyatakan bahwa sistem

pemilihan merupakan cara yang tepat bagi tata cara pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi DIY agar sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi, di sisi

lainnya terjadi tindakan yang diskriminatif dalam proses pemilihan tersebut. Mulai dari

persyaratan calon yang berbeda antara masyarakat umum dengan Sultan Hamengku

Buwono dan Paku Alam, mekanisme pendaftaran yang juga berbeda sampai dengan

periode masa jabatan yang berbeda antara Gubernur yang berasal dari masyarakat

umum atau kerabat keraton dengan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur jika

Gubernur dan Wakil Gubernur itu dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam.

Penulis berpendapat, bahwa sistem semacam itu justru akan merusak nilai-nilai

demokratis yang sesungguhnya. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor

024/PUU-III/2005 dalam bagian pertimbangan hukum menyatakan sebagai berikut:

344 Lihat: Pasal 22 ayat (4) RUUK 345 Lihat: Pasal 19 ayat (4) RUUK 346 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No.21 Tahun 2001

Page 165: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

155

Dalam menilai ada tidaknya persoalan diskriminasi dalam suatu undang-undang juga dapat dilihat dari perspektif bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due process ataukah dalam rangka perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak dari semua orang, maka pengingkaran demikian lebih teapt untuk dinilai dalam rangka due process. Namun, apabila suatu undang-undang ternyata meniadakan suatu hak demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dilihat adanya suatu tindakan

yang diskriminatif atau pelanggaran terhadap equal protection oleh pembentuk undang-

undang. Jika bakal calon yang berasal dari masyarakat umum atau kerabat keraton harus

mengikuti proses-proses umum untuk mencalonkan dirinya sebagai calon Gubernur,

maka Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak harus melalui prosedur dan

persyaratan itu. Periode masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih untuk satu kali

masa jabatan lagi sesudah itu juga tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan

Paku Alam. Bukankah ini merupakan suatu proses diskriminatif? Jawabannya tentu

merupakan bentuk diskriminatif dan pelanggaran terhadap equal protection. Oleh karena

itu, di satu sisi pemerintah memperjuangkan tegaknya nilai demokrasi akan tetapi di sisi

lain justru akan terjadi tindakan yang melanggar demokrasi itu sendiri.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa ada baiknya pemerintah konsisten dalam

mengambil suatu keputusan. Jika memang menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY dipilih secara demokratis, maka undang-undang yang akan dibentuk tidak boleh

bersifat diskriminatif. Dengan kata lain bahwa harus diberikan perlakuan yang sama

antara bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari masayarakat umum

dengan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari Sultan Hamengku Buwono

dan Paku Alam yang sedang bertahta. Akan tetapi, jika mekanisme penetapan atau

pengangkatan dipilih sebagai cara untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi DIY, itu juga konstitusional karena Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

merupakan landasan konstitusional yang sangat kuat bagi suatu daerah khusus dan

istimewa. Cara yang demikian akan lebih baik dibandingkan dengan adanya tindakan

diskriminatif-inkonsisten dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi DIY.

2. Kelemahan berikutnya yaitu adanya lembaga atau jabatan Gubernur Utama dan Wakil

Gubernur Utama yang tidak jelas pengaturannya. Ketidak jelasan yang dimaksud oleh

Page 166: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

156

penulis yaitu jabatan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama tersebut merupakan

bagian dari pemerintahan Provinsi DIY. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana

fungsi dan tugas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama jika Sultan Hamengku

Buwono dan Paku Alam menjabat sebagi Gubernur dan Wakil Gubernur?

Apakah mungkin terjadinya rangkap jabatan dan rangkap kewenangan yang dimiliki.

Sebagai contoh misalnya bahwa Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memiliki

kewenangan untuk memberikan arahan umum terhadap kebijakan dalam penetapan

kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang,

dan penganggaran.347 Selain itu, Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama juga

memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh

DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur.348

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah mungkin diperlukannya arahan dan/atau

persetujuan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama lagi jika Gubernur Utama dan

Wakil Gubernur Utama itu juga menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur ? Jika

tidak memerlukan arahan dan Persetujuan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama

lagi, lalu dikemanakan lembaga Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama itu ?

Apakah hilang atau istirahat untuk sementara waktu ? Kemudian bagaimana akibat

hukum suatu Perdais yang tidak mendapatkan persetujuan Gubernur Utama dan Wakil

Gubernur Utama, padahal dalam kedudukannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,

Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sudah menyetujui bersama dengan DPRD.

Inilah beberapa persoalan terkait lembaga Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama

yang menurut penulis sangat lemah pengaturannya. Kelemahan tersebut sebagai akibat

dari dimungkinkannya Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk mencalonkan

diri dan dapat menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

5.1.3. Prinsip Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi dalam Mekanisme Pengisian Jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian awal Bab ini, bahwa paling tidak

terdapat tiga pandangan (pendapat) yang memperdebatkan mekanisme yang tepat

untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pertama adalah

kelompok yang tetap menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan

Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam, yaitu menghendaki agar Sultan

347 Lihat: Pasal 10 RUUK 348 Ibid.

Page 167: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

157

Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertahta langsung ditetapkan sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pandangan ini berlandaskan pada sejarah

ketatanegaraan yang berkaitan dengan proses pengintegrasian Kesultanan Yogyakarta

dan Kadipaten Paku Alaman kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu,

pandangan ini berpegangan pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai

landasan konstitusional pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah yang

bersifat khsusus dan istimewa.

Kedua adalah golongan yang menginginkan agar mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur secara demokratis. Golongan ini juga beranggapan

bahwa mekanisme yang ada di Provinsi DIY saat ini dianggap sama dengan bentuk

monarki. Kelompok ini menjadikan Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai

landasan konstitusional untuk dipilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur secara

demokratis. Ketiga adalah kelompok yang memadukan antara dua pandangan

sebelumnya, yaitu dengan tetap mempertahankan keistimewaan dan keistimewaan itu

harus berdasarkan nilai-nilai demokrasi.

Secara historis, undang-undang pemerintahan daerah lebih banyak

menggunakan pandangan (kelompok) pertama dalam mekanisme pengisian jabatan

kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa Yogyakarta dibandingkan dengan

pandangan kedua atau ketiga. Sedangkan untuk pandangan ketiga, yang ingin

memadukan antara pandangan pertama dan kedua tercermin dalam draft RUUK yang

diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2010. Kelemahan-kelemahan

pandangan tersebut telah penulis bahas dalam pembahasan sebelumnya. Sehingga

dalam pembahasan ini, penulis akan fokus pada pandangan pertama dan pandangan

kedua, walaupun sesungguhnya pandangan yang kedua ini kurang begitu muncul ke

permukaan. Akan tetapi, jika berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI

1945, maka pandangan yang kedua ini adalah pandangan yang sangat kuat juga.

Masing-masing pandangan tersebut sebenarnya tertuju pada satu isu, yaitu berkaitan

dengan konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, penulis akan

membahas kedua pandangan tersebut, apakah masing-masing pandangan itu memiliki

landsan teoritik maupun landasan konstitusional yang kuat seperti yang diasumsikan,

sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaian polemik mengenai status

keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terjadi saat ini.

Secara konseptual, paham kedaulatan rakyat dikemukakan oleh kaum

Monarchomachen, Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa

rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan

Page 168: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

158

rakyat.349 Inti dari ajaran kedaulatan rakyat yaitu bahwa rakyatlah yang memiliki

kekuasaan yang sesungguhnya. Dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan

tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri.350

Bahkan, dalam sistem participatory democracy, dikembangkan pula tambahan bersama

rakyat, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat,

oleh rakyat dan bersama rakyat”.351

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, rakyat juga berpartisipasi dalam suatu lembaga perwakilan yang

merupakan bagian dari pemerintahan daerah Provinsi DIY. Penyelenggaraan

pemerintahan daerah di provinsi DIY pun sama sekali tidak ada berbeda dengan

penyelenggaraan pemerintahan daerah di daerah-daerah lainnya.352 Pasal 226 ayat (2)

UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah di

Provinsi DIY dilaksanakan berdasarkan undang-undang a quo.

Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY sudah

dimulai pada tanggal 29 Oktober 1945 dengan dibentuknya Badan Pekerja yang dipilih

dari antara anggota-anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Jogjakarta yang

memiliki peran sebagai Badan Legislatif (Badan pembentuk undang-undang) serta turut

menentukan haluan jalannya Pemerintahan Daerah dan bertanggungjawab kepada

KNID Jogjakarta.353 Bahkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1950 juga disebutkan

mengenai kedudukan DPRD DIY. DPRD DIY merupakan mitra kerja pemerintah Provinsi

DIY sebagaimana dimaksud dalam ketentuan undang-undang pemerintahan daerah.

DPRD DIY dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan

DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. DPRD Provinsi

DIY memiliki kewenangan yang sama dengan DPRD Provinsi lainnya. Pada intinya,

tidak ada perbedaan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi DIY dengan

daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perbedaan itu hanya terletak pada mekanisme

pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak syarat, cara pengangkatan

dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya.

349 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Loc.Cit 350 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Op.Cit.,hlm. 117 351 Ibid. 352 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Tahfif, Asisten 1 Setda Provinsi DIY di Komplek Kepatihan DIY

pada tanggal 8 Juli 2010 353 Lihat: Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober

1945 diktum 5

Page 169: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

159

Menurut Rousseau bahwa pemerintahan itu harus dipegang oleh rakyat, setidak-

tidaknya rakyat itu mempunyai perwakilan di dalam pemerintahan agar volonte generale

dapat diwujudkan. Kebebasan masih tetap ada dalam kehidupan bernegara, hanya saja

bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale).354

Rousseau menyatakan bahwa untuk memastikan volonte generale dijalankan maka

perlu adanya badan legislasi yang merupakan representasi rakyat.355Berdasarkan teori

yang dikemukakan Rousseau di atas, dapat diketahui bahwa konsep kedaulatan rakyat

sebenarnya sudah dilaksanakan di Provinsi DIY. DPRD DIY sebagai badan legislasi

yang merupakan representasi rakyat sudah dibentuk sejak tahun 1945. Ajaran kaum

Monarchomachen, Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa

rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan

rakyat,356 juga dapat dilihat dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan DIY. Segala

kebijakan pemerintahan ditentukan bersama antara DPRD bersama dengan Gubernur.

Dalam teori kedaulatan rakyat, disebutkan bahwa rakyat ikut berpartisipasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan

pemerintahan DIY tidak berbeda dengan partisipasi rakyat di daerah lainnya di

Indonesia. Rakyat melalui wakilnya di DPRD DIY, ikut menentukan kebijakan

pemerintahan di Provinsi DIY. Lembaga Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman

sama sekali tidak terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan DIY.357 Seperti

dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan dengan daerah lainnya hanya terletak pada

mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernurnya saja.

Rousseau menyatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat merupakan ajaran yang

mutlak berdasarkan volonte generale dari rakyat itu.358 Rousseau menyatakan bahwa

ada dua macam kehendak dari rakyat yaitu, pertama kehendak rakyat seluruhnya yang

dinamakan Volente de Tous. Kehendak ini hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya

sekali saja yaitu waku negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Kedua,

354 Bernard L. Tanya, Yoan N. simanjuntak dan Markus Y. Hege, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet.3 ( Yogyakarta: Gemta Publishing, 2010), hlm. 86-88

355 Ibid. 356 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Loc.Cit 357 Penulis melakukan wawancara dengan berbagai kalangan di Pemerintahan Provinsi DIY seperti Sekda

Provinsi, Asisten 1 maupun kerabat keraton. Dari wawancara penulis tersebut diketahui bahwa keraton sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY. Keraton merupakan lembaga budaya yang terpisah dengan pemerintahan Provinsi DIY.

358 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 119-120

Page 170: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

160

kehendak sebagian rakyat yang dinamakan volonte de Generale, dinyatakan sesudah

negara ada sebab dengan keputusan suara terbanyak.359

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, Volonte de Tous tersebut sudah

diwujudkan dalam konsensus bersama ketika bangsa ini lahir. Konsensus tersebut

tertuang dalam UUD 1945. UUD 1945 merupakan bentuk jelmaan dari kehendak rakyat

yang dituangkan dalam suatu dokumen politik berupa UUD 1945 tersebut. Rousseau

menyatakan bahwa Volonte de Tous ini tidak dapat ditarik kembali, karena merupakan

kesapakatan dasar bagi terbentuknya negara. Jika kehendak itu ditarik kembali, maka

bubarlah suatu negara. Begitu pula halnya dengan kesepakatan yang terjadi ketika

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman menyatakan

pengintegrasiannya ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui Amanat 5 September

1945, yang kemudian diakui dengan piagam kedudukan tertanggal 19 Agustus 1945

yang diserahkan pada tanggal 6 September 1945. Amanat 5 September 1945 tersebut

mengacu kepada Pasal 18 UUD 1945 yang saat ini telah dilakukan perubahan. Akan

tetapi, perubahan tersebut tidak mencabut makna keistimewaan yang dimiliki oleh suatu

daerah, termasuk DIY.

Akibat dari adanya kesepakatan tersebut, Yogyakakarta yang merupakan sebuah

negara yang merdeka (bumi mardiko) diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat.

Keitimewaan itu terletak pada mekanisme pengisian jabatan Gubenur dan Wakil

Gubernur yang dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai

penguasa wilayah Yogyakarta sebelum berdirinya Republik Indonesia. Sebagai sebuah

daerah istimewa, yang memiliki hak asal-usul (autochtoon), maka sudah semestinya

keistimewaan dalam prosedur pengangkatan pemimpin (kepala daerah dan wakil kepala

daerah) juga bersifat istimewa, selama sistem itu dimungkinkan oleh konstitusi.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan tertinggi di

tangan rakyat itu dibatasi oleh oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara

bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan

sahkan bersama. Inilah yang disebut dengan kontrak social antara warga masyarakat

yang tercermin dalam konstitusi.360 Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B disebutkan

bahwa negara mengakui dan menghormati saruan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa. Ketentuan tersebut merupakan landasan

konstitusional bagi sebuah daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Betatapun

besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan, maka

359 Ibid. 360 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Loc.Cit.

Page 171: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

161

rakyat juga tidak dapat melanggar konsitusi yang telah disepakati dan disahkan

bersama.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui cara pengangkatan atau penetapan

bertentangan dengan kehendak rakyat dan bertentangan dengan demokrasi. Jika ingin

dibuktikan secara empirik, sebenarnya pendapat yang menyatakan bahwa mekanisme

pengangkatan dan penetapan itu bertentangan dengan kehendak rakyat sangat lemah

dan tidak berdasar pada fakta. Hampir semua survei atau jajak pendapat yang dilakukan

oleh berbagai lembaga menghasilkan bahwa sebagian besar (mayoritas) rakyat DIY

menghendaki mekanisme pengangkatan atau penetapan sebagai mekanisme pengisian

jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.361

Selain hasil survei atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga

tersebut, pada tanggal 13 Desember 2010 DPRD DIY melalui sidang paripurna yang

dihadiri oleh puluhan ribu masyarakat DIY juga sudah mengeluarkan Keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 yang salah satu isinya

adalah mengusulkan pengisian Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY melalui

penetapan. Bahkan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-KB) menyatakan bahwa

penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur seumur hidup. Berikut ini 4 (empat) isi Keputusan DPRD DIY Nomor

54/K/DPRD/2010: 362

361 Penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menunjukkan hasil bahwa 96,6% penduduk DIY mendukung keistimewaan; 97,5% penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendukung keistimewaan; 93,2% penduduk DIY mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur; 945 penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendukung penetapan. Lihat: Harian Kedaulatan Rakyat, Edisi 31 Desember 2010.

Litbang Kompas juga melakukan Jajak Pendapat pada tanggal 1-3 Desember 2010. Metode yang digunakan oleh Litbang Kompas dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil jajak pendapat tersebut yaitu sebanyak 62,8% Responden Nasional Setuju dengan keistimewaan sistem pemilihan gubernur di Provinsi DIY, 53,7% Responden berpendidikan tinggi setuju menggunakan sistem penetapan. 71,5% responden setuju untuk mempertahankan daerah dengan Gubernur dijabat oleh Sultan (DIY). 88,8% responden di DIY setuju Gubernur DIY langsung dijabat Sultan. 67% responden asli DIY setuju jika Sultan HB X menjabat Gubernur DIY sampai akhir hayatnya. Bahkan 88,4% penduduk asli DIY mempercayai bahwa kesejahteraan akan tercapai jika kepala daerah dijabat oleh Sri Sultan HB X. Sumber: http://www.kompas.com/senin 6 desember 2010, 10.21 WIB. Lihat juga Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit., hlm. 262-264

Harian Bernas juga melakukan jajak pendapat dengan hasil sebanyak 97, 32% responden memilih Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, 44,02 responden menginginkan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur seumur hidup, 55,94 responden menginginkan Sri Sultan HB X sebagai calon tunggal, dan 96,14% responden menghendaki agar status DIY dipertahankan. Lihat: Tim Asistensi RUU DIY, Rakyat Jogja Menjawab Isu Seputar Keistimewaan DIY, (Yogyakarta: Tim Asistensi RUUK DIY, 2011), hlm. 27-28

362 Lihat: http://www.dprd-diy.go.id Selasa, 14 Desember 2010. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011

Page 172: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

162

1. Mempertahankan DIY sebagai daerah Istimewa dalam bingkai pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Mengusulkan pengisian Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY melalui penetapan

3. Penetapan yang dimaksud adalah Sri Sultan Hamengku Buono dan Sri Pakualam yang sedang bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

4. Mendesak Pemerintah pusat dan DPR RI untuk segera membentuk dan menyelesaikan Undang-undang keistimewaan DIY dengan mendasarkan aspek historis, filosofis, yurudis dan sosio politis DIY

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman

sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representative government).363

Ni’matul Huda juga menyatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya

pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan

dipilih secara langsung oleh rakyat. Dewan-dewan inilah yang betul-betul berdaulat.364

Jika dihubungkan dengan Keputusan DPRD DIY di atas, penulis berpendapat bahwa

indikator dari teori kedaultan rakyat sudah terpenuhi. DPRD DIY merupakan

representasi masyarakat DIY yang dipilih langsung oleh rakyat. Mengabaikan Keputusan

DPRD DIY tersebut justru bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat.

Keputusan DPRD DIY tersebut merupakan keputusan yang didukung oleh 6

(enam) dari 7 (tujuh) fraksi yang ada di DPRD DIY. Fraksi-fraksi yang mendukung

mekanisme penetapan tersebut antara lain Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Partai Golkar

(FPG), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

(FPKS) dan Fraksi PNI Raya. Hanya Fraksi Partai Demokrat saja yang belum menerima

mekanisme penetapan tersebut.365 Jika mengacu kepada teori Volonte Generale

sebagaimana yang dikemukakan oleh Rousseau di atas, maka Keputusan DPRD DIY

tersebut sudah sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat.

Rousseau menyatakan “…perlu dimengerti bahwa yang memberikan sifat umum

pada kehendak itu bukanlah jumlah suara, melainkan yang lebih penting, adalah

kepentingan bersama yang mempersatukannya.”366 Pernyataan Rousseau tersebut

363 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Op.Cit.,hlm. 120 364 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 188 365 http://www.dprd-diy.go.id 14 Desember 2010

366 Jean-Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politk, Penerjemah: Rahayu Susrtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen, Cet.2 ( Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 38

Page 173: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

163

bermakna bahwa berapapun jumlah suara yang dikumpulkan untuk pengambilan suatu

keputusan bukanlah menjadi persoalan penting, akan tetapi adanya kepentingan

bersama yang menyuarakan keputusan tersebut itulah yang lebih penting. Apalagi

dalam Keputusan DPRD DIY tersebut, mayoritas suara menghendaki sistem penetapan

sebagai cara untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, maka tidak ada

lagi yang perlu diperdebatkan.

Masyarakat DIY melalui wakil-wakilnya di DPRD DIY memiliki kepentingan

bersama untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan budaya yang sudah

tumbuh, hidup dan berkembang sejak ratusan tahun lalu. Bahkan Paulus Effendi

Lotulung menyatakan bahwa demokrasi harus mengingat pada nilai tradisional historis

yang masih ada dalam ruangan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, nilai

demokrasi itu harus bersinergi dengan nilai historis dan tradisional yang masih berlaku

dan hidup dalam masyarakat.367

Jika pemerintah masih meragukan keinginan masyarakat DIY dalam

menginginkan mekanisme penetapan, maka pmerintah dapat meminta masyarakat

untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap mekanisme penetapan

tersebut melalui sebuah referendum terbatas. Dengan dilakukannya referendum terbatas

pada masyarakat DIY tersebut nantinya pemerintah dapat mengetahui secara pasti

seberapa besar masyarakat yang menginginkan penetapan atau menginginkan

pemilihan. Akan tetapi, jika pemerintah khawatir jika referendum dilaksanakan di DIY

sehingga daerah-daerah lain akan meminta pelaksanaan referendum, maka Keputusan

DPRD DIY tersebut sudah memiliki kekuatan secara konseptual sebagai wujud

pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menghendaki mekanisme penetapan.

Asumsi berikutnya yang perlu dibahas adalah terkait dengan pandangan yang

menyatakan bahwa mekanisme penetapan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi,

terutama bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945 yang

menghendaki pemilihan kepala daerah secara demokratis. Oleh karena itu, penulis akan

membahas permasalahan ini dengan mengemukakan berbagai teori dan konsep tentang

demokrasi yang kemudian dianalisis, apakah mekanisme penetapan itu bertentangan

dengan prinsip demokrasi atau tidak.

367 Paulus Effendi Lotulung dalam Aloysius Sony BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit., hlm. 201

Page 174: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

164

International Commission of Jurists dalam konferensinya di Bangkok pada tahun

1965, merumuskan defenisi umum mengenai sistem pemerintahan demokratis sebagai

berikut:368

A form of government where the citient exercise the same right (the right to make political decisions), but through representatives chosen by them and responsible to them through the process of free elections. ( Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas). Selain itu, Hendry B. Mayo memberikan definisi mengenai sistem politik

demokratis adalah sebagai berikut: 369

”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).

Berdasarkan definisi sistem pemerintahan demokrasi di atas, maka jika dikaitkan

dengan sistem pemerintahan yang ada di Provinsi DIY saat ini tidaklah menunjukkan

adanya pertentangan dengan konsep demokrasi tersebut. Kebijakan-kebijakan umum

maupun proses pembuatan keputusan-keputusan politik tetap dijalankan oleh warga

melalui wakil-wakil masyarakat yang ada di DPRD Provinsi DIY. Wakil-wakil rakyat

tersebut dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui pemilihan umum yang

dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai dengan ketetentuan Pasal 22E UUD

NRI Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY tetap mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keputusan politik yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 dilakukan dalam suasana terjaminnya

kebebasan politik. Selain itu, Keputusan DPRD DIY tersebut bahkan dikawal oleh

368 Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cet. 4, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010 ), hlm. 116-117

369 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan…,Op.Cit, 19-20

Page 175: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

165

puluhan ribu mayarakat DIY yang menghadiri jalannya rapat paripurna pada tanggal 13

Desember 2010. Keputusan DPRD DIY tersebut dibuat bukan tanpa adanya landasan

konstitusional. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) yang memberikan pengakuan

dan penghormatan bagi satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan

istimewa. Penulis berpendapat bahwa itulah yang dinamakan demokrasi konstitusional

(democracy constitutional).

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa demokrasi konstitusional merupakan

demokrasi yang mendasari UUD 1945.370 Di samping itu, Miriam Budiardjo menyatakan

bahwa corak khas demokrasi Indonesia yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam pembukaan UUD

1945.371 Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa konsepsi demokrasi mengalami

perubahan dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti; welfare democracy,

people’s democracy, social democracy, participatory democracy,dan sebagainya. Pucak

perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya demokrasi yang

berdasar atas hukum (constitusional democracy).372

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di tangan

rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy)

yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum yang

berkedaulatan rakyat atau demokrasi (democratische rechtsstaat).373 Pendapat Jimly

Asshiddiqie tersebut mengandung makna bahwa kedaulatan memang berada di tangan

rakyat, akan tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut tetap harus sesuai dengan

konstitusi. Dengan kata lain bahwa prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa

Indonesia adalah prinsip demokrasi konstitusi (constitutional democracy).

Penulis berpendapat bahwa prinsip demokrasi konstitusi merupakan bentuk

demokrasi yang dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan

dalam konstitusi. Jadi asumsinya yaitu bahwa apa yang ditentukan oleh konstitusi

merupakan sesuatu yang demokratis. Ukuran demokratis atau tidak demokratis

tergantung dari ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Penulis berpendapat bahwa

walaupun Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan secara eksplisit bahwa

kedaulatan berada di tangan rakyat, akan tetapi dibatasi pelaksanaannya berdasarkan

konstitusi dan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI,

370 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar…,Op.Cit. hlm. 106

371 Ibid. 372 Paulus Effendi Lotulung dalam Tim Asistensi RUU DIY, Op.Cit., hlm. 17 373 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58

Page 176: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

166

bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat

tetap harus berdasarkan konstitusi dan hukum.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,

bagian pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan:

Bahwa, dalam kehidupan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, akan selalu terjadi tarik-menarik dua kepentingan yang sama-sama fundamental, yaitu kepentingan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan untuk menjaga hak atau kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur inheren negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Bahwa, sebagai konsekuensi dari pengakuan sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, bukan saja berarti bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi tetapi juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum (rechtsstaat, rule of law) yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (supreme law). Oleh karena itulah undang-undang, baik proses pembentukan maupun materi muatannya, dapat diuji terhadap undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dan berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut, maka dalam sebuah negara demokrasi (Indonesia) haruslah

mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum yang menempatkan UUD NRI Tahun 1945

sebagai hukum tertinggi. Dalam kaitannya dengan mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY, konstitusi sudah menjaminnya dalam Pasal

18B ayat (1) yang merupakan landasan konstitusional bagi satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus dan istimewa. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki

daya mengikat yang sama dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945. Sehingga

mempertentangkan keduanya adalah sesuatu yang tidak relevan. Pasal 18 ayat (4) UUD

NRI Tahun 1945 tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan dalam daerah yang bersifat

khusus atau istimewa, karena daerah yang bersifat khusus atau istimewa tersebut

memiliki landasan konstitusional tersendiri, yaitu Pasal 18B ayat (1).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU No. 32 Tahun 2004 dan

UU No. 29 Tahun 2007 dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa kedudukan Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18 UUD NRI Tahun

Page 177: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

167

1945 berada dalam posisi setara dan mempunyai kekuatan mengikat yang mandiri

secara sama. Berikut ini dikutip kembali penggalan Putusan Mahkamah Konstitusi

Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008:

…Pendirian Mahkamah yang berpendapat bahwa kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara sama, menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945…Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom, melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Berkaitan dengan istilah “dipilih secara demokratis”, dalam putusannya yang lain

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI

Tahun 1945 terkait dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Keterkaitan itu

ialah adanya kekhususan dalam mekanisme pengisian jabatan kepala daerah di daerah

yang bersifat khusus dan istimewa. Berikut ini penggalan bagian pertimbangan hukum

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004:

Bahwa untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil perubahan ke dua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.“ Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis“ maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas.

Penulis berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi di atas memiliki

keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008.

Adanya perlakuan istimewa bagi daerah-daerah yang bersifat istimewa termasuk tata

cara pengisian jabatan kepala daerahnya merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal

18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh

Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2008 tersebut, bahwa Pasal 18 ayat (1) dan

ayat (2) memiliki kekuatan mengikat secara sama dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI

Page 178: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

168

Tahun 1945. Maka penulis juga berkesimpulan bahwa Pasal 18B ayat (1) juga memiliki

kekuatan mengikat secara sama dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

Dengan demikian, maka secara teoritik maupun konstitusional keistimewaan

dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dengan

cara penetapan tidaklah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi. Dengan

kata lain bahwa sistem penetapan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur DIY sudah sesuai dengan prisnsip demokrasi konstitusional (democracy

constitutional) yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, dengan tidak adanya pertentangan antara mekanisme penetapan

dan prinsip kedaulatan rakyat maupun demokrasi, maka perlu pengaturan yang jelas

dalam RUUK mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY tersebut. Penulis menganggap bahwa beberapa ketentuan yang ada dalam RUUK

yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut sudah tepat. Akan tetapi masih

ada beberapa ketentuan yang harus diperbaiki guna menjadikannya sebagai sebuah

undang-undang yang baik. Sebuah peraturan perundang-undangan yang baik (termasuk

undang-undang) haruslah dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan

yang dapat dimengerti. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lon L. Fuller

sebagaimana dikutip Yuliandri yang menyatakan “a failure to make rules

understandable”.374

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa beberapa ketentuan yang mengatur

mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam undang-undang

pemerintahan daerah lebih sering menggunakan sistem pengangkatan atau penetapan.

Berdasarkan analisis di atas, jika mekanisme pengangkatan atau penetapan tersebut

akan digunakan (dan sebaiknya tetap digunakan) maka penulis mengusulkan beberapa

hal yang dapat dijadikan perbandingan dengan rumusan-rumusan sebelumnya. Hal-hal

yang harus diperhatikan adalah menyangkut mengenai asal calon Gubernur dan Wakil

Gubernur DIY, persyaratan dan masa jabatan.

3.1. Berkaitan dengan asal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY

Hendaklah ditentukan dengan tegas bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam yang bertahta merupakan syarat utama untuk menjadi Gubernur dan Wakil

Gubernur DIY. Dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 dan Penpres No. 6

374 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, ( Jakarta: RajaGraindo Persada, 2009), hlm. 131

Page 179: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

169

Tahun 1959 asal calon gubernur dan wakil gubernur yaitu “dari Keturunan keluarga yang

berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai

daerahnya”.

Rumusan tersebut sebagaimana diuraikan sebelumnya akan memunculkan

berbagai akibat, misalnya terjadinya konflik dalam keluarga tentang siapa diantara

keturunan penguasa tersebut yang berhak menjadi kepala daerah dan wakil kepala

daerah. Sedangkan mekanisme yang digunakan adalah mekanisme penetapan, bukan

mekanisme pemilihan. Walaupun pada waktu berlakunya UU No. 1 Tahun 1957

diberlakukan mekanisme pengusulan oleh DPRD. Akan tetapi pelaksanaan dari

ketentuan tersebut belum pernah dilaksanakan, karena pada waktu diberlakukannya

undang-undang tersebut Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII masih

menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Rumusan tersebut terlalu luas

maknanya. Dengan rumusan tersebut maka dapat diartikan bahwa semua keturunan

keluarga Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam dapat ditetapkan sebagai Gubernur

dan Wakil Gubernur DIY.

Dengan rumusan seperti itu justru akan menyulitkan proses pengangkatan atau

penetapan karena banyaknya calon. Bahkan dengan menggunakan rumusan yang

terdapat dalam ketentuan penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 pun tetap akan

menimbulkan kesulitan. Rumusan penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999

menyatakan bahwa “pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari

keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon

dari keturunan Paku Alam”. Rumusan tersebut terbukti telah mengakibatkan terjadinyan

konflik dalam lingkungan Pura Paku Alaman ketika Ambar Kusumo dan Angkling

Kusumo sama-sama diajukan sebagai calon Wakil Gubernur DIY pada tahun 2001

sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya konflik dan perbedaan penafsiran,

maka rumusan yang harus digunakan adalah “Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam yang bertahta diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur”. Rumusan tersebut

akan menutup konflik internal antara sesame keturunan Sultan Hamengku Buwono dan

Paku Alam yang lainnya. Karena secara otomatis Sultan Hamengku Buwono dan Paku

Alam yang bertahta akan diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

3.2. Mengenai syarat-syarat dan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY

Dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres Nomor 6 Tahun

1959 disebutkan bahwa syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah

Page 180: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

170

istimewa adalah “cakap, jujur serta setia kepada Pemerintah Republik Indonesia serta

adat istiadat dalam daerah itu”. Bahkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa

syarat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus memenuhi syarat-syarat

yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah,

masihkah persyaratan itu diperlukan jika Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam

yang bertahta diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Penulis berpendapat bahwa persyaratan itu bisa saja diberlakukan di DIY dengan

menyerahkan proses tersebut kepada internal kasultanan dan kadipaten untuk lebih

menyempurnakan paugeran (pranata) suksesi internal dengan memperhatikan

persyaratan-persyaratan tersebut. Akan tetapi, Seorang Sultan Hamengku Buwono dan

Paku Alam yang bertahta haruslah memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan

Serat Tajusalatain dan Serat Puji.375 Serat Tajusalatain menyatakan bahwa “Raja

adalah Wakiling Widdi (Wakil Tuhan) yang bertuga: rumeksa jagad, myang saisinipun (

Memelihara, menjaga dan membina alam semesta dan seisinya), dan memelihara

rakyatnya mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (sayekti angsal

kamulyun…angalam danya tumeng ngakir)”.

Sedangkan Serat Puji merumuskan 10 pokok syarat menjadi Sultan maupun

Paku Alam, yaitu:

1. Raja harus sudah akil balig (dewasa);376

375 Tim Asistensi RUU DIY, Rakyat Jogja…,Op.Cit., hlm. 19-20. Bandingkan syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004 yang menentukan syarat sebagai berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; (3) berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; (4) berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; (5) sehat jasmani dan rohani berdasarkan basil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; (5) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; (6) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (7) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; (8) menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; (9) tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; (10) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (11) tidak pernah melakukan perbuatan tercela; (12) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; (13) menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan

serta keluarga kandung, suami atau istri; (14) belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan (15) tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

376 Bandingkan dengan persyaratan seorang calon kepala daerah harus berusia 30 tahun

Page 181: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

171

2. Raja harus alim, adil, berbuat kebajikan (ikhsan), halus tutur katanya, pintar membaca karya tulis dan berguru pada ahli ilmu (pengetahuan), dan suka belajar menimba pengalaman orang lain, termasuk dari pengalaman masa lalu;377

3. Raja harus dapat memilih pembantunya yang berbudi, lancar berbicara, dan terampil bekerja;

4. Raja harus halus sabdanya, tampan rupanya, sedap dan manis bicaranya, dan penampilannya mengesankan;

5. Raja harus dermawan dan tidak boleh kikir; 6. Raja harus selalu berbuat baik; 7. Raja harus berani berperang, bersikap perwira di medan laga, dan mampu

memimpin perang; 8. Raja diharapkan makan secukupnya; 9. Raja diharapkan tidak banyak berhubungan dengan wanita dan gadis-gadis; 10. Utamanya raja itu pria.

Dalam serat puji tersebut sudah ditentukan syarat-syarat untuk menjadi seorang

raja yang sudah memenuhi syarat kecakapan, kejujuran maupun kesetiaan kepada

negara. Dalam internal kerajaan (keraton dan pura) sudah memiliki paugeran (pranata)

internal yang mengatur mengani mekanisme suksesi atau pergantian tahta.

Sebagai gambaran, bahwa sebelum dijadikan sebagai putra mahkota, seorang

keturunan Sultan Hamengku Buwono diberikan gelar tertentu kepadanya, seperti Gusti

Pangeran Haryo (GPH) Mangkubumi. Dengan diberikannya gelar tersebut maka itu

langkah awal seseorang dicalonkan sebagai putra mahkota. Kemudian apakah dia

benar-benar akan menjadi putra mahkota, itu bergantung pada penilaian dari Sultan

Hamengku Buwono beserta para keluarga. Penilaian dilakukan dengan melihat kriteria

atau syarat-syarat sebagai raja dalam Serat Tajusalatain dan Serat Puji di atas. Waktu

untuk melakukan penilaian tersebut tidaklah ditentukan (dipatok) sampai pada akhirnya

akan diadakan pertemuan keluarga apakah seorang yang diberikan gelar GPH.

Mangkubumi tersebut layak atau tidak layak untuk menjadi putra mahkota.378

Itulah proses paugeran (pranata) suksesi di lingkungan Keraton Yogyakarta yang

cukup ketat. Oleh karena itu, selama proses paugeran itu internal keraton dapat diminta

untuk benar-benar dilakukan dengan baik sehingga seorang Sultan dan Adipati nantinya

bisa memenuhi persyaratan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

377 Bandingkan dengan syarat seorang calon kepala daerah yang harus berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat

378 Lihat: Atmakusumah, ed. Takhta Untuk…,Op.Cit.,hlm. 131

Page 182: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

172

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Tim Asistensi RUU DIY Pemda

DIY,379 Keraton setuju jika persyaratan teknokratis seorang Gubernur seperti syarat

kesehatan, kecakapan maupun batasan usia diterapkan. Hal tersebut diharapkan akan

membuat proses kaderisasi di internal kasultanan dan kadipaten dapat berjalan secara

baik. Dengan demikian, maka berkaitan dengan syarat-syarat tersebut harus diserahkan

kepada internal kasultanan dan kadipaten, karena dalam kasultanan dan kadipaten

sudah terdapat paugeran (pranata) tersendiri.

Achiel Suyanto menyatakan bahwa pembatasan usia bisa saja dilakukan,

karena pernah terjadi dalam sejarah keraton ketika Sri Sultan Hamengku Buwono VII

yang sudah lanjut usia menyerahkan takhta kepada putra mahkota Kanjeng Gusti

Pangeran Adipati Anom Hamengu Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram

(GPH Puruboyo) yang kemudian menggantikannya sebagai Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII. Gelar Sultan tetap melekat pada Sultan Hamengku Buwono VII, akan

tetapi raja yang bertakhta atau berkuasa adalah Sultan Hamengku Buwono VIII. Sultan

Hamengku Buwono VII tersebut kemudian bermukim di daerah Ambarukmo sampai

akhir hayatnya.380

Undang-Undang juga harus mengatur ketentuan tentang kemungkinan adanya

pengunduran diri dan ketentuan diberhentikan dari jabatan Gubernur dan/atau Wakil

Gubernur tersebut. Mekanisme pemberhentiannya juga harus berbeda dengan

mekanisme pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur daerah lainnya. Misalnya

proses pemberhentian itu hanya dilakukan oleh Presiden saja tanpa melibatkan DPRD

seperti yang pernah diterapkan pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, UU No.

1 Tahun 1957, Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan UU No. 5 Tahun 1974. Sedangkan

alasan atau sebab-sebab diberhentikan, dapat disamakan dengan alasan atau sebab-

sebab pemberhentian kepala daerah lainnya seperti tertangkap tangan melakukan

tindak pidana korupsi dan sebagainya.

379 Wawancara dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2011 di Komplek Kepatihan Yogyakarta 380 Wawancara dengan Achiel Suyanto, S.H., M.H., MBA, ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta pada tanggal 5

Juli 2011. Lihat juga Atmakusumah, ed., Takhta Untuk…Loc.Cit.

Page 183: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

173

BAB IX

PENUTUP

Berdasarkan serangkaian atas beragam permasalahn, kajian ini berhasil menarik

kesimpulan sebagai berikut

1. Bahwa status keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tetap berada

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 226 ayat (2) Penyelenggaraan pemerintahan

daerah di Provinsi DIY sama dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah di

daerah lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Walaupun UU No. 3 Tahun 1950

tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta juga memberikan kewenangan

khusus bagi Provinsi DIY, akan tetapi pelaksanaan pemerintahan daerah Provinsi

DIY tetap mengacu pada undang-undang pemerintahan daerah.

Perbedaan mekanisme pengisian jabatan tersebut merupakan isi atau karakter

keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana

pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun

mekanisme pengisian jabatan Walikota dan Bupati di Provinsi DKI Jakarta yang

diangkat oleh Gubernur dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.

Begitu juga halnya di Papua dan Papua Barat, persyaratan untuk menjadi bakal

calon Gubernur adalah orang Papua Asli merupakan kekhususan yang dimiliki oleh

daerah-daerah yang bersifat khusus tersebut.

Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan konsitusional

bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.

Sehingga jika adanya kekhususan atau keistimewaan yang dimiliki oleh daerah-

daerah yang bersifat istimewa tersebut, maka itu tetaplah berada dalam Kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Pusat tetap memiliki kewenangan

untuk mengatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Semua

peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat langsung

mengikat dan berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selain itu, hampir tidak ada hal yang sama dan serupa dari hukum tata negara

suatu bangsa dibandingkan dengan hukum tata negara bangsa yang lain.

Perbedaan itu disebabkam oleh tidak samanya sejarah dan latar belakang suatu

bangsa, juga oleh kepribadian yang dimiliki oleh setiap bangsa itu. Perbedaan

mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa Yogyakarta sebagai akibat

Page 184: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

174

dari adanya status keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY berdasarkan sejarah

dan peran DIY dalam proses awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh sebab itu, jika terdapat teori-teori hukum tata negara yang dikemukakan oleh

ahli hukum tata negara yang berasal dari bangsa lain yang berbeda dengan praktek

ketatanegaraan bangsa Indonesia, maka hal itu dapat dipahami karena sejarah dan

latar belakang sutau bangsa itu berbeda.

2. Bahwa mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui sistem

penetapan atau pengangkatan tidaklah bertentangan dengan prinsip kedaulatan

rakyat dan demokrasi.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY sejak tahun 1945

sudah mengikutsertakan partisipasi rakyat. DPRD Provinsi DIY merupakan

representasi masyarakat DIY yang ikut dalam merumuskan kebijakan-kebijakan

umum dan pemerintahan. Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sama sekali

tidak memiliki peran dalam pemerintahan daerah Provinsi DIY. Dengan kata lain

bahwa antara Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman dengan pemerintahan

Provinsi DIY adalah dua lembaga yang terpisah. Keraton Yogyakarta dan Pura paku

Alaman hanya lembaga budaya belaka.

Wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yaitu dengan dibentuknya badan

legislatif sebagai representasi dari rakyat, yang akan mewakili rakyat dalam

pengambilan keputusan-keputusan politik yang dipilih melalui pemilihan langsung

oleh rakyat. DPRD Provinsi DIY merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang

memiliki kewenangan yang sama dengan DPRD di daerah lainnya. Adanya

Keputusan DPRD Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 yang menghendaki

mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui cara

penetapan merupakan representasi dari kehendak umum (volonte generale) rakyat

Yogyakarta.

Pelaksanaan kedaulatan rakyat juga dibatasi oleh konstitusi, sebagai dokumen

politik yang merupakan kehendak seluruh rakyat (volonte de tous) dan merupakan

hukum tertinggi dalam bernegara. Konsep demokrasi konstitusional (democracy

constitusional) yang menjadi landasan UUD NRI Tahun 1945 harus dijadikan

landasan dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Sepanjang konstitusi

membolehkan, maka itu juga demokrasi. Karena demokrasi konstitusional pada

hakekatnya adalah demokrasi yang berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi

dalam negara. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan

konstitusional bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan

Page 185: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

175

istimewa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk sebagai

landasan dalam mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa.

Pasal 18 ayat (4) tidak relevan untuk dipertentangkan dengan Pasal 18B ayat

(1) UUD NRI Tahun 1945. Kedua-duanya memiliki kekuatan mengikat dan

keberlakuan secara sama dan mandiri. Pasal 18 ayat (4) merupakan landasan

kosntitusional bagai mekanisme pemilihan kepala daerah secara demokratis bagi

daerah-daerah biasa, sedangkan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

merupakan landasan konstitusional bagi daerah-daerah yang bersifat khusus atau

istimewa sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11/PUU-

VI/2008. Sehingga mekanisme penetapan tidak dapat dipertentangkan dengan

ketentuan Pasal 18 ayat (4), melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Page 186: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

176

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yazid et.all. 2007. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Malang:Avveroes Press

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.

Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer

---------------. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

---------------. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo

Persada

Atmakusumah, ed. 2011. Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan

Hamengku Buwono IX. Edisi Revisi. Cet. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Cet. 4. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

David Held. 2006. Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga

Pemerintahan Kosmopolitan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Farida Indrati, Maria. 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan. Cet. 13. Yogyakarta: Kanisius

Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan

UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

H.A.W. Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada

Hadjon, Philipus. M. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya:

Peradaban

-------------. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet. 10. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press

Page 187: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

177

--------------. 2010. Hukum Administrasi dan Good Governance. Jakarta: Penerbit

Universitas Trisakti

Hakim, Lukman. 2010. Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia: Eksistensi

Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara yang

Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan. Malang: Program Pascasarjana

Universitas Brawijaya

Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

--------------. 2009. Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika.

Cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

--------------. 2010. Ilmu Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Jacques Rousseau, Jean. 2010. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik.

Penterjemah: Rahayu Surtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen. Cet. 2. Jakarta:

Dian Rakyat

Joeniarto, 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cet.5. Jakarta: Bumi

Aksara

Kranenburg, R. 1989. Ilmu Negara Umum. Ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin. Jakarta:

Paradnya Paramita

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Cet. 7. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI.

---------------- dan Bintan R. Saragih. 1995. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya

Media Pratama

L.Tanya, Bernard, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage. 2010. Teori Hukum:

Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Cet.3. Yogyakarta: Genta

Publishing

Page 188: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

178

Mahfud MD, Moh. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet. 2. Jakarta:PT

Rineka Cipta

----------------. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: RajaGrafindo

Persada

----------------. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi.

Jakarta: RajaGrafindo Persada

Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Penelitian Hukum. Cet. 6. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politk Indonesia: Konsolidasi Pasca Reformasi. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Manan, Bagir. 1995. Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-

Undang Pelaksanaannya). Jakarta: UNSIKA

-------------------. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Cet. 4. Yogyakarta: Pusat

Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII

------------------. 2006. Lembaga Kepresidenan. Cet. 3. Yogyakarta: FH UII Press

Pantja Astawa, I Gde. 2008. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia.

Bandung: Alumni

Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet.6.

Jakarta: Dian Rakyat

Redi Penuju. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I. Yogyakarta:

Pustaka Book Publisher.

Saafroedin Bahar et. al., ed. 1993. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19

Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI

Soehino. 2000. Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty

Page 189: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

179

Solly Lubis, M. 1983. Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai

Pemerintah Daerah. Bandung: Alumni

Soni BL de Rosari, Aloysius. 2011. “Monarki Yogya” Inkonstitusional ?. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas

Sunarno, Siswanto, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3. Jakarta:

Sinar Grafika

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Cet. 7. Jakarta: Grasindo

Tim Asistensi RUU DIY. 2011. Rakyat Jogja Menjawab Isu Seputar Keistimewaan DIY.

Yogyakarta: Tim Asistensi RUU DIY

Toet Hendratno, Edie. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme.

Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press

Triwulan Tutik, Titik. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono

IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dharmakaryadhika Publisher

Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan

Tata Usaha Negara). Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press

Yuliandri. 2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: RajaGraindo

Persada

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang

Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode 2003-2008). Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Page 190: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

180

Naskah Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman VIII, 5

September 1945

Naskah Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman VIII, 30

Oktober 1945

DISERTASI , MAKALAH, HAND OUT KULIAH DAN WEBSITE

Arief Muljadi, Mohamad. Prinsip Negara Kesatuan dalam Rangka Desentralisasi dan

Sistem Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang

di Indonesia. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,

2004.

Hadjon, Philipus M. Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem

Pemerinatahan. Makalah Disampaikan dalam Seminar Sistem Pemerintahan

daerah Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Surabaya, 9-10 Juni 2004

Muhjad, M. Hadin. Sistem Pemilihan Kepala Derah Secara Demokratis. Disertasi

Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007

Sukardi. Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya. Disertasi, Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2009

Winarsih, Sri. Sistem Otonomi Daerah. Hand Out Kuliah Sistem Otonomi Daerah, tt

http://www.pemda-diy.go.id/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2011

http://www.dprd-diy.go.id. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011

http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-

polemik diakses pada tanggal 28 Februari 2011

http://www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528/Setelah-Merapi,-Jogja-Dihantam-Monarki-

diakses pada tanggal 28 Februari 2011

Page 191: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

181

http://www.cidesonline.org diakses pada tanggal 28 Februari 2011

http://dyanuardy.wordpress.com diakses pada tanggal 28 Februari 2011

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite

Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok

Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Diumumkan pada tanggal 10 Juli 1948)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan UU No. 3 JO. No. 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 yang Telah Dicetak Ulang)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 yang Telah Dicetak Ulang)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)

Page 192: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

182

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3878)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagai telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924)

Page 193: readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang

183

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 024/PUU-III/2005 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 012-016-019/PUU-

V/2006 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008