2013, No.168 12 -...

50
2013, No.168 12 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUSBIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013 PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013 I. PENDAHULUAN Pelaksanaan DAK Bidang LH Tahun Anggaran 2013 adalah untuk melengkapi sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kabupaten/kota. Prioritas pemanfaatan DAK Bidang LH adalah pada kegiatan-kegiatan yang berdampak nyata terhadap upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, yang diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota dan mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Lingkup kegiatan yang dilaksanakan dalam DAK Bidang LH Tahun 2013 meliputi: A. Pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup secara terbatas dan bersyarat; B. Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan hidup; C. Pengadaan sarana dan prasarana untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan D. Pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan hidup. Manfaat yang diharapkan dari pengadaan sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah: Kegiatan Manfaat Kegiatan A. pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup untuk menguji kualitas air, udara dan tanah sehingga dapat digunakan sebagai alat pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup di kabupaten/kota B. pengadaan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan hidup sebagai upaya pencegahan dan pengendaliaan pencemaran lingkungan hidup untuk dapat mengurangi beban pencemaran di kabupaten/kota C. pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka adaptasidan mitigasi perubahan iklim sebagai upaya untuk mendukungmitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kabupaten/kota D. pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan hidup sebagai upaya melindungi dan mempertahankan fungsi lingkungan hidup di kabupaten/kota www.djpp.depkumham.go.id

Transcript of 2013, No.168 12 -...

2013, No.168 12

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUSBIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013

PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013

I. PENDAHULUAN

Pelaksanaan DAK Bidang LH Tahun Anggaran 2013 adalah untuk melengkapi sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kabupaten/kota. Prioritas pemanfaatan DAK Bidang LH adalah pada kegiatan-kegiatan yang berdampak nyata terhadap upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, yang diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota dan mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Lingkup kegiatan yang dilaksanakan dalam DAK Bidang LH Tahun 2013 meliputi: A. Pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan pengawasan kualitas

lingkungan hidup secara terbatas dan bersyarat; B. Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan

hidup; C. Pengadaan sarana dan prasarana untuk mendukung mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim, dan D. Pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan hidup. Manfaat yang diharapkan dari pengadaan sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah:

Kegiatan

Manfaat Kegiatan

A. pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup

untuk menguji kualitas air, udara dan tanah sehingga dapat digunakan sebagai alat pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup di kabupaten/kota

B. pengadaan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan hidup

sebagai upaya pencegahan dan pengendaliaan pencemaran lingkungan hidup untuk dapat mengurangi beban pencemaran di kabupaten/kota

C. pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka adaptasidan mitigasi perubahan iklim

sebagai upaya untuk mendukungmitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kabupaten/kota

D. pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan hidup

sebagai upaya melindungi dan mempertahankan fungsi lingkungan hidup di kabupaten/kota

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 13

Untuk memilih dan menetapkan kegiatan-kegiatan tersebut perlu di pertimbangkan dan gambaran tentang manfaat serta kesesuaian penyelenggaraan kegiatan dengan kebutuhan dan kemampuan kabupaten/kota dalam pelaksanaannya. Diharapkan pengadaan sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dialokasikan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal dan berkelanjutan. Dalam rangka menunjang program unggulan lingkungan hidup, maka sarana dan prasarana dapat dimanfaat antara lain:

No Program Sarana dan Prasarana

1 2 3

Bank Sampah Adiwiyata Kampung Iklim

bangunan bank sampah alat pencacah sampah alat pemilah sampah gerobak sampah Bak sampah Alat pengolah sampah Sumur resapan Pembuatan biopori Taman hijau Penanaman pohon Solar Cell Pengolahan IPAL Sederhana limbah sekolah alat pencacah sampah alat pemilah sampah gerobak sampah Pembuatan biopori Biogas

Untuk Adiwiyata, Bank Sampah dan Kampung Iklim bagi kabupaten/kota yang akan melakukan pengadaan sarana sebagaimana tercantum di atas harus memenuhi ketentuan–ketentuan sebagai berikut: 1. melakukan koordinasi dengan dinas terkait; 2. jaminan tertulis dari instansi pengelola bahwa sarana tersebut akan

dimanfaatkan, dipelihara dan dioperasionalkan; Contoh: Adiwiyata dengan Kepala Sekolah, Bank Sampah dengan Pihak Ketiga dan Kampung Iklim dengan Kepala Desa;

3. memberikan pelatihan singkat dan pembinaan terutama untuk peralatan yang memerlukan keahlian untuk mengoperasikannya;

4. memasang logo KLH dan DAK LH sesuai tahun pengadaannya pada setiap sarana yang diadakan;

5. membuat dokumen serah terima asset yang diberikan; 6. menyampaikan daftar asset yang diberikan kepada Menteri Negara

Lingkungan Hidup c.q unit teknis terkait.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 14

II. TUJUAN Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk memberikan arahan teknis bagi kabupaten/kota penerima DAK Bidang LH dalam melaksanakan kegiatan, sesuai dengan lingkup kegiatan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan DAK Bidang LH 2013. Tidak semua kegiatan yang ada pada pedoman ini harus dilaksanakan. Kegiatan yang akandilaksanakan sesuai dengan pertimbangan pemilihan kegiatan, seperti yang dijelaskan pada pasal 13, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan DAK Bidang LH 2013.

III. PANDUAN TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN

Di dalam panduan ini dijelaskan teknis pelaksanaan kegiatan untuk setiap kegiatan, sehingga diharapkan kabupaten/kota pelaksana DAK Bidang LH 2013 memiliki arahan teknis yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya. Apabila di dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan kegiatan membutuhkan arahan teknis lebih lanjut ataupun kendala dapat menghubungi unit teknis terkait.

A. Pengadaan Sarana dan Prasarana Pemantauan Kualitas Lingkungan Hidup

Sarana dan prasarana pemantauan kualitas lingkungan hidup yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Peralatan laboratorium permanen; 2. Peralatan laboratorium lainnya,

yang terdiri dari peralatan sampling air portable, sampling udara ambient dan sampling udara emisi sumber tidak bergerak, serta pengujian kualitas tanah;

3. Kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan.

Ruang lingkup kegiatan: b. Peralatan laboratorium permanen

Pengadaan peralatan laboratorium hanya diperbolehkan bagi kabupaten/kota yang: a. telah mengoperasikan laboratorium; b. telah memiliki sumberdaya manusia yang kompeten; dan c. didukung dengan ketersediaan anggaran yang tetap atau rutin; d. memiliki gedung dan sumberdaya manusia serta sarana

pendukung seperti listrik, sistem pendingin dan air.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 15

Kabupaten/kota yang akan melakukan pengadaan peralatan laboratorium harus memperoleh rekomendasi dari Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion setelah dilakukan konsultasi dengan provinsi dan dinilai kelayakannya.

c. Peralatan laboratorium lainnya

a. Peralatan sampling air portable Peralatan sampling air portable diperlukan untuk pengujian sampel kualitas air, untuk parameter DO, BOD, COD, TSS, Amonia, pH dan fecal coliform. Peralatan dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya, tidak diperbolehkan kecuali untuk penggantian alat yang rusak.

b. Peralatan sampling udara ambien. Peralatan sampling udara ambien paling sedikit dapat dipergunakan untuk mengambil sampel dari parameter: Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), Timah Hitam (Pb), Total Suspended Particulate (TSP), Particulate Matter dengan ukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan Particulate Matter dengan ukuran kurang 2,5 mikron (PM2,5). Pengadaan peralatan sampling udara ambien sebaiknya dilengkapi dengan alat ukur meteorologi yang dapat mengukur kecepatan angin, arah angin, temperatur udara, kelembaban udara dan solar radiation (radiasi sinar matahari). Peralatan sampling udara ambient diperlukan untuk melengkapi peralatan pengujian di laboratorium yang sudah tersedia sebelumnya.

Pengadaan peralatan portable untuk uji kualitas air, udara emisi, dan tanah dapat langsung diusulkan oleh kabupaten/kota kepada Pusat Pengelolaan Ekoregion.

Bagi kota yang sudah memiliki alat pemantauan kualitas udara ambien otomatis (AQMS mengacu pada ketentuan di atas. Peralatan dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian alat yang rusak.

Peralatan sampling udara ambient (manual) terdiri atas:

No Parameter Peralatan Sampling 1. Sulfur dioksida (SO2) Botol Impinger 2. Nitrogen dioksida (NO2) Midget Impinger 3. Ozon (O3)/ Oksidan fotokimia (Ox) Botol Impinger 4. Total Suspended Particulate (TSP) High Volume Air Sampler (HVAS) 5. Particulate Matter < 10 um (PM10) - High Volume Air Sampler

dilengkapi dengan - Gent Sampler

6. Particulate Matter < 2,5 Um (PM2,5)

- Gent Sampler

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 16

Gambar 1 Contoh Peralatan portable untuk emisi kendaraan

Gas analyzer

Gambar 2 Contoh Peralatan portable untuk emisi kendaraan

Opacitymeter

c. Peralatan sampling udara emisi sumber tidak bergerak.

Peralatan sampling udara emisi sumber tidak bergerak perlu diadakan terutama bagi kabupaten/kota yang mempunyai industri, pertambangan, dan pembangkit listrik. Peralatan yang perlu diadakan adalah peralatan sampling yang mampu untuk melakukan pengukuran parameterSO2, NOx, Amonia (NH3), CO, Total partikulat, dan parameter logam. Peralatan dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian alat yang rusak.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 17

Gambar 3. Contoh alat ukur otomatis untuk pengujian

kadar gas emisi sumber tidak bergerak

d. Peralatan pengujian kualitas tanah

Untuk pemantauan kerusakan tanah akibat produksi biomassa diperlukan seperangkat peralatan yang dapat digunakan untuk mengukur parameter fisik, kimia dan biologi tanah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Peralatan terdiri dari alat pengambilan sampel tanah dan alat pengujian sampel tanah. Peralatan dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian alat yang rusak.

Gambar 4.

Contoh Alat pengukur pH tanah

3. Kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan dan pengawasan lingkungan

Pengadaan kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan dan pengawasan lingkungan diperbolehkan bagi kabupaten/kota yang: a. memiliki industri yang potensial menimbulkan pencemaran dan

atau kerusakan lingkungan pertambangan, energi, minyak, gas; agro industri; dan manufaktur;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 18

b. belum pernah mengusulkan; c. memiliki kendaraan pemantau yang berumur lebih dari 5 (lima)

tahun.

B. Pengadaan Sarana dan Prasarana Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup

Sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan hidup yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Instalasi pengolah air limbah usaha kecil dan menengah (IPAL UKM); 2. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Komunal); 3. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Puskesmas); 4. Pengolah sampah dengan prinsip 3 R. Ruang Lingkup Kegiatan

1. Instalasi pengolah air limbah usaha kecil dan menengah (IPAL UKM).

Pembangunan IPAL UKM dirancang sesuai dengan debit, konsentrasi dan kapasitas pengolahan air limbah, sehingga memenuhi baku mutu lingkungan. Contoh layout IPAL UKM adalah seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 5. Contoh lay out IPAL UKM

2. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Komunal)

Pengolahan air limbah domestik permukiman dapat dilakukan dengan on sitesystem (setempat) dan off site system (perpipaan). Pemilihan sistem pengolahan sangat tergantung pada tingkat kepadatan

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 19

permukiman dan ketersediaan lahan. Untuk permukiman padat penduduk akan sangat efektif dan relatif murah apabila disediakan sistem pengolahan dengan perpipaan. Demikian halnya permukiman yang berada dalam kompleks perumahan sistem pengolahan dengan perpipaan akan lebih sesuai dibandingkan dengan sistem setempat.

Perkantoran, asrama, rumah susun, aparteman, rumah makan ataupun rumah yang letaknya saling berjauhan maka sistem pengolahan setempat sangat disarankan untuk dipilih.

Berdasarkan komposisi air limbah domestik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu air limbah yang berasal dari aktivitas mandi dan cuci (grey water) dan air limbah yang berasal dari toilet (black water). Air limbah yang berasal dari toilet dapat diolah melalui proses biogas namun dengan ketentuan minimal 100 orang dimana jumlah biogas yang dihasilkan sebesar 2,3 m3 per hari (1 m3 biogas setara dengan 0,46 kg LPG)

Pengolahan air limbah domestik dapat juga digabungkan dengan teknologi biogas. Air limbah yang dihasilkan dari aktivitas mandi dan cuci dapat digabung dengan air limbah dari toilet diolah melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sedangkan tinja yang ada akan disalurkan ke tangki biogas. Adapun diagram alir pengolahan air limbah domestik dengan penggabungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. dibawah ini.

Gambar 6. Diagram alir pengolahan air limbah domestic

3. Instalasi pengolah air limbah pada fasilitas Kesehatan di Puskemas

Pembangunan IPAL fasilitas kesehatan di Puskesmas dimaksudkan untuk mengolah air limbah yang dihasilkan dari kegiatan pada

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 20

fasilitas puskesmas. Pembangunan IPAL Kesehatan di Puskesmas tersebut diperuntukkan bagi Puskesmas di kabupaten/kota yang telah memiliki fasilitas rawat inap dan penggunaan obat dan bahan kimia medik yang cukup tinggi.

4. Pengelolaan sampah dengan prinsip 3 R

Pembangunan unit pengelolaan sampah terutama diarahkan dalam rangka penerapan prinsip 3R (reduce,reuse, recycle). Pengadaan sarana dan prasarana tersebut dapat dilakukan di tempat penampungan sampah sementara (TPS), fasilitas umum, fasilitas sosial, dan sekolah-sekolah, serta mendukung pelaksanaan Program Adiwiyata dan Bank Sampah. Unit pengelolaan sampah dimaksud terdiri dari:

Rumah kompos bangunan rumah atap pengolah sampah composter alat daur ulang sampah alat pencacah sampah alat pembuat biji plastik alat pemilah sampah bak sampah gerobak sampah

Peralatan Pendukung gerobak sampah truk sampah kontainer sampah dryer arm roll kendaraan roda dua atau roda tiga pengangkut sampah

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 21

Gambar 7. Contoh Lay Out Pengolahan Sampah Organik

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 22

Gambar 8. Contoh Bangunan Unit Pengolah Sampah

Gambar 9. Contoh Unit Transportasi Sampah

C. Pengadaan Sarana dan Prasarana Dalam Rangka Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Sarana dan prasarana untuk mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013 adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan Taman Kehati/Taman Hijau/Hutan Kota 2. Penanaman mangrove dan vegetasi pantai;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 23

3. Model Pemulihan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Masyarakat;

4. Pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi biogas

Ruang Lingkup Kegiatan

1. Pembuatan Taman Kehati, Taman Hijau/Hutan Kota

Dalam rangka memperluas ruang terbuka hijau (RTH) yang berfungsi untuk menangkap gas CO2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK), dan sekaligus berfungsi sebagai paru-paru kota, perlu dibuat Taman Kehati, Taman Hijau/Hutan Kota. Pembuatan taman tersebut selain mendorong penurunan emisi GRK, juga membantu pencadangan sumber daya alam hayati (plasma nutfah) dalam rangka penyelamatan dari ancaman yang tinggi terhadap kelestarian berbagai jenis tanaman lokal daerah.

a. Taman Keanekaragaman Hayati (Taman Kehati)

Pembangunan Taman Kehati adalah sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan kawasan pencadangan sumberdaya alam yang berfungsi sebagai konservasi in situ dan eks situ guna menyelamatkan berbagai jenis tumbuhan dan satwa lokal.

Konsep dasar pembangunan Taman Kehati didasarkan pada : 1) pencadangan sumberdaya alam hayati (UU 32 Tahun 2009); 2) pencadangan mempunyai makna harus dapat menghasilkan biji

yang fertil dengan keragaman genetik tinggi. Keragaman genetik akan terjamin jika populasinya ≥ 60 individu;

3) prioritas penyelamatan adalah berbagai spesies tumbuhan lokal/endemik/langka (spesies utama) yang penyerbukan dan/atau pemencaran bijinya harus dibantu oleh satwa;

4) satwa yang membantu penyerbukan adalah kelompok kelelawar, burung, serangga, moluska. Untuk tetap dapat berfungsi, kelompok satwa tersebut juga harus lestari. Untuk itu, sumber pakan satwa tersebut harus tersedia secara cukup sepanjang tahun (misalnya keberadaan spesies pendukung);

5) sebagai jendela informasi tumbuhan langka/endemik/lokal dalam upaya pelestarian sumber daya genetik.

Fungsi dan manfaat Taman Kehati antara lain adalah untuk:

a) koleksi tumbuhan; b) pengembangbiakan tumbuhan dan satwa pendukung penyedia

bibit; c) sumber genetik tumbuhan dan tanaman lokal; d) sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu

pengetahuan dan ekowisata;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 24

e) sumber bibit dan benih; f) ruang terbuka hijau; g) penambahan tutupan vegetasi.

Tahapan pelaksanaan Kegiatan:

1. Perencanaan

a. Penetapan Tapak Lokasi Taman Kehati agar mengacu kepada master plan Taman Kehati dari Propinsi apabila belum tersedia dapat mengacu pada Kepmen 04 tahun 2012 tentang Taman Kehati dengan luas minimal 3 ha di wilayah kota dan 10 ha di wilayah kabupaten.

b. Pembentukan Unit Pengelola Taman Kehati

Unit Pengelola Taman Kehati dibentuk oleh Kepala Daerah yang berfungsi untuk perencanaan dan pembangunan, pemeliharaan, pengembangan dan pemantauan.

2. Pelaksanaan Pembangunan:

a. Penyediaan sarana dan prasarana yang meliputi antara lain:

1) Pembangunan fasilitas untuk penyiraman (tandon air (15.000 lt), pompa air, selang, pipa peralon 1500 m)

2) Papan petunjuk berupa (nama Taman Kehati, denah, spesies tumbuhan, dan satwa)

3) Pembuatan Nursery (Pembibitan Tanaman); 4) Pembelian Pupuk, obat pemberantas hama penyakit; 5) Pembelian polybag untuk penyemaian; 6) Pembelian media tanam untuk pembibitan.

b. Pengadaan bibit tanaman lokal/langka/endemik

Pengadaan bibit dilakuan sesuai dengan kriteria jenis yang telah ditetapkan melalui survey vegetasi. Bibit tersebut dapat dicari di hutan atau tempat pembibitan terdekat dan disimpan disekitar. Bibit tersebut untuk tanaman inti, tanaman pelindung dan tanaman pagar.

c. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman secara berkala,

pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit dan penyulaman jika diperlukan. Pemeliharaan intensif diperlukan selama 3 tahun berturut-turut.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 25

d. Labeling Tanaman Setiap pohon yang ditanam harus diberikan labeling untuk

mengidentifikasi jenis tanaman dan koordinatnya. e. Pembuatan tandon atau bak air dan instalasi pemipaan Tandon air ini berfungsi sebagai cadangan air untuk musim

untk menyiram tanaman pada saat musim kemarau. f. Pembuatan prasasti dan tempat wadah prasasti Membuat prasasti dan tempat wadah prasasti karena Taman

keanekaragaman hayati yang telah dibangun akan diresmikan oleh pejabat KLH

g. Pembentukan pangkalan data Pangkalan data dibuat sebagai sumber informasi tentang

koleksi yang dimiliki oleh Taman Kehati. Data dan informasi yang disusun merujuk pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 tahun 2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati.

3. Pengembangan Pembangunan.

Fasilitas yang diperlukan dalam menunjang fungsi taman kehati sebagai sarana pendidikan, penelitian, ekowisata antara lain: a. Posko pemantauan dan pemeliharaan b. Jalan setapak yang menghubungkan antar blok spesies

Luas bangunan fisik maksimum 10 % dari luas taman kehati dengan memperhatikan fungsi ekosistem, lansekap dan estetika.

Gambar 10.

Contoh Gambar Taman Kehati

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 26

b. Pembuatan Taman Hijau/Hutan Kota

Pembuatan Taman Hijau dan atau Hutan Kota setidaknya dapat memenuhi fungsi : (1) sebagai penyerap karbon dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca; (2) sebagai penyimpan air (fungsi hidrologis); dan (3) sebagai penyejuk dan untuk keindahan kota (fungsi estetika) serta sebagai sarana edukasi. Pembangunan taman hijau dan atau hutan kota diharapkan juga dapat memenuhi fungsi lainnya yaitu dapat digunakan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk berolahraga dan berekreasi (fungsi sosial). Komposisi pembangunan taman kota terdiri dari 70% untuk tanaman hijau dan 30% untuk konstruksi keras. Tanaman hijau yang ditanam adalah jenis tanaman/pohon lokal yang berumur panjang, dan dapat memiliki fungsi tersebut diatas.

Gambar 11. Contoh Gambar Taman Hijau

Keterangan gambar : Taman Kota di Kota Surabaya dan Kota Yogyakartayang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk sosialisasi dan rekreasi (disamping fungsi utamanya untuk menyerap karbon, fungsi hidrologis dan fungsi sosial)

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 27

Gambar 12. Contoh Gambar Hutan Kota

Keterangan gambar : Hutan Kota Babakan Siliwangi di Bandung, yang ditetapkan sebagai Hutan Dunia (World City Forest) pada tanggal 1 Oktober 2011

2. Penanaman mangrove dan vegetasi pantai

Ekosistem mangrove memiliki manfaat manfaat dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di wilayah pesisir, terutama bagi sistem pendukung produktivitas perikanan dan kualitas lingkungan. Aktivitas di pesisir dan pantai yang sangat tinggi menyebabkan konversi hutan mangrove menjadi kawasan lain. Untuk itu perlu dilakukan pemulihan/rehabilitasi lingkungan pesisir dan pantai melalui penanaman mangrove dan vegetasi pantai di lokasi atau kawasan yang telah mengalami kerusakan dan mempertahankan kawasan yang masih baik. Perbedaan mendasar vegetasi pantai biasa seperti Ketapang (Casuarina catappa), Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), Kelapa (Cocos nucifera) atau Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) dengan vegetasi mangrove adalah adanya suplai air tawar. Jika ada pasokan air tawar maka mangrove merupakan pilihan yang tepat. Selanjutnya ditentukan jenis-jenis mangrove yang paling cocok disesuaikan dengan keadaan substrat (kombinasi antara pasir dan lumpur). Lokasi pemulihan yang dipilih merupakan kawasan prioritas yang ditetapkan sebagai kawasan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan pesisir dan laut.

3. Model Pemulihan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Masyarakat.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai 17.508 pulau, dengan luas lautnya 75% dari seluruh wilayah Indonesia dengan panjang total garis 81.000 km, wilayah pesisir dan lautan

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 28

Indonesia yang demikian luas ini memiliki habitat alam yang unik dan signifikan untuk keanekaragaman hayati termasuk juga spesies langka yang bernilai sangat penting secara universal bagi ilmu pengetahuan dan konservasi. Menyadari besarnya nilai-nilai ekonomis keanekaragaman hayati pesisir dan laut ini, maka perlu diperhatikan peningkatan upaya perlindungannya dari kemungkinan terjadinya kerusakan dan pengurasan yang berlebihan sumber daya laut dan pesisir seperti terumbu karang, hutan mangrove, keanekaragaman hayati laut, sumber daya ikan, dan sebagainya tersebut. Peningkatan upaya perlindungan ekosistem pesisir dan laut ini merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan tanggung jawab negara yang meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati. Di lain pihak pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang sedemikian cepat pada sebagian besar kawasan perkotaan pesisir di Indonesia tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan telah menyebabkan terjadinya kerusakan biofisik pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, maupun kawasan sempadan pantai, serta penurunan kapasitas pasokan sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh praktek pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terencana, tidak bertanggung jawab dan tidak ramah lingkungan sehingga mengakibatkan kerusakan maupun pencemaran perairan pesisir dan laut. Rusaknya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti: reklamasi pantai,buangan limbah industri, limbah rumah tangga atau sampah organik, serta limbah minyak. Untuk mengembalikan peran dan fungsi ekologis dan sosial ekonomi dari ekosistem pesisir dan laut yang sangat diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir, maka program pemulihan dan peningkatan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut perlu dilakukan secara berkesinambungan sebagai upaya dalam menahan laju perusakan serta memulihkan ekosistem baik hayati dan non hayati pesisir dan laut yang telah rusak.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 29

Gambar 13 Model Contoh Transplantasi Terumbu karang dan Terumbu Karang Buatan:

Contoh model Terumbu karang buatan dan Transplantasinya pada media kongkrit, KLH’12

4. Pengadaan Unit Pengolah Limbah Organik menjadi Biogas

Penanganan limbah organik yang baik dapat memperbaiki lingkungan dan menghasilkan nilai tambah ekonomi misalnya bagi para peternak dan petani. Pemanfaatan limbah organik yang tadinya tidak bermanfaat dapat berhasil guna menjadi gas metan sebagai energi, pupuk cair dan pupuk padat organik. Sumber pencemar yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas, antara lain adalah: a. kotoran ternak; b. eceng gondok; c. sisa proses pembuatan tahu dan ampas tahu.

Dalam pembuatan biogas pertimbangan desain teknis perlu dilakukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan desain dan model instalasi biogas, antara lain adalah: 1) desain sederhana, dalam hal konstruksi, operasional dan

perawatan; 2) bahan baku mudah didapat, jenis bahan baku yang dapat

digunakan adalah bahan bangunan dan bahan fabrikan (fiber); 3) mudah diperbaiki, aman, dan bila memungkinkan mudah

dipindahkan;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 30

4) harga terjangkau oleh petani dan peternak, dan umur pemakaiannya lama.

Gambar 14. Contoh Desain Biodigiser untuk eceng gondok

Gambar 14.

Gambar 15. Contoh Rencana Desain Biodigiser untuk Kotoran Sapi

Instalasi Penglolahan Air Limbah (IPAL) Biogas Gambar 15.

Prinsip Kerja Teknologi Biogas

Keterangan : Desain Biodigister Tampak Samping dan Atas

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 31

Gambar 16. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biogas

Gambar 17. Prinsip Kerja Teknologi Biogas

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biogas

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 32

Gambar 18. Teknis IPAL Biogas Industri Tahu

Investasi awal yang diperlukan untuk membangun sarana fisik IPAL biogas industri tahu relatif kecil per meter kubik bangunan, ditambah dengan biaya pemipaan (LPTP, 2010). Penentuan kapasitas IPAL yang dirancang didasarkan pada volume air limbah produksi tahu dikalikan dengan waktu tinggal (biasanya 3 hari), sebagai berikut: Volume limbah per hari (m3/hari) = Jumlah bahan baku kedelai (kg/hari) x 15 liter Kapasitas IPAL (m3) = Volume limbah (m3/hari) x 3 hari waktu tinggal Investasi Bangunan IPAL (Rp) = Rp. 9.5 X Kapasitas IPAL (m3) Sedangkan biaya pembangunan biodigester ternak sapi tergantung pada bahan bangunan yang digunakan. Biodigester dengan bahan utama fero semen diperkirakan memerlukan biaya tidak terlalu besar untuk setiap unit biodigester terkecil yang efesien untuk dibangun. Unit biodigester terkecil tersebut kurang lebih berukuran 4 m3 yang dapat manampung kotoran sapi maksimal 4 ekor. Prinsip teknologi Bio-digester adalah memanfaatkan bakteri aceton dan metanogen dalam fermentasi/degradasi limbah pada kondisi anaerobic (kedap udara). Prinsip kerja biodigester dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil produksi teknologi bio-digester berupa energi (gas-bio meliputi: campuran gas CH4 (54-70)%, CO2(27-45) %, O2 (1-4)%, N2 (0,5-3)%, CO 1%, H2S. Karakteristik biogas adalah sebagai berikut: a. Diproduksi oleh bakteri dalam kondisi hampa udara (proses

anaerobik) ; b. Terdiri dari CH4 dan CO2, campuran ini mudah sekali terbakar;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 33

c. Kecepatan produksi gas tergantung dari kondisi fisik limbah dan temperatur (optimal pada 30°C ) ;

d. Waktu tinggal 25 – 30 hari; e. Dalam waktu 3-5 hari gas mulai memproduksi gas-bio.

Berikut ini merupakan persyaratan air limbah untuk pembentukan biogas: a. semua limbah organik, dgn kandungan: (protein, lemak,

karbohidrat) seperti: limbah peternakan, industri tahu-tempe, rumah potong hewan, dan limbah domestik;

b. suhu: 15 ° - 35 ° Celcius; c. waktu pembusukan 25 - 30 hari; d. C/N ratio 1:20 - 1:40; e. kondisi tempat anaerob.

Sistem yang digunakan dalam IPAL biogas industri tahu adalah sebagai berikut: 1. Inlet; 2. Bak equalisasi; 3. Digester; 4. Bak Peluapan; 5. Baffle reactor; 6. Anaerobik Filter; 7. Ak Pengurasan; 8. Outlet.

Gambar 19. Teknis Biodigester Ternak Sapi

Kapasitas 4 m3 dengan bahan ferro semen

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 34

Gambar 20. Teknis Biodigester Ternak Sapi Kapasitas 4 m3 dengan bahan Fiber

D. Pengadaan Sarana Dan Prasarana Perlindungan Fungsi Lingkungan Hidup

Sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Sumur resapan; 2. Lubang resapan biopori; 3. Embung (kolam tampungan air); 4. Penanaman pohon di sekitar mata air, sempadan sungai dan danau; 5. Pengolahgulma (tanaman pengganggu), dan pembuatan media tanam

(bitumen); 6. Penangkap endapan (sediment trap) vegetatif; dan 7. Pencegah longsor ramah lingkungan. Ruang Lingkup Kegiatan

1. Sumur resapan

Dalam proses pembuatan sumur resapan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah komponen bangunan sumur resapan, persyaratan lokasi pembuatan dan persyaratan konstruksi/desain dari sumur resapan itu sendiri.

a. Komponen bangunan sumur resapan: 1) saluran air sebagai jalan air yang akan dimasukkan ke dalam

sumur; 2) bak kontrol yang berfungsi untuk menyaring air sebelum

masuk sumur resapan; 3) pipa pemasukan atau saluran air masuk. Ukuran tergantung

jumlah aliran permukaan yang akan masuk; 4) sumur resapan; serta 5) pipa pembuangan yang berfungsi sebagai saluran pembuangan

jika air dalam sumur resapan sudah penuh.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 35

b. Persyaratan lokasi: 1) sumur resapan dangkal harus berada pada lahan yang datar,

tidak berada pada lahan yang berlerang, curam, atau labil; 2) sumur resapan dangkal dijauhkan dari tempat penimbunan

sampah, jauh dari septic tank (minimal 10 meter diukur dari tepi) dan berjarak minimum 1 meter dari pondasi bangunan;

3) lokasi sumur resapan yang akan dibuat supaya dicatat koordinat geografisnya yang meliputi: lintang dan bujur, ketinggian lokasi (dpl). Dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) atau dengan ekstrapolasi peta topografi yang tersedia. Data koordinat sumur resapan ini selanjutnya diperlukan untuk menyusun sistem basis data pengelolaan lahan dan air sekaligus memantau kinerja pelaksanaan kegiatan yang telah berjalan.

c. Persyaratan konstruksi/desain teknis sumur resapan: 1) bentuk sumur resapan dangkal boleh bundar atau empat

persegi; 2) sumur resapan dangkal harus diberi penutup, dapat

menggunakan pelat beton bertulang; 3) air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan dangkal harus

melalui bak kontrol sebagai sedimen mengendap di bagian bawahnya;

4) saluran air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan dapat menggunakan pipa berdiameter 6 inchi;

5) jarak bak kontrol dengan sumur resapan dangkal kurang lebih 50 centimeter;

6) kedalaman sumur resapan dangkal sekitar antara 2–10 meter diatas air tanah dangkal (sesuai dengan kedalaman air tanahnya);

7) kontruksi bangunan pada dinding sumur resapan dangkal dapat menggunakan batako, bata merah dengan komposisi ada sela-sela /pori-pori dengan bahan yang kasar (pecahan bata merah, kerikil yang berongga);

8) bagian dasar sumur resapan dangkal diisi dengan pecahan batu, ijuk serta arang yang disusun secara berongga;

9) bak kontrol dan sumur resapan dangkal dibersihkan setiap musim kemarau dan musim penghujan dengan mengangkat bahan pengendap (arang aktif, pasir, kerikil dan ijuk).

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 36

2-10 m tergantun

g Jenis dan

Lapisan Tanah

Gambar 21.

Desain Konstruksi Sumur Resapan Dangkal

Gambar 22.

Desain Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan (Tampak Samping)

bak kontrol sedimen

10-15 cm kerakal / koral

Arang Aktif Pasir Koral Injuk

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 37

Gambar 23.

Desain Tutup dan Buis Beton Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan

Gambar 24.

Desain Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan (tampak atas).

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 38

Gambar 25. Desain Bak Kontrol Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan.

Keterangan:

Gambar 23 memperlihatkan desain yang unik pada buis beton yang ditanam pada bak/ sumur peresapan. Bentuk/tipe sistem peresapan ini sengaja didesain agar air yang masuk ke dalam sumur dapat segera diresapkan ke dalam tanah. Sehingga laju infiltrasi tanah menjadi lebih besar, selain itu desain ini juga memperhatikan kekuatan rancang bangun sistem peresapan itu sendiri.

2. Lubang resapan biopori

Lubang resapan biopori (LBR) adalah lubang silidris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10–30 cm, kedalaman sekitar 100 cm atau melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang kemudian diisi sampah organik untuk mendorong terbentuknya biopori. Biopori adalah pori berbentuk liang (terowongan kecil) yang dibentuk oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman.

Lubang resapan biopori (LBR) dapat dibuat di halaman rumah, perkantoran, lapangan parkir, parit atau selokan yang berfungsi untuk aliran pembuangan air hujan saja, serta di lahan kebun dan areal terbuka lainnya.

a. Cara pembuatan lubang resapan biopori: 1) Buat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm,

kedalaman 100 cm atau jangan melampaui kedalaman air tanah pada dasar saluran atau alur yang telah dibuat dengan menggunakan bambu, pipa besi atau alat bor tanah. Jarak antar lubang 50 – 100 cm;

2) Mulut atau pangkal lubang dapat diperkuat dengan adukan semen selebar 2- 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut lubang;

3) Isi lubang LBR dengan sampah organik yang berasal dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur;

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 39

4) Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang atau menyusut karena proses pelapukan; serta

5) Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil setelah 2 – 3 bulan.

b. Alat dan bahan pembuat lubang biopori

Alat yang dapat digunakan untuk membuat lubang biopori berupa lubang vertikal ke dalam tanah, antara lain adalah bor tanah (bor biopori), linggis, pisau dan kape. Bahan-bahan yang dapat dimasukkan ke dalam LRBadalah bahan-bahan yang mudah terurai oleh fauna tanah, misalnya daun, rumput dan sisa-sisa makanan, atau yang biasa disebut sampah organik.Jangan memasukkan sampah anorganik seperti plastik, kaleng, mika/fiber kedalam lubang tersebut karena tidak dapat terurai.

Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus : Intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (m2)

laju resapan air perlubang (liter / jam).

Contoh:

Untuk daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), dengan laju peresapan air perlubang 3 liter/menit (180 liter/jam) pada 100 m bidang kedap perlu dibuat sebanyak : (50 x 100) : 180 = 28 lubang.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 40

Gambar 26. Pembuatan lubang resapan dengan bor tanah atau Lubang Biopori

3. Embung (kolam tampungan air)

Salah satu cara untuk menanggulangi kekurangan air adalah dengan membangun kolam penampungan air atau embung. Embung adalah kolam penampungan kelebihan air hujan pada musim hujan dan digunakan pada saat musim kemarau>

Tujuan pembuatan embung adalah: a. menyediakan air untuk pengairan tanaman di musim kemarau

b. meningkatkan produktivitas lahan

c. mencegah/mengurangi luapan air di musim hujan dan menekan resiko banjir

d. memperbesar peresapan air ke dalam tanah

Metode kolam tampungan drainase dalam skala besar sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan urugan atau bahan galian C (Gambar 26). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan urug, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.

Membuat lubang dengan bor tanah

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 41

Cara ini banyak dipraktekkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman.

Gambar 27.

Kolam penampung air hujan (embung) dan drainase ramah lingkungan pada pemukiman dan areal pertanian/perkebunan

Selain di areal permukiman, dikenal juga kolam konservasi air hujan di areal pertanian (Gambar 25). Kelebihan air hujan yang jatuh di areal pertanian, termasuk limpasan dari jalan dan perkampungan di sekitar areal pertanian, dapat ditampung pada kolam-kolam penampungan, tidak langsung dibuang ke sungai.

Dimensi areal konservasi disesuaikan dengan luas daerah tangkapan air hujan yang akan dimasukkan ke kolam tersebut dan karakteristik air hujan. Perencanaan dimensi kolam dapat dilakukan dengan hitungan rumus-rumus drainase hujan aliran biasa.

bekas galian C yang dimanfaatkan sebagai kolam

tampungan air (embung) sekaligus untuk rekreasi

masyarakat

kolam konservasi di areal pertanian / perkebunan

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 42

Gambar 28. Kolam konservasi air hujan di areal pertanian

4. Penanaman pohon di sekitar mata air, sempadan sungai, dan danau

Penanaman pohon di sekitar sumber mata air yang berada di luar dan di dalam kawasan hutan diutamakan untuk jenis tanaman lokal yang berumur panjang. Namun demikian apabila ada alasan teknis lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (saran dari pakar/ahli) dapat menggunakan tanaman lainnya dari luar daerah. Umur dan besar bibit tanaman disesuaikan kondisi setempat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a) lokasi penanaman dapat berada di luar dan dalam kawasan hutan,

dan harus berada di sekitar sumber atau mata air; b) mudah terjangkau untuk akses pemeliharaan; c) lahan untuk lokasi penanaman bukan milik perseorangan atau

sejenisnya untuk memudahkan dalam pengendalian; d) koordinasi dengan instansi terkait.

Teknis pelaksanaan penanaman pohon di sekitar mata air: a) pohon yang akan ditanam dipastikan memiliki ketinggian dan

diameter batang yang mencukupi dan dapat hidup di lokasi penanaman;

b) jenis pohon yang akan ditanam sesuai dengan kondisi dan karakteristik lokasi penanaman;

c) gunakan jarak tanam yang ideal dan mencukupi untuk ruang tumbuh tanaman, bisa 3x3 meter, 4x4 meter, atau 5x5 meter (tergantung dari jenis pohon yang ditanam);

d) berikan pupuk organik (diutamakan daripada menggunakan pupuk kimia) di sekitar lokasi penanaman pohon, dan siram dengan air secukupnya;

e) untuk pemeliharaan dilakukan penjarangan dan penyiangan pohon, untuk memastikan kondisi pohon yang ditanam dapat tumbuh dengan baik.

sempadan sungai

sungai

sawah / tegalan

kolam tampungan

air

selokan menuju

kolam

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 43

Gambar 29. Jarak tanam pohon di sekitar mata air

5. Pengolah gulma (tanaman pengganggu) dan pembuatan media tanam (bitumen)

Pada dasarnya semua bahan organik yang mengandung unsur Karbon (C) dan Nitrogen (N) dapat dikomposkan. Bahan organik yang dimaksud antara lain jerami (limbah pertanian), tanaman air (Eceng Gondok, Azolla, Ganggang biru) kotoran ternak, limbah industri (padat dan cair), limbah rumah tangga (tinja, urine, sampah rumah tangga dan sampah kota). Pemilihan bahan organik yang akan dikomposkan harus dilakukan dengan baik terutama dengan besarnya nisbah Karbon – Nitrogen (C/N), karena nisbah C/N akan menentukan kecepatan/laju pengomposan.

Bahan organik yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi memerlukan waktu pengomposan yang cukup lama. Persyaratan agar terjadi pengomposan yang optimal adalah nisbah C/N antara 30 s/d 50. Dalam penuntun praktis ini bahan baku organik yang digunakan adalah Eceng Gondok, jerami dan kotoran ternak. Selain itu digunakan bahan lain yaitu EM4 untuk pasokan mikroorganisme.

Jarak Tanam Pohon (3x3 meter, atau 4x4 meter, atau 5x5 meter)

Mata Air

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 44

Gambar 30. Jerami dan Enceng Gondok sebagai material potensial untuk pembuatan pupuk organik

Peralatan yang digunakan dalam pengolahan gulma antara lain adalah: 1) Peralatan manual

a) sekop, cangkul atau garpu; b) ayakan / saringan; c) parang atau sabit ember; d) gembor; e) sarung tangan, masker dan sepatu bot; f) timbangan; g) termometer; h) pH-meter.

2) Mesin pencacah Salah satu faktor yang menentukan kualitas kompos Eceng Gondok yang dihasilkan, adalah tingkat kehalusan pencacahan Eceng Gondok dan bahan baku lainnya. Semakin halus bahan-bahan sebelum dikomposkan, kualitas kompos yang dihasilkan cenderung semakin baik.

Pencacahan dapat dilakukan misalnya dengan mesin pemotong rumput gajah, mesin penggiling, atau modifikasi keduanya. Pada umumnya mesin pencacah memiliki 3 bagian yaitu:

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 45

a) motor penggerak (mesin diesel berkekuatan 8 PK, 10 PK dan seterusnya tergantung jumlah dan kapasitas penggilingan);

b) bagian pencacah/penggiling yang terdiri dari leher/as roda, dan komponen yang bergerak yaitu pisau-pisau;

c) bagian transmisi berupa sabuk (karet) yang dipasang dengan ketegangan tertentu, tidak terlalu kendor maupun terlalu kencang. Ada pula yang berupa gigi atau batang kaku.

Gambar 31. Contoh mesin pencacah dan penggiling

Keterangan: (a) mesin pencacah, (b) mesin pencacah, (c) pisau-pisau pencacah, (d) proses pencacahan, (e) hasil pencacahan (Dok: HM, 2006).

Mesin ini harus dioperasikan sesuai petunjuk pengoperasian yang diinformasikan pada saat membeli atau dalam manual alat, serta harus dirawat bagian-bagiannya sehingga pisau-pisaunya tidak tumpul, mesin tidak berkarat dan macet, sehingga dapat digunakan untuk waktu yang lama.

3) Bak pengomposan Agar mendapatkan hasil pupuk organik yang baik, bak pengomposan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) memiliki kapasitas volume, dan lingkungan yang diinginkan; b) terletak di tempat yang memungkinkan diterimanya sinar

matahari sehingga tercapai suhu pengomposan yang diperlukan, dan tertutup dari curah hujan;

c) bak pengomposan dapat berupa lubang yang digali di tanah, bak dari kayu atau bambu, bekas drum, bak dinding beton, ataupun bak pengomposan plastik yang telah dijual di pasaran.

d e

b c

a

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 46

Gambar 32. Contoh (a) bak pengomposan dari bambu, dengan satu sisi yang dapat dibuka/ tutup dan (b) Contoh desain bak pengomposan dari beton, dengan sekat kayu yang dapat dibuka/tutup.

Gambar 33.

Berbagai macam teknologi penghalus dan pengayak pupuk organik yang matang.

Teknik pembuatan media tanam dari enceng gondok: a. Proses pengomposan:

1) pengomposan adalah suatu usaha pengolahan bahan organik secara biologi menjadi produk yang bersifat higienis dan humik, dapat memperbaiki struktur tanah dan memberikan zat makanan bagi tanaman. Pengomposan merupakan gabungan dari proses fisik, kimia dan enzimologi yang terjadi selama degradasi bahan organik dengan kondisi yang optimal.

2) proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan secara aerobik sering digunakan,

(d)

(b)

(e)

(a)

(b) (a)

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 47

karena mudah dan murah untuk dilakukan serta tidak memerlukan kontrol proses yang sulit. Pengomposan secara aerobik membutuhkan mikroba aerob untuk mendegradasi bahan organik, sementara pengomposan anaerobik membutuhkan mikroba anaerobik.

b. Perubahan fisik:

1) selama proses pengomposan terjadi perubahan fisik dan kimia dari bahan yang dikomposkan. Perubahan warnaterjadi di akhir pengomposan warna berubah menyerupai warna tanah.

2) perubahan suhu.Perubahan suhu merupakan parameter bagi tingkat kegiatan perombakan bahan organik oleh mikroorganisme. Jika proses pengomposan terjadi dengan baik, suhu akan naik pada awal pengomposan kemudian turun. Pada akhir pengomposan suhu sedikit di atas suhu udara.

3) penyusutan volume dan pengurangan bobot. Penyusutan volume dan pengurangan bobot yang terjadi selama proses pengomposan disebabkan adanya proses pencernaan oleh mikroorganisme. Selama proses ini bahan organik diuraikan menjadi unsur-unsur yang dapat diserap oleh mikroorganisme tersebut.

4) perubahan bau (kompos yang sudah matang tidak berbau, atau hampir berbau sama dengan tanah/humus).

5) perubahan struktur kompos (struktur kompos biasanya lepas, tidak lengket dan tidak menggumpal).

c. Persiapan bahan dan penetapan formula:

Pemilihan dan penetapan formula bahan baku pupuk organik sangat penting untuk memenuhi kriteria persyaratan terjadinya proses pengomposan yang ideal. Dalam hal pemilihan bahan baku untuk eceng gondok, jerami dan kotoran ternak harus diperhatikan ukuran, kelembaban dan pembandingan bahan baku. Untuk memenuhi persyaratan ukuran yang ideal, eceng gondok dan jerami dapat dicacah dengan mesin pencacah. Sedangkan untuk kotoran ternak dapat disesuaikan dengan potensi daerah, misalnya kotoran ayam, sapi, kambing, kerbau atau guano (burung). Dalam hal penentuan formula bahan baku dapat dipilih beberapa alternatif antara lain: a. ecenggondok: kotoran ternak = 70%:30 % (dalam berat). b. ecenggondok: jerami: kotoran ternak = 35% : 35% : 30%

(dalam berat). c. sebagai pengaktif mikroorganisme dapat digunakan EM4

atau produk sejenis lainnya yang mudah diperoleh di pasaran.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 48

d. Pengemasan: Pengemasan pupuk organik biasanya dilakukan untuk keperluan komersial,dan atau jika akan disimpan. Pengemasan pupuk organik untuk keperluan komersial dimaksudkan agar memudahkan bongkar muat, menjaga kualitas pupuk, dan membuat tampilan pupuk lebih menarik.

6. Penangkap endapan (jebakan sedimen) vegetatif; dan

Penangkap endapan (jebakan sedimen) bermanfaat untuk menanggulangi atau mengurangi sedimentasi sungai, dengan menghambat sedimen hasil proses erosi masuk ke badan sungai. Penerapan jebakan sedimen ini adalah untuk mencegat atau menahan/menangkap sedimen yang berbentuk partikel tanah yang terbawa oleh aliran permukaan. Penangkapan sedimen ini secara tidak langsung mengendalikan kualitas fisik air sungai dan sedimentasi sungai.

Jebakan atau penangkap sedimen vegetatif mengupayakan sedimen yang terangkut oleh air limpasan ditangkap pada suatu wadah tertentu dengan konstruksi bahan yang bisa tumbuh dan bersifat lokal. Konstruksi yang ramah lingkungan dan bersifat local mudah diaplikasikan dan dapat diupayakan pengendalian aliran sedimen masuk ke badan sungai. Sedimen hasil jebakan ini juga dapat dikembalikan kembali ke lahan pertanian.

7. Pencegah longsor ramah lingkungan

Tebing sungai yang merupakan bagian dari sempadan sungai, merupakan komponen ekosistem sungai yang sangat penting dan perlu di jaga kelestariannya. Dalam rangka pengelolaan dan penanganan permasalahan tebing sungai ada 2 (dua) pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu melalui konsep sipil teknis (salah satunya melalui penurapan sungai) serta konsep eko-hidraulik sungai yang lebih pro-lingkungan.

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 49

Gambar 34. Konsep penanganan bantaran sungai melalui sipil teknis penurapan

versus konsep eko-hidraulik

Gambar 35. Penggunaan tebing turap versus konstruksi eko-hidraulik

Dikes, non eco-hydraulicconstruction Eco-hydraulic

construction

Kombinasi yang dapat digunakan dalam usaha perlindungan tebing sungai adalah dengan melakukan penurapan tebing sungai dikombinasikandengan penanaman pohon, seperti dapat terlihat pada gambar di bawah ini:

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 50

Gambar 36.

Penerapan konsep eko-hidraulik dalam penurapan tebing sungai

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, BALTHASAR KAMBUAYA

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 51

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG LINGKNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013

PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN

DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

A. PENDAHULUAN

Laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH TA 2012 wajib disusun sebagai bagian dari akuntabilitas dan pertanggungjawaban pelaksanaan DAK Bidang LH, dengan didasarkan pada perencanaan, dan prioritas penanganan masalah lingkungan hidup yang dihadapi di kabupaten/kota. Laporan pelaksanaan kegiatan Dana Alokasi Khusus Bidang LH bermanfaat apabila dapat menyajikan informasi yang mudah dipahami, relevan, handal dan dapat diperbandingkan, serta dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam rangka penyusunan laporan tersebut perlu disusun pedoman untuk membantu kabupaten/kota dalam pembuatan laporan dan inventarisasi hasil dari pelaksanaan DAK Bidang LH. Laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH, meliputi: 1. Laporan pertriwulan kemajuan pelaksanaan kegiatan, dan serapan

anggaran; 2. Laporan akhir capaian pelaksanaan kegiatan; 3. Laporan output dan outcome; 4. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kabupaten/Kota.

Seluruh laporan di atas dapat disampaikan berupa soft file atau e-mail ke alamat: [email protected] Laporan hasil pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH yang disampaikan secara berkala setiap tahun, merupakan data dasar yang sangat diperlukan dalam perencanaan dan pengembangan DAK Bidang LH kedepan. Baseline data DAK Bidang LH tersebut memberikan informasi sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kabupaten/kota, serta kinerja pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan DAK Bidang LH.

B. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN DAK BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

1. Laporan triwulan kemajuan pelaksanaan kegiatan, dan serapan anggaran DAK Bidang LH TA 2013

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 52

Laporan ini wajib disampaikan oleh Kepala Intitusi Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota kepada kepala Instansi Lingkungan Hidup Daerah Provinsi, paling lambat 2 (dua) minggu setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. Hasil rekapitulasi laporan triwulan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan serapan anggaran DAK Bidang LH TA 2013 kabupaten/kota se-provinsi wajib disampaikan kepada Pusat Pengelolaan Ekoregion di wilayah kerjanya masing-masing, selambatnya 3 (tiga) minggu setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. Format Laporan Triwulan Kemajuan Pelaksanaan Kegiatan Dan

Serapan Anggaran

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I. Pendahuluan

Menyajikan ringkasan seluruh isi laporan, antara lain tentang: a. Kesesuaian perencanaan dengan pelaksanaan kegiatan dalam

triwulan bersangkutan b. Ringkasan penjelasan realisasi anggaran (keuangan) dan kegiatan

(fisik) dalam triwulan bersangkutan c. Ringkasan penjelasan kendala dan permasalahan yang dihadapi

dalam pelaksanaan kegiatan selama triwulan yang bersangkutan d. Ringkasan tindak lanjut kedepan (triwulan selanjutnya)

BAB II. Hasil Pelaksanaan Kegiatan

Mengisi tabel laporan serapan pelaksanaan DAK Bidang LH TA 2013 (Tabel 1), dan dilengkapi dengan penjelasantentang a. Pelaksanaan kegiatan selama triwulan yang bersangkutan b. Kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan

kegiatan

BAB III. Kesimpulan Menyajikan tentang hasil pelaksanaan kegiatan dan tindak lanjut Kedepan(triwulanselanjutnya)

Lampiran

Memuat antara lain: - Informasi lainnya yang tidak dapat disampaikan dalam isi pokok

laporan, tetapi perlu untuk dilampirkan; - Laporan-laporan lainnya terkait pelaksanaan DAK Bidang LH

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 53

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 54

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 55

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 56

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 57

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 58

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 59

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 60

www.djpp.depkumham.go.id

2013, No.168 61

2. Laporan output dan outcome pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH Kabupaten/Kota TA 2013 oleh Kabupaten/Kota

Laporan ini merupakan hasil rekapitulasi laporan Kabupaten/Kota diwilayahnya dan disampaikan oleh Kepala Intitusi Lingkungan Hidup Daerah Provinsi kepada PPE dan Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup cq. Biro Perencanaan, paling lambat 2 (dua) minggu setelah Kabupaten/Kota melaporkan kegiatan triwulanannya

No Propinsi Kab/ Kota Input Output Outcome 1 Jawa Barat Cirebon Uraianseluruh peralatan di

Cirebon Uraian seluruh output penggunaan alat DAK di Cirebon

Uraian seluruh kegiatan di cirebon

IndramayuKab CirebonKab BandungKab. Kuningan Kab. GarutKab BogorKab. Majalengka

FORMAT PELAPORAN PROPINSI

3. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kabupaten/Kota TA 2012

Laporan ini wajib disampaikan oleh Kepala Intitusi Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota kepada kepala Instansi Lingkungan Hidup Daerah Provinsi, paling lambat minggu pertama bulan April TA 2014 (setelah tahun yang bersangkutan berakhir), dan wajib ditembuskan/disampaikan kepada Pusat Pengelolaan Ekoregion di wilayah kerjanya masing-masing.

Tata cara penyusunan laporan SLHD sesuai dengan Pedoman Umum Penyusunan SLHD yang ditetapkan oleh KLH.

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA BALTHASAR KAMBUAYA

www.djpp.depkumham.go.id