2013-1-00421-PSBab2001 -...

31
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis 2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi yang beragam. Kontrak merupakan keyakinan akan kewajiban yang terdapat diantara dua atau lebih pihak terkait. Rousseau (1995: 23) mendefinisikan kewajiban sebagai komitmen terhadap perilaku di masa mendatang yang harus ditepat. Kontrak dapat disampaikan baik secara tertulis, verbal, maupun dalam bentuk ekspresi yang beragam (Rousseau, 1995), namun, ada kontrak yang muncul tanpa disadari keberadaannya karena bersifat informil, yaitu kontrak yang tidak dipaparkan secara langsung dan bersifat tersirat. Salah satu bentuk kontrak yang bersifat informil namun memegang peranan penting dalam dunia kerja adalah kontrak psikologis. Rousseau (1995: 9) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai kepercayaan yang diyakini oleh karyawan yang terkait dengan perjanjian hubungan tenaga kerja antara pihak karyawan dengan perusahaan. Agyris (dalam Barling dan Cooper, 2008) berargumen bahwa kontrak ini dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi. Isakson (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal balik dalam perjanjian tenaga kerja.

Transcript of 2013-1-00421-PSBab2001 -...

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kontrak Psikologis

2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis

Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap

aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi yang beragam.

Kontrak merupakan keyakinan akan kewajiban yang terdapat diantara dua

atau lebih pihak terkait.

Rousseau (1995: 23) mendefinisikan kewajiban sebagai komitmen

terhadap perilaku di masa mendatang yang harus ditepat. Kontrak dapat

disampaikan baik secara tertulis, verbal, maupun dalam bentuk ekspresi yang

beragam (Rousseau, 1995), namun, ada kontrak yang muncul tanpa disadari

keberadaannya karena bersifat informil, yaitu kontrak yang tidak dipaparkan

secara langsung dan bersifat tersirat. Salah satu bentuk kontrak yang bersifat

informil namun memegang peranan penting dalam dunia kerja adalah kontrak

psikologis.

Rousseau (1995: 9) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai

kepercayaan yang diyakini oleh karyawan yang terkait dengan perjanjian

hubungan tenaga kerja antara pihak karyawan dengan perusahaan.

Agyris (dalam Barling dan Cooper, 2008) berargumen bahwa kontrak

ini dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi

dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam

pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi.

Isakson (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis

sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal

balik dalam perjanjian tenaga kerja.

11

Guest dan Conway (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak

psikologis sebagai persepsi terhadap hubungan dua pihak, karyawan dan

perusahaan.

Rousseau beserta dengan rekan kerjanya berargumen bahwa

pelanggaran terhadap tanggung jawab dan kewajiban akan memberikan

dampak yang lebih kuat dibandingkan pelanggaran terhadap harapan

subjektif (Rousseau, 1995).

MacNeil (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011) menjelaskan

bahwa kontrak psikologis dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu

kontrak transaksional dan relasional. Kontrak transaksional berorientasi pada

hal yang berkaitan dengan moneter dan merupakan kontrak jangka pendek.

Rousseau (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011: 73)

berargumen bahwa bentuk kontrak ini hanya menitikberatkan pada gaji yang

tinggi namun tidak ada komitmen pada perusahaan yang terlibat di dalamnya.

Pada umumnya, kontrak ini berlaku apabila perusahaan merekrut karyawan

sementara untuk tujuan spesifik. Berbeda dengan kontrak transaksional,

kontral relasional merupakan kontrak untuk periode jangka panjang. Elemen

yang tergolong dalam kontrak ini adalah komponen sosio-emosional seperti

loyalitas, komitmen, dan kepercayaan (Haq et al., 2011).

Dapat disimpulkan bahwa kontrak psikologis merupakan sekumpulan

perjanjian dan komitmen yang tidak tertulis namun ada dalam perjanjian

antar dua belah pihak atau lebih. Hubungan ini menitikberatkan pada

hubungan timbal balik antara karyawan dengan perusahaan. Walaupun tidak

tertulis secara jelas, tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kontrak ini

memainkan peran yang cukup besar dalam mengontrol dan memprediksi

perilaku karyawan dalam perusahaan.

2.1.2 Pengembangan Kontrak Psikologis

Saat karyawan baru memasuki suatu perusahaan, seringkali karyawan

belum memiliki pemahaman seutuhnya mengenai hubungan kerja yang ada.

Kontrak psikologis awal yang diyakini oleh karyawan bersumber dari

perjanjian-perjanjian yang dijanjikan oleh perusahaan (dalam bentuk

kesempatan berkarir, penghargaan financial, serta pekerjaan yang menarik)

12

maupun komitmen kerja yang telah dijanjikan oleh karyawan bagi perusahaan

seperti loyalitas, fleksibilitas, kinerja yang baik, dan penuntasan tugas di luar

tanggung jawab utamanya (Vos, Buyens & Schalk, 2003). Turnley dan

Feldman (1998) dalam Boes (2006) berasumsi bahwa karyawan membangun

harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan 3 sumber utama, yaitu janji

yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan, persepsi akan kultur

perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan

beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk

secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru

untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapan-

harapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan (Rousseau, 2001).

De Vos dan Buyens (dalam Phuong, 2013) memaparkan bahwa

kontrak psikologis terbentuk dari beberapa kategori dari janji dan tanggung

jawab dan untuk memahami pengembangan dari kontrak psikologis, penting

untuk memperhatikan setiap kategorinya dan tidak melihatnya sebagai satu

kesatuan yang utuh.

Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) menggambarkan kontrak

psikologis sebagai hasil dari dua faktor utama, yaitu petunjuk sosial yang

diberikan oleh perusahaan serta kognisi dan karakter individu. Kontrak ini

juga merupakan hasil dari dua proses, yaitu encoding dan decoding.

Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan encoding sebagai

proses yang terjadi ketika karyawan mempercayai perjanjian dan komitmen

yang disampaikan oleh pihak perusahaan.

Pada umumnya, proses ini terjadi apabila informasi disampaikan oleh

pihak yang memiliki wewenang, disampaikan pada situasi yang tepat, dan

apabila perjanjian disampaikan secara berulang. Proses ini diikuti oleh proses

decoding, yaitu penyesuaian akan informasi yang dimiliki karyawan

mengenai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan

dengan karyawan. Proses ini dibangun berdasarkan informasi yang

disampaikan oleh pihak perusahaan sehingga karyawan dapat membentuk

kesimpulan mengenai standar perilaku yang harus ditampilkan. Berikut

diagram proses pembentukan kontrak psikologis

13

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Kontrak Psikologis (Rousseau, 1995)

Berdasarkan diagram ini, dapat disimpulkan bahwa keyakinan

karyawan akan perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak

perusahaan ditentukan oleh karakter dan cara berpikir setiap individu. Ketika

karyawan telah mempercayai janji dan komitmen yang disampaikan oleh

pihak perusahaan, proses berikutnya adalah menyesuaikan dan

membandingkan informasi yang dimiliki dengan kebudayaan serta situasi

yang ada. Proses ini terbentuk berdasarkan petunjuk sosial yang ada. Setelah

kedua proses ini berlangsung, maka kontrak psikologis akan terbentuk.

Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) meyakini bahwa kontrak

psikologis terbentuk berdasarkan informasi yang disampaikan serta komitmen

yang diberikan oleh pihak perusahaan. Informasi ini dapat disalurkan melalui

beberapa cara, seperti komitmen yang disampaikan secara langsung dalam

bentuk tertulis, observasi, serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam

perusahaan. Kontrak psikologis merupakan kontrak yang bersifat dinamis dan

dapat berubah seiring dengan proses adaptasi karyawan di perusahaan.

Perubahan persepsi terhadap harapan serta perjanjian yang diyakini oleh

karyawan dapat terjadi melalui dua proses, yaitu adaptasi sepihak dan

adaptasi timbal balik. Dalam adaptasi sepihak, perubahan perspektif dari

karyawan baru mengenai perjanjian dari salah satu pihak terjadi sebagai

Message

Framing

Social

Cues

Encoding Decoding

Predisposition

Psychological

Contract

Penanda faktor

organisasi

Penanda faktor

individual

14

dampak dari interpretasi berdasarkan kontribusi yang dilakukan oleh diri

sendiri. Bertolak belakang dengan itu, adaptasi timbal balik terjadi ketika

karyawan merubah perspektifnya terhadap perjanjian dari salah satu pihak

sebagai hasil dari interpretasi terhadap sikap maupun perilaku yang dilakukan

oleh pihak perusahaan (Vons, Buyens & Schalk, 2003).

2.2 Pelanggaran Kontrak Psikologis

2.2.1 Definisi dan Pendorong Terjadinya Pelanggaran Kontrak

Psikologis

Rousseau (dalam Hussain et al., 2011) memaparkan bahwa

pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan beranggapan

bahwa pihak perusahaan telah gagal dalam memenuhi janji dan

komitmennya.

Morrinson dan Robinson (dalam Hussain et al., 2011) mendefinisikan

pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara

pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh.

Robinson (dalam Hussain et al., 2011) berpendapat bahwa

pelanggaran ini terjadi ketika karyawan tidak memperoleh apa yang

diharapkannya, namun, pada tahun 2004, Robinson menambahkan bahwa

pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan

membandingkan kontrak psikologisnya dengan sikap yang ditampilkan oleh

pihak perusahaan.

2.2.2 Dampak Pelanggaran Kontrak Psikologis

Terjadinya pelanggaran kontrak psikologis akan membawa dampak

negatif, baik bagi karyawan maupun untuk pihak perusahaan. Dalam teori

pertukaran sosial yang dipaparkan oleh Coyle-Shapiro dan Conway (dalam

Bordia, Tang, dan Restubog, 2008), hubungan tenaga kerja antara karyawan

dan perusahaan dibangun berdasarkan rumus pertukaran sosial. Ketika

karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak

perusahaan, karyawan akan memberikan respon dengan menimbulkan

perilaku yang dapat memberikan kerugian pada perusahaan

15

Dalam Bordia, Tang, dan Restubog (2008), dipaparkan bahwa

persepsi karyawan terhadap adanya pelanggaran kontrak psikologis akan

memberikan dampak, seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan

hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, menurunkan kepuasan

kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan .

Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat mendorong

kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan

melakukan penyelewengan dalam lingkungan kerja. Perilaku yang

menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim

seperti pulang lebih cepat dan kurang menghargai rekan kerja, hingga pada

taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian,

membocorkan data perusahaaan pada pihak lain, dan tidak bekerja dengan

baik (Hussain et al, 2011).

2.2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis

Morrinson dan Robinson (2000) memaparkan bahwa terjadinya

pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu

pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak

perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud,

namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu,

ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan

dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam

hubungan tenaga kerja. Berikut diagram mengenai proses terjadinya

pelanggaran kontrak psikologis:

16

Gambar 2.2 Proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis (Robinson & Morrinson, 2000)

Berdasarkan gambar ini, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran dan

ketidaksesuaian merupakan awal mula terjadinya persepsi pelanggaran

kontrak pada karyawan. Pengingkaran dapat terjadi ketika pihak perusahaan

tidak mampu ataupun tidak mau memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini juga

dapat terjadi ketika produktivitas dan kinerja karyawan dinilai rendah.

Ketidaksesuaian terjadi apabila pihak perusahaan dan karyawan

memiliki perbedaan pandangan mengenai tanggung jawab dan hak yang

terdapat dalam perjanjian tenaga kerja. Perbedaan pandangan ini dapat terjadi

dalam interaksi pada proses penerimaan karyawan.

17

Morrinson dan Robinson (2000) berpendapat bahwa kesenjangan

pandangan dapat dijembatani dan diminimalisir melalui proses sosialisasi

karyawan di perusahaan. Karyawan yang mampu melalui proses sosialisasi

dengan optimum akan mampu menyamakan apa yang menjadi

kepercayaannya mengenai perjanjian yang disampaikan oleh pihak

perusahaan dengan pandangan dari pihak perusahaan.

Morrinson dan Robinson (2000) juga berpendapat bahwa intensitas

komunikasi antar karyawan dengan pihak perusahaan sebelum karyawan

menjadi pegawai dalam perusahaan dapat meminimalisir munculnya

kesenjangan ini.

Ketika salah satu dari kedua akar utama penyebab munculnya persepsi

karyawan akan adanya pelanggaran kontrak psikologis terjadi, taraf seberapa

tinggi karyawan memperhatikan seberapa baik perusahaan memenuhi

tanggung jawabnya, memainkan peran. Karyawan yang secara berkala

memperhatikan adanya kesenjangan ini memiliki kecenderungan untuk

mempersepsikan terjadinya pelanggaran kontrak psikologis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan karyawan yang tidak menitikberatkan perhatiannya

pada pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan.

Riset yang dilakukan oleh Fiske dan Taylor (dalam Robinson dan

Morrinson, 2000) membuktikan bahwa hal ini terjadi karena ketika karyawan

memantau secara berkala bagaimana perusahaan memenuhi tanggung

jawabnya: ini akan mendorong mereka untuk mencari celah akan adanya

pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan serta mencari bukti untuk

mendukung kepercayaan mereka.

Morrinson dan Robinson (2000) berargumen bahwa tingkat perhatian

karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ketidakpastian yang dirasakan oleh

karyawan, tingkat kepercayaan antara karyawan dengan atasan, serta

besarnya kerugian yang muncul sebagai dampak dari kegagalan pemenuhan

tanggung jawab oleh pihak perusahaan.

Salah satu penyebab adanya ketidakpastian yang dirasakan oleh

karyawan adalah perubahan organisasi yang terjadi. Perubahan-perubahan

18

organisasi yang terjadi dapat memicu munculnya perasaan tidak aman bahwa

pihak perusahaan tidak akan memenuhi tanggung jawabnya secara penuh.

Salah satu pemicu tingginya perhatian karyawan terhadap pemenuhan

tanggung jawab oleh pihak perusahaan adalah kepercayaan yang ada antara

pihak perusahaan dengan karyawan. Robinson dan Morrinson (2000)

berargumen bahwa kepercayaan karyawan terhadap pihak perusahaan dapat

menurun apabila pihak perusahaan gagal dalam memenuhi tanggung

jawabnya di masa lalu.

Zhao et al., (dalam Phuong, 2013) menganjurkan empat metode yang

dapat diterapkan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis. Metode

pengukuran yang pertama adalah pengukuran konkret. Pengukuran ini

merujuk pada berbagai konten yang merupakan bagian dari kontrak

psikologis, seperti upah yang tinggi, pelatihan diberikan, dan rasa aman

dalam pekerjaan. Dalam pengukuran ini, responden akan diminta untuk

menilai seberapa baik perusahaan telah memenuhi janjinya dalam setiap

aspek.

Pengukuran yang kedua adalah pengukuran global. Pengukuran ini

tidak menitikberatkan pada setiap butir dari konten secara spesifik, namun

mengarah pada persepsi dari responden mengenai seberapa baik atau gagal

perusahaan telah memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada responden

(Phuong, 2013).

Pengukuran ketiga yang dikembangkan oleh Zhao dinamakan dengan

pengukuran berat. Sama seperti dengan pengukuran konkret, metode ini juga

menilai setiap konten secara spesifik dari kontrak psikologis dan meminta

responden untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran yang terjadi

pada setiap butir. Namun, yang membedakan adalah, dalam pengukuran ini

ditambahkan penilaian mengenai seberapa penting setiap konten yang ada

bagi responden (Phuong, 2013).

Metode lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur pelanggaran

kontrak psikologis adalah metode dimensi. Metode ini serupa dengan

pengukuran konkret, dimana meminta responden untuk memberikan

penilaian terhadap pemenuhan janji perusahaan pada setiap butir pertanyaan.

19

Jumlah skor keseluruhan pada satu dimensi kemudian akan dinilai rata-

ratanya sebagai rata-rata dari dimensi tersebut (Phuong, 2013).

Studi mengenai kognisi sosial, relasi, perbaikan, dan keadilan yang

dilakukan oleh Rousseau (dalam Boes, 2006), pelanggaran kontrak lebih

cenderung terjadi dalam kontrak yang dinamis berdasarkan alasan sebagai

berikut: (1) Salah satu pihak memberikan nilai yang rendah pada hubungan

tenaga kerja; (2) Insentif dari kontrak yang dilangar cukup besar; (3)

Terjadinya pola eksternal dari pelanggaran kontrak; (4)Adanya sejarah

konflik yang terjadi dan menyebabkan rasa percaya yang rendah; (5) Adanya

jarak sosial pada kedua pihak sehingga kedua pihak tidak saling memahami

perspektif dari yang lainnya.

Meyer dan Starke (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) menemukan

bahwa orang cenderung menghindari informasi yang akan mengecewakan

mereka. Berdasarkan penemuan ini, Robinson dan Morrinson (dalam

Robinson dan Morrinson, 2000) berpendapat bahwa karyawan cenderung

tidak memantau secara berkala bagaimana pihak perusahaan memenuhi

tanggung jawabnya apabila mereka merasa ada ancaman bahwa kontrak

psikologis mereka tidak terpenuhi. Dengan demikian, maka karyawan yang

saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja memiliki lebih banyak

alternatif pekerjaan lainnya cenderung lebih memantau bagaimana

perusahaan memenuhi tanggung jawab dan janjinya dibandingkan dengan

karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja hanya

memiliki sedikit alternatif pekerjaan.

Rousseau (dalam Rousseau, 2000) memaparkan bahwa kontrak

psikologis dipengaruhi oleh 4 aspek utama, yaitu relasi (relational),

keseimbangan (balanced), transaksional (transactional), dan transisi

(transitional). Berikut pembagian rincian setiap aspek dari kontrak psikologis

menurut Rousseau (Rousseau, 2000):

• Relasi (relational): Pengaturan tenaga kerja yang bersifat terbuka dan

berorientasi jangka panjang didasari oleh rasa saling percaya dan

loyalitas. Dimensi ini dibagi menjadi:

20

o Stabilitas (stability): Karyawan bertanggung jawab untuk tetap

berada dalam perusahaan dan melakukan apa yang seharusnya

dilakukan untuk menjaga agar kegiatan operasional terus

berlangsung. Pihak perusahaan juga telah menjajikan adanya

upah yang stabil dan hubungan tenaga kerja antar karyawan

dengan perusahaan dalam jangka panjang

o Loyalitas (loyality): Karyawan bertanggung jawab untuk

mendukung perusahaan, menanamkan loyalitas serta komitmen

untuk kepentingan dan kebutuhan perusahaan. Pihak

perusahaan juga telah berkomitmen untuk menjaga

kesejahteraan karyawan serta memberikan tunjangan bagi

karyawan beserta dengan keluarganya

• Keseimbangan (balance): Adanya kondisi yang terbuka dan dinamis

untuk menunjang keberhasilan perusahaan sehingga mampu

memberikan kesempatan berkarir bagi karyawan. Pihak perusahaan

dan karyawan secara timbal balik membagikan ilmu beserta

perkembangan yang diperoleh. Hadiah diberikan kepada karyawan

berdasarkan kinerja dan kontribusi bagi perusahaan dalam bersaing

dengan para competitor, terutama dalam menghadapi perubahan

permintaan pasar sebagai dampak dari tekanan pasar. Dimensi ini

dibagi menjadi:

o Kemampuan tenaga kerja eksternal: Karyawan bertanggung

jawab untuk mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan

oleh pasar. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan

kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan karyawan untuk

jangka panjang, baik di dalam perusahaan maupun di luar

perusahaan itu sendiri

o Pengembangan internal: Karyawan bertanggung jawab untuk

mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh

perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan berkomitmen untuk

menciptakan kesempatan pengembangan karir di dalam

perusahaan

o Kinerja yang dinamis: Karyawan bertanggung jawab untuk

menghasilkan kinerja yang baik serta mencapai tujuan yang

21

lebih menantang, yang dapat terus berubah dengan berjalannya

waktu. Pihak perusahaan berkomitmen untuk memberikan

pembelajaran secara terus menerus serta membantu karyawan

untuk dapat menghasilkan kinerja yang dibutuhkan dengan

baik

• Transaksional (transactional): Pengaturan tenaga kerja untuk kurun

waktu yang singkat, biasanya berfokus terhadap pertukaran ekonomi.

Bentuk dari pengaturan ini ditandai dengan pekerjaan dengan variasi

yang terbatas, spesifik, serta adanya keterbatasan dalam keterlibatan

karyawan di perusahaan. Dimensi ini dibagi menjadi:

o Menyempit: Karyawan bertanggung jawab hanya memiliki

tanggung jawab dalam jumlah yang terbatas dan sifatnya sudah

tetap. Perusahaan tidak memberikan pelatihan maupun

pengembangan karyawan yang lainnya

o Jangka pendek: Karyawan tidak memiliki tanggung jawab

untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Pihak perusahaan

hanya mempekerjakan karyawan untuk periode waktu yang

singkat serta tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan

hubungan tenaga kerja dalam orientasi waktu jangka panjang

• Transisional (transitional): Dimensi ini menjelaskan perubahan

kognisi yang dapat timbul sebagai dampak dari perubahan dan transisi

perusahaan yang bertentangan dengan pengaturan tenaga kerja

sebelumnya. Dimensi ini dapat dibagi menjadi:

o Ketidakpercayaan: Karyawan meyakini bahwa perusahaan

memberikan informasi yang bercampur aduk dan tidak

konsisten sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pihak

perusahaan

o Ketidakpastian: Karyawan merasa tidak yakin akan tanggung

jawabnya terhadap pihak perusahaan

o Erosi: Karyawan memperkirakan bahwa di masa mendatang,

akan menerima hasil dari kontribusi yang telah diberikannya

dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil

yang di dapatkan di masa lalu. Pihak perusahaan melakukan

perubahan dengan menurunkan upah dan tunjangan karyawan

22

sehingga menurunkan kesejahteraan dari kehidupan dalam

lingkungan pekerjaan pada karyawan

2.2.4 Dimensi Pelanggaran Kontrak Psikologis

Dalam pengukuran kontrak psikologis pada penelitian yang

dilakukan, peneliti menggunakan metode pengukuran global, dimana

penilaian berdasarkan keseluruhan aspek dari pemenuhan janji dan tidak

menitikberatkan setiap aspek atau bagian secara spesifik. Aspek yang diukur

merupakan sudut pandang pemenuhan janji dari seorang individu berdasar

atas kontrak pisikologis yang diberikan oleh perusahaan. Penyusunan alat

ukur dibentuk berdasarkan 5 dimensi pembentuk kontrak psikologis, yang

mencakup: kepuasan akan pekerjaan, kesempatan berkarir, dukungan,

kepuasan gaji dan kompensasi, dan pelatihan yang diberikan. Aspek yang

tercakup dalam kepuasan akan pekerjaan antara lain dapat diukur dengan

tingkat pemahaman pekerjaan individu serta kegembiraan dalam pekerjaan.

Aspek kesempatan berkarir lebih kepada tingkat probabilitas seseorang

mendapatkan posisi maupun pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya

melalui perusahaan. Aspek dukungan yang dimaksud adalah dukungan yang

didapat individu dalam pekerjaannya baik dukungan dari atasan. Aspek gaji

dan kompensasi merupakan aspek yang diukur berdasarkan nominal

pendapatan yang dimiliki ditambah dengan kompensasi ataupun fasilitas yang

didapat. Senada dengan keseluruhan aspek diatas, aspek pemberian pelatihan

juga merupakan dimensi yang perlu diukur karena sering kali perusahaan

memberikan apresiasi kepada karyawannya dalam bentuk pelatihan yang

diberikan.

2.3 Sikap Tentang Risiko

2.3.1 Definisi Sikap Tentang Risiko

Dalam bukunya, Berry (2004: 9) mendefinisikan risiko sebagai

kemungkinan terjadinya situasi yang tidak menyenangkan. .

Peneliti menyimpulkan bahwa sikap tentang risiko merupakan

kecenderungan individu untuk membuat keputusan dalam situasi yang

berisiko.

23

2.3.2 Faktor yang Menentukan Sikap Tentang Risiko

Setiap individu memiliki kesempatan untuk memberikan respon yang

beragam terhadap satu situasi yang sama, sehingga setiap individu dapat

memberikan respon yang berbeda untuk situasi yang serupa. Pengambilan

keputusan terhadap situasi yang berisiko sangat dipengaruhi oleh faktor

situasional. Berikut faktor situasional yang dapat mempengaruhi pengambilan

keputusan yang berisiko (Hillson & Webster, 2007):

• Tingkat dari ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki

Ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai situasi

terkait mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan.

Individu akan lebih berani untuk mengambil keputusan berisiko

dalam bidang yang dikuasainya, dimana ia telah memiliki ketrampilan

dan pengetahuan yang cukup, sehingga ia akan mampu lebih baik

dalam mengevaluasi situasi tersebut, namun, individu akan lebih

enggan untuk mengambil keputusan berisiko pada situasi yang kurang

familiar dan dimana ia tidak memilik pengetahuan yang cukup untuk

mengevaluasi situasi tersebut

• Persepsi mengenai dampak yang mungkin terjadi

Setiap individu memiliki persepsi risiko yang berbeda terhadap situasi

yang sama. Bagi beberapa individu, satu situasi dapat dianggap

sebagai situasi yang netral, namun, situasi ini dipersepsikan sebagai

situasi yang berisiko bagi individu lainnya. Individu yang lebih

sensitif terhadap penilaian situasi sebagai situasi yang berisiko

memiliki memiliki kecenderungan untuk menghindari segala situasi

yang berisiko.

• Persepsi mengenai kontrol yang dimiliki terhadap situasi

Faktor ini membedakan persepsi individu mengenai apakah suatu

situasi dipersepsikan dapat dikontrol dan dikendalikan atau tidak

dapat dikontrol. Ketika individu berpendapat ia dapat mengendalikan

situasi, maka kecenderungannya adalah ia akan mengambil keputusan

yang lebih berisiko, namun, ketika individu berpendapat ia tidak dapat

mengendalikan situasi yang mungkin terjadi, maka ia akan cenderung

untuk menghindari pengambilan keputusan yang berisiko

24

• Rentan waktu untuk konsekuensi serta risiko terjadi

Ketika individu mempersepsikan bahwa ketidakpastian dapat terjadi

dalam rentan waktu yang lebih singkat, maka situasi tersebut akan

dipersepsikan lebih berisiko dibandingkan dengan ketika

ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih panjang.

• Potensi untuk terjadinya konsekuensi secara langsung

Individu akan lebih berhati-hati dalam mengevaluasi dan membuat

keputusan berisiko ketika dampak dari konsekuensi akan merujuk

langsung pada individu maupun kelompoknya, dibandingkan apabila

konsekuensi dapat terjadi pada orang lain.

Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, Schillo, 2011)

mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh

pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral

(konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),

pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak

terhadap diri sendiri). Individu dengan pengembangan moral, konvensional,

pribadi, dan kebijaksanaan yang lebih baik akan lebih memiliki banyak

pertimbangan dalam pengambilan keputusan berisiko dan menghindari segala

kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain maupun diri

sendiri (Shaw, Amsel, Schillo, 2011).

Faktor lainnya yang turut berperan dalam pengambilan keputusan

berisiko adalah proses heuristik, yaitu individu menganalisa situasi ambigu

berdasarkan situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya (Hillson &

Webber, 2007).

Dalam konteks sikap tentang risiko, heuristik merupakan usaha yang

dilakukan individu maupun kelompok untuk mengevaluasi keadaan yang

tidak pasti serta menentukan respons yang sesuai, dengan mempertimbangkan

pengalaman di masa lalu (Hillsonm & Webster, 2007).

Weber (dalam Blais dan Weber, 2006) mengemukakan bahwa pada

awalnya, sikap tentang risiko dipertimbangkan sebagai bentuk dari karakter

dan kepribadian pada umumnya yang sifatnya permanen.

25

Allport & Allport (dalam Blais dan Weber, 2006) mendefinisikan

karakter sebagai bentuk yang sifatnya stabil dan permanen. Eysenck dan

Eysenck (dalam Blais dan Weber, 2006) berargumen bahwa karakter

merupakan hasil dari perbedaan biologis maupun pengalaman masa awal

kehidupannya. Namun, di sisi lain, Mischel dan Shoda (dalam Blais dan

Webber, 2006) memaparkan bahwa observasi empiris terhadap sikap tentang

risiko membuktikan adanya korelasi yang rendah antara perilaku karakter

yang seharusnya stabil dalam situasi yang berbeda.

Studi yang dilakukan oleh Schoemaker (dalam Blais dan Weber,

2006) membuktikan bahwa dengan metode pengujian yang sama, individu

tidak menunjukkan adanya konsistensi dalam pengambilan keputusan

berisiko dalam situasi yang berbeda. Webber (2006) juga memaparkan bahwa

berdasarkan model risiko psikologis, pandangan mengenai risiko merupakan

hal yang akan berbeda pada satu individu dan individu lainnya serta

dipengaruhi oleh konten dan konteks situasi yang berlaku.

Studi dan pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa individu

merespon dengan sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang

berbeda. Namun, individu memberikan respon mengenai sikap tentang risiko

secara lebih konsisten dalam ranah atau aspek yang serupa. Hal yang

mendasari hal ini adalah keputusan mengenai sikap tentang risiko

dipengaruhi oleh pandangan mengenai risiko yang ada, keuntungan yang

mungkin mengikuti, dan pilihan alternatif yang tersedia. Aspek-aspek yang

mempengaruhi ini biasanya serupa dan bersikap konsisten, sehingga sikap

tentang risiko lebih stabil dan konsisten dalam aspek atau ranah yang sama.

Ranah dimana individu memiliki pengambilan keputusan berisiko

yang cukup berbeda mencakup investasi finansial, perjudian, keputusan

terkait dengan bisnis, dan pengambilan keputusan personil (Blais & Weber,

2006). Weber, Ames, dan Blais (dalam Blais dan Weber, 2006) memaparkan

bahwa keputusan personil dapat dipecah lagi menjadi kategori yang lebih

kecil, seperti finansial, rekreasi, kesehatan/keselamatan, sosial, dan keputusan

etis.

26

2.3.3 Kategori Sikap Tentang Risiko

Berdasarkan alat ukur DOSPERT dalam menilai kecenderungan

individu mengambil keputusan pada situasi berisiko, sikap tentang risiko

dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (Blais & Weber, 2006):

• Memiliki toleransi lebih kecil terhadap risiko(risk aversion): Bersikap

negatif terhadap risiko

Kategori ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman dalam kondisi

yang tidak pasti, memiliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas,

serta mencari situasi yang aman dan resolusi ketika diperhadapkan

dengan risiko. Individu yang tergolong dalam kategori ini

melandaskan keputusannya dengan akal sehat serta lebih menyukai

fakta dibandingkan dengan teori. Ketika diperhadapkan dengan

ancaman, kelompok ini cenderung akan menjadi lebih sensitif serta

memberikan respons berlebihan terhadap ancaman yang ada, namun

menjadi kurang peka dan memberikan penilaian yang lebih rendah

terhadap kesempatan yang ada. Kelompok ini juga mempersepsikan

situasi lebih berisiko dibandingkan dengan kelompok dalam kategori

lainnya.

• Memiliki toleransi lebih besar terhadap risiko

(risk-seeking) : Bersikap positif terhadap risiko

Individu yang tergolong dalam kategori ini biasanya mudah

beradaptasi, memiliki sumber daya yang cukup banyak, menikmati

hidup, serta tidak takut untuk memulai suatu tindakan. Kelompok ini

dapat bersikap santai dalam menyikapi risiko dan ancaman serta

menantang situasi yang tidak pasti dengan potensi yang dimilikinya.

Sikap ini dapat merujuk pada keputusan yang tidak bijak dan dapat

menimbulkan kerugian. Dalam proses evaluasi situasi, para pencari

risiko menilai situasi berisiko lebih netral dan tidak mengancam

dibandingkan kelompok lain pada umumnya.

27

2.4 Emosi moral

Emosi moral dapat didefinisikan sebagai emosi yang mendorong

individu untuk menampilkan perilaku yang etis serta emosi yang memotivasi

individu untuk memenuhi standar mengenai apa yang benar dan yang salah

(Cohen, Insko, Panther, & Wolf, 2011). Cohen, Insko, Panther, dan Wolf

(2011) juga memaparkan bahwa emosi moral dapat dilihat dari

kecenderungan munculnya rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah ketia

melakukan kesalahan yang disadari.

2.4.1 Definisi Rasa Malu dan Bersalah

Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang

muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, et all.,

2011).

Tangney (dalam Cohen et all., 2011) memaparkan bahwa rasa malu

dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil

dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong

munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat

bahwa kedua emosi ini adalah hal yang berbeda. Berdasarkan pandangan

perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins

(dalam Cohen et al., 2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang

membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai

dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif

mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika

seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai

dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global

(Cohen et al., 2011). Pandangan lain yang turut mengulas perbedaan

mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-

private) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith

(dalam Cohen et al., 2011). Pandangan ini melandaskan pandangan

antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan

bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal

yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan

malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan

28

kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, et al.,

2011).

2.4.2 Faktor yang Menentukan Kecenderungan Rasa Malu dan

Bersalah

Tangney dan Dearing (dalam Cohen et al., 2011), memaparkan bahwa

kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap

kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh,

rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan

malu dibandingkan bersalah. Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada

kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen et al.,

2011).

2.4.3 Dampak Dari Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah

Adanya kecenderungan rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah

merupakan bagian dari emosi moral. Emosi moral merupakan emosi yang

mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan standar

etis yang berlaku. Individu dengan emosi moral yang lebih baik akan lebih

berhati-hati dalam menampilkan perilaku yang melanggar norma.

Munculnya perasaan bersalah lebih diinisiasikan dari diri sendiri.

Kecenderungan rasa bersalah dapat muncul ketika individu melakukan

kesalahan, walaupun kesalahan ini belum terungkap oleh pihak luar. Berti,

Garattoni, dan Ventruini (dalam Eyre, 2004) berpendapat bahwa bentuk dari

munculnya perasaan bersalah dapat terlihat dari permohonan maaf setelah

melakukan perbuatan yang kurang sesuai, melakukan perbaikan untuk

menyeimbangkan keadaan dan mengatasi kesalahan yang telah dilakukan,

menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan, mengakui kesalahan, serta

berkomitmen untuk memperbaharui diri dan tidak mengulang kesalahan yang

sama.

Studi yang dilakukan oleh Schmader dan Lickel (dalam Cohen et al.,

2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga

dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan

seseorang menjadi menarik diri.

29

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Cohen

et al., mengenai kecenderungan rasa malu dan bersalah, dipaparkan bahwa

perasaan bersalah secara signifikan berkorelasi dengan perasaan empati,

pengambilan perspektif, moralitas konvensional, dan berorientasi dengan

pengembangan diri. Cohen, et al., juga memaparkan bahwa dimensi ini

berkorelasi negatif dengan perilaku yang tidak etis dan antisosial.

Di sisi lain, diperkirakan bahwa kecenderungan perasaan malu secara

signifikan berkorelasi dengan tekanan personal, neurotisisme, kebencian, rasa

harga diri yang rendah, dan rasa belas kasih yang rendah. Cohen et al., (2011)

meyakini bahwa evaluasi diri negatif, evaluasi perilaku negatif, dan perilaku

memperbaiki kesalahan berkorelasi negatif dengan pengambilan keputusan

yang tidak etis. Dapat dikatakan bahwa individu yang cenderung

mengevaluasi diri dan perilaku secara negatif serta memiliki inisiatif untuk

melakukan perilaku memperbaiki kesalahan saat melakukan kesalahan,

cenderung untuk tidak mengambil keputusan yang melanggar etis. Namun,

ditemukan bahwa pengambilan keputusan yang tidak etis tidak berkorelasi

dengan perilaku menarik diri.

Lebih lanjut, Cohen et al., (2011) juga meyakini bahwa GASP (guilt

and shame proneness) atau kecenderungan perasaan bersalah dan rasa malu,

merupakan pengukuran yang efektif untuk mendeteksi kemungkinan individu

melakukan tindak korupsi maupun melakukan hal yang melanggar etis

lainnya.

2.4.4 Dimensi Emosi Moral

Tendensi korupsi dapat diprediksi dari emosi moral yang dimiliki

individu. Emosi moral itu sendiri memiliki 4 dimensi, yaitu evaluasi perilaku

negatif (NBE), inisiatif memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif

(NSE), dan perilaku menarik diri (WIT) (Cohen, et al., 2011). Dimensi NBE

dan REP merupakan indikasi adanya kecenderungan rasa bersalah, sedangkan

NSE dan WIT mengindikasikan adanya kecenderungan rasa malu ketika

melakukan kesalahan. Aspek yang membedakan antara dimensi NBE dengan

dimensi REP adalah NBE mengukur disposisi emosi moral, sedangkan REP

mengukur orientasi perilaku moral (Cohen, et al., 2011). Cohen, et all (2011)

30

juga memaparkan bahwa dimensi NBE berkorelasi dengan dimensi REP,

namun, dimensi NSE tidak berkorelasi dengan dimensi WIT.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cohen, et al., (2011),

dapat dilihat bahwa NBE, NSE, dan REP yang tinggi berkorelasi negatif

dengan perilaku menyimpang atau pelanggaran moral. Namun, berbeda

dengan itu, WIT berkorelasi positif dengan perilaku penyimpangan moral.

Dapat disimpulkan bahwa tendensi korupsi atau perilaku penyimpangan

moral dapat diindikasikan dengan skor NBE, NSE, dan REP yang rendah

serta WIT yang tinggi.

Sebagai metode pengukuran, pengembang alat ukur GASP

merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ke 4 dimensi secara

terpisah dan tidak menjumlahkan ke 4 dimensi secara bersamaan. Pengukuran

dengan menjumlahkan ke 4 dimensi ini dapat merujuk pada terjadinya

multikolienaritas.

2.5 Kerangka Berpikir

Peneliti menduga bahwa sikap tentang risiko dan pelanggaran kontrak

psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi emosi moral pada

karyawan perbankan. Emosi moral merupakan faktor yang dapat

memprediksi kecenderungan karyawan untuk melakukan korupsi. Isu terkait

tindak korupsi bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Tindakan

korupsi merajarela, baik pada pemerintahan negara, perusahaan, pendidikan,

maupun dalam skala kecil. Sangat disayangkan, industri perbankan pun tidak

luput dari tindakan korupsi. Salah satu kasus yang baru saja terjadi adalah

pembobolan senilai 65 Milliar di Bank BNI yang dilakukan oleh dua orang

karyawannya (Saputra, 2013).

Sungguh ironis, industri yang seharusnya mampu mempertahankan

kepercayaan serta memberikan rasa aman bagi masyarakat, sebaliknya

menjadi salah satu sarang untuk tindak korupsi. Korupsi tidak terjadi sebagai

dampak dari satu hal saja, namun, ada beberapa faktor yang harus terpenuhi

sehingga koruptor melakukan tindakan korupsi. Donald Cressey, seorang

kriminolog terkemuka, dalam Turvey (2013) memaparkan bahwa harus ada 3

aspek yang terpenuhi sehingga memungkinkan seseorang melakukan

31

penyimpangan atau penipuan, yang sering dikenal dengan segitiga

penyimpangan. Ketiga hal ini adalah motivasi, rasionalisasi, dan kesempatan

Gambar 2.3 Fraud triangle (Turvey, 2013)

Aspek motivasi mencakup hal-hal yang mendorong karyawan untuk

melakukan penyimpangan, seperti perihal finansial yang mendesak, adiksi

terhadap obat-obatan terlarang, dan sensasi yang dirasakan saat dapat

melakukan tindak penyimpangan tanpa terdeteksi. Proses rasionalisasi terjadi

ketika karyawan membuat alasan-alasan tertentu yang membuat tindak

penyimpangan yang dilakukannya seakan-akan merupakan hal yang sah

untuk dilakukan. Hal ini mendorong individu untuk membenarkan kesalahan

yang dilakukannya dengan mencari alasan logis dan pembenaran diri.

Rasionalisasi dapat terjadi dalam bentuk pemikiran bahwa ia tidak

mendapatkan hak yang seharusnya didapatkannya, demi kebahagiaan

keluarganya, dan lainnya. Kesempatan terjadi ketika terdapat celah yang

memungkinkan karyawan melakukan penyelewengan ini tanpa teridentifikasi

oleh pihak lain (Cendrowski, Martin, Petro, 2007).

32

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir

Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko

diperkirakan dapat memprediksi NBE dalam arah negatif. Ketika seseorang

yang memiliki kecenderungan pencari risiko merasa bahwa kontrak psikologisnya

dilanggar, maka akan lebih mudah bagi individu untuk melakukan penyimpangan.

Kekecewaan yang menyebabkan munculnya proses rasionalisasi bahwa

penyimpangan yang dilakukan bukanlah kesalahan namun upaya untuk

menyeimbangkan keadaan, disandingkan dengan kepribadian individi pencari risiko

yang cenderung memandang bahaya serta kerugian yang dapat diakibatkan dari

perbuatannya secara lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko,

mendorong individu ini untuk lebih enggan untuk menilai perilaku penyimpangan

yang dilakukannya secara negatif.

Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan

dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif. Ketika

karyawan mempersepsikan bahwa haknya telah dilanggar, maka akan muncul

motivasi untuk melakukan perilaku yang merugikan dan proses rasionalisasi bahwa

penyimpangan yang dilakukan bukan merupakan kesalahan. Kelompok pencari

risiko cenderung untuk mencari kegiatan yang berisiko serta menerima konsekuensi

dan hukuman sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan kelompok penghindar

risiko. Ketika situasi dimana pelanggaran kontrak psikologis terjadi yang

disandingkan dengan kecenderungan individu untuk mencari risiko, maka

kemungkinan individu untuk berupaya memperbaiki diri ketika melakukan

penyimpangan akan semakin minim.

Pelanggaran

Kontrak Psikologis

Sikap Tentang

Risiko

Emosi Moral

33

Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan

dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif.

Individu yang mempersepsikan adanya pelanggaran kontrak psikologis akan lebih

terdorong untuk melakukan penyimpangan secara disengaja. Namun, dalam perilaku

penyimpangan ini, terjadi proses rasionalisasi, dimana individu membenarkan

perbuatannya atas dasar upaya untuk menyesuaikan keadaan. Ketika proses

rasionalisasi terjadi, individu akan mempersepsikan bahwa kesalahan terletak pada

pihak perusahaan dan individu tidak menaruh kesalahan dalam dirinya. Pencari risiko

lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan dengan risiko yang tinggi serta menilai

konsekuensi dari perilakunya terhadap orang lain secara lebih netral. Apabila hal ini

disandingkan dengan situasi dimana individu menganggap bahwa kontrak

psikologisnya telah dilanggar, maka ketika individu melakukan penyimpangan,

individu cenderung untuk tidak merasa bersalah dan memiliki NE yang rendah.

Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan

dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi WITH dalam

arah positif. Ketika individu mempersepsikan bahwa kontrak psikologisnya telah

dilanggar, maka terdapat kemungkinan bahwa individu akan melakukan

penyimpangan dengan disengaja. Dalam situasi ini, individu melakukan

penyimpangan sebagai upaya untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang terjadi.

Individu dengan toleransi terhadap risiko yang lebih besar cenderung untuk lebih

tidak bertanggung jawab atas perilakunya dan kerugian yang disebabkan oleh

perbuatannya. Kemungkinan individu untuk menarik diri dan tidak mau bertanggung

jawab atas kesalahannya semakin didorong oleh adanya rasa amarah terhadap pihak

perusahaan. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran

kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH

dalam arah positif.

NSE merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang buruk diri

sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Rousseau (1995) dalam Hussain et al.,

(2011: 576) mendefinisikan pelanggaran kontrak psikologis sebagai situasi yang

terjadi ketika karyawan mempersepsikan adanya kegagalan dari pihak perusahaan

dalam memenuhi janji serta tanggung jawabnya. Ketika karyawan mempersepsikan

adanya ketidakseimbangan dalam hubungan tenaga kerja, karyawan akan berusaha

untuk mengembalikan keadaan sehingga kontribusi yang diberikan oleh kedua belah

34

pihak seimbang. Usaha untuk menyeimbangkan keadaan dapat berupa perilaku

menyimpang seperti melakukan korupsi yang dapat merugikan perusahaan, namun

membawa keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini, karyawan

akan berasumsi bahwa penyimpangan ini merupakan upaya untuk pengembalian

keadaan dan merupakan dampak yang harus diterima oleh perusahaan. Ada proses

rasionalisas yang terjadi, yaitu membenarkan perbuatan karena kesalahan berakar

dari pihak perusahaan. Dengan pembenaran diri ini, karyawan akan memiliki

evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan penyimpangan.

Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika terjadi pelanggaran

kontrak psikologis, karyawan akan memiliki NSE yang rendah saat melakukan

penyimpangan dalam perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi

bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NSE dalam arah negatif.

NBE merupakan kecenderungan individu untuk memandang buruk

perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika karyawan

mempersepsikan adanya pelanggaran terhadap kontrak psikologisnya, karyawan

cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar keadilan atau

keseimbangan terjadi. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penyimpangan

dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange

theory) yang dipaparkan oleh Bordia, Tang, dan Restubog (2008), ketika muncul

persepsi bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka karyawan akan

merespon dengan menampilkan perilaku secara disengaja untuk merugikan

perusahaan, baik dengan berhenti dari perusahaan, melakukan penyimpangan,

maupun tidak memberikan kontribusi positif pada perusahaan (Bordia, Tang, &

Restuborg, 2008). Ketika penyimpangan dilakukan, karyawan akan mempersepsikan

bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk mencapai keadaan

yang seimbang. Ada proses rasionalisasi yang terjadi, yaitu karyawan menilai

penyimpangan yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya sebuah

umpan balik dari ketidakadilan yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan pemaparan

ini, peneliti berasumsi bahwa ketika karyawan mengalami pelanggaran kontrak

psikologis, apabila karyawan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan,

karyawan akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah. Dapat disimpulkan

bahwa peneliti berpendapat bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat

memprediksi NBE dalam arah negatif.

35

REP merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya ketika

sadar telah melakukan kesalahan. Saat karyawan mengalami pelanggaran kontrak

psikologis, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan pada

perusahaan. Kemarahan ini dapat berdampak pada perilaku yang dengan sengaja

dilakukan untuk menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Perilaku yang merugikan

ini akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan

oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang

karyawan masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki

inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan ini dalam tingkat yang minim.

Hipotesa peneliti adalah pelanggaran kontrak psikologis mampu memprediksi REP

dalam arah negatif.

WITH adalah upaya individu untuk menghindari tanggung jawab ketika

melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari

tanggung jawab dan konsekuensi pada pihak yang dirugikan. Ketika karyawan

mempersepsikan bahwa perusahaan telah gagal dalam memenuhi kontrak

psikologisnya, maka karyawan memiliki kecenderungan untuk membalas perilaku

tidak adil yang dilakukan perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai

upaya untuk memperoleh keadilan dan membalas perusahaan. Dalam kondisi ini,

karyawan cenderung menghindari adanya konsekuensi dan tanggung jawab yang

mengikuti mengingat penyelewengan yang dilakukan adalah upaya untuk membalas

kesalahan perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berargumen bahwa

pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif.

Sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu dalam pengambilan

keputusan yang berisiko. Weber dan Blais (2006) memaparkan bahwa individu

memiliki sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Dalam alat

ukur yang dikembangkannya, yaitu DOSPERT (Domain-Specifi-Risk-Taking),

Weber dan Blais (2006) mengkategorikan sikap tentang risiko kedalam dua kategori,

yaitu pencari risiko (risk-taker) dan penghindar risiko (risk averse). Pencari risiko

ditandai dengan sikap berani menantang dan menerima risiko yang ada dengan santai

dan menggunakan segala potensi yang dimiliki. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam

Shaw, Amsel, dan Schillo, 2011) mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut

dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai

moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),

36

pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri

sendiri). Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa individu yang lebih

bijak dalam pengambilan keputusan berisiko memiliki pemahaman moral,

konvensional, pribadi, serta kebijaksanaan yang lebih baik sehingga akan

meminimalisir segala perilaku yang dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri

sendiri maupun pihak lain.

NSE terjadi ketika individu menilai diri buruk atau memberikan penilaian diri

secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal yang tidak bermoral.

Kelompok penghindar risiko akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan

berisiko serta mempertimbangkan terjadinya pelanggaran hukum, kerugian bagi

orang lain, maupun diri sendiri dari setiap pengambilan keputusan berisiko. Seperti

yang telah dipaparkan, salah satu faktor pembentuk kepribadian sikap tentang risiko

adalah moral yang tertanam dalam diri individu. Aspek moral merupakan salah satu

komponen penting yang mendorong individu untuk memberikan penilaian negatif

terhadap diri sendiri ketika melakukan hal yang melanggar nilai moral secara sadar.

Individu yang menanamkan aspek moral lebih baik memiliki kecenderungan lebih

tinggi untuk memberikan penilaian diri secara negatif ketika melakukan hal yang

melanggar moral. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa sikap

tentang risiko dapat memprediksi NSEdalam arah negatif.

NBE terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat menyadari

melakukan hal yang melanggar moral. Individu dengan toleransi yang lebih besar

terhadap risiko (risk taker) memiliki kecenderungan untuk kurang bijak dalam

pengambilan keputusan berisiko serta menilai situasi berisiko sebagai situasi yang

lebih netral dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini, aspek motivasi

memainkan peran dalam mendorong pencari risiko melakukan penyimpangan seperti

tindak korupsi. Melakukan korupsi merupakan tindakan berisiko, mengingat

besarnya risiko yang mengikuti apabila tindakan ini terungkap. Risiko yang dapat

terjadi tidak hanya risiko pada nama baik, namun juga hukum pidana. Ketika pencari

risiko melakukan korupsi, hal itu memenuhi aspek motivasi dalam segitiga penipuan

(fraud triangle). Adanya aspek motivasi ini akan mendorong karyawan untuk merasa

puas akan pelanggaran yang dilakukannya sehingga kemungkinan individu dengan

toleransi akan risiko yang lebih besar untuk menilai perbuatannya secara negatif akan

37

minim. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko

dapat memprediksi evaluasi perilaku NBE dalam arah negatif.

REP merupakan upaya individu memperbaiki kesalahannya ketika sadar

melakukan hal yang buruk. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, moral

merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadian sikap tentang risiko.

Moral merupakan aspek yang berperan penting untuk mendorong individu

memperbaiki kesalahannya. Individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap

risiko memiliki penanaman moral yang lebih baik dibandingkan kelompok pencari

risiko. Hal lainnya adalah melakukan korupsi memenuhi aspek motivasi pada pencari

risiko, dimana kelompok ini cenderung menyukai kegiatan yang berisiko. Dengan

adanya kepuasan yang diperoleh ketika melakukan tindakan berisiko, kelompok ini

memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperbaiki diri saat melakukan

pelanggaran yang berisiko. Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat

memprediksi REP dalam arah negatif.

WITH merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindari situasi

dimana ia melakukan kesalahan. Perilaku ini muncul sebagai usaha untuk

menghindari tanggung jawab dan perasaan malu yang timbul karena terungkapnya

kesalahan yang dilakukan. Namun, dalam jurnalnya, Cohen, et al., (2011)

memaparkan bahwa skor WITH yang lebih tinggi mengindikasikan kemungkinan

untuk menampilkan perilaku menyimpang yang lebih besar. Hal ini dapat dipaparkan

sebagai hasil dari pemahaman individu dengan skor WITH yang lebih tinggi

beranggapan bahwa ia dapat dengan mudah menghindari situasi dimana

kesalahannya terungkap apabila kesalahannya teridentifikasi oleh pihak luar.

Individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko memiliki pemahaman

moral dan penilaian akan konsekuensi perbuatannya secara lebih rendah

dibandingkan dngan individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap risiko.

Ketika diperhadapkan pada situasi dimana kesalahannya terungkap, individu dengan

toleransi yang lebih besar terhadap risiko akan lebih mudah untuk menampilkan

perilaku menarik diri dan tidak bertanggung jawab atas dampak dari perbuatannya.

Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah

positif.

Dampak dari terjadinya pelanggaran kontrak psikologis adalah kekecewaan

dan rasa marah pada perusahaan. Ketika terjadi pelanggaran kontrak psikologis,

38

maka terdapat kemungkinan bahwa karyawan akan melakukan penyimpangan

dengan disengaja. WITH merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan

seseorang untuk menghindari situasi ketika kesalahan yang dilakukannya terungkap

oleh pihak lain. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari situasi yang membuatnya

merasa tidak nyaman dan menghindari tanggungjawab yang dapat mengikuti.

Individu yang merasa bahwa pelanggaran kontrak psikologisnya telah dilanggar

cenderung lebih memilih untuk menghindari tanggung jawab dan konsekuensi ketika

kesalahannya terungkap. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa

pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif.

2.6 Hipotesa

Hipotesis yang dirumuskan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keterangan hipotesa:

PCB: Psychologycal Contract Breach (Pelanggaran Kontrak Psikologis)

PCB

Risiko

H5

H6 NBE H1

PCB

Risiko

H7

H8 REP H2

PCB

Risiko

H9

H10 NSE H3

PCB

Risiko

H11

H12 WITH H4

39

Hipotesa Utama

1. Hipotesa alternatif (Ha) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan

sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap

tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE

2. Hipotesa alternatif (Ha) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan

sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap

tentang risiko tidak dapat memprediksi REP

3. Hipotesa alternatif (Ha) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan

sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap

tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE

4. Hipotesa alternatif (Ha) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan

sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap

tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH

Hipotesa tambahan

5. Hipotesa alternatif (Ha) 5: Pelanggaran kontrak psikologis dapat

memprediksi NBE dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 5: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi

NBE

6. Hipotesa alternatif (Ha) 6: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE

dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 6: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE

7. Hipotesa alternative (Ha) 7: Pelanggaran kontrak psikologis dapat

memprediksi REP dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 7: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi

REP

8. Hipotesa alternatif (Ha) 8: Sikap tentang risiko dapat memprediksi REP

dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 8: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi REP

40

9. Hipotesa alternatif (Ha) 9: Pelanggaran kontrak psikologis dapat

memprediksi NSE dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 9: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi

NSE

10. Hipotesa alternatif (Ha) 10: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE

dalam arah negatif

Hipotesa nol (H0) 10: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE

11. Hipotesa alternatif (Ha) 11: Pelanggaran kontrak psikologis dapat

memprediksi WITH dalam arah positif

Hipotesa nol (H0) 11: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat

memprediksi WITH

12. Hipotesa alternatif (Ha) 12: Sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH

dalam arah positif

Hipotesa nol (H0) 12: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH