_2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

55
TUGAS AKHIR KEJAHATAN TRANSNASIONAL “Penggunaan UAVs (Drone) oleh Amerika Serikat Sebagai Alat Kontra-Terorisme Global” dalam Perspektif Keamanan Tradisional dan Hukum Humaniter Disusun oleh: Mohamad Burhan Roesman 170210100049 [email protected] No. Telp/HP: 082196915184 Tugas dikumpulkan pada 29 Juli 2013 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL 1

description

gfsgsdfgsdfdsfsdfsdfsd

Transcript of _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Page 1: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

TUGAS AKHIRKEJAHATAN TRANSNASIONAL

“Penggunaan UAVs (Drone) oleh Amerika Serikat Sebagai Alat Kontra-

Terorisme Global”

dalam Perspektif Keamanan Tradisional dan Hukum Humaniter

Disusun oleh:

Mohamad Burhan Roesman170210100049

[email protected]. Telp/HP: 082196915184

Tugas dikumpulkan pada 29 Juli 2013

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU

POLITIKUNIVERSITAS PADJADJARAN

2013

1

Page 2: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat

terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Penggunaan

UAVs (Drone) oleh Amerika Serikat Sebagai Alat Kontra-Terorisme Global” ini,

bertujuan untuk memahami bagaimana penggunaan teknologi militer baru dalalm

bentuk drone yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk memerangi terorisme

global. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Kejahatan

Transnasional. Di dalamnya, penulis memaparkan analisis mengenai suatu isu

internasional dengan menggunakan teori – teori dasar di dalam ilmu Hubungan

Internasional.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu

dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu mohon dimaafkan

apabila terjadi kesalahan penulisan pada makalah ini. Penulis mengucapkan

banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan

dan penyusunan makalah ini.

Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan

prestasi di masa yang akan datang.

Bandung, 27 Juli 2013

Penulis,

2

Page 3: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................................... 2

Daftar Isi...................................................................................................................3

Pendahuluan ........................................................................................................... 4

Kajian Pustaka ........................................................................................................ 8

Objek Kajian ........................................................................................................ 17

Pembahasan .......................................................................................................... 22

Kesimpulan .......................................................................................................... 32

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 34

3

Page 4: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Pendahuluan

Latar Belakang

Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan pesawat tanpa awakyang

disebut sebagai drones telah menjelma sebagai suatu alat persenjataan yang dinilai

penting dan cukup cekatan dalam menangani masalah terorisme dan militan di

seluruh dunia.1 Masa depan strategi perang tengah memasuki babak baru.

Revolusi teknologi dalam militer menghadirkan persenjataan berteknologi tinggi

menjadi salah satu isu utama selain selain tentang senjata konvensional dan nuklir.

UAVs (Unmanned Aerial Vehicles), yang selanjutnya disebut dengan drone,

menjadi salah satu pokok perhatian utama dunia akhir-akhir ini. Penggunaan

secara masif pesawat tanpa awak tersebut oleh Amerika Serikat dalam berbagai

operasi militernya, meskipun dianggap (terutama oleh pemerintah AS) sebagai

strategi yang cukup efektif dan efisien dalam medan perang, menghadirkan

kontroversi dan kritik dari banyak pihak.

Keuntungan serta kelebihan menggunakan drones dibandingkan senjata

lain kemudian dikenal serta ditelaah lebih jauh oleh sejumlah badan intelejen

dunia. Salah satu alasan utama beberapa negara yang sudah mulai

mengoperasikan drones di lapangan adalah kemampuan senjata ini untuk mampu

mengobservasi target atau objek, baik seorang individu, kelompok maupun

berupa lokasi yang dituju selama berjam-jam lamanya, lalu kemudian dapat segera

melakukan penyerangan tanpa harus menggunakan seorang pilot sehingga resiko

terhadap keamanan pilot tersendiri terlindungi.2

Kombinasi kapabilitas yang dimiliki drones dinilai unik serta telah

memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk membangun instalasi khusus

1 Richard N. Haass’s Speech. Conducting as President of Council on Foreign Relations. January 20132 Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48. A Center for Preventive Action Report. October 2008.

4

Page 5: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

dan mengembangkan penggunaan drones tersendiri. Amerika Serikat meyakini

bahwa drones merupakan senjata mutakhir yang efektif dalam membasmi jaringan

teroris dan telah dioperasikan semenjak masa pemerintahan Bush hingga Obama

sekarang.3 Pada tahun 2009, Philip Alston menyatakan bahwa penggunaan drones

oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat

dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional.4 Semenjak era

pemerintahan Bush telah berakhir, Amerika Serikat diperkirakan telah melakukan

setidaknya 45 penyerangan dengan menggunakan drones terhadap Pakistan,

seperti yang dilansir The New America Foundation.5 Semenjak saat tersebut

hingga sekarang, Obama ditengarai telah melakukan penyerangan terhadap

Pakistan dengan jumlah lima kali lipat lebih banyak dibandingkan pada masa

pemerintahan Bush sebelumnya.6 Tentara militer Amerika Serikat telah

melepaskan serangan sebanyak 297 kali dan menyebabkan terbunuhnya 1.800

rakyat sipil.7 Penggunaan drones semakin dikenal dengan adanya penyerangan

yang menewaskan terdakwa teroris Osama Bin Laden di Pakistan pada 2011

silam.8

3 Tom Tschida, New tork Times, Predator Drones and Unmanned Aerial Vehicles

(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.4 UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States

(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.5 Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US Drone Strikes in Pakistan,

2004-2010, NEW AMERICA FOUNDATION, 1 (2010), available at http://www.newamerica.net/publications /policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 2004-2009.6 Lihat Covert War on Terror—The Data, supra note 16.7 Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World

(http://www.justinternational.org/index.php?option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles- 2002-older&Itemid=152). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.8 Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times

(http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/ osama-bin-laden-is- killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.

5

Page 6: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas, terlihat bahwa penggunaan drones

bukan merupakan hal baru dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat.

Keinginan Amerika Serikat untuk memberantas jaringan terorisme dunia

diimbangi dengan kemampuannya untuk menginstalasi sekaligus mengoperasikan

drones secara mutakhir. Dalam waktu bersamaan, upaya ini turut menimbulkan

keresahan global, dimana masyarakat sipil turut menjadi korban., seperti yang

terjadi di Pakistan. Dengan demikian maka penulis merumuskan beberapa

rumusan masalah, diantaranya:

Apakah UAVs atau drones tersebut?

Bagaimana Efektifitas, dampak serta legalistas penggunaan drones

oleh Amerika Serikat dalam bentuk kontraterorisme global?

Bagaimana regulasi penggunaan drones dalam aturan Hukum

Humaniter Internasional?

6

Page 7: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Metode Penelitian

Dalam karya tulis ini saya menggunakan metode penelitian kualitatif.

Objek penelitian yang saya ke depankan dalam karya tulis ini merupakan suatu

gejala dan fenomena sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode – metode

yang digunakan pada ilmu eksakta. Data – data yang dianalisa pun berupa non-

statistik. Dalam penelitian ini, saya sebagai penulis juga bertindak sebagai alat

penelitian, yang merupakan alat utama pengumpul data melalui pengamatan dan

dokumen – dokumen tertulis. Data – data yang telah dicantumkan, akan saya

analisis lebih lanjut dengan menggunakan teori – teori ilmu sosial yang juga telah

dideskripsikan terlebih dahulu pada bagian sebelumnya.

7

Page 8: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Kajian Pustaka

Transnational Crime

Transnational crime atau kejahatan transnasional secara umum dapat

didefinisikan sebagai suatu tindak pidana yang melintasi batas-batas teritorial

suatu negara. Konsep transnational crime itu sendiri baru diperkenalkan untuk

pertama kalinya secara internasional tepat pada tahun 1990 di dalam sebuah

pertemuan, yaitu The Eigth United Nations Congress on the Prevention of Crime

and the Treatment of Offenders. Adapun istilah yang telah lebih dulu

dikembangkan serta digunakan untuk menyebutkan suatu tindak pidana kompleks

dalam skala internasional adalah organized crime atau kejahatan yang

terorganisir.9

PBB di dalam piagamnya mendefinisikan organized crime sebagai “the

large scale and complex criminal activity carried on by groups of persons,

however loosely or tightly organized, for the enrichment of those participating

and at the expense of the community and its members” atau suatu tindak kriminal

dengan skala besar dan juga kompleks yang dijalankan oleh sekelompok orang,

baik itu terorganisir secara ketat ataupun longgar, untuk kemudian memenuhi

kepentingan pihak-pihak yang turut berpartisipasi dan mengorbankan keseluruhan

anggota masyarakat. Dalam perkembangannya, tepat di saat istilah organized

crime telah bertransformasi menjadi transnational crime, PBB pun merevisi juga

definisi yang telah diberikan terhadap objek serupa di dalam piagamnya sebagai

“large scale and complex criminal activities carried out by tightly or loosely

organized associations and aimed at the establishment, supply and exploitation of

illegal markets at the expense of society” atau suatu tindak kriminal berskala

besar dan juga kompleks yang dilakukan oleh suatu asosiasi yang terorganisir

secara ketat ataupun longgar dan ditujukan untuk membangun, memasok, serta

9 Pradana Putra, Definisi Transnational Crime, 28 September 2010, diakses pada 17 Juli 2012 pukul 19:18 WIB dari http://www.scribd.com/doc/38736210/Definisi-Transnational-Crime

8

Page 9: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

mengeksploitasi sejumlah pasar illegal dengan mengorbankan keseluruhan

anggota masyarakat. Lebih lanjut lagi, PBB melalui konvensinya yang berjudul

United Nations Convention on Transnational Organized Crime pada tahun 2000,

menyebutkan empat buah poin utama untuk kemudian suatu kejahatan dapat

digolongkan sebagai transnational crime, yaitu:

dilakukan di lebih dari satu negara,

segala aktivitas persiapan, perencaan, pengarahan, dan pengawasan

dilakukan di negara lain,

melibatkan apa yang dinamakan sebagai organized criminal group,

dan berdampak serius bagi negara lain.10

Transnational crime merupakan suatu fenomena sosial yang dalam

praktiknya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, sosial, dan budaya

yang berada pada diri indivu serta berlangsung pada suatu wilayah negara.

Adapun aktor atau pelaku dari transnational crime tidak hanya selalu terpusat

pada negara, tetapi individu atau kelompok juga dapat berperan serta di dalamnya

baik sebagai pelaku aktif ataupun perantara. Motif dari berlangsungnya

transnational crime cenderung begitu luas, tidak hanya terbatas pada persoalan

ekonomi atau politik saja. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa transnational

crime merupakan suatu tindak pidana yang melintasi batas-batas teritorial suatu

negara, melibatkan lebih dari satu pelaku baik itu yang berwujud negara ataupun

aktor non-negara, memiliki dampak terhadap posisi suatu negara atau aktor non-

negara di negara lain, dan melanggar hukum nasional yang berdiri di lebih dari

satu negara.

Pada tahun 1995, PBB merilis hasil identifikasi mereka mengenai bentuk-

bentuk dari transnational crime yang terbagi ke dalam 18 bentuk tindak pidana,

yaitu human trafficking, pencucian uang, terorisme, pencurian benda seni dan

budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan

udara, pembajakan laut, pembajakan darat, penipuan asuransi, kejahatan

komputer, kejahatan lingkungan, perdagangan bagian tubuh manusia,

10 Ibid.

9

Page 10: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

perdagangan narkoba, penipuan kepailitan, infiltrasi bisnis, korupsi, dan

penyuapan pejabat publik atau pihak-pihak tertentu.

Terorisme

Sebuah upaya besar yang dilakukan oleh pemerintahan George W. Bush

sebagai respon Amerika Serikat (AS) pasca serangan 9/11 adalah

dideklarasikannya “war on terror”, perang melawan teror. Melalui pidatonya,

Bush menyatakan bahwa serangan 9/11 adalah serangan terorisme dan AS harus

membalas dengan melakukan perang melawan teror.11 Pernyataan ini

mengindikasikan bahwa pemerintahan Bush akan melakukan pembalasan dengan

aksi militeristik (perang) dan didukung oleh para representatif dari pejabat

pemerintahan dan komentator politik seperti Henry Kissinger, Lawrence

Eagleburger, James Baker, Jeane Kirkpatrick, dan para penasehat industri militer

kompleks yang mendeskripsikan serangan 9/11 sebagai “act of war” dan

membutuhkan pembalasan dengan tindakan militer.12

Namun perang melawan teror ini tidaklah sama dengan perang dalam arti

tradisional. Fritz Allhoff dalam tulisannya “The War on Terror and the Ethics of

Exceptionalism” menyatakan bahwa perang melawan teror merupakan perang

baru yang memiliki karakteristik fundamental yang berbeda dengan perang

tradisional.13 Allhoff dengan mengutip Neta C. Crawford juga memuat bahwa

pasca 9/11, karakteristik perang telah berubah dan kita harus memperbaharui

pendekatan terhadap perang tersebut untuk dapat mempertahankan diri kita.14

Perang tradisional cenderung dilakukan di medan peperangan. Dalam

perang ini, pembedaan antara kombatan dan non-kombatan jelas. Perang

tradisional juga dilakukan antara aktor-aktor negara dengan rangkaian komando

11 Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001, http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010911-16.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2012 pukul 05.59 WIB12 Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, (Oxford: Rowman and Littlefield, 2003) hal. 5413 Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288, hal. 265-26614 Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives on Politics, 1(1), (2003), 5-25 dalam Ibid.

10

Page 11: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

yang transparan, tingkat sentralisasi yang tinggi, serta upaya politik dan diplomasi

yang jelas.15 Perang merupakan suatu bentuk kekerasan kemanusian, dan ketika

dilakukan oleh aktor negara, melibatkan sejumlah pasukan yang signifikan,

material, persenjataan dan cukup mudah untuk diidentifikasi.16

Namun perlawanan terhadap terorisme kontemporer telah bertentangan

dengan semua karakteristik perang tradisional tersebut. Perang melawan teror

tidak dilakukan di medan perang konvensional, melainkan di daerah tempat

tinggal penduduk. Pembedaan antara kombatan dan non-kombatan juga tidak

jelas, setidaknya bagaimana dalam perang melawan teror, pihak kombatan tidak

bisa secara cepat diidentifikasi. Ketidakjelasan ini juga diakibatkan oleh tindakan

warga sipil yang seringkali memberikan dukungan material bagi teroris yang

menjadi kombatan melalui penempatan strategis, komunikasi, dan lain-lain. Di

sisi lain, teroris melakukan aksi terorisme dengan target acak yang korbannya

merupakan warga sipil atau non-kombatan ataupun orang-orang tidak bersalah

(innocent people). Teroris juga cenderung diidentifikasi sebagai aktor non-negara

sehingga tidak jelas bagaimana rangkaian komando mereka. Upaya tradisional

seperti diplomasi dan intervensi politik lainnya juga kurang efektif sejauh ini

ketika sulit untuk mengetahui siapa yang yang harus didekati untuk diajak

berdiplomasi serta komitmen ideologis kelompok teroris yang juga menghalangi

keberhasilan upaya-upaya tersebut.

Keamanan Tradisional

“a nation is secure to the extent to which it is not in danger of

having to sacrifice core values, if it wishes to avoid war, and is

able to, if challenged, to maintain them by victory in such war.”

- Walter Lippmann17.

Terdapat dua pendekatan umum dalam pembahasan mengenai studi

keamanan global. Dua pendekatan tersebut adalah pendekatan tradisional, dan

15 Allhoff, Loc. Cit., hal.26516 Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith, dan P. Owens, eds., The Globalization of the World Politics: An Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hal. 21417 Swanstrom, Niklas (2010). China and Eurasia Forum Quarterly : Traditional and Non-TraditionalSecurity

Threats in Central Asia: Connecting the New and the Old. Volume 8, No. 2 (2010) pp. 35

11

Page 12: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

pendekatan non-tradisional. Seiring berjalannya waktu, Studi kemanan global

terus mengalami perkembangan, terutama sejak berakhirnya perang dingin.

Studi keamanan yang sebelumnya difokuskan hanya kepada isu-isu high

politics, kini berkembang ke arah low politic. Isu keamanan ekonomi,

lingkungan, informasi, dan lainnya semakin diperhatikan. Isu-Isu yang bersifat

high politics merupakan fokus utama dalam pendekatan keamanan global

tradisional. Sementara isu-isu low politics menjadi hal yang juga harus

diperhatikan dalam pendekatan keamanan global non-tradisional.

Namun, meskipun isu-isu low politics semakin diperhitungkan

keberadaanya sebagai elemen penting dalam keamanan suatu negara,

keberadaan studi keamanan global tradisional masih memiliki peranan yang

signifikan dalam menjelaskan berbagai perilaku negara. Terutama dalam hal

militer. Pendekatan Tradisionalis dalam memandang keamanan global sangat

dipengaruhi oleh pandangan kaum realis.

Tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara telah membawa dunia

kepada konsep anarki. Dalam kondisi tersebut, kaum realis percaya tidak ada

tujuan suatu engara yang berharmoni dengan negara lain, maka dari itu, setiap

negara tidak boleh bergantung kepada negara lain (self-help). Dengan kondisi

anarki, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam interaksi diantara negara

negara, termasuk perang. Dengan prinsip self help inilah, setiap negara

dianggap harus bisa mempertahankan dirinya sendiri dari ancaman negara lain.

Dengan dasar ini juga, militer dianggap sebagai instrumen yang paling efektif

dan penting dalam menjaga keamanan negara. Synder, mengutip Mearsheimer

mengatakan bahwa memang ada sebuah pergulatan kekuasaan yang tidak

berujung. Namun, hal itu terjadi bukan karena hasrat manusia untuk menguasi

(sebagai mana konsep animus dominandi) melainkan karena kondisi sistem

politik yang anarki18. Berkaitan dengan konsep anarki, tradisionalis juga

menganggap bahwa ancaman terbesar bagi sebuah negara adalah keberadaan

negara lain yang berusaha untuk mempertahankan dirinya. Dengan kata lain,

tradisionalis lebih mengorientasikan fokus keamanannya keluar.

18 Synder, Glenn (2002). International Security : Mearsheimer’sWorld— Offensive Realism and the Struggle

for Security , Vol. 27, No. 1 (Summer 2002), pp. 149.

12

Page 13: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

“In the end, this state-centered security concept rests on two basic

premises: first, that most threats come from the outside, and

second, that these threats are primarily of a military nature, and

thus, as a rule, call for a military response19.”

Dengan menganggap bahwa tidak adanya kepentingan yang harmoni

diantara negara-negara yang saling berinterkasi, kekuaatan militer menjadi

sebuah jaminan bahwa keamanan memang sudah dimiliki oleh yang

bersangkutan. Namun, dengan persepsi ancaman yang selalu ada dari negara

lain, sebuah negara tentunya tidak bisa tinggal diam jika kekuatan militer

negara di sekitarnya meningkat. Sehingga, negara tersebut cenderung akan

meningkatkan kapabilitas militernya agar melebihi kapabilitas militer negara

lain sehingga tetap aman. Hal ini akan terjadi terus menerus diantara negara

negara bersangkutan semata-mata karena persepsi ancamannya merupakan

negara lain. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai security dillema. Pada

kenyataannya, meskipun negara yang meningkatkan kekuatan tidaklah agresif,

namun ketidakpastian sikap negara lain (kembali, merupakan persepsi

ancaman) membuat negara disekitarnya juga mengambil langkah “jaga-jaga”

dengan cara ikut meningkatkan kapabilitas militernya20.

Dengan berkembangnya teknologi militer, security dillema kini tidak lagi

dihadapi oleh negara-negara yang saling bertetangga. Kehadiran ICBM (Inter

Continetal Ballistic Misslie) yang mampu melakukan penjelajahan antarbenua

telah membentuk persepsi ancaman baru bahkan bagi negara yang letaknya

saling berjauhan. Sehingga, peningkatan kapabilitas militer di Asia Timur pun

bisa dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara di Eropa Barat.

Dalam pelaksanaanya, terdapat 2 jalan pemikiran realisme yang dianut

oleh kaum tradisionalis ini. Yaitu offensive realism, dan defensive realism.

Kedua pandangan ini merupakan hasil dari perdebatan antara Mearsheimer dan

Kenneth Waltz. Offensive realism merupakan sebuah bentuk pencapaian power

19 Debiel, Tobias (2004). Extended vs. Human Security: The Need for an Integrated Security Concept for Development, Foreign, and Security Policy. Paper, to be presented at the FIFTH PAN-EUROPEAN CONFERENCE, Section 31 Netherlands Congress Centre, The Hague, SEPTEMBER 9-11, 2004

20 Synder, Glenn, Loc. Cit pp. 155

13

Page 14: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

dan security melalui tindakan yang agresif, yaitu agresi militer. Sementara itu,

defensive realism adalah sebuah bentuk pencapaian security dengan cara

menciptakan sebuah keseimbangan kekuatan. Menurut Mearsheimer, defensive

realism tidak mengejar tujuan utama dari negara, yaitu power. Defensive

realism hanya mempertahankan keseimbangan kekuatan dan tidak

mendapatkan keuntungan dari kondisi itu. Sementara offesive realism

memandang bahwa sistem internasional merupakan sebuah sistem yang labil

dan karena itu, ia memberikan kesempatan besar bagi setiap negara untuk

mendapatkan power yang lebih besar. Tujuan utama sebuah negara menurut

offensive realism adalah untuk meng-hegemony sistem21.

Hukum Humaniter Internasional

Menurut kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap

disebut dengan  berbagai macam istilah, seperti; hukum perang (law of war)

atapun hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict). Hukum perang adalah

hukum yang mengatur tentang perang. Seperti yang Oppenheim ungkapkan, lalu

dikutip oleh Yoram Dinstein, menyatakan perang adalah suatu pertarungan di

antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka dengan tujuan

menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syarat-syarat perdamaian

yang menguntungkan pihak pemenang.22

Hukum humaniter tidak memfokuskan pada sebuah legalitas dimana

konflik bersenjata terjadi, namun menurut Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua

Protokol Tambahan 1977, yaitu menyediakan perlindungan hukum bagi orang-

orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam

permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan

sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil) dan membatasi dampak

kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.23 Hukum ini

terkandung dalam Konvensi Jenewa.24 Setidaknya terdapat dua kondisi terkait

21 Synder, Glenn, Loc. Cit pp. 15222Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2005, p. 5.23 http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf24Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13. Pada halaman 1-1 ditegaskan bahwa: The Law of Armed Conflict (the LOAC), considered in the broadest sense, determines when states may resort to the use of armed force and how they may conduct hostilities during armed conflicts. This guide is concerned

14

Page 15: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

dengan Hukum Humaniter Internasional, yaitu; jus ad bellum (law on the use of

force) dan jus in bello (law in war). Jus ad bellum berotasi pada peraturan yang

diatur dalam Statuta PBB atau peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam

mengambil tindakan kekerasan.25 Sedangkan, Jus ad bello merupakan bentuk

aplikasi sejumlah peraturan yang dilakukan pada saat peperangan.Kedua kondisi

tersebut memiliki beberapa prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad

bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu

negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait

dengan apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar

atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.26

Proportionality (Prinsip Proporsionalitas)

Menyadur dari salah satu situs resmi yang membahas Hukum Humaniter

Internasional, prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan

senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan

yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering

principles).27 Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is

prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of

a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”.28Prinsip

‘unnecessary suffering’ juga harus dilihat dengan membandingkan senjata yang

dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful to use a weapon which causes more suffering

or injury than another which offers the same or similar military advantages’.29

Distinctions (Prinsip Diskriminasi)

primarily with the LOAC in the narrow sense, that is, with the body of law that governs the conduct of hostilities during an armed conflict25 Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and Jus In Bello in the Context

of Self-Defense. Chinese Journal of International Law. Hlm. 3.26 Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/). Diakses pada Kamis, 21 Mei

2013. Pukul 13.56 WIB27http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf28http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf29Lihat Additional Protocol I Geneva Conventions. Pasal 35 dan Pasal 51

15

Page 16: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Prinsip diskriminasi mengandung tiga komponen: 1). larangan tentang

serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; 2). bahkan jika

target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap

dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to

civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be

excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”;

3). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan

kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas.30 Selain itu semua

senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil

dan memiliki tingkat akurasi yang rendah harus dilarang.31

Objek Kajian

30 Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses

pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm31 http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf

16

Page 17: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Pesawat Tanpa Awak (UAVs)

Unmanned Aerial Vehicle atau dalam bahasa indonesia disebut kendaraan

udara tak berawak , UAV juga memiliki banyak sebutan lain seperti “Unmanned

aircraft”, "drones", "remotely piloted vehicles (RPVs)”. UAV sendiri merupakan

pengembangan dari Aeromodeling yang jika pada awalnya Aeromodeling

ditunjukan untuk keperluan hobby saja, namun berbeda dengan UAV, UAV lebih

banyak digunakan untuk keperluan militer dari mulai pengintaian, pemboman

sampai pertempuran udara, yang membedakan UAV dengan Rudal yang

dikendalikan adalah UAV dapat digunakan berulang kali sedangkan rudal

meskipun dapat dikendalikan tidak dapat digunakan kembali.

Jika berdasarkan pengertian sederhana UAV adalah pesawat yang hanya

dapat terbang lurus sambil mengumpulkan data atau sering disebut drones, seiring

dengan berjalannya perkembangan teknologi UAV pun terbagi menjadi 2 jenis

yaitu yang dikendalikan dari lokasi lain yang lebih jauh atau pun yang berjalan

sesuai dengan aturan tertentu yang telah diprogram kedalamnya, UAV memiliki

berbagai bentuk, ukuran, konfigurasi dan karakteristik. contoh dari beberapa UAV

yang sering digunakan atau yang telah dibuat adalah RQ-4 Global Hawk, MQ-1

Predator, TAM-5 dan masih banyak UAV lainnya. Setiap UAV memiliki fungsi

yang berbeda satu dengan yang lain, fungsi atau kegunaan UAV yaitu :

1. Pengindraan jarak jauh UAV fungsi penginderaan jauh mencakup sensor

spektrum elektromagnetik, sensor biologis, dan sensor kimia. Sebuah UAV's

dengan sensor elektromagnetik biasanya mencakup spektrum visual,

inframerah, atau kamera dengan inframerah dan juga sistem radar. Detektor

gelombang elektromagnetik lain seperti microwave dan sensor spektrum

ultraviolet juga dapat digunakan, tapi tidak umum. Sensor sensor biologis

mampu mendeteksi kehadiran udara berbagai mikroorganisme dan faktor-

faktor biologi lainnya. Sensor kimia menggunakan spektroskopi laser untuk

menganalisis konsentrasi dari setiap elemen di udara.

2. Transportasi UAV dapat mengangkut barang dengan menggunakan berbagai

cara yang didasarkan pada konfigurasi dari UAV itu sendiri. Kebanyakan

muatan disimpan dalam bagian pesawat , namun untuk uav dengan bentuk

17

Page 18: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

helikopter dapat mengangkut di bagian luarnya, kebanyakan UAV digunakan

untuk mengangkut kargo-kargo ringan yang membutuhkan kecepatan

pengiriman dan memiliki resiko pengiriman tinggi.

3. Penelitian Ilmiah pesawat tanpa awak mampu menembus daerah daerah

berbahaya yang tidak memungkinkan bila menggunakan pesawat berpilot,

misalnya daerah pusat badai, perburuan angin topan, penlitian terbang pada

ketinggian tertentu yang berbahaya bagai manusia dan lain lain.

4. Penyerang Bersenjata, beberapa UAV seperti Predator RQ-1 telah dapat

melakukan serangan ke target – target darat, bahkan Predator RQ-1 juga telah

dapat digunakan untuk mengadakan pertempuran antar pesawat, kemampuan

yang dimiliki UAV ini sangat menguntungkan bagi negara – negara maju

karena resiko pengunaan pilot sebagai sandera atau tawanan perang telah

dapat dihilangkan, dan juga dapat digunakan untuk misi misi rahasia dan yang

bersifat sensitif dalam dunia politik internasional.

5. SAR [Search and Rescue] kemampuan UAV untuk terbang pada daerah

berbahaya memungkinkan UAV dapat terbang bahakan dalam cuaca terburuk

sekalipun, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dalam pencarian korban

kecelakanan ataupun korban cuaca buruk lainnya , dan daya terbang UAV

yang tidak tergantung pada ketahanaan pilot mememungkinkan UAV terus

menurus mencari korban tanpa berhenti .

Contoh Pesawat Drone: MQ-9 Reaper (Source Google.com)

UAV pada awalnya digunakan selama Perang Vietnam ditangkap setelah

peluncuran dengan video yang merekam dengan mengunakan film atau kaset di

18

Page 19: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

pesawat. Pesawat ini sering kali diluncurkan dan terbang dalam garis lurus atau

dalam lingkaran tertentu sambil mengumpulkan video sampai mereka kehabisan

bahan bakar dan mendarat. Setelah mendarat, film baru ditemukan untuk di

analisis. Karena sifat sederhana pesawat ini, mereka sering disebut drones. Sistem

kontrol radio baru tersedia setelahnya, UAV dikontrol dari jarak jau dan istilah

"kendaraan dikemudikan yang dari jarak jauh" datang menjadi mode. Saat ini

UAV sering menggabungkan Pengendaliaan jarak jauh dengan komputer dan

otomatisasi. Versi yang lebih canggih mungkin memiliki built-in kontrol dan /

atau sistem panduan untuk melakukan tugas tingkat rendah pilot manusia seperti

stabilisasi kecepatan dan jalur penerbangan, dan fungsi navigasi scripted

sederhana seperti berikut titik arah. Karena UAV memiliki kendali jarak jauh

maka UAV. Dapat dipastikan bahwa UAV telah memiliki GPS yang terintegrasi

untuk menentukan posisi UAV sendiri dan targetnya atau tujuan UAV sendiri.

Kontrol pesawat tanpa awak ini bisa dilakukan dengan dua cara, yakni

dengan pengendalian jarak jauh oleh operator di darat, atau berdasarkan program

yang dimasukan ke dalam pesawat sehingga dia dapat terbang secara mandiri.

Pesawat jenis ini semula dibangun dengan misi melakukan pekerjaan yang

dianggap terlalu kotor atau malah terlalu berbahaya untuk dilakukan pesawat

berawak. Misalnya saja untuk memadamkan kebakaran, untuk kebutuhan

keamanan non militer, atau pemeriksaan jalur pemipaan. Namun belakangan

reputasi UAV ini semakin mengerikan karena bisa menyerang target manusia

secara berlebihan bahkan menyerang target yang salah. Atau, reputasinya sebagai

alat untuk melakukan pekerjaan terlalu “kotor” tersebut malah cocok, yakni

membunuh manusia.

Namun seperti dikatakan Graham, AS sepertinya memang tidak terlalu

mempermasalahkan kesalahan target drone, termasuk membunuh warga sipil

tersebut, bahkan membunuh warganya sendiri meskipun dengan alasan “kontra

terorisme”. Eric Holder, Jaksa Agung AS mengatakan, sudah empat warga AS

yang tewas dalam operasi pembendungan terorisme dengan menggunakan

pesawat tak berawak sejak 2009 lalu.

Apa yang diungkapkan Holder ini membenarkan pernyataan seorang

senator AS yang mengatakan, tiga warga AS tewas dalam serangan drone, namun

19

Page 20: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

satu di antaranya memang ditargetkan menjadi sasaran serangan, yakni seorang

warga AS bernama Anwar al-Awlaki. Holder mengatakan, Pemerintahan Obama

menyadari, selain Awlaki masih ada tiga warga AS lainnya yang tewas dalam

serangan drone, mereka adalah Samir Khan, Jude Kennan Mohammed, dan

Abdulrahman al-Awlaki; putra Anwar al-Awlaki. "Orang-orang ini tidak secara

spesifik menjadi target serangan AS," imbuh Holder.

Bahkan seringnya drone melakukan salah sasaran telah membuat seorang

mantan pilot (operator) drone, menyatakan mundur dari tugasnya. Pilot ini

mengaku melihat drone yang dikendalikannya membunuh anak kecil dan

penduduk sipil di Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan radio nasional,

NPR, mantan pilot drone yang diidentifikasi sebagai Brandon Bryant ini

mengatakan kegelisahannya melihat pemboman yang dilakukan drone di

Afghanistan. Sebagai pilot drone, dia bisa melihat langsung apa yang dilakukan

drone-nya ketika melalui layar monitor di samping tombol kontrol drone yang

dioperasikan di suatu negara bagian AS.

"Kami menembakkan rudal. Setelah asap bersih, anda dapat melihat

bagian-bagian tubuh manusia," ujarnya seperti dilansir PressTV. Di Afghanistan,

Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun,

dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai

target. "Tampak seperti anak kecil… dan rudal menghantam. Tidak ada tanda-

tanda dari orang (militan) ini," ujarnya. Sejak meninggalkan program

kontroversial AS ini lebih dari dua tahun lalu dia menjadi tunawisma, tinggal

dengan teman-temannya. Dia juga didiagnosis menderita Pasca Traumatic Stress

Disorder.32

Lembaga Human Right Watch, mengungkapkan, Pentagon telah

menghabiskan sekitar 6 miliar dolar AS per tahun untuk penelitian dan

pengembangan drone. Inggris juga membuat drone baru yang disebut Tarani yang

bisa terbang mandiri dan membela diri terhadap pesawat musuh. Seperti model

AS, pesawat tersebut tidak bersenjata tetapi dirancang untuk membawa rudal.33

32 http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/20/mn38ql-pilot-drone-as-mundur-setelah-bom-anak-kecil33 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional

20

Page 21: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Israel bahkan merupakan produsen drone yang telah mengekspor UAV ini ke

lebih dari 49 negara. Nilai ekspornya mencapai 400 juta dolar AS setahun.

Berdasarkan laporan kantor berita Ynet, Ahad (19/5/13) seperti dilansir

PressTV, 80 persen drone buatan Israel, diekspor. Besarnya kontribusi eskpor

drone bagi pendapatan Israel, membuat industri pesawat di negeri zionis ini

kemungkinan akan tergantikan oleh drone. Israel meningkatkan investasi pada

industri drone sejak 1982 ketika rezim menggunakan pesawat tersebut pada

perang Lebanon.34

Pembahasan

Efektifitas, Legalitas, Serta Dampak Penggunaan Drones

Dalam sebuah diskusi bertema International Humanitarian Law and New

Weapon Technologies, Jakob Kellenberger menyatakan: “Today, we live in the

age of information technology and we are seeing technology being used on the

battlefield. This is not entirely new multiplication of new weapons or methods of

warfare that rely on such technology seems exponential. In a closer look, there

are numbers of technologies that have only recently entered the battlefield or

could potentially enter it. These are cyber technology, remote-controlled weapon

34 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/19/mn1axh-produk-pesawat-tanpa-awak-buatan-israel-dipakai-oleh-49-negara

21

Page 22: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

systems and robotic weapons system... Drones or “unmanned aerial vehicles” are

the most conspicuous example of such new technologies.”35

The unmanned aerial vehicle yang lebih umum dikenal sebagai drones

merupakan pesawat tanpa awak dengan kendali jarak jauh yang sengaja dibuat

untuk kepentingan militer.36 Pesawat ini termasuk dalam kategori pesawat tempur

paling moderen, memiliki konfigurasi otomatis autopilot, dilengkapi dengan

berbagai sensor serta diprogram untuk bermanuver rutin sesuai dengan

pengaturan awal.37 Pada dasarnya, berbagai jenis drone terbagi dalam dua kategori

besar, yaitu drone yang sengaja diprogram untuk melakukan pengintaian serta

pengawasan dan drone yang dipersenjatai dengan rudal ataupun bom.38 Pesawat

tempur tanpa awak ini memiliki nilai lebih dengan tidak menempatkan pilot

dalam situasi yang beresiko tinggi.Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa

awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan memberikan keuntungan ekonomi.39

Perbandingan Penggunaan Drone oleh Presiden Obama dan Bush (source: NewAmerica.net)

35 Witny Tanod mengutip dalam International Humanitarian Law and New Weapon. International Committee

of the Red Cross 34th Round Table. (http://www.icrc.org/eng/resources/documents/sta tement/new-weapontechnologies-statement-2011- 09-08.htm).36Air Force officials announce remotely piloted aircraft pilot training pipeline", www.af.mil.37Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.38Mayer. "The Predator War". Retrieved 200939Ibid.

22

Page 23: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan drone pada

masa pemerintahan Bush, bertepatan paska peritiwa 9/11.40Penyerangan dengan

menggunakandrone dilakukan pertama kali di Afganistan.41 Pada masa Presiden

Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami

peningkatan yang signifikan42, sehingga kemudian perkembangan drone ini

berimplikasi terhadap Hukum Internasional.43 Setelah Amerika mengembangkan

operasional drone secara lebih komprehensif, terlihat bahwa terdapat suatu

kompetisi antara pelucutan senjata oleh sejumlah negara dengan pengadaan

kontrol kekuatan bersenjata pada waktu bersamaan.44Pelucutan senjata berarti

secara sepenuhnya melepaskan persenjataan dan mengontrol kekuatan bersenjata,

lebih sederhana lagi merujuk pada pembatasan penggunaan kekuatan bersenjata.45

Dalam salah satu Doktrin Obama muncul strategi yang dinamakan "light

footprint" yang merupakan strategi yang digunakan Obama untuk memerangi

terrorisme dengan menggunakan drone yang digunakan untuk menghancurkan

target-target yang spesifik, sehingga tidak diperlukannya pasukan dalam jumlah

besar seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Bush ketika menginvasi

Afganistan dan Irak.46 Namun misi yang bersifat rahasia ini, sering berujung pada

insiden dimana serangan drone menewaskan penduduk sipil dan tentara negara

diwilayah drone itu beroperasi seperti yang terjadi di Pakistan.47

Mark R. Jacobson, mantan Nato’s International Security Assistance Force

in Afghanistan mengatakan, penggunaan drone sebagai senjata teknologi terbaru

40 Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm.

9.41Ibid.42 Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-Defense Post 9-11.

American Journal International Law. Hlm. 9 – 11.43 Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial

Vehicles. Hlm.144 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181

– 184.45 Ibid

46 S. Simon, ‘What Does Obama’s Foreign Policy Stand For? ‘ , National Public Radio (online) 3 Maret 2012, <http://www.npr.org/2012/03/03/147861377/what-does-obamas-foreign-policy-stand-for>, 12 Juni 2013

47 D. Rothkopf, ‘The Obama Paradox’, Foreign Policy (online), diakses 4 Juni 2012, <http://www. foreignpolicy.com/articles/2012/06/04/the_obama_paradox?page=0,0> , 12 Juni 2013

23

Page 24: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

merupakan pilihan terbaik menghadapi perang tanpa batas melawan teroris.

Pertanyaannya, apakah penggunaan drone memberikan manfaat atau hanya

menimbulkan kontroversi. Sejauh ini, perdebatan tentang drone tidak hanya pada

aspek teknologi, sasaran, dan transparansi. Perdebatan tidak menghasilkan apa-

apa, kecuali kerumitan. Di sisi lain, sejumlah kesalahan persepsi masyarakat

tentang drone terabaikan. Drone bukan robot pembunuh yang bertindak sendiri

saat membunuh atau membiarkan korbannya melanjutkan hidup. Drone bukan

‘terminator’, tapi pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control

oleh beberapa pilot Angkatan Udara. Jadi, drone adalah evolusi teknologi militer,

bukan revolusi dalam perang. Drone dilengkapi dengan senjata berpresisi tinggi

yang memungkinkan penggunanya bisa menembak siapa pun yang diinginkan.

Namun, penggunaan drone di luar medan perang konvensional hanya akan

menyulitkan pengendali membedakan antara sipil dan kombatan.48

Dalam strategi militer tersebut lebih menekankan untuk mengambil

tindakan militer unilateral terhadap hal-hal yang vital bagi kepentingan Amerika

Serikat akan menimbulkan masalah baru dalam jangka panjangnya. Tindakan

unilateral bukanhal hal baru yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Tindakan

unilateral dengan menggunakan drone untuk melawan gerakan terrorisme terbukti

sangat efektif dan lebih murah secara operasional dibandingkan dengan

mengirimkan pasukan bersenjata, banyak petinggi-petinggi Taliban dan Al-Qaeda

yang terbunuh oleh serangan drone, namun dilain sisi, harga yang harus dibayar

oleh Amerika cukup besar. 49

Serangan drone, seringkali dieksekusi oleh (Central Intelligence Agency )

CIA dengan persetujuan presiden Obama tanpa menginformasikan kepada otoritas

di Pakistan, sehingga sering menimbulkan ketegangan dan konflik diantara kedua

negara tersebut. Insiden terakhir dimana serangan drone menewaskan sekitar 40

tentara Pakistan menjadi puncaknya, diamana presiden Pakistan akhirnya

mendeklarasikan bahwa Pakistan melarang segala aktifitas drone diatas

48 Setiawan, Teguh, “Ini Dia Drone, Doktrin Terbaru Obama”, Republika Online, 19 Februari 2013. <http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/18/mif1kk-ini-dia-drone-doktrin-terbaru-obama-i>, diakses 11 Juni 201349 Mazzetti, Mark. “Pakistan Says U.S. Drone Killed Taliban Leader”, The New York Times, 29 Mei 2013. <http://www.nytimes.com/2013/05/30/world/asia/drone-strike-hits-near-pakistani-afghan-border.html?pagewanted=all&_r=0>, diakses 11 Juni 2013

24

Page 25: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

wilayahnya, dan mulai mengevaluasi kerjasamanya dengan Amerika, insiden ini

menjadikan hubungan Pakistan dan Amerika berada pada titik paling buruk dalam

sejarah. Pakistan merupakan sekutu yang penting bagi Amerika, dimana Pakistan

menjadi partner utama Amerika dalam pemberantasan terrorisme dan membantu

menyaluran suplai logistik kepada pangkalan Amerika di Afganistan. Pakistan

juga merupakan salah satu basis wilayah Taliban dan Al-Qaeda, sehingga

menjadikan Pakistan memiliki potensi membahayakan Amerika lebih besar

dibandingkan Afganistan maupun Iran, terutama karena banyaknya fasilitas nuklir

di Pakistan yang tidak terjaga dengan baik, dan berpotensi menjadi target

serangan terrorisme.50

Lokasi Penyerangan Drone di Pakistan (source: NewAmerica.net)

Hal tersebut menunjukan bahwa kehilangan kerjasama dengan Pakistan

artinya mengurangi kontrol dan pengawasan Amerika terhadap kawasan yang

berpotensi untuk membahayakan kepentingan nasional, dan kehilangan parner

utama dalam melawan terrorisme sehingga dapat merusak semua usaha yang telah

dilakukan dalam memerangi terrorisme di kawasan tersebut. Kedepannya Obama

50 Rohde, D. ‘The Obama Doctrine’, Foreign Policy (online) , April 2012, <http://www.foreignpolicy.com/articles/ 2012/02/27/the_obama_doctrine?page=0,1> , 11 Juni 2013

25

Page 26: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

perlu kembali merivisi doktrin ini, dengan lebih menekankan pada bilateralisme

ataupun multilateralisme sehingga Amerika tidak kehilangan pengaruhnya dan

hubungan yang baik dengan negara-negara di kawasan, terutama dalam upaya

memerangi terorisme.

Perkembangan senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik maupun

dalam perlindungan untuk sebuah negara dan keamanan internasional tetap berada

dalam koridor regulatif dalam Pasal 36 dari Protokol Tambahan I dari Konvensi

Jenewa 1949.51 Pasal ini bermaksud untuk menjaga perkembangan dari

persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi- organisasi

internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas

dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada.52Dewasa ini, penggunaan

remote- controlled weapon systems merupakan sebuah refleksi dari sejumlah

peristiwa yang meresahkan dunia internasional. Kemungkinan setiap

pengembangan senjata membawa situasi global kepada tahap apa yang sering

disebut sebagai security dilemma.53

Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat

suatu kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab,

perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban

negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah goncangan

terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam kesepakatan tertulis,

seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan bahwa setiap negara harus

menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata terhadap

negara lain serta menjaga keamanan internasional.54 Tahun 1970, PBB

mengeluarkan Declarations on Principles of International Law Concerning

Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the

Charter of United Nations dan menghendaki seluruh Negara untuk menjauhkan

penggunaan kekuatan bersenjata (use of force), intervensi, atau tindakan yang 51Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols.52 Agenda (2012). [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Available

from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].53Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing". Univ.

Ill. Law Rev.:1201–1241.54 Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law. UK.

Blackstone Press Limit. Hlm. 559.

26

Page 27: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

membahayakan Negara lain serta berperilaku dengan tingkah laku yang baik

sesuai dengan Piagam PBB.55

Penggunaan drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam

memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang

kontroversial dalam forum internasional. Lebih jauh, dalam laporannya pada

Dewan Hak Asasi Manusia mengenai extrajudicial, summary or arbitrary

executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan drones.

Beberapa mengungkapkan penggunaan drones tidak sesuai dengan Hukum

Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian

yang tidak seharusnya.56 Akan tetapi, kemampuan drone sebagai pesawat tempur

tanpa awak yang memiliki sejumlah kemampuan teknis di atas rata-rata serta tidak

beresiko terhadap keselamatan nyawa pilot menjadi pertimbangan yang cukup

kuat dalam segi eketifitas penggunaannya. Namun pada kenyataannya, drone telah

mengakibatkan banyak kerugian serta menewaskan ratusan orang sipil, sehingga

hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur

abad ke-20.Hingga saat ini, belum ada sebuah prokol maupun konvensi

internasional yang secara khusus dan terperinci membahas legalitas daripada

penggunaan drone, namun telaah dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi

bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang binding dan

compulsory obeyed demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara

situasi tatanan global yang damai.

55 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm.29;

The 1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv) 24 October 1970.

56 UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States

(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1).

27

Page 28: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Jumlah Korban penyerangan Drone (source: NewAmerica.net)

Satu laporan dari lembaga New America mengatakan, sejak 2004 AS telah

melakukan 359 serangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak ini. Sebagian besar

pesawat itu digunakan saat Obama menjabat sebagai presiden. Lembaga itu

memperkirakan korban tewas sudah mencapai sekitar 2039 - 3370 orang. Sementara Biro

Jurnalis Investigasi yang berbasis di London menyebutkan, korban tewas akibat serangan

drone AS di Pakistan saja sejak 2004, mencapai 2.627-3.457 orang. Dari jumlah itu

sekitar 475-900 orang merupakan penduduk sipil. Dari jumlah itu, 261-305 orang

merupakan penduduk sipil. Yang pasti, AS sendiri telah mengakui jumlah korban yang

jauh lebih besar.57

Strategi ini dapat dikatakan merupakan sebuah strategi yang kurang tepat

formulasinya untuk digunakan dalam jangka panjang. Pendapat tersebut didasari

dengan melihat argumen yang dapat digaris bawahi yaitu; penggunaan kekuatan

militer secara unilateral dalam frekuensi yang tinggi seperti yang dilakukan

Amerika Serikat dengan serangan drone dikawasan negara yang berdaulat justru

akan kontraproduktif dalam jangka panjang, karena akan merusak hubungan

kedua negara. Selain itu, sebagai sebuah senjata dengan teknologi terbaru muncul

berbagai kekhawatiran dimana salah satunya yakni bagaimana jika teknologi

senjata tersebut jatuh ke tangan yang salah dan disalahgunakan untuk kepentingan

jahat? Argumen yang telah disampaikan diatas, menunjukkan bahwa penggunaan

57 http://natsec.newamerica.net/drones/pakistan/analysis

28

Page 29: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Drone dalam strategi militer Amerika, walaupun effektif dan lebih aman secara

politis, dan lebih murah secara finansial namun dalam jangka panjang, justru akan

memperlemah pengaruh Amerika ditatanan internasional, sehingga perlu untuk

dikaji kembali oleh para pemangku kebijakan di Washington.

Fokus perdebatan mengenai drone paling tidak dapat diletakkan dalam dua

kutub argumen: strategis dan humanitarian. Aspek strategis melihat sisi positif

dari penggunaan senjata tersebut. Tak dapat disangkal peran drone dalam

meningkatkan daya gentar serta fungsi efektif dalam infiltrasi, pengintaian,

maupun penyergapan dalam sebuah operasi militer. Dalam asymmetric warfare

menghadapi musuh yang menyebar dan berada diluar jangkauan pasukan

konvensional, penggunaan drone dianggap sangat efektif dalam menghancurkan

target di pihak lawan. Selain itu, relatif murahnya biaya pengoperasian serta

kemampuan meminimalisir korban prajurit dianggap sebagai faktor pendorong

penting penggunaan senjata tersebut. Hal inilah yang menjadikan drone menjadi

tren dalam persenjataan militer terkini.

Segi etika dan moral menjadi pertanyaan dari aspek humanitarian. Alih-

alih menyerang sasaran, dalam prakteknya penggunaan drone sering menyasar

target yang salah. Tidak sedikit warga sipil termasuk wanita dan anak-anak

maupun bangunan umum seperti tempat ibadah yang menjadi korban salah

sasaran. Tindakan membunuh seseorang tanpa melalui prosedur peradilan yang

jelas juga menjadi pokok perhatian dari aspek ini. Anggapan bahwa drone masih

terus berkembang dan di masa depan senjata tersebut akan jauh lebih presisi

dalam melumpuhkan lawan dianggap bukan jawaban yang memuaskan.

Pertanyaan lain yang mengemuka adalah tentang siapa yang harus dituntut ketika

suatu negara akan membawa masalah ini ke mahkamah internasional.

Di masa depan, penggunaan drone dan berbagai jenis senjata ‘robot’ lain

tampaknya akan semakin meningkat. Saat ini, ketiadaam rezim internasional yang

menjadi payung legitimasi dan pengawasan terhadap penggunaan senjata tersebut

dianggap sebagai salah satu faktor utama terjadinya ekses dalam penggunaannya

di lapangan. Meningkatnya perimbangan penguasaan teknologi tersebut oleh

negara lain seperti China membuka harapan terwujudnya rezim ini akan mungkin

29

Page 30: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

terealisasi. Dalam waktu dekat, tuntutan transparansi serta kejelasan proses dalam

penentuan tersangka terorisme paling tidak akan memberi kepastian dan

peningkatan pengawasan publik dalam mengawasi penggunaan senjata ini.

Namun perkembangan teknologi militer ini dianggap sangat

mengkhawatirkan. Baik dengan membeli teknologi yang sekarang dikuasai

Amerika Serikat maupun dengan mengembangkan teknologi pesawat nirawaknya

sendiri. Berbagai ekses penggunaan terhadap warga sipil dan pelanggaran

kedaulatan negara lain oleh drone militer AS memang menjadi fokus perhatian

pada saat ini. Harapan agar masalah ini dapat dibawa ke ranah hukum seperti ke

mahkamah internasional, tampaknya masih jauh dari harapan. Namun statemen

keras yang dikeluarkan PBB cukup untuk menjaga harapan isu ini akan dibawa ke

forum yang lebih tinggi seperti di Majelis Umum PBB. Perimbangan wacana

kritis terhadap isu ini, baik oleh kalangan jurnalis maupun akademis, juga

diharapkan dapat meningkatkan tekanan pada pemerintah AS untuk memberi

perhatian pada aspek moral penggunaan senjata ini.

Perang Afganistan menjadi bukti keandalan drone dalam mencari para

pemimpin teroris lalu dibom dari udara tanpa peringatan sama sekali. Efektivitas

serangan, ditambah tak adanya risiko hilang atau matinya awak pesawat, menjadi

keunggulan utama teknologi tanpa awak ini. Bahkan, peta strategi dunia pun akan

berubah ketika para perancang pertahanan militer dalam aliansi, seperti NATO,

misalnya, mulai memikirkan untuk menempatkan drone di luar wilayah

kedaulatan negara masing-masing.58

58 Kompas Gramedia, “Perlombaan Industri Teknologi Pesawat Nirawak di Asia”, Kompas.com, 3 Februari 2013. <http://sains.kompas.com/read/2013/02/03/02545186/twitter.com>, diakses 11 Juni 2013

30

Page 31: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Kesimpulan

Penggunaan drone sebagai salah satu alat berperang dengan menggunakan

sistem teknologi, menuai banyak kritik serta mengakibatkan kontroversi yang

berkepanjangan semenjak tahun 2001. Kritik dan kontroversi tersebut baik

ditinjau dari taktis dan strategisnya penggunaan drone. Selain itu, penggunaan

instrumen militer yang belakangan ini sering berkembang dinilai sebagai kekuatan

yang tumpul. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan apabila

menggunakan instrumen militer, dimana ratusan atau bahkan ribuan nyawa sipil

menjadi korban dan kelangsungan hidup mereka terancam.Intervensi strategis

sebuah negara kepada negara lain adalah cerita tersendiri yang memiliki retorika

seragam. Kekuatan bersenjata yang digunakan sebagai alat untuk memerangi

sejumlah masalah, seperti kontratetotisme, adalah sebuah alasan yang kemudian

menjelma seolah menjadi suatu bentuk kelazimanterutama apabila aktor

utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat.

31

Page 32: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Amerika Serikat telah mereformasi salah satu kebijakan pertahannya untuk

selalu mengandalkan penggunaan drones, yang digunakan untuk mendukung

upaya tempur dalam memerangi kontraterorisme, termasuk disejumlah wilayah

konflik-bersenjata, maupun di luar teritori Amerika Serikat. Drones Targeting

atau kemampuan bekerja drones terbukti berhasil dalam mencari serta membunuh

musuh yang memang sengaja menjadi target sekaligus memiliki efektivitas

dibandingkan dengan penggunaan kekuatan tradisional lainnya. Akan tetapi,

sejumlah kritikus pemerhati kebijakan pertahanan Amerika berpendapat bahwa

terdapat sejumlah alasan yang menyangkut masalah legalitas serta moralitas

dalam menggunakan drones sebagai sebuah senjata untuk membunuh atau

mencari pelaku terorisme dan kaum belligerent dalam konflik non-tradisional,

yang Amerika Serikat terus perangi.

Hukum Internasional yang mewadahi tata cara perang ataupun

pelaksanaan suatu agresi dirampungkan dalam sub-hukum yang disebut Hukum

Humaniter Internasional. Keterkaitan penggunaan drones oleh negara manapun

diharuskan untuk sesuai dengan ketentuan berdasarkan Konvensi Jenewa, dengan

pasal-pasal terkait. Hukum Humaniter Internasional sengaja dibuat untuk

menciptakan kondisi yang sesuai serta cara yang ideal untuk menggunakan

kekuatan bersenjata, akan tetapi penggunaan drones di dalam suatu perang harus

memenuhi sejumlah prinsip yang diadopsi dari Konvensi Jenewa, seperti

distinction, proportionality dan precautions. Sedangkan, penggunaan drones yang

telah dioperasikan belum menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip umum tersebut.

Perkembangan persenjataan dan sejumlah konflik internasional yang

sedang terjadi mendorong negara untuk selalu dalam kondisi siaga menghadapi

ancaman terhadap negara mereka. Drone sebagai salah satu contoh

pengembangan produksi senjata mutakhir terbaru mulai beroperasi dalam sekitar

satu dekade terakhir. Penggunaannya yang juga kontroversial dilihat memiliki

tingkat sekuritas yang cukup tinggi walaupun dalam segi taktis dan ekonomis

dapat dijadikan preferensi yang logis. Oleh karena itu, Hukum Humaniter

Internasional sebagai platform yang mengatur tata cara berperang sekaligus

mengutamakan kepentingan sipil yang berada dalam wilayah perang (war zones)

32

Page 33: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

mempunyai sejumlah prinsip dasar yang diadopsi untuk situasi perang atau

pelucutan senjata, seperti distinctions, proportionality dan precautions. Akan

tetapi, elaborasi secara lebih mendalam seputar penggunaan senjata seperti drone

belum memiliki regulasi yang komprehensif dan masih bersifat premature.

Hingga saat ini, legalitas penggunaan drone masih menadi perbincangan rumit

dunia internasional, namun apabila dilihat dari segi praktis, moralitas atas

penggunaan drone berada di bawah batas kesesuaian.

Daftar Pustaka

Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48.

A Center for Preventive Action Report. October 2008.

Tom Tschida, New tork Times, Predator Drones and Unmanned Aerial Vehicles

(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned

_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.

UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones

by United States (http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=

32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.

Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US

Drone Strikes in Pakistan, 2004-2010, NEW AMERICA FOUNDATION,

1 (2010), available at http://www.newamerica.net/publications

/policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 2004-

2009.

33

Page 34: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World

(http://www.justinternational.org/index.php?

option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles-

2002-older&Itemid=152). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.

Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times

(http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/ osama-bin-laden-is-

killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.

Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001,

http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/

2001/09/20010911-16.html

Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy,

(Oxford: Rowman and Littlefield, 2003) hal. 54

Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of

Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288, hal. 265-266

Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives

on Politics, 1(1), (2003), 5-25

Allhoff, Loc. Cit., hal.265

Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith,

dan P. Owens, eds., The Globalization of the World Politics: An

Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford

University Press, 2008), hal. 214

Swanstrom, Niklas (2010). China and Eurasia Forum Quarterly : Traditional and

Non-TraditionalSecurity Threats in Central Asia: Connecting the New and

the Old. Volume 8, No. 2 (2010) pp. 35

Synder, Glenn (2002). International Security : Mearsheimer’sWorld— Offensive

Realism and the Struggle for Security , Vol. 27, No. 1 (Summer 2002), pp.

149-155.

Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University,

Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São

Paulo, 2005, p. 5.

Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and

34

Page 35: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence

Staff, 2001-08-13

Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and

Jus In Bello in the Context of Self-Defense. Chinese Journal of

International Law. Hlm. 3.

Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/).

Diakses pada Kamis, 21 Mei 2013. Pukul 13.56 WIB

Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005,

dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/

glossarytermsm/g/m3987.htm

Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.

Mayer. "The Predator War". Retrieved 2009

Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat.

USA. Zenith Press. Hlm. 9.

Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-

Defense Post 9-11. American Journal International Law. Hlm. 9 – 11.

Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of

Unmanned Aerial Vehicles. Hlm.1

Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom.

Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.

S. Simon, ‘What Does Obama’s Foreign Policy Stand For? ‘ , National Public

Radio (online) 3 Maret 2012, <http://www.npr.org/2012/03/03/

147861377/what-does-obamas-foreign-policy-stand-for>, 12 Juni 2013

D. Rothkopf, ‘The Obama Paradox’, Foreign Policy (online), diakses 4 Juni 2012,

<http://www. foreignpolicy.com/articles/2012/ 06/04/the_obama_paradox?

page=0,0> , 12 Juni 2013

Setiawan, Teguh, “Ini Dia Drone, Doktrin Terbaru Obama”, Republika Online, 19

Februari 2013. <http://www.republika.co.id/berita/internasional/

global/13/02/18/mif1kk-ini-dia-drone-doktrin-terbaru-obama-i>, diakses

11 Juni 2013

Mazzetti, Mark. “Pakistan Says U.S. Drone Killed Taliban Leader”, The New

York Times, 29 Mei 2013. <http://www.nytimes.com/2013/05/30/

35

Page 36: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef

world/asia/drone-strike-hits-near-pakistani-afghan-border.html?

pagewanted=all&_r=0>, diakses 11 Juni 2013

Rohde, D. ‘The Obama Doctrine’, Foreign Policy (online) , April 2012,

<http://www.foreignpolicy.com/articles/ 2012/02/27/the_obama_doctrine?

page=0,1> , 11 Juni 2013

Agenda (2012). [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Available

from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he

Morality of Drone Warfare"].

Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-

Targeted Killing". Univ. Ill. Law Rev.:1201–1241.

Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on

International Law. UK. Blackstone Press Limit. Hlm. 559.

Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom.

Wiley-Blackwell. Hlm.29; The 1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv)

24 October 1970.

UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones

by United States (http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=

32764&Cr=alston&Cr1).

36