_2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef
-
Upload
guntoro-chandra -
Category
Documents
-
view
89 -
download
0
description
Transcript of _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef
![Page 1: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/1.jpg)
TUGAS AKHIRKEJAHATAN TRANSNASIONAL
“Penggunaan UAVs (Drone) oleh Amerika Serikat Sebagai Alat Kontra-
Terorisme Global”
dalam Perspektif Keamanan Tradisional dan Hukum Humaniter
Disusun oleh:
Mohamad Burhan Roesman170210100049
[email protected]. Telp/HP: 082196915184
Tugas dikumpulkan pada 29 Juli 2013
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIKUNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
1
![Page 2: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/2.jpg)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Penggunaan
UAVs (Drone) oleh Amerika Serikat Sebagai Alat Kontra-Terorisme Global” ini,
bertujuan untuk memahami bagaimana penggunaan teknologi militer baru dalalm
bentuk drone yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk memerangi terorisme
global. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Kejahatan
Transnasional. Di dalamnya, penulis memaparkan analisis mengenai suatu isu
internasional dengan menggunakan teori – teori dasar di dalam ilmu Hubungan
Internasional.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu mohon dimaafkan
apabila terjadi kesalahan penulisan pada makalah ini. Penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan
dan penyusunan makalah ini.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan
prestasi di masa yang akan datang.
Bandung, 27 Juli 2013
Penulis,
2
![Page 3: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/3.jpg)
Daftar Isi
Kata Pengantar ....................................................................................................... 2
Daftar Isi...................................................................................................................3
Pendahuluan ........................................................................................................... 4
Kajian Pustaka ........................................................................................................ 8
Objek Kajian ........................................................................................................ 17
Pembahasan .......................................................................................................... 22
Kesimpulan .......................................................................................................... 32
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 34
3
![Page 4: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/4.jpg)
Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan pesawat tanpa awakyang
disebut sebagai drones telah menjelma sebagai suatu alat persenjataan yang dinilai
penting dan cukup cekatan dalam menangani masalah terorisme dan militan di
seluruh dunia.1 Masa depan strategi perang tengah memasuki babak baru.
Revolusi teknologi dalam militer menghadirkan persenjataan berteknologi tinggi
menjadi salah satu isu utama selain selain tentang senjata konvensional dan nuklir.
UAVs (Unmanned Aerial Vehicles), yang selanjutnya disebut dengan drone,
menjadi salah satu pokok perhatian utama dunia akhir-akhir ini. Penggunaan
secara masif pesawat tanpa awak tersebut oleh Amerika Serikat dalam berbagai
operasi militernya, meskipun dianggap (terutama oleh pemerintah AS) sebagai
strategi yang cukup efektif dan efisien dalam medan perang, menghadirkan
kontroversi dan kritik dari banyak pihak.
Keuntungan serta kelebihan menggunakan drones dibandingkan senjata
lain kemudian dikenal serta ditelaah lebih jauh oleh sejumlah badan intelejen
dunia. Salah satu alasan utama beberapa negara yang sudah mulai
mengoperasikan drones di lapangan adalah kemampuan senjata ini untuk mampu
mengobservasi target atau objek, baik seorang individu, kelompok maupun
berupa lokasi yang dituju selama berjam-jam lamanya, lalu kemudian dapat segera
melakukan penyerangan tanpa harus menggunakan seorang pilot sehingga resiko
terhadap keamanan pilot tersendiri terlindungi.2
Kombinasi kapabilitas yang dimiliki drones dinilai unik serta telah
memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk membangun instalasi khusus
1 Richard N. Haass’s Speech. Conducting as President of Council on Foreign Relations. January 20132 Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48. A Center for Preventive Action Report. October 2008.
4
![Page 5: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/5.jpg)
dan mengembangkan penggunaan drones tersendiri. Amerika Serikat meyakini
bahwa drones merupakan senjata mutakhir yang efektif dalam membasmi jaringan
teroris dan telah dioperasikan semenjak masa pemerintahan Bush hingga Obama
sekarang.3 Pada tahun 2009, Philip Alston menyatakan bahwa penggunaan drones
oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional.4 Semenjak era
pemerintahan Bush telah berakhir, Amerika Serikat diperkirakan telah melakukan
setidaknya 45 penyerangan dengan menggunakan drones terhadap Pakistan,
seperti yang dilansir The New America Foundation.5 Semenjak saat tersebut
hingga sekarang, Obama ditengarai telah melakukan penyerangan terhadap
Pakistan dengan jumlah lima kali lipat lebih banyak dibandingkan pada masa
pemerintahan Bush sebelumnya.6 Tentara militer Amerika Serikat telah
melepaskan serangan sebanyak 297 kali dan menyebabkan terbunuhnya 1.800
rakyat sipil.7 Penggunaan drones semakin dikenal dengan adanya penyerangan
yang menewaskan terdakwa teroris Osama Bin Laden di Pakistan pada 2011
silam.8
3 Tom Tschida, New tork Times, Predator Drones and Unmanned Aerial Vehicles
(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.4 UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.5 Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US Drone Strikes in Pakistan,
2004-2010, NEW AMERICA FOUNDATION, 1 (2010), available at http://www.newamerica.net/publications /policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 2004-2009.6 Lihat Covert War on Terror—The Data, supra note 16.7 Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World
(http://www.justinternational.org/index.php?option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles- 2002-older&Itemid=152). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.8 Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times
(http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/ osama-bin-laden-is- killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
5
![Page 6: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/6.jpg)
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, terlihat bahwa penggunaan drones
bukan merupakan hal baru dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat.
Keinginan Amerika Serikat untuk memberantas jaringan terorisme dunia
diimbangi dengan kemampuannya untuk menginstalasi sekaligus mengoperasikan
drones secara mutakhir. Dalam waktu bersamaan, upaya ini turut menimbulkan
keresahan global, dimana masyarakat sipil turut menjadi korban., seperti yang
terjadi di Pakistan. Dengan demikian maka penulis merumuskan beberapa
rumusan masalah, diantaranya:
Apakah UAVs atau drones tersebut?
Bagaimana Efektifitas, dampak serta legalistas penggunaan drones
oleh Amerika Serikat dalam bentuk kontraterorisme global?
Bagaimana regulasi penggunaan drones dalam aturan Hukum
Humaniter Internasional?
6
![Page 7: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/7.jpg)
Metode Penelitian
Dalam karya tulis ini saya menggunakan metode penelitian kualitatif.
Objek penelitian yang saya ke depankan dalam karya tulis ini merupakan suatu
gejala dan fenomena sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode – metode
yang digunakan pada ilmu eksakta. Data – data yang dianalisa pun berupa non-
statistik. Dalam penelitian ini, saya sebagai penulis juga bertindak sebagai alat
penelitian, yang merupakan alat utama pengumpul data melalui pengamatan dan
dokumen – dokumen tertulis. Data – data yang telah dicantumkan, akan saya
analisis lebih lanjut dengan menggunakan teori – teori ilmu sosial yang juga telah
dideskripsikan terlebih dahulu pada bagian sebelumnya.
7
![Page 8: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/8.jpg)
Kajian Pustaka
Transnational Crime
Transnational crime atau kejahatan transnasional secara umum dapat
didefinisikan sebagai suatu tindak pidana yang melintasi batas-batas teritorial
suatu negara. Konsep transnational crime itu sendiri baru diperkenalkan untuk
pertama kalinya secara internasional tepat pada tahun 1990 di dalam sebuah
pertemuan, yaitu The Eigth United Nations Congress on the Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders. Adapun istilah yang telah lebih dulu
dikembangkan serta digunakan untuk menyebutkan suatu tindak pidana kompleks
dalam skala internasional adalah organized crime atau kejahatan yang
terorganisir.9
PBB di dalam piagamnya mendefinisikan organized crime sebagai “the
large scale and complex criminal activity carried on by groups of persons,
however loosely or tightly organized, for the enrichment of those participating
and at the expense of the community and its members” atau suatu tindak kriminal
dengan skala besar dan juga kompleks yang dijalankan oleh sekelompok orang,
baik itu terorganisir secara ketat ataupun longgar, untuk kemudian memenuhi
kepentingan pihak-pihak yang turut berpartisipasi dan mengorbankan keseluruhan
anggota masyarakat. Dalam perkembangannya, tepat di saat istilah organized
crime telah bertransformasi menjadi transnational crime, PBB pun merevisi juga
definisi yang telah diberikan terhadap objek serupa di dalam piagamnya sebagai
“large scale and complex criminal activities carried out by tightly or loosely
organized associations and aimed at the establishment, supply and exploitation of
illegal markets at the expense of society” atau suatu tindak kriminal berskala
besar dan juga kompleks yang dilakukan oleh suatu asosiasi yang terorganisir
secara ketat ataupun longgar dan ditujukan untuk membangun, memasok, serta
9 Pradana Putra, Definisi Transnational Crime, 28 September 2010, diakses pada 17 Juli 2012 pukul 19:18 WIB dari http://www.scribd.com/doc/38736210/Definisi-Transnational-Crime
8
![Page 9: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/9.jpg)
mengeksploitasi sejumlah pasar illegal dengan mengorbankan keseluruhan
anggota masyarakat. Lebih lanjut lagi, PBB melalui konvensinya yang berjudul
United Nations Convention on Transnational Organized Crime pada tahun 2000,
menyebutkan empat buah poin utama untuk kemudian suatu kejahatan dapat
digolongkan sebagai transnational crime, yaitu:
dilakukan di lebih dari satu negara,
segala aktivitas persiapan, perencaan, pengarahan, dan pengawasan
dilakukan di negara lain,
melibatkan apa yang dinamakan sebagai organized criminal group,
dan berdampak serius bagi negara lain.10
Transnational crime merupakan suatu fenomena sosial yang dalam
praktiknya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, sosial, dan budaya
yang berada pada diri indivu serta berlangsung pada suatu wilayah negara.
Adapun aktor atau pelaku dari transnational crime tidak hanya selalu terpusat
pada negara, tetapi individu atau kelompok juga dapat berperan serta di dalamnya
baik sebagai pelaku aktif ataupun perantara. Motif dari berlangsungnya
transnational crime cenderung begitu luas, tidak hanya terbatas pada persoalan
ekonomi atau politik saja. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa transnational
crime merupakan suatu tindak pidana yang melintasi batas-batas teritorial suatu
negara, melibatkan lebih dari satu pelaku baik itu yang berwujud negara ataupun
aktor non-negara, memiliki dampak terhadap posisi suatu negara atau aktor non-
negara di negara lain, dan melanggar hukum nasional yang berdiri di lebih dari
satu negara.
Pada tahun 1995, PBB merilis hasil identifikasi mereka mengenai bentuk-
bentuk dari transnational crime yang terbagi ke dalam 18 bentuk tindak pidana,
yaitu human trafficking, pencucian uang, terorisme, pencurian benda seni dan
budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan
udara, pembajakan laut, pembajakan darat, penipuan asuransi, kejahatan
komputer, kejahatan lingkungan, perdagangan bagian tubuh manusia,
10 Ibid.
9
![Page 10: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/10.jpg)
perdagangan narkoba, penipuan kepailitan, infiltrasi bisnis, korupsi, dan
penyuapan pejabat publik atau pihak-pihak tertentu.
Terorisme
Sebuah upaya besar yang dilakukan oleh pemerintahan George W. Bush
sebagai respon Amerika Serikat (AS) pasca serangan 9/11 adalah
dideklarasikannya “war on terror”, perang melawan teror. Melalui pidatonya,
Bush menyatakan bahwa serangan 9/11 adalah serangan terorisme dan AS harus
membalas dengan melakukan perang melawan teror.11 Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa pemerintahan Bush akan melakukan pembalasan dengan
aksi militeristik (perang) dan didukung oleh para representatif dari pejabat
pemerintahan dan komentator politik seperti Henry Kissinger, Lawrence
Eagleburger, James Baker, Jeane Kirkpatrick, dan para penasehat industri militer
kompleks yang mendeskripsikan serangan 9/11 sebagai “act of war” dan
membutuhkan pembalasan dengan tindakan militer.12
Namun perang melawan teror ini tidaklah sama dengan perang dalam arti
tradisional. Fritz Allhoff dalam tulisannya “The War on Terror and the Ethics of
Exceptionalism” menyatakan bahwa perang melawan teror merupakan perang
baru yang memiliki karakteristik fundamental yang berbeda dengan perang
tradisional.13 Allhoff dengan mengutip Neta C. Crawford juga memuat bahwa
pasca 9/11, karakteristik perang telah berubah dan kita harus memperbaharui
pendekatan terhadap perang tersebut untuk dapat mempertahankan diri kita.14
Perang tradisional cenderung dilakukan di medan peperangan. Dalam
perang ini, pembedaan antara kombatan dan non-kombatan jelas. Perang
tradisional juga dilakukan antara aktor-aktor negara dengan rangkaian komando
11 Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001, http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010911-16.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2012 pukul 05.59 WIB12 Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, (Oxford: Rowman and Littlefield, 2003) hal. 5413 Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288, hal. 265-26614 Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives on Politics, 1(1), (2003), 5-25 dalam Ibid.
10
![Page 11: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/11.jpg)
yang transparan, tingkat sentralisasi yang tinggi, serta upaya politik dan diplomasi
yang jelas.15 Perang merupakan suatu bentuk kekerasan kemanusian, dan ketika
dilakukan oleh aktor negara, melibatkan sejumlah pasukan yang signifikan,
material, persenjataan dan cukup mudah untuk diidentifikasi.16
Namun perlawanan terhadap terorisme kontemporer telah bertentangan
dengan semua karakteristik perang tradisional tersebut. Perang melawan teror
tidak dilakukan di medan perang konvensional, melainkan di daerah tempat
tinggal penduduk. Pembedaan antara kombatan dan non-kombatan juga tidak
jelas, setidaknya bagaimana dalam perang melawan teror, pihak kombatan tidak
bisa secara cepat diidentifikasi. Ketidakjelasan ini juga diakibatkan oleh tindakan
warga sipil yang seringkali memberikan dukungan material bagi teroris yang
menjadi kombatan melalui penempatan strategis, komunikasi, dan lain-lain. Di
sisi lain, teroris melakukan aksi terorisme dengan target acak yang korbannya
merupakan warga sipil atau non-kombatan ataupun orang-orang tidak bersalah
(innocent people). Teroris juga cenderung diidentifikasi sebagai aktor non-negara
sehingga tidak jelas bagaimana rangkaian komando mereka. Upaya tradisional
seperti diplomasi dan intervensi politik lainnya juga kurang efektif sejauh ini
ketika sulit untuk mengetahui siapa yang yang harus didekati untuk diajak
berdiplomasi serta komitmen ideologis kelompok teroris yang juga menghalangi
keberhasilan upaya-upaya tersebut.
Keamanan Tradisional
“a nation is secure to the extent to which it is not in danger of
having to sacrifice core values, if it wishes to avoid war, and is
able to, if challenged, to maintain them by victory in such war.”
- Walter Lippmann17.
Terdapat dua pendekatan umum dalam pembahasan mengenai studi
keamanan global. Dua pendekatan tersebut adalah pendekatan tradisional, dan
15 Allhoff, Loc. Cit., hal.26516 Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith, dan P. Owens, eds., The Globalization of the World Politics: An Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hal. 21417 Swanstrom, Niklas (2010). China and Eurasia Forum Quarterly : Traditional and Non-TraditionalSecurity
Threats in Central Asia: Connecting the New and the Old. Volume 8, No. 2 (2010) pp. 35
11
![Page 12: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/12.jpg)
pendekatan non-tradisional. Seiring berjalannya waktu, Studi kemanan global
terus mengalami perkembangan, terutama sejak berakhirnya perang dingin.
Studi keamanan yang sebelumnya difokuskan hanya kepada isu-isu high
politics, kini berkembang ke arah low politic. Isu keamanan ekonomi,
lingkungan, informasi, dan lainnya semakin diperhatikan. Isu-Isu yang bersifat
high politics merupakan fokus utama dalam pendekatan keamanan global
tradisional. Sementara isu-isu low politics menjadi hal yang juga harus
diperhatikan dalam pendekatan keamanan global non-tradisional.
Namun, meskipun isu-isu low politics semakin diperhitungkan
keberadaanya sebagai elemen penting dalam keamanan suatu negara,
keberadaan studi keamanan global tradisional masih memiliki peranan yang
signifikan dalam menjelaskan berbagai perilaku negara. Terutama dalam hal
militer. Pendekatan Tradisionalis dalam memandang keamanan global sangat
dipengaruhi oleh pandangan kaum realis.
Tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara telah membawa dunia
kepada konsep anarki. Dalam kondisi tersebut, kaum realis percaya tidak ada
tujuan suatu engara yang berharmoni dengan negara lain, maka dari itu, setiap
negara tidak boleh bergantung kepada negara lain (self-help). Dengan kondisi
anarki, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam interaksi diantara negara
negara, termasuk perang. Dengan prinsip self help inilah, setiap negara
dianggap harus bisa mempertahankan dirinya sendiri dari ancaman negara lain.
Dengan dasar ini juga, militer dianggap sebagai instrumen yang paling efektif
dan penting dalam menjaga keamanan negara. Synder, mengutip Mearsheimer
mengatakan bahwa memang ada sebuah pergulatan kekuasaan yang tidak
berujung. Namun, hal itu terjadi bukan karena hasrat manusia untuk menguasi
(sebagai mana konsep animus dominandi) melainkan karena kondisi sistem
politik yang anarki18. Berkaitan dengan konsep anarki, tradisionalis juga
menganggap bahwa ancaman terbesar bagi sebuah negara adalah keberadaan
negara lain yang berusaha untuk mempertahankan dirinya. Dengan kata lain,
tradisionalis lebih mengorientasikan fokus keamanannya keluar.
18 Synder, Glenn (2002). International Security : Mearsheimer’sWorld— Offensive Realism and the Struggle
for Security , Vol. 27, No. 1 (Summer 2002), pp. 149.
12
![Page 13: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/13.jpg)
“In the end, this state-centered security concept rests on two basic
premises: first, that most threats come from the outside, and
second, that these threats are primarily of a military nature, and
thus, as a rule, call for a military response19.”
Dengan menganggap bahwa tidak adanya kepentingan yang harmoni
diantara negara-negara yang saling berinterkasi, kekuaatan militer menjadi
sebuah jaminan bahwa keamanan memang sudah dimiliki oleh yang
bersangkutan. Namun, dengan persepsi ancaman yang selalu ada dari negara
lain, sebuah negara tentunya tidak bisa tinggal diam jika kekuatan militer
negara di sekitarnya meningkat. Sehingga, negara tersebut cenderung akan
meningkatkan kapabilitas militernya agar melebihi kapabilitas militer negara
lain sehingga tetap aman. Hal ini akan terjadi terus menerus diantara negara
negara bersangkutan semata-mata karena persepsi ancamannya merupakan
negara lain. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai security dillema. Pada
kenyataannya, meskipun negara yang meningkatkan kekuatan tidaklah agresif,
namun ketidakpastian sikap negara lain (kembali, merupakan persepsi
ancaman) membuat negara disekitarnya juga mengambil langkah “jaga-jaga”
dengan cara ikut meningkatkan kapabilitas militernya20.
Dengan berkembangnya teknologi militer, security dillema kini tidak lagi
dihadapi oleh negara-negara yang saling bertetangga. Kehadiran ICBM (Inter
Continetal Ballistic Misslie) yang mampu melakukan penjelajahan antarbenua
telah membentuk persepsi ancaman baru bahkan bagi negara yang letaknya
saling berjauhan. Sehingga, peningkatan kapabilitas militer di Asia Timur pun
bisa dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara di Eropa Barat.
Dalam pelaksanaanya, terdapat 2 jalan pemikiran realisme yang dianut
oleh kaum tradisionalis ini. Yaitu offensive realism, dan defensive realism.
Kedua pandangan ini merupakan hasil dari perdebatan antara Mearsheimer dan
Kenneth Waltz. Offensive realism merupakan sebuah bentuk pencapaian power
19 Debiel, Tobias (2004). Extended vs. Human Security: The Need for an Integrated Security Concept for Development, Foreign, and Security Policy. Paper, to be presented at the FIFTH PAN-EUROPEAN CONFERENCE, Section 31 Netherlands Congress Centre, The Hague, SEPTEMBER 9-11, 2004
20 Synder, Glenn, Loc. Cit pp. 155
13
![Page 14: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/14.jpg)
dan security melalui tindakan yang agresif, yaitu agresi militer. Sementara itu,
defensive realism adalah sebuah bentuk pencapaian security dengan cara
menciptakan sebuah keseimbangan kekuatan. Menurut Mearsheimer, defensive
realism tidak mengejar tujuan utama dari negara, yaitu power. Defensive
realism hanya mempertahankan keseimbangan kekuatan dan tidak
mendapatkan keuntungan dari kondisi itu. Sementara offesive realism
memandang bahwa sistem internasional merupakan sebuah sistem yang labil
dan karena itu, ia memberikan kesempatan besar bagi setiap negara untuk
mendapatkan power yang lebih besar. Tujuan utama sebuah negara menurut
offensive realism adalah untuk meng-hegemony sistem21.
Hukum Humaniter Internasional
Menurut kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap
disebut dengan berbagai macam istilah, seperti; hukum perang (law of war)
atapun hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict). Hukum perang adalah
hukum yang mengatur tentang perang. Seperti yang Oppenheim ungkapkan, lalu
dikutip oleh Yoram Dinstein, menyatakan perang adalah suatu pertarungan di
antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka dengan tujuan
menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syarat-syarat perdamaian
yang menguntungkan pihak pemenang.22
Hukum humaniter tidak memfokuskan pada sebuah legalitas dimana
konflik bersenjata terjadi, namun menurut Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua
Protokol Tambahan 1977, yaitu menyediakan perlindungan hukum bagi orang-
orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam
permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan
sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil) dan membatasi dampak
kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.23 Hukum ini
terkandung dalam Konvensi Jenewa.24 Setidaknya terdapat dua kondisi terkait
21 Synder, Glenn, Loc. Cit pp. 15222Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2005, p. 5.23 http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf24Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13. Pada halaman 1-1 ditegaskan bahwa: The Law of Armed Conflict (the LOAC), considered in the broadest sense, determines when states may resort to the use of armed force and how they may conduct hostilities during armed conflicts. This guide is concerned
14
![Page 15: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/15.jpg)
dengan Hukum Humaniter Internasional, yaitu; jus ad bellum (law on the use of
force) dan jus in bello (law in war). Jus ad bellum berotasi pada peraturan yang
diatur dalam Statuta PBB atau peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam
mengambil tindakan kekerasan.25 Sedangkan, Jus ad bello merupakan bentuk
aplikasi sejumlah peraturan yang dilakukan pada saat peperangan.Kedua kondisi
tersebut memiliki beberapa prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad
bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu
negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait
dengan apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar
atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.26
Proportionality (Prinsip Proporsionalitas)
Menyadur dari salah satu situs resmi yang membahas Hukum Humaniter
Internasional, prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan
senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan
yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering
principles).27 Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is
prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of
a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”.28Prinsip
‘unnecessary suffering’ juga harus dilihat dengan membandingkan senjata yang
dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful to use a weapon which causes more suffering
or injury than another which offers the same or similar military advantages’.29
Distinctions (Prinsip Diskriminasi)
primarily with the LOAC in the narrow sense, that is, with the body of law that governs the conduct of hostilities during an armed conflict25 Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and Jus In Bello in the Context
of Self-Defense. Chinese Journal of International Law. Hlm. 3.26 Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/). Diakses pada Kamis, 21 Mei
2013. Pukul 13.56 WIB27http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf28http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf29Lihat Additional Protocol I Geneva Conventions. Pasal 35 dan Pasal 51
15
![Page 16: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/16.jpg)
Prinsip diskriminasi mengandung tiga komponen: 1). larangan tentang
serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; 2). bahkan jika
target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap
dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to
civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be
excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”;
3). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan
kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas.30 Selain itu semua
senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil
dan memiliki tingkat akurasi yang rendah harus dilarang.31
Objek Kajian
30 Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses
pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm31 http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf
16
![Page 17: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/17.jpg)
Pesawat Tanpa Awak (UAVs)
Unmanned Aerial Vehicle atau dalam bahasa indonesia disebut kendaraan
udara tak berawak , UAV juga memiliki banyak sebutan lain seperti “Unmanned
aircraft”, "drones", "remotely piloted vehicles (RPVs)”. UAV sendiri merupakan
pengembangan dari Aeromodeling yang jika pada awalnya Aeromodeling
ditunjukan untuk keperluan hobby saja, namun berbeda dengan UAV, UAV lebih
banyak digunakan untuk keperluan militer dari mulai pengintaian, pemboman
sampai pertempuran udara, yang membedakan UAV dengan Rudal yang
dikendalikan adalah UAV dapat digunakan berulang kali sedangkan rudal
meskipun dapat dikendalikan tidak dapat digunakan kembali.
Jika berdasarkan pengertian sederhana UAV adalah pesawat yang hanya
dapat terbang lurus sambil mengumpulkan data atau sering disebut drones, seiring
dengan berjalannya perkembangan teknologi UAV pun terbagi menjadi 2 jenis
yaitu yang dikendalikan dari lokasi lain yang lebih jauh atau pun yang berjalan
sesuai dengan aturan tertentu yang telah diprogram kedalamnya, UAV memiliki
berbagai bentuk, ukuran, konfigurasi dan karakteristik. contoh dari beberapa UAV
yang sering digunakan atau yang telah dibuat adalah RQ-4 Global Hawk, MQ-1
Predator, TAM-5 dan masih banyak UAV lainnya. Setiap UAV memiliki fungsi
yang berbeda satu dengan yang lain, fungsi atau kegunaan UAV yaitu :
1. Pengindraan jarak jauh UAV fungsi penginderaan jauh mencakup sensor
spektrum elektromagnetik, sensor biologis, dan sensor kimia. Sebuah UAV's
dengan sensor elektromagnetik biasanya mencakup spektrum visual,
inframerah, atau kamera dengan inframerah dan juga sistem radar. Detektor
gelombang elektromagnetik lain seperti microwave dan sensor spektrum
ultraviolet juga dapat digunakan, tapi tidak umum. Sensor sensor biologis
mampu mendeteksi kehadiran udara berbagai mikroorganisme dan faktor-
faktor biologi lainnya. Sensor kimia menggunakan spektroskopi laser untuk
menganalisis konsentrasi dari setiap elemen di udara.
2. Transportasi UAV dapat mengangkut barang dengan menggunakan berbagai
cara yang didasarkan pada konfigurasi dari UAV itu sendiri. Kebanyakan
muatan disimpan dalam bagian pesawat , namun untuk uav dengan bentuk
17
![Page 18: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/18.jpg)
helikopter dapat mengangkut di bagian luarnya, kebanyakan UAV digunakan
untuk mengangkut kargo-kargo ringan yang membutuhkan kecepatan
pengiriman dan memiliki resiko pengiriman tinggi.
3. Penelitian Ilmiah pesawat tanpa awak mampu menembus daerah daerah
berbahaya yang tidak memungkinkan bila menggunakan pesawat berpilot,
misalnya daerah pusat badai, perburuan angin topan, penlitian terbang pada
ketinggian tertentu yang berbahaya bagai manusia dan lain lain.
4. Penyerang Bersenjata, beberapa UAV seperti Predator RQ-1 telah dapat
melakukan serangan ke target – target darat, bahkan Predator RQ-1 juga telah
dapat digunakan untuk mengadakan pertempuran antar pesawat, kemampuan
yang dimiliki UAV ini sangat menguntungkan bagi negara – negara maju
karena resiko pengunaan pilot sebagai sandera atau tawanan perang telah
dapat dihilangkan, dan juga dapat digunakan untuk misi misi rahasia dan yang
bersifat sensitif dalam dunia politik internasional.
5. SAR [Search and Rescue] kemampuan UAV untuk terbang pada daerah
berbahaya memungkinkan UAV dapat terbang bahakan dalam cuaca terburuk
sekalipun, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dalam pencarian korban
kecelakanan ataupun korban cuaca buruk lainnya , dan daya terbang UAV
yang tidak tergantung pada ketahanaan pilot mememungkinkan UAV terus
menurus mencari korban tanpa berhenti .
Contoh Pesawat Drone: MQ-9 Reaper (Source Google.com)
UAV pada awalnya digunakan selama Perang Vietnam ditangkap setelah
peluncuran dengan video yang merekam dengan mengunakan film atau kaset di
18
![Page 19: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/19.jpg)
pesawat. Pesawat ini sering kali diluncurkan dan terbang dalam garis lurus atau
dalam lingkaran tertentu sambil mengumpulkan video sampai mereka kehabisan
bahan bakar dan mendarat. Setelah mendarat, film baru ditemukan untuk di
analisis. Karena sifat sederhana pesawat ini, mereka sering disebut drones. Sistem
kontrol radio baru tersedia setelahnya, UAV dikontrol dari jarak jau dan istilah
"kendaraan dikemudikan yang dari jarak jauh" datang menjadi mode. Saat ini
UAV sering menggabungkan Pengendaliaan jarak jauh dengan komputer dan
otomatisasi. Versi yang lebih canggih mungkin memiliki built-in kontrol dan /
atau sistem panduan untuk melakukan tugas tingkat rendah pilot manusia seperti
stabilisasi kecepatan dan jalur penerbangan, dan fungsi navigasi scripted
sederhana seperti berikut titik arah. Karena UAV memiliki kendali jarak jauh
maka UAV. Dapat dipastikan bahwa UAV telah memiliki GPS yang terintegrasi
untuk menentukan posisi UAV sendiri dan targetnya atau tujuan UAV sendiri.
Kontrol pesawat tanpa awak ini bisa dilakukan dengan dua cara, yakni
dengan pengendalian jarak jauh oleh operator di darat, atau berdasarkan program
yang dimasukan ke dalam pesawat sehingga dia dapat terbang secara mandiri.
Pesawat jenis ini semula dibangun dengan misi melakukan pekerjaan yang
dianggap terlalu kotor atau malah terlalu berbahaya untuk dilakukan pesawat
berawak. Misalnya saja untuk memadamkan kebakaran, untuk kebutuhan
keamanan non militer, atau pemeriksaan jalur pemipaan. Namun belakangan
reputasi UAV ini semakin mengerikan karena bisa menyerang target manusia
secara berlebihan bahkan menyerang target yang salah. Atau, reputasinya sebagai
alat untuk melakukan pekerjaan terlalu “kotor” tersebut malah cocok, yakni
membunuh manusia.
Namun seperti dikatakan Graham, AS sepertinya memang tidak terlalu
mempermasalahkan kesalahan target drone, termasuk membunuh warga sipil
tersebut, bahkan membunuh warganya sendiri meskipun dengan alasan “kontra
terorisme”. Eric Holder, Jaksa Agung AS mengatakan, sudah empat warga AS
yang tewas dalam operasi pembendungan terorisme dengan menggunakan
pesawat tak berawak sejak 2009 lalu.
Apa yang diungkapkan Holder ini membenarkan pernyataan seorang
senator AS yang mengatakan, tiga warga AS tewas dalam serangan drone, namun
19
![Page 20: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/20.jpg)
satu di antaranya memang ditargetkan menjadi sasaran serangan, yakni seorang
warga AS bernama Anwar al-Awlaki. Holder mengatakan, Pemerintahan Obama
menyadari, selain Awlaki masih ada tiga warga AS lainnya yang tewas dalam
serangan drone, mereka adalah Samir Khan, Jude Kennan Mohammed, dan
Abdulrahman al-Awlaki; putra Anwar al-Awlaki. "Orang-orang ini tidak secara
spesifik menjadi target serangan AS," imbuh Holder.
Bahkan seringnya drone melakukan salah sasaran telah membuat seorang
mantan pilot (operator) drone, menyatakan mundur dari tugasnya. Pilot ini
mengaku melihat drone yang dikendalikannya membunuh anak kecil dan
penduduk sipil di Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan radio nasional,
NPR, mantan pilot drone yang diidentifikasi sebagai Brandon Bryant ini
mengatakan kegelisahannya melihat pemboman yang dilakukan drone di
Afghanistan. Sebagai pilot drone, dia bisa melihat langsung apa yang dilakukan
drone-nya ketika melalui layar monitor di samping tombol kontrol drone yang
dioperasikan di suatu negara bagian AS.
"Kami menembakkan rudal. Setelah asap bersih, anda dapat melihat
bagian-bagian tubuh manusia," ujarnya seperti dilansir PressTV. Di Afghanistan,
Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun,
dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai
target. "Tampak seperti anak kecil… dan rudal menghantam. Tidak ada tanda-
tanda dari orang (militan) ini," ujarnya. Sejak meninggalkan program
kontroversial AS ini lebih dari dua tahun lalu dia menjadi tunawisma, tinggal
dengan teman-temannya. Dia juga didiagnosis menderita Pasca Traumatic Stress
Disorder.32
Lembaga Human Right Watch, mengungkapkan, Pentagon telah
menghabiskan sekitar 6 miliar dolar AS per tahun untuk penelitian dan
pengembangan drone. Inggris juga membuat drone baru yang disebut Tarani yang
bisa terbang mandiri dan membela diri terhadap pesawat musuh. Seperti model
AS, pesawat tersebut tidak bersenjata tetapi dirancang untuk membawa rudal.33
32 http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/20/mn38ql-pilot-drone-as-mundur-setelah-bom-anak-kecil33 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional
20
![Page 21: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/21.jpg)
Israel bahkan merupakan produsen drone yang telah mengekspor UAV ini ke
lebih dari 49 negara. Nilai ekspornya mencapai 400 juta dolar AS setahun.
Berdasarkan laporan kantor berita Ynet, Ahad (19/5/13) seperti dilansir
PressTV, 80 persen drone buatan Israel, diekspor. Besarnya kontribusi eskpor
drone bagi pendapatan Israel, membuat industri pesawat di negeri zionis ini
kemungkinan akan tergantikan oleh drone. Israel meningkatkan investasi pada
industri drone sejak 1982 ketika rezim menggunakan pesawat tersebut pada
perang Lebanon.34
Pembahasan
Efektifitas, Legalitas, Serta Dampak Penggunaan Drones
Dalam sebuah diskusi bertema International Humanitarian Law and New
Weapon Technologies, Jakob Kellenberger menyatakan: “Today, we live in the
age of information technology and we are seeing technology being used on the
battlefield. This is not entirely new multiplication of new weapons or methods of
warfare that rely on such technology seems exponential. In a closer look, there
are numbers of technologies that have only recently entered the battlefield or
could potentially enter it. These are cyber technology, remote-controlled weapon
34 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/19/mn1axh-produk-pesawat-tanpa-awak-buatan-israel-dipakai-oleh-49-negara
21
![Page 22: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/22.jpg)
systems and robotic weapons system... Drones or “unmanned aerial vehicles” are
the most conspicuous example of such new technologies.”35
The unmanned aerial vehicle yang lebih umum dikenal sebagai drones
merupakan pesawat tanpa awak dengan kendali jarak jauh yang sengaja dibuat
untuk kepentingan militer.36 Pesawat ini termasuk dalam kategori pesawat tempur
paling moderen, memiliki konfigurasi otomatis autopilot, dilengkapi dengan
berbagai sensor serta diprogram untuk bermanuver rutin sesuai dengan
pengaturan awal.37 Pada dasarnya, berbagai jenis drone terbagi dalam dua kategori
besar, yaitu drone yang sengaja diprogram untuk melakukan pengintaian serta
pengawasan dan drone yang dipersenjatai dengan rudal ataupun bom.38 Pesawat
tempur tanpa awak ini memiliki nilai lebih dengan tidak menempatkan pilot
dalam situasi yang beresiko tinggi.Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa
awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan memberikan keuntungan ekonomi.39
Perbandingan Penggunaan Drone oleh Presiden Obama dan Bush (source: NewAmerica.net)
35 Witny Tanod mengutip dalam International Humanitarian Law and New Weapon. International Committee
of the Red Cross 34th Round Table. (http://www.icrc.org/eng/resources/documents/sta tement/new-weapontechnologies-statement-2011- 09-08.htm).36Air Force officials announce remotely piloted aircraft pilot training pipeline", www.af.mil.37Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.38Mayer. "The Predator War". Retrieved 200939Ibid.
22
![Page 23: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/23.jpg)
Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan drone pada
masa pemerintahan Bush, bertepatan paska peritiwa 9/11.40Penyerangan dengan
menggunakandrone dilakukan pertama kali di Afganistan.41 Pada masa Presiden
Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami
peningkatan yang signifikan42, sehingga kemudian perkembangan drone ini
berimplikasi terhadap Hukum Internasional.43 Setelah Amerika mengembangkan
operasional drone secara lebih komprehensif, terlihat bahwa terdapat suatu
kompetisi antara pelucutan senjata oleh sejumlah negara dengan pengadaan
kontrol kekuatan bersenjata pada waktu bersamaan.44Pelucutan senjata berarti
secara sepenuhnya melepaskan persenjataan dan mengontrol kekuatan bersenjata,
lebih sederhana lagi merujuk pada pembatasan penggunaan kekuatan bersenjata.45
Dalam salah satu Doktrin Obama muncul strategi yang dinamakan "light
footprint" yang merupakan strategi yang digunakan Obama untuk memerangi
terrorisme dengan menggunakan drone yang digunakan untuk menghancurkan
target-target yang spesifik, sehingga tidak diperlukannya pasukan dalam jumlah
besar seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Bush ketika menginvasi
Afganistan dan Irak.46 Namun misi yang bersifat rahasia ini, sering berujung pada
insiden dimana serangan drone menewaskan penduduk sipil dan tentara negara
diwilayah drone itu beroperasi seperti yang terjadi di Pakistan.47
Mark R. Jacobson, mantan Nato’s International Security Assistance Force
in Afghanistan mengatakan, penggunaan drone sebagai senjata teknologi terbaru
40 Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm.
9.41Ibid.42 Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-Defense Post 9-11.
American Journal International Law. Hlm. 9 – 11.43 Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial
Vehicles. Hlm.144 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181
– 184.45 Ibid
46 S. Simon, ‘What Does Obama’s Foreign Policy Stand For? ‘ , National Public Radio (online) 3 Maret 2012, <http://www.npr.org/2012/03/03/147861377/what-does-obamas-foreign-policy-stand-for>, 12 Juni 2013
47 D. Rothkopf, ‘The Obama Paradox’, Foreign Policy (online), diakses 4 Juni 2012, <http://www. foreignpolicy.com/articles/2012/06/04/the_obama_paradox?page=0,0> , 12 Juni 2013
23
![Page 24: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/24.jpg)
merupakan pilihan terbaik menghadapi perang tanpa batas melawan teroris.
Pertanyaannya, apakah penggunaan drone memberikan manfaat atau hanya
menimbulkan kontroversi. Sejauh ini, perdebatan tentang drone tidak hanya pada
aspek teknologi, sasaran, dan transparansi. Perdebatan tidak menghasilkan apa-
apa, kecuali kerumitan. Di sisi lain, sejumlah kesalahan persepsi masyarakat
tentang drone terabaikan. Drone bukan robot pembunuh yang bertindak sendiri
saat membunuh atau membiarkan korbannya melanjutkan hidup. Drone bukan
‘terminator’, tapi pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control
oleh beberapa pilot Angkatan Udara. Jadi, drone adalah evolusi teknologi militer,
bukan revolusi dalam perang. Drone dilengkapi dengan senjata berpresisi tinggi
yang memungkinkan penggunanya bisa menembak siapa pun yang diinginkan.
Namun, penggunaan drone di luar medan perang konvensional hanya akan
menyulitkan pengendali membedakan antara sipil dan kombatan.48
Dalam strategi militer tersebut lebih menekankan untuk mengambil
tindakan militer unilateral terhadap hal-hal yang vital bagi kepentingan Amerika
Serikat akan menimbulkan masalah baru dalam jangka panjangnya. Tindakan
unilateral bukanhal hal baru yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Tindakan
unilateral dengan menggunakan drone untuk melawan gerakan terrorisme terbukti
sangat efektif dan lebih murah secara operasional dibandingkan dengan
mengirimkan pasukan bersenjata, banyak petinggi-petinggi Taliban dan Al-Qaeda
yang terbunuh oleh serangan drone, namun dilain sisi, harga yang harus dibayar
oleh Amerika cukup besar. 49
Serangan drone, seringkali dieksekusi oleh (Central Intelligence Agency )
CIA dengan persetujuan presiden Obama tanpa menginformasikan kepada otoritas
di Pakistan, sehingga sering menimbulkan ketegangan dan konflik diantara kedua
negara tersebut. Insiden terakhir dimana serangan drone menewaskan sekitar 40
tentara Pakistan menjadi puncaknya, diamana presiden Pakistan akhirnya
mendeklarasikan bahwa Pakistan melarang segala aktifitas drone diatas
48 Setiawan, Teguh, “Ini Dia Drone, Doktrin Terbaru Obama”, Republika Online, 19 Februari 2013. <http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/18/mif1kk-ini-dia-drone-doktrin-terbaru-obama-i>, diakses 11 Juni 201349 Mazzetti, Mark. “Pakistan Says U.S. Drone Killed Taliban Leader”, The New York Times, 29 Mei 2013. <http://www.nytimes.com/2013/05/30/world/asia/drone-strike-hits-near-pakistani-afghan-border.html?pagewanted=all&_r=0>, diakses 11 Juni 2013
24
![Page 25: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/25.jpg)
wilayahnya, dan mulai mengevaluasi kerjasamanya dengan Amerika, insiden ini
menjadikan hubungan Pakistan dan Amerika berada pada titik paling buruk dalam
sejarah. Pakistan merupakan sekutu yang penting bagi Amerika, dimana Pakistan
menjadi partner utama Amerika dalam pemberantasan terrorisme dan membantu
menyaluran suplai logistik kepada pangkalan Amerika di Afganistan. Pakistan
juga merupakan salah satu basis wilayah Taliban dan Al-Qaeda, sehingga
menjadikan Pakistan memiliki potensi membahayakan Amerika lebih besar
dibandingkan Afganistan maupun Iran, terutama karena banyaknya fasilitas nuklir
di Pakistan yang tidak terjaga dengan baik, dan berpotensi menjadi target
serangan terrorisme.50
Lokasi Penyerangan Drone di Pakistan (source: NewAmerica.net)
Hal tersebut menunjukan bahwa kehilangan kerjasama dengan Pakistan
artinya mengurangi kontrol dan pengawasan Amerika terhadap kawasan yang
berpotensi untuk membahayakan kepentingan nasional, dan kehilangan parner
utama dalam melawan terrorisme sehingga dapat merusak semua usaha yang telah
dilakukan dalam memerangi terrorisme di kawasan tersebut. Kedepannya Obama
50 Rohde, D. ‘The Obama Doctrine’, Foreign Policy (online) , April 2012, <http://www.foreignpolicy.com/articles/ 2012/02/27/the_obama_doctrine?page=0,1> , 11 Juni 2013
25
![Page 26: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/26.jpg)
perlu kembali merivisi doktrin ini, dengan lebih menekankan pada bilateralisme
ataupun multilateralisme sehingga Amerika tidak kehilangan pengaruhnya dan
hubungan yang baik dengan negara-negara di kawasan, terutama dalam upaya
memerangi terorisme.
Perkembangan senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik maupun
dalam perlindungan untuk sebuah negara dan keamanan internasional tetap berada
dalam koridor regulatif dalam Pasal 36 dari Protokol Tambahan I dari Konvensi
Jenewa 1949.51 Pasal ini bermaksud untuk menjaga perkembangan dari
persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi- organisasi
internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas
dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada.52Dewasa ini, penggunaan
remote- controlled weapon systems merupakan sebuah refleksi dari sejumlah
peristiwa yang meresahkan dunia internasional. Kemungkinan setiap
pengembangan senjata membawa situasi global kepada tahap apa yang sering
disebut sebagai security dilemma.53
Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat
suatu kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab,
perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban
negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah goncangan
terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam kesepakatan tertulis,
seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan bahwa setiap negara harus
menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata terhadap
negara lain serta menjaga keamanan internasional.54 Tahun 1970, PBB
mengeluarkan Declarations on Principles of International Law Concerning
Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the
Charter of United Nations dan menghendaki seluruh Negara untuk menjauhkan
penggunaan kekuatan bersenjata (use of force), intervensi, atau tindakan yang 51Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols.52 Agenda (2012). [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Available
from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].53Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing". Univ.
Ill. Law Rev.:1201–1241.54 Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law. UK.
Blackstone Press Limit. Hlm. 559.
26
![Page 27: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/27.jpg)
membahayakan Negara lain serta berperilaku dengan tingkah laku yang baik
sesuai dengan Piagam PBB.55
Penggunaan drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam
memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang
kontroversial dalam forum internasional. Lebih jauh, dalam laporannya pada
Dewan Hak Asasi Manusia mengenai extrajudicial, summary or arbitrary
executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan drones.
Beberapa mengungkapkan penggunaan drones tidak sesuai dengan Hukum
Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian
yang tidak seharusnya.56 Akan tetapi, kemampuan drone sebagai pesawat tempur
tanpa awak yang memiliki sejumlah kemampuan teknis di atas rata-rata serta tidak
beresiko terhadap keselamatan nyawa pilot menjadi pertimbangan yang cukup
kuat dalam segi eketifitas penggunaannya. Namun pada kenyataannya, drone telah
mengakibatkan banyak kerugian serta menewaskan ratusan orang sipil, sehingga
hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur
abad ke-20.Hingga saat ini, belum ada sebuah prokol maupun konvensi
internasional yang secara khusus dan terperinci membahas legalitas daripada
penggunaan drone, namun telaah dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi
bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang binding dan
compulsory obeyed demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara
situasi tatanan global yang damai.
55 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm.29;
The 1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv) 24 October 1970.
56 UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1).
27
![Page 28: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/28.jpg)
Jumlah Korban penyerangan Drone (source: NewAmerica.net)
Satu laporan dari lembaga New America mengatakan, sejak 2004 AS telah
melakukan 359 serangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak ini. Sebagian besar
pesawat itu digunakan saat Obama menjabat sebagai presiden. Lembaga itu
memperkirakan korban tewas sudah mencapai sekitar 2039 - 3370 orang. Sementara Biro
Jurnalis Investigasi yang berbasis di London menyebutkan, korban tewas akibat serangan
drone AS di Pakistan saja sejak 2004, mencapai 2.627-3.457 orang. Dari jumlah itu
sekitar 475-900 orang merupakan penduduk sipil. Dari jumlah itu, 261-305 orang
merupakan penduduk sipil. Yang pasti, AS sendiri telah mengakui jumlah korban yang
jauh lebih besar.57
Strategi ini dapat dikatakan merupakan sebuah strategi yang kurang tepat
formulasinya untuk digunakan dalam jangka panjang. Pendapat tersebut didasari
dengan melihat argumen yang dapat digaris bawahi yaitu; penggunaan kekuatan
militer secara unilateral dalam frekuensi yang tinggi seperti yang dilakukan
Amerika Serikat dengan serangan drone dikawasan negara yang berdaulat justru
akan kontraproduktif dalam jangka panjang, karena akan merusak hubungan
kedua negara. Selain itu, sebagai sebuah senjata dengan teknologi terbaru muncul
berbagai kekhawatiran dimana salah satunya yakni bagaimana jika teknologi
senjata tersebut jatuh ke tangan yang salah dan disalahgunakan untuk kepentingan
jahat? Argumen yang telah disampaikan diatas, menunjukkan bahwa penggunaan
57 http://natsec.newamerica.net/drones/pakistan/analysis
28
![Page 29: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/29.jpg)
Drone dalam strategi militer Amerika, walaupun effektif dan lebih aman secara
politis, dan lebih murah secara finansial namun dalam jangka panjang, justru akan
memperlemah pengaruh Amerika ditatanan internasional, sehingga perlu untuk
dikaji kembali oleh para pemangku kebijakan di Washington.
Fokus perdebatan mengenai drone paling tidak dapat diletakkan dalam dua
kutub argumen: strategis dan humanitarian. Aspek strategis melihat sisi positif
dari penggunaan senjata tersebut. Tak dapat disangkal peran drone dalam
meningkatkan daya gentar serta fungsi efektif dalam infiltrasi, pengintaian,
maupun penyergapan dalam sebuah operasi militer. Dalam asymmetric warfare
menghadapi musuh yang menyebar dan berada diluar jangkauan pasukan
konvensional, penggunaan drone dianggap sangat efektif dalam menghancurkan
target di pihak lawan. Selain itu, relatif murahnya biaya pengoperasian serta
kemampuan meminimalisir korban prajurit dianggap sebagai faktor pendorong
penting penggunaan senjata tersebut. Hal inilah yang menjadikan drone menjadi
tren dalam persenjataan militer terkini.
Segi etika dan moral menjadi pertanyaan dari aspek humanitarian. Alih-
alih menyerang sasaran, dalam prakteknya penggunaan drone sering menyasar
target yang salah. Tidak sedikit warga sipil termasuk wanita dan anak-anak
maupun bangunan umum seperti tempat ibadah yang menjadi korban salah
sasaran. Tindakan membunuh seseorang tanpa melalui prosedur peradilan yang
jelas juga menjadi pokok perhatian dari aspek ini. Anggapan bahwa drone masih
terus berkembang dan di masa depan senjata tersebut akan jauh lebih presisi
dalam melumpuhkan lawan dianggap bukan jawaban yang memuaskan.
Pertanyaan lain yang mengemuka adalah tentang siapa yang harus dituntut ketika
suatu negara akan membawa masalah ini ke mahkamah internasional.
Di masa depan, penggunaan drone dan berbagai jenis senjata ‘robot’ lain
tampaknya akan semakin meningkat. Saat ini, ketiadaam rezim internasional yang
menjadi payung legitimasi dan pengawasan terhadap penggunaan senjata tersebut
dianggap sebagai salah satu faktor utama terjadinya ekses dalam penggunaannya
di lapangan. Meningkatnya perimbangan penguasaan teknologi tersebut oleh
negara lain seperti China membuka harapan terwujudnya rezim ini akan mungkin
29
![Page 30: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/30.jpg)
terealisasi. Dalam waktu dekat, tuntutan transparansi serta kejelasan proses dalam
penentuan tersangka terorisme paling tidak akan memberi kepastian dan
peningkatan pengawasan publik dalam mengawasi penggunaan senjata ini.
Namun perkembangan teknologi militer ini dianggap sangat
mengkhawatirkan. Baik dengan membeli teknologi yang sekarang dikuasai
Amerika Serikat maupun dengan mengembangkan teknologi pesawat nirawaknya
sendiri. Berbagai ekses penggunaan terhadap warga sipil dan pelanggaran
kedaulatan negara lain oleh drone militer AS memang menjadi fokus perhatian
pada saat ini. Harapan agar masalah ini dapat dibawa ke ranah hukum seperti ke
mahkamah internasional, tampaknya masih jauh dari harapan. Namun statemen
keras yang dikeluarkan PBB cukup untuk menjaga harapan isu ini akan dibawa ke
forum yang lebih tinggi seperti di Majelis Umum PBB. Perimbangan wacana
kritis terhadap isu ini, baik oleh kalangan jurnalis maupun akademis, juga
diharapkan dapat meningkatkan tekanan pada pemerintah AS untuk memberi
perhatian pada aspek moral penggunaan senjata ini.
Perang Afganistan menjadi bukti keandalan drone dalam mencari para
pemimpin teroris lalu dibom dari udara tanpa peringatan sama sekali. Efektivitas
serangan, ditambah tak adanya risiko hilang atau matinya awak pesawat, menjadi
keunggulan utama teknologi tanpa awak ini. Bahkan, peta strategi dunia pun akan
berubah ketika para perancang pertahanan militer dalam aliansi, seperti NATO,
misalnya, mulai memikirkan untuk menempatkan drone di luar wilayah
kedaulatan negara masing-masing.58
58 Kompas Gramedia, “Perlombaan Industri Teknologi Pesawat Nirawak di Asia”, Kompas.com, 3 Februari 2013. <http://sains.kompas.com/read/2013/02/03/02545186/twitter.com>, diakses 11 Juni 2013
30
![Page 31: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/31.jpg)
Kesimpulan
Penggunaan drone sebagai salah satu alat berperang dengan menggunakan
sistem teknologi, menuai banyak kritik serta mengakibatkan kontroversi yang
berkepanjangan semenjak tahun 2001. Kritik dan kontroversi tersebut baik
ditinjau dari taktis dan strategisnya penggunaan drone. Selain itu, penggunaan
instrumen militer yang belakangan ini sering berkembang dinilai sebagai kekuatan
yang tumpul. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan apabila
menggunakan instrumen militer, dimana ratusan atau bahkan ribuan nyawa sipil
menjadi korban dan kelangsungan hidup mereka terancam.Intervensi strategis
sebuah negara kepada negara lain adalah cerita tersendiri yang memiliki retorika
seragam. Kekuatan bersenjata yang digunakan sebagai alat untuk memerangi
sejumlah masalah, seperti kontratetotisme, adalah sebuah alasan yang kemudian
menjelma seolah menjadi suatu bentuk kelazimanterutama apabila aktor
utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat.
31
![Page 32: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/32.jpg)
Amerika Serikat telah mereformasi salah satu kebijakan pertahannya untuk
selalu mengandalkan penggunaan drones, yang digunakan untuk mendukung
upaya tempur dalam memerangi kontraterorisme, termasuk disejumlah wilayah
konflik-bersenjata, maupun di luar teritori Amerika Serikat. Drones Targeting
atau kemampuan bekerja drones terbukti berhasil dalam mencari serta membunuh
musuh yang memang sengaja menjadi target sekaligus memiliki efektivitas
dibandingkan dengan penggunaan kekuatan tradisional lainnya. Akan tetapi,
sejumlah kritikus pemerhati kebijakan pertahanan Amerika berpendapat bahwa
terdapat sejumlah alasan yang menyangkut masalah legalitas serta moralitas
dalam menggunakan drones sebagai sebuah senjata untuk membunuh atau
mencari pelaku terorisme dan kaum belligerent dalam konflik non-tradisional,
yang Amerika Serikat terus perangi.
Hukum Internasional yang mewadahi tata cara perang ataupun
pelaksanaan suatu agresi dirampungkan dalam sub-hukum yang disebut Hukum
Humaniter Internasional. Keterkaitan penggunaan drones oleh negara manapun
diharuskan untuk sesuai dengan ketentuan berdasarkan Konvensi Jenewa, dengan
pasal-pasal terkait. Hukum Humaniter Internasional sengaja dibuat untuk
menciptakan kondisi yang sesuai serta cara yang ideal untuk menggunakan
kekuatan bersenjata, akan tetapi penggunaan drones di dalam suatu perang harus
memenuhi sejumlah prinsip yang diadopsi dari Konvensi Jenewa, seperti
distinction, proportionality dan precautions. Sedangkan, penggunaan drones yang
telah dioperasikan belum menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip umum tersebut.
Perkembangan persenjataan dan sejumlah konflik internasional yang
sedang terjadi mendorong negara untuk selalu dalam kondisi siaga menghadapi
ancaman terhadap negara mereka. Drone sebagai salah satu contoh
pengembangan produksi senjata mutakhir terbaru mulai beroperasi dalam sekitar
satu dekade terakhir. Penggunaannya yang juga kontroversial dilihat memiliki
tingkat sekuritas yang cukup tinggi walaupun dalam segi taktis dan ekonomis
dapat dijadikan preferensi yang logis. Oleh karena itu, Hukum Humaniter
Internasional sebagai platform yang mengatur tata cara berperang sekaligus
mengutamakan kepentingan sipil yang berada dalam wilayah perang (war zones)
32
![Page 33: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/33.jpg)
mempunyai sejumlah prinsip dasar yang diadopsi untuk situasi perang atau
pelucutan senjata, seperti distinctions, proportionality dan precautions. Akan
tetapi, elaborasi secara lebih mendalam seputar penggunaan senjata seperti drone
belum memiliki regulasi yang komprehensif dan masih bersifat premature.
Hingga saat ini, legalitas penggunaan drone masih menadi perbincangan rumit
dunia internasional, namun apabila dilihat dari segi praktis, moralitas atas
penggunaan drone berada di bawah batas kesesuaian.
Daftar Pustaka
Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48.
A Center for Preventive Action Report. October 2008.
Tom Tschida, New tork Times, Predator Drones and Unmanned Aerial Vehicles
(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned
_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones
by United States (http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=
32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US
Drone Strikes in Pakistan, 2004-2010, NEW AMERICA FOUNDATION,
1 (2010), available at http://www.newamerica.net/publications
/policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 2004-
2009.
33
![Page 34: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/34.jpg)
Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World
(http://www.justinternational.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles-
2002-older&Itemid=152). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times
(http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/ osama-bin-laden-is-
killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001,
http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/
2001/09/20010911-16.html
Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy,
(Oxford: Rowman and Littlefield, 2003) hal. 54
Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of
Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288, hal. 265-266
Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives
on Politics, 1(1), (2003), 5-25
Allhoff, Loc. Cit., hal.265
Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith,
dan P. Owens, eds., The Globalization of the World Politics: An
Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford
University Press, 2008), hal. 214
Swanstrom, Niklas (2010). China and Eurasia Forum Quarterly : Traditional and
Non-TraditionalSecurity Threats in Central Asia: Connecting the New and
the Old. Volume 8, No. 2 (2010) pp. 35
Synder, Glenn (2002). International Security : Mearsheimer’sWorld— Offensive
Realism and the Struggle for Security , Vol. 27, No. 1 (Summer 2002), pp.
149-155.
Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University,
Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São
Paulo, 2005, p. 5.
Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and
34
![Page 35: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/35.jpg)
Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence
Staff, 2001-08-13
Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and
Jus In Bello in the Context of Self-Defense. Chinese Journal of
International Law. Hlm. 3.
Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/).
Diakses pada Kamis, 21 Mei 2013. Pukul 13.56 WIB
Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005,
dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/
glossarytermsm/g/m3987.htm
Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.
Mayer. "The Predator War". Retrieved 2009
Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat.
USA. Zenith Press. Hlm. 9.
Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-
Defense Post 9-11. American Journal International Law. Hlm. 9 – 11.
Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of
Unmanned Aerial Vehicles. Hlm.1
Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom.
Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.
S. Simon, ‘What Does Obama’s Foreign Policy Stand For? ‘ , National Public
Radio (online) 3 Maret 2012, <http://www.npr.org/2012/03/03/
147861377/what-does-obamas-foreign-policy-stand-for>, 12 Juni 2013
D. Rothkopf, ‘The Obama Paradox’, Foreign Policy (online), diakses 4 Juni 2012,
<http://www. foreignpolicy.com/articles/2012/ 06/04/the_obama_paradox?
page=0,0> , 12 Juni 2013
Setiawan, Teguh, “Ini Dia Drone, Doktrin Terbaru Obama”, Republika Online, 19
Februari 2013. <http://www.republika.co.id/berita/internasional/
global/13/02/18/mif1kk-ini-dia-drone-doktrin-terbaru-obama-i>, diakses
11 Juni 2013
Mazzetti, Mark. “Pakistan Says U.S. Drone Killed Taliban Leader”, The New
York Times, 29 Mei 2013. <http://www.nytimes.com/2013/05/30/
35
![Page 36: _2010_1702101gfsdg00049.docxswfsdfdfsfwerfdef](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022051018/55cf9b3b550346d033a538f3/html5/thumbnails/36.jpg)
world/asia/drone-strike-hits-near-pakistani-afghan-border.html?
pagewanted=all&_r=0>, diakses 11 Juni 2013
Rohde, D. ‘The Obama Doctrine’, Foreign Policy (online) , April 2012,
<http://www.foreignpolicy.com/articles/ 2012/02/27/the_obama_doctrine?
page=0,1> , 11 Juni 2013
Agenda (2012). [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Available
from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he
Morality of Drone Warfare"].
Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-
Targeted Killing". Univ. Ill. Law Rev.:1201–1241.
Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on
International Law. UK. Blackstone Press Limit. Hlm. 559.
Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom.
Wiley-Blackwell. Hlm.29; The 1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv)
24 October 1970.
UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones
by United States (http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=
32764&Cr=alston&Cr1).
36