201010150723110.Prakarsa Okt 2010 INA Small Full-color

download 201010150723110.Prakarsa Okt 2010 INA Small Full-color

of 26

Transcript of 201010150723110.Prakarsa Okt 2010 INA Small Full-color

Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia

ISI

ARTIKEL UTAMASiap Untuk Reformasi: Menuju PDAM yang Kuat Secara FinansialPDAM harus sehat secara finansial agar dapat mengakses sumber pembiayaan yang dibutuhkan untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium...p.4

Mengusulkan Jalur Pipa JatiluhurJakartaTanpa adanya sebuah intervensi, Jakarta akan dihadapkan pada kemungkinan kekurangan air yang signifikan di tahun-tahun mendatang. Pembangunan jalur pipa Jatiluhur-Jakarta bisa menjadi solusi...p.6p.4

p.6

Memanfaatkan Kekuatan Organisasi Berbasis-MasyarakatLayanan air bersih yang dikelola oleh organisasi berbasis-masyarakat (CBO) dapat menjangkau masyarakat...p.8

Tata Kelola yang Lebih Baik untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik PulaSebuah pendekatan baru dalam perbaikan penyediaan infrastruktur dan layanan..p.10

p.8

p.10

24 26

Membuka Jalan bagi Kaum Perempuan Hasil & Prakarsa Edisi Mendatang

25

Pandangan Para Ahli

Cover Photo: Courtesy of World Bank

Jurnal triwulanan ini diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia, sebuah proyek yang didanai Pemerintah Australia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan relevansi, mutu, dan jumlah investasi di bidang infrastruktur. Pandangan yang dikemukakan belum tentu mencerminkan pandangan Kemitraan Australia Indonesia maupun Pemerintah Australia. Apabila ada tanggapan atau pertanyaan mohon disampaikan kepada Tim Komunikasi IndII melalui telephon nomor +62 (21) 230-6063, fax +62 (21) 3190-2994, atau e-mail [email protected]. Alamat situs web kami adalah: www.indii.co.id

2

Prakarsa Oktober 2010

Pesan EditorBagaimana cara untuk meningkatkan layanan air minum untuk lebih banyak rakyat Indonesia? Apabila Anda menanyakan hal itu kepada sejumlah orang yang awam tentang air minum, kemungkinan mereka akan memberikan jawaban yang cenderung bersifat teknis: membangun lebih banyak waduk, membangun lebih banyak jaringan pipa, membangun lebih banyak sambungan. Dengan kata lain, membangun segala infrastruktur fisik yang diperlukan. Orang yang bijak mungkin akan menambahkan jawaban bahwa salah satu bagian terpenting dari tantangan tersebut adalah mencari dana untuk melakukan perbaikan tersebut. Semua jawaban itu benar. Namun yang ingin kami ulas dalam edisi Prakarsa kali ini dengan tema Memperluas Akses Terhadap Air minum adalah bahwa jawaban dari masalah ini tidaklah melulu mencakup masalah teknis dan pembiayaan. Upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat, termasuk pihak Pemda, pejabat PDAM, anggota masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya merupakan isu yang tak kalah penting. Ada beragam pendekatanyang sangat berbeda satu dengan lainnyauntuk melibatkan para pelaku ini, tetapi benang merahnya adalah keharusan adanya komitmen bersama dan sikap saling memahami. Siap Untuk Reformasi: Menuju PDAM yang Kuat Secara Finansial oleh Ahmad Lanti (hal. 4) menjelaskan upaya-upaya untuk meningkatkan nilai PDAM di mata kalangan perbankan agar dapat memperoleh kredit komersial. Penekanan dalam pekerjaan ini adalah pada upaya untuk membantu PDAM membangun dan memperkuat hubungan dengan para pemangku kepentingan seperti pemberi pinjaman dan Pemda. Tata Kelola yang Lebih Baik untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik Pula oleh Jim Coucouvinis (hal. 10) menjelaskan sebuah pendekatan baru yang menjanjikan guna membantu PDAM agar berhasil dalam penyediaan air minum: memperkuat lingkungan eksternal dengan memastikan bahwa Pemda, PDAM dan masyarakat memenuhi tujuan dan komitmen yang telah disepakati bersama. Memanfaatkan Kekuatan Organisasi Berbasis-Masyarakat oleh Jemima Sy (hal. 8) membahas peran organisasi kemasyarakatan dalam penyediaan layanan air bersih di wilayah pedesaan yang tidak terjangkau oleh PDAM upaya yang keberhasilannya akan sangat bergantung pada seberapa baik organisasi ini dapat memformalisasikan dan meyakinkan Pemda, serta keberhasilannya menjangkau para investor. Sebuah edisi tentang perluasan akses terhadap air minum tak akan lengkap tanpa menyoroti aspek-aspek teknis pelayanan air minum, dan untuk itu sebuah artikel Mengusulkan Jalur Pipa JatiluhurJakarta oleh Mark Switkowski (hal. 6) membahas opsi untuk membangun jalur pipa guna mengatasi masalah pasokan air ke Jakarta yang semakin serius. Masyarakat masih merupakan faktor kunci dalam upaya ini: salah satu kekhawatiran pertama yang muncul adalah besarnya jumlah pemangku kepentingan yang perlu diajak berkonsultasi dan dilibatkan dalam proses tersebut. Terlepas dari kenyataan apakah fokusnya terletak pada nilai PDAM di mata kalangan perbankan, lingkungan eksternal, organisasi kemasyarakatan, atau pembangunan jalur pipa, satu hal yang pasti: perluasan akses ke air minum bukanlah semata tentang memenuhi kebutuhan masyarakat, namun juga untuk memastikan bahwa masyarakat menjadi peserta aktif dalam proses ini. CSW

Infrastruktur Dalam

Angka

Jumlah investasi yang diperlukan dari tahun 2010 hingga tahun 2015 untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium di bidang penyediaan air minum melalui jaringan perpipaan di Indonesia.

USD 10,3 miliar

Perkiraan laju pertumbuhan tahunan pemakaian air minum untuk kebutuhan rumah tangga.

6,7%

Keseluruhan jumlah utang (Rp 2,9 triliun) PDAM di Indonesia berikut bunga dan denda (Rp 3,4 triliun) pada tahun 2007.

Rp 6,3 triliun

Jumlah utang PDAM yang dihapuskan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan bulan Agustus 2008.

Rp 3,61 triliun

Jumlah PDAM Indonesia yang memiliki lebih dari 50.000 sambungan ke rumah penduduk. 77 perusahaan lain memiliki 10.000 hingga 50.000 sambungan; sisanya (sekitar 265 perusahaan ) masing-masing melayani kurang dari 10.000 rumah tangga.

8

Proporsi PDAM Indonesia yang beroperasi tanpa akuntan.

30%

3

Prakarsa Oktober 2010

Instalasi milik PDAM di Klari, Karawang, Jawa Barat

Atas perkenan PDAM Karawang

Siap Untuk Reformasi: Menuju PDAM yang Kuat Secara FinansialPDAM harus sehat secara finansial agar dapat mengakses sumber pembiayaan yang dibutuhkan untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium dalam upaya peningkatan dan perluasan penyediaan air minum. Tata kelola perusahaan yang baik, keterlibatan pemangku kepentingan, dan skema tarif yang sehat sangat penting untuk proses ini. Oleh Ahmad LantiSelama beberapa dekade terakhir, sektor layanan air minum di Indonesia telah mengalami transisi dan transformasi yang signifikan. Sebelum tahun 1968, hanya ada beberapa kota di Indonesia yang memiliki Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), namun sekarang jumlah tersebut telah meningkat hingga lebih dari 300 kota. Partisipasi sektor swasta diterapkan selama tahun 1990-an. Pada tahun 1997, terjadi Krisis Keuangan Asia dan disusul oleh reformasi ekonomi dan politik. Selama beberapa tahun setelah terjadinya krisis keuangan, kondisi keuangan sebagian besar PDAM memburuk, sehingga sekitar lima dari enam PDAM menunggak utang kepada Kementerian Keuangan RI tanpa dilunasi secara tepat waktu. Pada tahun 2002, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menemukan bahwa hanya 27 PDAM (9 persen dari jumlah total) dinilai sehat, sedangkan 93 PDAM (31 persen) dianggap kurang sehat dan 186 PDAM lainnya (60 persen) kondisinya tidak sehat. Pada tahun 2007 dan 2009, Kementerian PU melakukan penilaian kinerja atas semua PDAM berdasarkan kinerja pada tahun 2002. Kriteria yang digunakan untuk penilaian ini adalah: tingkat pengembangan, manajemen pinjaman, manajemen dan penggantian aset, kemampuan pembayaran utang, peningkatan pendapatan internal dan profitabilitas. Upaya reformasi menimbulkan perbaikan yang terukur, dan pada tahun 2009, 140 PDAM (42 persen) dinilai sehat. Meski peningkatan besar dalam jumlah PDAM yang sehat adalah hal yang menggembirakan, masih ada banyak masalah yang harus diatasi. Pada tahun 2009, cakupan layanan air minum di perkotaan hanya mencapai sekitar 30 persen dari estimasi populasi perkotaan sebesar 120 juta jiwa. Jumlah belanja PDAM saat ini tidak memadai untuk memelihara dan mengoperasikan infrastruktur mereka yang ada dengan baik dan untuk melakukan investasi sambungan perumahan baru. Dana tambahan sangat

4

Prakarsa Oktober 2010

dibutuhkan untuk meningkatkan layanan dan mencegah kemunduran lebih lanjut, namun dengan adanya desentralisasi pada tahun 1999, sumber pembiayaan dari pemerintah untuk PDAM hibah dari pemerintah pusat dan pinjaman dengan suku bunga bersubsidi telah menurun secara drastis. Akan tetapi, terdapat peluang yang sangat besar untuk mengembangkan layanan air minum di perkotaan. Pembiayaan dari sumber seperti pinjaman dari bank pemerintah, proyek Kerjasama Pemerintah Swasta, pengurangan kebocoran air sebelum sampai ke pelanggan (Non-Revenue Water, yang saat ini rata-rata sekitar 33 persen dari seluruh pasokan air, efisiensi yang lebih besar terkait dengan biaya modal dan operasional (CAPEX dan OPEX), serta penyesuaian tarif dapat membantu meningkatkan penciptaan arus kas dan membiayai investasi untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur. Calon pelanggan telah menunjukkan kesediaannya untuk membayar dengan ketentuan bahwa penyediaan layanan air minum dapat ditingkatkan dan dirawat dengan baik.

Peluang tersebut, apabila ditangani dengan baik dengan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan dengan dukungan Pemda dan DPRD, akan membuat PDAM mampu untuk meningkatkan posisi keuangannya. Berdasarkan Sasaran Pembangunan Milineum (MDGs) United Nations Development Program (UNDP), Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi jumlah masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air minum dari tahun 2000 sampai dengan 2015. Untuk mencapai tujuan ini, PDAM di Indonesia harus sehat secara finansial, dan memiliki akses terhadap sumber pembiayaan yang penting untuk memelihara dan memperluas layanan. Menuju Reformasi Pada bulan Juni 2009, Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) di Kementerian PU berkoordinasi dengan AusAID untuk mengembangkan kegiatan yang dirancang untuk membantu sekitar 20 PDAM

berlanjut ke halaman 12

Butir-butir Utama:Di tahun 2002, hanya 9 persen PDAM di Indonesia mendapat peringkat sehat dari Kementerian PU. Pada tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 40 persen, tetapi masih ada banyak tantangan: layanan hanya mencapai sekitar 30 persen dari masyarakat kota; jumlah pengeluaran tidak memadai untuk memelihara dan memperluas infrastruktur dan layanan; dan hibah dari pemerintah pusat, yang sebelumnya menjadi sumber pembiayaan utama, menurun karena adanya desentralisasi. Indonesia dapat memenuhi komitmennya berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium UNDP apabila PDAM menerapkan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dan meningkatkan praktik keuangan dan operasionalnya. Dengan demikian, PDAM akan dapat mengakses pendanaan melalui peningkatan efisiensi; Kemitraan Pemerintah Swasta; rasionalisasi tarif; dan pinjaman komersial yang difasilitasi oleh Perpres no. 29/2009, yang bertujuan agar PDAM dapat mengakses pinjaman investasi dari bank komersial dengan memberikan jaminan pinjaman pemerintah pusat. Prakarsa Infrastruktur Indonesia mengelola proyek yang didanai AusAID untuk membantu PDAM dalam meningkatkan kemampuan mengakses perbankan, dan telah mulai melakukan upaya ini bersama 14 PDAM. Tulisan ini berfokus pada kerjasama dengan tiga PDAM, di Lombok Timur, Kudus, dan Tasikmalaya. PDAM tersebut telah mengembangkan Rencana Usaha Lima Tahun yang komprehensif, mencapai status full cost recovery, melaksanakan GCG, memperoleh perijinan, mengembangkan rancangan rekayasa awal serta AMDAL, dan melakukan survei tentang permintaan. Mereka sedang menunggu persetujuan Kementerian Keuangan untuk menandatangani perjanjian pinjaman komersial dengan perbankan nasional dan daerah. Pelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan PDAM antara lain bahwa sokongan, komunikasi dan koordinasi di antara semua pemangku kepentingan, khususnya Pemda, sangat penting. Masalah teknis yang terkait dengan standarisasi survei permintaan, perijinan, dan pencatatan aset harus dianggap penting, demikian pula keterlibatan dan penyampaian informasi kepada bank secara reguler dalam sepanjang proses pemberian pinjaman harus dilakukan. Peningkatan cakupan program ini ditujukan agar lebih banyak PDAM dapat meminjam dana untuk berinvestasi dalam pemasangan jaringan dan sambungan baru, sehingga akan dapat memainkan peran yang sangat penting dalam peningkatan akses kepada layanan air minum di Indonesia.

5

Prakarsa Oktober 2010

Bendungan Jatiluhur

Atas perkenan Hullie

Mengusulkan Jalur Pipa JatiluhurJakartaTanpa adanya sebuah intervensi, Jakarta akan dihadapkan pada kemungkinan kekurangan air yang signifikan di tahun-tahun mendatang. Pembangunan jalur pipa JatiluhurJakarta bisa menjadi sebuah solusi. Oleh Mark SwitkowskiTantangan infrastruktur yang dihadapi Jakarta adalah gejala umum dari suatu perekonomian yang tumbuh pesat di pasar yang terus berkembang. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan ambisi dan tekadnya untuk mengatasi tantangan tersebut, dan khususnya keinginan untuk memberikan akses yang lebih baik bagi masyarakat kepada air ledeng bermutu tinggi. Dalam skenario terburuk, dan tanpa adanya intervensi yang signifikan, dalam kurun waktu tiga tahun, diperkirakan Jakarta dan wilayah sekitarnya mungkin akan bergantung secara parsial pada air yang dipasok melalui truk tangki. Ada dua penyebab utama kekurangan pasokan air: perubahan model distribusi kanal yang ada saat ini untuk melayani daerah terpencil; serta produksi dan distribusi air yang tidak mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk dan perluasan kawasan perkotaan di Jakarta. Sebagian besar penduduk di Jakarta mengalami dampak hilir dari kekurangan ini dalam kesehariannya. Banyak keluarga yang menggunakan sumur untuk memenuhi kebutuhan air mereka sehari-hari dan mengandalkan sistem saluran di Jakarta untuk membuang air limbah. Sayangnya, kedua sistem tersebut sebenarnya saling terkait erat. Air limbah rumah tangga dan air hujan terkumpul di sistem kanal dan secara perlahan meresap ke tanah resapan di sekitarnya. Air ini kemudian diambil oleh rumah tangga dan perusahaan (melalui sumur mereka masing-masing) dan digunakan untuk kegiatan seharihari. Diskusi dengan dua perusahaan air minum di Jakarta, Palyja dan Aetra, mengindikasikan bahwa jumlah total kebutuhan air saat ini adalah sekitar 775.000 m3/hari dan diperkirakan meningkat menjadi hingga hampir 900.000 m3/hari pada tahun 2012. Kedua produsen ini juga menyatakan bahwa daftar tunggu sambungan baru saat ini mencapai sekitar 60.000 rumah tangga. Kedua perusahaan ini memproduksi kurang lebih 2.000.000 m3/hari, meski dengan Air Tak Berekening (yaitu air yang hilang karena pipa bocor) sebesar lebih dari 50 persen. Akibatnya, kedua perusahaan itu hanya dapat memenuhi permintaan air sesuai dengan pasokan air yang ada. Apabila pasokan dikurangi, akibat adanya realokasi sumberdaya, maka situasi air di Jakarta dapat dengan cepat berubah dari dapat dikelola menjadi darurat. Ini adalah situasi yang sulit. Namun, ada jalan keluarnya. Melalui berbagai

6

Prakarsa Oktober 2010

prakarsa Pemerintah, dan dengan bantuan Indonesian Infrastructure Initiative (IndII) yang didanai AusAID, sejumlah opsi untuk meningkatkan ketersediaan air minum baik untuk rumah tangga maupun bisnis telah diidentifikasi. Baru-baru ini, IndII melakukan Pra Studi Kelayakan tentang kelaikan proyek Jalur Pipa Air Minum Jatiluhur ke Jakarta, yang telah diselesaikan pada bulan Maret 2010. Kajian ini dilakukan oleh sebuah konsorsium yang terdiri dari: KPMG (konsultan komersial dan keuangan); GHD (konsultan teknik); dan Makarim & Taira (konsultan hukum). Potensi untuk Memenuhi Kekurangan Bendungan Jatiluhur berlokasi sekitar 65 kilometer dari Jakarta. Waduk ini berpotensi untuk menyediakan air baku bermutu tinggi guna memenuhi setiap kekurangan pasokan minimum yang telah diantisipasi. Bendungan ini digunakan terutama untuk memasok air irigasi ke wilayah sekitarnya dan, dalam jumlah kecil, untuk penggunaan

sehari-hari. Penggunaan air dari waduk Jatiluhur pada saat ini sekitar 6 milyar m3/tahun. Kebutuhan tambahan Jakarta untuk memenuhi kekurangan pasokan air di masa depan jumlahnya kurang dari 10 persen dari kapasitas waduk Jatiluhur saat ini. Selain itu, lebih dari separuh air yang saat ini ada di waduk disalurkan ke lautan sebagai air limbah dan tidak digunakan untuk keperluan yang pasti. Tujuan utama kajian ini adalah untuk memahami mekanisme guna menjawab tiga pertanyaan berikut ini: a) Apakah dasar-dasar permintaan dan penawaran kuat? b) Di manakah lokasi yang mungkin digunakan untuk mengambil, mengolah dan mengangkut air dari bendungan Jatiluhur? c) Dalam kerangka perundang-undangan yang mana proyek ini harus dilaksanakan?berlanjut ke halaman 16

Butir - butir Utama:Tanpa intervensi yang signifikan, Jakarta dan wilayah sekitarnya mungkin akan bergantung secara parsial pada air yang diangkut truk tangki dalam waktu tiga tahun. Permintaan diperkirakan meningkat menjadi hampir 900.000 m3/hari pada tahun 2012 dan daftar tunggu sambungan baru saat ini adalah sekitar 60.000 rumah tangga. Di antara pilihan untuk mengatasi masalah ini adalah jalur pipa yang akan mengambil pasokan air dari waduk Jatiluhur, sekitar 65 kilometer dari ibukota. Pra-studi Kelayakan atas kelaikan opsi ini mengkaji dasar-dasar permintaan dan penawaran; lokasi yang mungkin digunakan untuk mengambil, mengolah dan mengangkut air; dan kerangka perundang-undangan. Beberapa pertemuan dilakukan dengan pemangku kepentingan termasuk PDAM, instansi pemerintah, dan tenaga profesional air minum. Kajian ini menyimpulkan bahwa ada tiga bidang utama yang harus dipertimbangkan: pertimbangan komersial, teknis dan kerangka hukum. Dari sudut pandang komersial, setidaknya ada 38 pemangku kepentingan yang mungkin terkena akibat yang harus dilibatkan, dan tidak ada satu otoritas pun yang menyatakan bertanggung jawab atas proyek ini. Kinerja pemangku kepentingan yang beragam; distribusi, kualitas dan perawatan pipa yang beragam; investasi yang dibutuhkan namun tidak dianggarkan; dan penentuan tarif juga merupakan masalah yang akan perlu diatasi. Beberapa variabel teknis utama adalah lokasi instalasi pengolahan air, pemilihan berbagai opsi rute, dan titik akses ke waduk. Dari sejumlah variabel itu, terdapat 36 kemungkinan konfigurasi; ada lebih banyak lagi apabila variabel seperti opsi pentahapan juga disertakan. Semua memiliki kekurangan dan kelebihan. Dari sudut pandang kerangka hukum, perjanjian konsesi yang ada saat ini perlu direvisi. Selain itu, terdapat ketidakjelasan tentang struktur kepemilikan akhir dari jalur pipa tersebut. Jalur pipa ini memiliki landasan pertimbangan yang kuat. Kajian ini merekomendasikan bahwa apabila jalur pipa ini dibangun, sejumlah variabel tersebut perlu dirampingkan hingga menjadi serangkaian hal yang paling esensial; pemangku kepentingan harus dilibatkan untuk menyesuaikan harapan; studi kelayakan teknis, keuangan dan hukum secara menyeluruh harus dilakukan; usulan rencana bisnis yang kuat dan komprehensif harus dikembangkan untuk dipresentasikan kepada para investor.

7

Prakarsa Oktober 2010

Sebuah organisasi berbasis-masyarakat berkumpul di Jawa Barat.

Atas perkenan ESP

Memanfaatkan Kekuatan Organisasi Berbasis-MasyarakatLayanan air bersih yang dikelola oleh organisasi berbasis-masyarakat (CBO) dapat menjangkau masyarakat pedesaan yang tidak dapat dijangkau oleh PDAM, namun untuk memanfaatkan potensinya mereka harus memformalkan kegiatan operasi mereka dan mengakses kredit komersial langkah-langkah yang membawa tantangan yang berat. Oleh Jemima SyLebih dari separuh (52 persen) dari 64.000 desa di Indonesia tidak memiliki akses kepada sistem air bersih yang baik. Jangkauan sistem air bersih PDAM untuk memberikan layanan air ke kawasan ini kurang memadai. Sejak tahun 1990an, Pemerintah Indonesia telah mendorong pembentukan Organisasi Berbasis Masyarakat (CBO) sebagai sarana menyediakan layanan air bersih kepada masyarakat desa. Keberhasilan CBO menunjukkan bahwa mereka memiliki peran yang berkesinambungan dalam memperluas jaringan agar masyarakat mendapat akses air bersih. Sekarang adalah waktu yang tepat membantu CBO melanjutkan upaya untuk mencapai potensinya secara penuh dalam memberikan layanan air bersih ke pedesaan. Namun, upaya ini merupakan tantangan yang cukup kompleks serta tidak dapat dianggap remeh. Apakah CBO? CBO umumnya adalah kelompok masyarakat daerah bersi fat informal. Kelompok ini terbentuk seiring dengan kehadiran proyek bantuan pengelola sistem pasokan air bersih yang dibangun oleh pemerintah atau donor. CBO bertindak sebagai tim operasional dan manajemen. Sebagian besar CBO di Indonesia dibentuk pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, sebelum adanya kerangka peraturan. Peraturan Pemerintah yang memberikan pengakuan hukum keberadaan CBO serta kegunaan kelompok ini adalah PP no. 16/2005. Sebuah kajian Program Air Bersih dan Sanitasi (WSP) Bank Dunia sehubungan dengan keberadaan CBO di lima kabupaten di di Jawa Barat dan Timur 1 menemukan bahwa CBO memberikan layanan dengan jangkauan luas yang mencakup jumlah rata-rata 1.200 orang (sekitar 260 rumah tangga) per organisasi. Di lima kabupaten yang menjadi bagian kajian saja, CBO melayani air untuk sampai kepada 800.000 orang, atau sekitar 7 persen dari jumlah total penduduk di kabupaten-kabupaten tersebut. Di Blitar, CBO melayani rumah tangga tiga kali lebih banyak dari yang dilayani PDAM. CBO menawarkan rasa memiliki kepada masyarakat setempat dan hal ini dapat mendukung kegiatan operasi dan perawatan yang lebih baik. Apabila CBO berkinerja sangat baik, maka CBO dapat mengoperasikan infrastruktur agar mendapatkan keuntungan serta dapat memperluas layanan. Selain itu, kajian Bank Dunia

8

Prakarsa Oktober 2010

menegaskan bahwa CBO mendapat kepercayaan dari pelanggan, dimana mereka setuju bahwa CBO responsif terhadap pelanggan dalam mengelola perbaikan, penagihan dan pengumpulan pembayaran, serta menyimpan dana secara jujur. Banyak orang yang saat ini belum pelanggan menginginkan layanan serupa dan cara yang ditempuh mereka untuk mendapatkan layanan ini dilakukan baik melalui pembayaran penuh terhadap biaya (50 persen dari responden) atau dengan cara cicilan (80 persen). Masyarakat bersedia untuk membayar air yang disediakan oleh CBO. WSP menyodorkan sebuah skenario bagi pelanggan untuk mendapatkan layanan air bersih bertekanan baik serta yang dapat diandalkan. Untuk

itu, WSP melakukan survei seberapa besar masyarakat akan membayar untuk layanan seperti ini. Hasil survei 2 itu menemukan bahwa pelanggan bersedia membayar antara 30 hingga 300 persen lebih besar dari tarif air bersih yang saat ini berlaku. Kebutuhan dan Peluang Namun, penelusuran yang sama memunculkan temuan adanya ketidakpuasan pelanggan sehubungan dengan tekanan dan keandalan layanan pasokan air yang ada saat ini; lebih dari 60 persen responden melihatnya sebagai sebuah problem. Air dengan tekanan yang baik serta dapat diandalkan umumnya menurun kapasitasnya karena dua alasan. Pertama, masyarakat yang dikenai biaya tetap menggunakan air secara kurang bijaksana. Kedua, CBO telah

menambahkan sambungan, sehingga tingkat penggunaan air meningkat, tanpa melakukan penyesuaian struktural yang diperlukan seperti mengganti ukuran pipa dan meningkatkan kapasitas pompa. CBO jelas memiliki baik peluang maupun kebutuhan untuk memperluas layanannya. Sebagian besar CBO (67 persen) mendapat penghasilan yang lebih besar dari pengeluarannya sehingga dapat memiliki modal tambahan. Rasio biaya terhadap pendapatan dapat mencapai 40 persen dalam beberapa kasus. Maka, dengan menggunakan ketentuan komersial untuk pembiayaan investasi, CBO memiliki kapasitas pinjaman sebesarberlanjut ke halaman 17

Butir - butir Utama:Sejak tahun 1990-an, Organisasi Kemasyarakatan (CBO) telah mengelola sistem pasokan air bersih yang dibangun oleh pemerintah atau donor, yang memperluas cakupan layanan dan menunjukkan bahwa CBO memiliki peran yang berkesinambungan dalam perluasan akses kepada air bersih. CBO menawarkan kepemilikan lokal kepada masyarakat dan mendapatkan kepercayaan dari pelanggan. Masyarakat bersedia membayar untuk mendapat layanan sambungan air, dan jika ditawarkan mutu dan keandalan bersedia untuk membayar lebih dari yang mereka bayar sekarang. Sebagian besar CBO memiliki kemampuan meminjam sebesar Rp 12 juta sampai Rp 400 juta, namun tidak memiliki akses kepada kredit komersial. Untuk mendapatkan kredit, dan mempersiapkan perluasan layanan, CBO harus memprofesionalkan, memformalkan, mendaftarkan diri sebagai badan hukum, dan mendapatkan izin usaha. Proyek yang bertajuk Peningkatan Layanan Air Ledeng Berbasis Masyarakat Dengan Dukungan Sektor Swasta membantu CBO untuk beralih dari organisasi informal generasi pertama menjadi usaha yang dikelola secara profesional yang memilki kemampuan untuk mengakses kredit komersial dan mengawasi perluasan infrastruktur dan layanan. Dengan model ini, CBO dapat membiayai investasi tambahan melalui pasar, dan kemudian menerima imbalan berbasis keluaran untuk kinerjanya. Sejauh ini, 30 CBO dari Jawa Timur dan Barat telah berpartisipasi dalam peningkatan keterampilan melalui proyek ini, dengan menggunakan perangkat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, peningkatan pengetahuan tentang desain rekayasa dan perawatan, serta menerapkan sistem pencatatan dan pelaporan keuangan. Pada tahap berikutnya, partisipasi sektor swasta akan diterapkan. Beberapa opsi yang dipertimbangkan sebagai cara untuk menciptakan kemitraan dengan sektor swasta mencakup dukungan teknis berbasis biaya, kontrak dukungan manajemen, atau pengaturan pembiayaan bersama sektor swasta/mitra investasi. Proyek Generasi Kedua menghadapi tantangan yang sangat sulit. Salah satu masalah mendasar adalah cara bagi asosiasi informal untuk berubah menjadi formal, langkah yang mungkin tidak masuk akal bagi kelompok yang telah sukses berfungsi secara informal selama bertahun-tahun. Selain itu, ada pula kesulitan untuk memformalkan perlakuan atas modal/aset awal yang dipegang oleh masyarakat. Upaya untuk mendapatkan izin dan lisensi yang sesuai mungkin akan menghadapi hambatan birokratis. Meski ada banyak manfaat dari upaya memformalkan, semua upaya untuk membantu CBO harus mengakui kesulitan tersebut.

9

Prakarsa Oktober 2010

Keran air yang bocor di Maumere menunjukkan perlunya perawatan dan perbaikan infrastruktur.

Atas perkenan PDAM Maumere

Tata Kelola yang Lebih Baik untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik PulaSebuah pendekatan baru dalam perbaikan penyediaan infrastruktur dan layanan yang menitikberatkan pada upaya mendorong pemerintah daerah dan PDAM untuk mengembangkan tujuan dan komitmen bersama Oleh Jim CoucouvinisProyek Tata Kelola Air Minum Nusa Tenggara mengambil sebuah langkah pendekatan yang unik dalam memperbaiki kinerja PDAM: dengan berupaya meningkatkan kinerja PDAM tanpa memberikan bantuan secara langsung. Mengapa sebuah pendekatan baru diperlukan? Alasannya adalah bahwa peraturan yang mendasari desentralisasi di Indonesia telah mengubah cara Pemerintah Daerah (Pemda) mengatur dan menyediakan layanan. Lembaga bantuan pembangunan dan bank multilateral pun mau tak mau harus memikirkan ulang kerangka kerja bantuan mereka. Metode yang diterapkan pada era pra-desentralisasi tak lagi relevan. Tantangannya adalah mencari strategi yang sesuai dengan realitas yang baru ini. Kawasan Nusa Tenggara telah menerima bantuan yang cukup besar dari AusAID dan lembaga donor lainnya selama lebih dari 20 tahun. Di masa lalu, program ini secara langsung mengatasi masalah sektor air minum. Bentuk bantuan biasanya mencakup perluasan fasilitas sistem air minum, pelatihan staf PDAM, dukungan untuk sistem akuntansi dan penagihan air minum, maupun intervensi sejenis lainnya. Dalam konteks desentralisasi, perbaikan seperti ini terbukti sulit untuk dilanjutkan dan PDAM pun cenderung lambat dalam melakukan perbaikan lebih lanjut secara internal. Dalam tatanan yang ada sekarang, faktor utama yang mempengaruhi kinerja PDAM adalah hubungannya dengan para pemangku kepentingan (Pemda, masyarakat, dan DPRD) serta pengaturan tata kelolanya dengan kata lain, lingkungan eksternal. Kami percaya bahwa penitikberatan pada lingkungan eksternal adalah kunci dalam mewujudkan perbaikan yang berkesinambungan pada sektor air minum dibawah pemerintahan yang terdesentralisasi. Apabila pendekatan ini berhasil, Proyek Tata Kelola Air Minum Nusa Tenggara akan membuka jalan menuju perubahan yang signifikan dalam penyediaan layanan air minum oleh Pemda. Guna memahami bagaimana hal ini dapat terwujud, terlebih dahulu kita harus melihat faktor apa yang telah menghambat kinerja sektor air minum tersebut. Statistik secara gamblang menunjukkan kepada kita indikasi betapa tidak sehatnya sektor ini. Persentase sektor rumah tangga di daerah perkotaan yang mendapat

10

Prakarsa Oktober 2010

Gambar 1: Penurunan Layanan Air Minum Setelah DesentralisasiRumah tangga perkotaan yang dilayani45% 40% 35% 30% 25%

layanan air minum turun dari 40 persen di tahun 1997 menjadi 31 persen di tahun 2006 (lihat Gambar 1). Investasi penyediaan air minum bukan hanya gagal dalam mengimbangi laju pertumbuhan kota, bahkan merosot tajam sejak desentralisasi. Sebelum adanya pengaturan desentralisasi, pemerintah pusat bertanggung jawab atas sebagian besar1 pembiayaan dan pembangunan infrastruktur penyediaan air minum di tingkat daerah. Setelah krisis moneter tahun 1997 dan dilanjutkan dengan adanya desentralisasi, investasi pemerintah pusat terhenti, namun Pemda tidak lantas mengambil langkah apa pun untuk menutup kesenjangan investasi sebagaimana yang seharusnya dilakukan. Sebelum tahun 1997, investasi tahunan oleh pemerintah pusat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat investasi diberlanjut ke halaman 20

1992

1994

1996

1998

2000

2002

2004

Sumber: Badan Pusat Statistik

Butir - butir Utama:Proyek Tata Kelola Air Minum Nusa Tenggara memberikan dukungan kepada PDAM dengan cara membantu mereka memperbaiki lingkungan eksternalnya, khususnya yang berkenaan dengan cara berinteraksi antar Pemda dan PDAM. Pendekatan baru ini diperlukan karena desentralisasi telah mengubah tata kelola air minum. Sebelumnya, Pemerintah pusat memainkan peran yang cukup signifikan dalam pembiayaan dan pembangunan infrastruktur air minum, namun karena kontribusi tersebut menurun, Pemda belum mengambil alih. Pemda enggan berinvestasi secara langsung dalam PDAM, karena yakin bahwa investasi tak akan menghasilkan perbaikan layanan. Beberapa PDAM yang beroperasi berhasil meninggalkan pola pikir ini dan telah membina hubungan antara Pemda, DPRD, dan Masyarakat. Benang merah keberhasilan ini adalah rasa percaya dari Pemda terhadap PDAM; kesadaran pemerintah dan PDAM tentang kebutuhan masyarakat; dialog terbuka dengan DPRD; dan manajemen PDAM melalui tujuan yang disepakati bersama. Indonesia Infrastructure Initiative bekerja di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat untuk membangun kembali kondisi tersebut dan mendorong terciptanya kondisi yang diperlukan PDAM untuk mencapai keberhasilan jangka panjang. Kegiatan Tata Kelola Air minum NTT-NTB terdiri dari 2 tahap: Tahap 1 adalah identifikasi eskpektasi para pemangku kepentingan dan penyusunan kesepakatan pemangku kepentingan, sedangkan Tahap 2 adalah pelaksanaan komitmen. Tahap 1 adalah sebuah proses berulang dimana PDAM dan Pemda menyampaikan sudut pandangnya dan sepakat akan adanya tindakan dari kedua belah pihak yang membangun rasa percaya dan meningkatkan operasi melalui suatu kontrak sosial untuk tata kelola air minum. Kegiatan ini tidak berhubungan secara langsung dengan DPRD--karena hal ini akan dilakukan oleh Pemda, namun keterlibatan masyarakat dibina melalui pembentukan Badan Pengawas PDAM yang aktif dan transparan. Puncak dari Tahap 1 adalah sebuah lokakarya yang dihadiri para pemangku kepentingan dari 12 Pemda dan PDAM serta membuahkan persetujuan langkah selanjutnya oleh kedua belah pihak. Pemda mengajukan proposal untuk tindakan lebih lanjut dan serta memberikan bantuan pelaksanaan kontrak sosial; lima Pemda terpilih, dan Tahap 2 telah dimulai ketika artikel ini diterbitkan.

2006

11

Prakarsa Oktober 2010

SIAP UNTUK REFORMASI dari halaman 5

di seluruh Indonesia untuk meningkatkan dan mempercepat penyediaan layanan air minum. Kegiatan itu dikelola oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung pencapaian MDGs hingga tahun 2015, dan meningkatkan penyediaan layanan air minum untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (diperkirakan sebesar 60 liter/orang/hari). Upaya ini sesuai dengan Perpres No. 29/2009 (PERPRES 29) yang tujuannya adalah agar PDAM dapat mengakses pinjaman investasi dari bank umum dengan memberikan jaminan pinjaman dari pemerintah pusat yang memfasilitasi pemberian biaya pinjaman bersubsidi. (Lihat boks, Kerangka Peraturan untuk Penyediaan Air minum). Melalui kegiatan ini, IndII memberikan bantuan teknis kepada beberapa PDAM untuk memastikan bahwa

PDAM memiliki kemampuan untuk: Mengembangkan Desain Rekayasa Awal serta UKL-UPL (analisis dampak lingkungan). Melakukan Survei Permintaan Riil (Real Demand Survey atau RDS) bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat. Menganalisis kebutuhan CAPEX, mengembangkan tarif Full Cost Recovery (FCR), dan menentukan jumlah pinjaman komersial yang tepat. Memperoleh Surat Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air (SIPPA) dari Ditjen Sumber Daya Air. Mengembangkan Rencana Usaha yang sesuai dengan persyaratan pemberi pinjaman komersial untuk mendapatkan pinjaman investasi guna mempercepat penyediaan infrastruktur.

Merancang rezim GCG dan rencana bertahap untuk pelaksanaannya. Menyampaikan hasil rancangan kepada DJCK dan dalam lokakarya di tempat. Mendapatkan Kesepakatan Menyeluruh dari Kementerian Keuangan sebagaimana ditetapkan dalam PERPRES 29. Mengatur pembiayaan utang bersubsidi dari sektor Perbankan Nasional. Menyeleksi PDAM yang akan berpartisipasi dalam kegiatan bersama IndII terbukti sulit karena berbagai hambatan seperti keengganan Pemda untuk beralih ke tarif FCR, keterbatasan kapasitas manajemen PDAM, tumpang tindih dengan upaya lembaga donor lain, dan ketidakpastian tentang jumlah aset yang

Kerangka Peraturan untuk Penyediaan Air MinumUU no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah mengalihkan kendali atas investasi daerah kepada pemda dan PDAM. Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 43/2000 menetapkan pedoman bagi perusahaan daerah seperti PDAM untuk bekerja sama dengan pihak ketiga. Untuk mengatasi keterbatasan keuangan dan kebutuhan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, Pemerintah membentuk sebuah komite nasional yang bertugas untuk mengkoordinasikan reformasi dan meminimalkan hambatan. UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dibuat untuk menggantikan UU no. 11/1974 tentang Pengairan. Selanjutnya, Pemerintah RI juga membuat sejumlah peraturan penting terkait dengan penyediaan air minum, seperti PP no. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, dan Perpres no. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur, termasuk pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Dua Peraturan Menteri penting juga dibuat: Peraturan Menteri PU no. 294/PRT/M/2005, tentang pedoman pengembangan dan penyediaan SPAM; dan Peraturan Menteri Perdagangan no. 23/2006 tentang Pedoman Teknis dan Prosedur Penyesuaian/Pengaturan Tarif Air Minum. Sebagai pedoman untuk PDAM dalam membuat rencana induk, desain, dan AMDAL, telah dikeluarkan dua peraturan Menteri PU (18/PRT/M/2007 dan 10/PRT/ M/2008.) Untuk mempercepat penyediaan air minum di daerah perkotaan melalui PDAM, Kementerian Keuangan mengeluarkan peraturan no. 120/PMK.95/2008. Peraturan ini mengharuskan PDAM untuk memasukkan restrukturisasi utang dalam rencana usahanya tahun 20092014, dengan denda apabila tidak dipatuhi. Peraturan ini juga menyatakan bahwa pelaksanaan rencana usaha PDAM harus diaudit dan dinilai oleh BPKP enam bulan sekali. Baru-baru ini, Perpres no. 29/2009 dikeluarkan untuk memfasilitasi rencana investasi jangka menengah PDAM dengan mensubsidi (mengurangi) suku bunga pinjaman bank sebesar 5 persen, dan memberikan jaminan kepada bank untuk menutup setiap kredit macet. Perpres ini diikuti oleh Peraturan Menteri PU no. 21/PRT/M/2009, yang menetapkan pedoman tentang kelayakan investasi dan pinjaman, dan Peraturan Menkeu no. 229/2009, tentang pedoman dan prosedur pelaksanaan Perpres No. 29/2009.

12

Prakarsa Oktober 2010

sebenarnya yang dikuasai oleh beberapa PDAM. Akhirnya, 14 PDAM dianggap cukup potensial untuk dipilih. Tulisan ini berfokus pada upaya yang telah dilakukan bersama dengan tiga dari PDAM tersebut, yakni di Lombok Timur, Kudus, dan Tasikmalaya. Ketiga PDAM tersebut telah menyelesaikan proses dan mengembangkan Rencana Usaha Komersial lima tahunan menyeluruh, mencakup tarif FCR; penerapan rezim GCG; perolehan izin SIPPA; pengembangan desain rekayasa awal serta UKLUPL yang harus dipersiapkan; pelaksanaan RDS; dan sedang dalam proses meminta persetujuan Kementerian Keuangan untuk menandatangani perjanjian pinjaman dengan perbankan nasional dan daerah. Pinjaman tersebut akan mempermudah perluasan sistem retikulasi yang telah ada untuk melayani lebih banyak rumah tangga dengan air minum yang andal dan berkualitas baik. Tabel 1 menunjukkan dampak yang diharapkan dari perluasan infrastruktur di ketiga lokasi tersebut. Tujuan utama adalah agar PDAM yang berpartisipasi dapat mencapai status sehat dalam semua aspek baik finansial, manajemen, tata kelola, maupun teknis. Dengan kemampuan baru mengakses perbankan ini, mereka dapat melakukan pinjaman untuk berinvestasi, sehingga mereka dapat meningkatkan infrastruktur, cakupan, dan kualitas pasokan airnya. Manfaat yang diharapkan antara lain pengembangan kapasitas PDAM (baik di tingkat individual maupun satuan kerja); akses air minum yang lebih baik untuk masyarakat; peningkatan dalam kebijakan utama terkait dengan kegiatan usaha PDAM seperti pelaksanaan kebijakan penentuan tarif yang baik; pengembangan kemitraan baru dengan AusAID (melalui Prakarsa Air dan Sanitasi Program Hibah Air Minum1) dan perbankan nasional; serta hubungan usaha yang lebih kuat antara PDAM dan para pemangku kepentingan utamanya (termasuk Gubernur, Walikota/Bupati, DJCK, dan DPRD). Membina Hubungan yang Kuat Sejauh ini, 11 PDAM lain yang bekerjasama dengan IndII telah menyusun Laporan Awal, Rencana Usaha, dan melakukan analisis GCG, dan sedang berupaya untuk mengatasi permasalahan finansial dan teknis utama yang mereka hadapi dan merekomendasikan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja. Untuk langkah berikutnya, PDAM tersebut harus membina hubungan baru dengan berbagai pihak, termasuk bank umum dan/atau daerah, dan meningkatkan

hubungan yang ada dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, DPRD, Bappeda, dan DJCK. Diperlukan dukungan dari para pemangku kepentingan tersebut untuk mengembangkan dan melaksanakan aturan tarif FCR dan mendapatkan pinjaman bank untuk upaya perluasan usaha. Kerjasama antara manajemen PDAM dan para pemangku kepentingan harus dikembangkan dalam kerangka prinsip GCG. Badan Pengawas harus terus memantau fungsi manajemen, menentukan target, dan memberikan arahan strategis dan bimbingan yang diperlukan. Walikota/Bupati dan DPRD harus membahas dan mengesahkan peraturan daerah (perda) yang diperlukan untuk memberikan pedoman operasional yang jelas untuk manajemen PDAM dan mendukung rencana investasi. Full Cost Recovery Sangat Penting Tak mudah untuk menggambarkan pentingnya skema tarif air minum yang baik guna memastikan kesehatan PDAM. Saat ini, baru PDAM di Lombok Timur, Kudus, dan Tasikmalaya yang telah mencapai status FCR. Besarnya belanja modal yang diperlukan untuk peremajaan pipa yang sudah tua dan perluasan, membuat PDAM harus menghasilkan aliran kas yang positif untuk membiayai kewajiban pembiayaan tambahan. Oleh karena itu, skema penyesuaian tarif air minum yang sehat harus diusulkan. Para pemangku kepentingan harus memiliki disiplin dan komitmen untuk mempertahankan FCR melalui penyesuaian tarif sambil terus memastikan keterjangkauannya. Mungkin harus diterbitkan Perda yang baru untuk memastikan kerangka kerjaTabel 1: Perkiraan Dampak dari Perluasan Infrastruktur Perkiraan Dampak Lokasi Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat Kabupaten Kudus Jawa Tengah Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat Sambungan Rumah 24.000 Orang yang Terlayani 120.000

28.000 30.000

140.000 150.000

13

Prakarsa Oktober 2010

SIAP UNTUK REFORMASI dari halaman 13

tersebut, dan ini memerlukan komitmen politik yang solid. Buyin (penentuan prasyarat secara bersama-sama) yang kuat dari para pemangku kepentingan merupakan prasyarat rencana investasi yang sukses. Selain itu, perlu ada komitmen untuk mengurangi atau menghapuskan praktik penarikan dividen yang tidak perlu dan tidak berkaitan dari PDAM untuk memenuhi peraturan Kementerian Dalam Negeri, sampai rasio cakupan air minum mencapai 80 persen dari jumlah penduduk.

pelajaran dan identifikasi risiko yang dapat diatasi ketika melaksanakan upaya itu: Dukungan dan pengesahan politis dari pemerintah pusat dan pemimpin daerah meningkatkan penerimaan upaya reformasi dalam tubuh perusahaan air minum ini, peningkatan tarif air, dan proses perijinan air minum. Koordinasi di antara para pemangku kepentingan dan PDAM sangat penting.

bidang yang dianggap kurang akurat. Ketidakakuratan teknis dapat timbul karena perubahan lokasi jalur pipa; bagian-bagian sarana pengolahan air atau waduk; pasokan air yang tidak sesuai dengan SIPPA, dll. Untuk meminimalkan risiko ini, Pemda harus memastikan bahwa izin lokasi telah dikonfirmasikan, SIPPA telah diterbitkan oleh Ditjen Sumber Daya Air, dan pencatatan aset dibuat secara akurat oleh PDAM. Untuk mendapatkan komitmen dari Walikota/Bupati dan DPRD untuk pembiayaan utang melalui PERPRES 29 memerlukan proses yang lamban dan lama. Agar tugas berat ini cepat selesai, program sosialisasi ketentuan PERPRES 29 harus dilakukan bersama Pemda dan DPRD sebelumnya. Untuk memfasilitasi kesepakatan pendanaan dengan bank pemberi pinjaman, pelibatan dan pembelajaran kepada bank secara reguler sepanjang proses pemberian pinjaman harus dilakukan. Pengalaman tersebut berlaku tidak hanya untuk PDAM yang bekerjasama dengan IndII saat ini, namun secara umum untuk semua PDAM yang ingin memperkuat kegiatan operasinya dan mendapatkan status sehat. Dengan adanya perhatian kepada hal-hal ini, dengan penekanan khusus pada GCG, keterlibatan pemangku kepentingan, dan FCR, PDAM akan siap untuk mencapai target Pemerintah Indonesia untuk peningkatan dan perluasan layanan

Kemajuan akan mengharuskan PDAM untuk menjalin hubungan baru.Sebagai perusahaan daerah, PDAM tunduk kepada perda yang berlaku, yang telah ditetapkan dan disahkan oleh DPRD dan Walikota/Bupati. Terkait dengan penentuan dan pelaksanaan kebijakan, terdapat dua masalah penting: Walikota/Bupati dan DPRD harus mengkaji ulang setiap perda tentang struktur organisasi PDAM yang berisi laporan oleh internal auditor kepada badan pengawas. Rincian kebijakan dan prosedur untuk kegiatan usaha dan kendali internal yang dikembangkan oleh manajemen PDAM harus sesuai dengan perda yang berlaku. Pelajaran yang Diperoleh, Risiko yang Dapat Dihindari Berbagai pelajaran dan indentifikasi risiko dapat dipetik dalam pengalaman PDAM: Bekerja dengan PDAM telah menghasilkan Rapat secara berkala dan penyampaian informasi terakhir dapat membantu memastikan komunikasi yang efektif. PDAM harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih agresif dan terfokus pada target secara lebih baik untuk: mensosialisasikan program PERPRES 29; melakukan pendekatan pada Bank Pembangunan Daerah sebagai sumber pinjaman alternatif, mendapatkan sokongan politik dari para pemangku kepentingan (terutama dari Pemda); pengembangan kapasitas melalui lokakarya, seminar, diskusi tatap muka, dan pelatihan lainnya. Data, analisis, dan pendekatan kepada RDS sangat berbeda untuk setiap daerah. Karena semua upaya perencanaan berikutnya akan didasarkan pada RDS, survei ini harus disesuaikan dan distandarisasikan dalam bidang-

14

Prakarsa Oktober 2010

PDAM Lombok Timurair minum untuk masyarakat Indonesia. nCATATAN 1. Program Hibah Air Minum adalah prakarsa Pemerintah RI yang didukung oleh AusAID yang bertujuan untuk menyediakan air minum kepada masyarakat miskin dengan menawarkan hibah insentif kepada PDAM jika membuat sambungan baru. Agar dapat menerima Hibah Air Minum, PDAM harus mendapat peringkat audit keuangan yang sehat atau disetujui untuk ikut dalam program restrukturisasi utang, memiliki kapasitas produksi air yang belum digunakan, dan memiliki rencana pengelolaan air minum yang berkesinambungan.

Sekilas tentang PDAM:

Lombok Timur adalah sebuah daerah kering dengan curah hujan yang rendah. PDAM setempat belum dapat memberikan layanan di wilayah selatan kabupaten ini. Warga di sana harus membeli air dalam jerigen dengan harga yang relatif mahal yaitu Rp 50.000 per meter kubik. PDAM Lombok Timur memiliki rekam jejak yang bagus dalam ketepatan waktu pelunasan pinjaman dari Kementerian Keuangan, dan telah menerima hibah dan insentif dari Pemerintah RI sebagai pengakuan atas kinerjanya yang baik. Sebagai peserta kegiatan reformasi keuangan PDAM IndII, PDAM Lombok Timur telah membuat rencana usaha yang memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam PERPRES 29, dan hal ini akan menghasilkan peningkatan jumlah sambungan sebanyak 24.000 dalam lima tahun. Pemda telah menyetujui usulan jadwal kenaikan tarif selama lima tahun mendatang, dan tarif yang berlaku saat ini telah mencapai full cost recovery. Sumber air baku bagi PDAM untuk perluasan ini adalah mata air Trengwilis, yang terletak di kaki Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 669 meter dari permukaan laut dan debit air sebesar 200 liter per detik. Ditjen Sumber Daya Air memulai pembangunannya pada tahun 2010 untuk mengalirkan air ke selatan dengan menggunakan sistem gravitasi. Dengan kapasitas tambahan ini, PDAM Lombok Timur akan memperluas cakupan layanan dari 8,4 persen pada tahun 2008 menjadi 16,7 persen dari populasi di kabupaten ini pada tahun 2014. Layanan 24 jam akan diberikan dan tingkat kebocoran akan dikurangi. Sambungan baru akan meningkatkan pendapatan dan mengubah PDAM Lombok Timur dari PDAM skala kecil menjadi PDAM skala menengah. Peningkatan tersebut memerlukan investasi hampir sebesar Rp 79,6 milyar, yang dibiayai melalui dana alokasi, hibah dan insentif dari pemerintah pusat dan daerah; sumberdaya PDAM, serta pinjaman dari perbankan nasional yang besarnya kurang lebih Rp 11,2 milyar. Pinjaman ini akan digunakan untuk membiayai pembangunan jaringan distribusi. Oleh Elena Va, Senior Technical Advisor untuk Kegiatan Reformasi Keuangan PDAM IndII

Tentang penulis: Ahmad Lanti telah menjadi Project Manager untuk kegiatan reformasi keuangan PDAM IndII sejak bulan Juli 2009. Beliau berpengalaman selama 34 tahun sebagai pegawai pemerintah, terutama di Kementerian PU. Beliau telah ditugaskan di sejumlah jabatan penting, seperti Project Manager untuk drainase dan pengendalian banjir di Jakarta, Direktur Kanwil Kementerian PU Jakarta, Direktur Pemukiman - DJCK, Sekretaris DJCK, Asisten Menteri PU, dan Kepala Balitbang PU. Setelah pensiun dari PNS, beliau ditunjuk oleh Gubernur Jakarta sebagai Kepala Badan Regulator Air Minum yang pertama, yang dijabatnya dari tahun 2002 sampai 2009. Beliau mendapat tiga bintang jasa dari Presiden RI (1987, 1993 dan 1998); terpilih sebagai mahasiswa peringkat ketiga selama pendidikan di Lemhanas, Kementerian Pertahanan pada tahun 1985 dan alumni berprestasi dari Asian Institute of Technology, Bangkok (terpilih pada tahun 2009). Beliau adalah salah satu pendiri East Asia Pacific Infrastructure Regulatory Forum (EAPIRF); anggota tim negosiasi pemerintah untuk IBRD dan ADB dalam beberapa kesempatan; ketua tim negosiasi Kementerian PU untuk kontrak konsesi Jakarta. Beliau menulis A Regulatory Approach to the Jakarta Water Supply Concession Contracts (Routledge, London and New York, 2006).

15

Prakarsa Oktober 2010

JATILUHUR dari halaman 7

Selama studi kelayakan ini, telah dilakukan pertemuan dengan Palyja dan Aetra, instansi pemerintah (PDAM Karawang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi; BUMN Air Minum Perum Jasa Tirta II; dan Bappenas) serta dengan para tenaga profesional air minum eksternal. Hasil pemikiran utama dari pertemuanpertemuan ini selaras dengan tiga tema besar: pertimbangan komersial, teknis, dan kerangka hukum. Pertimbangan Komersial Selama penelitian awal, ditemukan sedikitnya 38 pemangku kepentingan yang mungkin terkena akibat serta harus diajak berkonsultasi, didengar dan dilibatkan apabila perlu untuk setiap jalur pipa JatiluhurJakarta. Meski banyak konsultasi yang telah dilakukan, tidak ada satu instansi pun yang secara jelas menyatakan diri sebagai pemilik proyek ini. Selain itu, tampaknya semua pemangku kepentingan utama dari pipa JatiluhurJakarta memiliki berbagai masalah kinerja maupun masalah lainnya dalam kegiatan operasional mereka. Pipa distribusi yang ada memiliki mutu dan kondisi yang beragam di seluruh wilayah layanan. Untuk mendistribusikan air minum ke pelanggan yang telah ada (dan pelanggan baru), perlu dipasang pipa baru yang akan memerlukan investasi tambahan yang signifikan (dan, dalam banyak kasus, belum dianggarkan). Penentuan tarif juga diindikasikan sebagai salah satu pertimbangan utama. Saat ini ada anggapan bahwa harga (tarif) air ditentukan tanpa pertimbangan mendalam atas faktor-

faktor pendorong ekonomi yang secara tradisional merupakan dasar dari setiap keputusan tentang tarif. Di masa lalu, hal ini menyebabkan ketidaksesuaian harapan ketika menentukan tingkat investasi yang diperlukan dan jangka waktu pengembalian investasi. Hal ini masih menjadi risiko untuk setiap proyek mendatang. Pertimbangan Teknis Terkait dengan desain dan konstruksi jalur pipa yang diusulkan ini, ada tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiganya dirangkum dalam paragraf-paragraf berikut ini. Lokasi instalasi pengolahan air Ada empat kemungkinan, mulai dari lokasi yang terletak dekat dengan titik pengambilan hingga solusi yang berbasis di Jakarta. Opsi-opsi rute Tiga opsi telah diidentifikasi; menggunakan kanal yang ada, jalan tol atau menyusuri tanah pertanian. Titik akses waduk Ada tiga opsi dan keputusan, tergantung pada kriteria keuangan dan kriteria mutu/ kuantitas air. Meski hanya ada tiga variabel pertimbangan (dan masih ada yang lainnya, seperti opsi pentahapan, dan lain-lain), masih ada 36 opsi yang perlu dipertimbangkan. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, serta implikasi keuangan dan hukum yang berbeda. Walaupun ada tantangan yang terkait dengan mekanisme pengambilan air dari waduk, masalah yang lebih besar ada pada tingkat makro. Khususnya,

memastikan bahwa infrastruktur yang ada dapat mengatasi tekanan/muatan tambahan terkait dengan jalur pipa yang diusulkan. Pertimbangan Kerangka Hukum Selanjutnya, perjanjian konsesi yang ada saat ini perlu direvisi. Perjanjian yang ada saat ini dianggap sebagai penyebab utama adanya kekurangan infrastruktur air minum untuk Jakarta. Pertimbangan tentang kebutuhan infrastruktur saat ini dapat dimasukkan sebagai salah satu agenda dalam proses pembaruan perjanjian tersebut. Hal ini akan menempatkan pemegang konsesi dalam posisi yang kuat untuk memberikan layanan terbaik bagi pelanggannya (melalui peningkatan investasi modal) dengan memanfaatkan air yang tersedia dari waduk Jatiluhur. Selain hal-hal tersebut di atas, pertimbangan penting terakhir yang disoroti dalam kajian ini adalah ketidakjelasan tentang struktur kepemilikan akhir dari jalur pipa tersebut. Ketidakjelasan ini adalah akibat dari lingkungan perundangundangan yang relatif masih baru untuk proyek bermodel Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Selanjutnya ke Mana? Jalur pipa air dari Jatiluhur ke Jakarta yang diusulkan memiliki landasan pertimbangan yang kuat. Air baku di waduk tersedia dalam kualitas (dan kuantitas) yang baik dan Jakarta akan membutuhkan suatu sumber pasokan baru dalam waktu dekat. Selain itu, rekayasa pengangkutan air telah tersedia dan ditentukan dan Indonesia memiliki sejarah keberhasilan yang cukup panjang dalam menyediakan air minum kepada masyarakat.

16

Prakarsa Oktober 2010

JATILUHUR dari halaman 16

ORGANISASI BERBASIS-MASYARAKYAT dari halaman 9

Memahami adanya kebutuhan pembangunan jalur pipa ini, berikut ini adalah langkah-langkah yang direkomendasikan: a) Rampingkan kembali variabelvariabel jalur pipa sampai ke hal-hal yang paling esensial. b) Jalin kerja sama erat dengan instansi pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk menjamin pemahaman yang sama serta memastikan terpenuhinya harapan. c) Lakukan studi kelayakan teknis, finansial dan hukum secara menyeluruh. d) Perkuat kerangka kerja KPS (yang ada jika sesuai). e) Kembangkan sebuah usulan rencana bisnis yang komprehensif dan layak dilaksanakan dan untuk diajukan kepada Pemerintah Indonesia, lembaga-lembaga dan badan-badan perbankan internasional agar mendapat pendanaan dan kemudian pembangunan dapat mulai dilakukan. n

Gambar 1: CBO yang Memiliki Sistem Organisasional, dalam Persen

anggaran tahunan kendali kinerja eksternal insentif untuk staf pelaporan keuangan pencatatan aset33 25 17 17 17 28 22 11 11 13 17 99 26 23 25 20 13 10 25 50 38 39 39 39 59

-

-

-

3

Pesat

Cianjur

Bandung

Malang

Blitar

Lamongan

Rp 12 sampai dengan 400 juta 3 andai saja ada yang mau memberi mereka pinjaman. Tanpa akses kredit komersial, CBO memiliki pilihan terbatas untuk pembiayaan: mereka harus menunggu untuk mengumpulkan dana yang sangat lama, meminjam dengan kredit pribadi dari salah satu pimpinannya, atau meminta dari pemerintah. Tantangan untuk mendapatkan akses kepada pembiayaan ini sejalan dengan kebutuhan CBO untuk memprofesionalkan kegiatan operasi mereka. Perluasan memerlukan peningkatan praktik komersial melebihi apa yang saat ini dapat dilakukan oleh CBO. Peningkatan jumlah pelanggan, misalnya, akan memerlukan praktik penagihan yang lebih baik serta perencanaan usaha dan investasi yang berkesinambungan. Namun menurut penilaian lima bidang praktik organisasi, sebagian besar CBO tidak memiliki sistem untuk penyusunan rencana dan anggaran tahunan, kendali kinerja eksternal, insentif untuk staf (sebagian besar sukarelawan), pelaporan keuangan, dan pencatatan aset (lihat Gambar 1).

Guna mendukung kemampuan untuk mendapatkan pembiayaan utang, CBO harus meningkatkan pencatatan dan pelaporan keuangannya. Hal ini akan berguna untuk CBO dan pemberi pembiayaan yang nantinya akan memperlihatkan secara akurat status keuangan usaha tersebut. Peningkatan itu mengharuskan CBO untuk memperbaiki sistem organisasinya secara keseluruhan baik itu cara memutuskan, beroperasi, merekrut dan mempertahankan SDM, serta untuk mendapatkan dukungan dari pelanggan, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Biasanya hal ini berarti bahwa CBO harus memformalkan, mendaftarkan keberadaannya sebagai badan hukum dan memperoleh izin usaha sebagaimana mestinya. Membantu CBO untuk Berubah Proyek bertajuk Meningkatkan Layanan Air Minum Berbasis Masyarakat Dengan Dukungan Sektor Swasta saat ini membantu CBO untuk beralih dari organisasi informal generasi pertama menjadi usaha yang dikelola

Tentang penulis: Mark Switkowski adalah Penasihat Teknis untuk KPMG Indonesia, yang bekerja sebagai bagian dari Infrastructure and Projects Group. Pengalaman terkininya antara lain bantuan konsultasi korporat untuk proyek-proyek air minum, energi dan proyek infrastruktur terkait lainnya, baik di Indonesia maupun Australia.

17

Prakarsa Oktober 2010

ORGANISASI BERBASIS-MASYARAKYAT dari halaman 17

secara profesional yang memiliki kemampuan untuk mengakses kredit komersial dan mengawasi perluasan infrastruktur dan layanan. Proyek, yang secara tidak resmi dinamai Proyek Generasi Kedua, merupakan upaya bersama antara Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang didanai oleh AusAID, Kementerian PU, Bappenas dan WSP. Proyek ini melengkapi upaya Pemerintah RI untuk meningkatkan infrastruktur air bersih desa, yang tetap fokus pada tantangan awal untuk membangun sistem pasokan air bersih dan mengorganisir masyarakat untuk mengoperasikannya. Sebaliknya, Proyek Generasi Kedua menyoroti masalah peningkatan skala dari sistem awal tersebut dengan menerapkan sistem dukungan berbasis sektor swasta. Proyek ini bermitra dengan Bank Negara Indonesia (BNI) untuk meningkatkan akses CBO kepada pembiayaan investasi. Pembiayaan generasi pertama secara umum berbentuk hibah pemerintah, namun dalam model generasi kedua CBO dapat membiayai investasi tambahan melalui pasar, dan kemudian menerima imbalan kinerja berbasis keluaran. IndII memfasilitasi CBO untuk meminjam 70 persen dari dana investasi yang diperlukan dari BNI. Sisa 30 persen disediakan oleh CBO melalui ekuitasnya sendiri (20 persen) dan hibah dari IndII (10 persen). Target pelaksanaan yang mencakup kriteria operasional dan finansial ditentukan apabila CBO memenuhi kriteria tersebut pada akhir pembangunan, proyek akan membayarkan separuh dari pokok pinjaman. Dengan demikian, CBO menanggung sekurang-kurangnya 55 persen dari investasi (separuh dari 70 persen yang dipinjam, plus

bagian ekuitasnya sebesar 20 persen), dibandingkan proyek yang dibiayai pemerintah atau LSM pada umumnya, di mana 80 sampai dengan 100 persen dari biaya proyek ditanggung oleh hibah. Ketergantungan pada pendanaan komersial dan imbalan berbasis hasil dirancang untuk menerapkan disiplin pasar kepada CBO dan memastikan bahwa pembiayaan akan terus tersedia. Agar dapat turut serta, CBO harus profesional, membentuk dasar hukum yang tepat, memperoleh izin usaha, dan menunjukkan kelaikan kredit melalui tarif-tarif yang realistis, sistem penagihan yang sehat, dan manajemen yang layak. (Lihat Gambar 2 untuk melihat peta jalan yang menunjukkan perkembangan dari generasi pertama ke generasi kedua.) Sejauh ini 30 CBO dari dari Jawa Timur dan Jawa Barat telah turut serta dalam peningkatan keterampilan melalui proyek ini, dengan mempelajari cara untuk menggunakan perangkat untuk mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan, peningkatan pengetahuan mereka tentang desain rekayasa sistem penyediaan air bersih dan perawatannya, serta penerapan sistem pencatatan dan pelaporan keuangan yang dirancang oleh WSP untuk CBO. Untuk beberapa orang yang berpartisipasi, ini adalah kali pertama bagi mereka menggunakan komputer, tetapi meski materinya relatif sulit, para peserta pelatihan sangat tekun dan sangat menghargai pelajaran baru mereka. CBO yang berpartisipasi saat ini sedang merancang, bersama para insinyur proyek, komponen-komponen yang diperlukan dalam proyek investasi mereka. Pada tahap selanjutnya, partisipasi sektor swasta akan diterapkan untuk

membantu CBO dalam meningkatkan kinerja dan kelaikan kreditnya. Tahap ini akan dimulai dengan suatu kajian opsi untuk menggali pilihan-pilihan teknik pengembangan kapasitas tradisional, yang dilanjutkan dengan tes percontohan di dua kabupaten. Beberapa opsi yang dipertimbangkan sebagai cara untuk menciptakan kemitraan dengan sektor swasta antara lain dukungan teknis berbasis biaya, kontrak dukungan manajemen, atau pengaturan pembiayaan bersama sektor swasta/mitra investasi. Baik dalam tahap pengembangan keterampilan maupun tahap lanjutan untuk mendapatkan partisipasi sektor swasta, komitmen dari Pemda sangat penting apabila ingin hasilnya berkesinambungan. Peran Pemda adalah pengawasan, bukan pelaksanaan langsung. Proyek ini memperkenalkan perjanjian bagi hasil antara Pemda dan CBO, yang mencakup tolok ukur untuk pengawasan kinerja. Dialog terus dilakukan tentang peran dan tanggung jawab Pemda dalam pemberian izin dan membuka kemungkinan bagi CBO untuk berkembang melalui mekanisme sektor swasta. Dari Informal ke Formal, Tetapi Bagaimana? Proyek Generasi Kedua menghadapi tantangan yang sangat sulit. Tidak ada peta jalan yang jelas bagi CBO yang ingin beralih dari lembaga generasi pertama ke generasi kedua. Berbagai lip service dilakukan untuk mendorong kemandirian dan praktikpraktik terbaik, namun hal itu tidak serta merta diwujudkan menjadi kebijakan dan prosedur yang jelas yang dapat diambil oleh CBO. Salah satu masalah mendasar adalah cara untuk lembaga informal berubah menjadi lembaga formal. Misalnya, bagaimana anggota pendiri

18

Prakarsa Oktober 2010

Gambar 2: Dari Generasi Pertama ke KeduaTata kelola dan formalitas Rencana investasi yang layak Investasi yang dibiayai bank Pemantauan kinerja

CBO Generasi Pertama CBO Generasi KeduaProgram persiapan & peningkatan keterampilan Dukungan masyarakat untuk tarif dan kontribusi Pelaksanaan, perluasan dan peningkatan sistem-sistem perusahaan

Izin & kepatuhan

atau para pendiri badan hukum akan ditentukan? Setelah mereka diidentifikasi, apa maknanya di masa mendatang bagi setiap orang yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk perusahaan itu? Perlunya definisi, sistem dan prosedur yang tegas mungkin tidak masuk akal bagi kelompok yang telah sukses berfungsi secara informal selama bertahuntahun. Hal yang sama peliknya adalah kesulitan untuk memformalkan perlakuan atas modal/aset awal yang dikuasai oleh masyarakat sebagai satu kesatuan informal, dan dihasilkan oleh anggotanya dengan tenaga dan upaya mereka setelah investasi awal. Kerangka peraturan yang ada tentang sistem kekayaan dan akuntansi pemerintah tidak menyoroti dengan baik status kepemilikan dan hak dalam situasi seperti ini. Bahkan apabila CBO dibekali untuk mengatasi hambatan tersebut, masih ada kepelikan yang lain. Banyak CBO yang ada tidak punya izin untuk mengeksploitasi air bersih atau untuk mengoperasikan suatu sistem pasokan air bersih. Dalam beberapa kasus di mana CBO berusaha untuk melakukan hal yang benar dan mengurus perizinan, mereka

menghadapi hambatan birokrasi yang sangat besar, biaya tinggi yang tidak efisien, atau bahkan permintaan uang suap. Karena supremasi hukum tidak tegas dan CBO mungkin menghadapi kesulitan dalam melakukan pembu ku an atas pendapatan dan belanjanya, pemerintah desa mungkin mengharapkan pembayaran berdasarkan pendapatan kotor tanpa memperhitungkan biaya, bunga dan depresiasi. Dapat dipahami bahwa disinsentif tersebut mendorong CBO untuk tidak masuk atau keluar dari sistem. Keuntungan bagi CBO dari memformalkan kegiatan operasi mereka dan melaksanakan sistem organisasi yang lebih baik sangat jelas. Selain peningkatan peluang untuk memperluas dan meningkatkan layanan, struktur yang profesional dan sesuai dengan hukum memperkecil kemungkinan eksploitasi, meminimalkan paparan risiko, dan mendapatkan manajemen yang lebih terduga dan transparan atas aset yang semakin meningkat dari para anggota. CBO akan dapat melindungi diri mereka sendiri sebagai suatu usaha yang bersifat untuk, dari, dan oleh masyarakat. Akan tetapi, ironi yang ada saat ini

adalah bahwa dalam berupaya untuk mencapai tujuan tersebut, CBO menjadi rentan karena belum pernah mencapainya di masa lalu. Proyek Generasi Kedua dan setiap upaya yang serupa yang telah dilakukan harus menyadari sepenuhnya fakta ini. nCATATAN 1. Kajian dasar untuk Multi-village Pooling Project menilai 171 CBO yang merupakan 25 persen dari lebih dari 600 CBO yang ada di kabupaten Bandung, Cianjur, Lamongan, Malang dan Blitar. 2. Program Air Bersih dan Sanitasi serta Akademika, Willingness-to-Pay for Community-Based Water Supply Services in West and East Java, (2009). 3. Asumsikan rasio penutupan pelunasan utang keseluruhan, suku bunga tahunan sebesar 18 persen, dan waktu pembayaran selama tiga tahun.

Tentang penulis: Jemima Sy bekerja selama lima tahun terakhir di kantor Bank Dunia Jakarta sebagai Ahli Air Bersih dan Sanitasi. Sebagai pengacara, dia berpengalaman lebih dari 10 tahun dalam mengelola prakarsa air bersih dan sanitasi yang fokus pada reformasi kelembagaan, pengembangan wirausaha, serta pembiayaan publik dan swasta. Jema memimpin tim yang melaksanakan Proyek Generasi Kedua.

19

Prakarsa Oktober 2010

TATA KELOLA dari halaman 11

sektor tersebut saat ini. Laporan Pemda tahun 2007 memberikan indikasi bahwa Pemda hanya menginvestasikan 0,37 persen dari anggarannya sebagai modal untuk PDAM. Mengapa Pemda tidak berinvestasi di PDAM? Prioritas pembelanjaan Pemda diperuntukkan layanan yang diberikan secara langsung melalui dinas-dinas Pemda. Pengalihan dana untuk berinvestasi di PDAM amatlah jarang dipertimbangkan. Apabila hal ini ditanyakan jawaban sebagian besar walikota dan

Pelajaran dari Kisah Keberhasilan yang Langka Dari sekitar 350 PDAM di Indonesia hanya sedikit yang telah mencapai keberhasilan dalam penyediaan layanan air minum. Keberhasilan PDAM tersebut diraih melalui pembinaan kemitraan antara Pemda, DPRD, dan masyarakat. Instansi pemerintah pusat maupun lembaga pembangunan telah mengkaji keberhasilan yang langka tersebut guna memahami bagaimana dan mengapa keberhasilan itu sangat jarang terjadi. Kajian ini menemukan bahwa faktor yang umum di

berhasil memelopori reformasi tata kelola air minum. Jelas, masalah teknis dan operasional bukanlah faktor utama dalam hal ini. Kerangka Kegiatan Mulai Terbentuk Di awal kegiatannya dalam sektor air minum, Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) menerima begitu banyak permintaan bantuan dari Pemda di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). IndII, yang didanai oleh AusAID, mengirimkan tim ke lapangan guna melakukan penilaian atas proposal dan permohonan dari Pemda. IndII kemudian merumuskan suatu kegiatan sebagai tanggapan atas permohonan tersebut. Sebagaimana telah diperkirakan, tim kami mengidentifikasi berbagai macam masalah dan beragam permohonan bantuan. Namun ada satu tema yang demikian konsisten: ketiadaan rasa saling percaya antara PDAM dan pemiliknya, Pemda. PDAM mengeluhkan bahwa Pemda tidak memahami masalah yang dihadapi PDAM, sementara Pemda mengeluhkan bahwa PDAM tidak tanggap terhadap kebutuhan Pemda. Apabila kebanyakan Pemda mengalokasikan sebagian dari anggarannya untuk infrastruktur penyediaan air minum, maka kebanyakan walikota dan bupati menyalurkan hampir seluruh dananya melalui Dinas Pekerjaan Umum, yang kemudian mengalihkan pekerjaan yang telah selesai kepada PDAM untuk dioperasikan. Tampaknya, segelintir Pemda dengan prestasi gemilang ini merupakan pengecualian atas aturan tersebut: mereka menginvestasikan dana anggarannya secara langsung pada

Satu hal yang cukup menonjol adalah ketiadaan rasa saling percaya antara PDAM dan Pemerintah Daerah.bupati mengatakan bahwa PDAM adalah perusahaan komersial dan seharusnya membiayai dirinya sendiri meski undangundang sebenarnya mewajibkan Pemda memastikan bahwa rakyat mendapatkan akses kepada layanan air minum yang layak. Akan tetapi, tidak semua Pemda memiliki pola pikir seperti itu; sebagian telah menyadari kewajiban untuk menyediakan akses yang memadai bagi masyarakat sehubungan dengan penyediaan air minum. Pemda yang berpandangan beda ini adalah pelopor baru dalam pembangunan infrastruktur penyediaan air minum. Cara mereka menanggapi kebutuhan layanan air minum menjadi landasan penyusunan kegiatan kami. antara Pemda tersebut adalah cara pelaksanaan tata kelola. Yang paling penting adalah: tingkat kepercayaan Pemda terhadap PDAM; kesadaran pemerintah dan PDAM tentang kebutuhan masyarakat; dialog terbuka dengan DPRD; dan manajemen PDAM yang didasari oleh tujuan yang telah disepakati bersama. Memang diakui, kesimpulan ini merupakan suatu penyederhanaan. Akan tetapi, PDAM yang berhasil memang memiliki kesamaan kriteria tata kelola, meski terdapat pula beberapa perbedaan yang signifikan. Misalnya, tekanan masyarakat akibat kelangkaan air minum telah memaksa beberapa Pemda untuk membantu PDAM. Namun demikian, di tempat yang tidak berkekurangan air sekali pun, beberapa Pemda telah

20

Prakarsa Oktober 2010

PDAM untuk membiayai perluasan modal suatu ungkapan rasa percaya yang nyata terhadap PDAM. Sekarang kita dapat melihat bahwa kegiatan IndII mulai mengambil bentuk yang lebih nyata. Kami saat ini sedang mempertimbangkan untuk mereplikasi lingkungan eksternal yang jamak ditemukan pada beberapa PDAM yang berhasil tersebut. Membantu Pemda NTT dan NTB untuk berinteraksi dengan PDAM di wilayahnya dengan cara yang sama agar dapat memicu kondisi yang diperlukan PDAM untuk mencapai keberhasilan jangka panjang. Proses Dua Tahap Kami memulai kegiatan dengan mendefinisikan tujuan kami: membentuk pengaturan tata kelola di lingkungan eksternal PDAM yang akan menghasilkan peningkatan yang berkesinambungan (lihat Gambar 2). Kami perlu merumuskan kondisi yang diperlukan untuk membentuk lingkungan eksternal yang fungsional dan membina rasa saling percaya di antara para pemangku kepentingan. Kegiatan ini terbagi atas dua tahap yang berbeda. Tahap 1 adalah identifikasi harapan pemangku kepentingan dan perumusan kesepakatan pemangku kepentingan. Tahap 2 adalah pelaksanaan komitmen pemangku kepentingan.Gambar 2: Lingkungan Eksternal PDAMPerpres 29

Tahap 1 dimulai dengan membentuk rasa saling memahami di antara para pemangku kepentingan tentang masalah yang dihadapi oleh masing-masing pihak. Misalnya, PDAM menginginkan kenaikan tarif agar dapat beroperasi dengan lebih baik dan memperluas fasilitasnya. Pemda curiga bahwa kenaikan tarif akan digunakan untuk membiayai kenaikan gaji dan pembelian barang habis pakai, tanpa disertai dengan peningkatan layanan yang signifikan pengalaman memang menunjukkan bahwa hal ini sering terjadi. Contoh lain, PDAM mengatakan mereka harus membangun jaringan air baru untuk melayani masyarakat yang terus berkembang di luar sistem distribusi yang ada sekarang. Pemda setuju, tetapi Pemda memberi dana kepada Dinas PU, yang membangun jalur pipa dan lantas mengalihkan aset tersebut kepada PDAM. PDAM mengeluhkan hasil kerja yang buruk dan kontrak yang terlalu mahal, dan keengganan menerima aset itu sesuai harga kontrak. Ini juga suatu kejadian yang lazim. Dalam kondisi seperti ini, pembentukan rasa saling memahami dapat menjadi suatu proses yang berliku dan sulit. Masing-masing pihak cenderung bersikap jujur apabila pihak lainnya tidak ada. Secara perlahan, dengan IndII sebagai penengah dan pendengar yang baik, para pihak dapat dipertemukan untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka. Proses tersebut kemudian dapat diulangi apabila perlu. Setelah para pemangku kepentingan memahami sudut pandang masing-masing, langkah berikutnya adalah membangun rasa percaya dengan menetapkan tujuan yang disepakati bersama saya akan melakukan hal ini jika Anda melakukan hal itu, atau saya akan memberikan Anda ini jika Anda melakukan itu. Dalam tahap ini, Pemda harus menjadi pemimpin, dengan menyetujui permintaan PDAM namun meminta tindakan yang berimbang dari PDAM.

Lingkungan EksternalBadan Pengatur

Pembiayaan

Aset

Investasi

Modal

PDAMDividen Pendapatan

Pemerintah Lokal

DPRD

Layanan

Masyarakat

Tanggung jawab

21

Prakarsa Oktober 2010

TATA KELOLA dari halaman 21

Gambar 3: Kaitan-kaitan dalam Kontrak Sosial

Kami menyebut kesepakatan di antara para pemangku kepentingan tersebut sebagai kontrak sosial untuk tata kelola air minum, sebagai pengakuan atas kewajiban sosial Pemda untuk memberikan akses air minum bagi kepada masyarakat. Dalam praktiknya, kontrak sosial tersebut tidak hanya terbatas pada Pemda dan PDAM (lihat Gambar 3). Peran pihak lain masyarakat, DPRD, IndII juga layak untuk ditinjau lebih jauh. Masyarakat dan DPRD Secara teoritis, DPRD adalah wakil rakyat yang terpilih, suatu pendapat yang semakin dipahami bersama baik oleh para anggota DPRD, maupun masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan yang efektif adalah apabila PDAM mengambil tanggung jawab untuk berkomunikasi dengan masyarakat, sementara Pemda menjalin

Konsumen/ Konstituen

hubungan dengan DPRD. Tentu saja ada hubungan silang, namun secara umum kita berasumsi bahwa Pemda perlu melibatkan DPRD, walaupun hal itu di luar cakupan proyek ini. Akan tetapi, masyarakat adalah pemangku kepentingan langsung yang tak dapat diabaikan. Titik persinggungan yang paling praktis dengan masyarakat tampaknya adalah Badan Pengawas PDAM. Badan ini diberi mandat berdasarkan peraturan pemerintah dan anggotanya berasal dari Pemda dan perguruan tinggi setempat, serta perwakilan konsumen. Menurut pengalaman kami, tingkat kegiatan dan transparansi Badan Pengawas merupakan penanda yang baik untuk menakar tingkat

22

leb Me ih nja ba nj ik ika M ag n en ar lay un te an tu rp an tl ilih y ay ke ang an m an ba ya li ng leb ih ba ik

Misalnya, Pemda menyetujui kenaikan tarif dan PDAM setuju untuk meningkatkan penyediaan air minum dari 6 menjadi 12 jam per hari. Ini adalah proses yang terus berulang. Selanjutnya, misalnya, Pemda dapat menyetujui penunjukan Direksi PDAM sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat tentang uji kelayakan, dan sebagai timbal baliknya PDAM dapat setuju untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam audit keuangan mereka. Ada banyak skenario yang dapat menimbulkan rasa percaya yang lebih besar dan peningkatan motivasi untuk berkinerja dengan baik.

IndII: Perantara yang JujurHi ul us h ba sti m

m sti

h

ul

ba

us

Hi

Cakupan yang lebih luas? Layanan yang lebih baik? Dividen yang lebih besar?

PDAMTarif yang lebih tinggi InvestasiM n ya La an n ya gl an lan bu an ar ih es ) ag b am r t bih 4j ya le (2 ba ng ik ba em ya ih eb

PEMDA

pelibatan masyarakat dan patokan yang cukup memadai untuk mengukur tingkat tata kelola yang diterapkan oleh Pemda. Sebagai contoh, di Kota Bogor, Badan Pengawas bertemu setiap minggu dan melaporkan temuantemuannya. Di sebagian besar PDAM di NTT dan NTB, Badan Pengawas bertemu sekali setahun, dan bahkan dalam beberapa kasus belum pernah bertemu sama sekali. Badan-badan ini sebenarnya dibentuk untuk mematuhi ketentuan peraturan pemerintah, namun semangatnya terabaikan. Oleh karena itu, tidak heran bila pengaktifan dan penguatan Badan Pengawas merupakan salah satu tujuan utama dari kegiatan ini, dan sekaligus komponen umum dari hampir semua kontrak sosial.

Prakarsa Oktober 2010

Peran IndII IndII berperan untuk memfasilitasi proses identifikasi tujuan dari semua pemangku kepentingan dan kesepakatan tentang tindakan resiprokal. IndII ditempatkan sebagai penengah yang tak memihak untuk memandu para pemangku kepentingan dalam pembuatan kontrak sosial. Peran IndII lainnya adalah memberikan bantuan langsung terbatas dan imbalan ketika masing-masing pihak telah mencapai tujuannya. Bantuan ini terbatas cakupannya namun secara strategis penting karena bantuan ini menutup kesenjangan kemampuan Pemda dan PDAM. Sebagai contoh, kami mengantisipasi bahwa pada Tahap 2 IndII akan memberikan dukungan operasional untuk pengaktifan Badan Pengawas penyediaan air minum; memberikan pelatihan tentang rekening konsumen dan manajemen keuangan; mengadakan meteran air curah; melakukan analisis tarif; dan memfasilitasi jaringan antara Pemda dan PDAM. Sudah Sejauh Mana Pencapaian Kami? Pada bulan Februari 2010, para pemangku kepentingan dari kalangan Pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan IndII memilih 12 Pemda dari NTT dan NTB. Tim kajian IndII segera dimobilisasi dan memprakarsai diskusi dengan ke-12 Pemda tersebut dan PDAM masingmasing. Permasalahan utama dari setiap pemangku kepentingan ditelaah dan dirinci melalui serangkaian kunjungan lapangan dan diskusi intensif dengan masingmasing pemangku kepentingan.

Puncak dari Kegiatan ini adalah lokakarya di Kupang pada tanggal 11-12 Mei 2010 untuk membahas dan menyepakati tindakan timbal balik yang akan dilakukan oleh para pemangku kepentingan, yang didukung oleh para fasilitator ahli dari proyek WASPOLA2. Setelah lokakarya, Pemda diberi waktu 10 hari untuk mengajukan proposal final berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh semua pihak, termasuk permohonan dukungan dari IndII. Sepuluh Pemda mengajukan proposal dan rancangan kontrak sosial. Tim IndII melakukan penilaian kuantitatif dan kualitatif atas proposal tersebut berdasarkan: bagaimana proposal tersebut menyoroti keadaan PDAM dan Pemda saat ini; bukti dukungan Pemda untuk layanan air minum; dan relevansi isi proposal. Pada bulan Juni 2010, IndII bertemu dengan perwakilan dan para pemangku kepentingan Tim Teknis Air Minum dan Sanitasi Pemerintah RI untuk memilih proposal dari Pemda yang akan dilaksanakan di Tahap 2. Rancangan awal kegiatan ini mengantisipasi tindak lanjut bersama dengan empat Pemda, namun karena adanya kepentingan yang belum pernah ada sebelumnya dan nilai yang hampir sama dari lima Pemda teratas, kami sepakat untuk melaksanakan lima kontrak sosial di Tahap 2. Tahap kedua baru akan dimulai ketika laporan ini dicetak. Kami berharap dapat melaporkan keberhasilan kegiatan ini dalam kurun waktu sembilan bulan mendatang. n

CATATAN 1. Pernyataan ini adalah sebuah penyederhanaan. Kementerian PU terlibat langsung dalam membangun infrastruktur penyediaan air minum selama Repelita I sampai IV (1969 sampai 1988). Pada Repelita V, Kementerian Keuangan dan Bappenas mendorong Pemda untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam penyediaan infrastruktur dan layanan. Hal ini menghasilkan Program Pembangunan Infrastruktur Terpadu, IUIDP, dimana Pemda dan PDAM didorong untuk mencari pinjaman pembangunan luar negeri guna membangun infrastruktur, termasuk untuk penyediaan air minum. Kementerian PU mendapat anggaran pembangunan pemerintah pusat untuk penyediaan air minum selama periode ini, dan investasi berkenaan dengan penyediaan air minum ditanggung bersama. Hingga tahun 199596 tingkat kegagalan pengelolaan pinjaman Pemda dan PDAM berdasarkan IUIDP mendekati 50 persen. Hal ini diikuti oleh krisis moneter pada tahun 1997 dan wanprestasi massal oleh Pemda dan PDAM. 2. Program Kebijakan dan Penyusunan Rencana Aksi untuk Air Minum dan Sanitasi, saat ini berjalan sebagai fasilitas dengan penekanan pada proyek yang dikelola masyarakat dalam bidang penyediaan air minum dan sanitasi lingkungan.

Tentang penulis:

Jim Coucouvinis Direktur Teknik untuk Air dan Sanitasi di IndII. Sejak tahun 2004 dia bekerja sebagai konsultan independen, bertugas di Bank Dunia dan AusAID pada program-program di sektor air minum dan air limbah. Sebelumnya dia menjabat sebagai Vice President di Louis Berger Group untuk layanan air minum dan lingkungan di Asia Tenggara dan China, kemudian sebagai Resident Manager perusahaan Montgomery Watson Indonesia. Sebelum mulai bekerja di luar negeri dia bertugas di Canberra Water and Power Authority di bidang rancangan dan konstruksi instalasi utama penyediaan air minum dan saluran air limbah; dan di Australian Murray-Darling Basin Commission di bidang manajemen sumber daya air dan kualitas air pada sistem dan reservoir Murray-Darling. Dia adalah pemegang gelar Master of Engineering dari University of New South Wales, dan gelar di bidang sains dan rekayasa teknik dari University of Queensland.

23

Prakarsa Oktober 2010

Membuka Jalan bagi Kaum PerempuanDengan sedikit dorongan, baik perempuan maupun laki-laki dapat memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan di bidang keselamatan jalan. Oleh Gaynor DawsonDengan minimnya keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menangani masalah teknis, sangat masuk akal untuk melibatkan siapa saja yang dapat membantu, tanpa membedakan jenis kelamin. Strategi ini sejalan dengan kebijakan AusAID untuk memberi kesempatan dan manfaat yang setara kepada laki-laki dan perempuan. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID membantu para pembuat kebijakan di Indonesia untuk menanggulangi berbagai masalah yang kompleks sehubungan dengan kelangkaan sumber daya manusia yang terampil. Alhasil, IndII senantiasa menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui berbagai kegiatannya. Sebagai contoh, program keselamatan jalan Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) yang didukung oleh IndII mencakup program pengurangan jumlah tabrakan berikut bantuan bagi audit keselamatan jalan. Bantuan IndII mencakup upaya pengembangan kapasitas yang signifikan. Pada bulan April 2010, sebuah tim yang didanai oleh IndII dan terdiri dari pejabat DJBM dan pejabat terkait lainnya menyelenggarakan Studi Banding tentang Rekayasa Keselamatan Jalan, dengan tim VicRoads di Melbourne sebagai tuan rumah acara tersebut. Kegiatan ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan dalam bidang rekayasa keselamatan jalan di Indonesia. Umumnya pada kesempatan di saat pejabat pemerintah bisa turut serta dalam pengembangan kapasitas seperti misalnya pada studi banding ini, sering kali peserta perempuan yang terpilih jumlahnya hanya sedikit. Hal ini terjadi, meskipun pelatihan yang diselenggarakan terkait langsung secara spesifik dengan bidang keahlian mereka. Dalam hal pelatihan atau studi banding ke luar kota atau ke luar negeri, kemungkinan terpilihnya perempuan bahkan lebih sedikit lagi. Hal ini mungkin sebagian disebabkan karena para pembuat keputusan berpendapat bahwa perempuan tidak ingin pergi meninggalkan keluarga mereka dan bahwa para suami dan keluarga mungkin tidak setuju dengan kepergian mereka. Dalam rangka persiapan misi rekayasa keselamatan jalan ini, IndII mengirimkan surat undangan kepada DJBM. Undangan tersebut menekankan pentingnya dukungan dan dorongan bagi penugasan perempuan dalam misi ini. Menurut Ibu Nurmala Simanjuntak, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Teknik Lingkungan, dan Keselamatan Jalan (divisi di DJBM yang memegang tanggung jawab utama untuk keselamatan jalan), pilihan kata yang digunakan dalam surat undangan tersebut merupakan faktor utama yang menentukan keikutsertaan tujuh perempuan di antara total 24 peserta, yang dipilih dari sub-direktorat dan seksi lain di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, Polisi Lalu Lintas, Bappenas, dan kalangan akademisi. Pentingnya keselamatan jalan semakin diakui, tetapi orangorang yang memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang memadai masih langka. Dalam jangka panjang, upaya melibatkan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pengembangan kapasitas berarti membangun percaya diri di antara kedua gender, peningkatan potensi dalam kemajuan karier, dan memperoleh peluang lebih besar untuk mencapai dampak positif pada data statistik keselamatan jalan di Indonesia. Selain itu, perempuan yang sukses akan menjadi teladan, sehingga generasi perempuan berikutnya akan makin terdorong untuk berkarier di bidang yang sama. Satu hal positif lainnya, nilai keterlibatan perempuan dalam pengembangan kapasitas juga tidak luput dari pengamatan Phillip Jordan, konsultan rekayasa keselamatan jalan yang mendampingi rombongan ke Melbourne. Ia memperhatikan bahwa para perempuan berpartisipasi secara aktif dalam segala kegiatan dan memberikan kontribusi yang berharga sebagai pemimpin rombongan. Perbandingan respon peserta perempuan dan laki-laki dalam evaluasi peserta, menunjukkan bahwa perempuan dalam hal penyerapan keterampilan teknis dan informasi memperoleh nilai sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki , ini menunjukkan manfaat yang mereka peroleh. Di lain pihak, laki-laki lebih cenderung menginginkan waktu bepergian yang lebih lama untuk kunjungan studi sedangkan para perempuan berpendapat bahwa waktu yang disediakan untuk kunjungan tersebut sudah mencukupi. Dengan mengesampingkan perbedaan yang ada, kunjungan tersebut telah menunjukkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki mampu untuk memanfaatkan peluang untuk turut serta dalam pengembangan karier. nTentang penulis:

Gaynor Dawson adalah tenaga ahli internasional bidang gender di IndII.

24

Prakarsa Oktober 2010

PandanganPara Ahli

Pertanyaannya:

Strategi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan investasi publik dalam penyediaan air minum meliputi reformasi tarif, restrukturisasi utang, jaminan pinjaman dari pemerintah pusat dan skema subsidi bunga, serta dana hibah berbasis hasil. Dalam kerangka kerja ini, di manakah menurut Anda letak tantangan dan/atau peluang terbesar?

t t

Ir. Syaiful, Direktur PDAM Palembang dan Kepala PERPAMSI Semua strategi pemerintah sehubungan dengan investasi di bidang air minum adalah penting dan baik. Masing-masing memiliki tantangan dan kesempatannya tersendiri. Di antara program yang ada, menurut saya program restrukturisasi utang, pemberian jaminan pinjaman dari pemerintah pusat, dan skema subsidi bunga serta peningkatan tarif air minum adalah program yang penting bagi peningkatan investasi pemerintah, namun tantangannya sangat besar. Sebagai contoh kita lihat program restrukturisasi utang. Setelah dua tahun berjalan, baru 15 PDAM yang diproses. Meskipun pemberian jaminan pinjaman dari pemerintah pusat dan pemberian subsidi bunga melalui proses yang rumit, tapi harus didukung oleh pemerintah kota dan kabupaten dengan mengimplementasikan langkah-langkah yang membantu PDAM mencapai status sehat, misalnya dengan memilih direktur yang mempunyai program dan terobosan baru. Kepala Pemerintahan Daerah seperti bupati dan walikota mempunyai wewenang untuk menaikkan tarif air minum. Jika diiringi dengan perbaikan layanan, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan mereka akan menerima kenaikan tarif.

Ir. Danny Sutjiono, Direktur Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan UmumPada dasarnya empat kebijakan atau strategi tersebut merupakan satu kesatuan dalam upaya percepatan peningkatan pelayanan air minum. Keempatnya penting dan akan punya dampak signifikan. Namun demikian, pemberian jaminan pinjaman dari pemerintah pusat dan subsidi bunga merupakan strategi yang memiliki tantangan paling besar, karena pola pikir PDAM maupun Pemda yang kurang progresif sehingga hanya mengandalkan kemampuan dana internal dan dana pemerintah saja. Program-program ini mensyaratkan PDAM mempunyai kemampuan manajemen yang andal dalam pengelolaan utang, dan mencapai status kinerja sehat. Pada saat ini baru sekitar 30 persen PDAM yang sehat dan lebih dari setengahnya memiliki tunggakan utang pada pemerintah. Di sisi lain, kedua strategi ini memberikan peluang terbesar untuk peningkatan investasi pemerintah dalam penyediaan air minum.

25

Prakarsa Oktober 2010

Hasil:Menggunakan Praktik Terbaik dalam Teknik PenganggaranDirektorat Jenderal Bina Marga (DJBM) berpartisipasi dalam uji coba percontohan untuk menerapkan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) atau Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang menggunakan anggaran berbasis kinerja. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) membantu DJBM dalam upaya ini. Awal tahun ini, IndII memfasilitasi kunjungan studi bagi delegasi yang terdiri dari para pejabat Bina Marga ke Afrika Selatan. Para peserta mengkaji cara beroperasinya South Africa National Road Agency Limited yang mendapat pengakuan internasional karena efisiensi dan inovasinya. Para pejabat DJBM kembali dengan komitmen untuk menggunakan praktik terbaik yang telah mereka pelajari, dan beberapa bulan setelah kunjungan studi tersebut mereka mulai menerapkan teknik-teknik ini. Saat ini terdapat sembilan kegiatan di lingkungan DJBM yang menggunakan teknik Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja. Di antaranya adalah Standar Desain Jalan, Klasifikasi Jalan, Penyusunan Rencana Induk Jalan Nasional, Pembentukan Otoritas Pembangunan Jalan Tol Indonesia, Penyusunan Kontrak dan Pengadaan Barang dan Jasa.

Prakarsa Edisi Mendatang Membangun JalanJalan adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Investasi pemerintah di bidang infrastuktur jalan akan meningkatkan akses dan membuka peluang bagi berkembangnya investasi swasta. Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) meningkatkan kapasitasnya dengan menggunakan pendekatan perencanaan tahun jamak untuk melaksanakan kebijakan preservasi dan perluasan jaringan jalan di Indonesia. Saat ini DJBM sedang mengembangkan Rencana Induk Jalan Raya Nasional 20 tahun dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang menggunakan Penganggaran Berbasis Kinerja. Di tingkat provinsi dan kabupaten, pemeliharaan jalan terkadang kekurangan dana, namun melalui praktik pelaksanaan terbaik, mutu jalan dapat ditingkatkan. Desain rekayasa mutu dan kontrak yang efisien adalah satu kesatuan untuk mengurangi biaya dan membuat jalan lebih aman bagi pengguna dan pejalan kaki. Prakarsa edisi Januari 2011 akan menyuguhkan wawasan tentang masalah ini dan menjajaki bagaimana Indonesia dapat mengembangkan jaringan jalan yang luas, aman, dan terpelihara dengan baik.

26