2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

25
GERAKAN NASIONAL PENURUNAN SUSUT PASCAPANEN, SUATU UPAYA MENANGGULANGI KRISIS PANGAN Oleh: Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si 1 PENDAHULUAN Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut (losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan tersebut berakibat adanya kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki tingkat pendapatannya. Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat mudah rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pascapanen dan pengolahan. Angka produksi gabah sebesar 52 juta ton GKG sesungguhnya dapat lebih tinggi lagi apabila dilakukan penanganan yang baik pada saat panen, penanganan pasca panen dan pengolahan/penggilingan. Pada saat panen, perontokan, transportasi, pengeringan, penyimpanan, dan penggilingan terjadi susut dan kehilangan yang cukup besar persentasenya. Hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS, 1996) menunjukkan bahwa susut hasil panen padi di Indonesia saat ini masih cukup tinggi, yaitu sebesar 20,42 %, yang terjadi pada saat panen (9,5 %), perontokan (4,8 %), pengeringan (2,1 %), penggilingan (2,2 %), penyimpanan (1,6 %), dan pengangkutan (0,2 %). Penanganan pascapanen yang baik dan tepat dapat menekan susut dan menghasilkan kualitas gabah/beras yang 1 Dosen Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Alumni The United Graduate School of Agricultural Sciences, Kagoshima University, Jepang. Major Chairs of Agricultural Engineering) 1

Transcript of 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Page 1: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

GERAKAN NASIONAL PENURUNAN SUSUT PASCAPANEN,SUATU UPAYA MENANGGULANGI KRISIS PANGAN

Oleh:Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si1

PENDAHULUAN

Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut

(losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan tersebut berakibat

adanya kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki

tingkat pendapatannya. Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat mudah

rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pascapanen dan pengolahan.

Angka produksi gabah sebesar 52 juta ton GKG sesungguhnya dapat lebih tinggi lagi

apabila dilakukan penanganan yang baik pada saat panen, penanganan pasca panen dan

pengolahan/penggilingan. Pada saat panen, perontokan, transportasi, pengeringan,

penyimpanan, dan penggilingan terjadi susut dan kehilangan yang cukup besar

persentasenya. Hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS, 1996) menunjukkan bahwa susut

hasil panen padi di Indonesia saat ini masih cukup tinggi, yaitu sebesar 20,42 %, yang

terjadi pada saat panen (9,5 %), perontokan (4,8 %), pengeringan (2,1 %), penggilingan

(2,2 %), penyimpanan (1,6 %), dan pengangkutan (0,2 %). Penanganan pascapanen yang

baik dan tepat dapat menekan susut dan menghasilkan kualitas gabah/beras yang tinggi

sehingga dapat meningkatkan harga jual gabah/beras petani.

Saat ini pemerintah sedang meluncurkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional

(P2BN) dengan target menghasilkan tambahan produksi dua juta ton beras atau setara 3,6

juta ton GKG (gabah kering giling).  Dalam kegiatan pascapanen upaya tersebut

ditempuh melalui pengadaan dan rehabilitasi alat mesin pascapanen (sabit bergerigi,

terpal, pedal thresher dan power thresher) dan revitalisasi penggilingan padi kecil (PPK)

atau rice milling unit (RMU) dengan tujuan utama menekan susut pascapanen dan

meningkatkan rendemen giling. Jika dalam penanganan pascapanen dapat ditekan susut

sebesar 1,5 % saja maka usaha tersebut dapat meningkatkan produksi gabah sebesar 0,83

juta ton GKG atau setara 0,50 juta ton beras. Di lain pihak, dalam penggilingan jika

dapat meningkatkan rendemen sebesar 3 % akan dapat meningkatkan ketersediaan beras

nasional sekitar 1,66 juta ton beras. Dengan demikian sekitar 2,16 juta ton beras dapat

1 Dosen Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor(Alumni The United Graduate School of Agricultural Sciences, Kagoshima University, Jepang. Major Chairs of Agricultural Engineering)

1

Page 2: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. Makalah ini

membahas besarnya susut pada setiap tahapan penanganan pascapanen dan memberikan

gambaran pengaruh penerapan sistem dan teknik penanganan terhadap besarnya susut.

Informasi tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menumbuhkan

kesadaran bagi petani/buruh tani maupun para penyuluh di lapangan akan pentingnya

perbaikan cara penanganan pascapanen untuk meningkatkan produksi.

SUSUT SELAMA PENANGANAN PASCAPANEN

Penanganan pascapanen padi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, menekan tingginya

susut hasil dan mempertahankan mutu gabah/beras. Tahapan kegiatan pascapanen

meliputi panen, pengumpulan/penumpukan, perontokan, pengangkutan, pengeringan,

penyimpanan, dan penggilingan. Pada Gambar 1 diperlihatkan tahapan proses kegiatan

penanganan pascapanen padi. Setiap proses pada masing-masing tahapan kegiatan

pascapanen tersebut menimbulkan susut hasil. Besarnya susut pada setiap tahapan proses

cukup beragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya susut antara lain: (1)

varietas padi, (2) kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi, (3) sistem pemanenan

dan jumlah pemanen, (4) alat mesin pascapanen, dan (5) sistem penggilingan. Susut hasil

selama penanganan pascapanen mencapai 20,4 % dan yang terbesar terjadi pada tahapan

pemanenan yaitu sekitar 9,5 % dan perontokan sekitar 4,8 % (BPS, 1996).

2

Page 3: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Gambar 1. Tahapan Proses Kegiatan Penanganan Pascapanen Padi (Rokhani, 2007)

Pemanenan

Pemanenan merupakan salah satu tahapan pascapanen padi yang di dalam sistem

usahatani padi membutuhkan tenaga kerja dan biaya cukup besar setelah kegiatan

pengolahan tanah dan tanam. Di Indonesia dikenal tiga sistem pemanenan padi yang

berkembang di tingkat petani, sebagai berikut:

(1) Sistem ceblokan, adalah pemanenan dengan jumlah pemanen yang terbatas dimana

pemanen adalah orang yang menanam dan merawat tanaman tanpa mendapatkan

upah dari petani pemilik sawah, orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa seijin

penceblok.

(2) Sistem individu/keroyokan, yaitu pemanenan dengan jumlah pemanen yang tidak

terbatas (150-200 orang per hektar), dimana siapa saja boleh ikut memanen tanpa

adanya ikatan kerja. Mereka berebut memotong padi dan secepatmya mengumpulkan

potongan padi, agar dapat segera pindah ke tempat yang lain.

3

Digebot, pedal thresher, power thresher

PemanenanGKP, KA 25 % Ani-ani, sabit, reaper

Pengumpulan

Pengangkutan

Pengeringan

Karung, sepeda, mobil

Terpal

Karung

Lantai jemur, dryerTerpal

Kering SimpanGKS, KA 18%

Kering GilingGKG, KA 14 %

Penyimpanan Penggilingan

Perontokan

Pembersihan

Page 4: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

(3) Sistem kelompok, yaitu pemanenan secara beregu dengan jumlah pemanen yang

terbatas (20-30 orang per hektar), dimana pembagian tugasnya jelas dan perontokan

menggunakan pedal thresher atau power thresher. Pembagian tugasnya adalah

sebanyak 22 orang melakukan pemotongan padi, lima orang melakukan pengumpulan

dan tiga orang lagi merontok padi dan memasukkan gabah ke dalam karung. Tabel 1

menunjukkan kehilangan hasil pada sistem keroyokan, ceblokan dan kelompok

dimana sistem kelompok merupakan cara terbaik dalam menekan susut pascapanen.

Tabel 1. Tingkat Susut Hasil Pada Berbagai Sistem Pemanenan

Sistem pemanenan Susut panen dan perontokan (%)

Keroyokan

Ceblokan

Kelompok

18,6

14,3

5,9

Sumber : Setyono, et al. (1993)

Pemanenan dapat dilakukan menggunakan ani-ani, sabit atau mesin pemanen (reaper).

Pada daerah yang masih cukup tersedia tenaga kerja, pemanenan dilakukan secara manual

menggunakan alat sederhana yaitu ani-ani dan sabit. Berkembangnya kegiatan diluar

sektor pertanian mengakibatkan makin berkurangnya tenaga kerja di pedesaan, khususnya

tenaga muda yang sudah dan pernah mengenyam pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan

bantuan mesin pemanen seperti reaper, thresher, stripper atau combine harvester.

Penggunaan ani-ani cocok untuk pemanenan padi varietas lokal yang mempunyai

kematangan tidak serentak dan tanamannya tinggi. Umumnya padi varietas baru

merupakan padi yang pendek sehingga penggunaan ani-ani akan menyulitkan. Alternatif

lain yang umum digunakan adalah dengan menggunakan sabit. Sabit yang digunakan

untuk pemanenan padi ada dua macam, yaitu sabit rata dan sabit bergerigi. Penggunaan

sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam dapat menekan susut sebesar 3%

(Damardjati et al., 1989; Nugraha et al., 1990). Tabel 2 menunjukkan pengaruh

penggunaan sabit terhadap tingkat kehilangan hasil.

Tabel 2. Pengaruh Jenis Sabit terhadap Susut Panen Padi Varietas IR-64 dan Cisadane

PerlakuanSusut hasil (%)

IR-64 Cisadane

Sabit biasa

Sabit gerigi tani

Sabit gerigi maros

4,07

3,52

3,20

5,11

3,41

2,31

Sumber: Lubis et al. ( 1990)

4

Page 5: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Spesifikasi sabit bergerigi adalah: (1) Gagang terbuat dari kayu atau plastik bulat

berdiameter 2 cm dan panjang lebih kurang 15 cm, (2) Mata pisau terbuat dari baja keras

yang satu sisinya bergerigi antara 12 – 16 gerigi sepanjang 1 inchi, dan (3) Memiliki SNI

atau test report (Ditjen P2HP Deptan, 2007). Gambar 2 berikut menunjukkan contoh

sabit bergerigi yang diproduksi di daerah Jawa Tengah.

Gambar 2. Sabit Bergerigi yang Diproduksi di Jawa Tengah

Perontokan

Perontokan merupakan kegiatan untuk memisahkan butir gabah dari malainya yang dapat

dilakukan secara manual (digebot), semi mekanis menggunakan perontok tipe pedal

(pedal thresher) atau secara mekanis menggunakan mesin perontok (power thresher).

Kinerja alat perontok akan menentukan tingkat kehilangan hasil. Kecepatan putaran

silinder perontok menentukan hasil perontokan, kehilangan hasil dan gabah yang tidak

terontok (masih menempel pada malai padi). Alat perontok pedal thresher disarankan

berputar pada kecepatan 100-150 rpm, sedangkan power thresher disarankan pada 400-

450 rpm. Tabel 3 menunjukkan pengaruh alat perontok padi terhadap mutu dan

kehilangan hasil.

Tabel 3. Pengaruh Alat Perontok Padi terhadap Mutu dan Kehilangan Hasil

Alat perontokGabah

Hampa (%)

Kapasitas Perontokan( kg/jam)

Gabah Tidak Terontok

(%)

Kehilangan(%)

GebotPedal thresherPower thresher

3,522,171,67

41,881,8526,2

2,841,540,65

3,112,371,20

Sumber: Rachmat et al. (1993)

5

Page 6: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Pada Gambar 3 diperlihatkan praktek perontokan dengan cara digebot. Perontokan

sebaiknya dilakukan segera setelah pemanenan. Penundaan perontokan padi di sawah

menjadi masalah besar karena dapat mengakibatkan tingginya susut hasil dan turunnya

mutu gabah. Apabila terjadi penundaan perontokan maka sebaiknya dilakukan dengan

cara: (1) menggunakan alas terpal pada saat penumpukan, dan (2) lama penundaan tidak

boleh lebih dari satu malam dengan tinggi tumpukan padi tidak lebih dari 1 m.

Gambar 3. Perontokan Padi dengan Cara Digebot

Penyebab utama kehilangan pada perontokan padi adalah : (1) perilaku petani yang

bekerja kurang hati-hati , (2) cara penggebotan dan frekuensi pembalikan padi, (3)

kecepatan putaran silinder perontok, dan (4) luasan alas plastik/terpal yang digunakan

pada saat merontok. Oleh karena itu selama perontokan hendaknya digunakan alas terpal

dengan spesifikasi yang sesuai. Terpal juga sekaligus dapat digunakan sebagai alas

untuk penjemuran dan untuk menutupi/melindungi dari guyuran air hujan. Penggunaan

alas terpal selama perontokan bertujuan agar gabah yang sudah dirontokkan mudah untuk

dikumpulkan kembali.

Fungsi terpal dalam penanganan pascapanen padi antara lain: (1) mengurangi/menekan

kehilangan butiran gabah pada saat perontokan dan pengeringan, (2) sebagai dinding dan

alas dalam upaya mencegah bercampurnya kotoran dengan gabah, (3) memudahkan

pengumpulan gabah dan sebagai penutup gabah pada waktu hujan turun, (4) untuk

menghasilkan penyebaran panas yang merata pada saat penjemuran/pengeringan.

6

Page 7: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Keuntungan penggunaan terpal dalam penanganan pascapanen padi adalah: (1)

memudahkan penyelamatan gabah bila dalam masa penjemuran/pengeringan hujan turun

secara tiba–tiba, misalnya dengan cara memasang tali pengikat untuk memudahkan

menggulung terpal/lembaran plastik kemudian menutup/melindungi gabah dari hujan

dengan cepat, (2) memudahkan pengumpulan untuk pengarungan gabah pada akhir

perontokan dan penjemuran, (3) dapat mengurangi tenaga kerja buruh tani dilapangan.

Spesifikasi terpal adalah sebagai berikut: (1) terbuat dari bahan plastik lapis tunggal

berukuran 8 m x 8 m, ada jahitan pinggir dengan diberi lubang yang dilengkapi dengan

ring besi di bagian sudut dengan interval dua meter sehingga terdapat lebih kurang 16

lubang, dan (2) dianjurkan terpal berwarna gelap seperti biru, coklat atau hitam (Ditjen

P2HP, 2007).

Pengeringan Gabah

Pengeringan dapat dilakukan secara alami (penjemuran) maupun dengan pengering

buatan (dryer). Pengeringan secara alami harus memperhatikan intensitas sinar, suhu

pengeringan, ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan. Untuk menghasilkan

gabah kering yang seragam, faktor ketebalan gabah sangat besar pengaruhnya. Jika

lapisan gabah terlalu tebal maka kadar air gabah menjadi tidak seragam dan waktu

pengeringan lama. Sebaliknya, jika terlalu tipis dapat menyebabkan beras pecah pada

waktu proses penggilingan. Penjemuran pada lampisan semen yang dilakukan dengan

ketebalan kurang dari 1 cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70%

dengan rendemen giling yang rendah. Penjemuran gabah sebaiknya dilakukan di atas

terpal dengan ukuran dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Ketebalan gabah pada saat

dijemur adalah 3-5 cm. Untuk mempercepat proses pengeringan dan meratakan kadar air

maka perlu dilakukan proses pembalikan setiap dua jam. Apabila cuaca cerah,

penjemuran akan selesai 1-2 hari, sedangkan apabila cuaca mendung, maka penjemuran

dapat selesai sampai 3-4 hari. Gambar 4 memperlihatkan pengeringan gabah secara alami

pada lantai jemur.

7

Page 8: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Gambar 4. Pengringan Secara Alami pada Lantai Jemur

Pengeringan secara alami mempunyai beberapa keuntungan antara lain (1) biaya

pengeringan relatif murah, (2) cara pelaksanaannya mudah, dan (3) kualitas gabah relatif

lebih baik karena adanya karakteristik sinar infra merah yang berperanan dominan dalam

pengeringan gabah. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan, yaitu (1)

memerlukan tempat yang luas, (2) sangat tergantung pada cuaca, (3) susut hasil relatif

tinggi baik karena tercecer maupun dimakan burung/ayam, (4) memungkinkan gabah

tercampur benda asing, (5) suhu pengeringan tidak dapat dikendalikan, dan (6) hasil

pengeringan tidak seragam.

Pengeringan gabah dengan penjemuran tidak dapat dilakukan apabila pemanenan

dilakukan pada musim hujan. Penundaan pengeringan akan menyebabkan turunnya mutu

gabah dan beras giling, seperti butir kuning dan gabah berkecambah. Tabel 4

memperlihatkan persentase butir kuning akibat pengeringan gabah yang tertunda. Pada

berbagai kadar air gabah, butir kuning relatif lebih tinggi jika penundaan pengeringan

terjadi pada musim hujan (MH) dan semakin tinggi kadar air gabah maka penundaan

pengeringan akan menghasilkan butir kuning yang lebih tinggi.

8

Page 9: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Tabel 4. Pengaruh Kadar Air Gabah dan Lama Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Butir Kuning.

Kadar air gabah(%)

Waktu penundaan(hari)

Butir kuning (%)

MK MH Rata-Rata

> 25135

0,251,180,28

0,211,213,38

0,361,192,10

22 – 24135

1,190,550,62

0,360,751,25

0,600,650,93

19 –21135

9,020,481,32

0,090,400,19

0,050,440,75

Sumber : Purwadaria et al. (1994)

Pemanenan padi tidak seluruhnya dilakukan pada musim kemarau, oleh karena itu untuk

menghindari terjadinya penundaan, perlu dilakukan pengeringan dengan pengering

buatan (dryer). Pengeringan gabah dengan alat mesin pengering (dryer) memiliki susut

lebih rendah (2,30%) dari pada penjemuran (2,98%) karena gabah terlokalisasi pada suatu

tempat yang terbatas (Damardjati, et al., 1989).

Meskipun penggunaan alat mesin pengering dapat menekan susut dan meningkatkan

mutu, tetapi pengembangan alat mesin pengering masih menghadapi masalah, antara

lain : (a) harga alat mesin pengering mahal sehingga biaya operasi tinggi dan kurang

layak untuk diusahakan; (b) waktu kerja per hari operasi terbatas, bahkan dalam kondisi

tidak hujan kebutuhan akan alat mesin pengering kurang dirasakan petani; (c) masalah

mutu beras belum menjadi perhatian karena tidak ada insentif bagi mutu gabah/beras

yang baik; dan (d) petani merasa enggan untuk mengeluarkan biaya pengeringan,

termasuk biaya angkutan gabah ke dan dari lokasi pengeringan. Oleh sebab itu

penggunaan dryer sebaiknya diintegrasikan dan menyatu dengan usaha penggilingan padi

agar pengoperasiannnya lebih efektif. Petani cukup sekali mengangkut gabah ke tempat

pengeringan untuk langsung digiling atau bahkan langsung dapat menjual gabah kering

panen (Hadiutomo, 2006).

Pengering buatan (dryer) pada dasarnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu (1) bak

pengering, (2) pemanas (heater) dan (3) kipas/blower. Beberapa jenis alat pengering

antara lain flat bed dryer, deep bed dryer, continuous dryer, dan lain-lain. Penggilingan

padi kecil dan industri benih memakai flat bed dryer atau box dryer dengan kapasitas 3-

10 ton/proses yang umumnya sudah dibuat industri lokal. Penggilingan padi besar dan

industri benih menggunakan pula recirculation dryer berkapasitas 10-15 ton/jam dan

9

Page 10: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

cross flow dryer berkapasitas 15 ton/jam (Gambar 5). Mesin pengering lain yang dipakai

di Indonesia adalah in-store dryer dan fluidized bed dryer dengan kapasitas 15-20 ton/jam

pada penggilingan padi besar.

Gambar 5. Alat Pengering Tipe Recirculation Dryer

Pengeringan biasanya dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengeringan tahap pertama dari

kadar air gabah di atas 20% sampai kadar air 18%, dan pengeringan tahap kedua dari

kadar air gabah 18% menjadi kadar air 14%. Pemilihan jenis dan tipe mesin pengering

perlu diperhatikan berdasarkan proses ini, seperti fluidized bed dryer lebih tepat

digunakan untuk pengeringan tahap pertama (Purwadaria, 2004). Pada penggilingan padi

kecil dengan kapasitas kurang dari 5 ton/hari, lantai jemur perlu ditambah dengan flat bed

dryer, sedangkan untuk penggilingan padi skala besar (lebih dari 5 ton/hari), penggunaan

mesin pengering lain disarankan bersama lantai jemur. Disamping itu perlu

dipertimbangkan pemakaian in-store dryer yang mengeringkan gabah dari kadar air 18%

menjadi 14% dengan sekaligus penyimpanan secara curah dalam gudang semi permanen

setengah terbuka. In-store dryer hanya menggunakan kipas untuk aerasi yang dijalankan

sekitar 6 jam/hari tetapi dapat menurunkan kadar air gabah dari 18% menjadi 14% dalam

waktu satu bulan.

SUSUT SELAMA PENGGILINGAN

Penggilingan padi adalah rangkaian alat/mesin yang berfungsi melakukan proses

pengolahan GKG menjadi beras putih siap konsumsi. Proses penggilingan padi terdiri

dari dua tahapan pokok, yaitu dehusking (pengupasan gabah) dan whitening (pemutihan).

Kehilangan hasil di pabrik penggilingan tergantung pada penanganan gabah dari sejak

dipanen sampai pengeringan (mutu gabah dan kadar air gabah), kondisi lingkungan

10

Page 11: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

(lahan kering/pasang surut), sistem sanitasi penggilingan dan kondisi serta tipe alat mesin

penggilingan. Sanitasi pabrik penggilingan yang kurang baik menyebabkan gabah yang

tercecer sulit untuk dikumpulkan kembali.

Gabah kering giling (GKG) pada kadar air sekitar 13-15 % selama proses penggilingan

akan mengalami susut. Secara umum, neraca bahan selama proses penggilingan

ditunjukkan pada diagram Sankey (Gambar 6). Nilai-nilai numerik di dalam diagram

Sankey berbeda-beda tergantung varietas dan sistem penggilingan. Nilai-nilai yang

ditunjukkan pada diagram tersebut adalah untuk gabah yang berasal dari Amerika yang

berbutir panjang (long grain).

Gabah Kering Panen (GKP)KA 20 %

Pengeringan & PenyimpananKA 14 %

Gabah Kering Giling (GKG)100 %

Pembersihan Awal

Pemecahan Kulit

Beras Pecah Kulit77 %

Pemutihan

Beras Putih67 %

Susut 7 %

Benda asing 3 %

Sekam 20 %

Katul & lembaga 10 %

Beras Patah Beras Kepala2 % 5 % 8 % 52 %

Gambar 6. Diagram Sankey pada Pengolahan Gabah/Beras (Patiwiri, 2006)

Mutu beras giling yang dihasilkan selain tergantung pada alat dehusking dan whitening

juga sangat tergatung pada peralatan pembersihan dan pemisahan seperti pemisah batu

(destoner), pemisahan butir mengapur (color sorter) dan pemisahan beras kepala dan

beras patah (length grader). Rendemen giling sangat tergantung pada bahan baku

gabahnya, varietasnya, derajat kematangan dan cara penanganan awal (pre handling)

serta tipe dan konfigurasi mesin penggiling (Damardjati et al., 1981).

11

Page 12: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Berdasarkan kapasitasnya, sistem penggilingan padi di Indonesia secara umum

dikelompokkan menjadi penggilingan padi sederhana (PPS) dengan kapasitas 0,5-1,0

ton/jam, penggilingan padi kecil (PPK) dengan kapasitas 1-3 ton/jam, penggilingan padi

besar (PPB) dengan kapasitas 3-5 ton/jam, dan penggilingan padi terpadu (PPT) dengan

kapasitas di atas 10 ton/jam (Divisi Pengadaan Perum Bulog, 2005). Sebagian besar

perusahaan penggilingan padi di Indonesia merupakan penggilingan padi sederhana dan

kecil. Karakteristik PPS dan PPK secara umum menghasilkan beras berkualitas rendah,

skala ekonominya kecil dan jangkauan pemasaran lokal atau terbatas pada pasar

tradisional.

Susunan komponen mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh terhadap

rendemen beras giling dan kualitas beras giling. Konfigurasi mesin pada PPS umumnya

husker-polisher (H-P) atau husker-separator-polisher (H-S-P). Sedangkan konfigurasi

mesin pada PPK adalah H-S-P untuk tipe sederhana (disebut juga tipe one pass) atau

cleaner-husker-separator-polisher (C-H-S-P) untuk tipe lengkap. Rendemen giling yang

dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang berkonfigurasi H-P adalah rata-rata hanya

mencapai 55.71% dengan kualitas beras kepala 74.25% dan beras patah 14.99%. Pada

penggilingan padi besar dengan konfigurasi (C-H-S-P) menghasilkan rendemen 59.69%

dengan kualitas beras kepala 75.73% dan beras patah 12.52%. Sedangkan pada

penggilingan padi besar dengan konfigurasi dryer-cleaner-husker-separator-polisher-

grader (D-C-S-P-G) menghasilkan rendemen 61.48% dengan kualitas beras kepala

82.45% dan beras patah 11.97% (Hadiutomo, 2006).

Penggilingan padi terpadu (PPT) adalah unit penggilingan padi berkapasitas besar yang

merupakan gabungan dari unit proses pembersihan awal, pengeringan, penyimpanan,

penggilingan dan pengepakan yang satu sama lain dihubungkan dengan elevator. Unit

proses pembersihan awal terdiri dari beberapa perlatan meliputi intake hopper, pre

cleaner, moisture tester dan hopper scale. Unit pengeringan meliputi dryer dan cleaner.

Unit penyimpanan meliputi square bin, drying and storage silo dan grain cooler. Unit

penggilingan terdiri dari destoner, auto weigher, husker, closed circuit chaff blower,

paddy separator, brown rice conditioner, immature separator, polishing machine, rotary

shifter, cleaning machine, color sorter, vibration separator, dan length grader. Unit

pengepakan terdiri dari hopper dan packing machine untuk kemasan berbagai ukuran (5

kg, 10 kg atau 20 kg).

12

Page 13: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Salah satu penggilingan padi modern di Indonesia adalah penggilingan padi PT Alam

Makmur Sembada di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses pengolahan padi menjadi beras

pecah kulit (brown rice) meliputi pre-cleaner, pengeringan dengan pengering tipe

fluidized bed dryer, pengeringan dengan pengering tipe LSU dryer, pembersihan

menggunakan air screen cleaner, pengupasan kulit menggunakan auto husker, pemisahan

kulit menggunakan husk aspirator dan rotary shifter, dan pemisahan gabah yang belum

terkupas menggunakan paddy separator. Perpindahan bahan dari tahapan proses yang

satu ke tahapan proses berikutnya menggunakan bucket elevator dan pipa-pipa

penyaluran. Penyimpanan gabah dilakukan dengan sistem curah (bulk storage)

menggunakan silo (Gambar 7). Beras pecah kulit selanjutnya diolah menjadi beras pada

ruangan yang terpisah.

Gambar 7. Sistem Penyimpanan Gabah Secara Curah Menggunakan Silo di PT Alam Makmur Sembada

Pengolahan beras pecah kulit menjadi beras sosoh meliputi tahapan sebagai berikut:

pembersihan menggunakan air screen cleaner, pemisahan batu menggunakan de-stonner,

pemisahan gabah menggunakan paddy separator, penyosohan menggunakan whitening

machine, pembersihan dedak menggunakan rotary shifter, pengkilapan menggunakan

shinning machine, pengayakan menggunakan rotary shifter, pemisahan berdasarkan

panjang butiran beras menggunakan length grader dan pengepakan menggunakan auto

weigher scale dan sewing machine. Sistem pengolahan gabah menjadi beras pada

perusahaan ini menghasilkan rendemen 67 % dengan kualitas beras kepala 53 %, big

broken 8 %, small broken 4 % dan menir 2 % (PT Alam Makmur Sembada, 2006;

komunikasi pribadi pada saat kunjungan). Unit pengolahan padi menjadi beras pecah

kulit memiliki kapasitas 40 ton/jam, sedangkan unit pengolahan beras pecah kulit menjadi

beras siap dikonsumsi memiliki kapasitas 20 ton/jam.

13

Page 14: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

GERAKAN PENURUNAN SUSUT PASCAPANEN

Penerapan teknologi pascapanen yang tepat diiringi tumbuhnya kesadaran pentingnya

menghindari krisis pangan, sangat memungkinkan untuk dapat menekan angka susut

yang saat ini besarnya sekitar 20,42 %. Upaya yang dilakukan pemerintah melalui

Departemen Pertanian adalah melakukan pengadaan dan rehabilitasi sabit bergerigi,

terpal, pedal thresher dan power thresher serta merevitalisasi penggilingan padi kecil

dengan menambahkan alat mesin penggilingan berupa cleaner, separator maupun

perbaikan polisher yang rusak. Pengadaan alat mesin tersebut dilakukan melalui sistem

penguatan modal usaha kelompok (PUMK) maupun bantuan langsung kepada gabungan

kelompok tani (Gapoktan) (Ditjen P2HP Deptan, 2007).

Pelaku utama yang berperan dalam penurunan susut pascapanen adalah petani, pengusaha

penggilingan dan buruh tani atau kita sebut pihak produsen. Bagaimana dengan kita

sebagai konsumen yang bukan petani, pengusaha penggilingan dan buruh tani. Adakah

tanggungjawab kita dalam menekan susut pascapanen? Kita semua baik sebagai produsen

maupun konsumen bertanggungjawab dan mempunyai peran dalam menekan susut.

Gerakan penurunan susut pascapanen secara nasional perlu dimunculkan untuk

menumbuhkan kesadaran (awareness) petani, pengusaha penggilingan, buruh tani dan

orang-orang yang terkait dalam proses produksi maupun kita semua sebagai

konsumen.  Gambar 8 memperlihatkan para tenaga pendamping melakukan praktek

perontokan padi menggunakan alas terpal sesuai ukuran yang direkomendasikan untuk

menekan susut perontokan.

Gambar 8. Praktek Merontok Padi untuk Menekan Susut Hasil dengan Menggunakan Terpal Berukuran 8x8 m

14

Page 15: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Berupaya menekan susut merupakan salah satu bentuk syukur atas nikmat rizki yang

telah dikaruniakan Allah SWT.  Dalam adab makan, ada sebuah hadits Riwayat Muslim

yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjilati jari-jemari dan

wadah makanan (jika selesai makan) seraya beliau bersabda “Sungguh kalian tidak tahu

dalam makanan mana yang terdapat berkah” (Sumber: Riyadhush Sholihin, karya Imam

Nawawi).  Oleh karena itu ketika hendak makan, perlu memperhitungkan takaran porsi

makan kita agar tidak menyisakan makanan di piring (Gambar 9).

Gambar 9. Makan Sesuai Takaran untuk Menghindari Sisa Makanan

Belajar dari adab makan, jika kita tarik ke belakang hingga ke sawah dimana Allah telah

menumbuhkan padi dari sebulir gabah (yang menumbuhkan padi bukanlah petani, buruh

tani ataupun menteri pertanian), maka tidak sepantasnya membiarkan dengan sengaja

bulir-bulir gabah (ratusan bahkan ribuan bulir) tercecer pada saat panen dan pascapanen

termasuk pada saat mengkonsumsi.  Praktek penanganan pascapanen yang baik (Good

Handling Practices, GHP) dan cara mengkonsumsi yang baik (Good Catering Practices,

GCP) perlu disosialisasikan dan dijalankan agar rizki yang kita nikmati membawa berkah

dan terhindar dari kelompok orang-orang yang kufur nikmat.  Sangatlah mudah bagi yang

Maha Kuasa untuk mengambil secara paksa nikmat yang sudah berada di depan mata.

Padi yang siap dipanen dapat lenyap melalui tiupan angin, banjir, longsor dan lain lain.  

Susut pascapanen tidak hanya terjadi di sawah dan petani/buruh tani sebagai pelakunya,

akan tetapi bisa saja terjadi pada saat mengkonsumsi nasi dan pelakunya adalah kita

semua yang sehari-harinya makan nasi ‘beras’ sebagai makanan pokoknya. Sisa-sisa nasi

yang lebih banyak lagi dapat dijumpai di warung/kedai, restoran atau pada saat kita

mengadakan pesta atau hajatan. Apakah nasi-nasi sisa tersebut dibuang ke bak sampah,

diberikan ke hewan piaraan atau diolah lebih lanjut menjadi pakan atau bahan pangan

lainnya?

15

Page 16: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Sebagian masyarakat seperti di Kabupaten Cirebon telah melakukan tindakan yang terpuji

dimana sisa nasi tidak dibuang mubazir melainkan diolah menjadi nasi aking (Ilham,

2007). Nasi aking adalah nasi sisa makanan yang telah dikeringkan dan disimpan untuk

digunakan di kemudian hari.  Bagi masyarakat yang belum pernah mengkonsumsi nasi

aking akan menganggap janggal, seperti pada sebuah lagu yang dilantunkan penyanyi

Alda Risma (alm) “Aku Tak Biasa”.  Tetapi bagi yang sering/pernah menikmatinya, hal

ini sepertinya “Biasa-biasa Saja”. Bagi masyarakat Cirebon, keberadaan ‘nasi aking’

menjadi bagian suatu kepercayaan “mitos” untuk memenuhi kebutuhan unsur syarat

dalam melakukan acara-acara ritual adat dan budaya. Sejak beberapa tahun lalu ‘nasi

aking’ juga sengaja dibuat sebagai bahan baku yang disebut “Intip” (sisa kerak nasi)

untuk pembuatan makanan jajanan khas Cirebon yang dikemas dalam berbagai bentuk

dan aneka cita rasa yang kini dipasarkan baik di pasar umum maupun pasar

swalayan/super market.

Terlepas percaya/tidak percaya mitos, memanfaatkan sisa-sisa makanan adalah tindakan

terpuji sebagaimana adab makan yang telah diajarkan nabi.  Ketika ada sisa makanan

tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, akan lebih bijak seandainya diberikan ke

hewan piaraan atau diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat agar dapat dikonsumsi atau

diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan. 

Melalui gerakan penurunan susut pascapanen, diharapkan tidak akan lagi terjadi impor

beras dan busung lapar di negeri yang subur makmur ini. Semoga Allah SWT

mengabulkan doa kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 1996. Survei susut pascapanen MT1994/95 dan MT 1995. Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog, Bappenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian.

Damardjati, D.S., H. Suseno dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen optimum padi sawah ( Oryza Sativa. L.) Penelitian Pertanian 1:19:26

Ditjen P2HP Reptan. 2007. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.

Hadiutomo, Kusno. 2006. Kumpulan beberapa kajian/penelitian tentang kehilangan hasil pada berbagai tahapan kegiatan pascapanen padi. http://agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=216

Hamlin Ilham. 2007. Makan Nasi Aking bukan sebuah kenistaan. Warta Intra Bulog Edisi No 1/Th.XXXIII/Januari 2007.

16

Page 17: 2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc

Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi

Patiwiri, A.W. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Purwadaria, H.K. 2004. Teknologi Panen Dan Pasca Panen Padi. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi, Jakarta 20-21 Juli 2004

Rachmat, R., A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. Evaluasi system pemanenan beregu menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimek. Vol 4 dan 5 No.1 (1992/1993)

Rokhani, H. 2007. Teknik penanganan pascapanen padi untuk menekan susut hasil. Modul pelatihan Tenaga Pendamping Program Pengawalan Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah oleh Perguruan Tinggi. Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor dengan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.

Setyono, A., R. Thahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan system pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian. Sukamandi. No. 13 Hal 1-4.

Wisnu Broto, Sigit Nugraha dan Suismono. 2006. Hasil-hasil penelitian BB-Pascapanen berkenaan dengan kehilangan hasil padi pada saat panen dan pascapanen. Workshop pengukuran kehilangan hasil padi, Jakarta 19-20 September.

17