20090519cetak Biru Logistik Indonesia

download 20090519cetak Biru Logistik Indonesia

of 80

Transcript of 20090519cetak Biru Logistik Indonesia

CETAK BIRUPENATAAN DAN PENGEMBANGAN

SEKTOR LOGISTIK INDONESIA

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008

TIM PENYUSUN

CETAK BIRU PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SEKTOR LOGISTIK INDONESIA

Firman MU Tamboen Ananta Dewandhono Mahendra Rianto Rocky Pesik Edward Kennedy Parlagutan Silitonga Robert Waloni Johni Martha Wahyu Tunggono Nofrisel Adolf Tambunan Darmawan Taslan Zaldi Ilham Masita Bambang Harjo

1

DAFTAR ISIHal DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... 2 KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... 3 RANGKUMAN EKSEKUTIF.............................................................................................................. 4 BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................................... 6 1.1. Umum ........................................................................................................................................ 6 1.2. Latar Belakang........................................................................................................................... 8 1.3. Tujuan ........................................................................................................................................ 9 1.4. Pendekatan................................................................................................................................ 9 BAB 2. SEKTOR LOGISTIK NASIONAL ......................................................................................... 11 2.1. Peran Logistik Nasional ............................................................................................................. 11 2.2. Ruang Lingkup Sektor Logistik Nasional................................................................................... 13 2.3. Keunikan Geografis Negara Indonesia...................................................................................... 14 2.4. Perubahan di Sektor Logistik Global ......................................................................................... 15 2.5. Permasalah Sektor Logistik Indonesia ...................................................................................... 19 BAB 3. TANTANGAN SEKTOR LOGISTIK INDONESIA SAAT INI DAN MASA DEPAN.............. 23 3.1. Komoditas Penentu dan Pemangku Kepentingan..................................................................... 23 3.2. Penegakan Hukum/Peraturan dan Koordinasi Lintas Sektoral ................................................ 24 3.3 Pembenahan Prasarana dan Sarana (Infrastruktur) ................................................................. 27 3.4 Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Manajemen ....................................................... 34 3.5 Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi .................................................................. 36 3.6 Penyedia Jasa Logistik Dan Peran Asosiasi Perusahaan Terkait ............................................ 37 BAB 4. VISI DAN STRATEGI LOGISTIK INDONESIA .................................................................... 41 4.1. Visi Logistik Indonesia ............................................................................................................... 42 4.2. Strategi Logistik Indonesia......................................................................................................... 44 BAB 5. KEBIJAKAN SEKTOR LOGISTIK INDONESIA .................................................................. 48 5.1. Prinsip-prinsip Dasar Kebijakan Logistik Nasional .................................................................... 48 5.2. Arah Kebijakan Logistik Nasional .............................................................................................. 49 5.3. Kelembagaan Logistik Nasional................................................................................................. 59 5.4. Peninjauan dan Pemantauan..................................................................................................... 60 5.5. Rekomendasi Skala Prioritas Kebijakan.................................................................................... 60 LAMPIRAN ........................................................................................................................................ 63 i. Global Competitiveness Index (GCI) 2006-2007 Table .............................................................. 63 ii. Logistics Performance Index (LPI) 2007 Table ........................................................................... 64 iii. Daftar Asosiasi Penyedia Jasa Logistik di Indonesia .................................................................. 65 iv. Klasifikasi Usaha Logistik menurut CPC/WTO............................................................................ 70 v. Peran/kegiatan yang berbeda dari bermacam segmen penyedia jasa logistik........................... 71 vi. Kebijakan Pengembangan National Single Window ................................................................... 73 vii. 10 (sepuluh) Langkah Kebijakan Pemerintah Untuk Mengantisipasi Dampak Krisis Keuangan Global di Akhir Tahun 2008.............................................................................. 78 viii. Daftar Nama Anggota Tim Penyusun dan Kontributor Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia .................................................................................. 79

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur terntu saja ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenan-Nya naskah BLUE PRINT (CETAK BIRU) Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Nasional ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan. Walaupun kami sudah berupaya secara maksimal untuk menyelesaikan penyusunan Cetak Biru ini, mulai dari mengumpulkan berbagai data dan informasi, melakukan serangkaian diskusi, seminar dan workshop, bahkan termasuk mempelajari berbagai perkembangan sektor logistik di beberapa negara, namun kami percaya bahwa Cetak Biru ini masih memiliki kekurangan di sana sini. Oleh sebab itu segala kritik, masukan dan koreksi yang konstruktif tentu akan kami terima dengan tangan terbuka. Penyusunan Cetak Biru ini terutama sekali dilatar-belakangi oleh beberapa hal. Pertama, kondisi dan kinerja sektor logistik nasional yang hingga hari ini masih belum menunjukkan kontribusi yang memadai dilihat dari perspektif kepentingan nasional. Perkiraan ini diperkuat oleh hasil pemotretan beberapa badan dunia, seperti World Economic Forum dan World Bank, yang menunjukkan posisi Indonesia dalam laporan mereka berjudul Global Competitive Index (GCI) dan Logistics Performance Index (LPI). Kedua, kebutuhan akan pembenahan sektor logistik nasional semakin terasa, terutama untuk mengatasi berbagai persoalan distribusi barang-barang secara nasional, yang terkadang cukup merepotkan pemerintah dan seluruh stakeholders sektor logistik nasional. Ketiga, munculnya berbagai kesepakatan global dan regional, misalnya APEC dan ASEAN, yang mendorong Indonesia harus sesegera mungkin merespon berbagai perkembangan ini. Salah satunya adalah sektor logistik, yang bahkan sudah tercantum dalam berbagai kesepakatan di tingkat global dan ASEAN. Khusus untuk lingkungan ASEAN, kesepakatan tentang adanya AEC (ASEAN Economic Community) tahun 2015 menjadi barometer utama. Berbagai kesepakatan ini mendorong Indonesia harus sesegera mungkin merumuskan langkah-langkah antisipatif, yang di antaranya adalah melalui penyusunan perencanaan strategis di sektor logistik nasional. Penyusunan Cetak Biru ini tidak akan terlaksana tanpa dukungan dan partisipasi berbagai pihak. Oleh sebab itu perkenankan kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya, terutama kepada: 1. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, khususnya Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Negara BUMN, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum. 2. Para pejabat dari hampir semua departemen dan instansi pemerintah terkait lainnya 3. Para Direksi dan pejabat baik dari perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) atau dari perusahaan-perusahaan swasta, yang telah secara aktif berkontribusi bagi penyusunan Cetak Biru ini. 4. Para pimpinan berbagai asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi yang menjadi bagian dari stakeholders sektor logistik nasional, yang telah memberikan berbagai masukan dan referensi bagi penyusunan Cetak Biru ini 5. Para profesional yang telah mengkontribusikan pemikiran dan waktunya, serta 6. Berbagai pihak yang tidak mungkin kami sebutkan satu per satu. Akhirnya kami persembahkan Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Nasional ini kepada pemerintah untuk dapat dijadikan sebagai bagian dari keputusan strategis pemerintah tentang pengembangan sektor logistik nasional. Semoga bermanfaat dan menjadi acuan semua pihak. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2008 TIM PENYUSUN

3

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Manajemen Logistik adalah bagian dari Manajemen Rantai Suplai yang merencanakan, menerapkan dan mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas dari arus dan penyimpanan barang, jasa dan informasi yang terkait, dari hulu-ke-hilir dan sebaliknya, mulai dari titik asal barang tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelanggan (Council of Supply Chain Management Professional CSCMP). Dalam 10 tahun terakhir ini, praktek logistik dalam industri mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Kecenderungan global mendorong ekspansi pasar perdagangan internasional hampir terjadi pada semua wilayah terutama di Asia-Pasifik. Kompetisi global dalam pasar produk dan jasa mendorong keragaman produk untuk memenuhi kebutuhan segmen pasar yang juga beragam, standar kualitas produk tinggi, penyerahan barang tepat waktu yang sangat tergantung ketersediaan dan kondisi infrastruktur publik yang disediakan pemerintah suatu negara. Akibatnya tuntutan efisiensi dalam kegiatan logistik semakin tinggi, termasuk tingkatan kualitas keamanan, keselamatan dan pelayanannya. Dipihak lain sumber energi (fosil) yang saat ini semakin mahal dengan tingkat polusi lingkungan yang diakibatkannya, semakin dituntut untuk dikurangi, tetapi menimbulkan peningkatan biaya pemakaian energi. Menekan biaya dan meningkatkan kualitas sistem logistik dan transportasi akan meningkatkan akses ke pasar internasional, yang akan bedampak langsung pada peningkatan perdagangan, dan melalui hal ini, akan meningkatkan pendapatan dan berarti mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan (World Bank). Penelitian dan survey Global Competitiveness Index (GCI) yang dilakukan oleh World Economic Forum pada tahun 2007-2008 menempatkan Indonesia pada urutan ke 54 dari 131 negara yang disurvey, berada dibawah Thailand (28), Malaysia (21), dan Singapura (7). Dalam laporan survey Logistics Performance Index (LPI) tahun 2007, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke 43, dari 150 negara yang di survey, berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Khusus untuk salah satu dari 7 (tujuh) tolok ukur yang ada dalam LPI diatas, indikator biaya logistik domestik Indonesia berada di peringkat 92 dari total 150 negara yang disurvey. Persaingan saat ini adalah persaingan antar rantai suplai. Logistik adalah kegiatan dalam Rantai Suplai. Sektor logistik penting dalam peningkatan daya saing negara. Porsi biaya logistik terhadap harga barang adalah sekitar 20% lebih. Biaya logistik negara di dunia memiliki besaran sekitar 10%20% untuk negara maju dan berkembang. Kondisi ini telah menginspirasi banyak negara untuk melakukan penataan dan merumuskan kebijakan nasional mereka dalam sektor logistik. Indonesia bisa menjadikan perkembangan di beberapa negara sebagai referensi yang sangat berharga. Australia misalnya, mematok sasaran dan strategi bisnis logistik sebagai bagian dari daya saing nasional. Untuk itu, mereka membentuk Australian Logistics Council yang khusus menangani masalah ini. Hong Kong mencanangkan visi sebagai Gateway for Pearl River Delta, yaitu pintu gerbang ke wilayah China di sekitarnya. Singapore jelas menempatkan strategi sektor logistik menjadi primadona industrinya dan memiliki visi A Leading Integrated Logistics Hub in Asia by 2010. Masyarakat Ekonomi Eropa, melalui EULOC Vision 2015, mendukung terbangunnya linkage antar negara anggota, untuk meningkatkan daya saing satu Eropa, melalui peningkatan standardisasi logistik. Amerika Serikat memiliki VISION 2050: An Integrated National Transportation System yang fokus pada pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dibutuhkan oleh semua industri. Sementara Thailand, merencanakan menjadi Regional Logistics Hub untuk kawasan Indochina (Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar dan sebagian Mainland China). Thailand juga mencanangkan tujuan untuk dapat menurunkan total biaya logistik-nya sebanyak 9% selama 5 tahun ke depan. Belajar dari pengalaman negara-negara sebagaimana tersebut di atas, Indonesia selayaknya sudah dapat menentukan Visi ke depan yang tersendiri untuk mengembangkan sektor logistik nasional yang kemudian dijabarkan dalam Strategi dan Peta Jalan (Roadmap) sebagai acuan pembangunan dan pengembangan sektor lain yang terkait. Rumusan Visi Logistik Indonesia harus mewakili karakter Indonesia yang unik, antara lain:

4

(a) perspektif Indonesia sebagai supply side, sekaligus demand side, dalam rantai suplai global, juga terdiri dari kepulauan yang luas (peran sebagai hub atau sejenisnya bukan pilihan), (b) memberikan gambaran kemampuan menghadapi tantangan global yang saat ini dan masa depan dalam era kompetisi rantai suplai, (c) mencerminkan suatu mimpi yang ingin diwujudkan, (d) suatu visi sebaiknya dapat dinyatakan dalam satu kalimat, dengan Headline-nya fokus pada katakata pembeda dibanding visi-visi terkait/pesaing yang lain, dan Statement-nya menyatakan visi secara lengkap, dan (e) menunjukkan suatu sasaran yang jelas (waktu atau jumlah). Dengan pertimbangan tersebut, maka Headline dan Statement dari Visi Logistik Indonesia adalah:

Vision 2025: Locally Integrated, Globally Connected(Visi 2025: Terintegrasi Secara Lokal, Terhubung Secara Global) Pada tahun 2025, Sektor Logistik Indonesia, yang secara domestik terintegrasi antar-pulau dan secara internasional terkoneksi dengan ekonomi utama dunia, dengan efisien dan efektif, akan meningkatkan daya saing nasional untuk sukses dalam era persaingan rantai suplai dunia Sebuah Visi akan semakin kuat dan berdampak lebih besar pada penentuan arah kebijakan bila dilengkapi dengan Goals (Sasaran) yang solid. Selain sasaran dalam bentuk tahun (2025) yang tertulis diatas, sasaran lain yang dapat dipertimbangkan untuk dijadikan fokus juga adalah seberapa jauh (dalam %) penurunan biaya logistik nasional yang ingin dicapai pada tahun 2025 tersebut. Penentuan sasaran ini perlu diformulasikan dengan lebih seksama dan detail, sehingga studi lebih lanjut perlu dilakukan oleh Komite Logistik Indonesia (KLI) yang direkomendasikan untuk dibentuk. Visi dicapai melalui penerapan Strategi. Strategi Logistik Indonesia memiliki prioritas pada 6 (enam) penggerak utama logistik nasional, atau the 6 (six) major national logistics drivers, yaitu: Komoditas Penentu (Key Commodities), Peraturan dan Perundangan (Laws and Regulations), Prasarana dan Sarana (Infrastructure), Sumber Daya Manusia dan Manajemen (Human Resources and Management), Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communication Technology) Penyedia Jasa Logistik (Logistics Service Providers).

Berdasarkan Visi dan Strategi Logistik Nasional tersebut, dan mengacu pada Prinsip-prinsip Dasar Kebijakan Logistik Nasional, maka pemerintah Indonesia melalui dokumen Cetak Biru Logistik Nasional ini menetapkan Arah Kebijakan Logistik Nasionalnya, menyarankan pentingnya pembentukan Kelembagaan Logistik Nasional, dan merencanakan pelaksanaan Peninjauan dan Pemantauan terhadap semua rencana aksi yang akan dilakukan.

5

BAB 1 PENDAHULUAN1.1. Umum Logistik secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai penyediaan suatu barang yang dibutuhkan yang pengadaannya dapat dilakukan langsung oleh pihak yang membutuhkan atau dilakukan oleh pihak lain. Dalam perkembangannya, persepsi tentang logistik berubah, logistik dipersepsikan bukan lagi suatu barang yang dibutuhkan tetapi proses mengadakan barang kebutuhan tersebut dipersepsikan sebagai logistik. Wikipedia, the free encyclopadia, mendefinisikan logistik sebagai suatu proses mendapatkan barang yang tepat (at the right item), dalam jumlah yang tepat (in the right quantity), pada waktu yang tepat (at the right time), pada tempat yang tepat (at the righ place) untuk harga yang tepat (for the right price). Dari perspektip lain, logistik dapat didefinisikan sebagai kerangka kerja perencanaan bisnis untuk manajemen material, jasa, informasi dan arus modal, mencakup peningkatan kompleksitas sistem informasi, komunikasi dan pengendalian yang dikehendaki lingkungan bisnis saat ini. (dari Logistics World, Logistix Parteners OY, Helsinki Fl,1996). Istilah Logistik awalnya lebih di kenal di dunia militer. Logistics didefinisikan oleh pihak militer sebagai: the science of planning and carrying out the movement and maintenance of forces.... those aspects of military operations that deal with the design and development, acquisition, storage, movement, distribution, maintenance, evacuation and disposition of material; movement, evacuation, and hospitalization of personnel; acquisition of construction, maintenance, operation and disposition of facilities; and acquisition of furnishing of services, atau, ilmu perencanaan dan pelaksanaan pergerakan dan pemeliharaan dari kekuatan . segala aspek operasi militer yang berhubungan dengan: - desain dan pengembangan, akuisisi, penyimpanan, permindahan, distribusi, pemeliharaan, evakuasi dan pembagian/penempatan material; - pergerakan, evakuasi, dan perawatan personel, akuisisi konsruksi, pemeliharaan, operasi dan penempatan fasilitas; dan akuisisi dari perlengkapan pelayanan Evolusi pemikiran tentang logistics didasarkan atas bagaimana melakukan pengelolaan yang paling efektif dan efisien atas pendistribusian barang dari produsen sampai ke konsumen akhir, dengan perkembangan orientasi (a) 1950an, berupa workplace logistics, (b) 1960an, facility logistics, (c) 1970an, corporate logistics, (d) 1980an, supply chain logistics, dan (e) 1990an, global logistics (Frazelle, 2002). Secara konseptual, pengertian manajemen logistics adalah: the process of planning, implementing and controlling the efficient, cost effective flow and storage of raw materials in process inventory, finished goods and related information flow from point of origin to point of consumption for the purpose to customer requirement, (Bowersox, 1984) dengan berbagai variasi bentuk kegiatannya (Simchi-Levi et al, 2003; Hong and Liu, 2007; Bowersox et al, 2007; Chopra and Meindl, 2007). Fungsi dan aktivitas manajemen logistik pada dasarnya mencakup: location, transportation and logistics, inventory and forecasting, marketing and channel restructuring, sourcing and supplier management, information and electronic mediated environments, product design and new product introduction, service and after sales support, reverse logistics and green issues, outsourcing and strategic alliances, metrics and incentives, global issues, (Ganeshan et al, 1999; Johnson and Pyke, 2000a) dengan berbagai diferensiasi dan pengembangan bentuknya, termasuk basic logistics activities dan value-added logistics activities (Berglund et al, 1999; Simchi-Levi et al, 2003; Swa, 2004; Sohail et

6

al, 2006; Chopra and Meindl, 2007; Bowersox et al, 2007), seperti diilustrasikan dalam gambar berikut:

Di dalam suatu masyarakat baik yang modern maupun yang tradisional, pada dasarnya produk atau barang-barang, diangkut dari tempat yang menghasilkan ke tempat yang mengkonsumsikannya. Pertukaran dapat terjadi apabila terjadi perbedaan antara jumlah, tipe dan waktu ketersediaan dan kebutuhan akan produk atau barang tersebut. Apabila satu atau beberapa individu atau organisasi memiliki surplus atas suatu produk atau barang yang dibutuhkan oleh individu atau organisasi lain, keadaan ini merupakan basis terjadinya pertukaran. Rangkaian/rantai kegiatan perpindahan barang, informasi, dan juga uangnya, dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumen/pengguna-akhir, secara umum dikenal sebagai Supply Chain atau Rantai Suplai. Dalam beberapa sudut pandang teori manajemen, istilah supply chain juga sering dikaitkan dengan istilah demand chain dan value chain. Dengan demikian supply chain bersifat koordinasi dan integrasi dari rangkaian kegiatan suplai/pasokan mulai dari pemasok pertama untuk mensuplai kebutuhan pelanggan paling akhir yang dapat difasilitasi service providers (penyedia jasa). Menurut Council of Supply Chain Management Professional (CSCMP) yang berkedudukan di Amerika Serikat: Logistics Management is that part of Supply Chain Management that plans, implements, and controls the efficient, effective forward and reverse flow and storage of goods, services and related information between the point of origin and the point of consumption in order to meet customers' requirements, atau, Manajemen Logistik adalah bagian dari Manajemen Rantai Suplai yang merencanakan, menerapkan dan mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas dari arus dan penyimpanan barang, jasa dan informasi yang terkait, dari hulu-ke-hilir dan sebaliknya, mulai dari titik asal barang tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelanggan.

7

Istilah Logistics atau Logistik itu sendiri lebih diartikan pada eksekusi dan proses kegiatan didalam supply chain. Supply chain dan logistics adalah merupakan elemen-elemen penting dalam meningkatkan daya saing suatu entitas (perusahaan).

1.2. Latar Belakang Dalam tatanan ekonomi dunia, logistik atau manajemen logistik memiliki peranan yang penting dalam mendukung perkembangan ekonomi dan kesejahteraan suatu Negara. Pengelolaan logistik yang lebih baik akan membantu pelaku usaha di suatu negara untuk dapat lebih unggul dari persaingan perbandingan biaya dan karenanya akan menghasilkan nilai lebih untuk produk atau jasa yang dihasilkan. Perbaikan daya saing tersebut akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Logistik yang efisien juga secara langsung akan ikut mempertahankan kelestarian lingkungan dan menghemat energi. Terkait dengan hal ini, World Bank mempunyai pandangan khusus terhadap terhadap sektor logistik ini, yaitu: The case is simple. Reducing the cost and improving the quality of logistics and transport systems improves international market access and leads directly to increased trade and through this to higher incomes and the scope for significant reductions in poverty, atau, Masalahnya sederhana. Menekan biaya dan meningkatkan kualitas sistem logistik dan transportasi akan meningkatkan akses ke pasar internasional, yang akan bedampak langsung pada peningkatan perdagangan, dan melalui hal ini, akan meningkatkan pendapatan dan berarti mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan. World Bank secara periodik melakukan survey terhadap kinerja sektor logistik berbagai Negara di dunia, yang dikenal sebagai Logistics Performance Index (LPI). Selain sebagai tolok ukur bagi Negara terkait untuk terus meningkatkan kinerja logistik mereka, diselenggarakannya survey LPI ini oleh World Bank juga menunjukkan bahwa sektor logistik dilihat semakin penting dalam mendukung perkembangan daya saing perdagangan dan industri dari suatu Negara. Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan sistem distribusi nasional yang terintegrasi guna mampu menjamin ketersediaan bahan kebutuhan pokok masyarakat secara adil dan merata. Dengan sistem logistik yang efektif dan efisien, suatu barang atau jasa akan berada ditangan penguna jasa dalam bentuk dan kondisi yang sesuai dengan keinginan, dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat serta harga yang terjangkau. Kenyataan yang ada menunjukkan hal yang berbeda. Sistem logistik nasional di Indonesia saat ini dikenal tidak efisien dan tidak efektif. Berberapa permasalahan distribusi komoditi / produk kerap kali menjadi isu strategis di tingkat nasional, yang memperlihatkan lemahnya dukungan sektor logistik nasional. Permasalahan-permasalahan tentang distribusi pupuk, BBM, beras, gula, dan logistik PEMILU adalah beberapa contoh persoalan distibusi barang tingkat domestik yang sering merepotkan pemerintah, yang tentu menimbulkan persoalan bagi bangsa. Pada tingkat dunia, kecenderungan (trend) global pada praktek logistik dalam industri mengalami perubahan besar. Telah terjadi perubahan yang cukup signifikan pada peta pasar dunia dengan adanya gerakan menuju pasar bebas dan juga adanya kerjasama kawasan untuk memperluas pasar. Ekspektasi pasar juga berubah karena persaingan global dalam produk dan jasa mendorong standar yang lebih tinggi, biaya yang lebih rendah dan semakin beragam pilihan pelanggan di pasar. Beroperasinya rantai suplai global pada banyak negara yang diakibatkan oleh semakin terpencarnya lokasi sentra-sentra produksi membuat kompetisi antar pemain menjadi semakin sengit. Bersamaan dengan meningkatnya persaingan di tingkat global juga mendorong para pemain untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dengan melakukan investasi dengan teknologi terkini pada moda-moda transportasi maupun pengelolaan informasinya agar dapat lebih efisien dalam operasinya. Hal tersebut tampak pada penggunaan mesin-mesin terbaru yang hemat energi maupun penggunaan kapal-kapal yang lebih besar dan lebih efisien. Inter-moda semakin penting peranannya karena baik kontainerisasi standart maupun spesifik terus berkembang, memfasilitasi alokasi lalu lintas inter-modal transit dan multi-modal.

8

Dalam aspek energi, biaya energi akan menjadi salah satu variabel yang dominan dalam penentuan daya saing ekonomi dengan melemahnya pengharapan ketersediaan energi murah secara berkelanjutan karena berkurangnya stock fosil bahan bakar dan perkiraan akan diberlakukan pajak energi yang lebih tinggi sebagai tanggapan atas global warning. Security menuntut standar keamanan yang lebih tinggi dan pencapaian standart security tersebut untuk transport barang terus diupayakan dan diperluas untuk seluruh moda pengangkutan, khususnya dalam armada pelayanan international dan aviasi. Dilain sisi, perlu dicatat juga bahwa peningkatan volume yang terjadi tidak diantisipasi secara merata. Bottleneck menjadi trend global karena pelayanan logistik sangat tergantung pada infrastruktur publik pada jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara, saluran pelayaran (shipping channels) dan lain-lain, penambahan kapasitas tidak sesuai dengan pertumbuhan muatan barang dunia. Berdasarkan permasalahan domestik dan mempertimbangkan kecenderungan global tersebut diatas, maka Indonesia memerlukan suatu Visi logistik nasional, yang berperan menjadi acuan kebijakan di sektor logistik nasional, sehingga sektor logistik dapat berkembang dan menjadi salah satu prasarana untuk membangun national competitiveness (daya saing nasional). Diawali dengan penyelenggaraan berbagai seminar, diskusi terbatas, round table discussion dan semacamnya, yang diikuti oleh seluruh stakeholder sektor logistik nasional, Kantor Menteri Koordinator Perekonomian RI berinisiatif untuk menyusun konsep yang disebut sebagai Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Nasional. Melalui Cetak Biru ini diharapkan Indonesia dapat segera secara bertahap melakukan penataan kembali dan pengembangan sektor logistik nasional dengan sasaran jangka panjang untuk memperkuat daya saing nasional. Diharapkan Cetak Biru ini dapat segera menjadi bagian integral dari keputusan strategis pemerintah yang secara formal tertuang dalam peraturan ataupun kebijakan pemerintah.

1.3. Tujuan Cetak Biru (Blue Print) Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Nasional menjadi kebijakan Presiden Republik Indonesia di sektor logistik dalam rangka meningkatkan daya saing dunia usaha nasional di pasar global. Cetak Biru ini berisikan visi dan strategi logistik nasional serta rencana aksi terkait dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan di sektor logistik, dalam kerangka upaya memperlancar distribusi barang baik dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan tersebut harus dapat meningkatkan kinerja sektor logistik dalam rangka mempersiapkan ekonomi Indonesia menghadapi globalisasi yang secara konkrit diwujudkan dalam kesepakatan WTO, APEC dan AFTA untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas. Sebagai dokumen Cetak Biru, dokumen ini hanya akan memformulasikan Visi dan Kebijakan Logistik Nasional secara garis besar (high level blue print), yang untuk selanjutnya akan menjadi dasar untuk pembuatan rencana aksi dan jadwal kerja yang lebih rinci bagi pihak-pihak yang nantinya ditunjuk atau diberi wewenang untuk itu. Keberadaan Cetak Biru ini diharapkan dapat membantu pemerintah pusat maupun daerah dalam membuat rencana pembangunannya sehingga sumber daya nasional yang tebatas ini dapat difokuskan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan semaksimal mungkin daya saing dunia usaha nasional di pasar global. Diharapkan juga sebagai turunannya, keberadaan Cetak Biru ini dapat meningkatkan transparansi dan koordinasi lintas departemen dan instansi, serta turut memberikan gambaran-gambaran kesempatan investasi bagi usaha menengah, kecil dan mikro serta membuka peluang penyedia jasa logistik nasional untuk menggalang kerjasama dalam skala global.

1.4. Pendekatan Cetak Biru Pengembangan Sektor Logistik Indonesia ini disusun melalui pendekatan berupa beberapa pentahapan pengumpulan data dan informasi, baik dalam bentuk diskusi, rapat kerja, seminar dan konferensi, maupun kerja individual (pengembangan konsep dan penulisan dokumen).

9

Seluruh kegiatan tersebut secara umum dikoordinasi oleh tim kecil logistik nasional dari kantor Kementerian Koordinator Perekonomian.

Tahap awal melakukan overview kinerja dan relevansi secara umum kegiatan logistik di Indonesia yang mencakup semua kegiatan mulai dari titik asal pemasok sampai titik akhir pengguna, termasuk persediaan, pergudangan, pengkemasan, trucking dan komponen dari Logistik yang lain. Tahap kedua adalah mempelajari kondisi dan kinerja sisi suplai yang mencakup komponen sistem logistik (penyedia jasa logistik, peralatan dan teknologi, sumber daya manusia, dan lain-lain), peraturan perundangan dan institusi serta daftar proyek-proyek (infratruktur) yang sedang berjalan. Dalam sistem logistik nasional, peraturan dan perundangan adalah payung dari semua komponen yang ada, sedangkan infrastruktur (prasarana) merupakan landasan atau fondasi dari semua kegiatan logistik di suatu negara. Tahap ketiga adalah untuk mengkaji kebutuhan dan perspektif pengguna sistem kegiatan logistik. Tahap ini mencakup studi dalam mempelajari bagaimana pola arus barang yang berlangsung, baik export, import maupun distribusi dalam negeri, menelaah lebih dalam hasil survey yang ada tentang kinerja logistik secara umum, dan menganalisa value chain yang ada serta mengkaji kemungkinan perbaikan atau penyempurnaan yang dapat dilakukan. Tahap keempat (akhir) adalah penyusunan dokumen cetak biru penataan dan pengembangan logistik nasional ini, dimulai dengan kesepakatan mengenai rumusan visi logistik nasional, strategi logistik nasional (dengan fokus pada beberapa bidang penentu sebagai arahan utama kebijakan), dan penjelasan rencana aksi kunci serta kerangka kebijakan yang harus dikembangkan. Dokumen Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia ini disusun dengan kerangka penyajian sebagai berikut: pengertian tentang logistik, penjelasan mengenai peran, ruang lingkup dan perubahan global sektor logistik nasional, penggambaran tentang tantangan saat ini dan masa depan untuk bidang-bidang utama penentu kinerja sektor logistik nasional, penjelasan rumusan visi dan strategi logistik Indonesia, yang dikembangkan oleh tim penyusun Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Nasional ini, penjabaran kebijakan logistik nasional, yang berupa prinsip-prinsip dasar yang harus dipertimbangkan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan.

Untuk mendukung paparan yang ada dalam Cetak Biru ini, beberapa data atau tabel pelengkap juga dilampirkan dalam dokumen ini.

10

BAB 2 SEKTOR LOGISTIK NASIONAL2.1. Peran Sektor Logistik Nasional Penelitian dan survey Global Competitiveness Index (GCI) yang dilakukan oleh World Economic Forum pada tahun 2007-2008, menempatkan Indonesia pada urutan ke 54 dari 131 negara yang disurvey, berada dibawah Thailand (28), Malaysia (21), dan Singapura (7). Tabel lengkap hasil survey tercantum pada lampiran (i) di bagian belakang dokumen ini. Survey ini membandingkan 12 komponen yang mereka tetapkan sebagai 12 Pilars of Competitiveness yaitu : - Basic requirements/Persyaratan Mendasar: Institutions, Infrastructure, Macroeconomic stability, Health and primary education - Efficiency enhancers/Pendorong Efisiensi: Higher education and training, Goods market efficiency, Labor market efficiency, Financial market sophistication, Technological readiness, Market size - Innovation and sophistication factors/Faktor Tingkat Inovasi dan Kecanggihan: Business sophistication, Innovation Kedudukan Indonesia dalam ranking hasil survey ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk dapat meningkatkan daya saing Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi, minimal dapat bersaing dengan negara sesama anggota ASEAN. Dalam konsep atau model Value Chain yang diperkenalkan oleh Michael E Porter, mayoritas dari kegiatan utama (primary) dalam model tersebut adalah kegiatan logistik. Dalam dunia bisnis, sebuah Value Chain atau sebuah entitas bisnis (perusahaan) harus mampu bersaing untuk dapat terus hidup dan berkembang. Kinerja yang baik dalam kegiatan logistik sebuah entitas akan mendukung kinerja daya saing entitas tersebut secara keseluruhan. Logistik adalah kegiatan / eksekusi yang terjadi dalam Rantai Suplai, dan karena semakin terlihat kritikalnya peran Rantai Suplai dalam persaingan bisnis, banyak ahli yang menyebutkan bahwa bisnis saat ini tidak lagi merupakan persaingan antar merek, tetapi telah menjadi persaingan antar rantai suplai - today is the era of supply chain competition.

Michael E Porter juga menyatakan bahwa The productivity of a country is ultimately set by the productivity of its companies. An economy cannot be competitive unless companies operating there are competitive, whether they are domestic firms or subsidiaries of foreign companies, atau Tingkat produktifitas suatu negara ditentukan oleh produktifitas dari perusahaan-perusahaannya. Suatu negara tidak dapat bersaing bila perusahaan yang beroperasi di negara tersebut tidak punya daya saing yang baik, baik itu perusahaan lokal maupun perusahaan asing yang beroperasi di negara itu.

11

Untuk tatanan makro, suatu Negara adalah sebuah Value Chain (entitas bisnis) dalam lingkungan perdagangan ekonomi global, yang tentu saja harus punya daya saing guna tetap hidup dan berkembang (makmur dan sejahtera). Sektor logistik nasional suatu negara otomatis menjadi penting untuk meningkatkan daya saing negara tersebut. Oleh karenanya, perbaikan di sektor Logistik perlu diberikan perhatian khusus oleh pemerintah dalam bentuk kejelasan visi dan strategi logistik nasional berikut rencana aksi dan metoda pemantauan pencapaian pelaksanaan aksi tersebut. Pentingnya sektor logistik dalam rangka peningkatan daya saing suatu entitas (perusahaan atau negara) dapat pula dilihat dari tingginya prosentase biaya logistik perusahaan dibandingkan dengan harga barang dari berbagai industri yang berbeda dan porsi biaya logistik nasional dibandingkan dengan GDP dari negara yang bersangkutan.

Source: European Logistics Association.

Source: Transport & Logistics in the Internet Age International Summit 2001.

Secara rata-rata, porsi biaya logistik terhadap harga barang adalah sekitar 20% lebih. Sedangkan biaya logistik negara di dunia memiliki besaran mulai dari sekitar 10% terhadap GDP (di Amerika, negara maju) sampai dengan kisaran 15%-25% untuk negara-negara sedang berkembang. Untuk Indonesia, walau belum ada survey resmi yang dapat memberikan angka yang tepat, diyakini bahwa porsi biaya sektor logistik nasionalnya adalah lebih dari 25% dari GDP. Seberapa jauh sektor logistik suatu negara dapat mendukung daya saing negara tersebut dapat dilihat pula dari seberapa baik kinerja sektor logistik tersebut dibandingkan dengan sektor logistik di negara lain di dunia. Secara periodik, Bank Dunia melakukan survey terhadap kinerja sektor logistik negara-negara di dunia, yang disebut Logistics Performance Index (LPI). Dalam LPI tahun 2007, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke 43, dari 150 negara yang di survey, berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Walau survey tersebut didasarkan pada persepsi para penyedia jasa logistik global, seperti DHL, TNT, FEDEX, P&O, Maersk, dll., dan tidak termasuk persepsi dari pelaku logistik lokal, peringkat tersebut pada dasarnya cukup untuk menunjukkan bahwa kinerja sektor logistik nasional Indonesia masih perlu terus diperbaiki, guna pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing negara. Tabel lengkap hasil survey LPI ini tercantum pada lampiran (ii) di bagian belakang dokumen ini. Khusus untuk salah satu dari 7 (tujuh) tolok ukur yang ada dalam LPI diatas, indikator biaya logistik domestik Indonesia berada di peringkat 92 dari total 150 negara yang disurvey. Peringkat yang begitu rendah ini tampaknya mewakili apa yang sebenarnya ada di logistik domestik Indonesia.

12

2.2. Ruang Lingkup Sektor Logistik Nasional Sesuai dengan definisi dari CSCMP yang berpusat di Amerika Serikat, kegiatan logistik adalah kegiatan arus barang kearah hilir maupun arus sebaliknya, penyimpanan barang-barang, layananlayanan lain dan juga arus informasi yang berkaitan dengan barang-barang tersebut, mulai dari titik asal barang tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelanggan. Dalam sistem logistik di suatu industri atau negara, model teoritis tentang pengendalian arus pergerakan barang, membagi pelaku kegiatan logistik dalam lima kelompok, yaitu: a. Produsen dan Pedagang yang menentukan lokasi berdasarkan sumber pasokan bahan baku dan jaringan distribusi yang dibutuhkan, bentuk proses produksi dan jenis jalur penjualan, serta jenis/tipe/merek dan harga dari produknya; b. Konsumen yang menentukan jenis dan jumlah barang-barang yang akan dibeli dari produsen, dan preferensi dimana produk tersebut di beli; c. Penyedia jasa logistik yang menyimpan barang atas nama pemilik barang, mencatat, mensortir dan termasuk juga mengemas bilamana perlu, mengangkut sesuai dengan rencana penyediaan (fulfillment plan), yang juga disesuaikan dengan karakteristik barang yang di angkut dan moda angkutan yang diperlukan; d. Pemilik prasarana dan sarana angkutan yang biasanya adalah agen yang melaksanakan kegiatan angkutan tersebut, sesuai prinsip operasi moda angkutannya; e. Pemerintah yang menyiapkan peraturan perundangan dan infrastruktur yang diperlukan untuk terlaksananya proses logistik didalam suatu sistem. Khusus untuk usaha penyedia jasa logistik, definisi dari World Trade Organization, dan sesuai yang tercantum pada dokumen ASEAN Roadmap for Logistics Integration, yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia, menyebutkan bahwa cakupan jasa logistik ini terdiri dari 11 sektor dan dikelompokkan dalam 3 Tier (detail penjelasan pembagian Tier ini dapat dilihat di lampiran-iv), yaitu: - TIER I : Core Freight Logistic Services - TIER II : Related Freight Logistic Services - TIER III : Non-Core Freight Logistic Services Sektor jasa logistik tidak didefinisikan sebagai sektor yang terpisahkan di dalam GATS, akan tetapi hanya dimasukan dalam kategori jasa lain, termasuk jasa penolong (service auxiliary) untuk seluruh moda pengangkutan. Komitmen atas jasa-jasa penolong (service auxiliary) terhadap seluruh moda angkutan selama Uruguay Round tetap kembar (binary), dengan beberapa anggota mempertahankan pembatasan dalam bidang tersebut seperti pendirian; pagu ekuitas asing; syarat minimum modal; jumlah terbatas dan jangka waktu dari usaha bersama; kebangsaan, persyaratan tempat kedudukan dan bahasa ; persyaratn kualifikasi; dan jangka waktu menetap dan kondisi peatihan. Dalam putaran terbaru sektor jasa logistik telah diakui dan di bahas pada tingkat plurilaterl/bilateral, dan berdasarkan umpan balik informal hal ini secara relatif item yang sering diebut dalam pemohonan. Proposal yang di ajukan negara-negara dan kelompok yang relevan tentang logistik sejak tahun 2004 di bahas. Proposal swiss menyampaikan subsektor jasa logistik berikut ini: cargo handling service, freight transport agency service, termasuk other auxiliary transport service. Proposal dari hongkong , china sebagian besar diinspirasi oleh daftar nama- nama yang disusun oleh kelompok the Friend of logistics services proposal tersebut bertujuan untuk memperoleh komitmen dalam: freight transportation service, cargo handling service, storage and warehousing service, customs clearance service, transport agency service, container station and depot service, custom clearance service, inventory management service, order processing service, production planning service, and production control service. The Friends of Logistics Service mengusulkan pengklasifikasian jasa sama seperti penjabaran USITC 2005 di atas : a. Core freight logistics service, yang terutama sekali mencakup services auxiliary untuk seluruh moda angkutan, b. Related freight logistics service, yang mencakup freight transport service dan jasa-jasa logistic terkait lainnya seperti Technical testing and analysis service, courier service : dan

13

c.

Non-core freight logistics service seperti computer and related service, packaging, and management consulting and related service.

2.3. Keunikan Geografis Negara Indonesia Michael Hugos, pada bukunya berjudul The Essential of Supply Chain Managament (2003), menulis bahwa ada 5 (lima) penggerak utama dalam suatu rantai suplai (major supply chain drivers). Ke 5 (lima) penggerak utama itu adalah produk, persediaan, transportasi, lokasi & informasi. The overall effect of the decisions made concerning each driver will determine how well the supply chain serves its market and how profitable it is for the participants in that supply chain. The right combination of responsiveness & efficiency in each of the drivers allows supply chain to increase throughput while simultaneously reducing inventory & operating expense. Bila pada kerangka mikro peserta rantai suplai adalah perusahaan, maka dalam kerangka makro, peserta rantai suplai global adalah Negara. Letak geografis suatu negara di peta percaturan ekonomi dunia adalah faktor penggerak lokasi dari teori diatas. Kondisi geografis, dalam hal ini untuk Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, menentukan bagaimana manajemen faktor penggerak transportasi harus dikelola. Bersama dengan faktor produk (sebaran sentra produksi) dan faktor persediaan (supply and demand), faktor letak dan kondisi geografis ini sangat menentukan kebijakan perdagangan dan industri suatu negara, yg tentu akan pada gilirannya juga menentukan kebijakan logistik nasional-nya. Agar kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya, dukungan faktor penggerak informasi (tekonologi dan manajemen) tentu sangat diperlukan. Keunikan kondisi dan letak geografis Indonesia, termasuk juga keadaan alam, demografi dan sebaran sentra produksi komoditas, tentu akan membutuhkan arah kebijakan logistik nasional yang khusus atau unik pula. Oleh karenanya, pemahaman dalam keunikan tersebut terkait dengan pengembangan sektor logistik nasional adalah penting. 2.3.1. Letak, Cuaca dan Keadaan Alam

Indonesia memiliki 17.504 pulau (data 2004), di mana sekitar 6.000 pulau di antaranya tidak berpenghuni. Posisinya yang terletak di garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki cuaca tropis. Indonesia mempunyai iklim tropik basah yang dipengaruhi oleh angin musim barat dan musim timur. Dari bulan November hingga Mei, angin bertiup dari arah Utara Barat Laut membawa banyak uap air dan hujan di kawasan Indonesia, sedangkan dari bulan Juni hingga Oktober angin bertiup dari Selatan Tenggara kering, membawa sedikit uap air. Suhu udara di dataran rendah Indonesia berkisar antara 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius sepanjang tahun. Umumnya di Indonesia dikenal 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, dan pada beberapa tempat dikenal musim pancaroba, yaitu musim diantara perubahan kedua musim tersebut. Secara lokasi Indonesia terletak pada posisi koordinat 6LU - 1108'LS dan dari 95'BB - 14145'BT, membentang dari Barat ke Timur dan diapit oleh dua Samudera yang menjadi sarana lalu lintas utama perhubungan antara wilayah Barat dunia dengan wilayah Timur dunia, dengan rincian luas terdiri atas total darat: 1.922.570 km, daratan non-air 1.829.570 km, daratan berair 93.000 km, dan lautan: 3.257.483 km. Secara georgrafis, Indonesia berbatasan (berbatasan darat maupun berbatasan laut) dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, India di barat laut Aceh, Australia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, dan Birma. 2.3.2. Demografi

Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia, dengan lebih dari 107 juta jiwa tinggal di daerah dengan luas sebesar New York. Dari segi kependudukan, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi beberapa masalah besar anatara lain (WHO, 2007):

14

-

Penyebaran penduduk tidak merata, sangat padat di Jawa - sangat jarang di Kalimantan dan Irian. Piramida penduduk masih sangat melebar, kelompok balita dan remaja masih sangat besar. Angkatan kerja sangat besar, perkembangan lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penambahan angkatan kerja setiap tahun. Distribusi Kegiatan Ekonomi masih belum merata, masih terkonsentrasi di Jakarta dan kota-kota besar di pulau Jawa. Pembangunan Infrastruktur masih tertinggal; belum mendapat perhatian serius Indeks Kesehatan masih rendah; Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi masih tinggi Variasi Ketersebaran Komoditas

2.3.3.

Variasi ketersebaran komoditas/produk pada dasarnya adalah konsekuensi dari kedua faktor kondisi alam dan demografi, bahkan faktor sosio-kultural juga turut mempengaruhi orientasi dan tingkat produktivitas penduduk Indonesia di setiap daerah. Sebagai contoh, produk kelapa sawit atau CPO, yang saat ini menjadi salah satu andalan ekspor Non-Migas Indonesia, lokasi perkebunan dan industrinya tersebar luas di semua bagian kepulauan Indonesia.

Sumber : Departemen Perdagangan RI (2008) Sentra produksi Kelapa Sawit (CPO) ini tersebar setidaknya di 12 (dua belas) propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Papua.

2.4. Perubahan di Sektor Logistik Global a. Tekanan Komitmen Internasional Perjanjian negara sehubungan dengan jasa logistik dalam kerangka WTO saat ini sedang dibahas. Walaupun semua negara sepakat bahwa Logistik merupakan sektor yang sangat menentukan dalam daya saing negara, namun belum tampak satu kesepahaman perihal liberalisasi di bidang ini. Dua puluh delegasi, dari negara maju dan berkembang, telah mengeluarkan pernyataan bersama tentang liberalisasi jasa logistik . Jasa logistik tidak hanya kesatuan (aggregation) dari seluruh jasa yang relevan, tapi intergrasi dari jasa-jasa tersebut untuk menjamin koordinasi yang tepat dan efesiensi di dalam sektor tersebut. Sementara terdapat sejumlah besar negara menawarkan komitmen liberalisasi dalam beberapa sektor dari jasa logistik, tidak ada anggota yang telah meliberalisasi seluruh subsektor jasa tersebut. Untuk jasa kurir, negara-negara sedang dalam proses membuka sebagaian, dengan ketentuan (provision) monopoli jasa yang secara berangsur-angsur hilang. UNCTAD dan OECD saat ini sedang mengembangkan checklist pertanyaan untuk membantu negosiator dalam proses permintaan-tawaran (request-offer). Pada diskusi Ad Hoc Expert meeting, hubungan antara partisipasi negara berkembang pada perdagangan dunia dan peningkatan dari kapasitas jasa logistik megara tersebut tampak jelas. Implikasi dari pasar yang lebih terbuka,

15

termasuk melalui komitmen GATS untuk pemasok lokal demikian pula akses kepada jasa logistik yang bersaing, dibahas dalam pertemuan tersebut. Suatu catatan pengingat diangkat mengenai permitaan untuk pembukaan pasar terhadap jasa logistik dan mengenai pertimbangan yang berhati-hati yang harus di berikan untuk menyatakan kesiapan negara dalam pengaturan dan ekonomi sebelum liberaliasi. Diingatkan pula bahwa pentingnya bagi negara negara memiliki akses jasa logistik yang berkualitas tinggi dan efisienmerupakan satu unsur yang ikut menentukan bagaimana negara negara berkembang dapat maksimalkan partiipasi mereka dalam liberalisasi logistik dan pada saat yang bersaman ikut mengambil keuntungan dari liberalisasi jasa logistik tersebut. Dalam hal ini, akses pasar merupakan satu unsur, akan tetapi yang lebih fundamental terdapat kebutuhan untuk membangun dan memelihara kapasitas suplai. Pentingnya membangun kerangka kerja pengaturan (termasuk aturan-aturan persaingan yang harus membentuk bagian integral dari pasar) dan urutan yang tepat bagi negara-negara berkembang untuk mengabil keuntungan sepenuhnya dari liberalisasi jasa logistik. Dalam kerangka kerja ASEAN Economic Community permasalahan Jasa Logistik tertuang di dalam ASEAN Economic Community Blueprint sebagai karakteristik B (a highly competitive economic region). Pada Poin B.4 Infrastructure Development Nomor 47, disebutkan bahwa upaya-upaya regional telah dilakukan untuk meningkatkan upaya fasilitasi transportasi dan jasa logistik, meningkatkan infrastruktur hubungan dan ketersambungan transportasi multimodal, memfasilitasi trasnportasi dan integrasi kepariwisataan , dan lebih jauh lagi untuk meliberalisasi sector transportasi udara dan laut. Kerangka kerja untuk liberalisasi penuh jasa penerbangan di ASEAN harus secara tepat guna diimplementasikan.Pada Point B.4 Infrastructure Development Nomor 48, disebutkan Transportasi Multi-modal dan fasilitasi transportasi. The ASEAN Transport Action Plan (ATAP) 20052010 mencakup angkutan laut (maritim), darat dan udara, serta fasilitasi transportasi. Masih dalam kerangka kerjasama ASEAN, ada beberapa komitmen seperti: 1. The ASEAN Framework untuk melaksanakan Agreement on the Facilitation of Goods in Transit (AF-AFGIT) untuk kesatuan Operasi Angkutan Jalan Raya dari Protocol 2 (Pelabuhan Laut Perbatasan) dan Protocol 7 (Transit Pabean). 2. Menandatangani dan mengadopsi teks akhir dari the ASEAN Framework Agreement on the Facilitation of Inter-State Transport (FAIST) 3. Menyimpulkan dan menandatangani ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight Services (2008) 4. Mengundangkan undang-undang dalam negeri yang diperlukan untuk mulai berlakuknya Kerangka kerja Agreement on Multimodal Transport (misalnya: untuk memperbolehkan Operator Angkutan Multimodal dari Negara anggota ASEAN lainnya untuk beroperasi di wilayah mereka masing-masing). Dalam kaitan terbentuknya ASEAN Free Trade Area, maka ASEAN telah menyepakati protokol ASEAN Single Window dalam hal pemrosesan importasi atau eksportasi barang ke atau dari negara ASEAN ke wilayah di luar ASEAN. Untuk terciptanya ASEAN Single Window maka Indonesia harus menerpakan suatu sistem National Single Window agar dapat terintegrasi dengan sistem ASEAN Single Window.Penerapan ASEAN Single Window atau National Single Window ini selain untuk mewujudkan Free Trade Area juga akan memperlancar arus barang. Kelancaran arus barang adalah salah satu kinerja penting dalam sektor logistik. b. Pasar Dunia Perjanjian-perjanjian keterbukaan pasar kawasan tertentu seperti ASEAN, perjanjian kawasan yang lebih luas seperti APEC, ataupun perjanjian-perjanjian lain yang difasilitasi oleh WTO menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pola arus barang. Diturunkannya bea masuk dan batasan lain ke tingkat minimal menyebabkan perubahan peta pusatpusat industri. Sentra industri bergerak mendekat ke bahan baku atau pusat logistik kawasan regional. Perpindahan barang yang dulunya lebih banyak berupa bahan baku, di masa mendatang

16

diperkirakan akan lebih banyak dalam bentuk komponen atau bahkan barang jadi yang nilainya lebih tinggi. Selain pergeseran karakteristik barang, jalur-jalur pengiriman barang juga diperkirakan akan ikut berubah mengikuti perubahan pola transportasi global. Peraturan-peraturan baru juga lebih memudahkan transportasi antar negara, terutama negara-negara kontinen. Hal ini membuat para praktisi di bidang rantai suplai menggambar ulang jaringan operasi mereka dengan menghubungkan kota-kota penting di ASEAN dalam jaringan mereka. Bangkok akan menjadi hub logistik untuk kawasan ASEAN. Bangkok berada pada posisi yang strategis dikawasan karena berada di tengah tengah jalur Barat (India) ke Timur (Indochina), maupun Jalur Utara (China dan Asia Timur) ke Selatan (Malaysia, Singapura, Indonesia).

Bagi ASEAN, Indonesia adalah negara yang sangat penting karena 45% dari populasi ASEAN ada di Indonesia, mengkontribusi GDP bagi ASEAN dengan porsi yang kurang lebih sama, dan dengan wilayahnya yang luas meliputi lebih dari 65% wilayah ASEAN merupakan sumber daya yang dapat memberi manfaat bagi perkembangan kawasan. Harus menjadi perhatian bahwa dengan populasi 220 juta penduduk maka Indonesia akan dipandang sebagai wilayah sumber permintaan (demand side). Namun dengan wilayah yang demikian luas dan kaya akan sumber daya alam, maka Indonesia harus cerdik untuk menyusun strategi logistik yang memaksimalkan potensi yang dimiliki sebagai pemasok (supply side) c. Tuntutan Pelanggan Persaingan global dalam pemasaran produk-produk juga telah mendorong tuntutan standar yang lebih tinggi untuk kualitas layanan dari penyedia jasa logistik oleh para produsen. Tuntutan para produsen semakin kompleks seperti : - Kecepatan respons pada tuntutan pelanggan - Jangkauan layanan yang lebih luas, lintas Negara - Ketepatan dan Kecepatan waktu pengantaran - Fleksibilitas untuk melakukan pengantaran yang semakin sering dan cepat - Tuntutan atas keamanan barang dari pencurian dan juga keutuhan barang selama perjalanan - Tuntutan untuk dapat ikut menjaga dan meningkatkan corporate image dari produsen - Tuntutan untuk dapat memberikan layanan yang memberi nilai tambah bagi produsen Selain tuntutan yang lebih kompleks, persaingan yang semakin meningkat juga menuntut peningkatan efisiensi sehingga dapat menekan biaya-biaya : - Transportasi dan Pergudangan - Biaya Inventory - Kerusakan atau penurunan mutu barang - Kehilangan atas pencurian atau pendodosan

17

-

Asuransi dan administrasi lain Proses pengeluaran Bea dan Cukai dan badan lainnya Pungutan-pungutan liar dan hambatan-hambatan yang mengada-ada

d. Persaingan Persaingan kini sudah bergeser ke wilayah yang lebih luas. Persaingan tidak lagi antar penyedia jasa logistik di suatu kota atau negara. Kini persaingan sudah terangkat ke tingkat kawasan regional bahkan ke tingkat global. Produsen-produsen global yang mulai melakukan sentralisasi dalam produksi membawa serta juga penyedia jasa logistik dari tempat asalnya. Para penyedia jasa logistik yang baru tiba langsung akan menduplikasi kesuksesan mereka dibelahan dunia yang lain sehingga memberi kemudahan bagi para produsen untuk dapat langsung beroperasi dengan sangat efisien. Persaingan juga bukan saja di tingkat mikro, namun juga berlangsung ditingkat makro (negara) dimana saat ini kita amati bagaimana Singapura, Port Klang (Malaysia) dan Laem Chabang (Thailand) saling bersaing di tingkat negara untuk dapat menjadi pusat distribusi yang disukai. Ketersedian infrastruktur yang modern pada suatu lokasi akan meningkatkan daya saing bagi produsen di lokasi tersebut. Walaupun ada beberapa pemusatan industri (misalnya pelabuhan laut), kebebasan pasar transport menciptakan persaingan yang lebih besar dalam jasa logistik e. Teknologi Meningkatnya persaingan di tingkat global juga mendorong para pemain untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dengan melakukan investasi dengan teknologi terkini pada moda-moda transportasi maupun pengelolaan informasinya agar dapat lebih efisien dalam operasinya. Hal tersebut tampak pada penggunaan mesin-mesin terbaru yang hemat energi maupun penggunaan kapal-kapal/wahana yang lebih besar dan lebih efisien dan meningkatkan lalu lintas pengiriman, kemampuan monitoring serta kemampuan pengendalian. Perkembangan teknologi informasi juga membuka banyak peluang dalam hal lalu lintas informasi atas barang pengiriman. Informasi barang pengiriman akan meningkatkan daya pandang jalur logistik (logistics pipeline visibility) dan hal ini akan membantu semua pihak untuk mendapatkan kepastian atas transportasi barang-barangnya. Kepastian atas operasi logistik ini akan secara signifikan meningkatkan efisiensi operasional. f. Standarisasi dan Kompatibilitas Inter-Modal

Dengan cakupan wilayah yang semakin luas, maka tak ayal lagi lalu lintas inter-modal transit dan multi-modal semakin penting peranannya. Selain tantangan operasional, multi modal transportation juga mensyaratkan peraturan Bea dan Cukai yang disesuaikan karena kalau dahulu kedatangan barang identik dengan penerimaan barang oleh pemilik/importir, kini kedatangan barang kemungkinan hanya diwakili oleh pihak penyedia transportasi yang masih harus meneruskan pengiriman ke kota atau ke negara lain. Kunci dari kelancaran multi-modal transportation ini adalah kompatibilitas antara moda angkutan. Angkutan laut sudah berpuluh tahun menggunakan kontainer standard yang kompatibel untuk setiap kapal pengangkut container, kompatibel dengan peralatan penanganan kontainer hingga tersedianya truk [engangkut yang kompatibel dengan kontainer ini. Kompatibilitas ini yang harus diterapkan juga untuk angkutan kereta api dan juga angkutan udara, dan bahkan sesama angkutan truk sehingga multi-modal transportation benar-benar dapat berjalan dengan efisien g. Energi Dalam aspek energi, biaya energi akan menjadi salah satu variabel yang dominan dalam penentuan daya saing ekonomi dengan melemahnya pengharapan ketersediaan energi murah secara berkelanjutan karena berkurangnya stock bahan bakar fosil menyebabkan harga energi ini menjadi liar dan sulit diperhitungkan. Penurunan kualitas iklim dunia dalam bentuk global warming menurut perkiraan akan ditanggapi dengan diberlakukannya pajak energi yang lebih tinggi. Karenanya, pilihan

18

solusi pengangkutan yang paling sedikit menggunakan energi (terutama yang tidak terbarukan) harus menjadi pertimbangan utama. h. Keamanan Dalam hal keamanan, kini dituntut standar keamanan yang lebih tinggi dan pencapaian standart keamanan tersebut untuk transport asi barang terus diupayakan dan diperluas untuk. seluruh moda pengangkutan, khususnya dalam armada pelayanan international dan aviasi. Selain standar pengamanan yang langsung terhadap barang maupun alat angkut, beberapa negara maju kini juga mulai menerapkan audit keamanan yang mengacu pada keamanan nasional ataupun keamanan umum. Penerapan standard-standard pengamanan diterapkan untuk menghindari adanya ancaman terorisme, pengiriman narkotika dan obat-obatan terlarang, dan juga pengamanan atas kontaminasi biologis. Implikasinya, penerapan prosedur standar keamanan ini membutuhkan investasi yang lebih besar dan terkadang membutuhkan waktu yang lebih lama yang mana hal ini dipandang menjadi beban bagi para pelaku usaha yang tidak berniat jahat i. Bottlenecks ketidak seimbangan kapasitas

Peningkatan volume yang terjadi di tingkat global tidak diantisipasi dengan baik secara merata. Bottleneck ketidak seimbangan kapasitas pelabuhan dengan barang muatan yang masuk menjadi trend global. Kondisi Pelabuhan di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hingga tahun 2012, sekitar satu lusin MegaShips dengan kapasitas angkut lebih dari 10,000 container akan masuk dalam jajaran pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini berarti bahwa akan ada kapal-kapal yang lebih besar dari kapal yang sebelumnya yang akan memasuki jalur-jalur feeder seperti ke Indonesia. Hal ini menuntut kesiapan infrastruktur pelabuhan untuk dapat melayani kapal yang lebih besar. Pelayanan logistik sangat tergantung pada infrastruktur publik pada jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara, saluran pelayaran (shipping channels) dan lain-lain, penambahan kapasitas infrastruktur saat ini tampaknya tidak sesuai dengan pertumbuhan muatan barang dunia.

2.5. Permasalah Sektor Logistik Indonesia Banyak masalah strategis dalam sektor logistik nasional teridentifikasi dari hasil berbagai seminar, diskusi, bahkan riset yang terkait dengan sektor logistik. Masalah kerentanan sektor logistik nasional terlihat pula ketika di akhir tahun 2008 terjadi krisis keuangan dunia yang dipicu oleh krisis keuangan di Amerika Serikat. Berawal dari pemberian kredit murah pada sektor perumahan yang berakibat pada banyaknya gagal bayar, banyak lembaga pembiayaan keuangan bangkrut, ekonomi Amerika Serikat tidak berkembang, atau bahkan menyusut, daya beli (impor) berkurang, nilai expor hasil produksi atau manufaktur ke Amerika Serikat berkurang (termasuk dari Indonesia), yang tentu berpengaruh sangat signifikan bagi kegiatan logistik global dan Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak yang lebih buruk dari krisis global tersebut, pemerintah telah memutuskan 10 (sepuluh) langkah kebijakan yang didalamnya banyak terkait dengan sektor logistik nasional (penjelasan detail ada pada lampiran vii.). Pandangan dari pelaku industri penyedia jasa logistik (LSP) nasional terhadap permasalahan tersebut (Kajian Gefeksi 2008) menggambarkan sebagian dari keseluruhan permasalahan tersebut dan seberapa jauh pengaruh mereka kepada efektifitas dan efisiensi logistik nasional, dan pada gilirannya juga kepada daya saing nasional. 2.5.1. Rendahnya Penegakan Hukum/Peraturan

Masih belum terintegrasinya payung hukum yang kuat di sektor logistik merupakan permasalahan utama dalam pertumbuhan dan kepastian hukum bisnis jasa logistik. Jasa logistik dalam arti luas, yang menekankan pada pelaksanaan pengelolaan layanan dari hulu ke hilir, serta dapat

19

bertindak baik sebagai prinsipal atau sebagai arsitek pergerakan barang, sangat memerlukan proteksi regulasi yang kuat. Inilah substansi pekerjaan rumah yang tidak mudah di sektor logistik. 2.5.2. Rendahnya Koordinasi Lintas Sektoral

Secara departemental, kegiatan logistik nasional saat ini setidaknya berada di bawah koordinasi Departemen Perdagangan (aspek pergudangan dan perdagangan), Departemen Perhubungan (transportasi), Departemen Keuangan (Kepabeanan, Asuransi dan Perbankan), Departemen Komunikasi dan Informnasi (telekomunikasi, perposan dan kurir), Kementerian Negara BUMN (pengaturan BUMN bidang pengelola infrasturktur logistik dan penyedia jasa logistik), bahkan termasuk BKPM (dalam hal pendirian perusahaan dan penanaman modal). Kebijakan yang dikeluarkan oleh bermacam pihak tersebut sering tidak terkoordinasi, sehingga penerapan di lapangannya sering menimbulkan kesulitan dna bahkan gagal. Lemahnya koordinasi antar departemen, antar asosiasi, dan antar instansi diperparah dengan belum adanya payung hukum dan peraturan perundangan yang kurang kuat. 2.5.3. Sistem Perdagangan Yang Kurang Mendukung

Sebuah fakta yang sangat ironis adalah bahwa di dalam perdagangan internasional perusahaanperusahaan Indonesia sama sekali tidak memiliki bargaining position yang memadai untuk turut mengendalikan sistem perdagangan (kontrak), termasuk dampaknya terhadap manajemen logistik nasional. Terlepas dari belum tersedianya infrastruktur logistik berstandar internasional di Indonesia, kenyataan bahwa kapal-kapal Indonesia yang sampai hari ini masih memainkan peran hanya sebagai feeders misalnya, adalah sebuah ironi yang luar biasa. Kondisi ini diperparah lagi oleh syarat-syarat transaksi perdagangan internasional yang sangat merugikan devisa negara. Misalnya, persyaratan FOB (free on board) untuk ekspor dan CIF (Cash, Insurance and Freight) untuk impor, yang apabila dilihat dari perspektif logistik, praktis Indonesia hanya berperan sebagai tukang angkut atau kuli barang di dalam negeri sendiri. Kita sama sekali tidak turut mengatur aspek-aspek yang menyangkut asuransi, perbankan, transportasi dan sebagainya. 2.5.4. Kurangnya Dukungan Infrastruktur dan Sistem

Ketersediaan infrastruktur yang memadai adalah masalah paling serius di sektor logistik nasional. Kondisi ini diperparah lagi oleh lemahnya keterdukungan sistem, baik karena permasalahan regulasi, kompetensi, kualitas SDM maupun model partnership dengan pihak lain. Beberapa contoh kasus yang mengindikasikan hal ini di antaranya sebagai berikut: a. Belum Adanya Hub Port Nasional Salah satu indikator pragmatis perkembangan sektor logistik suatu negara adalah didirikannya hub port berskala internasional yang difungsikan sebagai pusat pengendalian arus barang nasional melalui port tersebut, apakah melalui laut ataupun melalui udara. Hal inilah yang dilakukan banyak negara, dengan formulasi visi dan misi yang jelas, misalnya di Hongkong dan Thailand. Dalam konteks ini visi sektor logistik ke depan seharusnya menempatkan penetapan hub port sebagai salah satu prioritas awal. Peningkatan volume yang terjadi di tingkat global tidak diantisipasi dengan baik secara merata. Bottleneck, ketidak seimbangan kapasitas pelabuhan dengan barang muatan, kian menjadi trend global saat ini. Kondisi Pelabuhan di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hingga tahun 2012, sekitar satu lusin MegaShips dengan kapasitas angkut lebih dari 10,000 container akan masuk dalam jajaran pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini berarti bahwa akan ada kapal-kapal yang lebih besar dari kapal yang sebelumnya yang akan memasuki jalur-jalur feeder seperti ke Indonesia. Hal ini menuntut kesiapan infrastruktur pelabuhan untuk dapat melayani kapal yang lebih besar. Pelayanan logistik sangat tergantung pada infrastruktur publik pada jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara, saluran pelayaran (shipping channels) dan lain-lain, penambahan kapasitas infrastruktur. b. Buruknya Manajemen interkoneksi atau Sistem intermodal antara Infrastruktur Pelabuhan, Transportasi dan Pergudangan

20

Kalau kita melakukan perjalanan ke suatu negara, misalnya Jepang, kita akan mendapatkan sebuah kenyataan bahwa sedemikian hebatnya manajemen interkoneksi atau sistem intermodal yang terkait dengan pengelolaan keluar masuk barang dari dan melalui pelabuhan atau bandara. Inilah yang tidak bisa kita temukan di Indonesia. Akses transportasi internodal begitu minim dan buruk. Ketika sebuah kapal merapat di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, satu-satunya akses transportasi hanyalah land transportation, itupun dengan infrastruktur jalan raya yang sangat terbatas, yang menyebabkan lalu lintas di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok mengalami kemacetan parah setiap harinya. Akses jalan kereta api yang sejak jaman Belanda sudah dibangun, justru sekarang malah dihilangkan. Dengan demikian sangat dapat dipahami begitu sulitnya pilihan bagi para pelaku industri untuk dapat mengelola distribusi barangnya secara efektif dan efisien. Belum lagi aspek-aspek non teknis yang harus dilalui (pungutan liar dan sejenisnya) yang mengakibatkan biaya proses distribusi barang itu menjadi semakin tinggi. c. Rendahnya Kapabilitas Jaringan, Teknologi Informasi dan Pengetahuan Kapabilitas sektor logistik dapat diukur dari beberapa indikator, di antaranya adalah network, penerapan IT, pengembangan pengetahuan, dan koordinasi antar stake holder yang merefleksikan pembangunan struktur rantai suplai. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Kapabilitas dari sisi Pengembangan Network Jangkauan pelayanan, baik karena pengembangan organisasi milik sendiri (cabang, agen dan sejenisnya) maupun melalui kerjasama dengan pihak ketiga merupakan salah satu kritikal poin dalam pengembangan sektor logistik (karena esensi dari logistik adalah managing networks). Dengan pemahaman ini maka pengembangan network adalah sebuah keniscayaan untuk memajukan sektor logistik nasional. Kapabilitas dari sisi Penerapan IT Meningkatnya persaingan di tingkat global juga mendorong para pemain untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dengan melakukan investasi dengan teknologi terkini pada moda-moda transportasi maupun pengelolaan informasinya agar dapat lebih efisien dalam operasinya. Hal tersebut tampak pada penggunaan mesin-mesin terbaru yang hemat energi maupun penggunaan kapal-kapal/wahana yang lebih besar dan lebih efisien dan meningkatkan lalu lintas pengiriman, kemampuan monitoring serta kemampuan pengendalian. Perkembangan teknologi informasi juga membuka banyak peluang dalam hal lalu lintas informasi atas barang pengiriman. Informasi barang pengiriman akan meningkatkan daya pandang jalur logistik (logistics pipeline visibility) dan hal ini akan membantu semua pihak untuk mendapatkan kepastian atas transportasi barangbarangnya. Dengan dukungan IT, manajemen operasi logistik akan dapat dikelola secara lebih efisien dan efektif. Kapabilitas dari sisi Pengembangan Knowledge Dalam konteks pengembangan pengetahuan (knowledge), pada perusahaan-perusahaan logistik di Indonesia umumnya berlangsung tidak sistemik, dalam arti bukan karena proses learning yang terencana dan tersistematis. Sejauh ini, model pengembangan knowledge dari adanya hubungan kontraktual (partnership) antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, menunjukkan hasil dan kemajuan cukup signifikan, tetapi faktornya tidak hanya persoalan transfer of knowledge semata tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lain yang memerlukan perhatian serius, misalnya faktor kepemilikan asing dalam perusahaan domestik, faktor mobilitas tenaga kerja secara global, dan sebagainya. Rendahnya Kompetensi SDM dan Lembaga Pendidikan Bidang Logistik

-

-

2.5.5.

Di dalam situasi bisnis dan perekonomian yang tengah berkembang saat ini, institusi pendidikan dan pelatihan dituntut untuk dapat menyediakan lulusan-lulusan yang memiliki dasar pengetahuan yang secara langsung dibutuhkan pada dunia industri tertentu. Sementara, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup lebar antara institusi pendidikan dan pelatihan yang ada dengan dunia usaha yang membutuhkan. Hal ini bisa dilihat dari pola pendidikan dan pelatihan di dunia logistik yang masih sporadis, terpencar dengan dasar pengetahuan instan, bahkan yang sering terjadi adalah pola pelatihan dilaksanakan oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian

21

standarisasi kompetensi dan pengembangan SDM yang secara umum diharapkan terjadi tidak bisa tertata dan terencana dengan baik. Sebuah sistem logistik yang efisien dan terintegrasi sangat dibutuhkan untuk menopang industri secara keseluruhan. Sistem ini baru bisa bekerja apabila terdapat ketersediaan Sumber Daya Manusia yang tepat sasaran.

22

BAB 3 TANTANGAN SEKTOR LOGISTIK INDONESIA SAAT INI DAN MASA DEPAN

Gambaran mengenai kondisi sektor logistik nasional Indonesia dapat di lihat dengan cukup jelas dari beberapa fakta empiris mutakhir. Situasi tersebut sekaligus merefleksikan kondisi hari ini dan tantangan masa depan yang dihadapi oleh sektor logistik nasional. Fakta-fakta empiris tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. Sampai hari ini masih sering terjadi kelangkaan beberapa komoditas dan barang yang menjadi kebutuhan mutlak masyarakat, padahal permasalahannya bukan terletak pada sektor produksi tetapi masalah distribusinya. Misalnya kelangkaan BBM, kelangkaan pupuk, kelangkaan obat, kelangkaan beras, kelangkaan gula, kelangakaan komoditi tertentu, dan sebagainya. b. Ketika mendadak terjadi bencana alam, misalnya Tsunami dan Gempa Bumi, yang memakan korban tidak sedikit dan membutuhkan tindakan kolektif sesegera mungkin, pemerintah kita terkesan kurang siap secara logistik. Ada indikasi terlambat dalam penyaluran bantuan, kurang siap dalam menangani korban, koordinasi yang tidak berjalan baik, penanganan bantuan yang tidak efektif, sistem informasi yang tidak berjalan dengan baik, dan sebagainya. c. Sampai hari ini, mayoritas penyedia jasa logistik (LSP) masih didominasi oleh perusahaanperusahaan asing dan/atau muntinasional, termasuk dalam menguasasi pasar domestik sekalipun. Profil sektor logistik dalam konteks penyedia jasa juga sangat fragmented sehingga tidak ada satu perusahaan pun yang mendominasi pasar secara signifikan. d. Kebanyakan infrastruktur logistik yang dimiliki Indonesia saat ini masih bersifat konvensional. e. Regulasi yang ada belum cukup mengatur seluruh kegiatan sektor logistik, kalaupun ada regulasi masih bersifat sektoral dan departemental, dan kurang diikuti oleh penegakan hukum (law enforcement) yang memadai. Bahkan dalam prakteknya sering terjadi adanya tumpang-tindih fungsi antara operator dan regulator. f. Indonesia belum memiliki rencana strategis terintegrasi dalam penanganan program-program khusus yang sangat memerlukan kontribusi sektor logistik, seperti logistik untuk Pemilu, Bencana Alam, kargo Haji/TKI, Sembako, dan sebagainya. g. Biaya distribusi dan transportasi yang relatif tinggi, dibanding praktek di negara lain, telah menjadikan biaya barang dan jasa menjadi lebih mahal ketika sampai ke tangan pengguna barang dan jasa (end users) tersebut. Fakta-fakta diatas dan penjelasan tentang peran, ruang lingkup, permasalahan logistik global dan di Indonesia pada bab-2 memberi kita rujukan awal untuk dapat menjelaskan hal-hal yang mendasar dari tantangan sektor logistik nasional Indonesia, saat ini maupun di masa depan, yang akan menjadi faktor penentu perbaikan kinerja sektor logistik nasional (major national logistics drivers).

3.1. Komoditas Penentu dan Pemangku Kepentingan Dalam kebijakan perdagangan pemerintah saat ini, telah dikenal definisi 10 (sepuluh) Produk Utama, terkait dengan perdagangan internasionl (expor), yaitu: Tekstil, Elektronika, Karet dan Produk Karet, Kelapa Sawit dan Produk Kelapa Sawit, Produk Hasil Hutan, Alas Kaki, Otomotip, Udang dan Kakap. Juga ada kategori 10 (sepuluh) Produk Potensial, yaitu Makanan Olahan, Perhiasan, Kerajinan, Ikan dan Produk Perikanan, Rempah-rempah, Kulit dan Produk Kulit, Peralatan Medis, Peralatan Kantor, Minyak Katsiri, dan Tanaman Obat. Pertanyaan yang timbul adalah apakah produk 10+10 diatas bisa dijadikan dasar dalam pengembangan sistem logistik nasional, yaitu termasuk penentuan jenis dan letak geografis dari jaringan infrastruktur pendukung kegiatan logistik, misalnya pelabuhan, jalan raya, dan lain-lain? Jawabannya jelas: tidak bisa. Hal ini karena unsur penentu suatu rancangan rantai suplai dan jaringan logistik adalah volume atau berat dari komoditas yang dibawa-nya. Untuk itu, adalah suatu tantangan bagi pemerintah untuk menentukan komoditas penentu ini sehingga sistem logistik nasional dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang benar. Dalam suatu bisnis, perdagangan dan industri suatu komoditas (produk), ada beberapa pemangku kepentingan, atau biasa disebut peserta rantai suplai (supply chain participants). Peserta rantai

23

suplai ini ada yang berperan sebagai peserta inti (core), yaitu yang melakukan perdagangan dan industri komoditas/produk terkait, dan ada yang sebagai peserta pendukung (enabler), yaitu yang tidak ikut melakukan perdagangan dan industri produk terkait tetapi menyediakan jasa pendukungnya, seperti jasa logistik, teknologi informasi, perbankan, dan lain-lain.

Peran masing-masing peserta rantai suplai diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: - Produsen (Producers); adalah perusahaan yang membuat suatu produk (pabrikan). - Distributor (Distributors); termasuk grosir, agen, dan semacamnya, adalah perusahaan yang membeli persediaan (inventory) dalam jumlah banyak dari produsen dan menawarkan dalam satu paket bersama produk-produk lain yang terkait kepada pelanggannya. - Pengecer (Retailers); adalah perusahaan yang menyimpan persediaan dan menjualnya dalam jumlah yang kecil kepada pelanggan umum. - Pelanggan atau Konsumen (Customers or Consumers); adalah semua organisasi atau individu yang membeli dan menggunakan produk tersebut. - Penyedia Jasa (Service Providers); adalah organisasi yang menyediakan jasa kepada produsen, distributor, pengecer dan pelanggan / konsumen. Dalam kaitannya dengan sistem logistik dalam suatu industri di suatu negara, Produsen berperan penting untuk terciptanya sistem logistik yang efisien melalui, - standarisasi sistem informasi dengan menggunakan barcode hingga unitisasi terbesar pengirimannya. Hal ini akan mempermudah penyedia jasa untuk menyajikan informasi tentang barang angkutan - standarisasi dan memperbaiki kualitas kemasan yang mempermudah penumpukan (stacking) maupun penanganan (handling) selama barang mengalir di dalam sistem logistik - mempertinggi tingkat kolaborasi dengan pemasok dan dengan para penyedia jasa logsitik Pedagang (Distributor, Grosir, Agen dan Pengecer) juga dapat berperan dalam menciptakan sistem logistik yang efisien dengan meningkatkan kepedulian pada efisiensi logistik dan mempertinggi tingkat kolaborasi dengan penyedia jasa logistik. Kelompok Penyedia Jasa, terkait dengan peningkatan kualitas kegiatan rantai suplai, berperan dalam memberikan jasa terkait dengan efisien dan efektif, melalui kemampuan mereka dalam mengadopsi praktek terbaik dalam bisnis global dan menerapkan manajemen yang baik. Pelanggan atau konsumen (customers or consumers) sejatinya adalah penentua utama dari suatu desain sebuah rantai suplai. Perubahan perilaku konsumen (pengguna akhir) terhadap suatu komoditas/produk akan menentukan bagaimana komoditas tersebut harus di produksi, didistribusikan dan digunakan. Bentuk rantai suplai dan kegiatan logistiknya akan tentu saja berbeda untuk jenis industri dan kondisi geografis yang berbeda.

3.2. Penegakan Hukum/Peraturan dan Koordinasi Lintas Sektoral Masalah payung hukum adalah syarat mendasar di dalam berlangsungnya sebuah industri pada suatu sektor tertentu, umpamanya Keputusan Menteri Perhubungan tentang Jasa Pengurusan Transportasi (JPT), Freight Forwarder (FF), Angkutan Darat, Angkutan Laut, Angkutan Udara, Kereta

24

Api, Bongkar Muat, Depo Kontainer, Tally; Regulasi perpajakan adalah otoritas Departemen Keuangan, kegiatan pergudangan merujuk pada Keputusan Menteri Perdagangan dan sebagainya. Peraturan dan undang-undang yang mengatur sub-sektor logistik selama ini ada di Indonesia saling berdiri sendiri. Peraturan-peraturan tersebut tidak disusun dengan konteks persepektif logistik. Negara-negara lain walaupun tidak mengatur Logistik di bawah satu badan koordinasi, namun setidaknya sudah menggariskan arahan kebijakan di sub-sektor logistiknya. Hal ini selain mencegah peraturan yang tumpang tindih di kemudian hari, juga dapat memberi arahan yang jelas tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang, yang berarti akan memberi kepastian investasi. Arahan kebijakan juga akan membantu setiap departemen yang mengeluarkan keputusannya mempunyai arah pandang yang sama sehingga efisiensi secara nasional dapat dicapai. Di samping persoalan payung hukum, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan dan implementasi dari segala ketentuan hukum tersebut. Hal ini juga menjadi persoalan tersendiri dalam sektor logistik. Untuk mendalami lebih jauh pengaturan dalam sektor logistik, berikut tinjauan yuridis terhadap peraturan yang terkait dan yang ada pada saat ini, yaitu antara lain: 3.2.1. Undang Undang Pergudangan

Undang-undang No. 11 Tahun 1965 tentang UU 11/1965, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 5 Tahun 1962 Tentang Perubahan Undang Undang No. 2 Prp Tahun 1960 Tentang Pergudangan (Lembaran Negara Tahun 1962 No. 31) Menjadi Undang Undang mendefinisikan gudang sebagai tempat tertutup khusus digunakan untuk menyimpan barang perniagaan, mewajibkan pemilik gudang untuk menyelenggarakan administrasi gudang berkaitan dengan barang masuk dan keluar, membayar biaya administrasi kecuali gudang yang berada di dalam pelabuhan dan menetapkan adanya jangka waktu penyimpanan barang di gudang berdasarkan kriteria barang impor, barang ekspor dan penggolongan letak gudang. Dari definisi ini terlihat bahwa pendefinisian gudang hanya berdasarkan kegiatan export-import saja. 3.2.2. Undang Undang Perposan/Jasa Titipan

Undang-undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos mendefinisikan paketpos sebagai barang dengan bentuk dan ukuran tertentu, mengatur tentang kewajiban pengangkut untuk mengangkut kiriman-pos yang diserahkan kepadanya, menyampaikan jadwal perjalanan, menyampaikan jadwal hubungan (koneksi) dalam hal menggunakan media telekomunikasi dan menjaga keamanan dan keselamatan kiriman-pos. Undang-Undang ini sampai hari ini menjadi satu-satunya payung hukum tentang kegiatan usaha perposan dan kurir di Indonesia, yang melalui berbagai kajian diketahui bahwa beberapa dari substansi pengaturan dalam Undang-Undang ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang ada sekarang. Salah satu hal sangat menarik dalam Undang-Undang ini adalah tidak diperkenalkannya terminologi logistik sebagai salah satu aktivitas perusahaan-perusahaan jasa perposan dan kurir, padahal dalam prakteknya hampir semua perusahaan-perusahaan tersebut memposisikan dirinya sebagai Logistics Service Provider (LSP). 3.2.3. Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya

Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya menegaskan: Transportasi jalan bertujuan untuk menciptakan angkutan jalan dengan selamat, tertib, terhubung dengan moda transportasi lainnya dengan biaya yang murah dan seefisien mungkin, mewajibkan kendaraan pengangkut untuk lulus uji secara berkala dalam rangka keselamatan transportasi jalan., mewajibkan kendaraan pengangkut untuk didaftarkan, mewajibkan pengemudi kendaraan pengangkut untuk memiliki Surat Izin Mengemudi sebagai bukti kompetensi berkendara, mengatur tatacara berlalu lintas demi keselamatan dan kelancaran pengangkutan barang, mewajibkan pengangkut untuk mengasuransikan kendaraannya termasuk kerugian pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian angkutannya, mewajibkan angkutan barang menggunakan kendaraan bermotor khusus untuk barang, menetapkan angkutan tertentu boleh menggunakan jaringan lintas angkutan tersendiri demi kelancaran arus barang, menetapkan pengangkutan bahan berbahaya, barang khusus, peti kemas dan alat berat yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,

25

menetapkan badan hukum Indonesia dan warga negara Indonesia sebagai pelaku usaha angkutan barang tertentu, menetapkan kewenangan menentukan struktur dan golongan tarif angkutan berada ditangan Pemerintah, merinci tanggung jawab pengangkut meliputi kewajiban mengangkut barang, menerbitkan dokumen angkutan, mengembalikan biaya angkutan dan mengganti kerugian bila tidak jadi berangkat karena kesalahannya atau kelalaiannya, dan berhak menurunkan barang bila berbahaya bagi keselamatan angkutan dan memberikan hak kepada pengangkut untuk meminta biaya tambahan biaya gudang dan berhak melelang barang angkutannya sepanjang persyaratan untuk itu telah terpenuhi. 3.2.4. Undang-Undang Penerbangan

Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mewajibkan prasarana dan sarana penerbangan yang handal dan memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan, mewajibkan sertifikasi kompetensi personil penerbangan., mewajibkan sertifikasi laik terbang pesawat terbang dan helikopter, menetapkan Pemerintah sebagai penentu struktur dan golongan tarif penggunaan fasilitas dan jasa di bandara., mewajibkan pengangkut baik yang berjadwal maupun tidak berjadwal untuk memiliki izin, dan merinci tanggung jawab pengangkut meliputi kewajiban mengangkut barang yang telah disepakati, menerbitkan dokumen angkutan, menjamin keselamatan barang angkutan, dan mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap kerugian pihak ketiga akibat dari operasional pengangkutan udara. 3.2.5. Undang-Undang Pelayaran

Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran menjelaskan fungsi pelabuhan yang dilaksanakan dengan cara koordinasi antara kegiatan pemerintah dengan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan yang mencakup keselamatan pelayaran, bea dan cukai, imigrasi, karantina serta keamanan dan ketertiban dan juga mengatur perihal penyelenggaraan transportasi laut (pengoperasian kapal, standar keselamatan, tanggung jawab, hingga pengembangan sumber daya manusianya) 3.2.6. Undang-Undang Kepabeanan

Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mengatur impor, ekspor dan prosedur pabean, meliputi pemeriksaan pabean, penanganan barang saat kedatangan, pembongkaran, penimbunan dan pengeluaran barang, penetapan tarif bea masuk dan nilai pabean, jaminan dan bentuk jaminan, serta kewajiban menyelenggarakan pembukuan. Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan melakukan perubahan bahwa saat dimulainya suatu barang dinyatakan sebagai barang ekspor yakni barang yang telah dimuat, menetapkan adanya bea keluar terhadap barang ekspor tertentu, pengawasan pengangkutan barang dalam daerah pabean, pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut kecuali sarana pengangkutan darat, mengatur prosedur pengangkutan barang impor antar Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat. Undang-undang ini juga menentukan besaran denda atas setiap pelanggaran berdasarkan kriteria tertentu. 3.2.7. Undang-Undang Perkeretaapian

Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian mengatur tentang persyaratan teknis, pengujian dan persyaratan teknis kelaikan operasi perkeretaapian, mengatur tentang kewajiban sertifikasi kompetensi awak perkeretaapian, mewajibkan adanya asuransi terhadap tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeratapian, mengatur tentang keikutsertaan masyarakat dalam menjaga keamanan dan keselamatan angkutan melalui kereta api. 3.2.8. Keputusan Menteri Freight Forwarding

Keputusan Menteri Perhubungan No. 10 Tahun 1988 tentang Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarding ) yang didefinisikan sebagai usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya

26

pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut dan udara yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim, asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya. Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi dapat melakukan usahanya didalam maupun diluar negri. 3.2.9. Undang-Undang Ketenagakerjaan

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan tentang sertifikasi kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan menetapkan pembentukan badan nasional sertifikasi profesi sebagai pihak yang berwenang menetapkan standarisasi kompetensi profesi.

3.3. Pembenahan Prasarana dan Sarana (Infrastruktur) Berdasarkan hasil Study ASEAN tahun 1999, diperkirakan kenaikan lalu lintas angkutan barang melalui kontainer sebesar 3 kali lipat, non kontainer 2 kali lipat, angkutan udara 5 kali lipat, dan volume perdagangan antar negara ASEAN sebesar 20 30 % dalam kurun waktu 15 tahun mendatang. Untuk mengantisipasi ledakan permintaan diatas, permasalahan utama yang menjadi pekerjaan rumah Indonesia adalah bagaimana mempersiapkan infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, fasilitas logistik lainnya, dalam kapasitas yang cukup dengan kualitas baik, dalam waktu yang tidak terlampau lama. Padahal investasi infrastruktur transportasi selain mahal, dana yang tersedia terbatas, waktu konstruksi juga lama, tingkat pengembalian investasi cukup panjang, birokrasinya juga kurang kondusif. Yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan penggunaan fasilitas yang ada guna meningkatkan produktivitasnya. Kondisi infrastruktur yang ada sekarang ini jauh dari mencukupi, baik pelabuhan, bandara, akses jalan dari sentra-sentra produksi ke pelabuhan/bandara, belum lagi kualitas pelayanan rendah dan tarif jasa yang mahal.

Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah orientasi pembangunan sektor logistik kita selama ini (sadar atau tidak) ternyata sangat berbasis pada sarana transportasi mahal. Berbeda dengan kebanyakan negara-negara lain yang membangun basis infrastruktur logistik pada sistem transportasi murah, yakni Kereta Api dan Kapal Laut, Indonesia justru mengandalkan land transportation dan udara yang justru relatif mahal. Di samping itu, sistem transportasi intermodal ataupun multimodal