20 Teror Orang Orangan Sawah

download 20 Teror Orang Orangan Sawah

of 98

Transcript of 20 Teror Orang Orangan Sawah

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    1/98

    RL Stine:

    Teror Orang-orangan Sawah

    (Goosebumps # 20)

    Terjemah: Farid ZE

    Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu

    Ebook Inggris Scan & Convert: Undead

    1

    "Hei, Jodie - tunggu dulu!"

    Aku berbalik dan memicingkan mata ke sinar matahari terang. Adikku, Mark,

    masih di atas peron kereta api. Kereta telah bergerak dengan bunyi gemerisik. Aku

    bisa melihatnya berjalan berbelok-belok melalui padang rumput hijau yang rendah

    di kejauhan.

    Aku berpaling ke Stanley. Stanley adalah orang dipekerjakan di peternakan kakek-

    nenekku. Dia berdiri di sampingku, membawa kedua koper.

    "Lihat di kamus untuk kata 'orang bodoh'," kataku, "dan kau akan melihat gambar

    Mark."

    Stanley tersenyum padaku.

    "Aku suka kamus, Jodie," katanya. "Kadang-kadang aku membacanya selama

    berjam-jam."

    "Hei, Mark - ayo pergi sekarang!" teriakku. Tapi ia menikmati waktu baiknya,

    berjalan pelan-pelan, dalam keadaan linglung seperti biasanya.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    2/98

    Aku mengibaskan rambut pirangku ke belakang bahu dan berbalik kepada Stanley.

    Mark dan aku tak mengunjungi pertanian selama setahun. Tapi Stanley masih

    tampak sama.

    Dia begitu kurus.

    "Seperti mie," nenekku selalu mengatakannya. Pakaian kerja denimnya ukurannya

    selalu terlihat lima kali lebih besar pada dirinya.

    Stanley berumur sekitar empat puluh atau empat puluh lima tahun, pikirku.

    Rambut gelapnya tampaknya dipotong pendek-pendek, dicukur dekat dengan

    kepalanya. Telinganya sangat besar. Telinganya menjulur keluar dan selalu

    berwarna merah cerah. Dan dia punya mata cokelat yang besar bulat, yang

    mengingatkanku pada mata anjing.

    Stanley tak terlalu cerdas. Kakek Kurt selalu mengatakan bahwa Stanley tak

    bekerja penuh seratus watt.

    Tapi Mark dan aku benar-benar menyukainya. Dia punya rasa humor yang tenang.

    Dan dia baik, lembut, ramah, dan selalu punya banyak hal menakjubkan untuk

    ditunjukkan pada kami setiap kali kami mengunjungi pertanian.

    "Kau tampak cantik, Jodie," kata Stanley, pipinya berubah semerah telinganya.

    "Berapa umurmu sekarang?"

    "Dua belas," kataku. "Dan Mark sebelas tahun."

    Dia berpikir tentang hal itu.

    "Itu jadi dua puluh tiga," candanya.

    Kami berdua tertawa. Kau tak pernah tahu apa yang akan Stanley katakan!

    "Kurasa aku melangkah dalam sesuatu kotor," keluh Mark, mengejar kami.

    Aku selalu tahu apa yang akan Mark katakan. Adikku hanya tahu tiga kata - keren,

    aneh, dan kotor. Sungguh. Itulah seluruh kosakatanya.

    Sebagai lelucon, aku memberinya kamus untuk ulang tahunnya yang terakhir.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    3/98

    "Kau aneh," kata Mark saat aku memberikan kamus itu kepadanya. "Hadiah yang

    kotor sekali."

    Dia menggesek-gesek sepatu boot putihnya di tanah saat kami mengikuti Stanley

    untuk naik truk pick-up merah yang rusak.

    "Bawakan tasku," kata Mark, mencoba untuk menyorongkan tas yang

    menggembung padaku.

    "Tidak," kataku. "Bawa sendiri."

    Tasnya berisi Walkman, sekitar tiga puluh kaset, buku komik, Game Boy, dan

    setidaknya lima puluh slot game. Aku tahu ia berencana menghabiskan sebulan

    penuh untuk berbaring di tempat tidur gantung pada kasa di teras belakang rumah

    pertanian, mendengarkan musik dan bermain video game.

    Yah. . . tak mungkin!

    Ibu dan Ayah bilang itu adalah pekerjaanku untuk memastikan Mark keluar dan

    menikmati pertanian. Kami sangat terkurung di kota sepanjang tahun. Itulah

    sebabnya mereka mengirim kami untuk mengunjungi Kakek Kurt dan Nenek

    Miriam selama satu bulan setiap musim panas - untuk menikmati alam luar.

    Kami berhenti di samping truk, sementara Stanley mencari-cari kunci di kantong

    pakaian kerjanya.

    "Akan cukup panas hari ini," kata Stanley, "kecuali jika jadi sejuk."

    Laporan cuaca khas Stanley.

    Aku menatap keluar ke lapangan berumput yang luas di luar tempat parkir stasiun

    kereta kecil itu. Ribuan puffballs putih kecil melayang naik di langit biru jernih.

    (Puffball: jamur berbentuk seperti bola, dan warnanya putih sampai

    cokelat. Ukurannya mulai lebih kecil dari bola golf

    sampai lebih besar dari bola basket. Saat sudah matang, sporanya jadi kering dan

    berbentuk seperti bubuk. Bila tersentuh, akan

    robek terbuka dan sporanya dilepaskan dalam embusan bentuk seperti asap.)

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    4/98

    Sangat indah!

    Tentu, aku bersin.

    Aku suka mengunjungi pertanian kakek-nenekku. Satu-satunya masalahku adalah

    aku alergi terhadap hampir segala sesuatu di atasnya.

    Jadi Ibu membungkuskan beberapa botol obat alergi untukku - dan banyak kertas

    tisu.

    "Semoga Tuhan memberkati," kata Stanley. Dia melemparkan dua koper kami di

    belakang pickup. Mark meluncurkan tasnya juga.

    "Bisakah aku naik di belakang?" tanyanya.

    Dia suka berbaring di belakang, menatap ke langit, dan melonjak naik-turun

    dengan benar-benar keras.

    Stanley seorang pengemudi yang mengerikan. Dia tak bisa berkonsentrasi pada

    kemudi dan mengemudi dengan kecepatan yang tepat pada waktu yang sama. Jadi

    selalu ada belokan-belokan tajam dan lonjakan-lonjakan keras.

    Mark mengangkat dirinya ke belakang pickup dan berbaring di samping koper-

    koper. Aku naik di samping Stanley di depan.

    Beberapa saat kemudian, kami memantul di sepanjang jalan sempit melingkar yang

    menuju ke peternakan. Aku menatap keluar jendela berdebu saat melewati padang

    rumput dan rumah-rumah pertanian. Semuanya tampak begitu hijau dan hidup.

    Stanley melaju dengan kedua tangan terbelit erat di bagian atas roda kemudi. Dia

    duduk dengan kaku ke depan, membungkuk di atas roda, menatap lurus ke depan

    melalui kaca depan tanpa berkedip.

    "Mr Mortimer tak bertani di tempatnya lagi," katanya, mengangkat satu tangan dari

    kemudi untuk menunjuk pada sebuah rumah pertanian besar putih di atas bukit

    miring yang hijau.

    "Mengapa tidak?" tanyaku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    5/98

    "Karena dia meninggal," jawab Stanley dengan khidmat.

    Lihat kan apa yang kumaksud? Kau tak pernah tahu apa akan Stanley katakan.

    Kami melambung di atas bekas roda yang dalam di jalanan. Aku yakin Mark

    bersenang-senang di belakang.

    Jalan mengarah melalui kota kecil, begitu kecil hingga tak punya nama. Para petani

    selalu menyebutnya Kota.

    Kota itu punya toko makanan, gabungan pompa bensin dan toko kelontong, gereja

    bermenara putih, toko perangkat keras, dan kotak pos.

    Ada dua truk yang diparkir di depan toko makanan. Aku tak melihat siapa pun saat

    kami meluncur lewat dengan cepat .

    Pertanian kakekku sekitar dua mil dari kota. Aku mengenali ladang jagung saat

    kami mendekat.

    "Jagung itu sudah begitu tinggi!" seruku, menatap melalui jendela yang memantul.

    "Ada yang sudah kau makan?"

    "Hanya saat makan malam," jawab Stanley.

    Tiba-tiba, ia memperlambat truk dan memutar matanya padaku.

    "Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," katanya dengan suara pelan.

    "Hah?" Aku tak yakin aku akan mendengar dengan benar.

    "Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," ulangnya, mata anjingnya yang

    besar terarah padaku. "Aku membacanya di buku."

    Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku tertawa. Kupikir mungkin dia sedang

    membuat lelucon.

    Berhari-hari kemudian, aku menyadari itu bukan lelucon.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    6/98

    2

    Melihat pertanian yang terbentang di depan kami memenuhiku dengan

    kebahagiaan. Ini bukan pertanian besar atau pertanian mewah, tapi aku suka semua

    tentangnya.

    Aku suka lumbung dengan bau manisnya. Aku suka suara-suara lenguhan rendah

    sapi menjauh di padang rumput. Aku suka melihat batang-batang jagung yang

    tinggi, semuanya bergoyang bersamaan di dalam angin.

    Klise, ya?

    Aku juga suka kisah-kisah hantu mengerikan yang Kakek Kurt ceritakan pada

    kami malam hari di depan perapian.

    Dan aku harus menyertakan kepingan kue serabi cokelat Nenek Miriam. Kue-kueitu begitu enak, kadang-kadang aku memimpikannya di rumah di kota.

    Aku juga menyukai ekspresi bahagia di wajah kakek-nenekku ketika kami datang

    terburu-buru untuk menyapa mereka.

    Tentu saja aku yang pertama kali keluar dari truk. Mark lambat seperti biasanya.

    Aku berlari ke kasa teras di belakang rumah besar pertanian mereka yang tua. Aku

    tak sabar untuk melihat kakekku.

    Nenek Miriam terhuyung-huyung keluar, lengannya terulur. Pintu kasa terbanting

    di belakangnya. Tapi kemudian aku melihat Kakek Kurt mendorongnya terbuka

    dan ia bergegas keluar juga.

    Pincangnya memburuk, aku langsung melihatnya. Dia bersandar berat pada

    tongkat putih. Dia tak pernah memerlukannya sebelumnya.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    7/98

    Aku tak punya waktu untuk berpikir tentang hal itu saat Mark dan aku tertahan

    dalam pelukan.

    "Bagus sekali berjumpa kalian! Ini sudah begitu lama, begitu lama!" Nenek

    Miriam berteriak gembira.

    Ada komentar yang biasa tentang berapa banyak lebih tinggi kami dan bagaimana

    kita terlihat dewasa.

    "Jodie, dari mana kau dapatkan rambut pirang itu? Tak ada yang berambut pirang

    dalam keluargaku," Kakek Kurt biasa mengatakannya, menggoyangkan rambut

    tengkuknya yang putih. "Kau pasti mendapatkan bahwa dari pihak ayahmu."

    "Tidak, aku tahu. Aku yakin kau mendapatkannya dari toko," katanya, sambil

    menyeringai. Itu adalah lelucon kecilnya. Dia menyapaku dengan perkataan itusetiap musim panas. Dan mata birunya akan berkilau gembira.

    "Kau benar. Ini rambut palsu," kataku, tertawa.

    Dia menarik rambut panjang pirangku dengan main-main.

    "Apa Anda sudah punya TV kabel?" tanya Mark, menyeret tas di tanah.

    "TV kabel?" Kakek Kurt menatap tajam Markus. "Belum Tapi kami masih bisa

    mendapatkan tiga saluran. Berapa banyak lagi yang kita butuhkan?"

    Mark memutar matanya. "Bukan MTV," erangnya.

    Stanley berjalan melewati kami, membawa koper-koper kami ke dalam rumah.

    "Ayo kita masuk aku berani taruhan kalian kelaparan," kata Nenek Miriam. "Aku

    membuat sup dan sandwich. Kita akan makan malam dengan ayam dan jagung.

    Jagung ini sangat manis tahun ini. Aku tahu betapa kalian berdua menyukainya."

    Aku melihat kakekku saat mereka memimpin jalan menuju rumah. Mereka berduatampak lebih tua untukku. Mereka bergerak lebih lambat dari yang kuingat.

    Pincang Kakek Kurt jelas lebih buruk. Mereka berdua tampak kelelahan.

    Nenek Miriam pendek dan gemuk. Dia berwajah bulat dikelilingi oleh rambut

    merah keriting. Berwarna merah cerah. Tak ada cara untuk menggambarkan

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    8/98

    warnanya. Aku tak tahu apa yang ia gunakan untuk mengecat warnanya itu. Aku

    belum pernah melihatnya di orang lain!

    Dia mengenakan kacamata berbentuk persegi yang memberinya terlihat benar-

    benar model kuno. Dia suka baju rumah besar yang lapang. Aku tak berpikir akupernah melihatnya bercelana jeans atau celana pendek.

    Kakek Kurt tinggi dan berdada bidang. Ibu bilang dia benar-benar tampan saat ia

    masih muda. "Seperti seorang bintang film," dia selalu memberitahuku.

    Sekarang dia punya rambut putih bergelombang, masih sangat tebal, yang basah

    dan tertata rapi turun merata di kepalanya. Dia punya mata biru berkilauan yang

    membuatku selalu tersenyum. Dan janggut putih di bawah wajah rampingnya.

    Kakek Kurt tak suka bercukur.

    Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang, berwarna merah dan hijau kotak-

    kotak, mengancingkan kerah kemejanya meskipun hari yang panas, dan celana jins

    baggy, bernoda pada satu lututnya, yang ditahan oleh selempang putih.

    Makan siang itu menyenangkan. Kami duduk mengelilingi meja dapur yang

    panjang. Sinar matahari tertuang ke dalam melalui jendela yang besar. Aku bisa

    melihat gudang di belakang dan ladang jagung membentang di belakangnya.

    Mark dan aku bercerita semua berita kami - tentang sekolah, tentang tim basketkuakan ikut kejuaraan, tentang mobil baru kami, tentang kumis Ayah yang tumbuh.

    Untuk suatu alasan, Stanley pikir itu sangat lucu. Dia tertawa begitu keras, dia

    tersedak sup kulit kering-kacangnya. Dan Kakek Kurt harus meraih dan menepuk

    punggungnya.

    Sulit untuk mengetahui apa kata-kata spontan Stanley. Seperti yang akan Mark

    katakan, Stanley benar-benar aneh.

    Sepanjang makan siang, aku terus menatap kakek-nenekku. Aku tak bisa

    melupakan betapa mereka telah berubah dalam satu tahun ini. Mereka tampak

    begitu lebih pendiam, begitu lebih lambat.

    Itulah artinya jadi lebih tua, kataku pada diriku sendiri.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    9/98

    "Stanley pasti akan menunjukkan kalian orang-orangan sawah," kata Nenek

    Miriam, melewati mangkuk keripik kentang. "Bukan begitu, Stanley?"

    Kakek Kurt berdeham keras. Aku punya perasaan ia memberitahu Nenek Miriam

    untuk mengubah subjek (pembicaraan) atau sesuatu.

    "Aku yang membuat mereka," kata Stanley, menyeringai bangga. Dia memutar

    matanya yang besar padaku. "Buku itu - yang memberitahuku bagaimana."

    "Apa kau masih ikut les gitar?" tanya Kakek Kurt pada Mark.

    Aku bisa melihat bahwa untuk suatu alasan, Kakek Kurt tak ingin bicara tentang

    orang-orangan sawah Stanley.

    "Ya," jawab Mark dengan mulut penuh keripik kentang. "Tapi aku menjual gitar

    akustikku, aku ganti ke gitar listrik."

    "Artinya kau harus men-cop-kannya?" tanya Stanley. Dia mulai tertawa, seolah-

    olah dia baru saja membuat lelucon lucu.

    "Sayang sekali kau tak membawa gitarmu," kata Nenek Miriam kepada Mark.

    "Tidak, tidak," godaku. "Sapi-sapi akan mulai memberikan susu yang asam!"

    "Diam, Jodie!" bentak Mark. Dia tak punya selera humor.

    "Mereka sudah memberikan susu asam," gumam Kakek Kurt, menurunkan

    matanya.

    "Nasib buruk. Saat sapi-sapi memberikan susu asam, itu artinya nasib buruk," kata

    Stanley, matanya melebar, ekspresinya tiba-tiba ketakutan.

    "Tak apa-apa, Stanley," Nenek Miriam buru-buru meyakinkannya, meletakkan

    tangan dengan lembut pada bahunya. "Kakek Kurt cuma menggoda."

    "Anak-anak jika kalian sudah selesai, mengapa tak pergi dengan Stanley," kata

    Kakek Kurt. "Dia akan memberikan wisata pertanian. Kalian selalu

    menikmatinya." Dia mendesah. "Aku ingin pergi bersama, tapi kakiku kambuh

    lagi."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    10/98

    Nenek Miriam mulai membersihkan piring. Mark dan aku mengikuti Stanley

    keluar dari pintu belakang. Rumput di halaman belakang baru saja dipangkas.

    Udara terasa berat dengan bau manis.

    Aku melihat seekor burung kolibri berkepak-kepak naik turun di atas taman bungadi samping rumah. Aku menunjukkannya kepada Mark, tetapi pada saat dia

    berbalik, itu burung itu pergi.

    (Kolibri: burung terkecil di dunia berwarna cerah yang sebagian besar hidup di

    Amerika Utara dan Amerika Selatan.)

    Di belakang halaman pekarang hijau yang panjang berdiri gudang tua. Dinding-

    dinding putihnya sangat kotor dan mengelupas. Benar-benar perlu dicat. Pintu-pintunya terbuka, dan aku bisa melihat pak-pak persegi jerami.

    Jauh di sebelah kanan gudang, hampir ke ladang jagung, berdiri rumah tamu kecil

    di mana Stanley tinggal bersama putra remajanya, Sticks.

    "Stanley - di mana Sticks?" tanyaku. "Mengapa dia tak makan siang?"

    "Pergi ke kota," jawab Stanley dengan tenang. "Pergi ke kota, naik kuda poni."

    Mark dan aku bertukar pandang. Kami tak pernah dapat mengerti Stanley.

    Dari ladang jagung itu berdiri menyembul beberapa sosok-sosok gelap itu, orang-

    orangan sawah yang Nenek Miriam mulai bicarakan. Aku menatap mereka,

    melindungi mataku dari sinar matahari dengan satu tangan.

    "Begitu banyak orang-orangan sawah!" seruku. "Stanley, musim panas lalu hanya

    ada satu. Mengapa ada begitu banyak sekarang?"

    Ia tak menjawab. Dia tak mendengarku. Dia menarik topi bisbol hitamnya rendah

    ke bawah di atas dahinya. Dia melangkah panjang, bersandar ke depan dengan

    jalannya yang seperti bangau, tangannya masuk ke kantong pakaian kerja denim-

    nya yang longgar.

    "Kita telah melihat pertanian ratusan kali," keluh Markus, berbisik kepadaku.

    "Mengapa kita harus mengikuti wisata kakek lagi?"

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    11/98

    "Mark - dinginkan rambut hitammu itu," kataku. "Kita selalu melakukan wisata

    pertanian. Ini tradisi."

    Mark menggerutu pada dirinya sendiri. Dia benar-benar malas. Dia tak pernah

    ingin melakukan apa-apa.

    Stanley memimpin jalan melewati gudang ke dalam ladang jagung. Batang-batang

    (jagung) berjalan di atas kepalaku. Jumbai-jumbai emas mereka bersinar di bawah

    sinar cerah matahari.

    Stanley mengulurkan tangan dan menarik tongkol dari batang jagung.

    "Ayo kita lihat apa sudah siap," katanya, nyengir pada Mark dan aku.

    Dia memegang tongkol itu di tangan kirinya dan mulai mengupas dengan

    kanannya.

    Setelah beberapa detik, ia menarik kulit jagung, membuka tongkol dalam jagung

    itu.

    Aku menatapnya - dan menjerit ngeri.

    3

    "Ohhhh - menjijikkan!" jeritku.

    "Kotor!" Aku mendengar erangan Mark.

    Jagung itu berwarna coklat menjijikkan. Dan jagung itu bergerak-gerak di atas

    tongkolnya. Menggeliat-geliut. Menggeliat-geliat.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    12/98

    Stanley menaikkan jagung itu ke wajahnya untuk memeriksanya. Dan aku

    menyadari jagung itu ditutupi dengan cacing. Ratusan cacing coklat yang

    menggeliat-geliut.

    "Tidak!" jerit Stanley ngeri. Dia membiarkan tongkol jagung itu jatuh ke tanah dikakinya. "Ini nasib buruk! Buku ini mengatakan begitu. Ini nasib buruk!."

    Aku menunduk menatap tongkol jagung itu. Cacing-cacing itu menggeliat-geliut

    dari tongkol itu ke tanah.

    "Tak apa-apa, Stanley," kataku padanya. "Aku menjerit cuma karena aku terkejut.

    Ini kadang-kadang terjadi. Kadang-kadang cacing-cacing masuk ke dalam jagung.

    Kakek mengatakannya padaku"

    "Tidak. Ini buruk," Stanley berkeras kepala dengan suara gemetar. Telingamerahnya menyala. Matanya yang besar tampak ketakutannya. "Buku itu - buku itu

    berkata begitu."

    "Buku apa?" tuntut Mark. Dia menendang tongkol jagung bercacing itu menjauh

    dengan ujung sepatu botnya.

    "Bukuku," jawab Stanley misterius. "Buku takhayulku."

    Uh-oh, pikirku. Stanley tak seharusnya punya buku takhayul. Dia sudah menjadi

    orang yang paling (percaya) takhayul di dunia - bahkan tanpa buku!

    "Kau sudah membaca buku tentang takhayul?" tanya Mark, mengamati cacing-

    cacing cokelat itu merangkak di atas tanah yang lunak.

    "Ya." Stanley mengangguk antusias. "Itu buku yang bagus. Buku itu

    memberitahuku segalanya. Dan semua itu benar. Semua itu!"

    Ia melepas topinya dan menggaruk rambut pendeknya. "Aku harus memeriksa

    buku itu. Aku harus melihat apa yang harus dilakukan tentang jagung itu. Jagungburuk itu."

    Dia telah bekerja cukup lama. Itu membuatku merasa sedikit takut. Aku sudah tahu

    Stanley seumur hidupku. Kurasa dia bekerja untuk Kakek Kurt selama lebih dari

    dua puluh tahun.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    13/98

    Dia selalu aneh. Tapi aku belum pernah melihatnya begitu kesal tentang sesuatu

    yang tak penting seperti tongkol jagung yang buruk.

    "Tunjukkan kami orang-orangan sawah itu," kataku, mencoba untuk mengalihkan

    pikirannya dari jagung.

    "Ya. Ayo kita lihat mereka,." Mark ikutan.

    "Oke. Orang-orangan sawah itu." Stanley mengangguk. Kemudian ia berbalik,

    masih berpikir keras, dan mulai memimpin jalan melalui deretan tinggi batang-

    batang jagung.

    Batang-batang itu berderak dan mengerang saat kami melewatinya. Suaranya agak

    menakutkan.

    Tiba-tiba, satu bayangan jatuh di atasku. Salah satu orang-orangan sawah gelap itu

    bangkit di depan kami. Ia memakai mantel hitam compang-camping, diisi dengan

    jerami. Lengannya terentang kaku keluar dari pinggangnya.

    Orang-orangan sawah itu tinggi, menjulang di atas kepalaku. Cukup tinggi untuk

    berdiri melebihi batang-batang jagung yang tinggi.

    Kepalanya adalah karung goni pudar yang diisi dengan jerami. Matanya hitam

    jahat dan kerutan mengancam telah dilukis dalam cat hitam tebal. Satu topi lusuh

    kuno diletakkan di atas kepalanya.

    "Kau yang membuat ini?" tanyaku pada Stanley.

    Aku bisa melihat orang-orangan sawah beberapa lainnya menyembul dari jagung.

    Mereka semua berdiri dalam posisi kaku yang sama. Mereka semua memiliki

    kerutan mengancam sama.

    Dia menatap wajah orang-orangan sawah itu.

    "Aku yang membuat mereka," katanya dengan suara rendah. "Buku itu yang

    menunjukkan kepadaku bagaimana caranya."

    "Mereka sangat menakutkan," kata Mark, berdiri dekat di sampingku. Dia meraih

    tangan jerami orang-orangan sawah dan menggoyangkannya.

    "Ada apa?" Mark menanyakannya.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    14/98

    "Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," kata Stanley, mengulangi

    kalimat yang telah digunakannya di stasiun kereta.

    Mark berusaha untuk ber-tos dengan orang-orangan sawah itu.

    "Apa artinya itu!" tanyaku pada Stanley.

    "Buku itu mengatakan kepadaku bagaimana caranya," jawab Stanley, matanya

    terpaku pada wajah yang dilukis gelap di karung goni itu. "Buku itu

    memberitahuku bagaimana caranya untuk membuat mereka berjalan."

    "Hah? Maksudmu kau membuat orang-orangan sawah itu berjalan?" tanyaku,

    sangat bingung.

    Mata gelap Stanley terkunci padaku. Sekali lagi, ekspresi wajahnya sangat serius.

    "Aku tahu bagaimana cara melakukannya. Buku itu punya semua kata-kata itu."

    Aku balas menatapnya, benar-benar bingung. Aku tak tahu harus berkata apa.

    "Aku membuat mereka berjalan, Jodie," lanjut Stanley dengan suara persis di atas

    bisikan. "Aku membuat mereka berjalan minggu lalu. Dan sekarang akulah

    bosnya."

    "Hah? Bos o - orang-orangan sawah?" Aku tergagap. "Maksudmu -"

    Aku berhenti saat, dari sudut mataku, aku melihat lengan orang-orangan sawah itu

    bergerak.

    Jerami berkerut saat lengan itu meluncur.

    Lalu aku merasa jerami kasar menyeka wajahku - saat lengan orang-orangan sawah

    kering itu bergerak ke tenggorokanku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    15/98

    4

    Jerami berduri, menyembul keluar dari lengan mantel hitam itu, menggesek

    leherku.

    Aku menjerit melengking.

    "Ini hidup!" jeritku panik, menukik ke tanah, berusaha menjauh dengan

    merangkak.

    Aku berbalik untuk melihat Mark dan Stanley dengan tenang melihatku.

    Bukankah mereka melihat orang-orangan sawah itu mencoba mencekikku?

    Lalu anak Stanley, Sticks, melangkah keluar dari balik orang-orangan sawah,

    wajahnya tersenyum gembira.

    "Sticks - Kau makhluk aneh!" teriakku marah. Aku segera tahu bahwa ia-lah yang

    telah menggerakkan lengan orang-orangan sawah itu.

    "Kalian anak-anak kota benar-benar gampang ditakut-takuti," kata Sticks,

    seringainya jadi lebih lebar. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku untuk

    berdiri. "Kau benar-benar berpikir orang-orangan sawah bergerak, bukan, Jodie!"

    katanya menuduh.

    "Aku bisa membuat orang-orangan bergerak," kata Stanley, menarik topinya turun

    lebih rendah di dahinya. "Aku bisa membuat mereka berjalan. Aku melakukannya.

    Itu semua dalam buku."

    Senyum Sticks memudar. Cahaya yang tampak dari mata gelapnya meredup.

    "Ya, tentu, Ayah," gumamnya.

    Sticks enam belas tahun. Dia tinggi dan kurus. Dia sudah punya lengan dan kaki

    kurus yang panjang. Itulah kenapa ia dapat julukan Sticks (tongkat).

    Ia mencoba untuk tampak jantan. Dia punya rambut panjang hitam turun melewati

    kerah bajunya, yang jarang dicucinya. Dia memakai kemeja ketat berotot dan

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    16/98

    celana jins kotor yang robek di bagian lutut. Dia sering menyeringai, dan mata

    gelap yang sepertinya selalu menertawakanmu.

    Dia menyebut Mark dan aku "anak-anak kota." Dia selalu mengatakannya dengan

    sinis. Dan dia selalu memainkan lelucon bodoh pada kami. Kupikir dia sepertinyaagak iri pada Mark dan aku. Kupikir tidak mudah bagi Sticks tumbuh besar di

    pertanian, tinggal di rumah tamu kecil dengan ayahnya.

    Maksudku, Stanley lebih seperti seorang anak daripada seorang ayah.

    "Aku melihatmu di belakang sana," kata Mark pada Sticks.

    "Yah, trim's untuk memperingatkanku!" Aku membentak Mark. Aku berbalik

    marah pada Sticks. "Aku melihatmu tak berubah sama sekali."

    "Senang juga berjumpa denganmu, Jodie," jawabnya sinis. "Anak-anak kota

    kembali sebulan lagi dengan orang dusun!"

    "Stick - apa masalahmu?" aku membalasnya.

    "Bersikaplah yang baik," gumam Stanley. "Jagung itu punya telinga, kalian tahu."

    Kami semua menatap Stanley. Apakah ia baru saja membuat lelucon? Sulit untuk

    berbicara dengannya.

    Wajah Stanley tetap serius. Matanya yang besar menatapku melalui naungan

    topinya. "Jagung punya telinga," ulangnya. "Ada roh-roh di ladang ini."

    Sticks menggeleng sedih.

    "Yah, kau menghabiskan terlalu banyak waktu dengan buku takhayul itu,"

    gumamnya.

    "Buku itu benar semua," jawab Stanley. "Buku itu benar semua."

    Sticks menendang kotoran. Dia mengangkat matanya padaku. Ekspresinya tampak

    sangat sedih.

    "Hal-hal di sini berbeda," gumamnya.

    "Hah?" Aku tak mengerti. "Apa maksudmu?"

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    17/98

    Sticks berpaling pada ayahnya. Stanley menatapnya, matanya menyipit.

    Sticks mengangkat bahu dan tak menjawab. Dia meraih lengan Mark dan

    meremasnya.

    "Kau lembek seperti biasa," katanya pada Mark. "Mau melempar bola sore ini?"

    "Hari ini agak panas," jawab Mark. Dia menyeka keringat di dahinya dengan

    punggung tangannya.

    Stick mencibir padanya. "Masih pengecut, ya?"

    "Tak mungkin!" protes Markus. "Aku cuma bilang panas, itu saja."

    "Hei - ada sesuatu di belakangmu," kata Sticks pada Mark. "Berbaliklah."

    Mark dengan patuh berbalik.

    Sticks dengan cepat membungkuk, memungut tongkol jagung bercacing itu, dan

    menjejalkannya di bagian belakang kaos Mark.

    Aku ingin tertawa ketika aku melihat adikku lari menjerit-jerit pulang ke rumah

    pertanian.

    ***

    Makan malam yang tenang. Ayam goreng Nenek Miriam lezat seperti biasanya.

    Dan dia benar tentang jagung. Jagung itu sangat manis. Mark dan aku masing-

    masing makan dua tongkol, menetesinya dengan mentega.

    Aku menikmati makan malam itu. Tapi yang membuatku kesal bahwa kedua

    kakek-nenekku tampak begitu berubah. Kakek Kurt biasanya bicara nonstop. Diaselalu punya lusinan cerita lucu tentang para petani di daerah itu. Dan dia selalu

    punya lelucon baru untuk diceritakan. Malam ini ia nyaris tak berbicara sepatah

    kata pun.

    Nenek Miriam terus mendesak Mark dan aku untuk makan lebih banyak. Dan dia

    terus bertanya apa kami menyukai semuanya. Tapi ia, juga, tampak lebih pendiam.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    18/98

    Mereka berdua tampak tegang. Tak nyaman.

    Mereka berdua terus melirik ke meja Stanley, yang sedang makan dengan kedua

    tangan, mentega menetes di dagunya.

    Sticks duduk murung di seberang ayahnya. Dia bahkan tampak lebih tak ramah

    dari biasanya.

    Stanley satunya orang yang ceria di meja. Dia mengunyah ayam dengan antusias

    dan meminta tiga porsi kentang tumbuk.

    "Apa semuanya baik-baik saja, Stanley?" Nenek Miriam terus bertanya, menggigit

    bibir bawahnya. "Semuanya baik-baik saja?"

    Stanley bersendawa dan tersenyum. "Tidak buruk," adalah jawabannya.

    Mengapa hal-hal tampak begitu berbeda? Aku bertanya-tanya. Apa hanya karena

    Nenek dan Kakek semakin tua?

    Setelah makan malam, kami duduk di sekitar ruang tamu besar yang nyaman.

    Kakek Kurt berayun pelan maju-mundur di kursi goyang antik dari kayu dekat

    perapian.

    Hari itu terlalu panas untuk membuat api. Tapi saat ia berayun, ia menatap

    perapian gelap itu, ekspresi berpikir keras dalam wajahnya yang berjanggut putih.

    Nenek Miriam duduk di kursi favoritnya, kursi empuk berlengan besar berwarna

    hijau di seberang Kakek Kurt. Dipangkuannya ada majalah berkebun yang belum

    dibuka.

    Sticks yang baru saja mengucapkan dua patah kata sepanjang malam, menghilang.

    Stanley bersandar dinding, menusuk giginya dengan tusuk gigi.

    Mark tenggelam ke dalam sofa panjang hijau. Aku duduk di ujung lain sofa itu dan

    menatap ke seberang ruangan.

    "Iih. Boneka beruang itu masih membuatku merinding!" seruku.

    Di ujung ruangan, sebuah boneka beruang coklat besar - sekitar delapan kaki

    tingginya - berdiri tegak di kaki belakangnya. Kakek Kurt telah menembaknya

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    19/98

    bertahun-tahun yang lalu pada waktu perjalanan berburu. Cakar beruang besar itu

    terulur, seolah-olah siap untuk menerkam.

    "Itu beruang pembunuh," Kakek Kurt ingat, berayun perlahan, matanya tertuju

    pada binatang yang tampak marah itu. "Dia melukai dua orang pemburu sebelumaku menembaknya. Aku menyelamatkan nyawa mereka."

    Aku bergidik dan berpaling dari beruang itu. Aku benar-benar membencinya. Aku

    tak tahu mengapa Nenek Miriam membiarkan Kakek Kurt menyimpannya di ruang

    tamu!

    "Bagaimana tentang cerita yang mengerikan?" tanyaku pada Kakek Kurt.

    Dia menatap ke arahku, matanya biru tiba-tiba tak bernyawa dan jemu.

    "Ya. Kami sudah lama menunggu cerita Anda," sela Mark. "Beritahu kami yang

    satu itu tentang anak laki-laki tanpa kepala di lemari."

    "Tidak. Beritahu yang baru," aku bersikeras penuh semangat.

    Kakek Kurt mengusap dagunya perlahan. Matanya ke arah Stanley di seberang

    ruangan. Lalu dia berdeham gugup.

    "Aku agak lelah, anak-anak," katanya pelan. "Rasanya aku akan tidur."

    "Tapi - tanpa cerita?" protesku.

    Dia menatap ke arahku dengan mata jemu.

    "Aku benar-benar tak tahu cerita-cerita lagi," gumamnya. Dia perlahan-lahan

    berdiri dan menuju kamarnya.

    Apa yang terjadi di sini? tanyaku pada diriku sendiri. Apa yang salah?

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    20/98

    5

    Lantai atas di kamar tidurku akhir malam itu, aku ganti baju tidur panjang. Jendela

    kamar terbuka, dan angin lembut menyerbu ruangan.

    Aku menatap keluar jendela yang terbuka. Satu pohon apel yang besar

    melemparkan bayangannya di halaman.

    Dimana rerumputan berakhir, ladang-ladang jagung terbaring di bawah cahaya

    bulan purnama. Sinar bulan yang pucat membuat batang-batang tinggi berkilauanseperti emas. Batang-batang itu membuat bayang-bayang biru panjang di atas

    ladang.

    Di seberang lapangan luas, orang-orangan sawah menyembul kaku seperti tentara

    berseragam gelap. Lengan mantel mereka berkibar-kibar dalam angin sepoi-sepoi.

    Wajah karung goni mereka yang pucat tampak menatap ke arahku.

    Aku merasakan hawa dingin yang dingin mengalir di punggungku.

    Begitu banyak orang-orangan sawah. Setidaknya mereka selusin, berdiri dalam

    barisan yang lurus. Seperti pasukan yang siap untuk berbaris.

    "Orang-orangan sawah itu berjalan di tengah malam."

    Itulah yang Stanley katakan dalam suara bernada rendah menakutkan yang belum

    pernah aku dengar dia menggunakan sebelumnya.

    Aku melirik jam di meja tempat tidur. Tepat jam sepuluh.

    Aku akan tidur pada saat mereka berjalan, pikirku.

    Pikiran gila.

    Aku bersin. Sepertinya aku alergi udara pertanian baik siang dan malam!

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    21/98

    Aku menatap bayang-bayang panjang dibuat oleh orang-orangan sawah itu.

    Embusan angin membengkokkan batang-batang jagung, membuat bayang-bayang

    bergulung ke depan seperti gelombang laut yang gelap.

    Dan kemudian aku melihat orang-orangan sawah tiba-tiba mulai bergerak.

    "Mark!" jeritku. "Mark - Cepat ke sini!"

    6

    Di bawah cahaya bulan purnama, aku menatap dengan ngeri saat orang-orangan

    sawah gelap itu mulai bergerak.

    Lengan-lengan mereka tersentak. Kepala-kepala karung goni mereka menerjang

    maju.

    Mereka semua. Serempak.

    Semua orang-orangan sawah itu menyentak, berkedut, menggeliat - seolah-olah

    berusaha untuk menarik bebas dari tiang pancang mereka.

    "Mark - cepat!" jeritku.

    Aku mendengar langkah-langkah kikuk yang cepat menuruni lorong. Mark

    terengah-engah menyerbu ke kamarku.

    "Jodie - ada apa?" teriaknya.

    Aku menunjuk panik padanya untuk datang ke jendela. Saat ia melangkah di

    sampingku, aku menunjuk ke ladang jagung. "Lihat orang-orangan sawah itu."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    22/98

    Dia mencengkeram kusen jendela dan melongok keluar jendela.

    Dari atas bahunya, aku bisa melihat kedutan serempak orang-orangan sawah itu.

    Rasa dingin ngeri membuatku melingkarkan lenganku pada diriku.

    "Itu angin," kata Mark, mundur dari jendela. "Apa masalahmu, Jodie? Itu cuma

    angin yang bertiup di sekitar mereka."

    "Kau - kau salah, Mark," kataku terbata-bata, masih memeluk diriku sendiri. "Lihat

    lagi."

    Dia memutar bola matanya dan mendesah. Tapi dia berbalik dan bersandar ke luar

    jendela. Dia menatap keluar di lapangan untuk waktu yang lama.

    "Tidakkah kau lihat?" tuntutku nyaring. "Mereka semua bergerak bersamaan.

    Lengan-lengan mereka, kepala-kepala mereka - semuanya bergerak bersamaan."

    Saat Mark mundur dari jendela, mata birunya melebar dan ngeri. Dia menatapku

    serius dan tak mengucapkan sepatah kata pun.

    Akhirnya, ia menelan ludah dan suaranya keluar pelan dan ketakutan. "Kita harus

    memberitahu Kakek Kurt," katanya.

    Kami bergegas turun, tapi kakek-nenek kita sudah tidur. Pintu kamar tidur tertutup.

    Sunyi di sisi lain.

    "Mungkin sebaiknya kita tunggu sampai besok pagi," bisikku saat Mark dan aku

    berjingkat-jingkat kembali ke lantai atas ke kamar kami. "Kupikir kita akan aman

    sampai saat itu."

    Kami bergerak pelan-pelan kembali ke kamar kami. Aku menutup jendela dan

    menguncinya. Di ladang, orang-orangan sawah masih berkedut, masih menarik-

    narik tiang pancang mereka.

    Dengan gemetar, aku berpaling dari jendela dan terjun ke tempat tidur, menarik

    selimut tua di atas kepalaku.

    Aku tidur dengan gelisah, melemparkan (diri) di bawah selimut tebal. Di pagi hari,

    aku melompat penuh semangat dari tempat tidur. Aku menyisir rambutku dan

    bergegas turun untuk sarapan.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    23/98

    Mark tepat di belakangku di tangga. Dia mengenakan celana jins yang sama seperti

    kemarin dan kaos Nirvana merah hitam. Dia tak mau repot-repot menyisir

    rambutnya. Rambutnya berdiri tegak di belakang.

    "Kue serabi!" ia berhasil berbicara. Mark cuma baik untuk satu kata pada saat pagi-pagi ini.

    Tapi kata itu langsung menghiburku dan membuatku melupakan sekejap tentang

    orang-orangan sawah yang menyeramkan itu.

    Bagaimana aku bisa melupakan kue serabi cokelat Nenek Miriam yang

    menakjubkan?

    Kue serabinya begitu lembut, benar-benar meleleh di mulutmu. Dan cokelat hangat

    dicampur dengan sirup maple yang manis membuat sarapan paling enak yangpernah kumakan.

    Saat kami bergegas melintasi ruang tamu menuju dapur, aku mengendus udara,

    berharap mencium aroma lezat dari adonan kue serabi di atas kompor.

    Tetapi hidungku terlalu mampet untuk mencium sesuatu.

    Mark dan aku muncul mendadak ke dapur pada saat yang bersamaan. Kakek Kurt

    dan Stanley sudah di meja. Sebuah cerek kopi besar berwarna biru mengepul

    berdiri di depan mereka.

    Stanley menghirup kopinya. Kakek Kurt wajahnya terbenam di balik koran pagi.

    Dia mendongak dan tersenyum saat Mark dan aku masuk.

    Setiap orang mengucapkan selamat pagi pada semuanya.

    Mark dan aku mengambil tempat kami di meja. Kami begitu bersemangat untuk

    kue serabi yang terkenal itu, kami hampir-hampir menggosok tangan kami

    bersama-sama seperti perbuatan tokoh kartun.

    Bayangkan betapa terkejutnya kami saat Nenek Miriam meletakkan mangkuk

    besar cornflake (jonjot jagung) di depan kami.

    Aku langsung berteriak.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    24/98

    Aku melirik di seberang meja Mark. Dia menatap ke arahku, wajahnya tampak

    terkejut dan kecewa.

    "Jonjot jagung?" tanyanya dengan suara tinggi melengking.

    Nenek Miriam kembali ke bak cuci piring. Aku berpaling padanya.

    "Nenek Miriam - bukan kue serabi ?" tanyaku dengan suara rendah.

    Aku melihat dia menatap Stanley.

    "Aku sudah berhenti membuatnya, Jodie," jawabnya, matanya masih (terarah) pada

    Stanley. "Kue serabi terlalu bikin gemuk."

    "Tidak seperti semangkuk jonjot jagung yang baik di pagi hari," kata Stanley

    dengan senyum lebar. Dia meraih kotak jonjot jagung di tengah meja dan mengisimangkuknya dengan porsi kedua.

    Kakek Kurt mendengus balik korannya.

    "Silakan - makan sebelum jadi lembek," desak Nenek Miriam dari bak cuci piring.

    Mark dan aku hanya saling menatap. Musim panas lalu, Nenek Miriam

    membuatkan kami setumpuk besar kue serabi coklat hampir setiap pagi!

    Apa yang terjadi di sini? Aku bertanya-tanya sekali lagi.

    Aku tiba-tiba teringat Stick di ladang jagung sehari sebelumnya, berbisik

    kepadaku, "Hal-hal di sini berbeda."

    Mereka pastinya berbeda. Dan tak lebih baik, aku memutuskan.

    Perutku berbunyi. Aku mengambil sendok dan mulai makan jonjot jagungku. Aku

    melihat Mark dengan sedih menyendok punyanya. Dan tiba-tiba aku teringat

    orang-orangan sawah yang berkedut.

    "Kakek Kurt -" aku mulai. "Tadi malam, Mark dan aku - kami memandang ladang

    jagung dan kami melihat orang-orangan sawah. Mereka bergerak. Kami -"

    Aku mendengar Nenek Miriam terkesiap pelan dari belakangku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    25/98

    Kakek Kurt menurunkan korannya. Ia menyipitkan matanya ke arahku, tapi tak

    mengatakan sepatah kata pun.

    "Orang-orangan sawah itu bergerak!" Mark ikut menimpali.

    Stanley tertawa kecil.

    "Itu angin," katanya, matanya terarah pada Kakek Kurt. "Ini pasti angin yang

    bertiup di sekitar mereka."

    Kakek Kurt melotot pada Stanley.

    "Kau yakin?" tuntutnya.

    "Ya. Itu angin," jawab Stanley tegang.

    "Tapi mereka berusaha untuk melepaskan tiang mereka!" teriakku. "Kami melihat

    mereka!"

    Kakek Kurt menatap tajam di Stanley.

    Telinga Stanley berubah merah terang. Ia menurunkan matanya.

    "Malam ini berangin," katanya. "Mereka bergerak dalam angin."

    "Ini akan jadi hari yang cerah," kata Nenek Miriam dengan cerah dari bak cuci

    piring.

    "Tapi orang-orangan itu-" Mark bersikeras.

    "Yah. Sepertinya ini hari yang cukup bagus," gumam Kakek Kurt, mengabaikan

    Mark.

    Dia tak ingin berbicara tentang orang-orangan sawah, aku menyadari.

    Apa karena dia tak percaya pada kami?

    Kakek Kurt berpaling ke Stanley. "Setelah kau membawa sapi ke padang rumput,

    mungkin kau, Jodie dan Mark dapat memancing di sungai."

    "Mungkin," jawab Stanley, mengamati kotak jonjot jagungnya. "Mungkin kita bisa

    melakukannya."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    26/98

    "Kedengarannya menyenangkan," kata Mark. Mark suka memancing. Ini salah satu

    olahraga favoritnya karena kau tak perlu terlalu banyak bergerak.

    Ada sungai yang benar-benar indah di belakang padang rumput sapi di ujung tanah

    milik Kakek Kurt. Di belakang sana sangat penuh dengan pepohonan, dan sungaisempit itu mengalir pelan di bawah naungan pohon-pohon tua dan biasanya penuh

    dengan ikan.

    Menghabiskan sereal-ku, aku berbalik pada Nenek Miriam di bak cuci piring.

    "Dan apa yang Anda lakukan hari ini?" tanyaku padanya. "Mungkin Anda dan aku

    bisa menghabiskan waktu bersama dan -"

    Aku berhenti saat ia berpaling ke arahku dan tangannya kelihatan.

    "Ohhhh." Aku mengerang ketakutan saat aku melihat tangannya. Tangannya itu -

    itu terbuat dari jerami!

    7

    "Jodie - ada apa?" tanya Nenek Miriam.

    Aku mulai menunjuk ke tangannya.

    Lalu tangan itu terlihat jelas, dan aku melihat bahwa tangannya bukan jerami - dia

    memegang sapu.

    Dia memegannya dengan menahan dan melepas kain tiras dari ujung jerami.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    27/98

    "Tak ada yang salah," kataku, merasa seperti orang yang benar-benar brengsek.

    Aku mengusap mataku.

    "Aku harus minum obat alergiku," kataku. "Mataku sangat berair. Aku terus

    melihat hal-hal!"

    Aku melihat orang-orangan sawah ke mana pun aku melihat!

    Aku memarahi diriku sendiri karena bertindak begitu gila.

    Berhentilah memikirkan orang-orangan sawah, aku berkata pada diriku sendiri.

    Stanley benar. Orang-orangan sawah itu telah bergerak dalam angin malam.

    Itu cuma angin.

    ***

    Lalu Stanley membawa kami memancing pagi itu. Saat kami mulai berangkat ke

    sungai, ia tampak dalam suasana hati yang benar-benar baik.

    Dia tersenyum sambil mengayunkan keranjang piknik besar Nenek Miriam yang

    disiapkan untuk makan siang kami.

    "Dia memasukkan ke dalamnya semua (makanan) favoritku," kata Stanley

    gembira.

    Dia menepuk keranjang itu dengan kepuasan kekanak-kanakan.

    Dia menyelipkan tiga galah pancing bambu di bawah lengan kirinya. Dia

    membawa keranjang jerami besar di tangan kanannya. Dia menolak untuk

    membiarkan Mark dan aku membawa apa pun.

    Udara hangat berbau manis. Cahaya matahari turun di langit biru tak berawan.

    Helaian rumput yang baru saja dipotong menempel pada sepatu putihku saat kami

    menuju di halaman belakang.

    Obat telah membantu. Mataku jauh lebih baik.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    28/98

    Stanley berbelok tepat melewati gudang dan mulai berjalan cepat di sepanjang

    dinding belakang. Ekspresinya berubah serius. Ia tampak berkonsentrasi keras pada

    sesuatu.

    "Hei - kita mau ke mana?" panggilku, bergegas mengikutinya.

    Dia tak mendengarku. Mengambil langkah-langkah panjang, mengayunkan

    keranjang piknik jerami saat ia berjalan, ia menuju kembali ke arah kami mulai.

    "Hei - tunggu dulu!" panggil Mark terengah-engah. Adikku benci untuk terburu-

    buru saat ia dapat menghabiskan waktu.

    "Stanley - tunggu!" teriakku, menarik-narik lengan kemejanya. "Kita akan

    berputar-putar!"

    Dia mengangguk, ekspresinya serius di bawah topi kasti hitamnya.

    "Kita harus memutari gudang tiga kali," katanya dengan suara rendah.

    "Hah? Kenapa?" tuntutku.

    Kami mulai belokan kedua kami memutari gudang.

    "Ini akan membawa kita keberuntungan memancing kita," jawab Stanley. Lalu

    menambahkan, "Ini ada dalam buku. Semuanya dalam buku."

    Aku membuka mulut untuk mengatakan padanya ini benar-benar konyol. Tapi aku

    memutuskan untuk tak (mengatakannya). Ia tampak begitu serius tentang buku

    takhayul-nya. Aku tak ingin merusaknya.

    Selain itu, Mark dan aku bisa menggunakannya untuk latihan.

    Beberapa saat kemudian, kami selesai berputar-putar dan mulai berjalan menyusuri

    jalan setapak yang melewati ladang jagung ke sungai. Stanley segera tersenyum

    kembali.

    Dia benar-benar percaya takhayul dalam buku ini, aku menyadari.

    Aku bertanya-tanya apakah Sticks juga mempercayainya.

    "Di mana Sticks?" tanyaku, menendang segumpalan besar tanah di jalan.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    29/98

    "Mengerjakan tugas-tugas," jawab Stanley. "Sticks pekerja yang baik. Seorang

    pekerja yang benar-benar baik. Tapi dia akan segera bergabung, aku yakin. Sticks

    tak pernah suka kehilangan acara memancing."

    Matahari mulai terasa benar-benar terik di wajah dan di pundakku. Aku bertanya-tanya apakah aku harus lari pulang dan mengambil tabir surya.

    Orang-orangan sawah berpakaian gelap itu tampak menatapku saat kami berjalan

    melewati deretan dari batang-batang jagung yang tinggi. Aku berani sumpah,

    wajah yang dicat pucat itu berpaling untuk mengikuti saat aku lewat.

    Dan apakah salah satu dari mereka mengangkat lengan untuk melambaikan tangan

    jeraminya padaku?

    Aku memarahi diriku sendiri karena pikiran-pikiran bodoh seperti itu, danmemalingkan mataku.

    Berhentilah berpikir tentang orang-orangan sawah, Jodie! kataku pada diriku

    sendiri.

    Lupakan mimpi burukmu. Lupakan tentang orang-orangan sawah bodoh itu.

    Ini adalah hari yang indah, dan kau tak perlu khawatir. Cobalah untuk bersantai

    dan bersenang-senang.

    Jalanan itu menuju ke hutan pinus yang tinggi di belakang ladang jagung. Jadi

    teduh dan jauh lebih dingin segera setelah kami melangkah ke dalam hutan.

    "Tak bisakah kita naik taksi di sisa perjalanan?" rengek Mark. Sebuah lelucon khas

    Mark. Dia akan benar-benar naik taksi jika ada!

    Stanley menggeleng. "Anak-anak Kota," gumamnya, sambil menyeringai.

    Jalanan berakhir, dan kami terus melewati pepohonan. Baunya begitu berpinus dan

    segar di hutan. Aku melihat, tupai kecil berwarna coklat-putih melesat ke dalam

    rongga gelondongan kayu.

    Dalam jarak dekat aku bisa mendengar tetesan musik sungai.

    Tiba-tiba, Stanley berhenti. Dia membungkuk dan memungut biji pinus.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    30/98

    Tiga galah pancing itu jatuh ke tanah. Dia tak memerhatikannya. Dia memegang

    biji pinus dekat ke wajahnya, mempelajarinya.

    "Biji pinus di tempat yang rindang artinya musim dingin yang panjang," katanya,

    membalikkan buah pinus kering itu di tangannya.

    Mark dan aku membungkuk untuk mengambil galah-galah pancing itu.

    "Apakah itu yang buku katakan?" tanya Mark .

    Stanley mengangguk. Dia meletakkan biji pinus ke bawah dengan hati-hati di

    tempat di mana dia menemukannya.

    "Buah pinusnya masih lengket. Itu pertanda yang bagus," katanya serius.

    Mark terkikik. Aku tahu ia berusaha untuk tak tertawa di Stanley. Tapi entahbagaimana tawa itu lolos.

    Matanya besar Stanley cokelat jadi terluka.

    "Itu semua benar, Mark," katanya pelan. "Itu semua benar."

    "Aku - aku ingin membaca buku itu," kata Mark, melirikku.

    "Ini buku yang sangat sulit," jawab Stanley. "Aku mengalami kesulitan dengan

    beberapa kata-katanya."

    "Aku bisa mendengar sungai," selaku masuk, mengubah topik pembicaraan. "Ayo

    kita pergi, aku ingin untuk menangkap beberapa ikan sebelum makan siang."

    ***

    Air jernih terasa dingin di kakiku. Batu-batu halus dari dasar sungai jadi licin di

    bawah kakiku yang telanjang.

    Kami bertiga telah mengarungi ke sungai dangkal. Mark ingin berbaring di tepi

    sungai berumput untuk (memancing) ikan. Tapi aku meyakinkannya akan jauh

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    31/98

    lebih menyenangkan - dan lebih mudah untuk menangkap sesuatu - jika kau berdiri

    di dalam air.

    "Ya, aku akan menangkap (catch) sesuatu," gerutunya sambil menggulung kancing

    celana jinsnya. "Aku akan kena (catch) radang paru-paru!"

    Stanley tertawa keras. Suaranya terdengar seperti, "Har Har! Har!"

    Dia meletakkan keranjang piknik besar dengan hati-hati di rumput kering. Lalu dia

    menggulung kaki pakaian kerja denimnya. Membawa tinggi-tinggi galah itu di satu

    tangan, ia melangkah ke dalam air.

    "Ooooh! Dinginnya!" teriaknya, melambaikan tangan di atas kepalanya, ia hampir

    kehilangan keseimbangan di atas batu yang licin.

    "Stanley - kau tak lupa sesuatu?" Aku memanggilnya.

    Dia berbalik, bingung. Telinga yang besarnya jadi merah terang. "Apa yang

    kulupakan, Jodie?"

    Aku menunjuk pancingnya.

    "Bagaimana dengan umpannya?" panggilku.

    Dia melirik kail kosong di ujung talinya. Lalu ia berjalan kembali ke pantai untuk

    mendapatkan cacing untuk umpan kailnya.

    Beberapa menit kemudian, kami bertiga berada di air. Mark yang pertama

    mengeluh tentang betapa dingin sungai itu dan tentang bagaimana batu-batu di

    dasar sungai menyakiti kaki kecilnya yang halus.

    Tapi setelah beberapa saat, ia juga masuk ke dalam sungai.

    Sungai saat ini dalamnya hanya sekitar dua kaki. Airnya sangat jernih dan mengalir

    sedikit cepat, membuat putaran-putaran kecil dan menukik di atas batu-batu dasarsungai.

    Aku menurunkan taliku ke dalam air dan melihat plastik merah gembung

    mengapung di permukaan. Jika plastik mulai tenggelam, aku tahu kailku digigit

    (ikan).

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    32/98

    Matahari terasa hangat di wajahku. Air dingin yang mengalir lewat menyenangkan.

    Kuharap sungai ini cukup dalam untuk berenang di sini, pikirku.

    "Hei - Aku dapat sesuatu!" teriak Mark gembira.

    Stanley dan aku berbalik dan melihatnya menarik naik talinya.

    Mark menarik dengan seluruh kekuatannya.

    "Ini - Ini kurasa sesuatu yang besar," katanya.

    Akhirnya, dia menyentak keras lalu - dan menarik segumpalan tebal gulma hijau.

    "Bagus, Mark," kataku sambil memutar mata. "Itu sesuatu yang besar, benar

    sekali.""Kaulah sesuatu yang besar," Mark membalas kembali. "Brengsek besar."

    "Jangan seperti bayi," gumamku.

    Aku mengusir seekor lalat yang berdengung dan mencoba untuk berkonsentrasi

    taliku. Tetapi pikiranku mulai kemana-mana. Ini selalu terjadi saat aku

    memancing.

    Aku menemukan diriku berpikir tentang orang-orangan tinggi di ladang. Mereka

    berdiri begitu gelap, begitu mengancam, begitu waspada. Wajah cat mereka semua

    memiliki pandangan tajam yang sama.

    Aku masih membayangkan mereka ketika aku merasakan tangan meluncur sekitar

    pergelangan kakiku.

    Tangan jerami orang-orangan sawah.

    Tangan itu menggapai naik dari air, melingkari pergelangan kakiku, dan mulai

    memperketat cengkeraman basah dinginnya di sekitar kakiku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    33/98

    8

    Aku menjerit dan mencoba untuk menendang tangan itu menjauh.

    Tapi kakiku terpeleset di batu-batu yang halus. Tanganku terangkat saat aku

    terguling ke belakang.

    "Ohh!" Aku menjerit lagi saat aku membentur air.

    Orang-orangan sawah itu menahan.

    Di punggungku, air menyerbu, aku menendang dan lenganku meronta-ronta.

    Dan lalu aku melihatnya. Gumpalan gulma hijau yang telah membungkus sendiri

    di sekitar pergelangan kakiku.

    "Oh, tidak," erangku keras.

    Tak ada orang-orangan sawah. Cuma gulma.

    Aku menurunkan kakiku ke air. Aku tak bergerak. Aku hanya berbaring di

    punggungku, menunggu hatiku untuk berhenti berdebar-debar, merasa sekali lagi

    seperti orangg yang benar-benar brengsek.

    Aku melirik ke arah Mark dan Stanley. Mereka menatap ke arahku, terlalu kaget

    untuk tertawa.

    "Jangan berkata apapun," aku memperingatkan mereka, berusaha untuk berdiri.

    "Kuperingatkan kalian - jangan berkata sepatah kata pun."

    Markus mencibir, tapi ia patuh tak mengatakan apa-apa.

    "Aku tak membawa handuk," kata Stanley prihatin. "Maafkan aku, Jodie, aku tak

    tahu kau ingin berenang."

    Itu membuat Mark tertawa terbahak-bahak.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    34/98

    Aku melemparkan tatapan peringatan pada Mark. Kaos dan celana pendekku basah

    kuyup. Aku mulai ke tepi sungai, membawa galah pancing dengan canggung di

    depanku.

    "Aku tak butuh handuk," kataku pada Stanley. "Rasanya bagus. Sangat segar."

    "Kau membuat ikan-ikan pergi ketakutan, Jodie," keluh Mark.

    "Tidak. Kau yang membuat mereka takut. Mereka melihat wajahmu!." jawabku.

    Aku tahu aku bertingkah seperti bayi sekarang. Tapi aku tak peduli. Aku

    kedinginan, basah dan marah.

    Aku menginjak ke tepi sungai, menggoyangkan air dari rambutku.

    "Kupikir mereka menggigit lebih baik di bawah sini," kudengar Stanley

    memanggil Mark. Aku berpaling untuk melihatnya menghilang di lekukan sungai.

    Melangkah hati-hati di atas batu, Mark mengikutinya. Mereka berdua tersembunyi

    dari pandangan dibalik pepohonan yang lebat.

    Aku meremas rambutku, mencoba untuk mengeluarkan air sungai. Akhirnya, aku

    menyerah dan mengibaskan rambutku ke belakang bahuku.

    Aku berdebat apa yang harus dilakukan berikutnya saat aku mendengar suara

    berderak di hutan.

    Langkah kaki?

    Aku berbalik dan menatap ke pepohonan. Aku tak melihat siapa pun.

    Tupai lain bergegas pergi di atas selimut dedaunan cokelat yang mati. Apakah

    seseorang - atau sesuatu - membuat takut tupai?

    Aku benar-benar mendengarkan. Derakan langkah kaki lainnya. Suara gemerisik.

    "Siapa - siapa di sana?" panggilkku.

    Semak-semak rendah berdesir sebagai jawaban.

    "Sticks - kaukah itu? Sticks?" Suaraku gemetar.

    Tak ada jawaban.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    35/98

    Pasti itu Sticks, aku berkata pada diriku sendiri. Ini adalah tanah milik Kakek Kurt.

    Tak ada orang lain di belakang ke sini.

    "Sticks - berhentilah berusaha untuk menakut-nakutiku!" teriakku dengan marah.

    Tak ada jawaban.

    Langkah kaki lainnya. Derakan ranting.

    Suara-suara yang lebih gemerisik. Lebih dekat sekarang.

    "Sticks - Aku tahu itu kau!" panggilku dengan ragu. "Aku benar-benar lelah

    dengan tipuan bodohmu. Sticks?"

    Mataku menatap lurus ke depan ke pepohonan.

    Aku mendengarkan. Sekarang sunyi.

    Kesunyian yang mencekam.

    Lalu aku mengangkat tanganku ke mulutku saat aku melihat sesosok gelap

    menyembul keluar dari naungan dua pohon pinus yang tinggi.

    "Sticks -?"

    Aku memicingkan mata ke dalam bayang-bayang biru.

    Aku melihat mantel gelap menggembung. Kepala kain goni yang memudar. Topi

    fedora hitam miring di atas lukisan mata hitam.

    (fedora: topi laken seperti yang biasa dipakai di film-film koboi.)

    Aku melihat jerami menyembul di bawah jaket. Jerami mencuat keluar dari lengan

    jaket yang panjang.

    Orang-orangan sawah.

    Satu orang-orangan sawah telah mengikuti kami? Mengikuti kami ke sungai?

    Menyipitkan mata keras ke bayangan, menatap senyum yang jahat, beku, aku

    membuka mulut untuk menjerit - tapi tak ada suara yang keluar.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    36/98

    9

    Lalu tangannya meraih bahuku.

    "Ohh!" Aku menjerit dan berbalik.

    Stanley menatapku dengan prihatin. Ia dan Mark telah datang di belakangku.

    "Jodie, ada apa?" tanya Stanley. "Mark dan aku - Kami pikir kami mendengarmu

    memanggil"

    "Ada apa?" Mark bertanya santai. Tali di galah pancingnya telah menjadi kusut,

    dan ia berusaha untuk melepaskannya. "Apa kau melihat tupai atau sesuatu?"

    "Tidak - aku - aku -" Jantungku berdebar begitu keras, aku nyaris tak bisa bicara.

    "Rambut hitammu keren, Jodie," kata Mark, meniruku.

    "Aku melihat orang-orangan sawah!" akhirnya aku berhasil berteriak.

    Mulut Stanley ternganga.

    Mark menyipitkan matanya curiga padaku. "Orang-orangan sawah? Di hutan

    sini?"

    "Orang-orangan itu - itu berjalan," kataku tergagap. "Aku mendengarnya. Aku

    mendengarnya berjalan."

    Satu suara tersedak keluar dari mulut terbuka Stanley.

    Mark terus menatapku, wajahnya tegang karena takut.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    37/98

    "Itu di sana!" teriakku. "Di sana! Lihatlah!"

    Aku menunjuk.

    Tapi oranng-orangan sawah itu lenyap.

    10

    Stanley menatap tajam ke arahku, matanya yang besar cokelat penuh dengan

    kebingungan.

    "Aku melihatnya," aku bersikeras. "Di antara dua pohon itu."

    Aku menunjuk lagi.

    "Kau melihatnya? Orang-orangan sawah? Benarkah?" tanya Stanley. Aku bisa

    melihatnya benar-benar mulai merasa takut.

    "Yah... Mungkin itu hanya bayangan," kataku. Aku tak ingin menakut-nakuti

    Stanley.

    Aku menggigil.

    "Aku basah kuyup. Aku harus kembali di bawah sinar matahari," kataku pada

    mereka.

    "Tapi apakah kau melihatnya?" tanya Stanley, matanya yang besar terpaku padaku."Apa kau melihat orang-orangan sawah di sini, Jodie?"

    "Aku - aku tak berpikir begitu, Stanley," jawabku, mencoba untuk

    menenangkannya. "Maafkan aku."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    38/98

    "Ini sangat buruk," gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri. "Ini sangat buruk.

    Aku harus membaca buku itu. Ini sangat buruk."

    Lalu sambil bergumam sendiri, ia berbalik dan lari.

    "Stanley - berhenti!" panggilku. "Stanley - kembali! Jangan biarkan kami di sini!"

    Tapi dia sudah pergi. Menghilang ke dalam hutan.

    "Aku akan mengejarnya," kataku pada Mark. "Lalu aku akan menceritakan tentang

    hal ini Kakek Kurt. Bisakah kau bawa kembali pancing ini sendirian?"

    "Apa aku harus?" rengek Mark. Adikku begitu malas!

    Aku mengatakan kepadanya ia harus. Lalu aku berlari sepanjang jalan melalui

    hutan menuju rumah pertanian.

    Jantungku berdegup kencang saat aku sampai di ladang jagung. Orang-orangan

    sawah gelap tampaknya menatapku. Saat sepatu kets-ku berdebam di jalan tanah

    yang sempit, aku membayangkan lengan-lengan jerami meraihku, meraihku untuk

    menangkapku dan menarikku ke jagung.

    Tapi orang-orangan sawah tetap diam, masih melihat di atas batang-batang jagung.

    Mereka tak bergerak atau berkedut saat aku melesat lewat.

    Di depan aku melihat Stanley berlari ke rumah kecilnya. Aku menadahkan tangan

    ke mulutku dan memanggilnya, tapi dia menghilang ke dalam.

    Aku memutuskan untuk mencari Kakek Kurt dan bercerita tentang orang-orangan

    sawah yang kulihat bergerak melalui hutan.

    Pintu gudang terbuka, dan kupikir aku melihat seseorang bergerak di dalam.

    "Kakek Kurt?" panggilku terengah-engah. "Apa Anda di sana?"

    Rambut basahku memantul di bahuku saat aku lari ke gudang. Aku berdiri di

    persegi panjang cahaya yang membentang dari pintu dan menatap kegelapan.

    "Kakek Kurt?" panggilku, berusaha untuk bernapas.

    Mataku perlahan-lahan menyesuaikan dengan cahaya redup. Aku melangkah lebih

    dalam gudang.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    39/98

    "Kakek Kurt? Apa Anda di sini?"

    Mendengar suara gesekan pelan di dinding yang jauh, aku berjalan ke arah itu.

    "Kakek Kurt - bisakah aku bicara dengan Anda? Aku benar-benar perlu bicara

    dengan Anda!" Suaraku terdengar kecil dan ketakutan di gudang besar gelap itu.Sepatuku menggesek di lantai jerami kering saat aku berjalan menuju belakang.

    Aku berputar ketika aku mendengar suara gemuruh.

    Cahaya jadi meredup.

    "Hei -" teriakku. Terlambat.

    Pintu gudang itu bergeser menutup.

    "Hei! Siapa di sana?" jeritku terkejut dengan marah. "Hei - berhenti!"

    Aku menyelinap di atas jerami saat aku mulai bergerak maju dengan tiba-tiba

    menuju pintu geser itu. Aku jatuh dengan keras, tapi dengan cepat berdiri dengan

    canggung.

    Aku melesat menuju pintu. Tapi aku tak cukup cepat.

    Saat pintu yang berat itu bergemuruh menutup, persegi panjang cahaya jadi

    menyempit, menyempit.

    Pintu itu terbanting dengan keras yang memekakkan telinga.

    Kegelapan meluncur di sekitarku, melingkariku, menutupiku.

    "Hei - keluarkan aku!" jeritku. "Keluarkan aku dari sini!"

    Jeritanku berakhir dalam cekikan tertahan. Napasku terengah-engah dengan suara

    keras.

    Aku menggedor pintu gudang kayu dengan kedua tangan. Lalu dengan panik akumenyapukan tangan di atas pintu, membabi buta untuk mencari palang pintu, atau

    sesuatu yang ditarik - beberapa cara untuk membuka pintu.

    Saat aku tak bisa menemukan apa-apa, aku menggedor pintu sampai tinjuku sakit.

    Lalu aku berhenti dan mundur selangkah.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    40/98

    Tenang, Jodie, kataku pada diriku sendiri. Tenang. Kau akan keluar dari gudang.

    Kau akan menemukan jalan keluar. Ini tak seperti kau terjebak di sini selamanya.

    Aku mencoba untuk menghilangkan kepanikanku. Aku menahan napas, menunggu

    hatiku untuk berhenti berdebar-debar. Lalu aku menbiarkan napasku keluarperlahan-lahan. Perlahan-lahaaaan.

    Aku baru saja mulai merasa sedikit lebih baik saat aku mendengar suara garukan.

    Suatu garukan kering. Suara sepatu berderak di atas jerami.

    "Oh." Aku menjerit keras, lalu mengangkat kedua tangan ke wajahku dan

    mendengarkan.

    Garukan. Garukan. Garukan.

    Suara langkah kaki. Suara langkah kaki pelan yang tetap, begitu dimah di lantai

    gudang.

    Langkah-langkah kaki itu menuju ke arahku di dalam kegelapan.

    11

    "Siapa - siapa di sana?" Aku berhasil bicara, suaraku berbisik.

    Tak ada jawaban.

    Garukan. Garukan. Garukan.

    Suara garukan pelan langkah kaki mendekat.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    41/98

    "Siapa itu?" teriakku nyaring.

    Tak ada jawaban.

    Aku menatap ke dalam kegelapan. Aku tak bisa melihat apa-apa.

    Garukan. Garukan.

    Siapa pun - atau apa pun - itu bergerak terus ke arahku.

    Aku mundur selangkah. Lalu, selangkah lagi.

    Aku mencoba berteriak, tapi tenggorokanku tercekat ketakutan.

    Aku mengembuskan napas ketakutan saat aku mundur ke sesuatu. Dalam

    kepanikan, aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu cuma sebuahtangga kayu. Tangga yang menuju ke loteng jerami itu.

    Langkah-langkah kaki itu berjalan mendekat dengan menimbulkan suara berderak.

    Lebih dekat.

    "Tolong -" Aku mengeluarkan suara dengan suara tersedak kecil. "Tolong - jangan

    -"

    Lebih dekat. Lebih dekat. (Sesutu) yang menggaruk itu ke arahku melalui

    kegelapan yang pekat.

    Aku mencengkeram sisi tangga. "Tolong - tinggalkan aku sendiri!"

    Sebelum aku sadar apa yang kulakukan, aku menaiki tangga. Lenganku gemetar,

    dan kakiku masing-masing terasa seolah-olah beratnya ribuan pon.

    Tapi aku bergegas melangkahi anak -anak tangga menuju loteng jerami, menjauh

    dari garukan langkah kaki yang menakutkan di bawah.

    Saat aku mencapai puncak, aku berbaring di lantai loteng jerami. Aku berusahauntuk mendengarkan, mendengar langkah-langkah kaki di atas debaran hatiku

    yang keras.

    Apa aku diikuti? Apakah sesuatu itu mengejarku menaiki tangga?

    Aku menahan napas. Aku mendengarkan.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    42/98

    Suara darukan. Garukan langkah kaki.

    "Pergi!" jeritku panik. "Siapa pun kau - pergilah!"

    Tapi suara-suara itu berlanjut, kering dan kasar membuat gatal. Seperti jerami

    menyapu jerami.

    Berusaha untuk berlutut, aku berpaling ke jendela, jendela kecil loteng jerami yang

    persegi. Sinar matahari mengalir melalui jendela. Cahaya itu membuat jerami

    berserakan di atas lantai berkilau seperti helaian emas kecil.

    Dengan hatiku yang masih berdebar-debar, aku merangkak ke jendela.

    Ya! Tali berat itu masih terikat ke samping. Tali yang selalu Mark dan aku

    gunakan untuk berayun ke tanah.

    Aku bisa keluar dari sini! kataku pada diriku sendiri dengan senang.

    Aku bisa meraih tali itu dan berayun keluar dari loteng jerami itu. Aku bisa lolos!

    Dengan penuh semangat, aku meraih tali itu dengan kedua tangan.

    Lalu aku melongok keluar jendela dan menatap ke bawah, ke tanah.

    Menjerit terkejut dan ngeri.

    12

    Menatap ke bawah, aku melihat satu topi hitam. Di bawahnya, sebuah mantel

    hitam.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    43/98

    Satu orang-orangan sawah. Bertengger di luar pintu gudang. Seolah-olah berjaga-

    jaga.

    Ia menyentakkan lengan dan kakinya atas suara jeritanku.

    Dan saat aku menatap tak percaya, ia bergegas berputar ke sisi gudang, terpincang-

    pincang pada kaki jerami, lengannya terkepak-kepak di pinggangnya.

    Aku mengerjapkan mata beberapa kali.

    Apakah aku melihat sesuatu?

    Tanganku terasa dingin dan basah. Aku mencengkeram tali itu lebih erat.

    Mengambil napas dalam-dalam, aku meloncat keluar dengan tiba-tiba dari jendela

    persegi kecil itu.

    Tali berat itu berayun keluar di atas bagian depan gudang.

    Turun, turun. Aku membentur tanah yang keras, mendarat di kakiku.

    "Aduh!" jeritku saat tali itu melukai tanganku.

    Aku melepaskan tali itu dan berlari ke sisi gudang. Aku ingin mengejar itu orang-

    orangan sawah itu. Aku ingin melihat apakah itu benar-benar orang-orangan

    sawah, orang-orangan sawah yang dapat berjalan.

    Mengabaikan rasa takutku, aku berlari secepat aku bisa.

    Tak ada tanda-tanda kehadirannya di sisi gudang ini.

    Dadaku mulai terasa sakit. Pelipisku berdenyut-denyut.

    Aku berbelok di pojokan dan berputar menuju di belakang gudang, mencari orang-

    orangan sawah yang melarikan diri itu.

    Dan berlari tepat ke Sticks!

    "Hei -" Kami berdua berteriak terkejut saat kami bertabrakan.

    Aku panik melepaskan diriku darinya. Menatap melewatinya, aku melihat bahwa

    orang-orangan sawah itu telah lenyap.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    44/98

    "Ada apa kok terburu-buru?" tuntut Sticks. "Kau hampir membunuhku!"

    Dia mengenakan pakaian kerja jins pudar, dipotong pada kedua lutut, dan kemeja

    ungu pudar berotot yang benar-benar memamerkan betapa kurusnya dia. Rambut

    hitamnya diikat ke belakang model ekor kuda pendek.

    "O - orang-orangan sawah!" Aku tergagap.

    Dan, lalu - saat itu - aku tahu.

    Pada saat itu, aku memecahkan misteri orang-orangan sawah itu.

    13

    Itu pasti bukan orang-orangan sawah.

    Itu Sticks.

    Di hutan di dekat sungai. Dan, sekarang, di luar gudang.

    Sticks. Memainkan salah satu dari tipuan buruknya itu.

    Dan aku tiba-tiba yakin bahwa Stick entah (dengan cara) bagaimana membuat

    orang-orangan sawah itu berkedut dan menarik tiang-tiang pancang mereka tadi

    malam.

    Sticks benar-benar suka menipu "anak-anak kota." Sejak Mark dan aku kecil, ia

    hampir sudah memainkan, lelucon paling menakutkan dan paling kejam kepada

    kami.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    45/98

    Kadang-kadang Sticks bisa jadi pria yang baik. Tapi dia benar-benar punya sifat

    kejam.

    "Kupikir kau sedang memancing," katanya santai.

    "Yah, aku tidak," bentakku. "Sticks, mengapa kau terus berusaha menakut-nakuti

    kami?"

    "Hah?" Dia pura-pura dia tak tahu apa yang kubicarakan.

    "Sticks, yang benar saja," gumamku. "Aku tahu kau adalah orang-orangan sawah

    itu baru sekarang. Aku tidak bodoh!"

    "Orang-orangan sawah? Orang-orangan sawah apa?" tanyanya, matanya terbelalak

    padaku, ekspresinya tak bersalah.

    "Kau berpakaian seperti orang-orangan sawah," tuduhku memberitahunya. "Atau

    kau membawanya satu di sini, dan menariknya dengan tali atau sesuatu."

    "Kau benar-benar gila," jawab Sticks marah. "Apa kau telah keluar di bawah sinar

    matahari terlalu lama atau sesuatu?"

    "Sticks - menyerahlah," kataku. "Kenapa kau melakukan ini? Mengapa kau terus

    berusaha untuk menakut-nakuti Mark dan aku? Kau membuat takut ayahmu juga."

    "Jodie, kau gila!" serunya. "Aku benar-benar tak punya waktu untuk berdandan

    kostum itu hanya untuk menghiburmu dan adikmu."

    "Sticks - kau tak akan bisa membodohiku," aku bersikeras. "Kau -"

    Aku berhenti saat melihat perubahan ekspresi Sticks itu.

    "Ayah!" serunya, tiba-tiba ketakutan. "Ayah! Katamu dia takut?"

    Aku mengangguk.

    "Aku harus menemukannya!" Sticks berseru panik, "Dia - dia bisa melakukan

    sesuatu yang mengerikan!"

    "Sticks, leluconmu sudah kelewatan!" jeritku. "Benar-benar hentikan!"

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    46/98

    Tapi dia sudah berlari ke arah bagian depan gudang, memanggil ayahnya, suaranya

    nyaring dan panik.

    ***

    Sticks tak menemukan ayahnya sampai makan malam. Itulah saat aku melihatnya,

    juga - tepat sebelum makan malam. Dia membawa buku takhayulnya yang besar,

    memegang erat-erat di bawah lengannya.

    "Jodie," bisiknya, memberiku isyarat untuk datang dekat. Wajahnya merah.

    Matanya yang gelap menampakkan kegembiraannya.

    "Hai, Stanley," bisikku kembali dengan ragu.

    "Jangan katakan Kakek Kurt tentang orang-orangan sawah itu," bisik Stanley.

    "Hah?" Permintaan Stanley membuatku tak mengerti (dan) waspada.

    "Jangan bilang kakekmu," ulang Stanley. "Ini hanya akan membuatnya kesal. Kita

    tak ingin menakut-nakutinya, bukan?"

    "Tapi, Stanley -" Aku mulai protes.

    Stanley mengangkat jarinya ke bibirnya. "Jangan katakan, Jodie. Kakekmu tak

    suka kesal. Aku akan mengurus orang-orangan sawah itu. Aku punya buku itu."

    Dia mengetuk buku besar itu dengan jarinya.

    Aku mulai menceritakan Stanley bahwa orang-orangan sawah itu cuma Sticks,

    yang memainkan lelucon buruk. Tapi Nenek Miriam memanggil kami ke meja

    sebelum aku bisa mengatakannya.

    Stanley membawa buku takhayul ke meja. Setiap beberapa gigitan, ia akan

    mengangkat buku besar hitam itu dan membaca beberapa paragraf.

    Dia menggerakkan bibirnya saat dia membaca. Tapi aku duduk di ujung meja dan

    tak mengerti sepatah kata pun.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    47/98

    Sticks terus menatap di atas piringnya dan tak mengucapkan sepatah kata pun.

    Kupikir dia benar-benar malu bahwa ayahnya sedang membaca buku takhayul di

    meja makan.

    Tapi Kakek dan Nenek Miriam Kurt tak sedikit pun terkejut. Mereka berbicarariang pada Mark dan aku dan terus memberi kami makanan lebih banyak- seolah-

    olah mereka bahkan tak menyadari sikap Stanley.

    Aku benar-benar ingin memberitahu Kakek Kurt tentang bagaimana Sticks

    mencoba untuk menakut-nakuti Mark dan aku. Tetapi aku memutuskan untuk

    mendengarkan Stanley dan tak membuat kakekku kesal.

    Selain itu, aku bisa berurusan dengan Sticks jika aku harus. Dia pikir dia begitu

    jantan. Tapi aku tak takut sedikit pun padanya.

    Stanley masih membaca, mengoceh saat ia membaca, saat Nenek Miriam

    membereskan piring-piring makan malam. Mark dan aku membantu. Lalu kami

    duduk saat Nenek Miriam membawa pai ceri besar untuk meja.

    "Aneh," bisik Mark kepadaku, menatap kue itu.

    Dia benar.

    "Bukankah Kakek Kurt suka pai apel?" seruku.

    Nenek Miriam tersenyum tegang.

    "Tahun in terlalu awal untuk apel," gumamnya.

    "Tapi bukankah Kakek Kurt alergi ceri?" bertanya Mark.

    Nenek Miriam mulai memotong kue dengan pemotong kue perak.

    "Semua orang suka kue ceri," jawabnya, berkonsentrasi pada pekerjaannya. Lalu ia

    mengangkat matanya ke Stanley. "Bukankah itu benar itu, Stanley?"

    Stanley menyeringai ke bukunya.

    "Ini favoritku," katanya. "Nenek Miriam selalu menyajikan favoritku."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    48/98

    ***

    Setelah makan malam, Kakek Kurt sekali lagi menolak untuk menceritakan pada

    Mark dan aku suatu cerita menakutkan.

    Kami duduk di sekitar perapian, menatap derakan api yang kuning. Meskipun

    sudah begitu panas, udara jadi dingin malam ini, cukup dingin untuk membuat api

    unggun yang bagus.

    Kakek Kurt berada di kursi goyang di samping perapian. Kursi kayu tua berderit

    saat dia bergoyang perlahan-lahan maju dan mundur.

    Dia selalu senang memandang api dan menceritakan pada kami salah satu kisah

    menakutkan itu. Kau bisa melihat loncatan-loncatan api tercermin di mata birunya.

    Dan suaranya akan jadi lebih rendah dan lebih rendah saat cerita itu jadi

    menakutkan.

    Tapi malam ini ia mengangkat bahu ketika aku meminta kepadanya untuk suatu

    cerita. Dia menatap jemu pada boneka beruang besar pada alasnya di dinding. Lalu

    ia melirik ke seberang ruangan pada Stanley.

    "Seandainya aku tahu beberapa cerita yang baik," jawab Kakek Kurt sambil

    mendesah. "Tapi aku sudah kehilangan itu sama sekali."

    Beberapa saat kemudian, Mark dan aku berjalan ke lantai atas untuk kamar tidur

    kami.

    "Apa masalahnya?" Mark berbisik saat kami naik.

    Aku menggeleng. "Aku tak tahu."

    "Dia tampak begitu... berbeda," kata Mark.

    "Semua orang di sini berbeda," aku setuju. "Kecuali Sticks. Dia masih mencoba

    untuk menakut-nakuti kita anak-anak kota."

    "Sudahlah kita abaikan saja dia," saran Markus. "Ayo kita pura-pura kita tak

    melihatnya berjalan berputar-putar dalam kostum bodoh orang-orangan sawahnya

    itu."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    49/98

    Aku setuju. Lalu aku mengucapkan selamat malam dan menuju ke kamarku.

    Abaikan orang-orangan sawah itu, pikirku sambil mengatur selimut di tempat

    tidur.

    Benar-benar abaikan mereka.

    Aku tak akan berpikir tentang orang-orangan lagi, kataku pada diriku sendiri.

    Sticks bisa melompat ke sungai.

    Naik ke tempat tidur, aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku berbaring

    telentang, menatap retakan-retakan di langit-langit (kaama), mencoba untuk

    mencari tahu gambar macam apa yang mereka bentuk. Ada tiga retakan bergerigi.

    Aku memutuskan bahwa mereka tampak seperti baut petir.

    Jika aku memicingkan mata, aku bisa membuatnya terlihat seperti orang tua

    berjenggot.

    Aku menguap. Aku merasa sangat mengantuk, tapi aku tak bisa tidur.

    Itu baru malam keduaku di sini di pertanian. Aku selalu perlu waktu untuk

    menyesuaikan diri dengan berada di tempat baru dan tidur di ranjang yang berbeda.

    Aku memejamkan mata. Melalui jendela yang terbuka, aku bisa mendengar sapi

    melenguh pelan dari gudang. Dan aku bisa mendengar bisikan angin saat ia

    menyisir batang-batang jagung yang tinggi.

    Hidungku benar-benar tersumbat. Aku pasti mendengkur malam ini, pikirku.

    Itu, jika aku bisa tidur!

    Aku coba menghitung domba.Tampaknya tak bekerja, jadi aku coba menghitung

    sapi. Besar, besar sekali, memantul, sapi yang bergeraaaaaak pelaaaaaan.

    Aku menghitung sampai seratus dua belas sebelum aku memutuskan bahwa ini

    juga tak bekerja.

    Aku berbalik ke pinggangku. Lalu, setelah beberapa menit, aku mencoba

    pinggangku yang lain.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    50/98

    Aku menemukan diriku berpikir tentang teman terbaikku, Shawna. Aku bertanya-

    tanya apa Shawna bersenang-senang di kamp.

    Aku berpikir tentang beberapa temanku yang lain. Kebanyakan dari mereka cuma

    berkeliaran di musim panas ini, tak melakukan apa-apa.

    Ketika aku melirik jam, aku terkejut melihat itu hampir pukul dua belas. Aku harus

    tidur, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan hancur besok jika aku tak bisa

    tidur.

    Aku duduk telentang, menarik selimut yang lembut sampai ke daguku lagi. Aku

    memejamkan mata dan mencoba tak membayangkan apa-apa. Hanya ruang kosong

    yang hitam. Ruang kosong tiada akhir.

    Hal berikutnya yang kutahu, aku mendengar suara menggaruk.

    Mulanya aku mengabaikannya. Kupikir itu tirai-tirai terkepak-kepak pada jendela

    yang terbuka.

    Harus bisa tidur, pintaku pada diriku sendiri. Harus bisa tidur.

    Garukan itu semakin keras. Lebih dekat.

    Aku mendengar suara garukan.

    Dari luar jendela?

    Aku membuka mataku. Bayangan-bayangan menari-nari di langit-langit. Aku

    sadar aku menahan napas.

    Mendengarkan keras.

    Garukan lain. Garukan lagi. Garukan kering.

    Aku mendengar erangan pelan.

    "Hah?" Kesiap kaget keluar dari bibirku.

    Aku menarik diriku ke papan di ujung kepala tempat tidur. Aku menarik selimut

    sampai ke daguku, mencengkeram erat-erat dengan kedua tangan.

    Aku mendengar garukan kering lagi. Seperti amplas, pikirku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    51/98

    Tiba-tiba kamar jadi semakin gelap.

    Aku melihat sesuatu yang menarik diri naik ke jendela. Sesosok gelap. Menahan

    sinar bulan.

    "Siapa - siapa di sana?" Aku mencoba memanggil. Tapi suaraku keluar dalam

    bisikan tercekat.

    Aku bisa melihat bayangan kepala hitam di langit ungu.

    Bayangan itu berdiri di jendela. Bahu-bahu yang gelap. Diikuti dengan dada yang

    lebih gelap. Hitam pada hitam.

    Satu bayangan bisu, menyelinap ke kamarku.

    "T-tolong!" Bisikan gagap lainnya.

    Jantungku berhenti berdetak. Aku tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas.

    Bayangan itu meluncur di atas jendela. Menyapu tirai saat ia menurunkan dirinya

    ke dalam kamarku.

    Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang.

    Menggaruk menggaruk menggaruk.

    Bayangan itu bergerak perlahan, terus ke tempat tidurku.

    Aku berusaha untuk bangun.

    Terlambat.

    Kakiku terjerat selimut.

    Aku jatuh ke lantai, mendarat keras pada sikuku.

    Aku mengangkat mataku untuk melihatnya bergerak mendekat.

    Aku membuka mulut untuk berteriak saat sesuatu itu muncul dari bayang-bayang.

    Dan lalu aku mengenalinya. Mengenali wajahnya.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    52/98

    "Kakek Kurt!" teriakku. "Kakek Kurt -apa yang Anda lakukan di sini? Mengapa

    Anda memanjat di jendela?"

    Ia tak menjawab. Mata biru dingin melotot ke arahku. Seluruh wajahnya terpelintir

    menjadi cemberut jelek.

    Dan kemudian dia mengangkat kedua lengannya di atasku.

    Dan aku melihat bahwa ia tak punya tangan.

    Rumpun-rumpun jerami terjulur keluar dari lengan jaketnya.

    Cuma jerami.

    "Kakek - tidak!!" jeritku.

    14

    "Kakek - tolong - tidak!" Aku menjerit saat ia menurunkan tangan jeraminya ke

    arahku.

    Dia memamerkan gigi-giginya seperti anjing yang marah dan mengeluarkan

    geraman tajam yang menakutkan.

    Tangan-tangan jerami itu terjulur turun padaku.

    Wajah Kakek Kurt yang sama. Wajah yang selalu kukenal. Kecuali bahwa

    matanya begitu dingin, begitu dingin dan mati.

    Tangan-tangan jerami itu menyapu ke atas wajahku saat aku berdiri. Aku mundur

    selangkah, mengangkat tanganku seperti perisai.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    53/98

    "Kakek - Apa yang salah? Apa yang terjadi?" bisikku.

    Pelipisku bergetar. Seluruh tubuhku bergetar.

    Mata dingin itu menyipit marah saat ia meraihku lagi.

    "Tidaaak!" Aku mengeluarkan jeritan panjang ngeri. Lalu aku berbalik dan

    tersandung ke pintu.

    Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang saat ia menghambur ke arahku. Melirik

    ke bawah, aku melihat jerami menyembul keluar dari manset celananya.

    Kakinya - juga jerami.

    "Kakek Kurt! Kakek Kurt! Apa yang terjadi!" Apa itu benar-benar suaraku, begitu

    melengking dan ketakutan?

    Dia mengayunkan satu lengan. Jerami menggaruk punggungku saat lengan itu

    mengusapku.

    Aku meraih pegangan pintu. Memutarnya. Membuka pintu.

    Dan berteriak lagi saat aku bertabrakan dengan Nenek Miriam.

    "Oh, tolong! Tolonglah! Nenek Miriam - Dia mengejarku!" teriakku.

    Ekspresinya tak berubah. Dia menatap ke arahku.

    Dalam cahaya redup lorong, wajahnya jadi terlihat jelas.

    Dan aku melihat bahwa kacamatanya dicat.

    Matanya. Mulut. Hidung bulat besar.

    Seluruh wajahnya dicat.

    "Kau tak asli!" teriakku.

    Dan kemudian kegelapan melandaku saat tangan jerami Kakek Kurt melilit

    wajahku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    54/98

    15

    Aku terbangun batuk dan tercekat.

    Dikelilingi oleh kegelapan. Kegelapan yang mencekam.

    Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku telah tidur dengan bantal diatas wajahku.

    Melemparkannya ke kaki tempat tidur, aku berdiri, terengah-engah. Wajahku

    terasa panas. Bajuku menempel basah ke punggungku.

    Aku melirik jendela, tiba-tiba takut bahwa aku akan melihat sosok gelap memanjat

    masuk.

    Tirai-tirai berkibar pelan. Langit pagi masih abu-abu. Aku mendengar kokok

    melengking dari ayam jantan.

    Mimpi. Semua itu mimpi buruk yang menakutkan.

    Mengambil napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, aku

    menurunkan kakiku ke lantai.

    Aku menatap cahaya pagi abu-abu melalui jendela. Hanya mimpi, aku meyakinkan

    diriku sendiri. Tenang, Jodie. Itu hanya mimpi.

    Aku bisa mendengar seseorang bergerak di sekitar lantai bawah. Dengan berjalan

    sempoyongan ke meja rias, aku mengeluarkan beberapa pakaian bersih - sepasang

    celana denim pudar, kaos biru tanpa lengan.

    Mataku berair. Semuanya kabur. Alergiku benar-benar buruk pagi ini.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    55/98

    Menggosok-gosok mataku, aku berjalan ke jendela dan mengintip keluar. Bola

    merah matahari baru saja mengintip di atas pohon apel yang besar. Embun pagi

    yang tebal membuat rumput di halaman belakang berkilauan seperti zamrud.

    Lautan batang-batang jagung gelap berdiri di balik rumput. Orang-orangan sawahberdiri kaku di atasnya, tangan yang terbuka menyambut pagi.

    Ayam jantan berkokok lagi.

    Mimpi buruk yang bodoh sekali, pikirku. Aku mengguncangngkan diriku seolah

    berusaha menghilangkannya dari ingatanku. Lalu aku menyisir rambutku dan

    bergegas turun untuk sarapan.

    Mark baru saja memasuki dapur saat aku masuk. Kami menemukan Nenek Miriam

    sendirian di meja. Sebuah cangkir teh panas di depannya saat ia menatap ke luarjendela di sinar matahari pagi.

    Dia berbalik dan tersenyum pada kami saat kami masuk.

    "Selamat pagi. Tidur nyenyak?"

    Aku tergoda untuk menceritakan mimpi burukku yang menakutkan. Tapi,

    sebaliknya, aku bertanya, "Di mana Kakek Kurt?"

    Aku menatap kursi kosong itu. Surat kabar itu tergeletak di atas meja belumdibuka.

    "Mereka semua pergi pagi-pagi," jawab Nenek Miriam.

    Dia berdiri, berjalan ke lemari, dan membawa sebuah kotak besar jonjot jagung ke

    meja. Dia memberi isyarat pada kami untuk duduk di tempat kami.

    "Hari yang indah," katanya riang.

    "Tak ada kue serabi?" sembur Mark.

    Nenek Miriam berhenti separuh jalan di seberang ruangan.

    "Aku benar-benar lupa bagaimana untuk membuatnya," katanya tanpa berbalik.

    Dia mengatur dua mangkuk bawah dan berjalan ke lemari es untuk mendapatkan

    susu. "Anak-anak, kalian mau jus jeruk pagi ini? Ini baru diperas."

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    56/98

    Nenek Miriam mengatur kotak susu di samping mangkukku. Dia tersenyum

    padaku. Matanya tetap kusam belakang kacamata berbingkai perseginya.

    "Kuharap kalian berdua menikmati kunjungan kalian," katanya pelan.

    "Kami akan menikmatinya jika bukan karena Sticks," tanyaku langsung.

    Ekspresinya berubah menjadi terkejut. "Sticks?"

    "Dia mencoba menakut-nakuti kami lagi," kataku.

    Nenek Miriam mendesah. "Kalian tahu Sticks," jawabnya pelan.

    Dia mendorong rambut merahnya dengan kedua tangan.

    "Apa yang kalian merencanakan untuk hari ini?" tanyanya ceria. "Ini pagi yangindah untuk pergi berkuda. Sebelum mereka pergi pagi ini, Kakek Kurt menyuruh

    Stanley memasang pelana Betsy dan Maggie, jika kalian ingin berkuda."

    "Kedengarannya menyenangkan," kataku. "Bagaimana menurutmu, Mark?

    Sebelum benar-benar panas?"

    "Kurasa," jawab Mark.

    "Kalian berdua selalu menikmati berkuda di sepanjang sungai," kata Nenek

    Miriam, menjauhkan kotak jonjot jagung.

    Aku menatap di seberang ruangan, menatap rambut merah keritingnya, lengan

    gemuknya, baju rumahnya (bermotif) bunga.

    "Apa Anda baik-baik, Nenek Miriam?" tanyaku. Kata-kata itu keluar begitu saja

    dari mulutku. "Apa di sini semuanya baik-baik saja ?"

    Dia tak menjawab. Sebaliknya, dia menurunkan matanya, menghindari tatapanku.

    "Kalian pergilah berkuda," katanya pelan. "Jangan khawatir tentang aku."

    ***

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    57/98

    Kakek Kurt selalu memanggil Betsy dan Maggie "kuda betina abu-abu tua."

    Kurasa karena mereka berdua tua dan mereka berdua abu-abu. Dan mereka boleh

    dikatakan galak saat Mark dan aku naik ke pelana mereka dan mulai untuk

    mendorong mereka dari gudang.

    Mereka itu kuda-kuda yang sempurna bagi kami "anak-anak kota." Satu-satunya

    waktu yang pernah kami dapat untuk berkuda itu selama musim panas kami di

    pertanian. Jadi kami tak benar-benar seterampil pembalap dunia.

    Memantul terus di atas kedua kuda tua itu persisnya kecepatan kami. Dan bahkan

    selambat apapun kami bergerak, aku mendesakkan lututku ke pinggang Betsy dan

    berpegangan tanduk pelana demi keselamatanku.

    Kami mengikuti jalan setapak melewati ladang jagung menuju hutan. Matahari

    mendaki langit kuning berkabut. Tapi udaranya sudah panas dan lengket.

    Lalat-lalat berdengung di sekitarku saat aku memantul di atas Betsy. Aku

    melepaskan satu tangan dari tanduk pelana untuk menyapu satu lalat yang besar

    dari punggung Betsy.

    Orang-orangan sawah menatap kembali pada kami saat Mark dan aku lewat. Mata

    hitam mereka memelototi kami dari bawah topi mereka yang terkulai.

    Mark dan aku tak mengatakan sepatah kata pun. Kami menepati janji kami untuktak berbicara tentang orang-orangan sawah.

    Aku memutar mataku ke hutan dan melemparkan tali kekang, mendesak Betsy

    bergerak sedikit lebih cepat. Dia mengabaikanku, tentu saja, dan terus berderap di

    sepanjang jalan di atas langkah tetapnya yang lambat.

    "Aku ingin tahu apakah kuda-kuda ini masih bisa lari berderap," teriak Markus.

    Dia beberapa langkah di belakangku di jalan tanah yang sempit.

    "Ayo kita coba!" teriakku kembali, meraih kendali kebih erat.

    Aku mendorongkan tumit sepatuku ke pinggang Betsy.

    "Ayolah, gadis - pergilah!" Aku berteriak, menamparnya pelan dengan tali kekang.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    58/98

    "Waaaaa!" Aku menjerit kaget saat kuda tua itu dengan patuh mulai berlari. Aku

    benar-benar tak berpikir dia akan bekerja sama!

    "Ok! Keren!" Aku mendengar Mark berteriak di belakangku.

    Kuku mereka berderap keras di jalanan saat kedua kuda mulai menambah

    kecepatan. Aku terpantul keras di atas pelana, memegang erat-erat, kehilangan

    keseimbangan, mulai bertanya-tanya apakah ini adalah ide yang keren.

    Aku tak punya kesempatan untuk berteriak ketika sesosok gelap meluncur di

    jalanan.

    Semua itu terjadi begitu cepat.

    Betsy berlari dengan cepat. Aku memantul di pelana, terpantul begitu keras, kakiku

    menyelinap keluar dari sanggurdi (pijakan kaki).

    Sosok gelap itu melompat keluar tepat di depan kami.

    Betsy meringkik, melengking kaget - dan mundur ke belakang.

    Saat aku mulai jatuh, aku melihat langsung apa yang telah melompat ke jalanan itu.

    Itu adalah orang-orangan sawah yang menyeringai.

    16

    Betsy bangkit dengan ringkikan tinggi.

    Tanganku meraih kendali, tetapi kendali itu tergelincir dari genggamanku.

  • 7/22/2019 20 Teror Orang Orangan Sawah

    59/98

    Langit tampaknya berguling di atasku, lalu miring menjauh.

    Aku meluncur ke belakang, keluar dari sadel, dari kuda, kakiku meronta-ronta liar

    untuk memukul sanggurdi (pijakan kaki).

    Langit lebih miring lagi.

    Punggungku membent