2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan...

19
9 2. TINJAUAN PUSTAKA Tepung Pisang Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang masih mentah yang sudah cukup tua namun belum masak. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna tepung yang dihasilkan beragam, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah, jenis buah dan cara pengolahan. Buah pisang kepok mempunyai warna tepung yang paling baik yaitu putih. Ada beberapa jenis pisang yang warnanya berbeda-beda, tetapi hampir semua yang dijual di pasar atau supermarket berwarna kuning ketika sudah matang dengan bentuk mayoritas melengkung. Deptan (2009) mengklasifikasikan jenis pisang menjadi empat yaitu: 1. Pisang yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak yaitu Musa paradisiaca var.sapienium, M. nana L atau M. cavendishii, dan M. sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, barangan dan mas. 2. Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu M. paradisiaca formatypica atau M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok. 3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan kluthuk. 4. Pisang yang diambil seratnya, misalnya pisang manila/abaca.

Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan...

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

Tepung Pisang

Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam

pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang

masih mentah yang sudah cukup tua namun belum masak. Manfaat pengolahan

pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam

pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan,

mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi

buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang

usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan.

Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan

roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada

dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna

tepung yang dihasilkan beragam, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah,

jenis buah dan cara pengolahan. Buah pisang kepok mempunyai warna tepung

yang paling baik yaitu putih.

Ada beberapa jenis pisang yang warnanya berbeda-beda, tetapi hampir

semua yang dijual di pasar atau supermarket berwarna kuning ketika sudah

matang dengan bentuk mayoritas melengkung. Deptan (2009) mengklasifikasikan

jenis pisang menjadi empat yaitu:

1. Pisang yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak yaitu

Musa paradisiaca var.sapienium, M. nana L atau M. cavendishii, dan M.

sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, barangan dan mas.

2. Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu M. paradisiaca formatypica atau

M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.

3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan

daunnya. Misalnya pisang batu dan kluthuk.

4. Pisang yang diambil seratnya, misalnya pisang manila/abaca.

10

Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Pada

umumnya daging buah pisang mengandung energi, protein, lemak, berbagai

vitamin serta mineral seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi zat gizi pisang per 100 g buah segar (Aurore et al. 2009)

Senyawa Komposisi

Energi (Kkal) 91.00 Air (g) 63.00 Karbohidrat (g) 24.30 Protein (g) 0.80 Lemak (g) 0.10 Ca (mg) 7.00 Mg (mg) 33.00 P (mg) 35.00 Fe (mg) 0.50 Cu (mg) 0.16 Β karoten ekuivalen (µg) 0.03 – 1.20 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin B2 (mg) 0.05 Vitamin B6 (mg) 0.07 Vitamin C (mg) 20.00 Asam pantotenat (mg) 0.37 Asam folat (mg) 0.16 Serotonin (mg) 45.00

Tingkat kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang

seperti kadar pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati.

Tingkat kematangan ini ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti

yang dijelaskan pada Tabel 2.2.

11

Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang (Zhang et al. 2005)

Tahap Warna Kulit

Komposisi (100 g berat segar) Suhu Gelatinisasi

(oC) Pati (%) Gula Reduksi (%)

Sukrosa (%)

1 Hijau 61.7 0.2 1.2 74 - 81 2 Hijau 58.6 1.3 6.0 75 - 80 3 Hijau ada kuning 42.4 10.8 18.4 77 - 81 4 Lebih hijau

daripada kuning 39.8 11.5 21.4 75 - 78

5 Lebih kuning daripada hijau

37.6 12.4 27.9 76 - 81

6 Kuning dengan ujung hijau

9.7 15.0 53.1 76 - 80

7 Kuning sempurna

6.3 31.2 51.9 76 - 83

8 Kuning sedikit noda cokelat

3.3 33.8 52.0 79 - 83

9 Kuning banyak noda cokelat

2.6 33.6 53.2 -

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) merupakan jenis

pisang yang biasa dimakan setelah diolah misalnya dikukus, digoreng, direbus,

diolah menjadi kolak, kripik, dan lain sebagainya. Pisang var agung semeru

mempunyai ukuran buah yang besar dan bentuk yang menyerupai tanduk

sehingga di beberapa tempat menyebutnya sebagai pisang tanduk. Pisang ini

mempunyai panjang dapat lebih dari 10 cm. Setiap tandan hanya mempunyai satu

hingga tiga sisir.

Gambar 2.1 Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica)

12

Pisang var agung semeru banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang

Jawa Timur. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)

Pertanian Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, populasi pisang var agung

semeru di awal tahun 2004 mencapai 323 hektar dari luas total Kecamatan

Senduro yaitu 52,000 hektar. Produksi pisang var agung semeru di Kecamatan

Senduro mencapai 33 ribu ton per tahun, dan tahun 2004 meningkat menjadi 37

ribu ton. Data UPT Dinas Pertanian Kecamatan Senduro tahun 2009 menunjukkan

produksi pisang var agung semeru masih lebih tinggi yaitu mencapai 4,095,000 kg

dibandingkan produksi pisang jenis lainnya seperti pisang mas (1,123,850 kg),

pisang ambon (1,757,520 kg) dan pisang kepok (526,500 kg). Populasi tanaman

pisang var agung semeru di desa Jambe Arum Kecamatan Pasrujambe mencapai

612.5 hektar atau sekitar 1.53 juta pohon pisang, dengan asumsi rata-rata 2,500

pohon pisang per hektar (RPJMD Kabupaten Lumajang 2009).

Karakteristik dan Modifikasi Pati

Pati merupakan homoglikan yang terdiri atas satu jenis unit D-glukosa yang

dihubungkan oleh ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis

polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Pada umumnya pati mengandung 15-30%

amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan lain seperti lipid, protein dan

mineral (Emanual 2005).

Amilosa adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur

cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan

ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) dari struktur cincin piranosa. Amilosa biasanya

dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis

dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang

sempurna. Enzim β-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu

glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai

amilosa sehingga menghasilkan maltosa. Kemampuan amilosa berinteraksi

dengan yodium membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk

mendeteksi adanya pati (Emanual 2005).

13

Bentuk pati secara alami berupa butiran-butiran kecil yang sering disebut

granula. Bentuk dan ukuran granula setiap jenis pati mempunyai karakteristik

tersendiri sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,

karakteristik lain dari pati adalah bentuk dan keseragaman granula, lokasi hilum

serta permukaan granula pati. Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih,

mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa

granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis

dan tersusun secara terpusat.

Beberapa pati dapat diidentifikasi penampilan karakteristik morfologisnya

di bawah mikroskop cahaya. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin

yang terdiri dari daerah/zona amorf dan semi kristal yang masing-masing

mempunyai lebar beberapa ribu nanometer. Pasangan masing-masing zona

tersebut membentuk cincin dan masing-masing granula mempunyai panjang

kurang lebih 50 mm. Daerah amorf mengandung amilopektin dalam jumlah lebih

kecil dibanding amilosa. Masing-masing lamela kristalin terdiri atas kelompok

rantai paralel dengan ikatan -1,4 glukan dan secara bersama-sama membentuk

konformasi heliks. Cabang -1,6 pada heliks membentuk lamela yang amorf dan

membentuk jaringan dengan lamela kristalin. Unit kristal lebih tahan terhadap

perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorf bersifat labil terhadap asam

kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa

merusak struktur pati secara keseluruhan. Semakin banyak unit amorf yang

tersusun maka pati akan lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan. Pati

yang memiliki unit amorf atau amilosa lebih banyak apabila diberi perlakuan

retrogradasi maka jumlah pati resisten yang terbentuk akan meningkat. Skema

struktur pati tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Eliason & Gudmunsson

1996).

14

Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal (Eliason & Gudmunsson 1996)

Pati pisang memiliki ukuran diameter rata-rata 24.31 µm untuk pati yang

tidak dimasak dan 59-66 µm untuk pati yang dimasak (Nunez-Santiago et al.

2004). Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging

buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (Zhang et al.

2005).

Lawal (2004) menjelaskan cara modifikasi pati di antaranya melalui proses

hidrolisis asam, oksidasi, ikat silang (cross-linking atau cross bonding), subtitusi

dan gelatinisasi. Pati termodifikasi asam dibuat dengan menghidrolisis pati

menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi (sekitar 52 oC) sehingga terjadi

pemotongan ikatan α-1,4-glukosidik dari amilosa dan α-1,6-D-glukosidik dari

amilopektin membentuk pati dengan ukuran molekul lebih rendah. Pati teroksidasi

dibuat dengan penambahan natrium hipoklorid dan banyak digunakan pada

pembuatan kertas. Pati pregelatinisasi dibuat dengan cara memanaskan pati

sehingga terjadi gelatinisasi dan banyak digunakan pada pembuatan saus, pasta

dan jelly. Pati yang diperoleh secara kimia dari reaksi ikat silang bahan kimia

seperti boraks, epikloridin, fosfor oksiklorida dan lain sebagainya. Pati jenis ini

banyak digunakan sebagai pie filling (pada pengalengan, gravy dan saus),

Cincin Semikristalin

Cincin Amorf

Bagian Amorf

Lamela Kristalin

Lamela Amorf

Rantai C

Rantai A

Rantai B

Kluster

15

pembuatan makanan bayi dan salad dressing. Pati termodifikasi oleh hidrolisis α–

amilase menyebabkan terjadinya pemotongan ikatan glukosidik yang berlangsung

dalam dua tahap yaitu serangan enzim secara acak akan mendegradasi pati

menjadi maltosa dan maltotriosa dan hidrolisis oligosakarida menjadi glukosa dan

maltosa.

Indeks Glikemik

Pati dalam pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai glikemik dan

ketahanannya terhadap enzim pencernaan. Pati glikemik didegradasi dalam

saluran pencernaan oleh enzim amilase. Pati glikemik dapat dikategorikan sebagai

pati yang dicerna secara cepat (rapidly digestible starch/RDS) dan pati yang

dicerna secara lambat (slowly digestible starch/SDS). RDS dicerna secara cepat

dalam usus halus, sedangkan SDS dicerna lebih lambat daripada RDS. Kedua

jenis pati ini dapat dicerna secara sempurna. Contoh pati yang dicerna secara

cepat adalah pati yang mengalami gelatinisasi seperti kentang rebus. Pati yang

dicerna secara lambat banyak terdapat pada bahan pangan seperti pasta (Croghan

2002).

Indeks glikemik (IG) adalah petunjuk tentang faali makanan terhadap kadar

glukosa darah dan respon insulin. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah

dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar

glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Glukosa murni digunakan

sebagai pembanding IG yang memiliki nilai IG 100. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi IG suatu pangan di antaranya adalah proses pengolahan,

perbandingan kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik,

kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi

(Foster-Powell & Miller 1995).

Proses pengolahan seperti pengecilan ukuran dapat mempengaruhi IG

pangan. Ukuran partikel dapat mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Ukuran

butiran pati yang semakin kecil memudahkan penyerapan air pada granula pati

dan semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga lebih mudah dicerna dan

16

diserap. Oleh karena itu semakin kecil ukuran partikel akan meningkatkan IG

pangan. Pangan yang lebih banyak mengandung amilopektin akan lebih lama

dicerna menjadi glukosa karena membutuhkan dua macam enzim untuk

mendegradasinya yaitu α-amilase dan α, 1-6 glukosidase sehingga lebih lambat

dalam meningkatkan kadar IG (Astawan & Widowati 2011)

Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG

mendekati 60. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim

sukrase atau invertase. Fruktosa diserap dan diambil langsung, selanjutnya diubah

menjadi glukosa dalam hati. Oleh sebab itu respon gula darah terhadap fruktosa

murni sangat kecil yaitu 23. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi

cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan

makanan dalam usus halus lebih lambat. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan

kadar glukosa darah sehingga IG pangan rendah. Kandungan zat antigizi dalam

pangan seperti antitripsin dan fitat dalam kedelai dapat mempengaruhi pelepasan

glukosa. Zat antigizi dapat membentuk kompleks dengan zat gizi seperti protein

sehingga menurunkan daya cerna protein. Zat antigizi lain seperti senyawa

polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga menurunkan

daya cerna pati (Fostel-Powell & Miller 1995; Astawan et al. 2006).

Pati Resisten dan Sifat Prebiotik

Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna. Sejumlah

besar pati yang tidak dapat dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan

substrat yang penting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut bersifat resisten

terhadap enzim pencernaan sehingga disebut pati resisten (resistant starch/RS).

RS tidak dapat didegradasi oleh enzim pencernaan dalam sistem pencernaan

manusia. RS dapat terukur bersama-sama dengan serat dalam bahan pangan

sebagai komponen serat pangan. Adanya serat dalam bahan pangan dapat

mempengaruhi asupan nutrisi dan energi serta meningkatkan distensi (pelebaran)

lambung yang berkaitan dengan penahanan rasa kenyang. Serat yang larut air

dapat menurunkan penyerapan lemak dan protein. Pati resisten maupun serat

17

tertentu dapat difermentasi oleh mikroflora usus besar yang akan menghasilkan

asam lemak rantai pendek yaitu asam propionat, asam asetat dan asam butirat.

Komponen tersebut dapat memberikan aspek fungsional bagi kesehatan tubuh. RS

juga bisa memodifikasi lingkungan intrakolonik dan secara tepat mengubah fungsi

toksikologi serta melindungi terhadap kanker colorectal dengan memperpendek

waktu transit dan meningkatkan densitas kamba feses (Kumari & Thayumanavan

1997).

Ada empat macam pati resisten (RS) yang dikelompokkan berdasarkan asal

terbentuknya. RS tipe I (RS1) adalah jenis pati yang terperangkap di dalam

matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II (RS2) adalah pati alami

yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang

mentah dan pati pisang mentah. RS tipe III (RS3) adalah pati yang sudah

mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang. RS

tipe IV (RS4) adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia (Sajilata et al.

2006).

RS3 merupakan pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan

baku pangan fungsional. Pembentukan RS3 terjadi karena granula pati mengalami

gelatinisasi. Granula rusak akibat proses pemanasan basah dan terjadi pelepasan

amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer

terpisah sebagai ikatan ganda membelit (double helix) dan mengalami

pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur

kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Peristiwa ini

dikenal dengan istilah retrogradasi (Lawal 2004). Amilosa teretrogradasi (RS3)

bersifat lebih stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim

amilase.

Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai

prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya

terlihat bahwa penggunaan RS pada makanan dapat didegradasi oleh bakteri-

bakteri kolon dan bersifat promotif bagi kesehatan. RS pati jagung yang

dihasilkan dari proses modifikasi secara kimia dapat menstimulasi pertumbuhan

18

Bifidobacteria sehingga merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial

(Hegar 2007).

Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram

dibandingkan kentang (3.2 gram) pada takaran penyajian yang sama (Mendosa

2008). Saguilan et al. (2005) menjelaskan bahwa pati pisang cavendish (Musa

cavendishii) yang sudah tua tapi belum matang mengandung RS sebesar 1.51 ±

0.1 % berat kering. Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebesar dua kali

jika dihidrolisis dengan HCl (litnerized starch), dan meningkat sebesar 7 – 10 kali

jika dipanaskan pada suhu 121 oC selama 1 jam (autoclaved starch).

Beberapa riset telah melakukan modifikasi proses untuk meningkatkan

kandungan RS tepung pisang. Kecepatan aliran udara selama proses pengeringan

chips (irisan) pisang mentah dapat mempengaruhi kandungan RS pada tepung

pisang yang dihasilkan. Pengeringan pada suhu 55 oC dengan kecepatan udara 1.0

m/detik mampu meningkatkan kadar RS sekitar 40% (Tribess et al. 2009). Jenie et

al. (2009) melaporkan bahwa modifikasi proses di tingkat pisang secara

fermentasi spontan dan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu

meningkatkan RS tepung pisang hingga dua kali lipat. Jenie et al. (2010)

mengaplikasikan tepung pisang yang dihasilkan pada pembuatan produk pangan

yaitu roti, cookies dan brownies.

Konsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi

mikrobiota kolon yang menyebabkan bifidobakteria lebih dominan dalam kolon

dan banyak ditemukan dalam tinja (Gibson & Roberfroid 1995). RS3 dari

gandum, kentang dan kacang polong dapat menstimulasi pertumbuhan

bifidobakteria yaitu Bifidobacteria pseudolongum KSI9, B. breve KN14 dan B.

animalis KS20a1 (Wronkowska et al. 2006). RS4 dari jagung juga mampu

menstimulasi pertumbuhan Bifidobacteria sp (Hegar 2007). Pati resisten termasuk

molekul yang mempunyai panjang rantai (derajat polimerisasi) lebih pendek.

Panjang rantai ini sangat berhubungan dengan kecepatan fermentasi. Roberfroid et

al. (1997) menjelaskan bahwa derajat polimerisasi suatu oligosakarida dari bahan

bifidogenik seperti kelompok β-fruktan memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kecepatan fermentasi secara in vitro. Molekul dengan derajat

19

polimerisasi (DP) kurang dari 10 seperti inulin akan difermentasi dua kali lebih

cepat daripada molekul yang mempunyai DP lebih dari 10.

Pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan probiotik dinyatakan sebagai

indeks prebiotik (IP) yang dihitung berdasarkan jumlah logaritmik pertumbuhan

probiotik, dan mikroflora usus lainnya seperti klostridia dan bakteroides terhadap

jumlah mikroba total. Analisis tersebut dilakukan dengan menumbuhkan mikroba

dari feses manusia pada medium yang mengandung prebiotik uji (Manderson et

al. 2005; Roberfroid 2007).

Prebiotik didefinisikan sebagai suatu karbohidrat yang tidak dapat dicerna

dan tidak dapat diserap tetapi dapat difermentasi secara selektif dan mempunyai

fungsi regulasi terhadap probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek

kesehatan bagi manusia maupun hewan (Salminen & Wright 2004). Beberapa

prasyarat yang dijabarkan FAO (2007) yaitu meliputi karakteristik prebiotik yang

mendeskripsikan sumber asal prebiotik, tingkat kemurniannya, komposisi kimia

dan strukturnya. Karakteristik lainnya adalah jumlah asupan yang dikonsumsi,

sifat fungsional yang dapat menunjukkan bukti ilmiah antara efek fisiologis

senyawa prebiotik dalam memodulasi mikrobiota pada daerah/organ spesifik.

Kualifikasi prebiotik didasarkan pada penelitian dan metode ilmiah yang

representatif dan akurat, serta keamanannya jika prebiotik tersebut dikonsumsi.

Prebiotik juga tidak mengandung kontaminan dan impuritis, tidak mengubah

mikrobiota yang menyebabkan dampak negatif bagi inang (manusia). Oleh karena

itu senyawa prebiotik perlu mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As

Safe) atau setaranya. Beberapa klaim kesehatan dalam hubungannya dengan efek

fisiologis dari senyawa prebiotik golongan oligosakarida dipaparkan pada Tabel

2.3.

Beberapa jenis prebiotik antara lain FOS (fruktooligosakarida), inulin, GOS

(galaktooligosakarida), laktulosa, laktitol (Collin & Gibson 1999; Macfarlane &

Cummings 1999). Bahan-bahan tersebut paling sering dipakai sebagai prebiotik.

Di samping itu terdapat pula bahan lain yang memenuhi kriteria prebiotik

misalnya xilosa, soya dari kedelai, dan manosa (Gibson et al. 2000). Menurut

FAO (2007) terdapat sekelompok golongan senyawa prebiotik baru yang masih

20

dalam tahap pengembangan yaitu pektioligosakarida, laktosukrosa, gula alkohol,

gluko-oligosakarida, levan, pati resisten, xilosakarida dan soy-oligosakarida.

Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida (Macfarlane & Cummings 1999)

Efek Fisiologis Faktor Kesehatan

- Menstimulasi metabolisme karbohidrat; meningkatkan massa sel bakteri, asam lemak rantai pendek

- Selektif terhadap bifidobakteria dan bakteri asam laktat dalam usus besar

- Tidak terhidrolisis oleh mikroorganisme mulut

- Tidak bersifat glikemik - Menstimulasi dan bersifat tidak spesifik

terhadap fungsi imun - Memodulasi metabolisme karsinogen - Mengurangi sintesis LDL dan trigliserida

serum - Meningkatkan penyerapan Mg dan Ca

Melalui asam lemak rantai pendek, menyediakan sumber energi untuk epitel kolon dan mengontrol diferensiasi serta menghindari sembelit

Meningkatkan retensi terhadap invasi patogen

Melindungi terhadap karies gigi

Bermanfaat bagi penderita diabetes

Mencegah infeksi

Bersifat antikarsinogen atau antikanker Mencegah penyakit jantung koroner

Mencegah osteoporosis

Prebiotik dapat memodulasi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan

(probiotik). Peningkatan populasi probiotik memiliki manfaat diantaranya yaitu

mencegah kanker karena dapat menghilangkan bahan prokarsinogen dari tubuh

dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Probiotik tertentu seperti

Bifidobacterium infantis mengandung bahan aktif anti tumor pada dinding sel.

Selain itu probiotik juga memproduksi berbagai enzim pencernaan (fosfatase,

lisozim) dan vitamin (B1, B2, B6, asam folat, dan biotin) yang akan diserap di

dalam usus halus dan dimanfaatkan oleh tubuh serta memproduksi asam laktat dan

asam asetat sehingga menyebabkan usus menjadi asam dan akhirnya menekan

pertumbuhan bakteri patogen penyebab radang usus seperti Escherichia coli dan

Clostridium perfringens. Senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat

(probiotik) mampu menurunkan pH usus, meningkatkan absorpsi kalsium dan

mengurangi penyerapan amonia dan amina sehingga dapat mencegah tekanan

darah tinggi, kolesterol dan kanker yang disebabkan oleh nitrosamin.

Streptococcus thermophilus mampu menunjukkan aktivitas anti tumor dan

21

menghasilkan antioksidan indigenus yaitu superoksid dismutase (Salminen &

Wright 2004).

Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati

Bakteri asam laktat (BAL) dapat ditemukan pada produk fermentasi spontan

seperti ogi dari singkong (Reddy et al. 2008), asinan buah dan sayur

(Kusumawaty et al. 2003), urutan yang merupakan sosis khas Bali dari daging

babi (Antara et al. 2002). Selain itu BAL juga dapat diisolasi dari daging (Arief et

al. 2011), susu (Sujaya et al. 2008), limbah kedelai (Malik et al. 2008), minuman

serta buah yang busuk (Plessis et al. 2004). BAL tertentu seperti Lactobacillus

plantarum, L. fermentum, L. manihotivorans, L. amylophillus, L. amylovorus, L.

amilolyticus, Leuconostoc cellobiosus, L. acidophillus, Leuconostoc sp,

Streptococcus bovis dan S. macedonicus telah dilaporkan memiliki sifat amilolitik

yaitu mampu menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati (Reddy et al.

2008).

BAL dapat memfermentasi pangan berkarbohidrat seperti jagung, kentang,

ubi kayu, serealia dan lain sebagainya. Bakteri ini mampu menghasilkan enzim

amilase dan asam yang dapat menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung,

kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya (Reddy et al. 2008).

Spesies terbaru BAL amilolitik adalah Lactobacillus manihotivorans yang

diisolasi dari pati asam ubi kayu (Reddy et al. 2008). Olympia et al. (1995)

mengkarakteristik strain L. plantarum dari makanan khas Filipina yaitu burong

isda yang terbuat dari ikan dan nasi. Strain amilolitik L. fermentum pertama kali

diisolasi dari adonan pati jagung Benin (ogi dan mawe) (Agati et al. 1998). Sanni

et al. (2002) menemukan strain BAL amilolitik dan L. fermentum dari pangan

terfermentasi khas Nigeria. BAL amilolitik menghasilkan enzim ekstraseluler

yaitu amilase dan pululanase yang dapat menghidrolisis sebagian pati alami

menjadi gula sederhana dan oligosakarida lain atau dekstrin (Sikorsi 2002).

Vishnu et al (2006) mengidentifikasi enzim amilase dan pululanase dari

Lactobacillus amylophilus GV6 sebagai protein dengan berat molekul 90 KDa.

Kedua enzim ini mempunyai aktivitas sebesar 0.439 U/g/min untuk amilase dan

22

0.18 U/g/min untuk pululanase yang difermentasi pada media dedak gandum

(wheat bran). Aktivitas α-amilase dalam fermentasi pati oleh Streptococcus bovis

sebesar 1.41 U/ml lebih besar daripada fermentasi glukosa (0.06 U/ml) (Narita et

al. 2004). Enzim α-amilase akan memotong karbohidrat pada ikatan endo-α 1,4

menghasilkan maltosa dan dekstrin. Pululanase akan memotong karbohidrat pada

ikatan endo-α 1,6 menghasilkan dekstrin linier (Sikorsi et al. 2002).

Wronkowska et al. (2006) menjelaskan bahwa fermentasi pati gandum,

pati kentang dan pati kacang polong oleh BAL selama 24 jam menunjukkan

perubahan mikrostruktur yaitu pembentukan struktur globular dan lamelar.

Sajilata et al. (2006) menjelaskan perubahan struktur pati dari kristalin menjadi

lebih porus (amorf), meningkatkan kemampuan pelepasan amilosa serta

menurunkan suhu gelatinisasi pati. Semakin banyak amilosa yang terlarut selama

proses gelatinisasi maka akan semakin tinggi terjadinya retrogradasi pati selama

proses pendinginan. Pati yang mengalami retrogradasi akan memiliki sifat lebih

resisten terhadap enzim pencernaan. Pati ini sering disebut sebagai pati resisten

tipe III (RS3). Perubahan yang terjadi pada granula pati akibat fermentasi BAL

dapat diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 2.3 dan Gambar

2.4).

Gambar 2.3 Perubahan granula pati (A) sebelum dan (B) sesudah difermentasi

oleh bakteri asam laktat amilolitik. Sumber: Wijbenga (2000)

Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair (A) sebelum diotoklaf,

(B) sesudah diotoklaf, (C) setelah difermentasi oleh

B

A

A

C B

23

L. amylophilus GV6. Sumber: Vishnu et al. (2006)

Identifikasi Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri yang dapat

memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat. BAL yang

menghasilkan dua molekul asam laktat dari fermentasi glukosa disebut bakteri

asam laktat homofermentatif, sedangkan BAL yang menghasilkan satu molekul

asam laktat dan satu molekul etanol serta satu molekul karbon dioksida disebut

bakteri asam laktat heterofermentatif (Reddy et al. 2008).

Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan sifat fenotip dan genotip.

Identifikasi fenotip hanya terbatas sampai tingkat spesies yang didasarkan pada

hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel, tipe koloni dan pewarnaan Gram,

uji fisiologis, metabolik (biokimia) atau kemotaksonomi. BAL merupakan bakteri

dengan sifat katalase negatif sehingga pada uji katalase dengan hidrogen

peroksida 30% tidak menghasilkan gelembung udara/gas. Identifikasi fenotip

dengan pengujian fisiologis berdasarkan pola fermentasi BAL pada beberapa gula

terkadang bias untuk beberapa spesies tertentu. Oleh karena itu identifikasi

genotip perlu dilakukan untuk uji konfirmasi spesies BAL (Plessis et al. 2004).

Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode molekuler di

antaranya yaitu melalui penentuan urutan basa DNA pengkode 16S rRNA pada

bakteri dengan metode Polymerase Chain Reactions (PCR)-sekuensing (Ammor

et al. 2005). Aplikasi molekuler DNA pengkode 16S rRNA untuk menganalisis

keragaman molekuler suatu bakteri sangat sesuai karena gen ini terdapat pada

semua mikroorganisme prokariot. Gen pengkode 16S rRNA bersifat stabil dalam

sel bakteri daripada rRNA yang biasanya dapat terdegradasi dan hanya terdapat

pada fase-fase tertentu saja (Guttel et al. 1994).

DAFTAR PUSTAKA

24

Ammor S, C Rachman, S Chaillou, H Prevost, X Dousset, M Zagorec, E Dufour, I Chevallier. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382

Antara NS, IN Sujaya, A Yokota, K Asano, WR Aryanta, F Tomita. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol 18: 255–262, 2002.

Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 (3): 137-143.

Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. Vol 12 (1)

Aurore G, Parfait B, Fahrasmane L. 2009. Bananas, raw materials for making processed food products. J Trends in Food Science & Technology. 20: 78 - 91

Collin MD, Gibson GR. 1999. Probiotics, prebiotics and synbiotics: approaches for modulating the microbial ecology of the gut. American J Clin Nutr. Vol. 69, No. 5. http://www.ajcn.org/cgi/ content/full/69/5/1052S [12 Okt 2008].

Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: FoodTech. (Referece Section).

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2008.

Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohydrates in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.

Emanuel C. 2005. Pengaruh Fosforilasi dan Penambahan Asam Stearat Terhadap Karakteristik Film Edible Pati Sagu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.

Foster-Powell K, Miller JB. 1995. International tables of glycemic index. Am J Clin Nutr. 62(suppl 2):S871–S890

Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited, Oxford, United Kingdom.

25

Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:/www.ajcn.org/cgi/content/full/69/5/1052S [12 Nov 2008].

Guttel RR, Larsen N, Woese CR. 1994. Lesson from evoluation rRNA, 16S rRNA and 23S rRNA strutsfores from a comparative perspective microbes. J Kes. 58: 10-26

Hegar B. 2007. Mikroflora saluran cerna pada kesehatan anak. J Dexa Media. 20 (1). Januari -Maret.

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Kumari SK, Thayumanavan B. 1997. Comparative study of resistant starch from minor millets on intestinal responese, blood glucose, serum cholesterol and triglycerides in rats. J Sci Food Agric. 75:296-302.

Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 (2): 39-43

Lawal OS. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidised, acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. J Food Chem. 87: 205–218

Macfarlane GT, Cummings JH. 1999. Probiotics and Prebiotics: can regulating the activities of intestinal bacteria benefit health? J Brit Med. April. 10.318(17189):999-1003.http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. fcgi?artid=1115424 [21 Agust 2008].

Malik A, Donna M. Ariestanti, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase (gtf) dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida. J Makara Sains. 12 (1): 1-6

Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389,

Mendosa. 2008. Revised international table of glycemic index (GI) and glycemic load (GL) values. www.mendosa.com [11Jan 2009].

Nunez-Santiago MC, Bello-Perez LA, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. Carb Polym. 56: 65-75.

26

Olympia M, Fukuda H, Ono H, Kaneko Y, Takano M. 1995. Characterization of starch-hydrolyzing lactic acid bacteria isolated from a fermented fish and rice food, “Burong Isda,” and its amylolytic enzyme. J Ferment Bioeng. 80:124–30.

Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29

Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.

[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.

Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics.137:830S-837S [01 Juni 2008]

Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57:405-412.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.

Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.

Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.

Sikorsi ZE. 2002. Chemical and functional properties of food components. Ed ke-2. CRC Press

Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 (2): 52-59

Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Bello-Perez LA, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.

Vishnu C, Naveena BJ, Altas Md, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. Enzyme Microb Technol. 38:545-50

27

Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].

Wronkowska M, Smietana MS, Krupa U, Biedrzycka E. 2006. In vitro fermentation of new modified starch preparations—changes of microstructure and bacterial end-products. J Enzyme Microbial Technol. 40: 93–99

Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility—a review. J Carbohy Polymers. 59: 443–458