2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · L. fermentum LBP usus ayam dewasa ... karakterisasi...

31
7 2. TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat BAL ditemukan pertama kali oleh Pasteur, seorang profesor kimia di University of Lille pada tahun 1878. Pada tahun 1889, Tissier, peneliti Prancis menemukan bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang minum air susu ibu yaitu Bifidobacterium. BAL berbentuk bulat maupun batang, Gram positif dan (dengan sedikit perkecualian) tidak motil, katalase negatif, tidak mempunyai sitokrom, aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofolik, serta membutuhkan nutrisi yang kompleks seperti asam amino, vitamin (B 1 , B 6 , B 12 dan biotin), purin dan pirimidin (Surono 2004). Walaupun BAL dapat hidup dengan dan tanpa oksigen, sumber energi terbesarnya untuk tumbuh adalah fermentasi gula. Bakteri ini mempunyai kapasitas respirasi yang sangat terbatas dan tidak dapat memperoleh ATP dari proses respirasi (Salminen & Wright 2004). BAL dibagi menjadi tiga grup berdasarkan pola fermentasinya, yaitu : a. Grup I : BAL homofermentatif obligatif, yang mengubah heksosa menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof, namun tidak bisa memfermentasikan pentosa ataupun glukonat. BAL grup ini termasuk dalam termobakterium, yang kekurangan glukosa-6 fosfat dehidrogenase dan 6-fosfoglukonat. Sebagian besar BAL grup ini tumbuh pada suhu 45 C namun tidak tumbuh pada suhu 15 °C (Hopzapfel 1998). b. Grup II : BAL heterofermentatif fakultatif, yang memfermentasikan heksosa secara homofermentatif namun sebagian galur pada beberapa kondisi mempunyai metabolisme heterofermentatif dari heksosa menjadi asam laktat, karbondioksida dan ethanol atau asam asetat. Produksi asam asetat terjadi jika NAD + dapat diregenerasi tanpa pembentukan ethanol, misalnya melalui reduksi fruktosa atau molekul oksigen. Pentosa difermentasi melalui fosfoketolase menjadi asam laktat dan asam asetat. BAL grup ini termasuk dalam streptobakterium, yang mempunyai dua enzim dehidrogenase tetapi menggunakan jalur Embden-Meyerhof untuk fermentasi glukosa (Hopzapfel 1998).

Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · L. fermentum LBP usus ayam dewasa ... karakterisasi...

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

Bakteri Asam Laktat

BAL ditemukan pertama kali oleh Pasteur, seorang profesor kimia di

University of Lille pada tahun 1878. Pada tahun 1889, Tissier, peneliti Prancis

menemukan bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang minum air susu ibu

yaitu Bifidobacterium. BAL berbentuk bulat maupun batang, Gram positif dan

(dengan sedikit perkecualian) tidak motil, katalase negatif, tidak mempunyai

sitokrom, aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofolik, serta membutuhkan

nutrisi yang kompleks seperti asam amino, vitamin (B1, B6, B12 dan biotin), purin

dan pirimidin (Surono 2004). Walaupun BAL dapat hidup dengan dan tanpa

oksigen, sumber energi terbesarnya untuk tumbuh adalah fermentasi gula. Bakteri

ini mempunyai kapasitas respirasi yang sangat terbatas dan tidak dapat

memperoleh ATP dari proses respirasi (Salminen & Wright 2004).

BAL dibagi menjadi tiga grup berdasarkan pola fermentasinya, yaitu :

a. Grup I : BAL homofermentatif obligatif, yang mengubah heksosa menjadi

asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof, namun tidak bisa

memfermentasikan pentosa ataupun glukonat. BAL grup ini termasuk

dalam termobakterium, yang kekurangan glukosa-6 fosfat dehidrogenase

dan 6-fosfoglukonat. Sebagian besar BAL grup ini tumbuh pada suhu

45 ○C namun tidak tumbuh pada suhu 15 °C (Hopzapfel 1998).

b. Grup II : BAL heterofermentatif fakultatif, yang memfermentasikan

heksosa secara homofermentatif namun sebagian galur pada beberapa

kondisi mempunyai metabolisme heterofermentatif dari heksosa menjadi

asam laktat, karbondioksida dan ethanol atau asam asetat. Produksi asam

asetat terjadi jika NAD+ dapat diregenerasi tanpa pembentukan ethanol,

misalnya melalui reduksi fruktosa atau molekul oksigen. Pentosa

difermentasi melalui fosfoketolase menjadi asam laktat dan asam asetat.

BAL grup ini termasuk dalam streptobakterium, yang mempunyai dua

enzim dehidrogenase tetapi menggunakan jalur Embden-Meyerhof untuk

fermentasi glukosa (Hopzapfel 1998).

8

c. Grup III : BAL heterofermentatif obligatif, yang memfermantasikan

heksosa menjadi asam laktat, karbondioksida dan etanol atau asam asetat,

jika terdapat akseptor elektron alternatif. Pentosa diubah menjadi asam

laktat dan asam asetat. BAL grup ini termasuk dalam betabakterium, yang

kekurangan fruktosa 1.6 difosfat aldolase (Hopzapfel 1998).

BAL sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini

hidup pada susu, daging segar, dan sayur-sayuran. Pada proses fermentasi daging

spontan, BAL yang berasal dari bahan mentah atau lingkungan menyebabkan

terbentuknya asam laktat dari penggunaan karbohidrat, maupun rendahnya nilai

pH (5.9 sampai 4.6) (Surono 2004). Beberapa peneliti berhasil mengisolasi BAL

dari berbagai bahan pangan dan non-pangan termasuk di antaranya dari saluran

pencernaan (Tabel 2.1).

Lactobacillus spp. merupakan genus terbesar dari kelompok BAL

(Axelsson 1993). Genus Lactobacillus bersifat Gram positif dan tidak membentuk

spora, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh optimum pada kisaran suhu 30-40 °C

tapi dapat tumbuh pada kisaran 5-35 °C. Lactobacillus tumbuh optimum pada pH

5.5-5.8, namun secara umum dapat tumbuh pada pH kurang dari 5. Lactobacillus

spp. banyak terdapat pada produk makanan fermentasi seperti produk-produk susu

fermentasi (yoghurt, keju, yakult) produk fermentasi daging seperti sosis

fermentasi, serta produk fermentasi sayuran seperti pikel dan sauerkraut.

Lactobacillus spp. berkontribusi untuk pengawetan, ketersediaan nutrisi, dan

flavor pada produk fermentasi tersebut (Salminen & Wright 2004).

9

Tabel 2.1 Hasil isolasi BAL dari berbagai bahan pangan dan non pangan Jenis BAL Asal isolasi Peneliti

L. brevis, L. plantarum, L.curvatus, L.brevis, Leuconostoc (leuc) citreum, Pediococcus pentosaceus

Batang bambu untuk tempat fermentasi susu

Tamang et al. (2008)

Lactococcus lactis subsp.lactis, Enterococcus sp, Lactococcus lactis subsp. lactis biovar diacetylactis

Susu kambing mentah Algeria

Moulay et al. (2006)

L. plantarum U201, P.acidilactici U318 Sosis fermentasi tradisional Bali : Urutan

Antara et al. (2004)

L. plantarum, L. farciminis, L. fermentum, Weisella confusa, Pediococcus acidilactici, Enterococcus faecalis

Chili Bo, bumbu dari Malaysia

Leisner et al. (1999)

L. plantarum, L. brevis, L. divergens, L. gasseri, L. rhamnosus, L. fermentum, L.viridescens, L.farciminis, L.buchneri, L.acidophilus

Ikan segar dan ikan beku

Nair dan Surendran (2005)

Leuc. Mesenteroides subsp.mesenteroides MCRI1, Lactococcus lactis subsp.lactis MCRI 3, Leuc.citreum MCRI 4

Produk olahan daging yang telah dimasak

Hamasaki et al. (2003)

L. plantarum Silo (rumput fermentasi)

Emanuel et al. (2005)

Lactococcus lactis subsp.lactis Usus ikan Takifugu niphobles di perairan Shimoda, Shizuoka Jepang

Itoi et al. (2008)

L. fermentum LBP usus ayam dewasa (Gallus domesticus)

Reque et al. (2000)

Galur BAL tidak teridentifikasi usus ayam di Bangkok, Thailand

Nitisinprasert et al. (2006)

Enterococcus sp, Lactococcus sp, Pediooccus sp, Lactobacillus sp

Usus udang Cai et al. (1999)

L. rhamnosus R12, R21, R24 dan A31 Air susu ibu Nuraida et al. (2010)

Enterococcus faecium IS-257526, L. plantarum IS-10506

Dadih, susu fermentasi dari Sumatera Barat, Indonesia

Surono (2010)

10

Probiotik

FAO/WHO (2002) telah mengeluarkan panduan untuk mengevaluasi

probiotik dalam makanan. Working Group yang dibentuk oleh FAO/WHO

menetapkan secara rinci panduan dan kriteria rekomendasi serta metodologi yang

digunakan untuk evaluasi probiotik, mengidentifikasi serta menentukan data-data

yang dibutuhkan untuk mengklaim kesehatan probiotik. Kriteria pertama yang

harus dipenuhi adalah bahwa galur yang didapatkan harus diketahui

identifikasinya, baik secara fenotipik maupun genotipik, mulai dari genus sampai

spesies bahkan sampai tingkatan sub spesies. Kriteria selanjutnya adalah

karakterisasi fungsional, baik secara in vitro maupun in vivo, kemudian

dilanjutkan dengan pengujian keamanan secara in vitro dan in vivo, serta studi

fase satu di manusia. Untuk evaluasi pangan probiotik dilakukan studi fase dua di

manusia yaitu secara double blind, acak, kontrol placebo (DBPC) atau desain lain

yang sesuai dengan ukuran sampel dan dampak primer untuk menentukan jika

galur/produk berpotensi efikasi dan dikonfirmasi kembali hasil yang didapatkan.

Fase tiga dilakukan untuk menguji efektivitas probiotik pada kondisi spesifik.

Kemudian dilakukan aplikasi probiotik ke dalam pangan probiotik yang harus

memenuhi syarat pelabelan antara lain pencantuman isi : genus, spesies, galur;

jumlah minimum bakteri hidup pada akhir masa simpan, kondisi penyimpanan

yang sesuai, serta kontak detil perusahaan untuk informasi konsumen (FAO/WHO

2002).

Di samping itu, beberapa peneliti lain telah mengemukakan jaminan

kriteria untuk bakteri probiotik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Probiotik harus dapat bertahan melewati lambung dan usus halus, sehingga

probiotik harus toleran terhadap suasana asam dan adanya asam empedu

(Tuomola et al. 2001, Bourlioux et al. 2003, Roberfroid 2000; Sunny-

Roberts & Knoor 2008).

b. Probiotik harus mempunyai kemampuan dalam melakukan penempelan ke

usus (Nitisinprasert et al. 2006; Tuomola et al. 2001; Bourlioux et al.

2003), karena sangat berkaitan dengan beberapa efek kesehatan antara lain

pemendekan lama diare, efek imunologik dan eksklusi kompetitif dengan

11

mikroba patogen (Tuomola et al. 2001; Herick & Levkut 2002; Bourlioux

et al. 2003).

c. Probiotik harus mampu bertahan selama proses pengolahan dan

penyimpanan (FAO/WHO 2002; Sunny-Roberts & Knoor 2008), sehingga

saat dikonsumsi masih mempunyai viabilitas yang cukup untuk mengatasi

berbagai masalah di saluran pencernaan antara lain dengan meningkatkan

pencernaan laktosa, mengontrol infeksi di usus, serta menjaga

keseimbangan barier mukosa usus (Tuomola et al. 2001; Agostoni et al.

2004).

Probiotik mempunyai efek kesehatan bagi manusia diantaranya (1)

menurunkan risiko lactose intolerance, (2) mengurangi kejadian diare (Reid 1999;

Talwalkar & Kailasapathy 2004), (3) menurunkan jumlah enzim mikrobial fekal

seperti β-glukoronidase, β-nitroreduktase, nitroreduktase dan urease yang

berperan dalam aktivasi mutagenesis dan karsinogenesis di kolon, serta berperan

dalam efek hipokolesterolemik (Roberfroid 2000), (4) meningkatkan respon

sistem imun (Perdigon et al. 2001; Bhatia & Rani 2008), (5) menurunkan risiko

penyakit kardiovaskuler pada perokok (Naruszewics et al. 2002), dan (6) bersifat

hipokolesterolemik (Kusumawati 2002; Kimoto-Nira et al. 2007). Kusumawati

(2002) melaporkan bahwa pemberian susu yang difermentasi oleh BAL

Lactobacillus acidophilus FNCC 116, Lactobacillus plantarum sa28k dan

Lactobacillus casei FNCC262 mampu menurunkan kadar kolesterol darah tikus

percobaan.

Beberapa BAL mampu mencegah terjadinya kanker kolon. BAL mampu

mereduksi level enzim di kolon yang mengubah prokarsinogen menjadi

karsinogen. Secara spesifik, BAL dapat mereduksi level enzim -glukuronidase,

nitroreduktase dan azoreduktase. BAL juga berperan secara langsung dalam

mereduksi prokarsinogen, contohnya dengan mengikat nitrit dan mereduksi level

asam empedu sekunder (BC Dairy Foundation 1997; Burns & Rowlands 2000;

Brady et al. 2000; Wollowski et al. 1999).

Mekanisme yang terjadi sehingga BAL sangat bermanfaat untuk kesehatan

adalah sebagai berikut :

12

a. Mengikat karsinogen

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BAL mampu mengikat secara in

vitro senyawa karsinogen, di antaranya adalah heterosiklik amin selama

pemasakan daging, toksin fungi aflatoksin B1, benzo(a)pirene dan

makanan yang terkontaminasi aflatoksin AF2. Adsorpsi itu dikaitkan

dengan mekanisme pertukaran kation (Burns & Rowlands 2000).

b. Efek pada enzim bakteri dan produksi metabolit

Peningkatan konsentrasi BAL dalam setiap konsumsi mampu menurunkan

enzim bakteri yang berperanan dalam aktivasi atau sintesis karsinogen,

genotoksin dan promotor tumor (Burns & Rowlands 2000).

c. Stimulasi enzim protektif

Beberapa karsinogen seperti heterosiklik amin dan PAH (Polycyclic

Aromatic Hydrocarbon) dikenal dapat mengkonjugasikan glutation

sehingga menjadi tidak aktif. Enzim glutation transferase (GSH) berada

di hati dan jaringan lain termasuk saluran pencernaan. BAL mampu

meningkatkan enzim GSH (Wollowksi et al. 2001; Burns & Rowlands

2000).

d. Menurunkan pH kolon

Fermentasi yang dilakukan oleh probiotik mampu menurunkan pH kolon

dengan terbentuknya asam-asam organik seperti asam laktat dan SCFA

(Short Chain Fatty Acid) diantaranya asam butirat, propionat dan asam

asetat sehingga mampu menjaga kondisi kolon dari resiko kanker

(Augenlicht et al. 1999; Wollowski et al. 1999).

e. Meningkatkan respon imun

Probiotik mampu menurunkan respon inflamasi. Hal ini ditunjukkan

dengan studi mencit yang disuntikkan dengan sel tumor dan diberikan

yoghurt. Hal tersebut mampu menekan terjadinya inflamasi dengan

meningkatkan imunoglobin A (IgA) dan sel limfosit T CD 4+. Selain itu

juga, studi pada manusia menunjukkan bahwa konsumsi probiotik mampu

meningkatkan aktivitas fagositik dari sel imun monosit dan granulosit

serta meningkatkan level antibodi yang disekresikan oleh sel imun limfosit

B (Burns & Rowlands 2000; Perdigon et al. 2001). Solis et al. (2002)

13

melaporkan bahwa pemberian susu fermentasi yoghurt dapat

meningkatkan produksi interferon IFN-γ pada anak-anak yang kekurangan

gizi. Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitiannya yang membuktikan

bahwa konsumsi BAL mampu meningkatkan sistem imun seluler dan

humoral di antaranya peningkatkan populasi dan proliferasi sel limfosit,

produksi sitokin interferon-γ (IFN- γ), interleukin-12 (IL-12), IL-10, sel

imun Th, serta IgA, IgE, IgG, serta IgM (Kimura et al. 2006; Segawa et al.

2008; Gackowska et al. 2006; Aattouri et al. 2002).

Ketahanan Bakteri Asam Laktat pada pH Rendah

Roberfroid (2000) menyatakan bahwa probiotik adalah sel mikroba hidup

yang dikonsumsi oleh manusia, merupakan mikroflora yang dapat hidup di

saluran pencernaan dan mempunyai efek yang menguntungkan bagi kesehatan

manusia. Setelah dapat melewati lambung dan usus halus, bakteri yang termasuk

dalam probiotik dapat bertahan hidup di usus besar. Adanya kapasitas fermentasi

pada kolon memungkinkan bakteri probiotik berkembang biak, dan hasilnya,

sering ditemukan sejumlah probiotik yang terikut dalam feses. Oleh karenanya

salah satu syarat bakteri termasuk dalam probiotik adalah mampu bertahan hidup

pada kondisi sesuai saluran pencernaan yang meliputi keasaman yang tinggi dan

adanya sekresi garam empedu.

Cotter dan Hill (2003) melaporkan mekanisme homeostatik instrinsik yang

menyebabkan BAL mampu bertahan pada kondisi pH rendah atau keasaman yang

tinggi. Mekanisme yang terjadi pada BAL di antaranya adalah sistem Glutamat-

dekarboksilase (GAD), sistem arginin deiminasi (ADI) dan pompa proton H+ -

ATP ase.

Sistem glutamat dekarboksilase merupakan suatu mekanisme pertahanan

sel sebagian BAL terhadap kondisi pH yang rendah. Beberapa spesies

Lactobacillus sp dilaporkan memiliki mekanisme sistem GAD. Adapun

mekanisme sistem GAD adalah sebagai berikut : setelah mengkonsumsi glutamat

melalui suatu transporter spesifik, terjadi dekarboksilasi glutamat di dalam

intraseluler, menjadi produk γ – aminobutyrat (GABA) yang dikeluarkan dari

dalam sel oleh suatu antiporter, sehingga terjadi peningkatan pH intraseluler

14

(Cotter & Hill 2003). Untuk lebih jelas, mekanisme sistem GAD untuk

mempertahankan pH intraseleluler bakteri dapat dilihat pada Gambar 2.1.

a. b

Gambar 2.1 Mekanisme Sistem Glutamat Dekarboksilasi (Cotter & Hill 2003)

Gambar 2.1.a menjelaskan mekanisme homeostatis sel BAL terhadap pH

rendah. Mekanisme ini meliputi adanya perpindahan ion glutamat ke dalam sel

dan produk GABA keluar sel yang diiringi oleh malat dekarboksilasi, ion malat

masuk ke dalam sel dan ion laktat keluar sel serta oksaloasetat dekarboksilasi, ion

laktat keluar sel dan ion sitrat masuk ke dalam sel mengakibatkan terjadinya

perbedaan potensial elektrogenik dan meningkatkan kondisi alkali sitoplasma.

Gambar 2.1.b menjelaskan bahwa sistem GAD berhubungan dengan pompa

proton serta jalur F1F0-ATPase sebagai transporter ion-ion glutamat, malat dan

sitrat, serta produk katabolismenya.

Keberadaan glutamat sebagai zat yang dapat mempertahankan kondisi

homeostatis pH internal sel BAL menjadi faktor yang penting untuk perlindungan

BAL terhadap kondisi pH rendah. Glutamat dapat diperoleh dari berbagai sumber

terutama dari makanan pembawa BAL misalnya makanan kaya protein (susu dan

daging), beberapa buah-buahan, ataupun bahan kriogenik yang sengaja

Pompa proton

15

ditambahkan untuk pengawetan BAL selama pengolahan; misalnya monosodium

L-glutamat monohidrat (MSG),

Arginin deiminasi (ADI) sistem merupakan suatu mekanisme homeostatis

terhadap kondisi pH rendah yang dimiliki beberapa BAL seperti Lactobacillus

casei dan Lactobacillus sanfranciscensis. Kedua bakteri tersebut dapat

mengkatabolisme arginin menjadi ornithin, amonia, dan CO2. Amonia (NH4)

akan meningkatkan pH internal sitoplasma. Hal ini menjadikan kedua bakteri

tersebut dapat menyesuaikan hidupnya pada kondisi pH yang rendah. Sistem ADI

ini dikendalikan oleh gen arcA, arcB, arc, dan arcT, sehingga BAL yang tidak

mempunyai gen tersebut, tidak memiliki mekanisme homeostatis sistem arginin

deiminasi untuk bertahan pada pH rendah (Cotter & Hill 2003).

Marteau et al. (1997) melakukan penelitian untuk mengetahui ketahanan

hidup BAL pada kondisi saluran pencernaan melalui model dinamis in vitro

(gerakan peristaltik, perubahan pH, perubahan konsentrasi enzim dan garam

empedu di saluran pencernaan). BAL yang dipakai adalah galur tunggal

Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium bifidum dan

Streptococcus thermophilus. Model saluran pencernaan yang dirancang terdiri

dari dua kondisi yang berbeda yaitu simulasi sekresi fisiologis empedu dan sekresi

empedu yang rendah.

Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dalam produk

yogurt hanya mampu bertahan selama 20 menit di kompartemen lambung,

sedangkan Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacteria bifidum dalam produk

Ofilus® lebih tahan dibandingkan produk yogurt. Bakteri dalam yogurt akan

mengalami kematian (populasi nol) setelah 110 menit berada dalam kompartemen

lambung, sedangkan produk Ofilus® mengalami kematian setelah 180 menit.

Setelah memasuki kompartemen usus, BAL dan bifidobakteria mampu hidup dan

melakukan pertumbuhan dan proliferasi, sehingga populasinya meningkat setelah

2 jam berada di kompartemen usus. Peningkatan L. acidophilus dan B. bifidum

pada produk Ofilus® lebih tinggi yaitu 60-70% dari populasi saat konsumsi

dibandingkan dengan peningkatan populasi L. bulgaricus dan S. thermophilus

pada produk yogurt yang mengalami peningkatan populasi maksimal sebesar 10-

20%. Hal ini membuktikan bahwa secara alami, bakteri L. acidophilus dan B.

16

bifidum lebih tahan terhadap lingkungan saluran pencernaan yang meliputi

kondisi pH rendah, sekresi pankreatik, garam empedu, serta adanya bikarbonat,

dibandingkan dengan L. bulgaricus dan S. thermophilus (Martaeu et al. 1997).

Lin et al. (2006) juga melakukan penelitian untuk menguji sifat-sifat

probiotik beberapa produk komersial yogurt, produk granul dan bubuk yang

beredar di pasaran yang telah diklaim mengandung BAL probiotik. Sifat-sifat

probiotik yang diuji adalah sifat ketahanan hidup pada kondisi pH rendah dan

garam empedu serta uji penempelan pada sel epitel usus. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa pada produk komersial yang mengandung BAL terdapat

penurunan jumlah populasi bakteri yang mampu bertahan hidup pada pH 2.0.

Populasi BAL pada produk cair sekitar 105 cfu/ml pada pH 2.0, yang lebih tinggi

dibandingkan dengan produk bubuk yaitu 104 cfu/g. Galur BAL yang mampu

bertahan hidup pada pH 2.0 juga mampu bertahan hidup pada kondisi garam

empedu 0.3%.

Zoumpopoulou et al. (2008) juga melakukan penelitian untuk menguji

ketahanan BAL pada kondisi yang disimulasikan seperti kondisi pada saluran

pencernaan manusia. Ketahanan hidup galur probiotik pada larutan PBS

(Phosphat Buffer Saline) pH 2.5 ditentukan setelah inkubasi pada suhu 370C

selama 0.5, 1, 2 dan 4 jam seperti masa transit makanan di dalam lambung.

Toleransi dalam garam empedu ditentukan dengan ketahanan hidup probiotik

pada larutan PBS pH 8 yang mengandung 1% dan 2% (w/v) oxgall (Ox-Bile,

LP0055, Oxoid) setelah inkubasi selama 1, 2 dan 4 jam seperti masa transit

makanan dalam usus halus.

Ketahanan BAL terhadap Garam Empedu

Empedu merupakan cairan kuning kehijauan yang terdiri dari asam

empedu, kolesterol, phospolipid dan pigmen biliverdin. Asam empedu primer

(asam kholat dan asam khenodeoksikholat) disintesis di hati dari kolesterol, yang

dapat dimodifikasi oleh enzim bakteri pada usus menjadi bentuk sekunder (asam

deoksikholat dan asam lithokholat). Semua asam empedu berkonjugasi dengan

glisin atau taurin sebelum disekresikan. Grup karboksil dari asam empedu dan

grup amino dari asam amino terikat dengan ikatan amida (ikatan peptida)

17

(Gambar 2.2). Garam empedu disintesis dalam hepatosit perisentral dalam hati,

disimpan dan dikonsentrasikan pada kantong empedu dan dilepaskan ke

duodenum setelah ada makanan masuk ke usus halus (Begley et al. 2005)

Gambar 2.2 Struktur kimia asam empedu a) kolesterol, b) ikatan peptida pada garam empedu, c) misel (Begley et al. 2005)

Fungsi biologis garam empedu adalah sebagai detergen yang

mengemulsifikasi dan melarutkan lipid. Namun selain itu, garam empedu juga

dapat berfungsi sebagai antimikroba yaitu melalui perusakan membran sel bakteri

(Begley et al. 2005). Hal inilah yang menyebabkan isolat BAL mengalami

penurunan populasi pada kondisi media yang dipapar oleh 0.5% garam empedu.

Bron et al. (2004) menggambarkan kerusakan secara morfologis L.plantarum

pada kondisi dipapar garam empedu 0.05% sampai 0.15% selama 4 jam.

Kerusakan dinding sel diamati di bawah Scanning Electron Microscope (SEM),

semakin tinggi persentase garam empedu, maka kerusakan dinding sel bakteri

semakin besar dan akhirnya sel lisis.

Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan BAL mampu bertahan pada

kondisi garam empedu. Hipotesis pertama adalah beberapa spesies BAL mampu

mendekonjugasi garam empedu dengan menggunakan asam amino taurin sebagai

kolesterol

Ikatan peptida

misel

18

akseptor elektron. Hipotesis kedua menyatakan bahwa BAL mampu bertahan

pada kondisi garam empedu karena sebagian besar galur BAL mempunyai enzim

Bile Salt Hydrolase (BSH) yang diatur oleh gen bsh. Hipotesis kedua ini lebih

banyak dibuktikan oleh beberapa peneliti daripada hipotesis pertama (Moser &

Savage 2001). L. plantarum WCFS1, L. johnsonii NCC533, B. longum

NCC2705, L. acidophilus NCFM ATCC 700396, L. brevis ATCC 367 dan L.

gasseri ATCC 33323 mempunyai gen bsh yang terdiri atas 255-338 asam amino.

L. plantarum mempunyai aktivitas enzim BSH berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Begley et al. (2006), yang membuktikan bahwa pada media MRS

yang disuplementasi garam empedu dan diinokulasikan L. plantarum terjadi

presipitasi asam empedu tidak terkonjugasi. Enzim BSH menguraikan asam

empedu terkonjugasi menjadi asam empedu tidak terkonjugasi dan melepaskan

asam amino glisin atau taurin (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Peranan enzim BSH dalam menguraikan asam empedu: a) asam empedu, b) peranan enzim BSH, c) visualisasi presipitasi asam empedu di media MRS (Begley et al. 2006)

Aktivitas Antimikroba BAL

Kelompok BAL merupakan bakteri yang menghasilkan metabolit primer

berupa asam laktat. Peran lain dari BAL adalah mampu meningkatkan keamanan

pangan dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk makanan dan

bakteri patogen, baik bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Robredo &

Torres 2000; El-Naggar 2004). Penghambatan yang dilakukan oleh BAL terhadap

mikroorganisme yang lainnya dimungkinkan karena BAL menghasilkan produk

19

metabolit yang bersifat antimikroba antara lain diasetil, hidrogen peroksida, asam-

asam organik dan bakteriosin (Jenie & Rini 1995; Surono 2004; Helander et al.

1997; Naidu & Clemens 2000).

Kemampuan BAL dalam menghasilkan senyawa antimikroba dilaporkan

oleh beberapa peneliti. Nowroozi et al. (2004) menyatakan bahwa L. plantarum

mempunyai aktivitas antimikroba lebih besar terhadap S. aureus dan E. coli

dibandingkan dengan beberapa BAL lainnya, seperti Lactobacillus brevis,

Lactobacillus casei, Lactobacillus delbruekii dan Lactobacillus acidophilus.

Toksoy et al. (1999) menyatakan bahwa L. plantarum AX5L yang diisolasi dari

sosis dapat menghambat E. coli, S. aureus dan B. subtilis karena L. plantarum

AX5L mampu menghasilkan H2O2, asam laktat sebesar 0.88% dan bakteriosin

plantarisin. Streptococcus lactis memiliki aktivitas bakterisidal terhadap bakteri

Gram positif maupun Gram negative, antara lain Enterococcus faecalis, Bacillus

subtilis, Salmonella typhimurium dan Eschericia coli (Suarsana et al. 2001).

Bakteriosin

Sejumlah galur BAL secara alami mampu menghasilkan substansi protein,

biasanya memiliki bobot molekul yang kecil yang mampu menghambat bakteri

lain, secara umum substansi ini dikenal dengan nama bakteriosin. Bakteriosin

mempunyai aktivitas antimikroba terhadap patogen pencemar makanan

(foodborne) dan organisme berspora lainnya (Tannock 1999; Karaoglu et al.

2003; Bromberg et al. 2004).

Bakteriosin diproduksi oleh BAL yang menguntungkan bagi kesehatan

manusia yang termasuk dalam GRAS yang merupakan pendekatan baru untuk

mengontrol mikroba patogen dalam bahan pangan. Bakteriosin merupakan

molekul protein atau peptida ekstraseluler yang mempunyai aksi bakterisidal atau

bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai kekerabatan dekat. Bakteriosin

tersebut dapat didegradasi oleh enzim protease dalam saluran pencernaan.

Bakteriosin bersifat irrevesible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap

kesehatan dan aktif pada konsentrasi rendah (Savadogo et al. 2006; Meghrous et

al. 1997).

20

Berdasarkan karakteristiknya, bakteriosin dapat dikelompokkan menjadi

empat kelas yaitu kelas I adalah grup lantibiotik (modified bacteriocins) di

antaranya nisin, lactococin, lacticin, carnocin dan cytolysin; kelas II adalah

bakteriosin yang mempunyai berat molekul rendah (< 10 kDa), tahan panas 100-

1210C; kelas III adalah bakteriosin yang mempunyai berat molekul tinggi (> 30

kDa) dan bersifat tidak tahan panas, serta kelas IV yaitu kompleks bakteriosin,

proteinnya berikatan dengan lipid dan atau karbohidrat (Karaoglu et al. 2003;

Savadogo et al. 2006).

Setiap bakteriosin mempunyai reseptor spesifik sel sasaran, dan memiliki

cara kerja yang berbeda-beda dalam menghambat sel sasaran, antara lain sebagai

berikut: (1) mengganggu metabolisme sel mikroba, (2) menghambat sintesis

dinding sel mikroba, (3) mengganggu keutuhan membran sel mikroba, (4)

menghambat sintesis protein sel mikroba yang berlangsung di ribosom, dan (5)

menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Bakteriosin terlebih dahulu

masuk ke dalam sel sasarannya, melewati dinding atau membran sitoplasma agar

dapat masuk atau teradsorpsi ke dalam sel sasaran untuk menghambat bakteri

(Ogunbawo et al. 2003). Bakteriosin membentuk pori di membran sel yang

sensitif dan menurunkan potensial atau gradien pH yang menyebabkan rusaknya

material seluler. Efek penghambatan bakteriosin dipengaruhi oleh komposisi

fosfolipid pada galur bakteri target dan pH lingkungan (Albano et al. 2007; Pal et

al. 2005).

Bakteriosin kelas 1 yang dikenal dengan sebutan lantibiotik membentuk

pori pada dinding sel target dengan model ’wedge-like’, sedangkan bakteriosin

kelas II membentuk pori dengan sistem ’barrel-stave’ atau melalui mekanisme

’carpet’ (Gambar 2.4). Lantibiotik mengganggu susunan lapisan lipid bilayer

saat terikat pada membran sel. Masuknya lantibiotik ke dalam membran

dipromotori oleh gradien trans membran (∆ pH) atau trans negatif (∆ ψ). C-

terminal dari lantibiotik kemudian dapat masuk ke dalam membran, dan akhirnya

seluruh lantibioik dapat translokasi menembus membran sel, yang juga

dipengaruhi oleh ’proton motive force’. Mekanisme ini disebut dengan

pembentukan pori ’wedge-like pore’. Bakteriosin kelas II membentuk pori model

’barrel stave’. Adanya residu asam amino heliks di bagian tengah struktur

21

bakteriosin kelas II memulai insersi masuknya peptida ke dalam membran sel

target. Sisi hidrofilik dari ikatan peptida ampifatik α heliks akan membuka ikatan

asam lemak pada lipida membran. Akhirnya seluruh peptida bakteriosin dapat

menembus membran sel (Moll et al. 1999).

Gambar 2.4 Mekanisme pembentukan pori oleh bakteriosin (a) model ’wedge- like pore’, (b) model ’barrel-stave pore’ (Moll et al. 1999).

Asam Organik

Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh BAL dapat

menyebabkan penurunan pH, akibatnya mikroba yang tidak tahan terhadap

kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat. Akumulasi produk akhir asam

yang rendah pH-nya menghasilkan penghambatan yang luas terhadap Gram

positif maupun Gram negatif (Naidu & Clemens 2000).

Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan

jumlah asam yang tidak terdisosiasi. Asam yang tidak terdisosiasi dapat berdifusi

secara pasif ke dalam membran sel. Di dalam sel, asam tersebut terdisosiasi

menjadi proton dan anion lalu mempengaruhi pH di dalamnya (Branen &

Davidson 1993; Jenie 1996). Pada kondisi asam, konstanta disosiasi (nilai pKa)

dan konsentrasi molar merupakan faktor penentu aktivitas penghambatan asam

laktat dan asam asetat. Asam asetat mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih

luar sel

dalam sel

Asam

Basa

22

tinggi dibandingkan dengan asam laktat. Asam asetat mempunyai nilai pKa 4.756

sedangkan asam laktat mempunyai nilai pKa 3.860. Pada pH usus sekitar 5.8,

sebanyak 8.4% asam asetat dan 1.1% asam laktat berada pada kondisi tidak

terdisosiasi (Naidu & Clemens 2000).

Asam asetat dan asam laktat yang tidak terdisosiasi merupakan asam

lipofilik yang pada kondisi tidak terdisosiasi dapat melakukan penetrasi ke

membran sel dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi akan terdisosiasi

memproduksi ion hidrogen dan dapat mengganggu fungsi metabolik seperti

translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa asam laktat dan asam asetat dapat menghambat Staphylococcus aureus

(Ratanapibulsawat et al. 2005). Salmonellae dihambat oleh asam laktat pada pH

lebih rendah dari 4.4 dan asam asetat pada pH 5.4 (Naidu & Clemens 2000).

Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator, bleaching agent dan

anti bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti

sirup, dan memiliki bau yang menusuk. Senyawa ini dapat terdekomposisi

menjadi air dan oksigen. Pada suhu ruang dekomposisi H2O2 berjalan lambat.

Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu mempengaruhi kecepatan

H2O2 terdekomposisi. Dengan kenaikan suhu, keefisienan dalam menghancurkan

bakteri meningkat tetapi kecepatan terdekomposisinya juga semakin cepat

(Branen & Davidson 1993).

BAL memproduksi H2O2 (hidrogen peroksida) melalui transport elektron

via enzim flavin. Dengan adanya H2O2, bentuk anion superoksida merusak

radikal hidroksi. Proses antimikrobanya melibatkan peroksidase lipid membran

dan meningkatkan permeabilitas membran. Hasilnya adalah efek bakterisidal dari

metabolit oksigen yang mengakibatkan terjadinya oksidasi sel bakteri dan

akhirnya merusak asam nukleat dan protein sel (Naidu & Clemens 2000).

Fungsi H2O2 sebagai antimikroba tergantung pada kemampuan

oksidatifnya. Kemampuan untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap

pada sistem enzim sel mikroba. Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam

tergantung pH, konsentrasi, suhu, waktu, dan tipe serta jumlah mikroorganisme.

23

Pada kondisi tertentu spora bakteri ditemukan paling resistan terhadap H2O2,

diikuti dengan bakteri Gram positif. Bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2

adalah bakteri Gram negatif, terutama koliform (Branen & Davidson 1993).

Sifat Penempelan BAL pada Sel Epitel Usus

Selain sifat ketahanannya terhadap pH rendah dan garam empedu, sifat

ketahanan BAL sebagai probiotik di saluran pencernaan juga ditentukan dengan

uji penempelan. Berbagai model penempelan secara in vitro dilakukan antara lain

penempelan ke epitel usus babi oleh Kos et al. (2003), Mishra dan Prasad (2005)

yang melakukan uji penempelan Lactobacillus casei secara in vitro ke sel usus

tikus dan pemodelan penempelan ke stainless steel serta Blum et al. (1999) yang

menggunakan model penempelan BAL sebagai probiotik secara in vitro ke sel

Caco-2.

Penempelan bakteri pada permukaan epitel usus atau yang sering disebut

adhesi terjadi melalui beberapa mekanisme. Bakteri dapat berinteraksi dengan sel

epitel usus, matriks ekstraseluler dan lapisan mukus. Lapisan mukus yang

menutupi sel epitel merupakan kontak pertama di usus bagi mikroorganisme

untuk melakukan penempelan dan kolonisasi di usus. Jika mukosa rusak, maka sel

epitel usus merupakan tempat penempelan bakteri (Adlerberth et al. 2000). Mukus

terbentuk dari musin yang merupakan glikoprotein yang menyusun gel tersebut.

Karbohidrat penyusun musin adalah galaktosa, fruktosa, N-asetilglukosamin, N-

asetilgalaktosamin dan asam sialat. Karbohidrat tersebut tersusun pada beberapa

jenis struktur yang berbeda. Polisakarida yang terbentuk merupakan bagian yang

berinteraksi langsung dengan bakteri dan berfungsi pada proses pengenalan sel

(cell-cell recognition). Pada struktur glikoprotein yang melekat pada permukaan

membran sel, karbohidrat membentuk glikonjugat dengan protein melalui ikatan

nitrogen dengan gula selain manosa. Glikoprotein yang dapat menyebabkan

bakteri melekat, baik secara spesifik maupun secara alami, melalui suatu adhesin

yang dimiliki oleh bakteri (Bourlioux et al. 2003). Struktur sederhana

glikoprotein ditunjukkan pada Gambar 2.5.

24

Gambar 2.5 Struktur sederhana glikoprotein (Bourlioux et al. 2003)

Permukaan sel epitel usus diselimuti oleh lapisan yang bersifat visko-

elastik yang terdiri dari glikprotein. Gel mukosa dibentuk dari musin yang

disekresikan oleh sel goblet. Musin dan glikoprotein memegang peranan penting

pada proses penempelan bakteri. Glikoprotein merupakan sisi tempat penempelan

bakteri seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6. Selain itu, musin dan glikoprotein

juga merupakan senyawa nutrien yang digunakan oleh bakteri untuk

pertumbuhannya. Setelah bakteri berhasil menempel dengan adanya interaksi

antara adhesin dengan reseptor yang berupa glikoprotein di sel epitel usus, maka

bakteri tersebut akan berkolonisasi dan memanfaatkan musin serta glikoprotein

lainnya untuk pertumbuhannya.

Gambar 2.6 Penempelan bakteri ke glikoprotein di sel epitel usus (Danone research team 2002)

Bakteri terikat pada reseptor

Reseptor glikokonjugat

Epitel usus usus

Bakteri

25

Adhesin merupakan suatu protein yang mengenali karbohidrat pada

glikoprotein membran sel usus (Ouwehand et al. 2001). Pada bakteri Gram

positif, adhesin berada di dinding sel. L. plantarum mengekspresikan adhesin

yang mengikat manosa yang lebih baik daripada spesies Lactobacillus lainnya.

Oleh karenanya L. plantarum cenderung memiliki sifat penempelan ke permukaan

usus yang baik (Adlerberth et al. 2000).

Kompetisi Lactobacillus dengan Bakteri Enteropatogen di Saluran

Pencernaan

Galur Lactobacillus sebagai probiotik mampu mencegah diare yang

disebabkan oleh bakteri enteropatogen khususnya EPEC melalui sejumlah

mekanisme. Lu & Walker (2001) menyatakan bahwa pencegahan diare yang

disebabkan oleh EPEC diawali dengan pencegahan translokasi EPEC ke sel epitel

usus oleh probiotik. Probiotik mampu berkompetisi dengan EPEC dalam

memanfaatkan nutrien penting dalam usus lalu mampu tumbuh dan mendapatkan

sisi penempelan pada sel epitel usus. Setelah berhasil menempel dan berkolonisasi

pada sel epitel usus, probiotik memproduksi dan mengeluarkan senyawa metabolit

antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen ke usus.

Selain itu, sisi penempelan sel epitel usus yang telah digunakan oleh probiotik

menyebabkan EPEC tidak mampu menempel ke sel epitel usus. Kondisi inilah

yang menyebabkan bakteri probiotik mampu mencegah pertumbuhan EPEC

sehingga diare tidak terjadi. Untuk lebih jelasnya, kompetisi antara probiotik

dengan bakteri patogen dalam usus dapat dilihat pada Gambar 2.7.

26

Gambar 2.7 Kompetisi antara bakteri probiotik (flora normal) dan bakteri

patogen di usus (Lu & Walker 2001)

EPEC merupakan E. coli penyebab diare yang tidak disebabkan oleh toksin

namun karena kemampuannya melakukan penempelan yang sangat kuat dan

menyebabkan terjadinya lesi/luka pada sel epitel usus (Adlberberth et al. 2000, Lu

& Walker 2001). Penempelan EPEC diinisiasi oleh bundle-forming pilus (BFP)

fimbrae. BFP merupakan plasmid berukuran 50-70 M Da, sehingga juga dikenal

dengan EAF plasmid (EPEC adherence factor). E. coli bergerak dengan flagella

peritrik. E. coli memiliki macam–macam fimbria atau pili sesuai struktur dan

speksitivitas antigen, antara lain membentuk filamen dan berupa protein. Fimbria

merupakan rangkaian hidrofobik dan merupakan organ spesifik yang juga

berfungsi sebagai adhesin/ reseptor penempelan (MacFarlane et al. 2000). Inisiasi

penempelan oleh BFP merupakan model interaksi antara bakteri dengan sel epitel

usus (Adlberberth et al. 2000). Setelah menempel, mikrovili usus dapat rusak

dan selanjutnya EPEC mensekresikan faktor virulen melalui reseptor Tir dan sisi

sekresi tipe III pada dinding sel EPEC ke dalam sel inang yaitu sel epitel usus.

EPEC lalu terikat ke sel epitel melalui outer membrane protein-intimin. Sinyal

transduksi terjadi dalam sel epitel usus, termasuk di antaranya aktivasi protein

kinase C (PKC), inositol triphosphat (IP3) dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein

Perlindungan terhadap penyakit gastroenteritidis

Penyakit oleh bakteri enteropatogen

Flora normal

Bakteri patogen

27

sitoskeletal di antaranya aktin juga berperan dalam penempelan EPEC. Akhirnya

terjadi perubahan struktur sitoskeletal setelah penempelan Tir-intimin,

menghasilkan bentuk pedestal (Lu & Walker 2001). Hal inilah yang menyebabkan

EPEC mampu menempel lebih kuat daripada bakteri patogen lainnya (Gambar

2.8).

Gambar 2.8 Mekanisme penempelan EPEC di sel epitel usus (Lu & Walker 2001)

Identifikasi BAL

Identifikasi BAL sangat diperlukan untuk mengetahui genus, spesies

bahkan galurnya. Menurut FAO/WHO (2002), untuk dapat diketahui dan didekati

sifat fungsionalnya sebagai probiotik, maka BAL harus diketahui spesies bahkan

sampai galur untuk klaim sifat fungsional tertentu. Dalam perkembangannya,

metode identifikasi BAL dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Metode klasik

Metode klasik meliputi metode untuk menguji morfologi dan sifat

biokimiawi BAL. Uji morfologi yang dimaksud adalah reaksi Gram, produksi

katalase dan morfologi sel. Uji biokimiawi meliputi produksi CO2 dari glukosa,

produksi NH3 dari arginin, produksi dekstran dari sukrosa, pertumbuhan pada

suhu 15 dan 45°C, pertumbuhan pada NaCl 6.5% dan reaksi pada litmus milk.

Semuanya akan dapat menentukan genus dari BAL. Untuk mengetahui sampai

tingkat spesies BAL, maka untuk metode klasik digunakan pengujian pola

28

fermentasi pada berbagai gula (49 jenis gula), yang umumnya digunakan adalah

API CHL dan API CHS (Counter et al. 2005; Reque et al. 2000; Vassu et al.

2001). Namun demikian, metode klasik ini mempunyai beberapa kelemahan

antara lain : (a) identifikasi hanya terbatas sampai tingkat spesies, (b) identifikasi

hanya tergantung pada pola hasil fermentasi beberapa gula sehingga terkadang

bias untuk beberapa spesies tertentu atau bahkan tidak dapat teridentifikasi.

Pengujian dengan sistem identifikasi API 50 CH yang dilakukan oleh Counter et

al. (2005) membuktikan bahwa dari 90 isolat BAL yang diisolasi dari sosis

fermentasi, terdapat 10% dari keseluruhan isolat tidak dapat diidentifikasi

(unidentified) dan ada kesalahan software dimana Lactobacillus sakei subsp. sakei

diidentifikasi sebagai Lactococcus lactis subsp. lactis.

Namun demikian, identifikasi dengan metode klasik tetap diperlukan

untuk mengetahui sifat fisiologis dan biokimiawi dari BAL. Pada seleksi BAL,

metode untuk mengetahui sampai tingkat genus umumnya menggunakan metode

klasik, penentuan dugaan awal sampai tingkat spesies juga digunakan metode

klasik. Namun, untuk mengkonfirmasi spesies BAL tersebut perlu dilakukan

identifikasi secara molekuler (Vamanu et al. 2006).

2. Metode modern/ molekuler

Metode molekuler dikembangkan untuk mengatasi kelemahan metode

identifikasi klasik. Di samping itu, perkembangan beberapa metode molekuler

ditujukan untuk mempertimbangkan kedekatan beberapa galur bakteri BAL.

Teknik PFGE (Pulse Field Gel Electrophoresis) dan RFLP (Restricted

Fragment Length Polymorphism)

Dasar teknik PFGE adalah penggunaan sistem getaran elektrik untuk

migrasi fragmen DNA yang besar melewati gel agarosa. Fragmen DNA diperoleh

dari digesting genom dengan enzim restriksi yang mempunyai recognition site 8

bp dan 6 bp. Fragmen DNA yang direstriksi di gel agarosa dimasukkan ke setiap

sumur agarosa dan dipisahkan dengan PFGE berdasarkan ukuran fragmennya

(Tannock 1999). Teknik RFLP mirip dengan teknik PFGE. Perbedaannya adalah

jika sebelum dielektroforesis restriksi DNA dilakukan pada gel untuk PFGE,

namun tidak untuk RFLP. Teknik RFLP dan PFGE ini dapat mendeteksi BAL

sampai karakteristik spesifik bakteri pada tingkat galur (Beasley 2004).

29

Ribotyping

Tahapan utama teknik ini adalah mengisolasi DNA dari isolat kultur,

dilakukan restriksi dan pemisahan ukuran di dalam gel agarosa. Selanjutnya gel

dihibidrisasi dengan menggunakan penanda rRNA yang dilabel, yang mengikat

fragmen berisi salinan dari operon rRNA. Untuk deteksi penanda, fragmen yang

terikat pada penanda selanjutnya divisualisasikan dan membentuk karakteristik

RFLP (Tannock 1999).

Analisis urutan basa (sequencing) gen 16S rRNA

Teknik ini merupakan teknik cepat yang mempunyai tahapan amplifikasi

gen 16S rRNA, menggunakan PCR dengan primer target yang berlaku secara

umum dan disepakati secara internasional untuk gen tersebut. Analisis urutan

basa filogenetik 16S rRNA merupakan metode molekuler yang akurat untuk

identifikasi mikroba (Walter et al. 2000; Anukam et al. 2005; Ennahar et al.

2003). Sekuen nukleotida-nukleotida pada gen 16S rRNA dapat diidentifikasi

lebih lanjut dengan menggunakan PCR-DGGE (Denaturating Gradient Gel

Electrophoresis) (Ennahar et al. 2003) dan TGGE (Temperature Gradient Gel

Electrophoresis) (Cocolin et al. 2000).

Tahapan yang dilakukan pada teknik analisis PCR-TGGE didahului

dengan ekstraksi DNA dan reaksi PCR dengan prinsip yang sama seperti

dijelaskan pada Anukam et al. (2005) kemudian dilanjutkan dengan analisis

TGGE. Tahapan prosedur analisis TGGE seperti yang dilakukan oleh Walter et

al. (2000) adalah sebagai berikut : elektroforesis dilakukan dengan menggunakan

gel poliakrilamid dan bufer TAE (tris asetat) pada tegangan 110 V selama 5 jam.

Gradien dari temperatur 65.5 – 68°C digunakan secara paralel pada saat

elektroforesis berjalan (running). Setelah elektroforesis selesai (komplet) maka

dilakukan pewarnaan pada TAE, selanjutnya gel divisualisasikan dengan

menggunakan sistem kamera polaroid.

Hibridisasi DNA

Hibridisasi DNA dilakukan untuk mengetahui kandungan G+C (mol%)

dari BAL. Metode yang digunakan adalah isolasi DNA lalu penentuan

kandungan G+C dilakukan dengan menggunakan thermal melting temperature

30

DNA menggunakan spektrofotometer (contohnya : Gilford Response

Spectrophotometer) (Krockel et al 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Aattouri N, Bouras M, Tome D, Marcos A, Lemonnier D. 2002. Oral ingestion

of lactic acid bacteria by rats increases lymphocyte proliferation and interferon-γ production. Braz J Nutr 87: 367-373.

Aberle ED, Forrest JC, Hendrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2000. Principles of Meat Science. San Fransisco:W.H. Freeman and Co.

Adlerberth I, Cerquetti M, Poilane I, Wold A, Collignon A. 2000. Mechanisms of colonization and colonization resistance of the digestive tract. Part 1: bacteria/host interactions. Microbial Ecol Health Disease. 2 : 223-239.

Agostoni CI et al. 2004. Probiotic bacteria in dietetic products for infants : a commentary by the ESPHGHAN Committee on Nutrition. J Pediatric Gastroenterol Nutr 28 : 365-374.

Albano H et al. 2007. Characterization of two bacteriocins produced by Pediococcus acidilactici isolated from ‘Alheira’ a fermented sausage traditionally produced in Portugal. Int J of Food Microbiol 116 : 239-247.

Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Tomita F. 2004. Effects of indigenous starter cultures on the microbial and physicochemical uharacteristics of Urutan, a Balinese fermented sausage. J Biosci and Bioeng 98 : 92-98.

Anukam KC, Osazuwa EO, Ahonkai I, Rheid G. 2005. 16S rRNA gene sequence and philogenetic tree of Lactobacillus spesies from the vagina of healthy Nigerian women. Afr J of Biotechnol 4 : 1222-1227.

Arief II, Maheswari RRA, Suryati T. 2007. Karakteristik dan Nilai Gizi Protein Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) yang Difermentasi oleh Lactobacillus plantarum yang Diisolasi dari Daging Sapi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIII. LPPM-IPB.

Augenlicht LH et al. 1999. Short chain fatty acid metabolism, apoptosis and Apc-initiated tumorigenesis in the mouse gastrointestinal mucosa. Cancer Research 59:6005-6009.

Axelsson, L. 1993. Lactid Acid Bacteria : classification and physiology. Di dalam: Lactid Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. 2nd Edition, Revised and Expanded. Salminen, S., and von Wright, A. (Editors.). New York : Marcell Dekker Inc.

31

Aymeric T, Martin B, Garriga M, Hugas M. 2003. Microbial quality and direct PCR identification of lactic acid bacteria and nonpatogenic Staphylococci from artisanal low-acid sausages. Appl Environ Microbiol 69 : 4583-4594.

Badan POM. 2005. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : 005.05.1.0421 tentang pembentukan tim mitra bestari pangan fungsional.

Bhatia A, Rani U. 2008. Immunomodulatory effect of S. thermophilus : an experimental study. J Calicut Med 6 :2-10.

BC Dairy Foundation. 1997. The probiotic effects of lactic acid bacteria, an interpretive review of recent nutrition research.

Beasley S. 2004. Isolation, identification and exploitation of lactic acid bacteria from human and animal microbiota. Academic Dissertation in Microbiology. Faculty of Agricultue and Forestry Science. University of Helsinki.

Begley M, Gahan CGM, Hill C. 2005. The interaction between bacteria and bile. FEMS Microbiol Rev 29 : 625-651.

Begley M, Hill C, Grahan CGM. 2006. Bile salt hydrolase activity in probiotics. Appl Environ Microbiol 72: 1729-1738.

Blum S et al. 1999. Adhesion studies for probiotics : need for validation and refinement. Trends in Food Sci Technol 10 : 405-410.

Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Food. New York : Marcel Dekker.

Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, Braesco V. 2003. The intestine and its microflora are partners for the protection of the host : report on the Danone symposium ‘ The Intelligent Intestine’, held in Paris, June 14, 2002. Am J Clin Nutr 78: 675-683.

Brady LJ, Gallaher DD, Busta FF. 2000. The role of probiotic cultures in the prevention of colon cancer. Symposium : Probiotic bacteria : Implications for Human Health. J Nutr 410S-414S.

Bromberg R, Moreno I, Zagagini CL, Delboni RR, Oliveira J. 2004. Isolation of bacteriocin-producing lactic acid bacteria from meat and meat products and its spectrum of inhibitory activity. Braz J Microbiol 35:137-144.

Bron PA et al. 2004. Genetic characterization of the bile salt response in Lactobacillus plantarum and analysis of responsive promoters in vitro and in situ in the gastrointestinal tract. J Bacteriol 186 : 7829-7835.

Burns AJ, Rowland IR. 2000. Anti-carcinogenicity of probiotics and prebiotics. Curr Issues Intest Microbiol 1: 13-24.

32

Cai Y, Suyanandana P, Saman P, Benno Y. 1999. Classification and characterization of lactic acid bacteria isolated from the intestines of common carp and freshwater prawns. J Gen Appl Microbiol 45 : 177-184.

Cocolin L, Manzano M, Antoni C, Corni G. 2000. Development of a rapid method for the identification of Lactobacillus spp. Isolated from naturally fermented Italian sausages using a Polymerase Chain Reaction-Temperature Gradient Gel Electrophoresis (PCR-TGGE). L Appl Microbiol 30 : 126-129.

Cotter PD, Hill C. 2003. Surviving the acid test : responses of Gram-positive bacteria to low pH. Microbiol Molecul Biol Rev 67: 429-453.

Counter M et al. 2005. Characterization of lactic acid bacteria isolated from Italian dry fermented sausage. Ann Fac Medic Vet 27 : 167-174.

Danone research team. 2002. Danone Nutritopics: The three lines of defense in human intestine; Effect of probiotics on body’s natural defenses. 10th International Congress of Bacteriology and Applied Microbiology “The Word of microbes’. Paris.

El-Naggar MYM. 2004. Comparative study of probiotic cultures to control the growth of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella typhimurium. Biotechnol 3: 173-180.

Emanuel V, Adrian V, Ovidiu P, Gheorghe C. 2005. Isolation of Lactobacillus plantarum strain used for obtaining a product for the preservation of fodders. Afr J Biotechnol 4 : 403-408.

Ennahar S, Cai Y, Fujita Y. 2003. Phylogenetic Diversity of lactic Acid bacteria associated with paddy rice silage as determined by 16S Ribosomal DNA Analysis. Appl Environ Microbiol 69 : 444-451.

Erkilla S. 2001. Bioprotective and probiotic meat starter cultures for the fermentation of dry sausages. [Academic Dissertation]. Department of Food Technology. University of Helsinki.

Erkilla S, Petaja E. 2000. Screening of commercial meat starter cultures at low pH and in the presence of bile salts for potential probiotic use. Meat Sci 55 : 297-300.

FAO/ WHO. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food. Report of Joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotics in food. London Ontario, Canada.

Gackowska L et al. 2006. Combined effect of different lactic acid bacteria galur on the mode of cytokines pattern expression in human peripheral blood mononuclear cells. J Physiol Pharmacol 57 : 13-21.

33

Hamasaki Y, Ayaki M, Fuchu H, Sugiyama M, Morita H. 2003. Behaviour of pschotrophic lactic acid bacteria isolated from spoiling cooked meat products. Appl Environ Microbiol 69 : 3668-3671.

Helander IM, von Wright A, Mattila-Sandholm TM. 1997. Potential of lactic acid bacteria and novel antimicrobials against Gram-negative bacteria (review). Trends in Food Sci Technol 8: 146-150.

Herich R, Levkut M. 2002. Lactic acid bacteria, probiotics and immune system. Vet Med Czech 47 :169-180.

Hopzapfel WH. 1998. The Gram-poisitive bacteria associated with meat and meat products. Dalam : The Microbiology of Meat and Poultry. Davies A and R. Board (editors). London : Blackie Academic & Proffesional.

Ishibashi N, Yamakazi S. 2001. Probiotics and safety. Am J Clin Nutr 73 (suppl) : 4658-4708.

Itoi S et al. 2008. Isolation of halotolerant Lactococcus lactis subsp. lactis from intestinal tract of coastal fish. Int J Food Microbiol 121 : 116-121.

Jenie BSL, Rini SE. 1995. Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Bul Teknologi dan Industri Pangan. 6: 46 – 51.

Jenie BSL. 1996. Peranan BAL sebagai pengawet hayati makanan. J Ilmu dan Tek Pangan 1: 60-73.

Karaoglu SA, Aydin F, Killic SS, Killic AO. 2003. Antimicrobial activity and characteristics of bacteriocins produced by vaginal lactobacilli. Turk J Med Sci 32 : 7-13.

Kimoto-Nira H et al. 2007. Lactococcus sp. as potential probiotic lactic acid bacteria. JARQ 41: 181-189.

Kimura M, Danno K, Yasui H. 2006. Immunomodulatory function and probiotic properties of lactic acid bacteria isolated from Mongolian fermented milk. Biosci Microflora 25 : 147-155.

Kos B et al. 2003. Adhesion and agggregration ability of probiotic galur Lactobacillus acidophilus M92. J Appl Microbiol 94: 981-987.

Krockel L, Schilinger U, Franz CAMP, Bantleon C, Ludwig W. 2003. Lactobacillus versmoldensis sp nov., isolated from raw fermented sausage. Int J Sys Evol Microbiol 53 : 513-517.

Kusumawati N. 2002. Seleksi BAL Indigenus sebagai Galur Probiotik dengan Kemampuan Mempertahankan Keseimbangan Mikroflora Feses dan Mereduksi Kolesterol Serum Darah Tikus. [Thesis]. Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor.

34

Lee YK. 2009. Probiotic Microorganisms. Di dalam : Handbook of Probiotic and Prebiotics. 2nd edition. Yuan Kun Lee and Seppo Salminen (editor). John wiley & Sons, Inc.

Leisner JJ et al. 1999. Identification of lactic acid bacteria from Chili Bo, a Malaysian food ingredient. Appl Environ Microbiol 65 : 599 – 605.

Lin WH, Hwang CF, Chen LW, Tsen HY. 2006. Viable counts, characteristic evaluation for commercial lactic acid bacteria products. Food Microbiol 23: 78-81.

Lu L, Walker WA. 2001. Pathologic and physiologic interactions of bacteria with the gastrointestinal epithelium. Am J Clin Nutr 73 (suppl) ; 1124S-1130S.

Mac. Farlane S, Hopkins MJ, Mc.Farlane GT. 2000. Bacterial growth and metabolism on surfaces in the large intestine. Microbial Ecology in health and Disease (Suppl) 2 : 64-72.

Makarova KS, Koonin EV. 2007. Evolutionary Genomic of Lactic Acid Bacteria. J Bact 189 : 1199-1208.

Marteau P, Minekus M, Havenar R, Huis In’t Veld JHJ. 1997. Survival of lactic acid bacteria in a dynamic model of the stomach and small intestine : validation and the effects of bile. J Dairy Sci 80: 1031-1037.

Medellin-Pena MJ, Griffiths MW. 2009. Effects of molecules secreted by Lactobacillus acidophilus galur La-5 on Escherichia coli O157:H7 Colonization. Appl Environ Microbiol 75 : 1165-1172

Meghrous J, Lacroix C, Bouksaim M, La-Pointe G, Simard RE. 1997. Genetic and biochemical characterization of nisin Z produced by Lactococcus lactis ssp. lactis biovar. diacetylactis UL 719. J Appl Microbiol 83 : 133-138.

Mishra V, Prasad DN. 2005. Application of in vitro methods for selection of Lactobacillus casei galurs as potential probiotics. Int J Food Microbiol 103 : 109-115.

Molin G. 2003. The role of Lactobacillus plantarum in foods and in human health. Dalam: Handbook of Fermented Functional Foods. E.R. Farnworth (Editor). Boca Raton: CRC Press.

Moll GN, Konnings WN, Driessen AJM. 1999. Bacteriocins: mechanism of membrane insertion and pore formation. Antonie van Leeuwenhoek 76: 185-198.

Morelli L. 2007. In vitro assessment of probiotic bacteria : from survival to functionally. Int Dairy J 17: 1278-1283.

35

Moser SA, Savage DC. 2001. Bile salt hydrolase activity and resistance to toxicity of conjugated bile salts are unrelated properties in Lactobacilli. Appl Environ Microbiol 67: 3476-3480.

Moulay M et al. 2006. Cultivable lactic acid bacteria isolated from Algerian raw goat’s milk and their proteolytic activity. World J Dairy Food Sci 1: 12-18

Naidu AS, Clemens RA. 2000. Probiotics. Dalam Natural Food Antimicrobial Systems. A.S. Naidu (editor). Florida : CRC Press.

Nair PS, Surendran PK. 2005. Biochemical Characterization of lactic acid bacteria isolated from fish and prawn. J Cult Collect 4 : 48-52.

Naruszewicz ML, Johansson D. Downar Z, Bukowska H. 2002. Effect of Lactobacillus plantarum 299v on cardiovascular disease risk factors in smokers. Am J Clin Nutr 76 : 1249-1255.

Nitisinprasert S, Pungsungworn N, Wanchaitanawong P, Loiseau G, Montet D. 2006. In vitro adhesion assay of lactic acid bacteria, Escherichia coli and Salmonella sp. by microbiological and PCR methods. Songklanakarin J Sci Technol 28 (suppl.1) : 99-106.

Nowroozi J, Mirzaii M, Norouzi M. 2004. Studi of Lactobacillus as Probiotic Bacteria. Iranian J Publ Health 33 : 1-7.

Nuraida L, Prisilia D, Nurjanah S. 2010. Use of Lactobacillus rhamnosus isolated from breast milk as starter culture of yoghurt [abstrak]. Di dalam : 2nd International Symposium on Probiotic and Prebiotic, as Functional food for Human Health Promotion; Jakarta 4-5 Agustus 2010. hlm 55.

Ogunbanwo ST, Sanni AI, Onilude AA. 2003. Characterization of bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum F1 and Lactobacillus brevis OG1. Afr J Biotechnol 2:219-227

Ouwehand AC, Tuomola EM, Tolkko S, Salminen S. 2001. Assessment of adhesion properties of novel probiotics galurs to human intestinal mucus. Int J of Food Microbiol 64 : 119-126

Oyetayo VO. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal galurs of Lactobacillus acidophilus and challenged with Escherichia coli. Afr J Biotechnol 3: 409-411.

Pal V, Jamuna M, Jeevaratnam K. 2005. Isolation and Characterization of Bacteriocin Producing Lactic Acid Bacteria from a South Indian Special Dosa (APPAM) Batter. J Culture Collection 4: 53-60

Perdigon, Fuller GR, Raya R. 2001. Lactic acid bacteria and their effect on immune system. Curr Issues Intest Microbiol. 2 : 27-42.

36

Plengvidhya V, Breidt FJ, Lu Z, Fleming HP. 2007. DNA fingerprinting of lactic acid bacteria in sauerkraut fermentations. Appl Environ Microbiol 73 : 7697-7702.

Rantsiou et al. 2005. Culture-dependent and independent methods to investigate the microbial ecology of Italian fermented sausages. Appl Environ Microbiol 71 : 1977-1986.

Ratanapibulsawat, C., P. Kroujkaew, O. Sadahiro, and S. Nitisinprasert. 2005. Screening and characterisation of lactic acid bacteria producing antimicrobial substance againts Staphylococcus aureus. Kasetsart Journal (Natural Science) 39 : 284-293.

Reid G. 1999. The scientific basis for probiotic galurs of Lactobacillus. Appl Environ Microbiol 65 : 3763-3766.

Reque EF, Pandey A, Franco SG, Soccol CR. 2000. Isolation, identification and physiological study of Lactobacillus fermentum LPB for use as probiotic in chickens. Braz J Microbiol 31 : 303-307.

Roberfroid MB. 2000. Prebiotics and probiotics: are they functional foods?. Am Clin Nutr 71(suppl) : 1682S-1687S.

Robredo B, Torres C. 2000. Bacteriocin Production by Lactobacillus salivarius of Animal Origin. J Clin Microbiol 38 : 3908-3909.

Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria. Microbiology and Functional Aspects. 2nd Edition, Revised and Expanded. New York : Marcell Dekker, Inc.,

Savadogo A, Outtara CAT, Bassole IHN, Traore AS. 2006. Bacteriocins and lactic acid bacteria – a minireview. Afr J Biotechnol 5: 678-683.

Segawa S et al. 2008. Effect of oral administratition of heat-killed Lactobacillus brevis SBC8803 on total and ovalbumin-spesific immunoglobulin E production through the improvement of Th1/Th2 balance. Int J Food Microbiol 121 : 1-10.

Solis B et al. 2002. The effect of fermented milk on interferon production in malnourished children and in anorexia nervosa patient undergoing nutritional care. Eur J Clin Nutr 56 (suppl 4) : 527-533.

Suarsana IN, Utama IH, Suartini NGAA. 2001. Aktivitas invitro senyawa antimikroba dari Streptococcus lactis. J Vet 2 : 25-31.

Sunny-Roberts EO, Knoor D. 2008. Evaluation of the response of Lactobacillus rhamnosus VTT E-97800 to sucrose-induced osmotic stress. Food Microbiol 25 : 183-189.

37

Surono IS. 2010. Potency of local wisdom : probiotics and prebiotics today and tomorrow. 2nd International Symposium on Probiotic and Prebiotic, as Functional Foods for Human Health Promotion : health benefits, local knowledge, technical and regulatory issues. Jakarta, August 4-5 2010.

Surono IS. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPPMI. Jakarta.

Tamang B et al. 2008. Phenotytpic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from ethnic bamboo tender shoots of North East India. Int J Food Microbiol 121 : 35-40.

Talwalkar A, Kailasapathy K. 2004. The role of oxygen in the viability of probiotic bacteria wirh reference to L.acidophilus and Bifidobacterium spp. Curr Issues Intest Microbiol 5 : 1-8.

Tannock GW. 1999. Probiotic :A Critical Review. Horizon Press. Norfolk.

Toksoy A, Beyatli Y, Aslim B. 1999. Study on metabolic and antimicrobial activities of some L. plantarum galurs isolated from sausages. Tr J Vet An Sci 533-540.

Tuomola E, Crittenden R, Playne M, Isolauri I, Salminen S. 2001. Quality assurance criteria for probiotic bacteria. Am J Clin Nutr 73 (suppl): 393S-398S.

Vamanu A, Vamanu E, Drugulescu M, Popa O, Campeanu G. 2006. Identification of lactic bacterium galur used for obtaining a pollen-based probiotic product. Turk J Biol 30 : 75-80.

Vasiljevic T, Shah NP. 2008. Probiotic-from Metchnikoff to bioactives. Int Dairy J 18 : 714-728.

Vassu T et al. 2001. Biochemical and genetic characterization of Lactobacillus plantarum cmgb-1 galur used as probiotic. Roum Biotechnol Lett 7 : 585-598.

Walter J et al. 2000. Detection and identification of gastrointestinal species by using Denaturating Gradient gel Electrophoresis (DGGE) and spesific-spesific PCR primer. Appl Environ Microbiol 66 : 297:303.

Wollowski I et al. 1999. Bacteria used for the production of yogurt inactive carcinogens and prevent DNA Damage in the Colon of Rats. J Nutr 77-82.

Wollowski I, Rechkemmer G, Pool-Zobel BL. 2001. Protective role of probiotics and prebiotics in colon cancer. Am J Clin Nutr 73 (suppl) : 451S-455S.

Zoumpopoulou G et al. 2008. Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 displays probiotic potential in vitro and protects againts trinitrobenzene sulfonic acid (TNBS)-induced colitis and Salmonella infection in murine models. Int J Food Microbiol 121 : 18-19.