2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum...

23
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu: 1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut; 2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku lainnya yang relevan; atau 3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negara- negara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional terkait atau RFMO. Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau 2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut.

Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum...

Page 1: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur

saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan

FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan

illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang

kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut

alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap

terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan

ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu:

1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal

asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki

yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut;

2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera

negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries

Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan

ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh

RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional

yang berlaku lainnya yang relevan; atau

3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan

suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negara-

negara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan

perikanan regional terkait atau RFMO.

Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang

tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan

data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan

hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau

2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO

tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga

bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut.

Page 2: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

9

Sedangkan terminologi unregulated fishing atau penangkapan ikan yang

tidak diatur, dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Tindakan penangkapan ikan di kawasan kewenangan RFMO yang dilakukan

oleh kapal tanpa identitas kebangsaan atau oleh kapal berbendera negara yang

bukan merupakan anggota RFMO tersebut atau oleh suatu entitas (negara yang

belum diakui Perhimpunan Bangsa Bangsa) perikanan, dengan cara yang tidak

sesuai atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang

ditetapkan RFMO tersebut; atau

2. Tindakan penangkapan ikan di suatu area atau terhadap stok ikan yang tidak

diatur pengelolaan dan konservasinya, yang bertentangan dengan tanggung

jawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasioanl mengenai

konsevasi sumberdaya hayati laut.

Modus praktik IUU fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia

(DKP, 2002 dalam Latar, 2004) antara lain dikategorikan dalam 4 (empat)

golongan, meliputi:

1. Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melakukan kegiatan

penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak

pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia;

2. Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan

dokumen;

3. Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak

yang tidak berwenang mengeluarkan ijin; atau

4. Kapal Ikan Indonesia (KII) tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin).

Aturan Indonesia yang menjadi regulasi perikanan adalah Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 ini mengatur pokok-pokok pembangunan perikanan terkait penataan,

pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, pengolahan, dan pemasaran sumberdaya

perikanan. Pemberdayaan nelayan, perbuatan pidana dan sanksi atasnya,

tercantum pula di dalamnya. Namun masih terdapat aturan turunan lain yang

menunjang secara detil pola aturan yang berlaku. Nikijuluw (2008) menjelaskan

bahwa perbuatan pidana pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran

Page 3: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

10

perikanan. Pidana kejahatan serta hukuman dan dendanya tersebut, dapat terjadi

dikarenakan sebagai berikut :

1. Penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif. Hukuman terlama

10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar;

2. Penggunaan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan. Hukuman

terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar ;

3. Kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan. Denda dan

hukumannya tergantung dari jenis perijinan yang dilanggar;

4. Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan. Hukuman terlama 5 tahun dengan

denda maksimal Rp 1,5 miliar;

5. Perusakan lingkungan perikanan. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda

maksimal Rp 2 miliar;

6. Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan. Hukuman terlama 6 tahun

dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; dan

7. Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.

Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar.

Nikijuluw (2008) juga menjelaskan mengenai aturan dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 untuk pidana pelanggaran dapat terjadi

disebabkan oleh:

1. Membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan

menteri. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 600

juta;

2. Pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia

tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hukuman

maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 800 juta;

3. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak

memiliki ijin penangkapan ikan, tidak menyimpan alat penangkapan ikan di

dalam palka, atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan

ijinnya. Hukuman pidana denda maksimal Rp 500 juta;

4. Melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar;

5. Melakukan penelitian perikanan tanpa ijin pemerintah; dan/atau

Page 4: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

11

6. Pelanggaran dalam hal jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan serta

alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan musim penangkapan ikan;

ukuran berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch);

serta sistem pemantauan kapal perikanan.

Tindakan pidana kejahatan dan pidana pelanggaran telah diatur denda dan

hukumannya secara variatif, tergantung dari jenis kejahatan dan pelanggarannya.

Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diklasifikasikan antara bentuk

kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan hukuman serta denda apa yang harus

dikenakan terhadap pelaku praktik kejahatan atau pelanggaran tersebut. Kapasitas

pengawasan dan penengakan aturan ini harus jelas dan tegas di lapangan.

Sinergitas para aparatur penegak hukum dan pihak terkait harus adil untuk

menegakkan aturan yang telah tercantum dalam undang-undang. Semua ini

diupayakan untuk menanggulangi dan mengurangi serta memberantas praktik

IUU fishing di Indonesia.

2.2 Aturan Internasional

2.2.1 IPOA-IUU fishing

Praktik IUU fishing yang kian marak diisukan, melatarbelakangi FAO

Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi Internasional Plan of Action (IPOA)

to Prevent, Deter, and Eliminate IUU fishing pada tahun 2001. IPOA-IUU fishing

merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang diharapkan menjadi

acuan negara-negara dalam memerangi IUU fishing. IPOA-IUU fishing

menjelaskan tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh Negara

Bendera, Negara Pantai, dan Negara Pelabuhan terkait dengan IUU fishing.

Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa IUU fishing mendapatkan perhatian

dalam World Summit tentang pembangunan berkelanjutan, di Johanesburg, Afrika

Selatan pada September 2002. Keputusannya bahwa IPOA-IUU fishing harus

dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama akhir tahun 2004. Peran

pemerintah dalam suatu negara sangat penting dan dijelaskan dalam IPOA-IUU

fishing yang dikeluarkan FAO. Upaya mencegah, menghalangi, dan memberantas

praktik IUU fishing, harus dilaksanakan pemerintah dengan tetap memperhatikan

Page 5: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

12

norma dan kaidah hukum laut internasional khususnya yang termuat dalam

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.

Tujuan IPOA-IUU fishing adalah untuk mencegah, menghalangi, dan

memberantas IUU fishing dengan menyediakan suatu alat atau langkah yang

komprehensif, transparan, dan efektif bagi semua negara dalam bertindak,

termasuk melalui pengelolaan perikanan yang tepat sesuai dengan hukum

internasional dan regional. FAO mengembangkan IPOA-IUU fishing melalui

upaya koordinasi dengan negara-negara dunia, FAO, RFMO dan lembaga-

lembaga internasional yang terkait seperti IMO (International Maritime

Organization). IPOA-IUU fishing diupayakan membahas semua dampak

ekonomi, sosial dan lingkungan. Akses pelabuhan bagi kapal asing di suatu

pelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain meliputi pengisian

bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi

kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi

PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan (FAO, 2001).

IPOA-IUU fishing juga menjelaskan tindakan negara pelabuhan (port state

measures) dalam penanggulangan praktik IUU fishing dengan dasar pengaturan

terkait mekanismenya sebagai berikut1:

1. Pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan;

2. Penolakan untuk memasuki pelabuhan;

3. Mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki;

4. Pengumpulan data dan informasi;

5. Penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan

RFMO tentang kegiatan IUU fishing;

6. Prosedur dan strategi port state control;

7. Integrasi pengaturan mengenai port state control;

8. Tindakan terhadap praktik IUU fishing oleh negara bukan anggota RFMO; dan

9. Kerjasama antar negara dan antar RFMO.

1Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Draft Naskah penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,

Unreported, and Unregulated Fishing, Bogor, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 6 Desember 2011, hlm 23.

Page 6: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

13

FAO (2001) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan aturan pemeriksaan,

negara pelabuhan harus memeriksa kelengkapan informasi kapal dan hasil

pemeriksaannya dikirimkan ke negara bendera dan, jika diperlukan termasuk

organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Hal-hal yang diperiksa yaitu

sebagai berikut:

1. Negara bendera dan rincian identifikasi kapal termasuk di dalamnya data

pemilik kapal dan nahkoda kapal;

2. Nama, kewarganegaraan, dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan;

3. Alat penangkapan ikan;

4. Jumlah hasil tangkapan di atas kapal, termasuk asal, jenis, dan kondisi serta

kuantitas;

5. Informasi lainnya yang diwajibkan oleh RFMO; dan

6. Total volume pendaratan hasil tangkapan dan transshipment.

Nikijuluw (2008) menjelaskan beberapa kewajiban pemerintah menurut

IPOA-IUU fishing adalah sebagai berikut:

1. Tidak mengijinkan kapal ikan negaranya menggunakan bendera negara asing

yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memerangi

IUU fishing;

2. Menyikapi dan mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum laut

internasional terhadap kapal ikan yang menangkap ikan secara IUU di laut

lepas;

3. Menghindari memberikan bantuan ekonomi dan subsidi kepada perusahaan

atau kapal yang terlibat IUU fishing, sesuai dengan hukum dan kebijakan

nasionalnya; dan

4. Menetapkan sanksi yang berat bagi kapal pelaku IUU fishing secara transparan

dan konsisiten.

2.2.2 Port state measures

FAO megadopsi skema model FAO Port State Measures untuk mencegah,

menghalangi, dan memberantas IUU fishing (FAO Model Scheme on Port State

Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada

pertemuan komite perikanan FAO (Committee on Fisheries, COFI FAO) ke-26

Page 7: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

14

tahun 2005. FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing

memuat standar minimum aktivitas dan persyaratannya, seperti:

1. Informasi yang diperlukan saat memasuki pelabuhan;

2. Pedoman dan prosedur inspeksi atas kapal saat di pelabuhan;

3. Tindakan yang dapat diambil ketika pengawas menemukan bukti yang cukup

bahwa kapal perikanan asing telah melakukan atau membantu melakukan

praktik IUU fishing;

4. Program pelatihan untuk pengawas dari negara pelabuhan; dan

5. Sistem informasi mengenai pengawasan oleh negara pelabuhan.

Keberadaan IPOA-IUU fishing maupun Model Scheme on Port State

Measures to Combat IUU fishing dirasa masih belum cukup menjadi instrumen

hukum dalam menghadapi IUU fishing. Kondisi ini dikarenakan oleh sifat non-

binding dari IPOA-IUU fishing yang belum memiliki keseragaman standar dan

sistem hukum serta kurang melibatkan partisipasi aktif dari negara pelabuhan

dalam menghadapi IUU fishing. Selanjutnya, pada pertemuan pertemuan komite

perikanan FAO ke-27 Maret 2007, negara-negara anggota FAO telah berhasil

merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and

Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian

disebut PSM Agreement) tersebut, diharapkan menjadi suatu instrumen hukum

internasional yang mengikat. PSM Agreement ditujukan untuk meningkatkan

peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan

memberantas IUU fishing. PSM Agreement mampu menciptakan sarana yang

kuat dan ekonomis untuk memerangi IUU fishing2.

Konferensi FAO ke-36 tanggal 22 November 2009, telah berhasil

mengadopsi dokumen PSM Agreement tersebut. Sebanyak 106 negara dari 118

negara yang hadir, mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua

negara menolak dan 10 abstain. PSM Agreement telah ditandatangani sembilan

negara yaitu Indonesia, Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia,

Samoa, Amerika Serikat, dan Uruguay. Pasal 26 PSM Ageement menjelaskan

bahwa persetujuan tersebut harus segera diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh

pihak yang menandatangani perjanjian. PSM Ageement akan mulai berlaku 30

2Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Ibid, hlm 3.

Page 8: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

15

hari setelah tanggal depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan,

sesi oleh 25 negara. PSM Agreement terdiri atas 10 (sepuluh) Bagian dan 37

Pasal, yang memuat pengaturan mengenai penerapan ketentuan negara pelabuhan

untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Selanjutnya PSM

Agreement juga memuat tentang hubungannya dengan instrumen internasional

lainnya; integrasi dan koordinasi pada tingkat nasional; kerja sama dan pertukaran

informasi dengan negara lain; prosedur pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan

penindaklanjutan terhadap kapal masuk ke pelabuhan; peran negara bendera;

persyaratan bagi negara berkembang; penyelesaian sengketa; keberlakukan

agreement bagi non-pihak; serta pemantauan, peninjauan ulang, dan penilaian

terhadap pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam PSM Agreement3.

PSM Ageement menjelaskan suatu alat yang efektif memposisikan negara

pelabuhan untuk melawan IUU fishing melalui posisinya sebagai tujuan dari kapal

asing untuk masuk ke pelabuhan contohnya seperti larangan masuk pelabuhan,

larangan pendaratan, larangan transshipment, dan penolakan jasa pelabuhan

lainnya untuk kapal yang melakukan praktik IUU fishing. Selain itu negara

pelabuhan dapat pula diposisikan sebagai pengawas langsung terhadap kapal dan

sebagai penyelenggara aturan (Fabra et al., 2011).

Lobach (2004) menjelaskan bahwa kontrol negara pelabuhan sangat

relevan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan. Negara pelabuhan harus

menargetkan standar dari kapal yang dianggap mampu mendukung tindakan

konservasi dan pengelolaan perikanan. Kontrol negara pelabuhan pada sistem

regional wilayah membutuhkan suatu prosedur umum untuk pemeriksaan,

persyaratan kualifikasi bagi pemeriksa, dan konsekuensi yang disepakati untuk

kapal penangkap ikan yang ditemukan tidak patuh aturan. Setiap pihak yang

ingin mendapatkan akses pelabuhan harus meregistrasikan nelayan dan kapal

yang terlibat. Selanjutnya diharuskan pula memberikan informasi tujuan masuk

kapal, salinan otoritas hasil tangkapan, rincian perjalanan penangkapan, jumlah

serta jenis hasil tangkapan. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui terlibat atau

tidaknya suatu kapal dalam praktik IUU fishing.

3Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Term of Reference, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 1.

Page 9: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

16

Pengaturan dalam PSM Agreement akan diadopsi pada level regional dan

nasional. Pengadopsian di tingkat regional yaitu melalui Regional Plan of

Actionm (RPOA) to promote responsible fishing practices including combating

illegal, unreported and unregulated fishing, serta ketentuan yang dibuat oleh

Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Beberapa RFMO yang

telah mengadopsi prinsip-prinsip PSM Agreement yaitu The South East Atlantic

Fisheries Organization (SEAFO), The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),

The Commission for the Conservation of Antartic Living Marine Resources

(CCAMLR), dan The International Commission for Conservation of Atlantic Tuna

(ICCAT). Implementasi PSM Ageement pada level nasional yaitu melalui

peraturan perundang-undangan nasional negara peserta. Beberapa negara

(meskipun belum menjadi pihak pada agreement tersebut) saat ini telah

menerapkan pengaturan mengenai PSM Ageement dalam peraturan perundang-

undangan nasionalnya, seperti Kanada, Amerika, Islandia, dan Afrika Utara4.

Indonesia saat ini telah menjadi anggota dari 2 (dua) RFMO, yaitu IOTC

(diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan

Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission) dan

CCSBT (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang

Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)5.

FAO (2009) menjelaskan bahwa PSM Ageement diaplikasikan dengan

tidak mengurangi hak, yurisdiksi, dan tugas nasional suatu negara, sehingga

dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan atau dikoordinasikan dengan sistem

yang lebih luas dari kontrol negara pelabuhan. Negara anggota nantinya akan

saling berkoordinasi dan bertukar informasi dengan FAO, organisasi internasional

lain dan RFMO. FAO ataupun RFMO akan memberikan daftar kapal yang terlibat

IUU fishing (IUU vessel list) untuk diantisipasi di negara pelabuhan.

FAO (2009) menjelaskan aturan yang diberlakukan untuk masuk ke

pelabuhan dicantumkan dalam tabel Annex A PSM Ageement (terlampir). Namun

4Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan

Indonesia, Ibid, hlm 2. 5Pembahasan Pending Issues Draft Agreement Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate IUU Fishing, Bahan Diskusi Terbatas, Jakarta, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 28 Juli 2009, hlm 1.

Page 10: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

17

untuk pengecualian yaitu pada saat berbahaya, setiap kapal dapat diijinkan masuk

pelabuhan untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan. Selain itu, akan

dilakukan pula pemeriksaan kapal sesuai dengan standar minimum ketentuan dan

prosedur yang diatur dalam Annex B PSM Ageement (terlampir). Pemeriksaan

dilakukan terhadap semua dokumen terkait, semua ruang di kapal, dan semua

peralatan di kapal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tetap menjamin bahwa

kapal tidak akan mendapatkan gangguan, ancaman politik, dan penundaan yang

akan berakibat pada penurunan mutu hasil tangkapan. Hasil pemeriksaan akan

didokumentasikan sebagai laporan dengan ketentuan yang terdapat dalam tabel

Annex C PSM Ageement (terlampir). Laporan ini akan dikirim kepada negara

terkait (negara pantai dan negara bendera), RFMO, dan FAO serta organisasi

internasional relevan lainnya dengan menggunakan sistem informasi sesuai aturan

dalam Annex D dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Pengawas akan

mendapatkan pelatihan dengan panduan yang terdapat dalam Annex E dalam

dokumen PSM Ageement (terlampir).

Selain itu, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan negara

pelabuhan jika mendapati kapal dengan praktik IUU fishing yaitu dilaporkan pada

negara bendera, negara pantai, RFMO, dan organisasi internasional lain atau

ditolak masuk pelabuhan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat

dilakukan dengan perundingan semua negara anggota; atau diajukan negoisasi,

penyelidikan, mediasi, perdamaian, arbitration, penyelesaian hukum, ganti rugi

(uang damai) dan cara damai lainnya; atau diserahkannya kepada pengadilan

internasional. Dokumen PSM Ageement menerangkan adanya perlakuan khusus

kepada negara berkembang yang merupakan negara anggota. Perlakuan tersebut

yaitu meliputi pemberian bantuan seperti bantuan peningkatan kualitas

sumberdaya manusia untuk peningkatan kesadaran dalam implementasi PSM

Ageement, bantuan fasilitas pendukung dan fasilitas teknik, serta bantuan finansial

terutama pada wilayah tertinggal dan pulau kecil. Dokumen PSM Ageement

diterbitkan dengan 6 (enam) bahasa sebagai naskah otentik yaitu dalam bahasa

Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol (FAO, 2009).

FAO (2009) menerangkan butir-butir yang diwajibkan kepada negara

pelabuhan dalam dokumen PSM Ageement adalah sebagai berikut:

Page 11: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

18

1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin

perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya

ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);

2. Melakukan pemeriksaan yaitu:

1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;

2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan

penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor

identifikasi IMO);

3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda

lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera

atau RFMO;

4) pemeriksaan logbook;

5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;

6) pemeriksaan daftar awak kapal;

3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas

kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

penangkapan ikan;

4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang

terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak

kapal;

5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh

pengawas dan kapten kapal;

6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan

7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode

internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil

tangkapan) seperti berikut.

countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code

species: FAO 3-alpha code

vessel types: FAO alpha code

gear types: FAO alpha code

devices/attachments: FAO 3-alpha code

ports: UN LO-code

Page 12: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

19

2.3 Hukum Indonesia

2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa

Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008.

Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang

memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap. Hal ini tergambar bahwa

produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2).

Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang

berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan.

Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui

pengaturan pengelolaan perikanan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5

ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar

wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundang-

undangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal

ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan

yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6

ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan

untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya

kelestarian sumberdaya ikan. Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan

lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama

pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan

pada Pasal 10.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi

yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan

sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang

semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut

dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan

dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

Page 13: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

20

tentang Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan

regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa

pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan

Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan

pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan

pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar

hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan

kebutuhan hukum dan teknologi.

2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU

fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang

memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi

Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan

praktik IUU fishing. Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan

bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan

yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang

menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing.

Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut

dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil

tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik

langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil

Tangkapan Ikan.

Page 14: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

21

2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan

Tangkap

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor

PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan

pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin

Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan

untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang

tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin

tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat

Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk

melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas

PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46

menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan

dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus

SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang

kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri

dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk

kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan

Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT)

dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal

baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi

penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai

dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI

dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT

kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas

Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan

(SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara

penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.

Page 15: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

22

Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan

Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan

pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI

(Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal

lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal

pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau

sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta

mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui

kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan

dalam SIPI, diatur dalam pasal 88. Menteri Kelautan dan Perikanan

mengeluarkan Peraturan terbarunya pada juni tahun 2011 yaitu

PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan

PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha

Perikanan Tangkap. Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011

masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6

(enam) bulan sejak tanggal pengundangan (6 Juni 2011).

2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal

Perikanan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009

tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap

kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk

kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara

Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan

Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan

adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal

perikanan.

Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi:

1) nama kapal;

2) nomor register;

3) tempat pembangunan kapal;

Page 16: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

23

4) tipe kapal;

5) jenis alat tangkap;

6) tonnage;

7) panjang kapal;

8) lebar kapal;

9) kekuatan mesin;

10) foto kapal;

11) nama dan alamat pemilik;

12) nama pemilik sebelumnya; dan

13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan

Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau

notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal

perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda

pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi:

1) tanda selar;

2) tanda daerah penangkapan ikan;

3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau

4) tanda alat penangkapan ikan.

Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal

sebagainya. Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi

pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang

diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal

ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang

terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan

praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas,

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang

Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat

mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing.

Page 17: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

24

2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal

Perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004

tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban

kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Hal ini

tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan

dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan

ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau

keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk

di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana

tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan

pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan

ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan

Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:

1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;

2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;

3) menerima formulir logbook Perikanan;

4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan

di bidang perikanan.

2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan,

kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat

atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan

Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:

1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;

2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan

oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas

pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6

dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin

Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan

Page 18: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

25

regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini,

merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik

IUU fishing. Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan

dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap

data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk

dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke

depannya. Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut

mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU

fishing. Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di

pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan

berlangsungnya IUU fishing.

2.4 Negara Pelabuhan

Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan

di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis

perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh

dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran

dan kegiatan penunjang perikanan (Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004). Pasal 7 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, menjelaskan fungsi pelabuhan

perikanan yaitu salah satunya sebagai pelaksana pengawasan terhadap

penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan mutu hasil perikanan.

Negara pelabuhan adalah negara dalam kapasitasnya yang memiliki pelabuhan di

wilayah teritorinya, memiliki hak untuk memutuskan aturan yang diberlakukan

dalam pelabuhan tersebut.

Darmawan (2006) menjelasakan bahwa terdapat 6 (enam) program atau

kewajiban yang direkomendasikan oleh FAO kepada Indonesia dalam cakupan

sebagai negara pelabuhan dan 4 (empat) diantaranya dianalisis telah dijalankan di

Indonesia. Enam kewajiban tersebut adalah sebagai berikut (butir pertama sampai

butir keempat adalah yang telah dijalankan):

Page 19: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

26

1. Mewajibkan kapal ikan asing untuk menyediakan minimal pemberitahuan awal

kedatangan ke pelabuhan yang cukup, salinan ijin penangkapan ikan, rincian

operasi penangkapan yang dilakukan dan jumlah hasil tangkapan di kapal;

2. Mewajibkan kapal jenis lain tetap terkait dengan usaha penangkapan untuk

menyediakan laporan yang sama;

3. Memberikan akses hanya pada pelabuhan yang memiliki kapabilitas untuk

melakukan inspeksi dan mengumpulkan data berikut yaitu :

1) identifikasi kapal dan asal negara,

2) nama, kebangsaan dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan ikan,

3) alat tangkap yang digunakan,

4) jumlah hasil tangkapan, asal, spesies dan bentuk produk,

5) total penangkapan dan yang telah dipindahkan ke kapal lain;

4. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di

wilayah perairannya;

5. Bila terdapat kecurigaan terhadap kapal yang dimaksud, maka:

1) melarang kapal untuk merapat atau memindahkan hasil tangkapannya,

2) segera mengirim laporan pada negara asal kapal,

3) segera mengirim laporan pada negara dimana kapal tersebut melakukan

pelangaran;

6. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di luar

yurisdiksi dengan persetujuan negara asal (pemberi bendera).

Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa pelaku praktik IUU fishing akan

mendaratkan hasil tangkapannya di suatu pelabuhan. Suatu negara pelabuhan

memiliki wewenang untuk memberikan ijin akses pelabuhan oleh suatu kapal di

wilayah yurisdiksinya. Suatu negara pelabuhan mampu membatasi dan mengatur

penggunaan pelabuhannya untuk mengatasi praktik IUU fishing. Setiap negara

memiliki otoritas penuh atas pelabuhannya. Pemerintah atau pihak negara

pelabuhan memiliki beberapa kewajiban dalam memanfaatkan pelabuhan

perikanannya, yaitu :

1. Mencegah masuknya kapal asing ke pelabuhan terkecuali dalam situasi yang

darurat;

Page 20: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

27

2. Melarang kapal asing mendaratkan atau melakukan transshipment hasil

tangkapan di pelabuhannya;

3. Mewajibkan kapal yang ingin berlabuh untuk menyiapkan informasi tentang

identitas dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan;

4. Melakukan inspeksi kapal di pelabuhan; dan

5. Mewajibkan kapal melengkapi salinan surat ijin penangkapan ikan, uraian rinci

tentang trip, dan volume ikan yang akan didaratkan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 41

menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan ikan

hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut ikan.

Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara pelabuhan yang memiliki akses

pelabuhan perikanan. FAO (2001) menjelaskan, akses pelabuhan dapat diartikan

sebagai ijin masuknya kapal penangkap ikan asing kepelabuhan atau dermaga

lepas pantai untuk tujuan, antara lain pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas

pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai

dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum

internasional lainnya yang relevan.

Analisis Darmawan dilakukan sebelum hadirnya dokumen PSM Ageement

(tahun 2009) yaitu pada tahun 2006. Draft Agreement on Port State Measures to

Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing hadir baru pada tahun 2007, sedangkan

PSM Ageement di adopsi pada tahun 2009 oleh FAO. Namun sebelumnya peran

negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing telah dimuat dalam dokumen

IPOA-IUU fishing tahun 2000. Hal yang sama terkait peran negara pelabuhan

juga pernah dijelaskan oleh Nikijuluw pada tahun 2008. Kesemuaan penjabaran

tersebut, tidak begitu mengalami perbedaan yang nyata dalam kurun waktu

pembahasannya. Hanya saja terdapat pengembangan secara mendetail pada

beberapa poin pada peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing tersebut.

Kehadiran PSM Ageement tentu sangat mendetail untuk setiap kewajiban negara

pelabuhan.

Pengesahan PSM Ageement merupakan upaya untuk melindungi kekayaan

laut dari penjarahan nelayan asing dan sekaligus melengkapi penguatan rezim

nasional (khususnya hukum laut dan perikanan). Setiap pihak atau negara

Page 21: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

28

anggota nantinya wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan yang

memungkinkan masuknya kapal perikanan ke pelabuhan. Daftar pelabuhan yang

ditunjuk tersebut, diserahkan kepada FAO untuk dipublikasikan. Negara

pelabuhan adalah pelaku pemeriksaan terhadap kapal di pelabuhannya. Setelah

melakukan pemeriksaan, negara pelabuhan memiliki kuasa untuk menolak masuk

dan menolak penggunaan pelabuhan bagi kapal yang terlibat IUU fishing. Hal ini

harus diberitahukan kepada Negara Bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO,

dan organisasi lainnya). Negara pelabuhan harus (jika memungkinkan)

membangun mekanisme komunikasi elektronik secara langsung dengan

mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan6.

2.5 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah suatu contoh yang merupakan himpunan bagian dari

populasi. Suatu penelitian akan memiliki keterbatasan untuk dapat menampung

semua anggota populasi, sehingga diperlukan pengambilan sampel yang dapat

mewakili populasi tersebut. Gulo (2000) menjelaskan bahwa teknik pengambilan

sampel dibagi atas dua kelompok besar yaitu probability sampling dan

nonprobability sampling. Probability sampling (random sample) adalah

pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi

tergantung kepada aplikasi kemungkinan. Derajat keterwakilannya dapat

diperhitungkan pada peluang tertentu. Sampel yang diperoleh dapat dipergunakan

untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Beberapa cara yang tergolong

dalam probability sampling yaitu simple random samplimg, stratified random

sampling, cluster random sampling, dan multistage random sampling. Random

sampling memberikan peluang yang sama besar terhadap setiap anggota populasi

untuk dapat diambil sebagai sampel.

Nonprobability sampling (non-random sample) adalah suatu teknik

pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi

dan penelitian perlu dilakukan secara cepat (Abadi, 2006). Eriyanto (2007)

menambahkan bahwa nonprobability sampling cenderung menghasilkan

subjektivitas peneliti yang sesuai dengan subjektivitas peneliti. Pihak yang

6Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 8-10.

Page 22: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

29

diwawancarai bukan sampel yang terpilih lewat prinsip hukum probabilitas,

melainkan karena alasan-alasan subjektivitas. Teknik nonprobability sampling

(non-random sample) dibagi ke dalam beberapa metode sebagai berikut:

1. Convenience

Convenience adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan tanpa

mekanisme tertentu (sembarang). Penarikan sampel tidak membebani berapa dan

siapa sampelnya. Kelebihan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan waktu yang

cepat dan biaya yang murah, namun kelemahannya yaitu di sisi metodologi yaitu

berkemungkinan terjadi penumpukan disuatu titik. Sampel yang ditemukan

sangat berkemungkinan untuk bias, karena ada kemungkinan peneliti

mendapatkan respon yang sangat tidak mencerminkan karakteristik populasi. Hal

ini terjadi karena teknik ini terlalu praktis dan tanpa prosedur. Sampel ini

sebaiknya digunakan dalam keadaan tertentu seperti:

1) keperluan penjajakan (penjaringan pendapat) yang hanya merupakan bahan

rancangan pembuatan kuisioner untuk studi lain;

2) keperluan deskripsi yang hanya untuk merumuskan pendapat masyarakat

untuk membuat suatu kesimpulan; dan

3) situasi yang tidak tersedia kerangka sampel yang memadai atau tidak ada

infomasi yang cukup mengenai populasi yang diteliti.

2. Quota (kuota)

Teknik quota adalah perbaikan dari teknik Convenience. Teknik kuota

memberikan batasan kriteria dan jumlah sampel yang akan diambil. Terdapat dua

langkah penarikan sampel kuota. Langkah pertama, membuat kategori dan

jumlah pihak yang akan menjadi sampel yang dituangkan ke dalam matriks. Hal

inilah yang menjadi dasar pemilihan responden. Sampel kuota mirip gabungan

antara sampel stratifikasi (Stratified sampling) dan sampel sembarangan

(Convenience sampling). Peneliti membuat pengelompokan agar sesuai dengan

stratifikasi dalam populasi, namun pemilihan sampe dapat dipilih siapapun asal

sesuai dengan karakteristik yang ditentukan. Proses penting dari sampel ini

adalah saat menentukan kategori dan jumlah orang dalam masing-masing

kategori. Penentuan kategori ini sebisa mungkin ditunjang dengan riset

kepustakaan agar kategori yang dibuat sesuai dengan kategori populasi.

Page 23: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya ... Program pelatihan untuk pengawas dari negara ... integrasi dan koordinasi

30

3. Purposive

Sampel purposive dilakukan melalui pemilihan sampel dengan

pertimbangan tertentu dari peneliti yang secara sengaja namun dengan alasan

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Populasi sampel dianggap

memiliki karakter yang homogen.

4. Snowball

Sampel snowball yaitu sesuai dengan definisi kata ‘snowball’ artinya

mengelinding dengan bulatan kecil dan terus-menerus hingga menjadi besar.

Dalam perkembangannya jumlah orang yag dijadikan sampel akan terus

berkembang sampai jumlah terpenuhi. Teknik sampel ini dipakai pada kondisi

survei yang sangat spesifik, tidak ada kerangka sampel, dan tidak ada informasi

yang digunakan untuk mendata populasi. Asumsinya bahwa anggota dari

populasi saling berhubungan dan berjaringan. Penentuan beberap sampel akan

secara langsung dapat menentukan sampel berikutnya.