2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam 2.1.1 ... · memadai, dan lokasinya mudah...

37
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam 2.1.1. Pengertian Konservasi Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use) konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana upaya konservasi tidak hanya usaha perlindungan tetapi juga pemanfaatan secara lestari. Konservasi dapat pula dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan (DJPKA, 2000), sebagai berikut: 1) Konservasi adalah menggunakan sumber daya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama; 2) Konservasi adalah alokasi sumber daya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial; 3) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survei, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan; 4) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang. Secara keseluruhan, konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH) adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (DJPKA, 2000). KSDAH ataupun konservasi biologi pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu dasar dan ilmu terapan yang berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatannya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah

Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam 2.1.1 ... · memadai, dan lokasinya mudah...

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konservasi Sumber daya Alam

2.1.1. Pengertian Konservasi

Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con

(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya

memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara

bijaksana (wise use) konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana

upaya konservasi tidak hanya usaha perlindungan tetapi juga pemanfaatan secara

lestari. Konservasi dapat pula dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana

konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam

untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi

sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Apabila merujuk

pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan (DJPKA,

2000), sebagai berikut:

1) Konservasi adalah menggunakan sumber daya alam untuk memenuhi

keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama;

2) Konservasi adalah alokasi sumber daya alam antar waktu (generasi) yang

optimal secara sosial;

3) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme

hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia

yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survei,

penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan;

4) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga

dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat

diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang.

Secara keseluruhan, konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH) adalah

pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara

bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (DJPKA,

2000). KSDAH ataupun konservasi biologi pada dasarnya merupakan bagian dari

ilmu dasar dan ilmu terapan yang berasaskan pada pelestarian kemampuan dan

pemanfaatannya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah

12

untuk terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta kesinambungan

ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,

perlu dilakukan strategi dan juga pelaksanaanya. Di Indonesia, kegiatan

konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan

masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat,

perguruan tinggi, serta pihak-pihak lainnya. Strategi konservasi nasional telah

dirumuskan ke dalam tiga hal berikut pelaksanaannya (DJPKA, 2000), yaitu :

1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK)

(1) Penetapan wilayah PSPK;

(2) Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK;

(3) Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK;

(4) Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK;

(5) Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK.

2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

(1) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan eks-situ konservasi).

3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(1) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;

(2) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk: pengkajian,

penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan,

peragaan, pertukaran, budidaya).

2.1.2. Kawasan Konservasi Alam

Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang dilindungi dan

ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan berbagai kriteria, sesuai dengan

kepentingannya. Setiap negara mempunyai kriteria untuk penetapan kawasan

yang dilindungi, sesuai dengan tujuan yang berbeda dan perlakuan yang mungkin

berbeda pula. Namun di tingkat internasional dibentuk komisi seperti Commission

on National Park and Protected Areas (CNPPA) yaitu komisi untuk taman

nasional dan kawasan yang dilindungi yang berada di bawah IUCN yang memiliki

tanggung jawab khusus dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi di darat

maupun perairan. Sebanyak 124 negara di dunia telah menetapkan setidaknya satu

13

kawasan koservasinya sebagai taman nasional (bentuk kawasan dilindungi yang

populer dan dikenal luas).

Apabila suatu negara tidak memiliki kawasan yang dilindungi khusus

karena sulit untuk memenuhi standar yang ditetapkan, maka mereka dapat

mengelola kawasan alternatif seperti hutan produksi yang dialihkan sebagai

kawasan dilindungi sehingga pengurangan plasma nutfah dapat ditekan. Kategori

klasifikasi kawasan yang dilindungi, harus dirancang agar pemanfaatan seimbang,

sehingga tidak lebih mementingkan salah satu fungsi. Beberapa persyaratan dalam

penetapan kategori kawasan yang dilindungi (DJPKA, 2000) adalah sebagai

berikut:

1) Karakteristik kawasan yang didasarkan pada kajian mencakup ciri-ciri biologi

dan ciri lain sebagai tujuan pengelolaan;

1) Jenis pengelolaan yang diperlukan sesuai dengan tujuan pelestarian;

2) Kerapuhan ekosistem (spesies) yang hidup di dalam kawasan;

3) Kadar pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan;

4) Tingkat permintaan konsumen dan kepraktisan pengelolaan.

Secara umum, tujuan utama dari pengelolaan kawasan dilindungi adalah :

1) Penelitian ilmiah;

2) Perlindungan daerah liar/rimba;

3) Pelestarian keanekaragaman spesies dan genetik;

4) Pemeliharaan jasa-jasa lingkungan;

5) Perlindungan fenomena-fenomena alam dan budaya yang khusus;

6) Rekreasi dan wisata alam;

7) Pendidikan (lingkungan);

8) Penggunaan lestari dari sumber daya alam yang berasal dari ekosistem alami;

9) Pemeliharaan karakteristik budaya dan tradisi.

Berdasarkan tujuan manajemen tersebut, maka kawasan dilindungi dikelola dalam

berbagai kategori pengelolaan kawasan yang ditetapkan oleh IUCN sebagai

berikut :

1) a. Cagar alam mutlak (strict nature protection)

b. Daerah liar/rimba (wilderness area)

2) Konservasi ekosistem dan rekreasi, misalnya taman nasional;

14

3) Konservasi fenomena alam;

4) Konservasi melalui kegiatan manajemen aktif misalnya kawasan pengelolaan

habitat;

5) Konservasi bentang alam, laut dan rekreasi;

6) Pemanfaatan lestari ekosistem alam.

Kriteria umum bagi jenis kawasan yang dilindungi adalah :

1) Taman Nasional, yaitu kawasan luas, relatif tidak terganggu dan mempunyai

nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi

rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan terdapat manfaat yang

jelas bagi wilayah tersebut.

2) Cagar Alam, umumnya kecil, dengan habitat rapuh yang tidak terganggu oleh

kepentingan pelestarian yang tinggi, memiliki keunikan alam, habitat spesies

langka, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak.

3) Suaka Margasatwa, yaitu kawasan berukuran sedang atau luas dengan habitat

stabil yang relatif utuh serta memiliki kepentingan pelestarian mulai sedang

hingga tinggi.

4) Taman Wisata, yaitu kawasan alam atau lanskap yang kecil atau tempat yang

menarik dan mudah dicapai pengunjung, dimana nilai pelestarian rendah atau

tidak akan terganggu oleh kegiatan pengunjung dan pengelolaan yang

berorientasi rekreasi.

5) Taman Buru, yaitu habitat alam atau semi alami berukuran sedang hingga

besar, yang memiliki potensi satwa yang boleh diburu yaitu jenis satwa besar

(babi hutan, rusa, sapi liar, ikan, dan lain-lain) yang populasinya cukup besar,

dimana terdapat minat untuk berburu, tersedianya fasilitas buru yang

memadai, dan lokasinya mudah dijangkau oleh pemburu. Cagar semacam ini

harus memiliki kepentingan dan nilai pelestarian yang rendah yang tidak akan

terancam oleh kegiatan perburuan atau pemancingan.

6) Hutan Lindung, yaitu kawasan alami atau hutan tanaman berukuran sedang

hingga besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah tererosi, serta tanah yang

mudah terbasuh hujan, dimana penutup tanah berupa hutan adalah mutlak

perlu untuk melindungi kawasan tangkapan air, mencegah longsor dan erosi.

Prioritas pelestarian tidak begitu tinggi untuk dapat diberi status cagar.

15

2.2. Ekowisata

2.2.1. Pengertian Ekowisata

Merujuk pada dua kata eco dan tourism, yang ketika di indonesiakan

menjadi kata eko dan turisme atau eko dan wisata. Makna dasar dari dua kata

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, eco yang dalam bahasa greek (yunani)

berarti rumah, dan tourism yang berarti wisata atau perjalanan (Fandeli dan

Mukhlison, 2000). Pengertian selanjutnya kata eko dapat diartikan sebagai

ekologi atau ekonomi sehingga dari kedua kata tersebut akan memunculkan

makna wisata ekologis (ecological tourism) atau wisata ekonomi (economic

tourism). Namun demikian, hingga dewasa ini masih diperdebatkan para ahli

mengenai makna dari kata dasar tersebut.

Para ahli ekoturisme yang tergabung dalam ecotourism society

menyatakan bahwa ecotourism merupakan ”responsible travel to the natural

areas that conserves the environment and sustains the well being of local people“

(Fandeli dan Mukhlison, 2000). Kemudian konsep tersebut dipertegas dengan

menggabungkan suatu komitmen kuat terhadap alam, rasa tanggung jawab sosial

para wisatawan untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Pengertiannya diperluas

lagi bahwa ekowisata sebagai hal yang menciptakan dan memuaskan suatu

keinginan alam, yang berhubungan dengan potensi wisata untuk konservasi dan

pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi.

World Tourism Organisation (WTO) dan United Nations Environment

Program (UNEP) menyatakan “Ecotourism involves traveling to relatively

undisturb natural areas with the specific objective of studying, admiring, and

enjoying the scenery and its wild plants and animals as well as any existing

cultural aspect found in those area” dan oleh The Adventure Travel Society yang

diacu dalam Garraway et al. (1998) mendefinisikan ecotourism sebagai

“environmentally responsible travel to experience the natural areas and culture of

a region while promoting conservation and economically contribution to local

communities”.

Namun demikian, pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan

dari waktu ke waktu. Pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk

wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami

16

(natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan

budaya bagi masyarakat setempat (Dowling, 1995). Atas dasar pengertian ini,

bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang

dilakukan oleh penduduk dunia.

Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The

Ecotourism Society (1990) yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison (2000)

sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami

yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan

kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan

oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh

dan lestari, selain budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.

Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini

berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Ekowisata kemudian

didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan

bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan

industri pariwisata (Eplerwood, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison,

2000). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah

berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional

berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.

Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran baru yang

berkait dengan pengertian ekowisata. Fenomena pendidikan diperlukan dalam

bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Australian Department

of Tourism (Black, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000) yang

mendefinisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan

aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya

masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi

penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk

pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative

tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.

Selanjutnya, definisi tentang konsep ekowisata yang disebutkan pada UU

No. 9 tahun 1990 pasal 16 sebagai kelompok-kelompok obyek dan daya tarik

wisata, yang diperkuat oleh PP No. 18 tahun 1994, sebagai perjalanan untuk

17

menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata

alam, sehingga ekowisata lebih menekankan pada faktor daerah alami, sebagai

suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung

konservasi. Silver (1997); Dymond (1997) memberikan batasan-batasan ruang

lingkup ekowisata sebagai berikut:

1) Menginginkan pengalaman asli;

2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial;

3) Tidak ada rencana perjalanan yang ketat;

4) Tantangan fisik dan mental;

5) Ada interaksi dengan budaya dan penduduk setempat;

7) Toleran pada ketidaknyamanan;

8) Bersikap aktif dan terlibat;

sedangkan Choy dan Heilbron (1997) memberikan batasan lima faktor pokok

yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, serta

keberlanjutan. Ekowisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang

terkait dengan mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, meningkatkan

kesadaran lingkungan, bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, serta

menyumbang langsung pada keberkelanjutan, sehingga ekowisata ini memberikan

kesempatan pada negara-negara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki

guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak

sumber daya alam.

Konsep tersebut didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan

ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari

segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati

dan menghargai alam, mendukung konservasi, dampak negatif pengunjung yang

rendah serta memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan

aktif mereka secara sosial dan ekonomi.

Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata

yang berlabel ekowisata, yaitu (1) wisata berbasis alam, (2) kawasan konservasi

sebagai pendukung obyek wisata, (3) wisata yang sangat peduli lingkungan, dan

(4) wisata yang berkelanjutan. Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi

18

Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata,

yaitu:

1) Nature based, yaitu ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam

itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya

keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan

sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata;

2) Ecologicaly sustainable, bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua

fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik,

dimana perubahan-perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsi-

fungsi ekologis;

3) Environmentally educative, melalui kegiatan yang bersifat positif terhadap

lingkungan, diharapkan dapat mempengaruhi perilaku wisatawan dan

masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu

kelestarian dalam jangka panjang;

4) Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yaitu dengan melibatkan masyarakat

dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat

secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat;

5) Kepuasan wisatawan, yaitu kepuasan akan pengalaman yang didapat dari

fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan

penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat.

2.2.2. Prinsip Ekowisata

Pengembangan ekowisata seyogyanya dapat menjamin keutuhan dan

kelestarian dari ekosistem yang dimanfaatkan. Ecotraveler menghendaki

persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa

butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh

prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ramah

lingkungan dari pembangunan berbasis kerakyatan. The Ecotourism Society

(Eplerwood, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000) menyebutkan

ada beberapa prinsip ekowisata, yaitu:

1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam

dan budaya, dimana pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat

dan karakter alam dan budaya setempat;

19

2) Pendidikan konservasi lingkungan dengan mendidik wisatawan dan

masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi;

3) Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi dan conservation tax dapat

dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan

meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam;

4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar

terlibat dalam perencanaan dan pengawasan;

5) Penghasilan masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga

terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan alam;

6) Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas

tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam;

7) Daya dukung sebagai pembatas pemanfaatan; daya tampung dan

pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung

lingkungan;

8) Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah pusat dan daerah).

2.2.3. Konsep Pengembangan Ekowisata

Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara

pengembangan wisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan.

Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek pasar. Sebenarnya

pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep produk driven. Meskipun

aspek pasar perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan

daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan

keberadaannya (Gunn, 1994).

Konsep pengembangan ekowisata harus sejalan dengan misi pengelolaan

konservasi yang mempunyai tujuan, yaitu:

1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem

kehidupan;

2) Melindungi keanekaragaman hayati;

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya;

4) Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.

Hakekatnya ekowisata terdapat upaya pelestarian alam dan budaya

masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan pembangunan wisata lainnya.

20

Pembangunan ekowisata jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam

dibanding dengan pembangunan lainnya. Sebab ekowisata tidak melakukan

eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Dowling,

1997).

2.2.4. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan

konservasi. Pendekatan ini mengandung makna tidak hanya pengelolaan alam dan

budaya masyarakat dengan menjamin kelestarian dan kesejahteraannya, tetapi

juga merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam

untuk waktu kini dan masa mendatang. Definisi lain menyebutkan bahwa

konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha

memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.

Destinasi yang diminati wisatawan ecotour umumnya merupakan daerah

yang relatif masih alami. Beberapa kawasan yang masih memiliki area alami

dapat berupa taman nasional, taman hutan raya, taman wisata dan taman buru.

Tetapi kawasan lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek

alam sebagai daya tarik dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata.

Area alami suatu ekosistem pesisir, danau, rawa, gambut, daerah hulu atau muara

sungai dapat pula dipergunakan untuk kegiatan ekowisata.

Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut

tetap lestari sebagai areal alam. Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat

menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti

halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem

kehidupan;

2) Melindungi keanekaragaman hayati;

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya;

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan

pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan

dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian

pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat

21

setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan

kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur

conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan

masyarakat lokal (Masberg dan Morales, 1999).

Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat

meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta

meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi

alam, sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi

lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga

kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 2001).

Ekowisata tidak setara dengan wisata alam. Tidak semua wisata alam akan

dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan

lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan

tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.

Secara keseluruhan ekowisata merupakan perjalanan menikmati alam

berbasiskan lingkungan sehingga membuat orang memiliki ketertarikan untuk

mempelajari tentang sejarah dan kultur dari wilayah yang dikunjungi, serta

memberikan manfaat ekonomi dan sosial pada masyarakat setempat sehingga

meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mendukung konservasi sumber daya

alam melalui interpretasi dan pendidikan lingkungan.

Untuk itu, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi

keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), meliputi :

1) Adanya konservasi sumber daya alam yang sedang berlangsung;

2) Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian

di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan;

3) Tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk beluk

ekosistem kawasan;

4) Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena

ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang

zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui

dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

22

5) Tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumber

daya alam di dalam kawasan; dan

6) Tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan

prasarana wisata.

2.2.5. Penilaian Pengelolaan Ekowisata

2.2.5.1. Nilai Daya Dukung dan Kesesuaian Kawasan

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan

pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan, melalui ukuran

kemampuannya. Konsep ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan

atau degradasi dari suatu tempat sumber daya alam dan lingkungan, sehingga

kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat terwujud, dan pada saat dan ruang

yang sama, juga pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap

berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Butler, 2002).

Batasan daya dukung untuk jumlah wisatawan merupakan jumlah individu

yang dapat didukung oleh satuan luas sumber daya dan lingkungan dalam keadaan

sejahtera (Stephen dan David, 2001). Jadi daya dukung ini mempunyai dua

komponen yang harus diperhatikan:

1) Besarnya atau jumlah wisatawan yang akan menggunakan sumber daya

tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik;

2) Ukuran atau luas sumber daya alam dan lingkungan yang dapat memberikan

kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari.

Daya dukung tidak saja melakukan penilaian terhadap segi ekologis dan

fisik tetapi juga dapat memperkirakan nilai daya dukung dari segi sosial. Dalam

bidang pengelolaan suatu obyek, contoh-contoh umum digunakan untuk

perhitungan daya dukung dari segi sosial ini misalnya penilaian yang dilakukan

terhadap pengalaman dari wisatawan pada suatu obyek pada tingkat pembangunan

kawasan wisata tertentu atau penilaian terhadap terjadi perubahan perilaku sosial

dari masyarakat (misalnya perilaku yang bersifat negatif seperti vandalism).

Penilaian terhadap bentuk konflik antar kelompok sosial akibat stres

karena tidak sesuainya jumlah pengguna dan fasilitas yang terdapat atau

disediakan pada kawasan tersebut. Selanjutnya bergantung pada tingkat lestari

dari sumber daya alam dan lingkungan serta dari tingkat kesejahteraan atau

23

kepuasan tertentu yang ingin dicapai oleh masyarakat pemakai/penggunanya,

maka pengukuran daya dukung ini juga dapat digunakan untuk berbagai bentuk

tujuan, manfaat dan kepentingan lainnya. Beberapa ragam daya dukung

(Nurisyah et al. 2003), yaitu:

(1) Daya dukung ekologis

Daya dukung ekologis kawasan, dapat dinyatakan sebagai tingkat

maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah

maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu

penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk

estetika lingkungan yang dimilikinya.

Pendekatan ekologis atau pendekatan terhadap ekosistem ini, selain dapat

digunakan untuk mendapatkan gambaran daya dukungnya juga dapat digunakan

untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang

diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang

berlebihan (eksploitatif). Sebagai contoh, indikator kerusakan ekosistem atau

lingkungan yang diakibatkan kegiatan rekreasi pengunjung pada suatu kawasan

wisata antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada

vegetasi (hilang), habitat satwa (menurun atau hilangnya populasi), degradasi

tanah, kualitas air (pencemaran limbah, sampah), bertumpuknya sampah,

kerusakan visual dari obyek wisata alam yang potensial, serta berbagai bentuk

vandalisme lainnya.

(2) Daya dukung sosial

Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari

persepsi seseorang dalam menggunakan ruang dan waktu yang bersamaan, atau

persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam

memanfaatkan suatu areal tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat

kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh

over-crowding pada suatu kawasan.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat

maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan di mana

dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan

24

penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pemakai pada

kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial

budaya manusia pemakai ruang tersebut merupakan gambaran telah

terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Dampak negatif akibat

terganggunya daya dukung sosial dapat dilihat dari pertengkaran ”perebutan

teritorial” dari kelompok tertentu. Ketidaknyamanan sosial dalam bermain atau

berekreasi karena adanya gangguan sosial, ketakutan dan kecurigaan.

Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan ekowisata, maka harus

terlebih dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian ini.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan kawasan

ekowisata ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

1) Faktor wisatawan (pengunjung area wisata);

2) Faktor biofisik lingkungan kawasan

karena umumnya penyebaran pengunjung/wisatawan dalam ruang (kawasan atau

bagian-bagian dari suatu kawasan wisata) dan waktu tidak merata maka daya

dukung lingkungan menjadi sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata

ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang

dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu.

Secara umum beberapa hal yang dapat mempengaruhi daya dukung

kawasan ekowisata, yaitu:

1) Tingkat atau intensitas penggunaan (tinggi, cukup, rendah);

2) Tipe kelompok pengunjung (jumlah, umur, keluarga, kelompok profesional);

3) Perilakunya dalam menggunakan kawasan (baik, toleran, akomodatif,

merusak/mengganggu);

4) Sebaran dan konsentrasi pengunjung pada obyek-obyek wisata tertentu;

5) Fasilitas yang tersedia.

Berdasarkan pengamatan WTO dan UNEP (1992) yang diacu dalam

Nurisyah et al. (2003), faktor-faktor yang dapat atau akan mempengaruhi daya

dukung kawasan ekowisata, adalah:

1) Ukuran ruang atau area yang digunakan;

2) Kerapuhan (fragility) atau kepekaan sumber daya alam dan lingkungan;

3) Topografi dan vegetasi penutup;

25

4) Sumber daya hidupan liar (wildlifes) yang meliputi penyebaran, jumlah,

keanekaragaman, spesies kunci/utama dan yang menarik;

5) Kepekaan spesies satwa tertentu terhadap kunjungan wisatawan.

Pengelolaan suatu kawasan wisata yang berdasarkan nilai daya dukung,

umumnya tidak bersifat absolut tetapi probabilistik. Hal ini disebabkan banyaknya

faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya terhadap kelestarian yang dapat

diberikan oleh sumber daya alam dan lingkungan untuk wisata ini, tetapi juga

terhadap kepuasan dan kenyamanan serta keamanan pengunjung (Selin, 1999).

Karena itu maka bentuk dan intensitas serta model pengelolaan yang direncanakan

akan sangat penting artinya guna penentuan besaran daya dukung ini.

Menurut Wolters (1991) diacu dalam Ceballos dan Lascurain (1996) daya

dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya

dukung lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kegiatan wisata dan

pengembangannya. Daya dukung ekowisata diartikan sebagai tingkat atau jumlah

maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata

alam. Sedangkan menurut Saveriades (2000) bahwa daya dukung dalam wisata

merupakan kemampuan daerah tujuan wisata menerima kunjungan sebelum

dampak negatif timbul dan kedua sebuah level dimana arus turis mengalami

penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari dalam tingkah laku

turis itu sendiri, sehingga konsep daya dukung dalam konteks wisata terpusat pada

dua hal: (1) biophysical components; dan (2) behavioral components (Savariades,

2000). Biophysical components terkait dengan integritas sumber daya yang

berimplikasi pada suatu batas (threshold) terhadap pemanfaatan sumber daya dan

behavioral components merefleksi kualitas pengalaman wisata dari turis.

Menurut Davis dan Tisdell (1996) daya dukung di dalam wisata

didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang dapat ditoleransi tanpa

menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem atau lingkungan dan pada

saat yang sama tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Jika daya dukung tersebut

dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumber daya, akibatnya kepuasan

pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi

ekonomi dan budaya masyarakat.

26

Setiap kawasan mempunyai kemampuan tertentu didalam menerima

wisatawan, yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan

dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya

dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan,

malainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana

itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan

menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk

kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan

perkembangan wisata itu.

Analisis kesesuaian yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian lahan,

artinya alokasi pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan wisata bahari harus

berkesesuaian baik ditinjau dari aspek bio-fisik maupun aspek sosial ekonomi dan

lingkungan. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan

penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas) suatu lahan serta pola tata

guna tanah yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya, sehingga dapat

diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha-usaha

pemeliharaannya.

Didalam pengelolaan kawasan pesisir untuk wisata, agar tetap

berkelanjutan ada tiga persyaratan daya dukung lingkungan. Pertama, bahwa

aktivitas wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis)

sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari

kegiatan wisata hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, dan Ketiga, bahwa

tingkat pemanfaatan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable resources)

hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun

waktu tertentu.

2.2.5.2. Nilai Ekonomi Ekowisata

Sumberdaya lingkungan merupakan penyedia barang dan jasa yang

memberikan manfaat ekonomis (Djajadiningrat, 2001). Barang lingkungan berupa

barang dan jasa dapat digunakan baik oleh manusia sebagai konsumen maupun

produsen. Sebagai konsumen manusia dapat menikmati atau mengkonsumsi

keindahan alam, air dan udara bersih. Sebagai produsen, manusia dapat

memanfaatkan barang dan jasa dari sumberdaya untuk kegiatannya.

27

Barang lingkungan sebagai salah satu dari barang-barang bebas adalah

barang yang secara fisik kuantitatif tidak terukur. Demikian juga tidak dapat

langsung dinilai dengan uang. Walaupun tidak dapat terkuantifikasi, barang

tersebut merupakan komoditi yang banyak digunakan atau dimanfaatkan orang.

Barang demikian dikenal sebagai non-marketable goods, yaitu suatu komoditi

yang tidak memiliki sistem pasar, seperti keindahan alam, kejernihan air sungai

dan danau, air tanah dan udara bersih.

Dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan

berkelanjutan, diperlukan pengetahuan mengenai manfaat sumberdaya alam

secara menyeluruh, baik manfaat yang nyata (tangible) maupun manfaat yang

tidak dapat dinyatakan secara jelas (intangible). Kedua manfaat tersebut perlu

dikelola dengan seimbang agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.

Kawasan pesisir merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki

manfaat tangible misalnya ikan, udang, kepiting, kayu, dan sebagainya, dan

manfaat intangible seperti keindahan, kejernihan, keunikan dan sebagainya

(Fauzi, 2006). Dalam upaya pengelolaannya, perhitungan sumberdaya alam harus

didasarkan pada kedua manfaat tersebut, sehingga alokasi manfaatnya dapat

mencapai tingkat yang optimal.

Ketidakmampuan pasar dalam menilai manfaat intangible sumberdaya

alam menyebabkan nilai tersebut tidak dapat diduga secara kuantitatif. Manfaat

fungsi ekologis memang sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan

menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Penggunaan metode analisis biaya dan

manfaat (Cost-Benefit Analysis atau CBA) yang konvensional sering tidak mampu

menjawab permasalahan tersebut karena konsep CBA yang konvensional sering

tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Kondisi ini pada

akhirnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya

valuasi non-market (Fauzi, 2006).

Tujuan dari penilaian ekonomi ini, untuk dapat menempatkan lingkungan

supaya dikenal sebagai bagian integral dari setiap sistem ekonomi yang nilainya

digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat (Fauzi dan

Anna, 2005). Dalam pengukuran nilai sumber daya alam tidak selalu bahwa nilai

tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya, yang diperlukan

28

di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan dalam membayar masyarakat

untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumber daya (Fauzi, 2006).

Jadi nilai ekonomi disini didefinisikan sebagai pengukuran jumlah

maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh

barang dan jasa lainnya. Konsep ini disebut dengan keinginan untuk membayar

(WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya dan

lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa

dikonversikan ke dalam nilai ekonomi.

Pendekatan kesediaan membayar juga digunakan untuk menilai manfaat

intangible dari sumberdaya pesisir yang tidak dapat dinilai secara kuantitatif oleh

mekanisme pasar. Pada pelaksanaanya, pendekatan ini sama saja dengan

pendugaan kurva permintaan yang menggambarkan besarnya keinginan

membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat manfaat intangible

yang dikonsumsinya. Dalam penilaian manfaat wisata dari sumberdaya pesisir,

pendekatan kesediaan membayar dilakukan dengan pendugaan kurva permintaan

yang menggambarkan kesediaan dari para pengunjung untuk membayar biaya-

biaya yang perlu dikeluarkan untuk dapat menikmati suatu kegiatan wisata.

Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan

dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik

valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap

melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang

mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Beberapa

teknik yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic

Pricing, dan Random Utility Model.

Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei

dimana WTP diperoleh langsung dari responden, yang diungkapkan secara lisan

maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah

Contingent Valuation Method, dan Discrete Choice Method.

Pada umumnya, nilai ekonomi manfaat wisata dihitung dengan

menggunakan Contingent Valution Method, Hedonic Pricing dan Travel Cost

Method (Fauzi, 2006).

29

1) Travel Cost Method (TCM)

Metode biaya perjalanan ini dikembangkan untuk menilai kegunaan dari

barang non-market. Alam secara khusus tidak memegang harga dalam pasar

sehingga kita harus menemukan alternatif yang dimaksudkan untuk

memperkirakan nilainya (Pierce, 2006). Menurut Hufschmidt (1987), pendekatan

biaya perjalanan merupakan suatu cara menilai barang yang tidak memiliki harga.

Di negara maju, pendekatan ini telah dipakai secara meluas untuk mendapatkan

kurva permintaan barang-barang wisata.

Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap

individu untuk mengunjungi tempat wisata. Diketahuinya pola pengeluaran dari

konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada

sumber daya alam dan lingkungan. Pendekatan biaya perjalanan berhubungan

dengan tempat khusus dan mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan wisata

pada umumnya (Hufschmidt, 1987).

Fauzi (2006) juga menambahkan bahwa tujuan kerja TCM untuk

mengetahui nilai sumber daya alam yang atraktif dari suatu tempat wisata, yang

dilakukan melalui pendekatan proxy. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk

mengkonsumsi jasa dari sumber daya alam digunakan proxy untuk menentukan

harga dari sumber daya alam tersebut.

Menurut Kusumastanto (2000) TCM merupakan salah satu teknik

penilaian yang dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan wisata alam;

(2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap

respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total merupakan

biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen merupakan

nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Hanley dan Spash (1993)

menyatakan asumsi yang dipakai dalam kebanyakan penelitian yang

menggunakan metode perjalanan adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen

terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat terpisah.

Secara umum terdapat dua teknik yang digunakan dalam menentukan nilai

ekonomi berdasarkan TCM, yaitu Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan

Individual Travel Cost Method (ITCM). ZTCM merupakan pendekatan yang

relatif mudah dan murah. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur nilai dari jasa

30

wisata dari sebuah tempat secara keseluruhan. ZTCM diaplikasikan dengan

mengumpulkan informasi dari jumlah kunjungan ke tempat wisata dari berbagai

daerah atau zona.

Pada Zonal Travel Cost Method (ZTCM) tempat wisata diidentifikasi

berdasarkan kawasan yang mengelilinginya dibagi ke dalam zona konsentrik yang

semakin jauh yang menunjukkan peringkat biaya perjalanan yang semakin tinggi.

Survei terhadap para pemakai tempat wisata kemudian dilakukan pada tempat

wisata untuk menentukan zona asal, tingkat kunjungan, biaya perjalanan, dan

berbagai karakteristik sosial ekonomi. Informasi dari contoh para pengunjung

dianalisis dan data yang dihasilkan digunakan untuk meregresi tingkat kunjungan

yang dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan berbagai variabel sosial ekonomi.

Dalam hal ini, biaya perjalanan dan waktu akan meningkat seiring dengan

meningkatnya jarak, maka informasi yang didapat memungkinkan peneliti untuk

memperhitungkan jumlah kunjungan di berbagai harga. Informasi tersebut

digunakan untuk membangun fungsi permintaan dan mengestimasi surplus

konsumen atau keuntungan ekonomi untuk jasa rekreasi dari sebuah tempat.

ITCM (individual travel cost method) pada dasarnya serupa dengan

ZTCM, tetapi menggunakan data survei yang berasal dari pengunjung secara

individu dalam analisis statistik daripada data dari setiap zona. Metode ini

memerlukan pengumpulan data yang lebih banyak dan analisis yang lebih sulit

tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat.

Peralihan metode biaya perjalanan dari ZTCM menjadi ITCM dalam

menurunkan nilai surplus konsumen disebabkan beberapa hal, pertama sering

analisa yang dilakukan didasarkan pada willingness to pay individual. Hal yang

kedua adalah karena pengamatan sering kali teramat kecil dibandingkan dengan

keseluruhan zona, ketiga sering ditemui situasi dimana sejumlah individu

melakukan perjalanan dari daerah asal yang umum dan selanjutnya terdispersi

dalam kelompok-kelompok kecil menuju lokasi wisata sekitarnya. Sebab lain

yaitu karena individu tidak semata-mata ingin menikmati pariwisata saja tetapi

mungkin kombinasi dari melihat-lihat, berburu, dan sebagainya.

Metodologi ITCM secara prinsip sama dengan ZTCM (Mehmet dan

Turker, 2006) namun ITCM menggunakan data dari survei setiap pengunjung

31

dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini

memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan

memberikan hasil yang lebih tepat.

Sedangkan Grigalunas et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga model

travel cost, yaitu (1) zonal travel cost, (2) individual tracel cost, dan (3) discrete

choice travel cost, yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi

perjalanan yang tidak kontinu, di mana individu mengunjungi suatu lokasi sekali

per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh

jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak ke

lokasi terpilih.

Dalam membangun fungsi permintaan dalam TCM diperlukan asumsi

dasar agar penilaian sumberdaya alam dengan metode ini tidak bias. Menurut

Haab dan McConnel (2002) yang diacu dalam Fauzi (2006), fungsi permintaan

harus dibangun dengan asumsi dasar, antara lain:

1) Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari

rekreasi;

2) Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun

disutilitas;

3) Perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multitrips).

Kelebihan dari ITCM dibandingkan dengan ZTCM diantaranya :

1) Lebih efisien dari sisi statistik (proses perhitungan);

2) Konsistensi teori dalam perumusan model permintaan dan perilaku individu;

3) Menghindari keterbatasan zonal atau lokasi;

4) Menambah heterogenitas karakteristik populasi pengunjung diantara suatu

zona, serta mengeliminasi efek pengunjung dengan tingkat kunjungan nol

(non-participant).

Meski dianggap sebagai suatu pendekatan praktis, TCM memiliki

beberapa kelemahan, yaitu:

1) TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki

satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Artinya TCM tidak

menelaah aspek kunjungan ganda (multipurpose visit), padahal pada

32

kenyataannya seorang individu bisa saja mengunjungi tempat lain terlebih

dahulu sebelum ke tempat wisata yang kita maksud;

2) TCM tidak membedakan individu yang memang datang dari kalangan pelibur

(holiday makers) dan mereka yang datang dari wilayah setempat (resident).

Jadi jika para holiday makers ini memang datang untuk menikmati keindahan

alam tempat wisata yang kita teliti, maka tentunya biaya perjalanan penduduk

sekitar harus dialokasikan pada holiday makers tersebut;

3) Masalah pengukuran nilai dari waktu (value of time), harus dibedakan antara

waktu yang memang menghasilkan utilitas (wisata) dan waktu yang menjadi

korbanan (oppotunity cost).

2) Contingent Value Method (CVM)

Metode valuasi kontigensi adalah suatu metode survei untuk menanyakan

kepada responden tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi

yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Secara prinsip, metode ini

memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang

lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak

menentu (Fauzi, 2006).

Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang

memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan,

kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan

mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi

selanjutnya bahwa orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika

situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang.

Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah

tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga (willingness

to pay) untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan tersebut

digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan

lingkungan yang diinginkan.

Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang

mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada.

Oleh karena itu, pasar hipotetik harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar

yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang

33

ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk

pembayaran.

Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan

membayar (willingness to pay) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan

pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan seperti pemandangan alam,

kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik serta situasi yang data

harganya tidak ada. Penilaian kontigensi atau teknik survei dilakukan untuk

menemukan nilai hipotensi konsumen (Hufschmidt, 1987). Metode ini lebih

fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari

pertanyaan hipotesis.

Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM,

yaitu: (1) membuat hipotesis pasar; (2) mendapatkan nilai lelang; (3) menghitung

rataan WTP; (4) memperhatikan kurva lelang; dan (5) mengagregatkan data.

secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan teknik

eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei (Fauzi,

2006); (Adrianto, 2007).

Meskipun diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur

WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika

timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai

sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh:

1) Bias yang timbul dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika melakukan

wawancara dan dalam kuesioner kita nyatakan bahwa respoden akan dipungut

fee untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan pada

responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya

jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka,

maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate

dari nilai yang sebenarnya.

2) Terjadinya fenomena dimana responden berusaha menyenangkan

pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran

sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju (menyetujui apa yang

ditanyakan pewawancara).

34

3) Nilai WTP yang diberikan responden melebihi pendapatan yang dimiliki

responden.

2.3. Preferensi Visual

Mengamati secara langsung suatu landscape maupun seascape akan

memberikan pengaruh secara psikologis bagi yang mengamatinya. Menurut

Steinitz (1990) yang diacu dalam Rahmafitria (2004) mengamati suatu

landscape/seascape dapat memberikan persepsi dan perasaan psikologis yang

berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik. Artinya dengan mengamati suatu

landscape/seascape maka terjadi hubungan antara manusia dengan lingkungannya

yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan nilai keindahan suatu kawasan.

Fungsi visual dapat memberikan arti mengenai bagaimana suatu

landscape/seascape dapat memberikan reaksi bagi yang mengamatinya. Fungsi

ini dipengaruhi oleh banyaknya variasi yang ada dalam suatu landscape/seascape.

Sebagai contoh bangunan yang berada di daerah datar akan memberikan efek

visual yang berbeda jika bangunan tersebut berada di puncak gunung tanpa

vegetasi.

Keindahan lingkungan memiliki arti yang berbeda-beda untuk setiap

manusia. Secara umum suatu pemandangan merupakan hubungan visual antara

titik pengamatan dan obyek yang diamati. Berkaitan dengan estetika obyek, maka

penilaiannya bergantung dari persepsi pengguna, karena setiap manusia memiliki

persepsi yang berbeda-beda. Walaupun preferensi visual berbeda-beda antar setiap

individu, tetapi preferensi visual lingkungan alami lebih disukai daripada struktur

buatan manusia.

Penilaian manusia terhadap aspek visual landscape/seascape yang disukai

ataupun yang tidak disukai dapat dilakukan melalui beberapa metode perhitungan.

Namun karena berkaitan dengan faktor sosial dan psikologis manusia maka sulit

untuk mendefinisikan nilai visual ini secara numerik. Salah satu metode yang

dapat digunakan untuk menentukan nilai visual suatu landscape/seascape adalah

prosedur Scenic Beauty Estimation (SBE) yang dikemukakan oleh Daniel dan

Boster (1976).

Metode ini dilakukan dengan menyeleksi beberapa foto yang

menggambarkan keadaan lingkungan obyek dan kemudian dilakukan penilaian

35

oleh responden. Hasil penilaian akan menggambarkan aspek preferensi dari

manusia terhadap lingkungan obyek, sehingga hasil penilaian tersebut, dapat

dipakai dasar pengelolaan suatu kawasan.

2.4. Pendekatan Partisipatif

Terminologi partisipasi di dalam berbagai kajian, pada dasarnya

merupakan keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap suatu

obyek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai sumber,

seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut bersumber dari

sifat dan kedalaman keterlibatan masyarakat dalam berbagai aktifitas.

Brown et al. (2001) mendefinisikan partisipasi sebagai mengambil bagian

atau terlibat secara aktif dalam suatu proses. Oleh karena itu, sesuatu proses

dikatakan bersifat partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai

pelaku. Berdasarkan pengalaman pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir,

Brown et al. (2001) memberikan tipologi partisipasi sesuai dengan tingkat

keterlibatan masyarakat, mulai dari yang sangat dangkal (pasif) sampai pada

bentuk partisipasi mandiri (self mobilization). Tipologi partisipasi tersebut secara

lengkap disajikan pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Tipologi partisipasi

Bentuk Partisipasi Karakteristik

Partisipasi pasif Masyarakat diberitahu proses yang akan dilakukan atau proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan tanpa adanya mekanisme respon

Partisipasi pemberian informasi

Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan yang diajukan. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mempengaruhi proses yang sedang atau akan berlangsung

Partisipasi melalui konsultasi

Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar, sehingga proses yang akan atau sedang berlangsung dapat sedikit dipengaruhi. Akan tetapi, dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali

Partisipasi untuk insentif material

Masyarakat berpartisipasi hanya untuk tujuan mendapatkan pangan, uang, atau insentif material lainnya

Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dengan melakukan analisis bersama untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang proses yang akan berlangsung, sehingga masyarakat memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan.

Partisipasi mandiri Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah sistem

Sumber: Bourgeois dan Jesus, 2004

36

Pengertian masyarakat disini adalah seseorang, organisasi, atau kelompok

yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumber daya tertentu (Bourgeois dan

Jesus, 2004). Masyarakat dapat sangat berpengaruh, sedikit berpengaruh, atau

bahkan hanya menjadi penerima dampak dari suatu isu atau proses. Dalam kaitan

dengan pengelolaan sumber daya pesisir, masyarakat dapat dikelompokkan

berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimilikinya, ke dalam tiga kelompok

besar (Brown et al. 2001), yaitu:

1) Masyarakat primer, yaitu kelompok yang hanya memiliki sedikit pengaruh

terhadap suatu pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya pesisir, akan

tetapi kehidupan mereka sangat dipengaruhi secara langsung oleh hasil

keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di

wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya pesisir

tersebut, seperti nelayan;

2) Masyarakat sekunder, yaitu kelompok yang dapat mempengaruhi pengambilan

suatu keputusan pengelolaan sumber daya pesisir, akan tetapi kehidupan

mereka tidak terpengaruh langsung oleh keputusan tersebut. Kelompok ini

merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir tetapi tidak secara

langsung menggantungkan hidupnya dari sumber daya pasisir;

3) Masyarakat eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat

mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumber daya pesisir

melalui lobi, akan tetapi kehidupan atau kepentingan mereka sama sekali tidak

berhubungan dengan keputusan tersebut. Kelompok ini dapat berupa

organisasi massa, keagamaan, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Sehubungan dengan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir,

pelibatan masyarakat dari kelompok primer menjadi penting, karena mereka akan

menjadi kelompok yang paling dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan yang

akan dibuat. Oleh karena itu, keterwakilan masyarakat lokal dalam pengelolaan

sumber daya pesisir menjadi sangat penting.

2.5. Sistem dan Pemodelan

2.5.1. Teori Sistem

Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang kajian

dengan interpretasi beragam, namun tetap berkonotasi tentang sesuatu yang

37

”utuh” dan ”keutuhan” (wholeness) (Eriyatno, 1999). Dalam perkembangannya

sistem didefinisikan sebagai himpunan komponen (entitas) yang mempertahankan

eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-

komponennya (O’Connor dan Douglas, 1997). Haaf et al. (2002) mendefinisikan

sistem sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan

hubungan diantaranya. Artinya sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri

dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu

tujuan dalam lingkungan kompleks (Marimin, 2004).

Dalam keragaman definisi sistem itu, secara substansial menunjukkan

adanya suatu kesamaan visi dimana sistem memiliki karakteristik keutuhan

(wholeness) dan interaksi antar komponen yang membangun sistem (Eriyatno,

1999). Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki oleh sistem dapat

dinyatakan sebagai berikut: 1) dibangun oleh sekelompok komponen yang saling

berinteraksi; 2) bersifat wholeness; 3) memiliki satu atau segugus tujuan; 4)

terdapat proses transformasi input dan output; 5) terdapat mekanisme

pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan

sistem.

Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang

berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika,

dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan,

dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (Abraham, 2002).

Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig Von

Bertalanffy yang berjudul general system theory pada tahun 1965, terutama dalam

bidang teknik dan sains. Teori sistem umum ditujukan agar dapat menjadi suatu

teori universal, sebagai kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan

abstrak dari fenomena alam (real world), sedangkan sibernetika intinya berkaitan

dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu mempertahankan

kondisi homeostatis melalui ”perlawanan” (counteracting) deviasi dari variabel

kritis akibat adanya umpan balik negatif (negatif feedback). Dua konsep

sibernetika adalah kontrol dan komunikasi, sehingga sibernetika sebagai pemacu

perkembangan ilmu komputer seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence)

(Abraham, 2002; Haaf et al. 2002).

38

2.5.2. Model

Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan

hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah

sebab akibat (Eriyatno, 1999). Suatu model tidak lain merupakan seperangkat

anggapan (asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk

memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam. Model dapat dikategorikan

menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian atau derajat keabstrakannya,

namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno, 1999) yaitu:

1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal

baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik

dapat berdimensi dua seperti peta, foto atau berdimensi tiga seperti prototipe.

Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi

dikonstruksi secara fisik (ikonik) sehingga diperlukan kategori model lainnya

seperti model simbolik.

2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi

analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji.

Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi

yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi,

kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir suatu proses.

3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka,

simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan

model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan

matematis (equation).

Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (pemodelan) merupakan

titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara

keseluruhan. Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga

dapat dijadikan sebagai titik masuk bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan

yang diinginkan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi

konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas,

analisis stabilitas, dan aplikasi model.

39

2.5.3. Pendekatan Sistem Dinamik

Konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana

semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain atau cara

pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Sistem dinamik

menurut system dynamics society adalah metodologi untuk mempelajari dan

mengelola sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang biasa ditemui dalam

dunia bisnis dan sistem sosial lainnya secara keseluruhan (holistik).

Paradigma sistem dinamik berangkat dari cara berpikir secara sistemik

yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan dalam

dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia dalam

memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu terhadap realitas yang

dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia senantiasa

melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan memilah-milah

(analisis) kemudian merangkainya (sintesa), sehingga akan dicapai sebuah solusi

yang komprehensif (menyeluruh).

Metode sistem dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur

suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling

bergantung, dan time delayed) adalah penentu dari sifat sistem, dengan tujuan

untuk mengetahui bagaimana interelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur

dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Salah

satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah

laku sistem menurut waktu (Sterman, 2002).

Kata dinamik memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang

dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (Haaf et

al. 2002). Artinya persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan

metodologi sistem dinamik adalah masalah yang:

1) Mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu);

2) Struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpan- balik

(feedback structure).

Dengan demikian dapat diartikan bahwa analisis sistem dinamik adalah

suatu studi tentang sistem dan atau entitas dengan menggunakan prinsip-prinsip

ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi atau model. Konsepsi dan model

40

tersebut dapat digunakan sebagai landasan kebijakan, perubahan struktur, taktik

dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem dinamik bertujuan untuk

mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta

memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya

distorsi di dalam sistem itu sendiri, sehingga didapatkan berbagai alternatif pilihan

yang menguntungkan secara optimal.

Metode sistem dinamik dapat dipergunakan hampir pada semua

bidang, tidak terkecuali untuk menganalisis dinamika pengembangan wilayah

pesisir untuk kurun waktu tertentu. Konsep utama dinamika sistem adalah

bagaimana semua elemen atau obyek dalam suatu sistem saling berinteraksi

satu dengan yang lainnya melalui lingkaran-lingkaran (loop-loop) feedback,

dimana perubahan satu variabel akan mempengaruhi terhadap variabel lainnya

dalam kurun waktu perencanaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi

variabel aslinya, demikian selanjutnya saling mempengaruhi antar variabel

berlanjut sepanjang kurun waktu perencanaan.

Tujuan dan metodologi sistem dinamik adalah mendapatkan

pemahaman yang mendalam tentang cara kerja suatu sistem. Permasalahan

dalam suatu sistem dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh luar namun dianggap

disebabkan oleh struktur internal sistem. Fokus utama dari metodologi sistem

dinamik adalah pemahaman atas sistem sehingga langkah-langkah pemecahan

masalah memberikan umpan balik pada pemahaman sistem.

2.5.4. Model Dinamik Pengelolaan Wisata Bahari

Wisata bahari merupakan salah satu bentuk wisata yang potensial untuk

dikembangkan. Hal ini terkait dengan melimpahnya potensi sumber daya alam

yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pembangunan pariwisata pada dasarnya di

arahkan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, sehingga suatu

kawasan dinyatakan berhasil jika dapat mempertemukan empat aspek yaitu:

1) Mempertahankan kelestarian lingkungannya;

2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut;

4) Menjamin kepuasan pengunjung;

5) Meningkatkan keterpaduan antar unit pembangunan masyarakat di sekitar

kawasan dan zona pengembangannya.

41

Dengan demikian, diperlukan suatu pemahaman terhadap sistem yang terkait di

dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut, untuk mendapatkan suatu konsepsi

atau model pengelolaan yang tepat.

Menurut Casagrandi dan Rinaldi (2002), sistem wisata yang dibangun

dapat menggunakan kerangka berpikir seperti Gambar 2 berikut ini:

Gambar 2 Interaksi tiga komponen dalam model pengelolaan wisata.

Kerangka berpikir tersebut menunjukkan hubungan yang saling mendukung

(tanda positif) dan saling bertentangan (tanda negatif) antara tiga aspek yakni

lingkungan, wisata, dan investasi dalam pengelolaan wisata, sehingga hubungan

ini dapat digunakan untuk membangun dan menganalisis suatu model wisata.

Perumusan model wisata menurut Casagrandi dan Rinaldi (2002) tersebut,

selengkapnya diuraikan sebagai berikut:

1) Fungsi lingkungan alamiah diberikan dalam bentuk fungsi logistik, dimana

variabel K (carrying capacity) adalah kondisi lingkungan pada saat

keseimbangan, artinya bukan pada saat pristine, tetapi pada saat sudah ada

interaksi dengan manusia dan industri lain kecuali turisme. Apabila turisme

dan aktivitas pendukungnya berimplikasi negatif pada dinamika kualitas

lingkungan, maka fungsi E menjadi:

−=

KtEtrEtE )(1)()( ......................................................................... (1)

( ))(),(),()(1)()( tEtCtTDK

tEtrEtE −

−= ........................................ (2)

D(T(t), C(t), E(t)) melambangkan kerusakan yang muncul akibat kegiatan

wisata, T menunjukkan jumlah wisatawan, C adalah modal yang digunakan

42

untuk mengeksploitasi E (sumber daya alam dan lingkungan). Fungsi paling

sederhana dari kerusakan atau damage (D) diberikan sebagai berikut:

D = E (βC + γT)................................................................................... (3)

dimana β = pertumbuhan modal dan γ = pertumbuhan wisatawan per tahun.

2) Aliran kapital merupakan fungsi dari aliran investasi dengan depresiasi dari

nilai kapital yang dirumuskan:

( ) )()(),(),()( tCtCtEtTItC δ−= .......................................................... (4)

Investasi (I) proporsional terhadap total pendapatan di mana total pendapatan

terkait pula dengan jumlah turis (T). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

investasi proporsional terhadap jumlah turis atau :

TCETI =∈),,( .................................................................................... (5)

dimana : ∈= investment rate

3) Turis datang atau menunjungi suatu lokasi atau kawasan, ini dikarenakan ada

faktor penarik (attractive factor) A dari lokasi tersebut. Faktor ini kemudian

menjadi salah satu variabel peningkatan jumlah kunjungan (misalnya

informasi dari mulut ke mulut), dengan persamaan yaitu:

))(),(),(().()()( tCtEtTAtTdt

tdTtT == ………………………… (6)

A adalah relative attractiveness yaitu lag antara absolute attractiveness dan

reference attractiveness value atau:

αα −= ),,(),,(^

CETCETA ......................................................... (7)

dimana α adalah reference values yang dipengaruhi oleh “harga” lokasi

atraktif lainnya, ά adalah atraktif yang diinginkan oleh turis, terkait dengan

kualitas lingkungan absolute attractiveness value selengkapnya diberikan

sebagai

TTC

CE

E

CCC

EE

αϕϕ

µϕ

α µ −++

++

=^

.................................. (8)

dimana: μE, ϕ E, μC, ϕC

Dari ketiga komponen model wisata tersebut jika diintegrasikan (keterpaduan)

dalam mengoptimalkan aktivitas wisata, maka diperoleh persamaan yang

, α adalah paramater yang terkait dengan perilaku turis

43

bertujuan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang optimal dan berkelanjutan,

yakni sebagai berikut :

−−

+++

+= αα

ϕϕµ

ϕµ )(

)()()(

)()()()(

^tT

tTtCtC

tEtEtTtT

CEC

EE ............. (9)

+−

−= )()()(1)()()( tTtC

KtEtrEtEtE γβ ....................................... (10)

)()()( tTtCtC ∈+−= δ ........................................................................... (11)

2.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat dalam

memanfaatkan sumber daya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari

berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir sering

menimbulkan kerusakan (Bengen, 2004).

Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada

eksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian dari sumber daya tersebut. Sementara

itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang.

Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig,

terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan menunjukkan

bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum

terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah

(Dahuri et al. 2001).

Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-

faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya

hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati yang

disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses

pemanfaatan bagi masyarakat lokal, perlu dikelola secara baik agar dampak

44

aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan

untuk konservasi.

Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan

baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi

sanksi. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut

disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan

pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan

perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum

yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada

pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik

kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional

melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.

Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah

pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun

2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuan

pembentukan undang-undang ini adalah memberikan kepastian dan perlindungan

hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-

pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-

hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak

pengusaha.

Terbentuknya undang-undang ini akan semakin memperjelas mekanisme

pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, termasuk

didalamnya pengelolaan kawasan konservasi perairan. Disamping itu, undang-

undang ini juga bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa

undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan

45

kebijakan di daerah. Sedangkan payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya

ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun

2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31

tahun 2004. Melalui peraturan pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai

konservasi sumber daya ikan dapat terwadahi (Ditjen KP3K, 2008).

Konservasi sumberdaya ikan merupakan upaya melindungi melestarikan

dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan

dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan

pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, mengingat

karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang

tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan

ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan

harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Ada 9 (sembilan) hal penting yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan

lingkungan hidup (GBHN 1998-2003 dalam ICEL 2005) yaitu :

1) Pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap

berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan

terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara

sistem ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin

pembangunan nasional yang berkelanjutan;

2) Pembangunan lingkungan hidup menekankan kepada peningkatan peran serta,

tanggung jawab sosial, dan organisasi sosial kemasyarakatan;

3) Sumber daya alam harus dikelola dan dimanfataatkan untuk sebesar-

sebesarnya kemakmuran rakyat secara berkelanjutan dengan mengembangkan

daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai agar dapat

memelihara kelestarian lingkungan hidup;

4) Menekankan peran lembaga fungsional pemerintah dan peran serta

masyarakat;

5) Kondisi ekosistem terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem

sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan;

6) Pemanfaatan bagi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan ekosistem;

46

7) Rehabilitasi sumber daya alam dan lingkugan hidup yang fungsinya rusak dan

terganggu yang mengembangkan dan meningkatkan peran serta masyarakat;

8) Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bertujuan pada

penataan ruang yang serasi dengan perkembangan kependudukan, pola

pemanfaatan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir

serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya

lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

hidup yang harmonis dan dinamis;

9) Pengembangan kerjasama bilateral, regional dan internasional secara saling

menguntungkan mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup,

alih teknologi dan sebagainya.

Arah pembangunan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tersebut

menunjukkan adanya kesadaran betapa pentingnya keseimbangan, keselarasan,

dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Diabaikannya salah satu dari sistem tersebut akan mempengaruhi sistem yang

lain. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi

sebagai prioritas dan meninggalkan atau mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan

budaya, akan memunculkan masalah-masalah yang kompleks.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan

kawasan konservasi pesisir adalah

1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya;

2) UU No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan konvensi PBB mengenai

keanekaragaman hayati;

3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup;

4) PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di zona

ekonomi eksklusif Indonesia;

5) PP No. 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona

pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam;

6) PP No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

alam;

47

7) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil;

8) PP Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan;

9) Peraturan Menteri KP No 17/2008 tentang kawasan konservasi di pesisir

dan pulau pulau kecil;

10) Peraturan Menteri KP No 2/2009 tentang tata cara penetapan kawasan

konservasi perairan.