2. TEORI PENUNJANG 2.1 Teori Pertukaran Sosial · 2. TEORI PENUNJANG 2.1 Teori Pertukaran Sosial...
Transcript of 2. TEORI PENUNJANG 2.1 Teori Pertukaran Sosial · 2. TEORI PENUNJANG 2.1 Teori Pertukaran Sosial...
9 Universitas Kristen Petra
2. TEORI PENUNJANG
2.1 Teori Pertukaran Sosial
Hubungan karyawan-organisasi pada dasarnya adalah kontrak pertukaran
sumber daya antara dua pihak yaitu karyawan dan organisasi. Teori ini pada
awalnya diusulkan oleh Homans yang menyajikan kerangka teori pertukaran dalam
konteks bagaimana individu berinteraksi dalam kelompok, yang kemudian
dikembangkan oleh Cropanzano dan Mitchell (2005). Dalam penelitiannya,
disebutkan bahwa teori pertukaran sosial merupakan pandangan karyawan ketika
karyawan telah diperlakukan dengan baik oleh organisasi, karyawan cenderung
akan melakukan balas budi terhadap organisasi dengan bersikap dan berperilaku
lebih positif. Cropanzano dan Mitchell (2005) mengasumsikan bahwa setiap
individu selalu akan berusaha untuk membalas budi terhadap siapapun yang telah
memberikannya keuntungan.
Menurut Cropanzano dan Mitchell (2005) teori pertukaran sosial
menjelaskan bahwa karyawan termotivasi untuk meningkatkan hasil kerjanya
ketika hubungan kerja karyawan dibangun di atas pertukaran sosial yang adil.
Berdasarkan teori ini, hubungan pertukaran dengan orang lain didasarkan pada
perolehan imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan
menghasilkan suatu imbalan dan teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku
dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).
Lingkungan umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka individu dan orang-orang
lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Dalam
hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperoleh melalui
adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Perilaku sosial terdiri atas
pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi.
Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan
hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa
teruntungkan. Perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
10 Universitas Kristen Petra
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan teori pertukaran sosial tersebut, karyawan yang merasa hal-hal
yang dijanjikan pada karyawan telah terpenuhi dapat merasa bahwa organisasi telah
memperlakukan karyawan dengan baik. Akibatnya, karyawan termotivasi untuk
membalas tindakan positif organisasi dengan meningkatkan kinerjanya, karena
karyawan merasa bahwa hubungan kerjanya didasarkan pada pertukaran sosial
yang adil. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa teori
pertukaran sosial menjelaskan bagaimana karyawan bertindak berdasarkan
seberapa baik organisasi memenuhi harapan karyawan serta janji-janji yang
organisasi buat untuk karyawan.
2.2 Perceived Organizational Support (POS)
Perceived Organizational Support (POS) merupakan persepsi karyawan
terhadap bagaimana organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap
kesejahteraan karyawannya (Eisenberger et al.,1986). Perceived Organizational
Support (POS) yang diberikan organisasi kepada karyawan menjadikan karyawan
merasa lebih puas dan lebih berkomitmen dengan pekerjaannya (Eisenberger et
al.,2001). Rhoades dan Eisenberger (2002) mengungkapkan persepsi terhadap
dukungan organisasi juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang di
bentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian terhadap kebijakan dan prosedur
organisasi yang di bentuk berdasarkan pada pengalaman, penerimaan sumber daya,
interaksi dengan agen organisasinya dan persepsi karyawan mengenai kepedulian
organisasi terhadap kesejahteraan sumber dayanya.
Dukungan organisasi dapat membantu memenuhi kebutuhan sosial dan
emosional karyawan, sehingga akan menciptakan kewajiban bagi karyawan untuk
membalas jasa kepada organisasi (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Keadilan
tentang pembuatan keputusan yang berhubungan dengan distribusi sumber daya
manusia, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap dukungan organisasi yang
diindikasi oleh Perceived Organizational Support (Rhoades dan Eisenberger,
2002).
11 Universitas Kristen Petra
Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya
tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota
organisasi ke dalam identitas diri dan kemudian mengembangkan hubungan dan
persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut (Rhoades dan Eisenberger,
2002). Dengan adanya penghargaan yang dirasa adil, maka akan timbul kepuasan
yang berpengaruh terhadap peningkatan komitmen seorang karyawan kepada
organisasinya, dari itu lah akan terbentuk kepercayaan dasar mengenai sejauh mana
sebuah organisasi menghargai kontribusi dan juga kesejahteraan karyawan (Han et
al., 2012).
2.2.1 Dimensi Perceived Organizational Support (POS)
Rhoades dan Eisenberger (2002) mengemukakan tiga dimensi dari Perceived
Organizational Support (POS) yaitu fairness, supervisory support, dan
organizational reward and job conditions. Berikut penjelasan dari ketiga dimensi
tersebut :
a. Fairness
Dimana organisasi dapat bersikap adil kepada karyawan-karyawannya
dalam berbagai hal. Seperti contohnya pengalokasian sumber daya sesuai
dengan quality yang organisasi miliki.
b. Supervisory Support
Dukungan dan dorongan dari atasan yang berkontribusi dan peduli
terhadap pekerjaan bawahannya. Sebagai seorang atasan,ia tidak hanya
bertugas untuk memerintah namun juga ikut turun tangan untuk membantu
bawahannya. Eisenberger et al., (1986) mengungkapkan bahwa bawahan
melihat atasan sebagai perpanjangan dari organisasi. Maka dari itu dapat
diketahui bahwa perilaku yang dilakukan seorang atasan kepada
bawahannya dapat berpengaruh terhadap persepsi karyawan terhadap
dukungan yang diberikan organisasi kepada karyawan.
c. Organizational Reward and Job Conditions
Merupakan bentuk apresiasi yang diberikan oleh organisasi kepada
karyawan karena organisasi telah bekerja dengan baik dan menghasilkan
pekerjaan yang memuaskan. Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002)
kebijakan imbalan dari organisasi dan kondisi pekerjaan,menunjukan
12 Universitas Kristen Petra
bahwa kontribusi karyawan akan berkaitan secara positif terhadap
Perceived Organizational Support. Berikut merupakan beberapa contoh
imbalan organisasi dan kondisi kerja yang berkaitan dengan Perceived
Organizational Support :
a. Pengakuan, gaji, dan promosi
Ketika karyawan mendapatkan pengakuan, gaji yang sesuai
dengan pekerjaan, dan mendapatkan promosi dari organisasi,
karyawan akan merasa dihargai atas hasil kerja yang telah
diberikan kepada organisasi. Ketiga hal tersebut merupakan
komunikasi positif dari kontribusi karyawan.
b. Keamanan kerja
Dimana adanya perasaan aman ketika individu mengetahui
bahwa organisasi akan mempertahankan status kekaryawanan
individu (seperti memberikan kontrak kerja). Hal ini
menunjukkan bahwa organiasasi tidak dengan semena-mena
dapat mengeluarkan individu dari organisasi.
c. Otonomi
Persepsi yang dirasakan karyawan atas bagaimana karyawan
melaksanakan pekerjaannya, termasuk penjadwalan, prosedur
kerja, dan berbagai tugas. Dengan menunjukkan kepercayaan
organisasi kepada karyawan untuk memutuskan dengan bijak
bagaimana individu akan melaksanakan pekerjaan,otonomi yang
tinggi akan meningkatkan POS.
d. Role stressors
Stres mengacu pada individu yang merasa tidak mampu
untuk mengatasi tuntutan lingkungannya. Stres terkait tiga aspek
peran karyawan dalam organisasi telah dipelajari dalam POS
terdahulu yaitu : kelebihan beban kerja, yang melibatkan
tuntutan yang melebihi apa yang seorang karyawan cukup dapat
capai dalam waktu tertentu; ambiguitas peran, melibatkan tidak
adanya jelas informasi tentang tanggung jawab pekerjaan
seseorang; dan konflik peran, melibatkan tanggung jawab
13 Universitas Kristen Petra
pekerjaan saling bertentangan. Stres yang tinggi dapat
menurunkan Perceived Organizational Support.
e. Pelatihan
Organisasi memberikan investasi kepada karyawannya
dengan memberikan pelatihan dan pengembangan (seperti
pelatihan kelas bahasa inggris) sehingga Perceived
Organizational Support dapat meningkat.
f. Organization size
Dekker dan Barling (1995) berpendapat bahwa individu
merasa kurang dihargai dalam organisasi besar, di mana
kebijakan dan prosedur yang sangat formal dapat mengurangi
fleksibilitas dalam menangani kebutuhan individu karyawan.
Hal ini dapat mengurangi Perceived Organizational Support.
2.2.2 Indikator Perceived Organizational Support (POS)
Menurut Eisenberger et al.,(2001) terdapat delapan poin indikator untuk
mengukur tingkat Perceived Organizational Support, yaitu :
1. Organisasi menghargai kontribusi karyawan.
Sejauh mana organisasi mengapresiasi hasil kerja dan peran dari
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Sebuah contoh yaitu
ketika seorang karyawan menyampaikan ide atau gagasan,bagaimana
organisasi menanggapi gagasan tersebut.
2. Organisasi menghargai usaha ekstra yang telah karyawan berikan.
Tidak jarang ada beberapa karyawan yang rela untuk memberikan
usaha lebih dari kewajiban yang seharusnya diberikan oleh organisasi,
karena hal tersebut organisasi akan memberikan sesuatu sebagai wujud
timbal balik kepada karyawan tersebut berupa rewards seperti, kenaikan
jabatan, kenaikan gaji,dll.
3. Organisasi akan memperhatikan segala keluhan dari karyawan.
Seberapa dalam organisasi perduli dan memperhatikan keluhan
yang disampaikan, mau untuk mendengarkan dan memberikan solusi
serta mau menerima masukan dari karyawan.
4. Organisasi sangat peduli tentang kesejahteraan karyawan.
14 Universitas Kristen Petra
Penting bagi organisasi untuk peduli tentang kesejahteraan
karyawannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh organisasi,
seperti memberikan peralatan yang memadai untuk kelangsungan kerja
para karyawan, atau memberikan asuransi bagi karyawan yang bekerja
dalam organisasi tersebut.
5. Organisasi akan memberitahu karyawan apabila tidak melakukan
pekerjaan yang baik.
Wajar bagi seorang karyawan ketika melakukan suatu kesalahan
dalam melaksanakan pekerjaannya. Namun pihak organisasi harus tetap
memantau kinerja karyawannya, ketika organisasi menemukan bahwa
karyawan bekerja tidak sesuai prosedur atau standard yang sudah
ditetapkan maka organisasi wajib menegur karyawan tersebut agar
karyawan dapat memperbaiki kinerjanya.
6. Organisasi peduli dengan kepuasan secara umum terhadap pekerjaan
karyawan.
Organisasi memperhatikan dan mengevaluasi tingkat kepuasan
karyawan terhadap pekerjaan yang diberikan oleh organisasi.
7. Organisasi menunjukkan perhatian yang besar terhadap karyawan.
Banyak organisasi yang memberikan dukungan pada karyawannya
yang bekerja. Salah satu dukungan yang diberikan yaitu perhatian yang
besar terhadap kesehatan keluarga karyawan. Sebagai contoh organisasi
memberikan tunjungan berupa asuransi bagi pasangan dan anak dari
karyawan.
8. Organisasi merasa bangga atas keberhasilan karyawan dalam bekerja.
Pencapaian yang di dapat organisasi dapat muncul karena hasil kerja
karyawannya. Maka tentunya pihak organisasi akan memiliki rasa
bangga akan karyawannya yang telah bekerja dalam organisasi tersebut.
2.3 Komitmen Organisasional
2.3.1 Pengertian Komitmen Organisasional
Meyer dan Allen (1991) merumuskan definisi mengenai komitmen dalam
berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik
hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi
15 Universitas Kristen Petra
terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam
berorganisasi. Dalam Meyer dan Allen (1991) dijelaskan studi awal terhadap
komitmen organisasional melihat konsep ini sebagai dimensi tunggal, yaitu
attitudinal perspective, identifikasi, keterlibatan karyawan dan loyalitas. Teori ini
dikemukakan oleh Porter, Steers, Mowday & Boulian (1974). Menurut Porter,
attitudinal perspective mengacu pada keterikatan psikologis atau komitmen afektif
yang dibentuk oleh seorang karyawan dalam kaitannya dengan identifikasi dan
keterlibatan dengan organisasinya.
Porter lebih lanjut menjelaskan komitmen organisasional sebagai
keterikatan dengan organisasi, ditandai dengan niat untuk tetap di dalamnya
terdapat identifikasi dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi dan kemauan untuk
mengerahkan usaha ekstra untuk organisasi. Individu mempertimbangkan sejauh
mana nilai-nilai dan tujuan setiap individu sendiri yang berhubungan dengan
organisasi sebagai bagian dari komitmen organisasional, oleh karena itu hal ini
dianggap sebagai hubungan antara individu karyawan dan organisasi.
Mowday, Porter, & Steers menjelaskan lebih lanjut bahwa attitudinal
commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai memikirkan
mengenai hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya terhadap
organisasi (Meyer dan Allen,1991). Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai
sebuah pola pikir di mana individu memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya
sendiri sesuai dengan organisasi di mana ia berada. Sedangkan behavioral
commitment berhubungan dengan proses di mana individu merasa terikat kepada
organisasi tertentu dan bagaimana cara individu mengatasi setiap masalah yang
dihadapi. Penelitian mengenai attitudinal commitment melibatkan pengukuran
terhadap komitmen (sebagai sikap atau pola pikir), bersamaan dengan variabel lain
yang dianggap sebagai penyebab, atau konsekuensi dari komitmen
Becker mengungkapkan perspektif lain tentang komitmen organisasional
adalah "exchange based definition" atau teori "side-bet" (Meyer dan Allen,1991).
Teori ini menyatakan bahwa individu berkomitmen kepada organisasi sejauh
individu memegang posisi atau jabatan saja, namun bilamana individu diberi
alternatif lain, maka individu akan bersedia meninggalkan organisasi. Mowday,
Porter dan Steers mendukung teori "side-bet" dengan menggambarkan komitmen
16 Universitas Kristen Petra
organisasional sebagai perilaku yang berkaitan dengan proses dimana individu
menjadi terkekang dalam sebuah organisasi tertentu dan bagaimana individu
menangani masalah ini. Aspek perilaku komitmen organisasional dijelaskan
melalui komitmen kalkulatif dan normatif. Hrebiniak & Alutto mengemukakan
perspektif kalkulatif atau normatif mengacu pada komitmen karyawan untuk terus
bekerja kepada organisasi berdasarkan gagasan beratnya biaya-manfaat dari
meninggalkan organisasi (Meyer dan Allen,1991).
Meyer dan Allen awalnya melihat komitmen organisasional sebagai dua
dimensi yaitu, afektif dan berkelanjutan. Meyer dan Allen mendefinisikan dimensi
pertama, komitmen yaitu afektif sebagai perasaan positif identifikasi dengan
keterikatan dan keterlibatan dalam organisasi kerja, dan dimensi kedua
didefinisikan sebagai komitmen berkelanjutan sebagai sejauh mana karyawan
merasa berkomitmen untuk organisasi berdasarkan biaya yang karyawan rasakan
bila meninggalkan organisasi. Setelah penelitian lebih lanjut, Allen dan Meyer
(1990) menambahkan dimensi ketiga komitmen yaitu normatif. Allen dan Meyer
(1990) mendefinisikan komitmen normatif sebagai perasaan karyawan atas dasar
kewajiban untuk tetap tinggal dengan organisasi. Akibatnya, konsep komitmen
organisasional digambarkan sebagai konsep tri-dimensi, ditandai dengan afektif,
berkelanjutan dan dimensi normatif .
Meyer dan Allen (1991) mengilustrasikan perbedaan dari ketiga dimensi
tersebut sebagai berikut karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan tinggal
karena memang ingin, karyawan dengan komitmen berkelanjutan akan bertahan
karena karyawan memang membutuhkan, dan karyawan dengan komitmen
normatif akan tinggal karena berpikir itu adalah sebuah keharusan.
Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi
maka dapat diketahui bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga
dimensi utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap
organisasi, pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral
untuk terus berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif,
normatif, dan berkelanjutkan dilihat sebagai komponen. Seorang individu dapat
merasakan berbagai komitmen ini dalam tingkatan yang berbeda, sebagai contoh,
individu ini dapat merasakan suatu kewajiban moral dan kebutuhan untuk tetap
17 Universitas Kristen Petra
tinggal dalam organisasi namun tidak mempunyai keinginan. Ada juga individu
yang merasa tidak butuh atau tidak terbeban moralnya untuk tinggal namun ia tetap
tinggal dalam organisasi karena memang ingin.
Dari beberapa pengertian komitmen organisasional diatas dapat diketahui
bahwa komitmen organisasional adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh individu
dengan adanya identifikasi, keterlibatan serta loyalitas terhadap organisasi. Tingkat
komitmen organisasional yang tinggi dapat berdampak pada kesetiaan yang
dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi.
2.4 Komitmen Afektif
Allen dan Meyer (1990) mendefinisikan komitmen afetktif sebagai sampai
derajat manakah seorang individu terikat secara psikologis pada organisasi yang
mempekerjakannya melalui perasaan seperti loyalitas, affection, karena sepakat
terhadap tujuan organisasi. Meyer dan Allen (1997) juga mendefinisikan komitmen
afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi
karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi
tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena karyawan
menginginkannya. Komitmen afektif sebagai hubungan antara karyawan dan
organisasinya yang membuat karyawan tersebut tidak meninggalkan organisasi
karena didasarkan pada ikatan emosional terhadap organisasi.
Individu dengan komitmen afektif yang tinggi akan memiliki motivasi dan
keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan
individu yang memiliki komitmen afektif yang lebih rendah. Meyer et al., (2002)
mengatakan bahwa individu dengan komitmen afektif yang tinggi ditemukan
berhubungan dengan turnover karyawan yang rendah, ketidakhadiran rendah dan
kinerja yang baik.
Model komitmen organisasional dari Meyer dan Allen (1997) menunjukkan
bahwa komitmen afektif dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tantangan pekerjaan,
kejelasan peran, kejelasan sasaran, dan kesulitan mencapai tujuan, manajemen yang
tanggap, keadilan, kepentingan pribadi, rekan kerja, umpan balik, feedback, dan
dependabilitas. Keterikatan afektif individual untuk organisasi didasari dengan
identifikasi keinginan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan
dengan organisasi. Selain itu melalui internalisasi, keterikatan afektif didasari pada
18 Universitas Kristen Petra
kesamaan tujuan dan nilai-nilai yang dipegang oleh individu dan organisasi. Secara
umum, komitmen organisasional afektif berkaitan dengan sejauh mana seorang
individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi (Allen dan Meyer, 1990).
2.4.1 Pembentuk Komitmen Afektif
Meyer & Allen (1997) mengatakan ada beberapa penelitian mengenai
antecedents dari komitmen afektif. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga
kategori besar. Ketiga kategori tersebut yaitu :
a. Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan komitmen
afektif adalah sistem desentralisasi, adanya kebijakan organisasi yang adil, dan
cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu. Selain itu Meyer dan
Allen (1997) juga menemukan bahwa keadilan organisasi, komunikasi keatas
gaji dan keadilan procedural, dan pengambilan keputusan strategis memiliki
pengaruh yang positif terhadap komitmen afektif.
b. Karakteristik Individu
Meyer dan Allen (1997) mengatakan bahwa karateristik individu ke dalam
dua variabel, yaitu variabel demografis dan variabel disposisional. Variabel
demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan
lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian
ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen
berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa
hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Ada beberapa penelitian yang menyatakan
bahwa gender mempengaruhi komitmen afektif, namun ada pula yang
menyatakan tidak demikian. Selain itu usia juga mempengaruhi proses
terbentuknya komitmen afektif, meskipun tergantung dari beberapa kondisi
individu sendiri.
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki
anggota organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke
dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan kerja
yang baik (Meyer dan Allen, 1997). Variabel ini memiliki hubungan yang lebih
kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman
masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Meyer dan Allen, 1997).
19 Universitas Kristen Petra
c. Pengalaman Kerja
Meyer dan Allen (1990) menyatakan bahwa pengalaman kerjalah yang
dirasa paling kuat dibandingkan antecedents lainnya karena pengalaman kerja
inilah yang memenuhi psikologis karyawan untuk merasa nyaman dan
kompeten dalam organisasinya. Pengalaman kerja individu yang
mempengaruhi proses terbentuknya komitmen afektif antara lain job scope,
yaitu beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu
(Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat
otonomi individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu
peran individu dalam organisasi tersebut dan hubungannya dengan atasan
(Allen & Meyer, 1997).
Individu dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan
emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut
akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap
organisasi dibandingkan individu dengan komitmen afektif yang lebih rendah.
2.4.2 Indikator Komitmen Afektif
Indikator komitmen afektif menurut He (2008) adalah sebagai berikut :
1. Keinginan untuk terus melanjtkan karir di organisasi.
Anggota organisasi dengan komitmen afektif yang tinggi yang tinggi akan
terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan
untuk itu, bukan karena karyawan merasa membutuhkan organisasi atau
organisasi, atau karena karyawan merasa harus tetap bertahan dalam
organisasi.
2. Berdiskusi tentang organisasi dengan orang diluar organisasi.
3. Merasa masalah organisasi sebagai kewajibannya juga.
Karyawan yang memiliki komitmen afektif tinggi menerima hampir semua
pekerjaan yang diberikan padanya bahkan senang melibatkan diri dengan
kegiatan organisasi diluar tugas-tugasnya.
4. Tidak bisa semudah itu mempunyai keterikatan emosional dengan organisasi
lain.
5. Merasa menjadi bagian keluaga dalam organisasi.
20 Universitas Kristen Petra
Karyawan dengan komitmen afektif tinggi memiliki perasaaan senang pada
organisasi, dan memunculkan kemauan untuk tetap tinggal dan membina
hubungan sosial serta menghargai nilai hubungan dengan organisasi
dikarenakan telah menjadi anggota organisasi.
6. Adanya keterikatan psikologis.
Keterikatan secara psikologis melalui perasaan seperti loyalitas, afeksi,
karena sepakat terhadap tujuan organisasi.
7. Organisasi menjadi bagian penting bagi karyawan.
8. Merasa mempunyai rasa memiliki dengan organisasi.
Karyawan yang memiliki komitmen afektif, menunjukkan adanya sikap
menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai
organisasi, dan rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi .
2.5 Komitmen Normatif
Dimensi kedua dari model komitmen organisasional adalah komitmen
normatif. Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen normatif sebagai
perasaan kewajiban moral untuk melanjutkan pekerjaan. Nilai-nilai internalisasi
normatif atas tugas dan kewajiban membuat individu wajib untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi. Menurut Meyer dan Allen (1991) karyawan dengan
komitmen normatif merasa bahwa karyawan harus tetap bertahan dalam organisasi.
Dalam hal dimensi normatif, karyawan bertahan karena harus melakukan atau
karena itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Meyer dan Allen (1991)
berpendapat bahwa kewajiban moral ini muncul baik melalui proses sosialisasi
dalam masyarakat atau organisasi. Dalam kedua kasus itu didasarkan pada norma
timbal balik, dengan kata lain jika karyawan menerima manfaat, hal ini akan
menempatkan karyawan atau organisasi di bawah kewajiban moral untuk
menanggapi dalam kebaikan.
Komitmen normatif dibangun berdasarkan ikatan psikologis antara
pegawai dan organisasi. Ikatan psikologis ini merujuk pada kepercayaan bahwa
pihak yang terlibat memiliki kewajiban timbal balik satu sama lain, yang
terwujud dalam berbagai bentuk, baik berdasarkan pertukaran ekonomis maupun
berdasarkan pada prinsip-prinsip sosial (Meyer & Allen, 1984). Perbedaan
komitmen normatif dengan komitmen afektif adalah karena komitmen normatif
21 Universitas Kristen Petra
mencerminkan suatu rasa memiliki kewajiban atau tugas dan bukan merupakan
suatu keterikatan emosi. Komitmen normatif berbeda dari komitmen
berkelanjutan karena komitmen ini tidak melibatkan perhitungan untung rugi
pribadi pegawai.
Komitmen normatif juga bisa disebut sebagai suatu kewajiban moral yang
ditumbuhkan oleh pegawai setelah organisasi menginvestasikan sesuatu untuk
pegawai. Sebagai contoh, seorang pegawai yang pendidikannya dilunasi oleh
organisasi bisa saja berpikir bahwa karyawan tersebut harus membalas budi
organisasi dengan tetap berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997).
2.5.1 Pembentuk Komitmen Normatif
Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen normatif terhadap
organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama
proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu
baru masuk ke dalam organisasi. Dapat diketahui bahwa sosialisasi budaya dan
famili merupakan suatu proses pembentukan individu dimana latar belakang
individu tersebut sangat menentukan persepsinya. Selain itu komitmen normatif
juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi
individu yang tidak dapat dibalas kembali (Meyer dan Allen, 1997). Faktor lainnya
adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Meyer dan
Allen, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak
bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.
Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam
organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991)
menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk
bertingkah laku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi.
Namun adanya komitmen normatif diharapkan memiliki hubungan yang positif
dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance,
dan organizational citizenship.
2.5.2 Indikator Komitmen Normatif
Menurut He (2008) indikator komitmen normatif adalah sebagai berikut :
1. Walaupun ada keuntungan pribadi, karyawan tidak merasa benar
untuk meninggalkan organisasi
22 Universitas Kristen Petra
2. Karyawan merasa bersalah apabila meninggalkan organisasi.
3. Karyawan merasa berkewajiban untuk tetap bertahan dalam
organisasi.
4. Karyawan merasa organisasi pantas untuk menerima kesetiaan
karyawan.
5. Karyawan tidak meninggalkan organisasi saat ini karena
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap orang di dalamnya.
6. Karyawan merasa berhutang budi terhadap organisasi.
2.6 Komitmen Berkelanjutan
Dimensi terakhir dari model tri-dimensi komitmen organisasional adalah
komitmen berkelanjutan. Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen
berkelanjutan sebagai kesadaran anggota organisasi akan kerugian jika
meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen berkelanjutan
yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena individu memiliki
kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Meyer dan Allen, 1997). Hal
ini menunjukkan perbedaan antara komitmen berkelanjutan dan komitmen afektif.
Komitmen afektif menunjukan bahwa individu tinggal dalam organisasi karena
individu memang ingin. Anggota organisasi berkomitmen kepada organisasi karena
imbalan ekstrinsik positif yang diperoleh melalui upaya tanpa mengidentifikasi
dirinya dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Kekuatan komitmen berkelanjutan,
yang berarti kebutuhan untuk tinggal, ditentukan oleh biaya yang dirasakan bila
karyawan meninggalkan organisasi (Meyer & Allen, 1984).
Allen dan Meyer (1990) mengatakan seiring lamanya waktu seorang
pegawai mengabdi pada suatu organisasi, pegawai tersebut mengakumulasi
investasi (misalnya waktu, usaha, hubungan baik dengan rekan-rekan kerja dan
keahlian spesifik yang tidak mudah dialihkan atau tidak dapat dipakai di organisasi
lain), sehingga semakin lama akan semakin merugikan pegawai jika ia memutuskan
untuk meninggalkan organisasi.
Menurut Allen dan Meyer (1990), komitmen berkelanjutan memiliki dua
aspek untuk menggambarkan sumber spesifik atas biaya yang harus ditanggung
apabila meninggalkan organisasi, yaitu :
a. Persepsi akan kurangnya alternatif pekerjaan.
23 Universitas Kristen Petra
Ketidakcukupan alternatif pekerjaan akan meningkatkan persepsi biaya
yang timbul apabila seseorang meninggalkan organisasi, oleh karena itu sedikitnya
alternatif pekerjaan yang diyakini oleh karyawan akan meningkatkan komitmen
yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasinya.
b. Pengorbanan diri dan pembiayaan (cost) yang tinggi.
Setiap organisasi mempunyai kebijakan sendiri-sendiri mengenai bentuk
dan jumlah tunjangan yang akan diberikan pada karyawannya. Pengorbanan diri
yang dimaksud adalah karyawan melakukan tindakan yang berhubungan dengan
bagaimana cara agar tetap bertahan di organisasi tempat karyawan bekerja
walaupun ada kemungkinan bahwa tunjangan yang didapat dari organisasi tempat
bekerja saat ini tidak sama dengan organisasi lain.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui terdapat kecenderungan
bahwa komitmen berkelanjutan adalah tingkat kesediaan karyawan untuk tetap
bergabung dalam organisasi karena kurangnya alternatif pekerjaan yang bisa
didapatkan serta adanya keuntungan dan manfaat yang mungkin tidak akan
didapatkan di organisasi lain sehingga menimbulkan persepsi adanya biaya yang
akan timbul jika keluar dari organisasi tempat ia bekerja saat ini.
2.6.1 Pembentuk Komitmen Berkelanjutan
Individu dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi akan bertahan dalam
organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam
individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi.
Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk
memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu
tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu
tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja
yang buruk.
Komitmen berkelanjutan dapat berkembang karena adanya berbagai
tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan
organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variabel,
yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat
mempengaruhi individu (Meyer dan Allen, 1997). Investasi termasuk sesuatu yang
berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika
24 Universitas Kristen Petra
meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah kemungkinan untuk masuk
ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai
kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi individu
sendiri (Meyer dan Allen, 1997).
2.6.2 Indikator Komitmen Berkelanjutan
Menurut He (2008) ada beberapa indikator komitmen berkelanjutan, yaitu :
1. Merasa takut dengan apa yang akan terjadi apabila meninggalkan
pekerjaan tanpa ada alternatif pekerjaan lainnya.
2. Merasa berat untuk karyawan meninggalkan pekerjaan tersebut
walaupun ingin.
3. Kehidupan karyawan akan terganggu bila karyawan memutuskan
untuk meninggalkan organisasi.
4. Merasa rugi untuk meninggalkan organisasi.
5. Merasa bekerja pada organisasi adalah masalah kebutuhan
dibandingkan dengan keinginan.
6. Merasa alternatif organisasi yang lain terlalu sedikit untuk
mempertimbangkan meninggalkan organisasi.
7. Salah satu konsekuensi negatif meninggalkan organisasi karena
sedikitnya alternatif lain.
8. Karyawan merasa tetap bertahan di organisasi karena banyaknya
kerugian pribadi yang harus dipertimbangkan, organisasi lain
mungkin tidak sebanding dengan benefit yang didapat saat ini
9. Apabila karyawan tidak terlanjur banyak menginvestasikan dirinya
dalam organisasi, karyawan akan mencari pekerjaan lain.
2.7 Hubungan antara Perceived Organizational Support dengan Komitmen
Organisasional
Komitmen kerja terhadap organisasi mutlak diperlukan suatu organisasi dari
karyawannya. Untuk itu, suatu organisasi harus menstimulasi perasaan kesetiaan
karyawannya dan ini harus ditanamkan pada setiap individu di organisasi tersebut.
Usaha-usaha dalam menciptakan komitmen karyawan perlu terus ditumbuh
kembangkan oleh suatu organisasi. Salah satu cara untuk menciptakan komitmen
25 Universitas Kristen Petra
adalah melalui Perceived Organizational Support. Dasar landasan hubungan antara
Perceived Organizational Support dengan komitmen organisasional adalah teori
pertukaran sosial. Menurut Eisenberger (1986) Perceived Organizational Support
berhubungan dengan komitmen organisasional, dengan konsiderasi ini maka
muncullah beberapa asumsi pertukaran sosial yang menyatakan bahwa karyawan
cenderung menukarkan komitmennya dengan dukungan yang diberikan organisasi.
Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch, & Rhoades (2001) mengeksplorasi
tentang ideologi pertukaran dalam penelitian Perceived Organizational Support.
Eisenberger menemukan bahwa teori pertukaran sosial menguatkan hubungan
antara Perceived Organizational Support dengan obligasi.
Individu dengan kesadaran atau orientasi pertukaran sosial yang tinggi
cenderung meyimpan rasa kewajiban (score keeping) dibandingkan dengan
individu yang rendah orientasinya. Individu dengan orientasi pertukaran sosial yang
rendah lebih tidak peduli terhadap obligasi. Dengan kata lain dapat diketahui bahwa
individu yang orientasi pertukaran sosialnya lebih tinggi akan cenderung membalas
jasa terhadap organisasi daripada yang berorientasi rendah.
Eisenberger et al., (2001) menyelidiki pertukaran komponen komitmen dan
menemukan bahwa karateristik pay-for-performance berpengaruh pada komitmen.
Eisenberger melakukan penelitian tentang hubungan Perceived Organizational
Support dengan komitmen dan hal ini konsisten dengan model teori pertukaran
sosial dimana pemberian dukungan organisasi pada karyawan menghasilkan
komitmen yang lebih besar dari karyawan. Dari penemuan diatas dapat diketahui
bahwa Perceived Organizational Support mempunyai peran penting dalam
membentuk komitmen yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh penting
pada organizational outcome.
2.7.1 Hubungan antara Perceived Organizational Support dengan Komitmen
Afektif
Menurut Eisenberger dukungan organisasi dirasakan karyawan memiliki
pengaruh pada komitmen afektif (Gokul, Sridevi, dan Srinivasan, 2012).
Menurut hasil penelitian tersebut karyawan yang merasa didukung oleh
organisasinya dan merasa dihargai, sebagai seorang karyawan dalam organisasi
karyawan akan lebih merasakan keterikatan pada organisasinya. Komitmen
26 Universitas Kristen Petra
afektif mencerminkan kekuatan kecenderungan individual untuk tetap bekerja
dalam organisasi karena individu tersebut setuju dan senang bekerja pada
organisasi (Meyer dan Allen, 1997).
Komitmen afektif dibentuk oleh perasaan timbal balik (resiprokal) atas
apa yang sudah diterima dari organisasi. Jika seorang karyawan dalam sebuah
organisasi dapat merasakan adanya dukungan dari organisasi yang sesuai dengan
keinginan dan harapan yang dimiliki karyawan, maka dengan sendirinya akan
terbentuk sebuah komitmen dari karyawan untuk memenuhi kewajibannya
kepada organisasi, dan tidak meninggalkan organisasi, karena karyawan telah
memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap organisasinya (Eisenberger et al.,
2001). Karyawan memandang organisasi mendukungnya, maka karyawan
merasa memiliki hasrat kuat untuk bertahan dalam organisasinya. Terdapat
kecenderungan bahwa karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat
akan senantiasa setia terhadap organisasi tempat bekerja (Meyer dan Allen,
1997).
Eisenberger, Huntington, Hutchinson, and Sowa (1986) mengatakan
bahwa Perceived Organizational Support meningkatkan komitmen afektif
dengan cara berkontribusi terhadap kepuasan dan kebutuhan sosio emosional
karyawan seperti self-esteem dan approval. Kepuasan inilah yang akan
mempengaruhi identitas sosial karyawan dan membuat karyawan merasa
menjadi penting dalam organisasi dimana hal ini membuat komitmen afektif
meningkat.
2.7.2 Hubungan antara Perceived Organizational Support dengan Komitmen
Normatif
Hubungan antara komitmen normatif dengan Perceived Organizational
Support dapat dijelaskan dengan perasaan timbal balik. Seseorang yang
merasakan perlakuan, sikap yang baik dan penghargaan terhadap dirinya akan
merasa berkewajiban untuk membalas budi. Dari sudut pandang karyawan,
ketika karyawan berpersepsi bahwa organisasi memperlakukan dengan baik dan
peduli terhadap kesejahteraan, dia akan merasa berhutang budi kepada organisasi
dan setia pada organisasi. Teori dukungan organisasi menyebutkan bahwa
Perceived Organizational Support menghasilkan suatu perasaan wajib bagi
27 Universitas Kristen Petra
anggotanya untuk membantu organisasi mencapai tujuannya (Eisenberger et al.,
1986). Perceived Organizational Support yang tinggi membuat karyawan
merasa terobligasi untuk berkomitmen ke organisasi dan juga untuk menunjukan
perilaku baik yang mendukung tujuan organisasi.
Semakin besar karyawan berpersepsi bahwa organisasi memberikan
dukungan terhadap karyawan, semakin besar rasa moral obligasi karyawan untuk
tetap bekerja dalam organisasi tersebut. Karyawan merasa didukung oleh
organisasi dan merasa tidak sepantasnya bagi karyawan untuk meninggalkan
organisasi.
Komitmen normatif juga bisa disebut sebagai suatu kewajiban moral
yang ditumbuhkan oleh pegawai setelah organisasi menginvestasikan sesuatu
untuk pegawai. Sebagai contoh, seorang pegawai yang pendidikannya dilunasi
oleh organisasi bisa saja berpikir bahwa ia harus membalas budi organisasi
dengan tetap berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997). Hal ini
mengimplikasikan bahwa individu-individu sering merasa berkewajiban
membayar kembali pada organisasi untuk investasi yang diberikan kepada
individu, contohnya melalui pelatihan dan program pengembangan. Dari teori-
teori diatas dapat diketahui bahwa karyawan yang mempunyai Perceived
Organizational Support yang tinggi akan merasa berhutang budi dan merasa
berkewajiban untuk tetap berada dalam organisasi.
2.7.3 Hubungan antara Perceived Organizational Support dengan Komitmen
Berkelanjutan
Meyer dan Allen mendefinisikan komitmen berkelanjutan sebagai
kesadaran anggota organisasi akan kerugian jika meninggalkan organisasi (Aube,
Rosseau, dan Morin, 2007). Individu dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi
akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya
kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika
meninggalkan organisasi. Bila organisasi memberikan dukungan kepada
karyawannya melalui hal-hal yang dapat meningkatkan persepsi karyawan terhadap
organisasi maka karyawan tersebut akan memikirkan kembali keuntungan ataupun
kerugian yang akan dirinya dapat bila tetap tinggal maupun pergi dari organisasi.
Sebagai contoh, bila organisasi memberikan dukungan kepada karyawannya
28 Universitas Kristen Petra
melalui pelatihan manajemen yang dapat menunjang karirnya di masa depan, maka
karyawan tersebut akan membandingkan apakah alternatif yang diberikan
organisasi lain lebih menguntungkan dari organisasinya yang sekarang atau tidak.
Menurut Rhoades dan Eisenberger dapat ditemukan hubungan negatif yang
lemah antara Perceived Organizational Support dengan komitmen berkelanjutan
(Ucar dan Otken, 2010). Hubungan negatif ini dapat dijelaskan dengan
berkurangnya perasaan terkurung dalam organisasi. Tingkat dukungan organisasi
yang dirasakan dapat membantu untuk mengembalikan keseimbangan antara
dorongan positif yang dilakukan oleh organisasi dan kontribusi individual
karyawan. Terlebih karyawan yang mempunyai Perceived Organizational Support
yang tinggi akan berpersepsi cost yang terkait dengan meninggalkan pekerjaan akan
dirasakan kurang penting daripada jika karyawan berpikir bahwa telah memberikan
banyak untuk organisasi dan tidak mendapatkan timbal balik apapun. Bila dilihat
dari pernyataan diatas, karyawan yang memiliki persepsi dukungan organisasi yg
rendah, memiliki kecenderungan lebih besar keluar dari organisasi untuk mencari
dan menerima tawaran pekerjaan dari organisasi lain. Dari teori-teori diatas dapat
diketahui bahwa karyawan yang mempunyai Perceived Organizational Support
yang tinggi akan memiliki kecendurungan yang kecil untuk meninggalkan
organisasi.
29 Universitas Kristen Petra
2.8 Kerangka Berpikir
Hotel
“X” Perceived Organizational Support
1. Organisasi menghargai
kontribusi karyawan.
2. Organisasi menghargai
usaha ekstra yang telah
karyawan berikan.
3. Organisasi akan
memperhatikan segala
keluhan dari karyawan.
4. Organisasi sangat peduli
tentang kesejahteraan
karyawan.
5. Organisasi akan
memberitahu karyawan
apabila tidak
melakukan pekerjaan yang
baik.
6. Organisasi peduli dengan
kepuasan secara umum
terhadap pekerjaan
karyawan.
7. Organisasi menunjukkan
perhatian yang besar
terhadap karyawan.
8. Organisasi merasa bangga
atas keberhasilan karyawan
dalam bekerja.
(Eisenberger et al.,2001)
Komitmen Afektif 1. Keinginan untuk
terus melanjutkan
karir di organisasi.
2. Berdiskusi tentang
organisasi dengan
orang diluar
organisasi.
3. Merasa masalah
organisasi sebagai
kewajibannya juga.
4. Tidak bisa semudah
itu mempunyai
keterikatan
emosional dengan
organisasi lain.
5. Merasa menjadi
bagian keluarga
dalam organisasi.
6. Adanya keterikatan
psikologis dengan
organisasi.
7. Organisasi menjadi
bagian penting bagi
karyawan.
8. Merasa mempunyai
rasa memiliki
dengan organisasi.
Sumber : He (2008)
Komitmen Normatif
1. Walaupun ada
keuntungan pribadi,
karyawan tidak
merasa benar untuk
meninggalkan
organisasi.
2. Karyawan merasa
bersalah apabila
meninggalkan
organisasi.
3. Karyawan merasa
berkewajiban untuk
tetap bertahan dalam
organisasi.
4. Karyawan merasa
organisasi pantas
untuk menerima
kesetiaan karyawan.
5. Karyawan tidak
meninggalkan
organisasi saat ini
karena mempunyai
rasa tanggung jawab
terhadap orang di
dalamnya.
6. Karyawan merasa
berhutang budi
terhadap organisasi.
Sumber : He (2008)
Komitmen Kontinuan
1. Merasa takut dengan
yang akan terjadi apabila
meninggalkan pekerjaan
tanpa ada alternatif
pekerjaan lainnya.
2. Merasa berat untuk
meninggalkan pekerjaan.
3. Kehidupan karyawan
akan terganggu bila
meninggalkan organisasi.
4. Merasa rugi
meninggalkan organisasi.
5. Bekerja pada organisasi
adalah kebutuhan.
6. Merasa alternatif
organisasi yang lain
terlalu sedikit untuk
mempertimbangkan
meninggalkan organisasi.
7. Salah satu konsekuensi
meninggalkan organisasi
karena sedikitnya
alternatif lain.
8. Banyak kerugian pribadi
yang harus
dipertimbangkan.
9. Apabila karyawan tidak
terlanjur banyak
menginvestasikan dirinya
dalam organisasi,
karyawan akan mencari
pekerjaan lain.
Sumber : He (2008)
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
30 Universitas Kristen Petra
Dari kerangka pemikiran diatas dapat diketahui bahwa Perceived
Organizational Support dapat berpengaruh bagi komitmen afektif, komitmen
normatif, dan komitmen berkelanjutan. Perceived Organizational Support dapat
diukur melalui delapan indikator yaitu organisasi menghargai kontribusi karyawan,
usaha ekstra, memperhatikan segala keluhan karyawan, peduli terhadap
kesejateraan karyawan, menegur karyawan apabila tidak melakukan pekerjaan
dengan baik, peduli terhadap kepuasan pekerjaan karyawan, menunjukkan
perhatian yang besar, dan merasa bangga atas keberhasilan karyawannya. Dari
delapan indikator tersebut akan berpengaruh terhadap komitmen afektif, komitmen
normatif, dan komitmen berkelanjutan pada karyawan Hotel “X”.
2.9 Kerangka Model
Gambar 2.2 Kerangka Model
Perceived
Organizational
Support
Komitmen
afektif
Komitmen
berkelanjutan
Komitmen
normatif
H2
H1
H3
31 Universitas Kristen Petra
2.10 Hipotesis
H1 : Perceived Organizational Support berpengaruh signifikan terhadap
Komitmen afektif
H2 : Perceived Organizational Support berpengaruh signifikan terhadap
Komitmen normatif
H3 : Perceived Organizational Support berpengaruh signifikan terhadap
Komitmen berkelanjutan
H4 : Kontribusi Perceived Organizational Support terbesar untuk
Komitmen afektif