2 Skrip Sweet

44
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Permasalahan gizi yang terjadi saat ini sudah menjadi kendala yang mendunia. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2012, status gizi buruk pada anak Indonesia mencapai 900.000 jiwa. Hal ini membuat Indonesia menduduki peringkat ke 5 se-dunia. Keadaan ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor perekonomian serta kebudayaan yang mempengaruhi pemahaman sebagian masyarakat Indonesia tentang pentingnya menjaga asupan nutrisi yang tepat secara kualitas maupun kuantitas. Pada saat sekarang ini, negeri kita sedang dihadapkan oleh permasalah gizi ganda, yaitu gizi yang lebih baru muncul pada tahun 1990-an dan gizi kurang. Masalah gizi yang dapat diketahui yaitu KEP atau Kurang Energi Protein, AGB atau Anemia Gizi Besi, GAKI atau Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan KVA atau Kurang Vitamin A (Almatsier, 2001). Pada beberapa penelitian yang lalu, khususnya yang dilakukan Santoso Sugeng, dkk.. pada tahun 1999-2001, Indonesia masih menghadapi masalah 6 juta balita yang mengidap status gizi kurang dan 1,8 juta dengan status gizi buruk. Ditemukan 33.173 balita atau 1,83 persen dengan berat badan dibawah garis merah pada KMS, di provinsi Jawa Timur pada tahun 2001. Keadaan tersebut menunjukkan angka kejadian gizi buruk masih sangat tinggi di negara kita. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, keadaan balita kurang gizi mempunyai prevalensi sebesar 10,9% (Riskerdas, 2007). 1

description

x

Transcript of 2 Skrip Sweet

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Permasalahan gizi yang terjadi saat ini sudah menjadi kendala yang mendunia.

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2012, status gizi buruk

pada anak Indonesia mencapai 900.000 jiwa. Hal ini membuat Indonesia menduduki

peringkat ke 5 se-dunia. Keadaan ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor perekonomian

serta kebudayaan yang mempengaruhi pemahaman sebagian masyarakat Indonesia

tentang pentingnya menjaga asupan nutrisi yang tepat secara kualitas maupun kuantitas.

Pada saat sekarang ini, negeri kita sedang dihadapkan oleh permasalah gizi ganda,

yaitu gizi yang lebih baru muncul pada tahun 1990-an dan gizi kurang. Masalah gizi yang

dapat diketahui yaitu KEP atau Kurang Energi Protein, AGB atau Anemia Gizi Besi,

GAKI atau Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan KVA atau Kurang Vitamin A

(Almatsier, 2001).

Pada beberapa penelitian yang lalu, khususnya yang dilakukan Santoso Sugeng,

dkk.. pada tahun 1999-2001, Indonesia masih menghadapi masalah 6 juta balita yang

mengidap status gizi kurang dan 1,8 juta dengan status gizi buruk. Ditemukan 33.173

balita atau 1,83 persen dengan berat badan dibawah garis merah pada KMS, di provinsi

Jawa Timur pada tahun 2001. Keadaan tersebut menunjukkan angka kejadian gizi buruk

masih sangat tinggi di negara kita.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, keadaan balita kurang gizi mempunyai prevalensi

sebesar 10,9% (Riskerdas, 2007).

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk

mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka

reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan tubuh untuk

mempertahankan diri dari serangan infeksi akan menurun. Kejadian ini disebabkan akibat

proses pembentukan antibodi yang terganggu atau terhambat dan akhirnya produksi dari

antibodi ini akan menurun. Penurunan ini mengakibatkan tubuh lebih rentan atau mudah

terkena infeksi. Status Gizi Buruk dan Kejadian ISPA sering kali bekerja sama dan

menumbuhkan prognosis yang buruk.

ISPA adalah penyakit yang tergolong sering menyerang atau terjadi pada balita.

Hal ini kemungkinan berhubungan erat dengan permasalahan daya tahan tubuh bayi yang

masih belum terlalu kuat dibandingkan manusia dewasa. Pada orang dewasa, sudah

banyak terjadi proses kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat dari pengalaman

1

infeksi sebelumnya. Pada realitanya, risiko ISPA dalam menimbulkan kematian pada

anak masih dalam jumlah kecil, akan tetapi, komplikasi yang akan ditimbulkan dari ISPA

lanjutan seperti OMA dan Mastoiditis akan berujung kepada kecacatan bahkan dapat

menimbulkan komplikasi fatal seperti pneumonia.

Kejadian ISPA pada balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan

buruk. Hal ini disebabkan karena penyakit ISPA yang didapat umumnya merupakan

kejadian pertama kali atau orang tua berusaha mengobati anaknya sendiri terlebih dahulu

sehingga pada saat keadaan memberat baru diperiksakan kepada dokter.

Data yang saya sebutkan diatas, didukung oleh hasil survey SEAMIC Health

Statistic pada tahun 2000 yang menyebutkan bahwa masih tingginya angka kesakitan dan

angka kematian karena ISPA khususnya Penumonia, terutama pada bayi dan balita. ISPA

menyerang di negara maju dan berkembang. Di Amerika, ISPA berupa Pneumonia

menempati peringkat pertama untuk penyakit infeksi yang menimbulkan kematian.

Menurut statistik, angka kematian tersebut mencapai 12% atau sama dengan 25 – 30 per

100.000 penduduk (Heriana, 2005).

Di negara kita, pada tahun 2001 diperkirakan 10 hingga 20% balita mengalami

kejadian ISPA. Dari data, anak yang berumur 2 tahun menepati posisi prevalensi ISPA

tertinggi, yakni mencapai angka lebih dari 35%. Untuk daerah Jawa Tengah, prevalensi

ISPA sebesar 29,8% (Riskerdas, 2007).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, penyakit ISPA ini juga meningkat karena

erupsi Gunung Merapi yang sempat meletus pada tahun 2010. Erupsi ini melontarkan

beberapa material dan beberapa diantaranya adalah benda – benda polutan yang

menyebabkan pencemaran udara. Menurut data penyakit pengungsian dari kesehatan

bencana Gunung Merapi Kabupaten Sleman tahun 2010 akibat erupsi merapi, penyakit

ISPA mengalami peningkatan. Penyakit ini juga sempat menjadi dorongan timbulnya

Kejadian Luar Biasa.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan terjadinya infeksi saluran

pernafasan akut pada anak ?

2

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara status gizi dengan terjadinya infeksi saluran

pernafasan akut pada balita yang memeriksakan dirinya di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta periode 1 Juli hingga 31 Desember 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran status gizi balita yang memeriksakan diri di RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga

status gizi anak.

c. Memberikan informasi kepada masyarakat sehingga penelitian ini

dijadikan pertimbangan dalam mencegah terjadinya ISPA pada anak.

d. Penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang hubungan antara

keadaan status gizi pada anak – anak yang memeriksakan dirinya di PKU

Muhammadiyah selama 1 Juli hingga 31 Desember 2012 dengan kejadian infeksi saluran

pernafasan akut. Dengan informasi tersebut, diharapkan dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dan pemikiran dalam pentingnya menjaga keadaan status gizi yang baik

serta pencegahan terkenanya infeksi saluran pernafasan akut pada anak.

1.5. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No

.

Peneliti (Tahun) Judul Kesimpulan Perbedaan

1. Susi Asmidayanti

(2012)

Hubungan Status Gizi

dengan Morbiditas

ISPA Anak Usia

Balita di Kecamatan

Danau Kerinci

Kabupaten Kerinci

Semakin baik

status gizi

seseorang

maka semakin

menurun

morbiditas

Lokasi

Dan teknik

pengambilan

bantuan data

yang memakai

kuesioner dan

3

ISPA,

begitupun

sebaliknya

wawancara.

2. Dewi Rahmawati

(2008)

Hubungan antara

Status Gizi dengan

Kejadian ISPA Balita

di URJ Anak RSU

Dr. Soetomo

Surabaya

Terdapat

hubungan

antara status

gizi terhadap

kejadian ISPA

pada balita

yang taraf

signifikansinya

positif,

sehingga

artinya

semakin baik

status gizi

balita semakin

besar peluang

tidak

menderita

ISPA

Lokasi dan

bentuk

pengambilan

responden

3. Patricia, dkk

(2011)

Viral and Atypical

Bacterial Detection

in Acute Respiratory

Infection in Children

Under Five Yars

Ditemukan

bahwa

malnutrisi atau

kelainan pada

status gizi

yang tidak

sesuai

merupakan

faktor risiko

terjadinya

Penggunaan

variable bebas

serta metode

penelitian

4

ISPA

4. Collins John,

dkk. (2013)

Nutritional Status and

Morbidity in Children

in 0 – 5 years seen in

JOS University

Beberapa

morbiditas

atau kejadian

penyakit yang

ditimbulkan

karena

pengaruh

status gizi

misalnya

malaria, ISPA,

kelainan

vaksinasi,

diare dsb.

5. Garba dan

Mbofung (2010)

Relationship beetwen

Malnutrition and

Parasitic Infection

Kejadian

malnutrisi dan

infeksi

berkaitan erat

dan menjadi

masalah

kesehatan

yang penting

di usia anak –

anak

Variabel

terikat yang

dipakai dan

metode

pemakaian

data primer

dan sekunder

5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi

2.1.1. Definisi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses pencernaan, absorbsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ, serta menghasilkan energi

( Supariasa dkk, 2002).

Keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi serta penggunaan zat – zat

gizi akan membentuk suatu keadaan fisiologik yang diakibatka oleh karena ketersediaan

zat gizi dalam seluler tubuh. Keadaan ini disebut juga keadaan gizi (Supariasa dkk, 2002).

Status gizi merupakan suatu keadaan atau konsekuensi yang diakibatkan oleh status

keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan

(requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan,

perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dll (Suyatno, 2009).

Pengungkapan Status Gizi akan lebih baik dan mempunyai fungsi yang efektif

dalam pemeriksaan medis jika dapat mengungkapkan status gizi pada saat ini atau present

time. BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometric yang paling baik karena

dapat menggambarkan keadaan status gizi pada individu tersebut lebih sensitif dan

spesifik. Berat badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan, dan hingga seiring

pertumbuhan yang normal, berat dan tinggi akan menjadi proporsional (Sukirman, 2000).

Selain itu, Almatsier (2001) menjelaskan, status gizi adalah suatu keadaan tubuh

sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang diukur mengunakan

alat ukur dan satuan tertentu. Hasil dari pengukuran keadaan tersebut digolongkan

kedalam beberapa kelas atau kategori. Kategori itu yang nanti dapat kita jadikan acuan

apakah status gizi seseorang tersebut baik, kurang atau bahkan berlebih.

2.1.2 Faktor – faktor Status Gizi

Faktor – faktor yang mempengaruhi keadaan status gizi ada 2 yaitu penyebab

langsung dan tidak langsung.

a. Penyebab Langsung

Penyebab langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita. Anak yang mendapat makanan cukup baik

6

namun sering diserang penyakit infeksi seperti diare atau gejala demam

dapat lebih rentan terkena status kurang gizi. Selain itu, anak yang

mendapat asupan makanan yg tidak cukup baik dari segi kualitas maupun

kuantitas akan membuat daya tahan tubuh melemah. Dalam keadaan

demikian akan lebih mudah terserang penyakit infeksi. Sehingga dapat

dibuat sebuah kesimpulan nyata bahwa makanan dan penyakit cukup

berpengaruh terhadap status kurang gizi (Sukirman, 2000).

b. Penyebab Tidak Langsung

Pengaruh yang tidak berkaitan secara langsung terhadap status

gizi yaitu tidak cukupnya penyediaan pangan dikarenakan keadaan

ekonomi, pola asuh anak karena status sosial dan budaya, air bersih dan

pelayanan kesehatan anak yang tidak memadai. Kurangnya pendidikan,

pengetahuan dan keterampilan juga ikut berpengaruh (Sukirman, 2000).

Menurut Sediautama (1993), penyebab tidak langsung kurang

gizi adalah hambatan aborsi dan hambatan utilisasi zat gizi karena

berbagai hal, misalkan seperti penyakit infeksi pencernaan.

2.1.3. Penilaian Status Gizi

Penilaian terhadap status gizi dibagi ke dalam 2 jenis yaitu secara langsung dan

tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi Antropometri, klinis, biofisik,

biokimia. Sedangkan peniliaian secara tidak langsung yaitu survey konsumsi makanan,

statistik vital dan faktor ekologi. Masing – masing pendekatan penilaian ini mempunyai

kelemahan dan kelebihan, sehingga dapat digunakan sendiri - sendiri maupun kombinasi

(Supariasa, 2002).

Diantara keseluruhan pengukuran, Antropometrik adalah yang paling relatif

sederhana dan banyak dilakukan (Sukirman, 2000).

Dalam ilmu status gizi, pengukuran tidak hanya diketahui dengan mengukur berat

badan (BB) atau tinggi badan (TB) sesuai dengan umur secara terpisah-pisah, tetapi juga

dalam bentuk kombinasi ketiganya yang dapat menjadi indikator. Masing-masing

indikator mempunyai makna tersendiri (Sukirman, 2000).

Indikator berat badan menurut umur menunjukan secara sensitif status gizi saat ini

(saat diukur) karen mudah berubah. Namun indikator ini tidak spesifik karena berat badan

selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator berat badan

menurut tinggi badan menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi pada saat ini

(Sukirman, 2000).

7

a. Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Indikator BB/U mempunyai kategori normal, lebih rendah atau

lebih tinggi. BB/U normal dapat digolongkan kepada keadaan status gizi

baik. BB/U rendah dapat diartikan sebagai keadaan status gizi yang

kurang atau buruk. Adapun BB/U tinggi dapat diartikan sebagai keadaan

status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, sama-sama

mengandung risiko yang tidak baik. Status gizi kurang yang diukur

menurut indikator BB/U dikelompokkan ke dalam kelompok Berat

Badan Rendah atau underweight.

1. Kelebihan Indikator BB/U

- Dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat

umum

- Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu

pendek

- Dapat mendeteksi kegemukan.

2. Kekurangan Indikator BB/U

- Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat

pembengkakan

- data umur yang akurat sering sulit untuk diperoleh terutama di

negara yang sedang berkembang

- kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak

dilepas, dikoreksi dan anak yang bergerak terus.

b. Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Hasil pengukuran dari indikator TB/U ini dapat dikelompokkan

ke dalam 3 kelompok yaitu normal, kurang dan tinggi. Hasil pengukuran

TB/U menggamabarkan status gizi masa lalu. Seseorang yang termasuk

PTSU (Pendek Tak Sesuai Umur) kemungkinan keadaan gizi masa

lalunya tidak baik. Pada anak balita, kemungkinana untuk menormalkan

pertumbuhan linier dan mengejar pertumbuhan potensial (catch up

grown) masih ada. Sedangkan pada anak usia sekolah sampai pada

remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan linier masih ada, tetapi

kemungkinan kecil untuk dapat catch-up growth.

8

Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan

bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif

kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Indikator

TB/U menggambarkan status gizi masa lampau.

1. Kelebihan indikator TB/U

- Dapat memberikan gambaran status gizi dalam masa lampau

- Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk

2. Kelemahan indikator TB/U

- Kesulitan dalam pengukuran panjang badan pada kelompok

balita

- Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat kini

- Memerlukan data umur yang akurat sering sulit diperoleh

- Kesalahan saat pembacaan skala ukur.

c. Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Pengukuran antropometrik yang terbaik adalah menggunakan

indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini

lebih akurat. Mereka yang dikatakan kurang dalam pengukuran BB/TB

ini dapat dikatakan kurus atau wasted.

Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan , artinya

dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti

pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian

berat badan yang normal akan proporsional atau tumbuh seimbang

dengan tinggi badannya. Indikator BB/TB ini merupakan indikator yang

independen terhadap umur.

1. Kelebihan indikator BB/TB

- Independen terhadap umur dan ras

- Dapat menilai status kurus dan gemuk , keadaan marasmus atau

keadaan KEP berat

2. Kelemahan indikator BB/TB

- Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak

dilepas

- Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua

untuk tidak mau menimbang anaknya

9

- Kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggi badan pada

kelompok balita

- Kesalahan pada saat pembacaan skala pengukuran

- Tidak memberikan gambaran apakah anak tersebut normal,

pendek atau jangkung.

10

2.2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut

2.2.1 Definisi ISPA

ISPA singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Nelson (2008) mengartikan

ISPA sebagai suatu penyakit yang terutama mengenai struktur saluran pernafasan di atas

laring, tetapi dapat juga sering ditemukan mengenai bagian saluran atas dan bawah secara

simultan atau berurutan.

Definisi lain tentang ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu

bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

termasuk adneksanya, seperti sinus, rongga telingadan pleura ( Depkes, 1996).

ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas maupun bawah yang

disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ

saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Anonim, 2003).

2.2.2 Etiologi serta Faktor yang Mempengaruhi

Infeksi saluran pernafasan akut ini biasanya disebabkan tidak jauh dari infeksi viral

maupun bakterial. Faringitis biasanya 70% lebih banyak disebabkan oleh virus. Adapun

faringitis akut dengan tanda – tanda adanya lapisan pada tenggorokan, sering disebabkan

oleh Corynebacterium Diphteria (Nelson, 2008).

Etiologi ISPA terdiri atas 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab

ISPA antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pnemuokokkus, hemofilus, berdetella

dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan mikosovirus,

adenovirus, korona virus, pikonavirus, mikoplasma, harpesvirus (Anonimus, 2003).

Infeksi Akut pada telinga juga merupakan masalah yang akan menimbulkan infeksi

saluran pernafasan akut bagian atas jika tidak ditangani secara cepat. Kebanyakan infeksi

akut pada telinga itu sendiri disebabkan oleh infeksi bakterial (Nelson, 2000).

Pada pengidap Pneumonia, dapat ditemukan baik Bakteri atau Virus pada saa

pemeriksaan. Pneumonia Bacterial biasanya disebabkan oleh H.Influenzae, Stafilococcus

Aureus dan golongan Streptococci. Untuk Pneumonia Viral, biasanya disebabkan oleh

Measles Virus, RSVs, Parainfluenza Virus, Influenza Virus Type A dan Adenovirus

(Nelson, 2008).

2.2.3 Klasifikasi ISPA

ISPA atau Acute Respiratory Infections (ARI) diklasifikasikan oleh Simoes Eric,

dkk., menjadi infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi saluran pernafasan bawah.

Infeksi bagian atas yaitu jika infeksi terjadi dari lubang hidung hingga ke plika vokal di

11

laring. Disebut infeksi saluran pernafasan bawah jika terjadi infeksi dari laring hingga ke

paru – paru bagian bronkiolus dan alveolus (Nelson, 2008).

Infeksi saluran pernafasan bagian atas lebih sering terjadi. Seperti nasofaringitis,

rhinitis, sinusitis, faringitis, tonsilo faringitis dsb. Infeksi saluran pernafasan bagian

bawah memang jarang terjadi, namun akan lebih berbahaya. Contoh dari infeksi saluran

pernafasan bagian bawah ini adalah Pneumonia dan Bronhitis (Nelson, 2008).

a. Nasofaringitis

Sesuai dengan terminologinya, nasofaringitis adalah radang pada saluran

pernafasan sepanjang nasal hingga faring. Nasofaringitis akut merupakan infeksi

yang memang sering terjadi pada anak – anak. Biasanya nasofaringitis pada anak

berawal seperti common cold biasadan bisa lebih meluas melibatkan sinus paranasal

dan telinga tengah (Nelson, 2008).

Secara Patologi, perubahan pertama yang ditimbulkan oleh infeksi pada

nasofaring ini adalah gejala edema pada submukosa yang juga disertai dengan

vasodilatasi. Perubahan ini mempengaruhi struktural dan fungsional silia sehingga

pembersihan mukus pun terganggu. Mukus yang tidak di bersihkan menumpuk,

diperparah dengan produksi mukus yang meningkat pada keadaan infeksi sedang

hingga berat. Pada keadaan ini juga dapat terjadi pengelupasan epitel di lapisan

superfisial sehinga biasanya mukus yang mula – mula encer dapat berubah menjadi

kental bahkan menjadi purulen (Nelson, 2008).

Pada umumnya, gejala demam akan ditemui oleh anak yang berumur 3 bulan

sampai 3 tahun sebagai awal perjalanan dari infeksi ini. Manifestasi awal lain setelah

demam tinggi mendadak yaitu iritabilitas, gelisah dan bersin. Ingus hidung mulai

keluar dan menyebabkan sumbatan dalam rongga hidung.Jika hal ini berlangsung

selama 2-3 hari, akan berisiko menjadi otitis media purulenta. Fase demam berakhir

dari beberapa jam sampai beberapa hari namun demam dapat berulang dengan

komplikasi purulen (Nelson, 2008).

Sebagian besar kegawatan pada infeksi ini terjadi pada bayi yang sudah

mempunyai kebiasan bernafas dengan hidung, sedangkan gejala didapatkan

obstruksi hidung yang disebabkan mukus. Memasukan obat – obatan melalui hidung

lebih efektif untuk melegakan obstruksi hidung (Nelson, 2008).

Obstruksi hidung pada bayi sukar diobati. Drainase yang terbaik biasanya

dapat dicapai saat bayi dalam posisi menelungkup. Dekongestan yang diberikan

12

secara oral juga digunakansecara luas untuk mengurangi mukosa hidung yang

menebal dan melegakan obstruksi hidung (Nelson, 2008).

b. Faringitis Akut

Infeksi akut pada faring biasanya menunjukkan infeksi dimana keterlibatan

utama pada tenggorokan. Keterlibatan faring merupakan sebagian besar infeksi

saluran pernafasan atas dan juga ditemukan berbagai infeksi menyeluru akut.

Faringitis akut juga dapat merujuk pada tonsilitis dan faringolaringitis (Nelson,

2008).

Etiologi faringitis, sama seperti nasofaringitis yaitu bakteri dan virus. Masing

– masing etiologi mampeunyai manifestasi klinis yang berbeda. Faringitis virus

biasanya dianggap merupakan penyakit yang mempunyai tanda awalan berupa

demam, malaise dan anoreksia dengan nyeri khas pada tenggorokan dengan tingkat

nyeri sedang (Nelson, 2008).

Faringitis yang disebabkan oleh streptokokkus yang menyerang anak diatas

umur 2 tahun biasanya dimulai dengan keluhan nyeri kepala, nyeri perut dan

muntah. Gejala ini disertai dengan demam tinggi hingga 40 derajat celcius. Demam

dapat berlanjut selama 1 – 4 hari. Jika kasus berat, demam dapat bertahan hingga 2

minggu (Nelson, 2008).

Faringitis streptokokkus paling baik diobati dengan penisilin. Terapi ini dapat

langsung menunjukkan penurunan demam dalam 24 jam dam memperpendek

perjalanan penyakit dengan rata – rata 1,5 hari (Nelson, 2008).

13

2.3. Tinjauan Teori

2.3.1. Kaitan Status Gizi dengan Imunitas

Hubungan keadaan nutrisi atau status gizi dengan sistem imunitas sudah menjadi

topik penelitian selama beberapa dekade. Gizi yang baik dapat memungkinkan individu

tersebut untuk mendapatkan tumbuh kembang yang optimal. Secara molekuler, bahan

senyawa kimiawi yang dibutuhkan untuk membangun sistem imunitas juga dapat

terpenuhi dengan baik (Rodrigues dkk., 2011).

Sistem imun baik alamiah maupun adaptive, mempunyai respon yang tergantung

kepada leukosit. Keduanya bekerja bersama – sama secara simultan untuk menjaga

pertahanan tubuh. Bagian pertama dari respon imun adalah pertahanan yang dilakukan

oeh sel epitelial sebagai sel yang ada di permukaan. Untuk mikroorganisme atau patogen

yang melakukan invasi akan berurusan dengan fagosit. Jika hal tersebut tdak berhasil

maka sistem imun adaptive akan melanjutkan mempertahankan imun tubuh (Rodrigues

dkk., 2011).

2.3.2. Kaitan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi

Studi lapangan yang mengkaji korelasi antara status gizi dan kejadian infeksi sudah

sangat banyak dilakukan. Dari beberapa penelitian tersebut, didapatkan pernyataan bahwa

status gizi dari host akan menggambarkan secara signifikan hasil dari infeksi (Rodrigues

dkk., 2011).

Terdapat multiple mekanisme kaitan status gizi seseorang dengan terjadinya infeksi

, khususnya infeksi bakterial. Sebagai contoh, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan

kurangnya produksi mukus. Kekurangan ini menyebabkan bakteri yang seharusnya dapat

terperangkap pada mukus ini dan dibersihkan melalui mucus cleansing flow menjadi

semakin meningkat virulensinya terhadap host. Defek mukus sebagai barrier ini akan

sangat signifikan dalam patogenesis dari infeksi saluran pernafasan dan pencernaan atau

gastrointestinal (Rodrigues, 2011).

14

Infection

Malnutrition

Decreased Nutrient Intake

Malabsorption

Increased Metabolism

Impaired barrier protection

Impaired Immune Function

Gambar 1. Kaitan Malnutrisi dengan Kejadian InfeksiSumber: Rodrigues dkk., 2008

15

Penyebab Langsung

Penyebab Tidak Langsung

Asupan Makanan

Penyakit Infeksi

Ekonomi

Demam

Diare Mempe – ngaruhi status gizi

Sosial

Budaya

Air Bersih

Pelayanan Kesehatan

Bakteri

Virus

ISPA

Atas

Bawah

Rhinitis

Sinusitis

Laringitis

Faringitis

dsb

Pneumonia

Bronhitis

Bronhiolitis

2.4. Kerangka Teori

Sumber : Sukirman (2000)

Sumber : Nelson (2008)

16

Kelainan Status GiziGangguan Tumbuh Kembang

Makro dan Mikro Nutrient tubuh tidak terpenuhi

Defisiensi Substansi atau senyawa pendukung imunitas tubuh

Imunitas menurun

Barrier pertahanan tubuh tidak optimal

Rentan Infeksi Bakteri & Virus

Malaria

ISPA

Diare

Sumber : Rodrigues (2008)

17

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

2.6. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan antara Status Gizi seorang anak terhadap kejadian ISPA

18

Status Gizi Anak Kejadian ISPAISPA ( + )

ISPA ( - )

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang akan saya lakukan menggunakan metode deskriptif analitik dengan

pendekatan cross-sectional, suatu studi penelitian yang menggunakan data dengan

rentang waktu saat ini (present time). Penelitian ini mengambil kesimpulan atas apa yang

terjadi atau hubungan antara 2 variabel yaitu variabel yg dipengaruhi dan yang

mempengaruhi.

Data yang dijadikan variabel mempengaruhi adalah data status gizi anak,

sedangkan yang dijadikan variabel yang dipengaruhi adalah kejadian atau riwayat status

gizi anak. Setelah dilakukan pengambilan data, keduanya akan dihubungkan.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1. Populasi

Populasi target dari penelitian ini adalah anak usia 0 – 5 tahun yang berada

di kota Yogyakarta. Populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang

dibatasi oleh tempat dan waktu dan dapat dijangkau oleh peneliti (Sastroasmoro

dkk., 2002). Populasi pada penelitian ini adalah semua anak usia 0 – 5 tahun yang

memeriksakan dirinya di RS PKU Muhammadiyah yang berusia 0 – 5 tahun.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dengan cara tertentu sesuai

dengan jenis penelitian yang akan dipakai oleh peneliti. Untuk penelitian ini saya

menggunakan consecutive sampling, suatu teknik pengambilan sampel sederhana yang

masuk kedalam jenis non-probability sampling. Cara dengan teknik ini adalah dengan

mengambil sampel yang memenuhi kriteria tertentu sampai diperoleh sejumlah sampel.

(Sugiarto dkk., 2003)

Kriteria Inklusi untuk penelitian ini adalah :

a. Balita (usia 0 -5 tahun)

Kriteria Ekslusi untuk penelitian ini adalah :

a. Mempunyai Penyakit Kongenital Pernafasan dan pencernaan

b. Mempunyai riwayat BBLR

c. Mempunyai riwayat infeksi saluran pencernaan

d. Mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan kronis

19

Agar penelitian ini menjadi lebih valid, tentu dibutuhkan jumlah sampel yang

cukup dan memenuhi nilai minimal sampel. Dalam penelitian ini, digunakan rumus

menurut Sastroasmoro dkk. (2008), yaitu

n=(Z α √2. P .Q+Z β √P 1.Q1+P 2.Q2)2

( P1−P 2 )2

Keterangan.

P2 = 0,004 (Nuryanto, 2012)

Q2 = 1 – P2 = 0,996

P1 = 0,004 + 0,2 = 0,204

Q1 = 1 – P1 = 0,204 = 0,796

P = 12

(0,204 + 0,004) = 0,104

Q = 1 – P = 1 – 1,104 = 0,896

Zα = 1,96 dan Zβ = 0,842

n=(1,96√2. 0,104 .0,896+0,842√0,204 . 0,796+0,004 . 0,996)2

(0,2 ) 2

n=(1,96√0,186368+0,842√0,162384+0,003984 )2

0,04

n=(1,96√0,186368+0,842√0,166368)2

0,04

n=(0.84613906+0,34343693)2

0,04

n=1,41509110,04

n=35,377278

n dibulatkan menjadi 36

20

3.3. Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel Bebas

Variabel Bebas atau variabel independen adalah variabel yang memberikan

pengaruh. Adapun variabel independen yang akan diapakai dalam penelitian ini adalah

Status Gizi anak.

3.3.2 Variabel Terikat

Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang ingin di evaluasi

atau diteliti akibat dari pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas. Adapun yang

dijadikan variabel dependen pada penelitian ini adalah Kejadian ISPA pada anak.

3.4. Definisi Operasional

3.4.1. Status Gizi Anak

Gambaran dari keadaan nutrisi tubuh anak yang diukur melalui pengukuran Z-

Score atau Antropometri dengan Indikator BB/TB. Pengukuran ini dimaksud untuk

mengetahui keadaan status gizi anak saat sekarang.

Skala : Nominal

Parameter : - Normal

- 2 SD hingga 2 SD

- Tidak Normal

Kurang dari -2 SD

3.4.2. Kejadian ISPA

Pasien yang terdiagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut sesuai dengan Riwayat

Medis sesuai dengan gejala atau tanda berupa batuk, pilek, dan atau sesak nafas, tanpa

atau disertai demam, atau dengan minimal pemeriksaan penunjang berupa gambaran

radiologi thorax dan atau dengan pemeriksaan laboratorium berupa hitung darah lengkap

yang menunjukkan adanya infeksi seperti leukositosis (Depkes. RI., 2002)

Skala : Nominal

Parameter : - Ya

Terdiagnosis ISPA

- Tidak

Tidak terdiagnosis ISPA

3.4.3. Balita

21

Anak yang berusia 0 – 5 tahun. Pengambilan rentang usia diambil dari hasil

pengkalsifikasian umur oleh WHO tahun 1990 sebagai referensi.

3.5. Instrumen Penelitian

Alat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Riwayat pasien atau rekam medis anak untuk mengetahui adanya riwayat

status gizi serta ISPA

2. Form standar baku antropometri WHO-NCHS

3.6. Tahap Penelitian

Tahapan dari penelitian ini adalah :

1. Tahap Persiapan

a. Menentukan masalah

b. Memilih lokasi penelitian

c. Melakukan studi pendahuluan

d. Menyusun Proposal Penelitian

e. Melakukan Seminar Proposal Penelitian

2. Tahap Pelaksanaan

a. Izin Penelitian

b. Melakukan Pengambilan Data

c. Melakukan Pengolahan Data

3. Tahap Pelaporan

a. Menyusun laporan hasil penelitian

b. Seminar Hasil Penelitian

3.7. Rencana Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan bantuan

software Statistical Package for The Social Science (SPSS) for Windows. Untuk melihat

hubungan antara status gizi yang bersifat nominal dengan kejadian ISPA yang juga

bersifat nominal, dilakukan uji Chi-Square.

22

Tabel 2. Dummy Table

Diagnosis ISPATotal

Ya Tidak

Status GiziTidak Normal

Normal

Total

3.8. Etika Penelitian

3.8.1 Permohonan Ijin

Penelitian dilakukan dengan mengajukan permohonan ijin kepada Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Indonesia dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

3.8.2 Informasi

Sesuai dengan etika kedokteran bahwa rekam medis hanya dapat dilihat oleh

dokter dan pasien yang bersangkutan. Untuk itu, Semua informasi dan data yang

diperoleh akan digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya.

23

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Dari penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,

didapatkan populasi sejumlah 1201 pasien anak -anak yang pernah di rawat inap di

bangsal Ibnu Sina dalam periode Juli hingga Desember 2012.

Dengan merujuk kepada cara pengambilan data serta besar sampel dan

mengendalikan kriteria inkusi dan kriteria ekslusi, didapatkan 50 pasien balita (besar

sampel minimal = 35).

Analisis Univariat

Pada penelitian ini, 50 pasien yang saya dapat terdiri atas 32 laki – laki atau 64%

dan perempuan sebanyak 18 atau 36%.

Gambar 2. Gambaran frekuensi dari jenis kelamin pasien yang dijadikan sampel

penelitian setelah pengambilan sampel.

Untuk pengelompokan umur, didapatkan pasien usia 0-12 bulan sebanyak 17

orang (34%), usia 13-24 bulan sebanyak 13 orang (26%), usia 25-36 bulan sebanyak 7

orang (14%), usia 37-48 sebanyak 8 orang (16%) dan usia 49 – 50 bulan sebanyak 5

orang (10%).

24

Gambar 3. Gambaran Frekuensi dari Usia yang dikelompokan setiap 12 bulan.

Analisis Bivariat.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin membandingkan antara keadaan status gizi

melalui perhitungan Z Score yang didapat dari pengukuran Antopometri dengan kejadian

ISPA yang ditegakan melalui diagnosis dokter yang menangani pasien tersebut di RS

PKU Muhammadiyah.

Unsur perhitungan Z-Score menggunakan rumus

Nilai Antopometri−Median1SD dari Median

Nilai 1 SD dari median :

- Jika Nilai Antopometri < Median = Median – (-1 SD)

- Jika Nilai Antopometri > Median = +1 SD – Median

Adapun nilai SD diambil dari standar baku WHO NCHS yang telah diresmikan oleh

MenKes RI pada tahun 2010 (Terlampir). Nilai Antopometri yang diambil adalah

perbandingan antara BB/U. Untuk intepretasi hasil masih menggunakan sub bab Definisi

Operasional. Adapun keadaan status gizi setelah dikategorikan sesuai Z Score adalah

ditemukan sebanyak 80% status gizi normal atau sebanyak 40 orang pasien dan sebesar

20% status gizi tidak normal atau sebanyak 10 orang pasien.

Gambar 4. Gambaran frekuensi dari Kategori Status Gizi melalui Penilaian Z

Score dengan nilai baku standar WHO NCHS yang disahkan oleh MenKes RI tahun

2010.

25

Dari hasil diagnosis dalam rekam medis, didapatkan data 22 pasien terdiagnosis

ISPA (44%) dan sisanya sebanyak 28 pasien tidak terdiagnosis ISPA (56%). Sebagai

bentuk spesifik, dalam 50 pasien tersebut ada yang mengidap Bronkhitis sebanyak 6

orang (12%), Pneumonia 1 orang (2%) dan ISPA atas berupa faringitis dan sebagainya

sebanyak 15 orang pasien (30%).

Setelah dua unsur tersebut diklarifikasi, dilanjutkan dengan penghitungan

korelasi dengan menggunakan Chi-Square untuk mengetahui apakah ada hubungan

antara Status Gizi dengan Kejadian ISPA. Hasilnya adalah sebagai berikut.

Diagnosis ISPAJumlah P value RP (CI 95%)

Ya Tidak

Keadaan

Status Gizi

Tidak Normal 6 4 10

0,254

RP = 1,5

0,245 – 0,515Normal 16 24 40

Jumlah 22 28 50

Tabel 3. Distribusi Keadaan status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta.

Dari perhitungan menggunakan analisis Chi Square didapatkan hasil bahwa keadaan

status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU Muhammadiyah memiliki nilai p = 0,254

dengan 1 sel (25%) mempunya hitung <5. Hal ini berarti p > 0,005 atau hasil akhirnya

tidak ditemukan signifkansi yang besar. Dari perhitungan Rasio Prevalensi dengan CI

95% (0,245 – 0,515) didapatkan nilai RP sebesar 1,5.

26

Rasio Prevalensi (RP) = A/(A+B) : C/(C+D)

= 6/(6+4) : 16/(16+24)

= 1,5

4.2. Pembahasan

Perhitungan Status Gizi dengan penggunaan Antopometri yang terbaik adalah

menggunakan BB/TB atau dengan kombinasi antara BB/U, TB/U dan BB/TB. Namun,

dikarenakan faktor pendokumentasian yang kurang, sehingga pengukuran Status Gizi

Antopometri yang peneliti lakukan hanya terbatas pada BB/U. Perhitungan Status Gizi

dengan pendekatan BB/U mempunyai keuntungan yang sejalan dengan metode penelitian

Cross Sectional yakni dapat mengetahui status gizi anak pada saat itu juga atau present

time. Selain itu, hasil interpretasinya juga akan cukup membantu dan lebih mudah

dipahami oleh pembaca karena menggunakan hasil parameter kurus (-3 SD hingga -2

SD), normal (-2 SD hingga 2 SD), gemuk (lebih dari 2 SD) dan buruk (kurang dari –3

SD). Seiring dengan teori – teori sebelumnya yang telah dikemukakan di tinjauan

pustaka, sebagaian besar memakai parameter kurus, normal atau gemuk untuk

disandingkan dengan suatu kejadian penyakit. Dalam penelitian serupa yang dikerjakan

oleh Nuryanto, dituliskan bahwa Nuryanto menggunakan parameter berat badan dalam

KMS untuk dikaitkan dalam pengukuran status gizi yang akan dikaitkan dengan kejadian

ISPA.

Dari cara pengambilan data, peneliti melakukan pengambilan data dari rekam

medis secara berurutan dengan melihat kriteria inklusi dan ekslusi. Dengan metode ini

diharapkan adanya randomisasi dari status gizi yang ingin saya dapatkan sebagai awal

pijakan penelitian ini. Namun, walaupun jumlah minimal sampel sudah dipenuhi, ternyata

proporsi untuk status gizi lebih banyak di dominasi oleh status gizi baik (-2 SD hingga +2

SD) yaitu 80% atau 40 orang pasien. Selain itu, data yang dipakai dalam penelitian ini

hanyalah data sekunder yang sifatnya terbatas.

Diagnosis ISPA yang dipakai untuk kriteria penelitian, memang direncanakan

untuk menggunakan diagnosis dokter. Namun di lapangan, peneliti harus menambahkan

kejadian penyakit ke dalam kriteria karena terpisah diagnosis dari ISPA seperti Faringitis,

Bronkhitis Akut, Pneumonia dsb.

Dari Hasil Chi-Square yang peneliti lakukan sebagai penunjang, ternyata

Hubungan Status Gizi terhadap Kejadian ISPA pada Anak usia 1 – 5 tahun di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta periode 1 Juli hingga 31 Desember 2012 mempunyai nilai

P= 0,254. Nilai P yang lebih dari 0,005 ini berarti tidak terdapat hubungan yang

signifikan. Dari nilai RP status gizi dengan kejadian ISPA mempunyai nilai 1,5 atau lebih

27

dari 1 yang artinya status gizi yang tidak normal dapat dijadikan sebagai faktor resiko

terjadinya kejadian ISPA.

Hasil yang peneliti dapat, berbeda dengan hasil yang ada pada penelitian

sebelumnya pada rujukan keaslian penelitian. Dari 5 keaslian penelitian, seluruhnya

mempunyai hasil nilai P kurang dari 0,05 atau menunjukkan adanya hubungan antara

status gizi dengan kejadian ISPA.

Berdasarkan penelitian Garba dan Mbofung, kejadian mlanutrisi berkaitan erat

dengan kejadian infeksi khususnya infeksi parasitik. Dijelaskan dalam pendahuluannya,

malnutrisi merupakan keadaan yang dapat memudahkan parasit atau mikroorganisme

melakukan infeksi terhadap tubuh manusia karena turunnya pembentuk imunitas pada

tubuh tersebut. Dan hasil penelitian Garba dan Mbofung menunjukkan malnutrisi berat

dan sedang mempunyai jumlah 98 orang yang terinfeksi dan nutrisi yang normal

mempunyai jumlah 73 orang yang terinfeksi.

Perbedaan pada hasil ini terjadi karena jumlah balita dengan status gizi normal

(secara parameter) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah status giz tidak normal.

Keadaan status gizi balita normal di RS PKU Muhammadiyah periode 1 Juli hingga 31

Desember 2012 berjumlah 40 orang, sedangkan yang tidak normal berjumlah 10 orang.

Hasil ini juga pernah didapati dalam penelitian Ike Suhandayani yang berjudul

“Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA” pada tahun 2007 dengan nilai

P =0,78, dengan OR : 2,6 dan CI 95%. Proporsi gizi normal yang didapat sejumlah 87,9%

sedangkan untuk status gizi tidak normal adalah sejumlah 12,1%.

Selain itu, asupan makanan yang sangat berpengaruh pada keadaan status gizi

juga berperan untuk mengurangi kerentanan terhadap kejadian infeksi. Status gizi yang

baik, diperoleh dari asupan zat gizi yang baik pulasehingga dapat digunakan untuk

pertumbuhan, perkembangan dan meningkatkan daya tahan tubuh. (Sjahmien M, 2000)

Secara statistik, penilaian membuktikan tidak adanya korelasi, namun secara

lengkap, sebagian besar Status gizi normal yang terdiagnosis ISPA mempunyai nilai

status gizi yang berada di ambang bawah atau mendekati angka terbawah dari normal. 6

pasien dalam penelitian mempunyai status gizi normal yang terdiagnosis ISPA,

mempunyai nilai status gizi dari rentang -2SD hingga -1SD atau angka bawah dari

interpretasi Status Gizi Antropometri. Keberadaan hal ini ikut mendukung bahwa secara

realitanya status gizi yang kurang dapat menjadi faktor resiko dari kejadian ISPA. Untuk

itu, pentingnya menjaga status gizi anak semenjak dini sangatlah penting untuk

28

pertumbuhan dan perkembangan, khususnya dalam membangun imunitas tubuh sehingga

tidak mudah terkena infeksi.

29

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Secara statistika, didapatkan nilai P= 0,254 menunjukan bahwa P>0,05 yang

berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi anak dengan kejadian ISPA.

Dari perhitungan RP, didapatkan hasil RP 1,5 atau lebih dari 1, CI 95% (0,245 – 0,515)

hal ini menunjukkan bahwa keadaan status gizi dapat berpengaruh sebagai faktor resiko

terhadap kejadian ISPA. Data diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 1 Juli

hingga 31 Desember 2012.

5.2. Saran

1. Karena penelitian ini menggunakan status gizi, diperlukan adanya penelitian yang

lebih lanjut dengan sifat case control atau cohort untuk mengetahui apakah ada

perbedaan antara anak yang mengalami penurunan status gizi yang dibandingkan

dengan anak dengan status gizi normal dengan kejadian ISPA dalam perjalanan

penelitiannya.

2. Meskipun penelitian ini sudah mememenuhi besar sampel minimum, namun

untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah lagi jumlah dari sampel

yang akan di teliti.

3. Meskipun secara statistik, status gizi tidak berhubungan secara signifikan dengan

kejadian ISPA, namun tetap didapatkan status gizi yang tidak normal

menyebabkan kejadian ISPA lebih banyak. Selain itu , 6 pasien yang mempunyai

Rentang status gizi terbawah terdiagnosis ISPA. Oleh karena itu, Penjagaan

status gizi tetap harus dijadikan bahan pemikiran yang penting dalam menjaga

pertumbuhan dan perkembangan anak agar tetap terjaga dari penyakit dan hal

negatif lainnya.

30