2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)
-
Upload
syafrida-r-rasahan -
Category
Documents
-
view
21 -
download
5
description
Transcript of 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)
1
NASKAH PEGANGAN 3
KE-BAWASLU-AN
A. JATI DIRI PENGAWAS PEMILU
1. Pengertian Jati Diri Pengawas Pemilu
Jati diri adalah identitas seseorang atau kelompok yang dapat
menggambarkan keberadaan atau eksistensi dan keadaan seseorang atau
kelompok tersebut. Beberapa pakar menjelaskan arti dari jati diri ini, misalnya
Arnold Dashelfsky yang mengartikan jati diri sebagai ciri-ciri yang melekat pada
diri seseorang. Soemarno Soedarsono memberi arti jati diri sebagai tanda spesifik
yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sementara Hank Johuston
membagi jati diri kedalam dua kategori yaitu jati diri individu dan jati diri kolektif
(lembaga). Jati diri individu adalah ciri-ciri seseorang secara menyeluruh dalam
berinteraksi sosial sedangkan jati diri kolektif adalah suatu interaksi individu ke
individu lain dalam suatu kelompok bahkan tindakan-tindakan bersama dalam
sebuah kelompok.
Secara umum jati diri dapat diartikan sebagai kekuatan jiwa (the power of
mind) manusia yang terdiri dari sifat, karakter, paham, semangat, kepribadian,
moralitas, ahlak dan keyakinan yang merupakan hasil proses belajar dalam waktu
yang panjang dan yang muncul dalam ekspresi dan aktualisasi diri serta dalam
pola-pola perilaku berkehidupan, bermasyarakat dan berbudaya. Berdasarkan
defenisi umum diatas tidaklah terlalu berlebihan jika secara konsep jati diri
bawaslu diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki Bawaslu yang berakar dari
Bawaslu itu sendiri, yang menjadi identitas, karakter, atau ciri Bawaslu itu sendiri
yang menjadi modal dasar untuk membangun dirinya.
Jati diri memampukan seseorang atau kelompok memainkan peran dalam
suatu interaksi. Jati diri juga mampu memberi semangat bagi seseorang atau
mereka yang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Mengapa seseorang atau
sebuah kelompok memerlukan jati diri yang melekat pada dirinya?. Pada saat
kapan jati diri tersebut muncul?. Bagaimana bentuk perwujudan jati diri (Bawaslu).
Ini sejumlah pertanyaan penting yang perlu dijawab terlebih dahulu.
Jati diri yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok mampu menjadi
sebuah daya gerak dari dalam sehingga mampu menumbuhkan sikap dan perasaan
percaya diri dan mewujudkan karya cipta dan karsa. Sebelum memahami mengapa
jati diri diperlukan seseorang, kita perlu mengidentifikasi kapan jati diri itu muncul.
Beberapa sumber ilmiah yang dirujuk, menjelaskan dan mengidentifikasi
munculnya jati diri tersebut. Jati diri muncul ketika seseorang atau kelompok
melakukan interaksi. Jati diri tersebut muncul disebabkan oleh beberapa hal yaitu
sebagai refleksi hati nurani, keramahan yang tulus dan santun, ketakwaan kepada
Tuhan, keuletan dan ketangguhan, kecerdasan yang arif dan harga diri.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa seseorang atau kelompok
memerlukan jati diri. Bagi seseorang, jati diri merupakan kekuatan untuk
mempengaruhi, mengetahui posisi dan peran dalam berinteraksi. Sementara, bagi
sebuah kelompok atau lembaga, jati diri diperlukan untuk membedakan suatu
lembaga terhadap lembaga lain sehingga mantap dalam berpola pikir, bersikap,
2
bertindak menghadapi perubahan zaman. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan
suatu paradigma yang berfungsi sebagai pedoman atau acuan serta wahana
berinteraksi dalam lembaga untuk mampu menyatukan derap langkah bersama
dalam menghadapi tantangan sehingga terbentuk lembaga yang unggul, maju dan
harmoni. Jati diri lembaga dapat digali dari nilai-nilai sejarah lembaga.
Sebagai lembaga pengawas pemilu yang keberadaannya berdasarkan
mandat undang-undang, panitia pengawas pemilu (Panwas) dituntut untuk
menjadi lembaga yang harus berdiri di garis netral, tidak melakukan keberpihakan
kepada salah satu peserta pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Panwas juga
dituntut untuk mempunyai jati diri yang dapat membedakannya dengan lembaga
lain, khusus lembaga penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum. Apa
yang menjadi jati diri lembaga pengawas pemilu. Upaya pencarian jati diri lembaga
pengawas pemilu seharusnya dimulai dari proses penggalian nilai-nilai sejarah
lembaga pengawas pemilu.
2. Fundamental Jati Diri Pengawas Pemilu
Ada beberapa pilar yang mendasari pembentukan jati diri pengawas
Pemilu, yaitu:
1. Mandat sejarah.
Lembaga pengawas pemilu hadir karena pemilu Indonesia dalam
perjalanannya diwarnai praktek-praktek kompetisi yang tidak fair, banyak
pelanggaran dan sengketa. Tidak hanya oleh peserta pemilu, pelanggaran juga
dilakukan oleh Pemerintah yang pada saat kelembagaan pengawas pemilu
dilahirkan, Pemerintah menjalankan peran sebagai penyelenggara Pemilu.
Realitas inilah yang kemudian memicu munculnya ketidakpercayaan para
pembuat kebijakan dan mendorong mereka untuk melahirkan sebuah lembaga
pengawas pemilu untuk melakukan tugas-tugas pengawasan pemilu dan
penegakan hukumnya.
Secara formil keberadaan lembaga pengawas pemilu di Indonesia dimulai pada
pemilu tahun 1982 yaitu Panita Pelaksanaan Pengawasan Pemilihan Umum
(Panwaslak). Pemilu 1999 Panwaslak berubah nama menjadi Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) dan pada pemilu 2004 dan 2009 dibentuklah Badan
Pengawas Pemilu yang sifatnya permanen sampai di level provinsi, sedangkan
keberadaan Panwaslu masih tetap dipertahankan sampai saat ini namun
sifatnya ad hoc dan berada pada tingkatan kabupaten/kota.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita bahwa kelahiran institusi
pengawas pemilu mengemban mandat sejarah yang sangat berat yakni untuk
mengawal dan memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung secara fair
dan demokratis, melalui pelaksanaan fungsi pengawasan dan penindakan
pelanggaran pemilu. Artinya kehadiran lembaga pengawas pemilu diposisikan
sebagai quality control (pengedali kualitas) pemilu. Sejarah menumpukan
harapan yang tinggi kepada kinerja lembaga pengawas pemilu ini, dan hal ini
menjadikan pengawas pemilu harus melaksanakan mandat sejarah ini.
Tentunya hal ini bukanlah merupakan tugas yang ringan, tidak dapat
dilaksanakan secara gegabah, bahkan dijadikan sebagai pekerjaan
sampingan.Karena pelaksanaan tugas quality control ini memerlukan kerja
3
keras, dedikasi, dan integritas pengawas pemilu, mengingat bidang yang
diawasi adalah kompetisi politik untuk perebutan kekuasaan.
2. Konteks sosial, politik, hukum, budaya.
Konteks adalah sebuah lingkungan yang melatari sebuah peristiwa. Dalam hal
ini, kehadiran dan peran pengawas pemilu sebagaimana diuraikan sebelumnya
lahir dalam sebuah konteks yang tidak dapat dipisahkan dari kelahiran dan
standard kinerja lembaga itu sendiri. Pemahaman terhadap konteks ini
diperlukan untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang
melahirkan sebuah institusi.
Kelahiran dan kebutuhan akan peran pengawasan pemilu berada dalam beberapa
konteks sosial, politik, dan budaya. Setidaknya ada beberapa gejala yang dapat
ditangkap dalam konteks tersebut sebagai berikut:
a. Merebaknya pragmatisme politik masyarakat. Dalam pemilu, angka partisipasi
masayarakat dalam menggunakan hak pilihnya cukup tinggi, namun belum
sebanding dengan tingginya kesadaran masyarakat dalam upaya mengawal
suaranya. Tidak hanya masyarakat perorangan, sama halnya juga dengan
masyarakat yang terlembaga seperti ORMAS, Media, Komunitas bahkan
Instansi-instansi Pemerintahan.
b. Integritas Penyelenggara Pemilu; dalam mewujukan keadilan peyelengaraan
Pemilu, harus diawali dengan integritas penyelenggara pemilu. Banyaknya
penyelenggara Pemilu yang mendapatkan sangsi bahkan sampai ratusan yang
diberhentikan baik tersangkut pidana, maupun kasus etika, membuktikan bahwa
masih banyaknya penyelenggara Pemilu yang tiak memiliki integritas, sehingga
akan menjauhkan keadilan dalam penyelenggaraan Pemilu.
c. Cultur feodalistik dan tidak berjalannya fungsi-fungsi Partai Politik. Masih
kuatnya budaya feodalistik dan oligarkhi dalam kepartaian di Indonesia banyak
mempengaruhi jalannya roda organisasi di internal partai politik, selain itu akan
melahirkan sumberdaya-sumberdaya politik yang syarat akan patronase politik,
dimana ewuh pakewuh, dominasi tertumpu pada seseorang dan menitikberatkan
pada orientasi kekeuasaan akan mewarnai perjalanan partai politik direpublik
ini. Kondisi ini memberikan kontribusi besar bagi kurang maksimalnya fungsi-
fungsi kepartaian, seperti Pendidikan Politik, Kaderisasi, pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan dan penyambung asiprasi masyarakat.
d. Belum efektif dan optimalnya kinerja lembaga perwakilan rakyat hasil pemilu
di Indonesia; “Kisruh Wakil Rakyat” sering kali dipertontonkan, hal itu terlebih
ketikan sedang membahas sesuatu yang menyangkut kepentingkan politik
dirinya, bukan kepentingan masyarakat. Kondisi itu sedikti banyak
mempengaruhi persepsi dan ekspektasi publik akan manfaat Pemilu sebagai
instrumen untuk memfasilitasi pergantian kepemimpinan politik.
e. “Mendorong Mobil Mogok”, istilah yang sering kita dengar yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat yang menggambarkan, bagaimana pemimpin
pemerintahan setelah dipilih dan didukung oleh rakyat, lupa terhadap
kepentingan rakyat yang dijanjikan dalam kampanye-kampanyenya, bahkan
akibat dari orientasi kekuasaan dan mateial, tidak sedikit kepala daerah dan
jajarannya yang tersangkut berbagai kasus pidana.
Konteks sosial, politik, dan budaya tersebut di atas menampakkan masih
jauhnya ketercapaian cita-cita demokrasi melalui pemilu. Indikator pemilu
4
berkwalitas yang mencakup Pertama : Partisipasi Masyarakat yang tinggi;
Kedua : Penyelenggara Pemilu yang adil; Ketiga : Terciptanya Demokratisasi
Internal Partai; Keempat : Terpilihnya Wakil Rakyat yang Amanah; Kelima :
Terbentuknya Pemimpin bertanggungjawab, masih menjadi harapan yang
membutuhkan waktu dan upaya yang berat untuk mewujudkannya.
Dalam konteks tersebut, keberadaan lembaga pengawasan pemilu ditantang untuk
turut berkontribusi dalam mewujudkan proses penyelenggaraan Pemilu yang
demokratis sebagai fundamen dalam mewujudkan tata pemerintahan yang kuat,
demokratis dan menyejahterakan rakyat. Kegagalan pengawas pemilu dalam
menjalankan tugas dan fungsinya akan mempengaruhi kegagalan bangsa dalam
melaksanakan pembangunan.
3. Mandat perundang-undangan
Di samping mandat sejarah dan konteks politik-sosial-hukum-budaya, salah
satu pilar penting dari jati diri pengawas pemilu adalah mandat perundang-
undangan. Mandat ini lahir dari dasar hukum tertinggi yakni konstitusi (UUD
1945), UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, undang-
undang Pemilu, Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota, serta Peraturan Bersama KPU-Bawaslu-DKPP tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Konstitusi secara tegas mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu,
yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adapun pengertian luber
dan jurdil tersebut adalah:
• Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara
langsung dan tidak boleh diwakilkan.
• Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang
sudah memiliki hak menggunakan suara.
• Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
• Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
• Asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur
mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai
dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang
memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara
pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang
akan terpilih.
• Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan
pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta
atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada
pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Pengaturan tentang prinsip-prinsip pemilu ini sangat penting untuk menjaga
agar penyelenggaraan Pemilu sebagai ajang kompetisi politik ini dapat berjalan
secara dama, tertib, dan fair. Tanpa adanya dan dipatuhinya prinsip-prinsip
tersebut, maka dapat diprediksi bahwa kompetisi dalam Pemilu akan berjalan
secara anarkhis.
5
Sementara itu, UU nomor 15 tahun 2011 memuat pengaturan tentang asas-asas
penyelenggara pemilu yang merupakan prinsip-prinsip dasar yang harus
diimplementasikan dalam kinerja penyelenggara pemilu. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyatakan Penyelenggara Pemilu
berpedoman pada azas:
• mandiri
• jujur;
• adil;
• kepastian hukum;
• tertib penyelenggara Pemilu;
• kepentingan umum;
• keterbukaan;
• proporsionalitas;
• profesionalitas;
• akuntabilitas;
• efisiensi; dan
• efektivitas.
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya,
Penyelenggara Pemilu harus berpedoman pada asas-asas yang disebutkan
dalam Pasal 2 tersebut, baik dalam hal berpikir, berpendapat, maupun dapat
bertindak. Dalam penjelasan pasal demi pasal UU Nomor 15 Tahun 2011, ke-12
asas tersebut dinyatakan “cukup jelas”.Hal itu berarti kita tidak dapat
memperoleh penafsiran formal (otentik) terhadap ke-12 asas tersebut.Oleh
karena itu, untuk dapat lebih memahami maksud dari masing-masing asas
tersebut, kita dapat menggunakan arti lexical-nya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata dari asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mandiri. Mandiri adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak
bergantung pada orang lain. Contoh: sejak kecil ia sudah biasa mandiri
sehingga bebas dari ketergantungan pada orang lain. Dalam konteks
Penyelenggara Pemilu, berarti bahwa penyelenggara pemilu tidak
tergantung pada orang atau pihak lain dalam menjalankan tugas,
wewenang, dan kewajibannya. Dalam kenyataannya, memang, tidak ada
seseorang atau sekelompok orang atau suatu organisasi pun yang dapat
hidup secara mandiri, sama sekali bebas dari ketergantungan terhadap
pihak lain. Penyelenggara Pemilu (KPU daerah dan Panwaslu) juga
demikian adanya. Dalam hal anggaran, misalnya, penyelenggara pemilu
tetap saja “tergantung” pada pihak lain, yaitu DPRD dan Pemerintah
Daerah. Meski demikian, harus dipahami bahwa ke-“tergantung”-an
tersebut bukan menjadi alasan bagi penyelenggara Pemilu untuk
“menundukkan” dirinya kepada Pemda atau DPRD. Dalam
menjalankan tugasnya Penyelenggara Pemilu hanya tunduk pada
peraturan peraturan perundang-undangan. Perlu dipahami, bahwa
kedudukan DPRD dan Pemda terkait dengan penetapan anggaran Pemilu
Kada adalah dalam rangka menjalankan “kewajibannya” sebagaimana juga
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
6
b. Jujur. Jujurartinya: lurus hati; tidak berbohong (berkata apa adanya); tidak
curang (mengikuti aturan yang berlaku) tulus dan ikhlas. Berdoman
pada asas “jujur” berarti penyelenggara pemilu harus mengikuti aturan
yang berlaku, tidak berbohong, tulus, dan iklas dalam melaksanakan
tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.
c. Adil. Ada beberapa arti lexical dari kata “adil”, antara lain: sama berat;
tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yg benar; berpegang
pada kebenaransepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dalam konteks
penyelenggaraan pemilu, Pengawas Pemilu harus bertindak secara adil,
dalam arti tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-
wenang terhadap pemilih, peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan
semua pihak lain pemangku kepentingan terhadap Pemilu.
d. Kepastian hukum. Dalam ilmu hukum ikhwal kepastian hukum ini adalah
salah satu aspek utama dalam hukum. Kepastian hukum biasanya diartikan
sebagai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis.
Menurut Prof. Ramlan Surbakti, PhD, setidaknya terdapat dua indikator
proses penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratik: (a)
adanya kepastian hukum dalam pengaturan semua tahapan
penyelenggaraan pemilihan umum (predictable procedures) tetapi hasil
pemungutan dan penghitungan suara tidak ada yang tahu (unpredictable
results), dan (b) semua tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur
berdasarkan asas-asas pemilihan umum yang demokratik, seperti
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, dan akuntabel. Yang
dimaksud dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan semua
tahapan penyelenggaraan pemilihan umum adalah undang-undang tentang
pemilihan umum: (a) mengatur semua hal yang perlu diatur mengenai
tahapan pemilihan umum, (b) berisi pasal-pasal yang isinya konsisten satu
sama lain, dan bahkan konsisten dengan pasal-pasal yang terkandung
dalam undang-undang lain, dan (c) berisi pasal-pasal yang artinya
dipahami secara tunggal oleh semua pemangku kepentingan. Dalam
rumusan secara negatif, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah
undang-undang tentang pemilihan umum tidak mengandung kekosongan
hukum, tidak mengandung pasal-pasal yang bertentangan satu sama lain,
dan tidak mengandung pasal-pasal yang multi-tafsir.
e. Tertib penyelenggara Pemilu. Ada beberapa arti kata tertib, yakni
teratur; menurut aturan; rapi; sopan; dengan sepatutnya. Dengan
demikian, asas Tertib Penyelengara Pemilu ini menuntut Penyelenggara
Pemilu senantiasa melakukan pekerjaannya secara teratur (tidak
serampangan), menurut aturan, bersikap sopan, dan bertindak dengan
sepatutnya.
f. Kepentingan umum. Yang dimaksud dengan azas kepentingan umum
adalah bahwa Penyelenggara Pemilu harus mendahulukan kepentingan
umum daripada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan diri sendiri.
7
g. Keterbukaan. Asas ini menuntut penyelenggara atau pengawas pemilu
senantiasa terbuka terhadap semua pihak, tidak melakukan pekerjaan
secara sembunyi-sembunyi.
h. Proporsionalitas. Proporsionalitas dapat diartikan sesuai dengan
porsinya, atau sepatutnya. Dalam konteks penyelenggaraan atau
pengawasan Pemilu, seorang pengawas tidak boleh melakukan hal-hal
yang tidak sepatutnya, baik dari segi moral maupun dari segi hukum yang
berlaku.
i. Profesionalitas. Profesionalitas adalah kemampuan seseorang untuk
bertindak secara profesional. Untuk dapat bertindak secara profesional,
seseorang harus menguasai pengetahuan dan keterampilan terkait dengan
pekerjaan yang harus dilakukan. Dengan demikian, seorang pengawas
Pemilu harus memahami peraturan perundang-undangan pemilu serta
memiliki keterampilan mengawasi pemilu
j. Akuntabilitas. Akuntabilitas biasanya dikaitkan dengan pertanggungan
jawab. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan, terutama dari segi hukumnya. Pengawas Pemilu
adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan diberikan
kewenangan untuk mengambil berbagai tindakan dalam mengawasi
Pemilu. Karena itu, sebagai pejabat publik, pengawas pemilu harus dapat
mempertanggungjawabkan setiap tindakannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
k. Efisiensi. Efisiensi biasanya dikaitkan dengan materi yang dikorbankan
untuk mencapai atau menghasilkan suatu capaian tertentu. Semakin
sedikit materi atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh capaian
pekerjaan tertentu, maka semakin tinggi tingkat efisiensi dalam pekerjaan
tersebut.
l. Efektivitas. Istilah efektivitas seringkali disandingkan dengan istilah
efisiensi. Perbedaannya, efisiensi diukur dari segi biaya yang dikeluarkan
untuk mencapai suatu capaian tertentu, sedangkan efektivitas diukur dari
ketepatan cara yang digunakan untuk mendapatkan capaian tertentu.
Karena itu, ada kalanya suatu metode atau cara yang digunakan sangat
efektif tetapi tidak efisien.
Di sisi lain, mandat perundang-undangan juga memuat kode etik sebagai salah
satu pilar nilai yang harus dipatuhi oleh pengawas pemilu sebagai salat satu
bagian dari lembaga penyelenggara pemilu. Kode etik adalah norma atau azas
tertentu yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah
laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Supaya dapat
berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus merupakan hasil self
regulation (pengaturan diri) dalam profesi tersebut. Dengan membuat kode
etik, organisasi profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih (secara
tertulis) niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki.
Karena itu, kode etik tidak akan pernah bisa dipaksakan atau disusun oleh
orang dari luar organisasi. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-
8
cita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bisa mendarah daging
dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan juga dengan
tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat
berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya harus diawasi terus-
menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang
dikenakan pada pelanggar kode etik.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, integritas penyelenggara menjadi
modal utama dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.Untuk mengikat
integritas Penyelenggara Pemilu tersebut maka dibuat suatu aturan dan
mekanisme bersama antara ketiga lembaga yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP
sebagai satu kesatuan sistem Penyelenggara Pemilu.Aturan dan mekanisme
tersebut dibuat dalam bentuk kode etik yang dituangkan dalam Peraturan
Bersama Nomor 13, 11, dan 1 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan
Umum. Berdasarkan peraturan tersebut Kode Etik Penyelenggara pemilu
didefenisikan sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis
yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang
diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan
dan ucapan.
Pembentukan peraturan bersama tersebut adalah perintah Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.Kode etik
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama tersebut bersifat mengikat
kepada seluruh personel penyelenggara pemilu, dimana penegakannya
dilakukan oleh DKPP. Adapun prinsip kode etik penyelenggara pemilu tersebut
yakni:
• Menggunakan kewenangan berdasarkan hukum;
• Bersikap dan bertindak non partisan dan imparsial;
• Bertindak transparan dan akuntabel;
• Melayani pemilih menggunakan hak pilihnya;
• Tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan;
• Bertindak professional;
• Administrasi pemilu yang akurat.
Ketiga mandat tersebut menjadi pilar pembentuk jati diri pengawas
pemilu, yang darinya muncul nilai-nilai yang harus dipahami, dihayati, dan
dipraktekkan oleh pengawas pemilu dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
pengawasan pemilu.
3. Jati Diri Pengawas Pemilu
Memperhatikan ketiga mandat tersebut di atas, maka untuk dapat
menjalankan fungsi sebagai quality control terhadap penyelenggaraan pemilu
diperlukan integritas yang total yang membuat pengawas pemilu dapat dipercaya
dan diandalkan dalam mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.
Integritas inilah yang menjadi roh atau jiwa pengawas pemilu.Seorang pengawas
pemilu harus mengerti betul persoalan di lapangan, peta aktor politik formal,
informal dan bersama pengaruh-pengaruhnya di lapangan. Dengan mengetahui
peta persoalan, peta aktor, serta pengaruh-pengaruhnya, kita akan tahu siapa rival,
9
siapa kawan atau mitra, siapa yang harus kita gandeng diwaktu-waktu yang akan
datang dalam menyukseskan tugas-tugas pengawasan. Dengan mengetahui peta
persoalan, kita mampu memajukan lembaga pengawasan sebagai instrumen
penggerak demokrasi. Semua kemampuan yang dimiliki oleh pengawas pemilu
dalam memetakan persoalan tidak akan berarti jika integritas sebagai hal yang
utama tidak dimiliki.
Integritas harus begitu melekat pada diri seorang pengawas
pemilu.Integritas harus menjadi jati diri pengawas pemilu.Excellence with
integrity adalah jiwa 1korsa atau jargon bawaslu yang menunjukkan keseriusan
dan totalitas Bawaslu dan seluruh jajarannya untuk berada di garda terdepan
dalam memberi jaminan bahwa pemilu dilaksanakan secara berintegritas dan
penagwas pemilu hadir sebagai instrumen penggerak demokrasi.
Bagaimana bentuk-bentuk perwujudan jati diri pengawas
pemilu?Pertanyaan ini penting untuk melihat implementasi langsung jati diri
pengawas pemilu. Beberapa bentuk-bentuk perwujudan jati diri pengawas pemilu
adalah:
1. etos kerja pengawas pemilu yang tinggi demi terwujudnya excellence with
integrity.
2. tidak arogran dalam menjalankan tugas pengawasan dan mampu
mengendalikan dorongan nafsu desktruktif yang berptensi menciderai jati diri
pengawas pemilu
3. menjunjung tinggi nilai kejujuran, keterbukaan, keikhlasan, professionalisme,
dan tanggung jawab.
4. berkepribadian tangguh dalam membela dan menjunjung tinggi kebenaran.
Keempat sikap tersebut di atas harus diwujudkan dalam citra diri
Pengawas pemilu yang berintegritas yang mencakup:
1. Seorang Panwas menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting, tidak akan tergoda
oleh hal-hal yang lebih besar- kekuasaan, prestise maupun uang sekalipun.
Panwas taat pada nilai moral internal/kode etik kepemiluan, bahkan bila itu
berarti panwas harus berhadapan dengan resiko yang tinggi.
2. Seorang Panwas mampu menemukan serta mengungkapkan yang benar (saat
yang lain melihatnya abu-abu). Kemudian tidak untuk mengambil keputusan
sendiri.
3. Seorang Panwas memilliki tanggung jawab yang tinggi, bersikap terbuka dan
jujur, mengungkapkan informasi yang baik maupun yang buruk secara lengkap.
lakukan dengan tidak berdasarkan tekanan, tidak berdasarkan permintaan,
tidak atas keberpihakan pada peserta pemilu. laksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, kajian yang mendalam berdasarkan
imformasi yang ada serta berdasarkan keadilan prosudural.
4. Seorang pengawas pemilu harus bekerja secara professional, mengutamakan
pendapat dan penilaian berdasarkan ketentuan hukum dan pertimbangan
moral serta prinsip-prinsip demokrasi.
10
5. Menciptakan budaya kepercayaan, tidak menguji integritas pribadi panwas
yang lain atau Kasek serta jajaranya. Kemudian untuk memperkuat integritas
itu dengan melalui prinsip, control, dan teladan pribadi dan juga memberikan
penghargaan pribadi dalam segala tindakan mereka.
6. Seorang Panwas tepat waktu, berlaku penuh integritas, guna memperoleh
kepercayaan.
7. Seseorang Panwas peduli terhadap yang utama (asas-asas pemilu) kebaikan
yang lebih besar, berkomitmen (individu/kelompok) sangat kuat untuk
memberikan yang utama itu terhadap penyelenggaraan pemilu.
8. Kejujuran namun rendah hati, tidak memproklamasikan kebaikan atau
kejujuran sendiri.
9. Seseorang Panwas bertindak sebagai sedang diawasi, berfikir bahwa setiap
tindakan anda selalu diawasi.
10. Tempat kan orang yang yang ber-Integritas, kelilingi diri dengan orang-orang
berintegritas tinggi lalu mempromosikan orang yang memperlihatkan
kemampuan untuk dipercaya.
11. Konsisten, seorang Panwas harus memiliki konsistensi dan keterdugaan etis.
Mengapa pengawas pemilu harus memiliki integritas yang menjadi inti dari
jati diri pengawas pemilu?
1. Untuk menjamin kualitas kepemiluan
2. Menentukan masa depan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik
3. Menciptakan pemilu yang berintegritas dan berkesinambungan.
4. Bila penyelenggaraan pemilu memiliki integritas maka siapaun yang
memandang bahwa pemilu yang diselenggarakan adalah pemilu yang
berintegritas, apa yang kita katakan dengan mudah serta di terima oleh orang
lain sehingga kita lebih mudah menjalankan kepengawasan itu sendiri.
Perwujudan dari jati diri dan citra diri pengawas pemilu tidak hanya dalam
konteks sikap individual pengawas pemilu.Namun perwujudan ini juga harus
ditampakkan dalam pola kerja kolektif antar pengawas pemilu.Dalam kerangka ini,
maka jati diri dan citra diri pengawas pemilu dalam konteks relasi antar pengawas
pemilu harus dilandasi asas soliditas, solidaritas, dan sinergi.
a. Solidaritas. Pengawas Pemilu harus memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi,
perasaan sama rasa, dan empati kepada sesama pengawas pemilu. Tantangan
dan kendala yang dihadapi oleh seorang pengawas pemilu harus pula
dirasakan oleh pengawas pemilu lainnya. Keberhasilan dan prestasi dalam
melakukan pengawasan pemilu harus pula dibagikan kepada pengawas pemilu
lainnya agar dapat menjadi bahan pembelajaran dan direplikasikan oleh yang
lain. Solidaritas sesama pengawas pemilu ini bila diterapkan akan dapat
menjadi fondasi yang kokok bagi kinerja kelembagaan pengawas pemilu.
b. Sinergitas. Pengawas pemilu di berbagai tingkatan harus menggunakan cara
pandang kelembagaan sebagai satu kesatuan yang utuh di bawah payung
lembaga pengawas pemilu. Cara pandang ini akan membawa pengawas pemilu
kepada cara kerja kolektif, dengan mengedepankan sinergitas, saling dukung,
dan saling melengkapi dalam menjalankan tugas pengawas pemilu. Filosofi
11
sapu lidi harus dijiwai dalam cara kerja pengawas pemilu, karena dengannya,
kekuatan kelembagaan dapat dioptimalkan untuk mengawasi penyelenggaraan
pemilu yang memiliki ruang lingkup di seluruh daerah pemilihan dan
melibatkan seluruh aktor peserta pemilu, penyelenggara pemilu, serta
stakehodler lainnya. Pendekatan kerja secara parsial berbasis tingkat
kelembagaan pengawas hanya akan menghasilkan pengawasan pemilu yang
tidak efektif dan efisien. Tentunya pola kerja sinergis ini membutuhkan
kemampuan kepemimpinan (leadership) yang tinggi serta kemampuan
manajerial dalam membagi beban tugas pengawasan pemilu.
c. Soliditas.Panwas harus mampu membangun sebuah pondasi, prisai, atap yang
kokoh, kuat dan rapat terhadap kepemiluan. Menjalankan dan mengamankan
kepentingan-kepentingan yang ada untuk tujuan tegaknya demokrasi yang
telah di amanatkan oleh Undang-undang sesuai dengan visi misi serta asas-asas
pemilu, memahami aturan dan bekerja sesuai dengan aturan, lalu tegakkan
kode etik, dan melaksanakan tugas sesuai tupoksi yang ada (discription).
Bertindaklah sesuai dengan prosedur standar, bangunlah motivasi kerja
dengan cara transparansi, profesionalitas, akuntabilitas. Ini merupakan modal
dasar untuk pertahanan dalam menjalankan serta tegak dan berdirinya panwas
secara kuat sehingga tidak mudah untuk diarahkan kepada siapapun guna
untuk tujuan dan kepentingan pribadi, kelompok, maupan golongan. Panwas
harus mampu membangun itu semua sehingga siapa-pun yang melihat,
mendengar dan membutuhkannya sesuai dengan apa yang telah di amanatkan
olehnya. Di dalam menjalankannya tidak bisa hanya menjalankan sekedarnya
saja, namun harus mampu melakukannya melebihi dari apa yang telah tertera,
ia harus mampu dan berkemampuan untuk penyelidikan yang dalam agar hal
tersebut benar-benar sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Sehingga
siapun yang mendegar, melihat dan menyaksikannya memiliki kalsipikasi
kaliber berat. Untuk pencapai, tentunya diawali oleh keseriusan yang
sesungguhnya dibuktikan oleh semua pihak tanpa ke-berpihakan. Jika itu
dilaksanakan dengan baik maka panwas akan dilihat kokoh dan kuat tidak
gampang diombang-ambingkan, dipermainkan dan lain sebagainya. Agar
proses itu terbangun dengan cepat dan baik panwas harus
mempertahankannya secara terus-menerus membuka diri dengan menerima
masukan dari segala pihak dengan cermat dan utuh, bukan sebaliknya panwas
tertutup atau menutup diri, panwas harus mampu membagun hubungan antar
masyarakat, lembaga-lembaga lainnya. Disisi ini panwas juga harus mengerti
dan atau menempatkan diri. Oleh karena itu pada jajaran keatasnya ia harus
menempuh mekanisme yang ada dan jika itu dengan jajaran yang di bawahnya
maka setidaknya dapat memberikan dukungan yang kuat. Maka, jika dijalankan
kesemuanya ini akan terbangun suatu soliditas kesetiakawanan atau
kekompakan.
12
B. MANAGEMEN PENGAWASAN PEMILU
Dengan berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati
telah memasuki babak baru dalam Pemilihan Kepala Daerah dari sebelumnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Perppu tersebut paling tidak dapat dilihat beberapa perubahan yaitu:
1. Aspek regulasi a. Perpu No 1/2014 sebagai landasan hukum Pemilihan memuat beberapa
perubahan norma pengaturan penyelenggaraan pemilihan, antara lain munculnya prosedur uji publik dalam proses pencalonan, kampanye yang dibiayai negara, larangan praktek candidacy buying, dan lain-lain.
b. Perpu masih mengandung banyak persoalan yang mencakup kekosongan hukum, kontradiksi norma, dan ketidakjelasan pengaturan.
2. Aspek kelembagaan Pengawas Pemilu Kelembagaan pengawas pemilihan mengalami perluasan organisasi dengan dibentuknya pengawas TPS.
Sebagaimana kita ketahui penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
berbeda halnya dengan Penyelenggaraan Pemilu Legislatif, dan Pemiihan Presiden
dan Wakil Presiden dimana locus penyelenggaraannya adalah seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sedangkan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota locus penyelenggaraanya adalah wilayah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Hal ini juga berdampak pada actor atau subjek yang bertanggung
jawab dalam melakukan pengawasannya adalah jajaran Pengawas Pemilu dari
tingakat Provinsi sampai dengan TPS.
Sebagai subjek yang bertanggung jawab dalam rangka pengawasan Pemilihan
Gubernur Bupati dan Walikota Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota ada
beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Bawaslu Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk memaksimalkan pengawasan pemilihan yang meliputi:
1. Penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tahun 2015 berada di tengah ekspektasi yang tinggi di kalangan masyarakat yang ditandai oleh tingginya dukungan terhadap penyelenggaraan pemilihan secara langsung
Mandat Historis Mandat sosial-politik-
budaya Mandat Perundang-
undangan
Jati Diri
Pengawas
Pemilu
Sikap Pengawas
Pemilu
Perilaku kerja
Pengawas Pemilu
13
2. Penyelenggaraan Pemilu 2014 baik Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menyisakan permasalahan di beberapa aspek yang menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu antara lain persoalan daftar pemilih, penghitungan suara, dan black-campaign.
3. Masih adanya beberapa permasalahan sebagai dampak dari kebijakan pemekaran daerah (pembentukan Daerah Otonom Baru) berpotensi memunculkan beberapa persoalan teknis dalam pengawasan Pemilihan terutama terkait dengan pengawasan pempendaftaran pemilih
Selain itu berdasarkan pengalaman pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah
selama ini adalah tingginya potensi pelanggaran yang disebabkan oleh beberapa
faktor yang meliputi:
1. Tingkat kompetisi dan kontestasi antar calon Gubernur, Bupati, dan Walikota sangat besar. Hal ini disebabkan karena terjadinya kristalisasi kepentingan dan dukungan politik kepada masing-masing calon Gubernur, Bupati, dan Walikota.
2. Besarnya potensi konflik antar pendukung pasangan calon, yang dipicu oleh dekatnya jarak dan ikatan kepentingan dan ikatan emosional pasangan calon dengan pendukung mereka.
3. Besarnya potensi ketidaknetralan dan parsialitas penyelenggara Pemilihan, mengingat pengalaman empiric selama ini menunjukkan bahwa arena kompetisi antar pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga merambah kepada wilayah pemasangan “orang” mereka dalam institusi penyelenggara PemiluKada.
4. Tingginya potensi pelanggaran terutama menyangkut isu-isu spesifik, antara lain politik uang, abuse of power, dan manipulasi dana kampanye.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas peran Bawaslu Provinsi dan Panwas
Kabupaten/Kota menjadi sangat strategis dalam melakukan pengawasan agar
penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota berkualitas dan
berintegritas.
Peran strategis tersebut memerlukan pra-syarat berupa pengelolaan pengawasan
yang tepat sasaran, efektif, dan efisien. Pengawas Pemilu di berbagai tingkat harus
bekerja secara tertib, terpola dan terarah, untuk memastikan dicapainya hasil
pengawasan yang tidak ecek-ecek (tidak bermutu). Setiap jenjang pengawas pemilu
harus jelas tugas dan beban serta tanggung jawabnya dalam melakukan pengawasan
pemilu. Sebuah obyek pengawasan tertentu tidaklah harus diawasi oleh semua
pengawas pemilu di seluruh tingkatan, tetapi dapat dibagi berdasarkan pertimbangan
kapasitas, kompetensi, dan tingkat kedekatannya baik secara geografis maupun akses.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
a. Sinergitas Pengawas Pemilu dalam melakukan tugas-tugas Pengawasan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa actor sekaligus penanggungjawab
pengawasan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Bawaslu Provinsi
dan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk itu perlu melakukan yaitu:
1. Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota mengoptimalkan peran
kepemimpinan dan Pengendalian jajaran pengawas pemilu dibawahnya. Selain
itu Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota juga harus memastikan
14
instruksi yang diberikan kebawah dilaksanakan dengan baik yang dapat
dilakukan dengan monitoring dan supervise.
Di sisi lain, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota perlu
berkonsentrasi untuk mengawal pengawasan pemilu pada isu-isu yang memiliki
tingkat kompleksitas masalah yang tinggi, tingkat tekanan politik yang besar,
serta mengundang perhatian publik yang massif.
2. Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota perlu menetapkan focus
pengawasan berdasrkan tahapan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan
selanjutnya mendistribusikan pelaksanaan pengawasan berdasarkan focus
pengawasan tersebut kepada jajaran pengawas pemilu dibawahnya. Sebagai
gambaran dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tahapan Fokus Pengawasan Actor Pengawasan
Pencalonan Uji Publik Bawaslu
Provinsi/Panwaslu
Kabupaten/Kota
Penyusunan
Daftar Pemilih
Akurasi data pemilih Panwascam dan PPL
kampanye Metode dan jadwal pelaksanaan
kampanye
Bawaslu
Provinsi/Panwaslu
Kab/kota/Panwascam
dan PPL
Pemungutan
dan
penghitungan
suara
- KPPS tidak melaksanakan pemungutan danpenghitungan suara sesuai prosedur
- Adanya pemilih ganda
PPL dan Pengawas
TPS
3. Adanya pola komunikasi antar jajaran Pengawas Pemilu
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota harus mampu membangun
komunikasi yang efektif dengan jajaran pengawas Pemilu baik dari atasan ke
bawahan maupun sebaliknya. Komunikasi dari atasan ke bawahan dalam
kaitannya dengan kepentingan pemberian instruksi dan memastikan
pelaksanaan instruksi tersebut serta dalam pemberian bimbingan kepada
jajaran pengawas pemilu dibawahnya. sedangkan dari bawahan ke atasan dalam
rangka konsultasi dan lain-lain. Dengan demikian masalah-masalah dalam
pelaksanaan pengawasan pemilu dapat segera terdeteksi sedini mungkin.
Komunikasi ini dapat dilaksanakan mulai dari media komunikasi yang
sederhana yaitu sms (short massage ), Facebook, dll.
b. Pengelolaan data Pengawasan
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota juga harus mampu mengelola
data-data pengawasan baik berdasrkan temuan maupun berdasrkan laporan
masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan melalui:
1. Pengenalan karakter data hasil pengawasan.
15
Data-data hasil pengawasan harus dikelola secara cepat dan akurat karena
dalam kaitannya dengan pemanfaatan data-data tersebut baik dalam rangka
menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut (penanganan pelanggaran)
maupun dalam rangka pertanggungjawaban lembaga kepada masyarakat
untuk mempublikasikannya. Intinya semua data-data yang didapatkan oeh
jajaran pengawas pemilu ditingkat bawah harus segera dilaporkan pada hari
yang sama kepada pengawas pemilu diatasnya.
2. Adanya mekanisme pengelolaan data.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
- Perlu disusun prosedur pengelolaan data yang isinya memuat paling tidak
prosedur pengiriman, waktu pengiriman, dan penanggung jawab.
- Perlu dibuat system pengelolaan data yang sederhana dan efektif misalnya
pengelolaan yang berbasis sms, email, dan lain2
c. Akuntabilitas dan Transparansi Hasil Pengawasan
Bawaslu sebagai lembaga publik mempunyai konsekuensi untuk menerapkan
akuntabilitas dan transparansi kelembagaan.Hal ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban kepada public mengenai kinerja Bawaslu. Dalam melaksanakan
akuntabilitas dan transparansi tersebut Bawaslu Provinsi atau Panwaslu
Kabupaten/Kota perlu membuat mekanisme pembublikasian data-data pengawasan
yang isinya paling tidak memuat siapa yang berwenang untuk mempublikasikan dan
media yang digunakan untuk mempublikasikannya serta jangka waktu
pembublikasian. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Data pengawasan Wewenang pembublikasian Jangka waktu
Temuan politik uang Bawaslu Provinsi/Panwaslu
Kabupaten/kota
Dipublikasikan pada hari yang
sama sejak ditemukan
Laporan dugaan
pelanggaran kampanye
Bawaslu Provinsi/Panwaslu
Kabupaten/Kota/Panwascam
Dipublikasikan sejak adanya
kajian dugaan pelanggaran
C. ORGANISASI PENGAWAS PEMILU
1. Pengawas Pemilu
Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan dan Pengawas TPS
1. Bawaslu Provinsi bersifat tetap.
2. Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan dan Pengawas TPS bersifat ad hoc.
2. Pembentukan, Susunan dan Keanggotaan
Tentang pembentukan, susunan dan keanggotaan lembaga pengawas pemilihan
gubernur, bupati dan walikota diatur dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
16
a. Keanggotaan Bawaslu Provinsi Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan,
Pengawas Pemilihan Lapangan, dan Pengawas TPS berasal dari kalangan
profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan
tidak menjadi anggota partai politik.
b. Jumlah anggota:
1) Bawaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;
2) Panwas Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;
3) Panwas Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
4) Pengawas Pemilihan Lapangan sebanyak 1 (satu) orang setiap desa atau
sebutan lain/kelurahan
5) Pengawas TPS sebanyak 1 (satu) orang setiap TPS
(1) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tahapan persiapan penyelenggaraan pemilihan dimulai ;
(2) Panwas Kabupaten/Kota dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan
setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;
(3) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu
Provinsi
(4) Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota dilakukan melalui seleksi
oleh Bawaslu Provinsi;
(5) Panwas Kecamatan dibentuk 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama
penyelenggaraan pemilihan dimulai ;
(6) Panwas Kecamatan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah
seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;
(7) Panwas Kecamatan untuk Pemilihan dibentuk oleh Panwas
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Keputusan Panwas
Kabupaten/Kota;
(8) Pengawas Pemilihan Lapangan dibentuk 1 (satu) bulan sebelum
tahapan pertama penyelenggaraan pemilihan dimulai;
(9) Pengawas Pemilihan Lapangan dibubarkan paling lambat 2 (dua)
bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;
(10) Anggota Pengawas Pemilihan Lapangan ditetapkan dengan Keputusan
Panwas Kecamatan;
(11) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pengawas Pemiihan
Lapangan dapat dibantu 1 (satu) orang Pengawas TPS di masing-
masing TPS berdasarkan usulan PPL kepada Panwas Kecamatan;
(12) Pengawas TPS dibentuk 23 (duapuluh tiga) hari sebelum hari
pemungutan suara pemilihan;
(13) Pengawas TPS dibubarkan 7 (tujuh) hari setelah hari pemungutan
suara pemilihan.
3. Tugas, Wewenang dan Kewajiban
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota telah menyebutkan secara jelas mengenai tugas, dan wewenang, serta kewajiban pengawas pemilu mulai dari Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan. Adapun tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah sebagai berikut:
17
a. Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilihan di wilayah provinsi yang meliputi:
1) pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
2) pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan gubernur;
3) proses penetapan calon gubernur
4) penetapan calon gubernur;
5) pelaksanaan kampanye;
6) pengadaan logistik pemilihan dan pendistribusiannya;
7) pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilihan;
8) Pengawasan seluruh proses penghitungan suara di wilayah kerjanya;
9) Proses rekapitulasi suara dari seluruh kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU Provinsi;
10) Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilihan lanjutan, dan pemilihan susulan; dan
11) Proses penetapan hasil pemilihan gubernur
b. mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu dan ANRI;
c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan oleh Penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi;
g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan yang sedang berlangsung;
h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilihan; dan
i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Bawaslu Provinsi berwenang untuk:
a. Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan pemilihan; dan
b. Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilihan.
18
KEWAJIBAN BAWASLU PROVINSI
a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas Pemilu pada tingkatan di bawahnya;
c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan;
d. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan pemilihan secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;
e. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilihan di tingkat provinsi; dan
f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
STRUKTUR ORGANISASI BAWASLU PROVINSI