2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

18
1 NASKAH PEGANGAN 3 KE-BAWASLU-AN A. JATI DIRI PENGAWAS PEMILU 1. Pengertian Jati Diri Pengawas Pemilu Jati diri adalah identitas seseorang atau kelompok yang dapat menggambarkan keberadaan atau eksistensi dan keadaan seseorang atau kelompok tersebut. Beberapa pakar menjelaskan arti dari jati diri ini, misalnya Arnold Dashelfsky yang mengartikan jati diri sebagai ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang. Soemarno Soedarsono memberi arti jati diri sebagai tanda spesifik yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sementara Hank Johuston membagi jati diri kedalam dua kategori yaitu jati diri individu dan jati diri kolektif (lembaga). Jati diri individu adalah ciri-ciri seseorang secara menyeluruh dalam berinteraksi sosial sedangkan jati diri kolektif adalah suatu interaksi individu ke individu lain dalam suatu kelompok bahkan tindakan-tindakan bersama dalam sebuah kelompok. Secara umum jati diri dapat diartikan sebagai kekuatan jiwa (the power of mind) manusia yang terdiri dari sifat, karakter, paham, semangat, kepribadian, moralitas, ahlak dan keyakinan yang merupakan hasil proses belajar dalam waktu yang panjang dan yang muncul dalam ekspresi dan aktualisasi diri serta dalam pola-pola perilaku berkehidupan, bermasyarakat dan berbudaya. Berdasarkan defenisi umum diatas tidaklah terlalu berlebihan jika secara konsep jati diri bawaslu diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki Bawaslu yang berakar dari Bawaslu itu sendiri, yang menjadi identitas, karakter, atau ciri Bawaslu itu sendiri yang menjadi modal dasar untuk membangun dirinya. Jati diri memampukan seseorang atau kelompok memainkan peran dalam suatu interaksi. Jati diri juga mampu memberi semangat bagi seseorang atau mereka yang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Mengapa seseorang atau sebuah kelompok memerlukan jati diri yang melekat pada dirinya?. Pada saat kapan jati diri tersebut muncul?. Bagaimana bentuk perwujudan jati diri (Bawaslu). Ini sejumlah pertanyaan penting yang perlu dijawab terlebih dahulu. Jati diri yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok mampu menjadi sebuah daya gerak dari dalam sehingga mampu menumbuhkan sikap dan perasaan percaya diri dan mewujudkan karya cipta dan karsa. Sebelum memahami mengapa jati diri diperlukan seseorang, kita perlu mengidentifikasi kapan jati diri itu muncul. Beberapa sumber ilmiah yang dirujuk, menjelaskan dan mengidentifikasi munculnya jati diri tersebut. Jati diri muncul ketika seseorang atau kelompok melakukan interaksi. Jati diri tersebut muncul disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai refleksi hati nurani, keramahan yang tulus dan santun, ketakwaan kepada Tuhan, keuletan dan ketangguhan, kecerdasan yang arif dan harga diri. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa seseorang atau kelompok memerlukan jati diri. Bagi seseorang, jati diri merupakan kekuatan untuk mempengaruhi, mengetahui posisi dan peran dalam berinteraksi. Sementara, bagi sebuah kelompok atau lembaga, jati diri diperlukan untuk membedakan suatu lembaga terhadap lembaga lain sehingga mantap dalam berpola pikir, bersikap,

description

Utk pemahaman semua

Transcript of 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

Page 1: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

1

NASKAH PEGANGAN 3

KE-BAWASLU-AN

A. JATI DIRI PENGAWAS PEMILU

1. Pengertian Jati Diri Pengawas Pemilu

Jati diri adalah identitas seseorang atau kelompok yang dapat

menggambarkan keberadaan atau eksistensi dan keadaan seseorang atau

kelompok tersebut. Beberapa pakar menjelaskan arti dari jati diri ini, misalnya

Arnold Dashelfsky yang mengartikan jati diri sebagai ciri-ciri yang melekat pada

diri seseorang. Soemarno Soedarsono memberi arti jati diri sebagai tanda spesifik

yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sementara Hank Johuston

membagi jati diri kedalam dua kategori yaitu jati diri individu dan jati diri kolektif

(lembaga). Jati diri individu adalah ciri-ciri seseorang secara menyeluruh dalam

berinteraksi sosial sedangkan jati diri kolektif adalah suatu interaksi individu ke

individu lain dalam suatu kelompok bahkan tindakan-tindakan bersama dalam

sebuah kelompok.

Secara umum jati diri dapat diartikan sebagai kekuatan jiwa (the power of

mind) manusia yang terdiri dari sifat, karakter, paham, semangat, kepribadian,

moralitas, ahlak dan keyakinan yang merupakan hasil proses belajar dalam waktu

yang panjang dan yang muncul dalam ekspresi dan aktualisasi diri serta dalam

pola-pola perilaku berkehidupan, bermasyarakat dan berbudaya. Berdasarkan

defenisi umum diatas tidaklah terlalu berlebihan jika secara konsep jati diri

bawaslu diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki Bawaslu yang berakar dari

Bawaslu itu sendiri, yang menjadi identitas, karakter, atau ciri Bawaslu itu sendiri

yang menjadi modal dasar untuk membangun dirinya.

Jati diri memampukan seseorang atau kelompok memainkan peran dalam

suatu interaksi. Jati diri juga mampu memberi semangat bagi seseorang atau

mereka yang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Mengapa seseorang atau

sebuah kelompok memerlukan jati diri yang melekat pada dirinya?. Pada saat

kapan jati diri tersebut muncul?. Bagaimana bentuk perwujudan jati diri (Bawaslu).

Ini sejumlah pertanyaan penting yang perlu dijawab terlebih dahulu.

Jati diri yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok mampu menjadi

sebuah daya gerak dari dalam sehingga mampu menumbuhkan sikap dan perasaan

percaya diri dan mewujudkan karya cipta dan karsa. Sebelum memahami mengapa

jati diri diperlukan seseorang, kita perlu mengidentifikasi kapan jati diri itu muncul.

Beberapa sumber ilmiah yang dirujuk, menjelaskan dan mengidentifikasi

munculnya jati diri tersebut. Jati diri muncul ketika seseorang atau kelompok

melakukan interaksi. Jati diri tersebut muncul disebabkan oleh beberapa hal yaitu

sebagai refleksi hati nurani, keramahan yang tulus dan santun, ketakwaan kepada

Tuhan, keuletan dan ketangguhan, kecerdasan yang arif dan harga diri.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa seseorang atau kelompok

memerlukan jati diri. Bagi seseorang, jati diri merupakan kekuatan untuk

mempengaruhi, mengetahui posisi dan peran dalam berinteraksi. Sementara, bagi

sebuah kelompok atau lembaga, jati diri diperlukan untuk membedakan suatu

lembaga terhadap lembaga lain sehingga mantap dalam berpola pikir, bersikap,

Page 2: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

2

bertindak menghadapi perubahan zaman. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan

suatu paradigma yang berfungsi sebagai pedoman atau acuan serta wahana

berinteraksi dalam lembaga untuk mampu menyatukan derap langkah bersama

dalam menghadapi tantangan sehingga terbentuk lembaga yang unggul, maju dan

harmoni. Jati diri lembaga dapat digali dari nilai-nilai sejarah lembaga.

Sebagai lembaga pengawas pemilu yang keberadaannya berdasarkan

mandat undang-undang, panitia pengawas pemilu (Panwas) dituntut untuk

menjadi lembaga yang harus berdiri di garis netral, tidak melakukan keberpihakan

kepada salah satu peserta pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Panwas juga

dituntut untuk mempunyai jati diri yang dapat membedakannya dengan lembaga

lain, khusus lembaga penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum. Apa

yang menjadi jati diri lembaga pengawas pemilu. Upaya pencarian jati diri lembaga

pengawas pemilu seharusnya dimulai dari proses penggalian nilai-nilai sejarah

lembaga pengawas pemilu.

2. Fundamental Jati Diri Pengawas Pemilu

Ada beberapa pilar yang mendasari pembentukan jati diri pengawas

Pemilu, yaitu:

1. Mandat sejarah.

Lembaga pengawas pemilu hadir karena pemilu Indonesia dalam

perjalanannya diwarnai praktek-praktek kompetisi yang tidak fair, banyak

pelanggaran dan sengketa. Tidak hanya oleh peserta pemilu, pelanggaran juga

dilakukan oleh Pemerintah yang pada saat kelembagaan pengawas pemilu

dilahirkan, Pemerintah menjalankan peran sebagai penyelenggara Pemilu.

Realitas inilah yang kemudian memicu munculnya ketidakpercayaan para

pembuat kebijakan dan mendorong mereka untuk melahirkan sebuah lembaga

pengawas pemilu untuk melakukan tugas-tugas pengawasan pemilu dan

penegakan hukumnya.

Secara formil keberadaan lembaga pengawas pemilu di Indonesia dimulai pada

pemilu tahun 1982 yaitu Panita Pelaksanaan Pengawasan Pemilihan Umum

(Panwaslak). Pemilu 1999 Panwaslak berubah nama menjadi Panitia Pengawas

Pemilu (Panwaslu) dan pada pemilu 2004 dan 2009 dibentuklah Badan

Pengawas Pemilu yang sifatnya permanen sampai di level provinsi, sedangkan

keberadaan Panwaslu masih tetap dipertahankan sampai saat ini namun

sifatnya ad hoc dan berada pada tingkatan kabupaten/kota.

Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita bahwa kelahiran institusi

pengawas pemilu mengemban mandat sejarah yang sangat berat yakni untuk

mengawal dan memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung secara fair

dan demokratis, melalui pelaksanaan fungsi pengawasan dan penindakan

pelanggaran pemilu. Artinya kehadiran lembaga pengawas pemilu diposisikan

sebagai quality control (pengedali kualitas) pemilu. Sejarah menumpukan

harapan yang tinggi kepada kinerja lembaga pengawas pemilu ini, dan hal ini

menjadikan pengawas pemilu harus melaksanakan mandat sejarah ini.

Tentunya hal ini bukanlah merupakan tugas yang ringan, tidak dapat

dilaksanakan secara gegabah, bahkan dijadikan sebagai pekerjaan

sampingan.Karena pelaksanaan tugas quality control ini memerlukan kerja

Page 3: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

3

keras, dedikasi, dan integritas pengawas pemilu, mengingat bidang yang

diawasi adalah kompetisi politik untuk perebutan kekuasaan.

2. Konteks sosial, politik, hukum, budaya.

Konteks adalah sebuah lingkungan yang melatari sebuah peristiwa. Dalam hal

ini, kehadiran dan peran pengawas pemilu sebagaimana diuraikan sebelumnya

lahir dalam sebuah konteks yang tidak dapat dipisahkan dari kelahiran dan

standard kinerja lembaga itu sendiri. Pemahaman terhadap konteks ini

diperlukan untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang

melahirkan sebuah institusi.

Kelahiran dan kebutuhan akan peran pengawasan pemilu berada dalam beberapa

konteks sosial, politik, dan budaya. Setidaknya ada beberapa gejala yang dapat

ditangkap dalam konteks tersebut sebagai berikut:

a. Merebaknya pragmatisme politik masyarakat. Dalam pemilu, angka partisipasi

masayarakat dalam menggunakan hak pilihnya cukup tinggi, namun belum

sebanding dengan tingginya kesadaran masyarakat dalam upaya mengawal

suaranya. Tidak hanya masyarakat perorangan, sama halnya juga dengan

masyarakat yang terlembaga seperti ORMAS, Media, Komunitas bahkan

Instansi-instansi Pemerintahan.

b. Integritas Penyelenggara Pemilu; dalam mewujukan keadilan peyelengaraan

Pemilu, harus diawali dengan integritas penyelenggara pemilu. Banyaknya

penyelenggara Pemilu yang mendapatkan sangsi bahkan sampai ratusan yang

diberhentikan baik tersangkut pidana, maupun kasus etika, membuktikan bahwa

masih banyaknya penyelenggara Pemilu yang tiak memiliki integritas, sehingga

akan menjauhkan keadilan dalam penyelenggaraan Pemilu.

c. Cultur feodalistik dan tidak berjalannya fungsi-fungsi Partai Politik. Masih

kuatnya budaya feodalistik dan oligarkhi dalam kepartaian di Indonesia banyak

mempengaruhi jalannya roda organisasi di internal partai politik, selain itu akan

melahirkan sumberdaya-sumberdaya politik yang syarat akan patronase politik,

dimana ewuh pakewuh, dominasi tertumpu pada seseorang dan menitikberatkan

pada orientasi kekeuasaan akan mewarnai perjalanan partai politik direpublik

ini. Kondisi ini memberikan kontribusi besar bagi kurang maksimalnya fungsi-

fungsi kepartaian, seperti Pendidikan Politik, Kaderisasi, pengawasan terhadap

jalannya pemerintahan dan penyambung asiprasi masyarakat.

d. Belum efektif dan optimalnya kinerja lembaga perwakilan rakyat hasil pemilu

di Indonesia; “Kisruh Wakil Rakyat” sering kali dipertontonkan, hal itu terlebih

ketikan sedang membahas sesuatu yang menyangkut kepentingkan politik

dirinya, bukan kepentingan masyarakat. Kondisi itu sedikti banyak

mempengaruhi persepsi dan ekspektasi publik akan manfaat Pemilu sebagai

instrumen untuk memfasilitasi pergantian kepemimpinan politik.

e. “Mendorong Mobil Mogok”, istilah yang sering kita dengar yang berkembang

di tengah-tengah masyarakat yang menggambarkan, bagaimana pemimpin

pemerintahan setelah dipilih dan didukung oleh rakyat, lupa terhadap

kepentingan rakyat yang dijanjikan dalam kampanye-kampanyenya, bahkan

akibat dari orientasi kekuasaan dan mateial, tidak sedikit kepala daerah dan

jajarannya yang tersangkut berbagai kasus pidana.

Konteks sosial, politik, dan budaya tersebut di atas menampakkan masih

jauhnya ketercapaian cita-cita demokrasi melalui pemilu. Indikator pemilu

Page 4: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

4

berkwalitas yang mencakup Pertama : Partisipasi Masyarakat yang tinggi;

Kedua : Penyelenggara Pemilu yang adil; Ketiga : Terciptanya Demokratisasi

Internal Partai; Keempat : Terpilihnya Wakil Rakyat yang Amanah; Kelima :

Terbentuknya Pemimpin bertanggungjawab, masih menjadi harapan yang

membutuhkan waktu dan upaya yang berat untuk mewujudkannya.

Dalam konteks tersebut, keberadaan lembaga pengawasan pemilu ditantang untuk

turut berkontribusi dalam mewujudkan proses penyelenggaraan Pemilu yang

demokratis sebagai fundamen dalam mewujudkan tata pemerintahan yang kuat,

demokratis dan menyejahterakan rakyat. Kegagalan pengawas pemilu dalam

menjalankan tugas dan fungsinya akan mempengaruhi kegagalan bangsa dalam

melaksanakan pembangunan.

3. Mandat perundang-undangan

Di samping mandat sejarah dan konteks politik-sosial-hukum-budaya, salah

satu pilar penting dari jati diri pengawas pemilu adalah mandat perundang-

undangan. Mandat ini lahir dari dasar hukum tertinggi yakni konstitusi (UUD

1945), UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, undang-

undang Pemilu, Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota, serta Peraturan Bersama KPU-Bawaslu-DKPP tentang

Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Konstitusi secara tegas mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu,

yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adapun pengertian luber

dan jurdil tersebut adalah:

• Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara

langsung dan tidak boleh diwakilkan.

• Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang

sudah memiliki hak menggunakan suara.

• Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada

paksaan dari pihak manapun.

• Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya

diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

• Asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur

mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai

dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang

memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara

pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang

akan terpilih.

• Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan

pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta

atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada

pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Pengaturan tentang prinsip-prinsip pemilu ini sangat penting untuk menjaga

agar penyelenggaraan Pemilu sebagai ajang kompetisi politik ini dapat berjalan

secara dama, tertib, dan fair. Tanpa adanya dan dipatuhinya prinsip-prinsip

tersebut, maka dapat diprediksi bahwa kompetisi dalam Pemilu akan berjalan

secara anarkhis.

Page 5: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

5

Sementara itu, UU nomor 15 tahun 2011 memuat pengaturan tentang asas-asas

penyelenggara pemilu yang merupakan prinsip-prinsip dasar yang harus

diimplementasikan dalam kinerja penyelenggara pemilu. Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyatakan Penyelenggara Pemilu

berpedoman pada azas:

• mandiri

• jujur;

• adil;

• kepastian hukum;

• tertib penyelenggara Pemilu;

• kepentingan umum;

• keterbukaan;

• proporsionalitas;

• profesionalitas;

• akuntabilitas;

• efisiensi; dan

• efektivitas.

Dengan demikian, dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya,

Penyelenggara Pemilu harus berpedoman pada asas-asas yang disebutkan

dalam Pasal 2 tersebut, baik dalam hal berpikir, berpendapat, maupun dapat

bertindak. Dalam penjelasan pasal demi pasal UU Nomor 15 Tahun 2011, ke-12

asas tersebut dinyatakan “cukup jelas”.Hal itu berarti kita tidak dapat

memperoleh penafsiran formal (otentik) terhadap ke-12 asas tersebut.Oleh

karena itu, untuk dapat lebih memahami maksud dari masing-masing asas

tersebut, kita dapat menggunakan arti lexical-nya. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, arti kata dari asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mandiri. Mandiri adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak

bergantung pada orang lain. Contoh: sejak kecil ia sudah biasa mandiri

sehingga bebas dari ketergantungan pada orang lain. Dalam konteks

Penyelenggara Pemilu, berarti bahwa penyelenggara pemilu tidak

tergantung pada orang atau pihak lain dalam menjalankan tugas,

wewenang, dan kewajibannya. Dalam kenyataannya, memang, tidak ada

seseorang atau sekelompok orang atau suatu organisasi pun yang dapat

hidup secara mandiri, sama sekali bebas dari ketergantungan terhadap

pihak lain. Penyelenggara Pemilu (KPU daerah dan Panwaslu) juga

demikian adanya. Dalam hal anggaran, misalnya, penyelenggara pemilu

tetap saja “tergantung” pada pihak lain, yaitu DPRD dan Pemerintah

Daerah. Meski demikian, harus dipahami bahwa ke-“tergantung”-an

tersebut bukan menjadi alasan bagi penyelenggara Pemilu untuk

“menundukkan” dirinya kepada Pemda atau DPRD. Dalam

menjalankan tugasnya Penyelenggara Pemilu hanya tunduk pada

peraturan peraturan perundang-undangan. Perlu dipahami, bahwa

kedudukan DPRD dan Pemda terkait dengan penetapan anggaran Pemilu

Kada adalah dalam rangka menjalankan “kewajibannya” sebagaimana juga

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Page 6: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

6

b. Jujur. Jujurartinya: lurus hati; tidak berbohong (berkata apa adanya); tidak

curang (mengikuti aturan yang berlaku) tulus dan ikhlas. Berdoman

pada asas “jujur” berarti penyelenggara pemilu harus mengikuti aturan

yang berlaku, tidak berbohong, tulus, dan iklas dalam melaksanakan

tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.

c. Adil. Ada beberapa arti lexical dari kata “adil”, antara lain: sama berat;

tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yg benar; berpegang

pada kebenaransepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dalam konteks

penyelenggaraan pemilu, Pengawas Pemilu harus bertindak secara adil,

dalam arti tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-

wenang terhadap pemilih, peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan

semua pihak lain pemangku kepentingan terhadap Pemilu.

d. Kepastian hukum. Dalam ilmu hukum ikhwal kepastian hukum ini adalah

salah satu aspek utama dalam hukum. Kepastian hukum biasanya diartikan

sebagai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis.

Menurut Prof. Ramlan Surbakti, PhD, setidaknya terdapat dua indikator

proses penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratik: (a)

adanya kepastian hukum dalam pengaturan semua tahapan

penyelenggaraan pemilihan umum (predictable procedures) tetapi hasil

pemungutan dan penghitungan suara tidak ada yang tahu (unpredictable

results), dan (b) semua tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur

berdasarkan asas-asas pemilihan umum yang demokratik, seperti

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, dan akuntabel. Yang

dimaksud dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan semua

tahapan penyelenggaraan pemilihan umum adalah undang-undang tentang

pemilihan umum: (a) mengatur semua hal yang perlu diatur mengenai

tahapan pemilihan umum, (b) berisi pasal-pasal yang isinya konsisten satu

sama lain, dan bahkan konsisten dengan pasal-pasal yang terkandung

dalam undang-undang lain, dan (c) berisi pasal-pasal yang artinya

dipahami secara tunggal oleh semua pemangku kepentingan. Dalam

rumusan secara negatif, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah

undang-undang tentang pemilihan umum tidak mengandung kekosongan

hukum, tidak mengandung pasal-pasal yang bertentangan satu sama lain,

dan tidak mengandung pasal-pasal yang multi-tafsir.

e. Tertib penyelenggara Pemilu. Ada beberapa arti kata tertib, yakni

teratur; menurut aturan; rapi; sopan; dengan sepatutnya. Dengan

demikian, asas Tertib Penyelengara Pemilu ini menuntut Penyelenggara

Pemilu senantiasa melakukan pekerjaannya secara teratur (tidak

serampangan), menurut aturan, bersikap sopan, dan bertindak dengan

sepatutnya.

f. Kepentingan umum. Yang dimaksud dengan azas kepentingan umum

adalah bahwa Penyelenggara Pemilu harus mendahulukan kepentingan

umum daripada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan diri sendiri.

Page 7: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

7

g. Keterbukaan. Asas ini menuntut penyelenggara atau pengawas pemilu

senantiasa terbuka terhadap semua pihak, tidak melakukan pekerjaan

secara sembunyi-sembunyi.

h. Proporsionalitas. Proporsionalitas dapat diartikan sesuai dengan

porsinya, atau sepatutnya. Dalam konteks penyelenggaraan atau

pengawasan Pemilu, seorang pengawas tidak boleh melakukan hal-hal

yang tidak sepatutnya, baik dari segi moral maupun dari segi hukum yang

berlaku.

i. Profesionalitas. Profesionalitas adalah kemampuan seseorang untuk

bertindak secara profesional. Untuk dapat bertindak secara profesional,

seseorang harus menguasai pengetahuan dan keterampilan terkait dengan

pekerjaan yang harus dilakukan. Dengan demikian, seorang pengawas

Pemilu harus memahami peraturan perundang-undangan pemilu serta

memiliki keterampilan mengawasi pemilu

j. Akuntabilitas. Akuntabilitas biasanya dikaitkan dengan pertanggungan

jawab. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan harus dapat

dipertanggungjawabkan, terutama dari segi hukumnya. Pengawas Pemilu

adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan diberikan

kewenangan untuk mengambil berbagai tindakan dalam mengawasi

Pemilu. Karena itu, sebagai pejabat publik, pengawas pemilu harus dapat

mempertanggungjawabkan setiap tindakannya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

k. Efisiensi. Efisiensi biasanya dikaitkan dengan materi yang dikorbankan

untuk mencapai atau menghasilkan suatu capaian tertentu. Semakin

sedikit materi atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh capaian

pekerjaan tertentu, maka semakin tinggi tingkat efisiensi dalam pekerjaan

tersebut.

l. Efektivitas. Istilah efektivitas seringkali disandingkan dengan istilah

efisiensi. Perbedaannya, efisiensi diukur dari segi biaya yang dikeluarkan

untuk mencapai suatu capaian tertentu, sedangkan efektivitas diukur dari

ketepatan cara yang digunakan untuk mendapatkan capaian tertentu.

Karena itu, ada kalanya suatu metode atau cara yang digunakan sangat

efektif tetapi tidak efisien.

Di sisi lain, mandat perundang-undangan juga memuat kode etik sebagai salah

satu pilar nilai yang harus dipatuhi oleh pengawas pemilu sebagai salat satu

bagian dari lembaga penyelenggara pemilu. Kode etik adalah norma atau azas

tertentu yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah

laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Supaya dapat

berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus merupakan hasil self

regulation (pengaturan diri) dalam profesi tersebut. Dengan membuat kode

etik, organisasi profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih (secara

tertulis) niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki.

Karena itu, kode etik tidak akan pernah bisa dipaksakan atau disusun oleh

orang dari luar organisasi. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-

Page 8: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

8

cita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bisa mendarah daging

dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan juga dengan

tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat

berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya harus diawasi terus-

menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang

dikenakan pada pelanggar kode etik.

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, integritas penyelenggara menjadi

modal utama dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.Untuk mengikat

integritas Penyelenggara Pemilu tersebut maka dibuat suatu aturan dan

mekanisme bersama antara ketiga lembaga yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP

sebagai satu kesatuan sistem Penyelenggara Pemilu.Aturan dan mekanisme

tersebut dibuat dalam bentuk kode etik yang dituangkan dalam Peraturan

Bersama Nomor 13, 11, dan 1 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan

Umum. Berdasarkan peraturan tersebut Kode Etik Penyelenggara pemilu

didefenisikan sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis

yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang

diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan

dan ucapan.

Pembentukan peraturan bersama tersebut adalah perintah Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.Kode etik

sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama tersebut bersifat mengikat

kepada seluruh personel penyelenggara pemilu, dimana penegakannya

dilakukan oleh DKPP. Adapun prinsip kode etik penyelenggara pemilu tersebut

yakni:

• Menggunakan kewenangan berdasarkan hukum;

• Bersikap dan bertindak non partisan dan imparsial;

• Bertindak transparan dan akuntabel;

• Melayani pemilih menggunakan hak pilihnya;

• Tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan;

• Bertindak professional;

• Administrasi pemilu yang akurat.

Ketiga mandat tersebut menjadi pilar pembentuk jati diri pengawas

pemilu, yang darinya muncul nilai-nilai yang harus dipahami, dihayati, dan

dipraktekkan oleh pengawas pemilu dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam

pengawasan pemilu.

3. Jati Diri Pengawas Pemilu

Memperhatikan ketiga mandat tersebut di atas, maka untuk dapat

menjalankan fungsi sebagai quality control terhadap penyelenggaraan pemilu

diperlukan integritas yang total yang membuat pengawas pemilu dapat dipercaya

dan diandalkan dalam mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.

Integritas inilah yang menjadi roh atau jiwa pengawas pemilu.Seorang pengawas

pemilu harus mengerti betul persoalan di lapangan, peta aktor politik formal,

informal dan bersama pengaruh-pengaruhnya di lapangan. Dengan mengetahui

peta persoalan, peta aktor, serta pengaruh-pengaruhnya, kita akan tahu siapa rival,

Page 9: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

9

siapa kawan atau mitra, siapa yang harus kita gandeng diwaktu-waktu yang akan

datang dalam menyukseskan tugas-tugas pengawasan. Dengan mengetahui peta

persoalan, kita mampu memajukan lembaga pengawasan sebagai instrumen

penggerak demokrasi. Semua kemampuan yang dimiliki oleh pengawas pemilu

dalam memetakan persoalan tidak akan berarti jika integritas sebagai hal yang

utama tidak dimiliki.

Integritas harus begitu melekat pada diri seorang pengawas

pemilu.Integritas harus menjadi jati diri pengawas pemilu.Excellence with

integrity adalah jiwa 1korsa atau jargon bawaslu yang menunjukkan keseriusan

dan totalitas Bawaslu dan seluruh jajarannya untuk berada di garda terdepan

dalam memberi jaminan bahwa pemilu dilaksanakan secara berintegritas dan

penagwas pemilu hadir sebagai instrumen penggerak demokrasi.

Bagaimana bentuk-bentuk perwujudan jati diri pengawas

pemilu?Pertanyaan ini penting untuk melihat implementasi langsung jati diri

pengawas pemilu. Beberapa bentuk-bentuk perwujudan jati diri pengawas pemilu

adalah:

1. etos kerja pengawas pemilu yang tinggi demi terwujudnya excellence with

integrity.

2. tidak arogran dalam menjalankan tugas pengawasan dan mampu

mengendalikan dorongan nafsu desktruktif yang berptensi menciderai jati diri

pengawas pemilu

3. menjunjung tinggi nilai kejujuran, keterbukaan, keikhlasan, professionalisme,

dan tanggung jawab.

4. berkepribadian tangguh dalam membela dan menjunjung tinggi kebenaran.

Keempat sikap tersebut di atas harus diwujudkan dalam citra diri

Pengawas pemilu yang berintegritas yang mencakup:

1. Seorang Panwas menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting, tidak akan tergoda

oleh hal-hal yang lebih besar- kekuasaan, prestise maupun uang sekalipun.

Panwas taat pada nilai moral internal/kode etik kepemiluan, bahkan bila itu

berarti panwas harus berhadapan dengan resiko yang tinggi.

2. Seorang Panwas mampu menemukan serta mengungkapkan yang benar (saat

yang lain melihatnya abu-abu). Kemudian tidak untuk mengambil keputusan

sendiri.

3. Seorang Panwas memilliki tanggung jawab yang tinggi, bersikap terbuka dan

jujur, mengungkapkan informasi yang baik maupun yang buruk secara lengkap.

lakukan dengan tidak berdasarkan tekanan, tidak berdasarkan permintaan,

tidak atas keberpihakan pada peserta pemilu. laksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan, kajian yang mendalam berdasarkan

imformasi yang ada serta berdasarkan keadilan prosudural.

4. Seorang pengawas pemilu harus bekerja secara professional, mengutamakan

pendapat dan penilaian berdasarkan ketentuan hukum dan pertimbangan

moral serta prinsip-prinsip demokrasi.

Page 10: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

10

5. Menciptakan budaya kepercayaan, tidak menguji integritas pribadi panwas

yang lain atau Kasek serta jajaranya. Kemudian untuk memperkuat integritas

itu dengan melalui prinsip, control, dan teladan pribadi dan juga memberikan

penghargaan pribadi dalam segala tindakan mereka.

6. Seorang Panwas tepat waktu, berlaku penuh integritas, guna memperoleh

kepercayaan.

7. Seseorang Panwas peduli terhadap yang utama (asas-asas pemilu) kebaikan

yang lebih besar, berkomitmen (individu/kelompok) sangat kuat untuk

memberikan yang utama itu terhadap penyelenggaraan pemilu.

8. Kejujuran namun rendah hati, tidak memproklamasikan kebaikan atau

kejujuran sendiri.

9. Seseorang Panwas bertindak sebagai sedang diawasi, berfikir bahwa setiap

tindakan anda selalu diawasi.

10. Tempat kan orang yang yang ber-Integritas, kelilingi diri dengan orang-orang

berintegritas tinggi lalu mempromosikan orang yang memperlihatkan

kemampuan untuk dipercaya.

11. Konsisten, seorang Panwas harus memiliki konsistensi dan keterdugaan etis.

Mengapa pengawas pemilu harus memiliki integritas yang menjadi inti dari

jati diri pengawas pemilu?

1. Untuk menjamin kualitas kepemiluan

2. Menentukan masa depan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik

3. Menciptakan pemilu yang berintegritas dan berkesinambungan.

4. Bila penyelenggaraan pemilu memiliki integritas maka siapaun yang

memandang bahwa pemilu yang diselenggarakan adalah pemilu yang

berintegritas, apa yang kita katakan dengan mudah serta di terima oleh orang

lain sehingga kita lebih mudah menjalankan kepengawasan itu sendiri.

Perwujudan dari jati diri dan citra diri pengawas pemilu tidak hanya dalam

konteks sikap individual pengawas pemilu.Namun perwujudan ini juga harus

ditampakkan dalam pola kerja kolektif antar pengawas pemilu.Dalam kerangka ini,

maka jati diri dan citra diri pengawas pemilu dalam konteks relasi antar pengawas

pemilu harus dilandasi asas soliditas, solidaritas, dan sinergi.

a. Solidaritas. Pengawas Pemilu harus memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi,

perasaan sama rasa, dan empati kepada sesama pengawas pemilu. Tantangan

dan kendala yang dihadapi oleh seorang pengawas pemilu harus pula

dirasakan oleh pengawas pemilu lainnya. Keberhasilan dan prestasi dalam

melakukan pengawasan pemilu harus pula dibagikan kepada pengawas pemilu

lainnya agar dapat menjadi bahan pembelajaran dan direplikasikan oleh yang

lain. Solidaritas sesama pengawas pemilu ini bila diterapkan akan dapat

menjadi fondasi yang kokok bagi kinerja kelembagaan pengawas pemilu.

b. Sinergitas. Pengawas pemilu di berbagai tingkatan harus menggunakan cara

pandang kelembagaan sebagai satu kesatuan yang utuh di bawah payung

lembaga pengawas pemilu. Cara pandang ini akan membawa pengawas pemilu

kepada cara kerja kolektif, dengan mengedepankan sinergitas, saling dukung,

dan saling melengkapi dalam menjalankan tugas pengawas pemilu. Filosofi

Page 11: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

11

sapu lidi harus dijiwai dalam cara kerja pengawas pemilu, karena dengannya,

kekuatan kelembagaan dapat dioptimalkan untuk mengawasi penyelenggaraan

pemilu yang memiliki ruang lingkup di seluruh daerah pemilihan dan

melibatkan seluruh aktor peserta pemilu, penyelenggara pemilu, serta

stakehodler lainnya. Pendekatan kerja secara parsial berbasis tingkat

kelembagaan pengawas hanya akan menghasilkan pengawasan pemilu yang

tidak efektif dan efisien. Tentunya pola kerja sinergis ini membutuhkan

kemampuan kepemimpinan (leadership) yang tinggi serta kemampuan

manajerial dalam membagi beban tugas pengawasan pemilu.

c. Soliditas.Panwas harus mampu membangun sebuah pondasi, prisai, atap yang

kokoh, kuat dan rapat terhadap kepemiluan. Menjalankan dan mengamankan

kepentingan-kepentingan yang ada untuk tujuan tegaknya demokrasi yang

telah di amanatkan oleh Undang-undang sesuai dengan visi misi serta asas-asas

pemilu, memahami aturan dan bekerja sesuai dengan aturan, lalu tegakkan

kode etik, dan melaksanakan tugas sesuai tupoksi yang ada (discription).

Bertindaklah sesuai dengan prosedur standar, bangunlah motivasi kerja

dengan cara transparansi, profesionalitas, akuntabilitas. Ini merupakan modal

dasar untuk pertahanan dalam menjalankan serta tegak dan berdirinya panwas

secara kuat sehingga tidak mudah untuk diarahkan kepada siapapun guna

untuk tujuan dan kepentingan pribadi, kelompok, maupan golongan. Panwas

harus mampu membangun itu semua sehingga siapa-pun yang melihat,

mendengar dan membutuhkannya sesuai dengan apa yang telah di amanatkan

olehnya. Di dalam menjalankannya tidak bisa hanya menjalankan sekedarnya

saja, namun harus mampu melakukannya melebihi dari apa yang telah tertera,

ia harus mampu dan berkemampuan untuk penyelidikan yang dalam agar hal

tersebut benar-benar sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Sehingga

siapun yang mendegar, melihat dan menyaksikannya memiliki kalsipikasi

kaliber berat. Untuk pencapai, tentunya diawali oleh keseriusan yang

sesungguhnya dibuktikan oleh semua pihak tanpa ke-berpihakan. Jika itu

dilaksanakan dengan baik maka panwas akan dilihat kokoh dan kuat tidak

gampang diombang-ambingkan, dipermainkan dan lain sebagainya. Agar

proses itu terbangun dengan cepat dan baik panwas harus

mempertahankannya secara terus-menerus membuka diri dengan menerima

masukan dari segala pihak dengan cermat dan utuh, bukan sebaliknya panwas

tertutup atau menutup diri, panwas harus mampu membagun hubungan antar

masyarakat, lembaga-lembaga lainnya. Disisi ini panwas juga harus mengerti

dan atau menempatkan diri. Oleh karena itu pada jajaran keatasnya ia harus

menempuh mekanisme yang ada dan jika itu dengan jajaran yang di bawahnya

maka setidaknya dapat memberikan dukungan yang kuat. Maka, jika dijalankan

kesemuanya ini akan terbangun suatu soliditas kesetiakawanan atau

kekompakan.

Page 12: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

12

B. MANAGEMEN PENGAWASAN PEMILU

Dengan berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati

telah memasuki babak baru dalam Pemilihan Kepala Daerah dari sebelumnya

berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Perppu tersebut paling tidak dapat dilihat beberapa perubahan yaitu:

1. Aspek regulasi a. Perpu No 1/2014 sebagai landasan hukum Pemilihan memuat beberapa

perubahan norma pengaturan penyelenggaraan pemilihan, antara lain munculnya prosedur uji publik dalam proses pencalonan, kampanye yang dibiayai negara, larangan praktek candidacy buying, dan lain-lain.

b. Perpu masih mengandung banyak persoalan yang mencakup kekosongan hukum, kontradiksi norma, dan ketidakjelasan pengaturan.

2. Aspek kelembagaan Pengawas Pemilu Kelembagaan pengawas pemilihan mengalami perluasan organisasi dengan dibentuknya pengawas TPS.

Sebagaimana kita ketahui penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

berbeda halnya dengan Penyelenggaraan Pemilu Legislatif, dan Pemiihan Presiden

dan Wakil Presiden dimana locus penyelenggaraannya adalah seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sedangkan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota locus penyelenggaraanya adalah wilayah Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Hal ini juga berdampak pada actor atau subjek yang bertanggung

jawab dalam melakukan pengawasannya adalah jajaran Pengawas Pemilu dari

tingakat Provinsi sampai dengan TPS.

Sebagai subjek yang bertanggung jawab dalam rangka pengawasan Pemilihan

Gubernur Bupati dan Walikota Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota ada

beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Bawaslu Provinsi dan Panwaslu

Kabupaten/Kota untuk memaksimalkan pengawasan pemilihan yang meliputi:

1. Penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tahun 2015 berada di tengah ekspektasi yang tinggi di kalangan masyarakat yang ditandai oleh tingginya dukungan terhadap penyelenggaraan pemilihan secara langsung

Mandat Historis Mandat sosial-politik-

budaya Mandat Perundang-

undangan

Jati Diri

Pengawas

Pemilu

Sikap Pengawas

Pemilu

Perilaku kerja

Pengawas Pemilu

Page 13: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

13

2. Penyelenggaraan Pemilu 2014 baik Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menyisakan permasalahan di beberapa aspek yang menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu antara lain persoalan daftar pemilih, penghitungan suara, dan black-campaign.

3. Masih adanya beberapa permasalahan sebagai dampak dari kebijakan pemekaran daerah (pembentukan Daerah Otonom Baru) berpotensi memunculkan beberapa persoalan teknis dalam pengawasan Pemilihan terutama terkait dengan pengawasan pempendaftaran pemilih

Selain itu berdasarkan pengalaman pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah

selama ini adalah tingginya potensi pelanggaran yang disebabkan oleh beberapa

faktor yang meliputi:

1. Tingkat kompetisi dan kontestasi antar calon Gubernur, Bupati, dan Walikota sangat besar. Hal ini disebabkan karena terjadinya kristalisasi kepentingan dan dukungan politik kepada masing-masing calon Gubernur, Bupati, dan Walikota.

2. Besarnya potensi konflik antar pendukung pasangan calon, yang dipicu oleh dekatnya jarak dan ikatan kepentingan dan ikatan emosional pasangan calon dengan pendukung mereka.

3. Besarnya potensi ketidaknetralan dan parsialitas penyelenggara Pemilihan, mengingat pengalaman empiric selama ini menunjukkan bahwa arena kompetisi antar pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga merambah kepada wilayah pemasangan “orang” mereka dalam institusi penyelenggara PemiluKada.

4. Tingginya potensi pelanggaran terutama menyangkut isu-isu spesifik, antara lain politik uang, abuse of power, dan manipulasi dana kampanye.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas peran Bawaslu Provinsi dan Panwas

Kabupaten/Kota menjadi sangat strategis dalam melakukan pengawasan agar

penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota berkualitas dan

berintegritas.

Peran strategis tersebut memerlukan pra-syarat berupa pengelolaan pengawasan

yang tepat sasaran, efektif, dan efisien. Pengawas Pemilu di berbagai tingkat harus

bekerja secara tertib, terpola dan terarah, untuk memastikan dicapainya hasil

pengawasan yang tidak ecek-ecek (tidak bermutu). Setiap jenjang pengawas pemilu

harus jelas tugas dan beban serta tanggung jawabnya dalam melakukan pengawasan

pemilu. Sebuah obyek pengawasan tertentu tidaklah harus diawasi oleh semua

pengawas pemilu di seluruh tingkatan, tetapi dapat dibagi berdasarkan pertimbangan

kapasitas, kompetensi, dan tingkat kedekatannya baik secara geografis maupun akses.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:

a. Sinergitas Pengawas Pemilu dalam melakukan tugas-tugas Pengawasan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa actor sekaligus penanggungjawab

pengawasan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Bawaslu Provinsi

dan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk itu perlu melakukan yaitu:

1. Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota mengoptimalkan peran

kepemimpinan dan Pengendalian jajaran pengawas pemilu dibawahnya. Selain

itu Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota juga harus memastikan

Page 14: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

14

instruksi yang diberikan kebawah dilaksanakan dengan baik yang dapat

dilakukan dengan monitoring dan supervise.

Di sisi lain, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota perlu

berkonsentrasi untuk mengawal pengawasan pemilu pada isu-isu yang memiliki

tingkat kompleksitas masalah yang tinggi, tingkat tekanan politik yang besar,

serta mengundang perhatian publik yang massif.

2. Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota perlu menetapkan focus

pengawasan berdasrkan tahapan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan

selanjutnya mendistribusikan pelaksanaan pengawasan berdasarkan focus

pengawasan tersebut kepada jajaran pengawas pemilu dibawahnya. Sebagai

gambaran dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tahapan Fokus Pengawasan Actor Pengawasan

Pencalonan Uji Publik Bawaslu

Provinsi/Panwaslu

Kabupaten/Kota

Penyusunan

Daftar Pemilih

Akurasi data pemilih Panwascam dan PPL

kampanye Metode dan jadwal pelaksanaan

kampanye

Bawaslu

Provinsi/Panwaslu

Kab/kota/Panwascam

dan PPL

Pemungutan

dan

penghitungan

suara

- KPPS tidak melaksanakan pemungutan danpenghitungan suara sesuai prosedur

- Adanya pemilih ganda

PPL dan Pengawas

TPS

3. Adanya pola komunikasi antar jajaran Pengawas Pemilu

Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota harus mampu membangun

komunikasi yang efektif dengan jajaran pengawas Pemilu baik dari atasan ke

bawahan maupun sebaliknya. Komunikasi dari atasan ke bawahan dalam

kaitannya dengan kepentingan pemberian instruksi dan memastikan

pelaksanaan instruksi tersebut serta dalam pemberian bimbingan kepada

jajaran pengawas pemilu dibawahnya. sedangkan dari bawahan ke atasan dalam

rangka konsultasi dan lain-lain. Dengan demikian masalah-masalah dalam

pelaksanaan pengawasan pemilu dapat segera terdeteksi sedini mungkin.

Komunikasi ini dapat dilaksanakan mulai dari media komunikasi yang

sederhana yaitu sms (short massage ), Facebook, dll.

b. Pengelolaan data Pengawasan

Bawaslu Provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota juga harus mampu mengelola

data-data pengawasan baik berdasrkan temuan maupun berdasrkan laporan

masyarakat.

Hal ini dapat dilakukan melalui:

1. Pengenalan karakter data hasil pengawasan.

Page 15: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

15

Data-data hasil pengawasan harus dikelola secara cepat dan akurat karena

dalam kaitannya dengan pemanfaatan data-data tersebut baik dalam rangka

menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut (penanganan pelanggaran)

maupun dalam rangka pertanggungjawaban lembaga kepada masyarakat

untuk mempublikasikannya. Intinya semua data-data yang didapatkan oeh

jajaran pengawas pemilu ditingkat bawah harus segera dilaporkan pada hari

yang sama kepada pengawas pemilu diatasnya.

2. Adanya mekanisme pengelolaan data.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

- Perlu disusun prosedur pengelolaan data yang isinya memuat paling tidak

prosedur pengiriman, waktu pengiriman, dan penanggung jawab.

- Perlu dibuat system pengelolaan data yang sederhana dan efektif misalnya

pengelolaan yang berbasis sms, email, dan lain2

c. Akuntabilitas dan Transparansi Hasil Pengawasan

Bawaslu sebagai lembaga publik mempunyai konsekuensi untuk menerapkan

akuntabilitas dan transparansi kelembagaan.Hal ini merupakan bentuk

pertanggungjawaban kepada public mengenai kinerja Bawaslu. Dalam melaksanakan

akuntabilitas dan transparansi tersebut Bawaslu Provinsi atau Panwaslu

Kabupaten/Kota perlu membuat mekanisme pembublikasian data-data pengawasan

yang isinya paling tidak memuat siapa yang berwenang untuk mempublikasikan dan

media yang digunakan untuk mempublikasikannya serta jangka waktu

pembublikasian. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Data pengawasan Wewenang pembublikasian Jangka waktu

Temuan politik uang Bawaslu Provinsi/Panwaslu

Kabupaten/kota

Dipublikasikan pada hari yang

sama sejak ditemukan

Laporan dugaan

pelanggaran kampanye

Bawaslu Provinsi/Panwaslu

Kabupaten/Kota/Panwascam

Dipublikasikan sejak adanya

kajian dugaan pelanggaran

C. ORGANISASI PENGAWAS PEMILU

1. Pengawas Pemilu

Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan dan Pengawas TPS

1. Bawaslu Provinsi bersifat tetap.

2. Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan dan Pengawas TPS bersifat ad hoc.

2. Pembentukan, Susunan dan Keanggotaan

Tentang pembentukan, susunan dan keanggotaan lembaga pengawas pemilihan

gubernur, bupati dan walikota diatur dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27

Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Page 16: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

16

a. Keanggotaan Bawaslu Provinsi Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan,

Pengawas Pemilihan Lapangan, dan Pengawas TPS berasal dari kalangan

profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan

tidak menjadi anggota partai politik.

b. Jumlah anggota:

1) Bawaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;

2) Panwas Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;

3) Panwas Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.

4) Pengawas Pemilihan Lapangan sebanyak 1 (satu) orang setiap desa atau

sebutan lain/kelurahan

5) Pengawas TPS sebanyak 1 (satu) orang setiap TPS

(1) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan

sebelum tahapan persiapan penyelenggaraan pemilihan dimulai ;

(2) Panwas Kabupaten/Kota dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan

setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;

(3) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu

Provinsi

(4) Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota dilakukan melalui seleksi

oleh Bawaslu Provinsi;

(5) Panwas Kecamatan dibentuk 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama

penyelenggaraan pemilihan dimulai ;

(6) Panwas Kecamatan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah

seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;

(7) Panwas Kecamatan untuk Pemilihan dibentuk oleh Panwas

Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Keputusan Panwas

Kabupaten/Kota;

(8) Pengawas Pemilihan Lapangan dibentuk 1 (satu) bulan sebelum

tahapan pertama penyelenggaraan pemilihan dimulai;

(9) Pengawas Pemilihan Lapangan dibubarkan paling lambat 2 (dua)

bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai;

(10) Anggota Pengawas Pemilihan Lapangan ditetapkan dengan Keputusan

Panwas Kecamatan;

(11) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pengawas Pemiihan

Lapangan dapat dibantu 1 (satu) orang Pengawas TPS di masing-

masing TPS berdasarkan usulan PPL kepada Panwas Kecamatan;

(12) Pengawas TPS dibentuk 23 (duapuluh tiga) hari sebelum hari

pemungutan suara pemilihan;

(13) Pengawas TPS dibubarkan 7 (tujuh) hari setelah hari pemungutan

suara pemilihan.

3. Tugas, Wewenang dan Kewajiban

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota telah menyebutkan secara jelas mengenai tugas, dan wewenang, serta kewajiban pengawas pemilu mulai dari Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan. Adapun tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah sebagai berikut:

Page 17: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

17

a. Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilihan di wilayah provinsi yang meliputi:

1) pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;

2) pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan gubernur;

3) proses penetapan calon gubernur

4) penetapan calon gubernur;

5) pelaksanaan kampanye;

6) pengadaan logistik pemilihan dan pendistribusiannya;

7) pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilihan;

8) Pengawasan seluruh proses penghitungan suara di wilayah kerjanya;

9) Proses rekapitulasi suara dari seluruh kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU Provinsi;

10) Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilihan lanjutan, dan pemilihan susulan; dan

11) Proses penetapan hasil pemilihan gubernur

b. mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu dan ANRI;

c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan;

d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti;

e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan oleh Penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi;

g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan yang sedang berlangsung;

h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilihan; dan

i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Bawaslu Provinsi berwenang untuk:

a. Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan pemilihan; dan

b. Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilihan.

Page 18: 2. Modul 3 (Naskah Pegangan Gandakan 3 x 3)

18

KEWAJIBAN BAWASLU PROVINSI

a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;

b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas Pemilu pada tingkatan di bawahnya;

c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan;

d. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan pemilihan secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;

e. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilihan di tingkat provinsi; dan

f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

STRUKTUR ORGANISASI BAWASLU PROVINSI