2) Laporan Pendahuluan Pada Pada Pasien Vertigo
-
Upload
listya-dewi -
Category
Documents
-
view
192 -
download
10
description
Transcript of 2) Laporan Pendahuluan Pada Pada Pasien Vertigo
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Pengertian
Kata “vertigo” berasal dari Bahasa Latin yaitu vertere yang artinya memutar.
Nama ini diberikan kepada orang yang biasanya merasa dunia di sekitarnya berputar
sehingga hilang keseimbangan (Sugeng Santoso, 2007).
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau
seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai
dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa
saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih
baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak
bergerak sama sekali (benign paroxysmal positional vertigo). Benign paroxysmal
positional vertigo merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana vertigo terjadi
secara mendadak dan berlangsung kurang dari 1 menit. Perubahan posisi kepala
(biasanya terjadi ketika penderita berbaring, bangun, berguling di atas tempat tidur atau
menoleh ke belakang) biasanya memicu terjadinya episode vertigo ini. Penyakit ini
tampaknya disebabkan oleh adanya endapan kalsium di dalam salah satu kanalis
semisirkularis di dalam telinga bagian dalam. Vertigo jenis ini mengerikan, tetapi tidak
berbahaya dan biasanya menghilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau
bulan, tidak disertai hilangnya pendengaran maupun telinga berdenging (Sugeng
Santoso, 2007).
Pada dasarnya vertigo merupakan keluhan, bukan penyakit. Namun, keluhan ini
bisa menjadi pertanda penyakit yang serius. Jadi, sekalipun bukan penyakit, vertigo tidak
boleh disepelekan. Vertigo bisa jadi merupakan pertanda penyakit-penyakit seperti tumor
otak, hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes mellitus (kencing manis), jantung, dan
ginjal. Semakin dini vertigo ditangani akan semakin cepat dapat diatasi (Sugeng Santoso,
2007).
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Vertigo adalah gejala yang sering pada populasi umum dengan prevalensi 12
bulan 5% dan 1,4% insiden pada orang dewasa. Prevalensi meningkat dengan usia dan
sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Hal ini
menyumbang sekitar 2-3% dari kunjungan gawat darurat (Thia, 2011).
Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomor tiga yang paling sering
dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia
sekitar 75 tahun, 50% datang ke dokter dengan keluhan vertigo. Rasa pusing (dizziness)
dan vertigo adalah gejala-gejala yang paling umum menyebabkan pasien mengunjungi
dokter (sama umumnya dengan sakit kepala dan sakit punggung). Insidensi timbulnya
pusing, vertigo, dan ketidakseimbangan adalah 5-10%, dan mencapai 40% pada pasien-
pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Insidensi terjadinya jatuh adalah 25% pada
pasien berusia lebih dari 65 tahun. Jatuh bisa merupakan suatu konsekuensi langsung
dari rasa pusing di populasi ini, dan risiko ini bercampur dengan defisit-defisit neurologi
lain (Thia, 2011).
Kehilangan pendengaran ringan adalah bentuk kecacatan yang paling umum di
Amerika Serikat. Insidensi hilang pendengaran adalah 25% pada orang-orang yang
berusia kurang dari 25 tahun, dan mencapai 40% pada orang berusia lebih dari 40 tahun.
Sekitar 25% populasi melaporkan terjadinya tinnitus. Tinnitus dan hilang pendengaran
biasanya dihubungkan dengan penyakit-penyakit labirin, yang mendorong ke arah
terjadinya pusing dan vertigo (Thia, 2011).
Migren lebih lazim (10%) dibandingkan penyakit Ménière (<1%). Sekitar 40%
dari pasien-pasien dengan migren mengalami pusing, mabuk jika naik mobil dan lain-
lain, dan kehilangan pendengaran ringan. Oleh karena itu, kadang sulit membedakan
migren dengan gangguan-gangguan telinga dalam primer (Thia, 2011).
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu pengalaman yang mungkin pernah kita
rasakan, yaitu kepala terasa ringan saat akan berdiri. Sedangkan vertigo bisa lebih berat
dari itu, misalnya dapat membuat kita sulit untuk melangkah karena rasa berputar yang
mempengaruhi keseimbangan tubuh. Adanya penyakit vertigo menandakan adanya
gangguan sistem deteksi seseorang (Thia, 2011).
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang
berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di
dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam
otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan kelainan penglihatan atau
perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba (Thia, 2011).
Penyebab terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem
keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik,
vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem
vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual; retina, otot bola mata, dan
somatokinetik; kulit, sendi, otot) (Thia, 2011).
Penyebab umum dari vertigo (Thia, 2011):
1) Keadaan lingkungan
Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2) Obat-obatan
Alkohol
Gentamisin
3) Kelainan sirkulasi
Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan arteri basiler
4) Kelainan di telinga
Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian
dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri Herpes zoster
Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
Peradangan saraf vestibuler
Penyakit Meniere
5) Kelainan neurologis
Sklerosis multipel
Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau
keduanya
Tumor otak
Tumor yang menekan saraf vestibularis.
Faktor predisposisi dari vertigo (Prasti Pirawati, 2004) :
a) Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :
Telinga bagian luar : serumen, benda asing.
Telinga bagian tengah : retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta,
otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan.
Telinga bagian dalam : labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi,
hidrops labirin (morbus Meniere), mabuk gerakan, vertigo postural.
Nervus VIII (vestibula koklearis) : infeksi, trauma, tumor.
Inti Vestibularis : infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior
inferior, tumor, sklerosis multipleks.
b) Penyakit SSP :
Hipoksia, Iskemia otak : Hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia, hipertensi
kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta,
sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung.
Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues.
Trauma kepala/labirin.
Tumor.
Migren.
Epilepsi.
c) Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal,
keadaan menstruasi, hamil, menopause
d) Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.
e) Kelainan mata: kelainan proprioseptik.
f) Intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh masuknya toksin melalui bahan pangan ke
dalam tubuh).
4. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan
ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus-menerus menyampaikan impulsnya ke
pusat keseimbangan (Prasti Pirawati, 2004).
Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang
menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III (okulomotorius), IV (troklearis)
dan VI (abdusens), susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis (Prasti Pirawati,
2004).
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling
besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
kontribusinya adalah proprioseptik (Prasti Pirawati, 2004).
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan
kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan
diproses lebih lanjut. Respon yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan
penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala
dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar (Prasti Pirawati, 2004).
Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak
normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka
proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus (gerakan mata yang cepat dari
kiri ke kanan atau dari atas ke bawah), unsteadiness (keadaan yang tidak tenang), ataksia
(gejala berupa pudarnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot) saat berdiri/berjalan
dan gejala lainnya (Prasti Pirawati, 2004).
Menurut teori Sinap yang merupakan pengembangan teori sebelumnya yang
meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi
pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang
akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF
selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini
dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal
serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual,
muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis (Sugeng Santoso, 2007).
PATHWAY VERTIGO
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya vertigo dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi yaitu (Prasti
Pirawati, 2004) :
a) Vertigo fisiologik
Keadaan ini terjadi bila :
Otak menghadapi ketidakseimbangan di antara berbagai sistem sensorik.
Sistem vestibular dihadapkan pada gerakan kepala yang tidak lazim dan tidak
pernah diadaptasi sebelumnya, seperti ketika seseorang mengalami mabuk laut.
Posisi kepala/leher yang tidak lazim, seperti ekstensi yang berlebihan ketika
seseorang mengecat langit-langit rumah.
b) Vertigo patologik
Kedaan ini terjadi akibat lesi pada sistem visual, somatosensorik atau vestibuler.
Vertigo visual disebabkan oleh pemandangan yang baru atau tidak tepat atau karena
timbulnya paresis otot ekstraokuler yang tiba-tiba dengan diplopia; pada keaadaan
lainnya, kompensasi sistem saraf pusat menetralkan vertigo secara cepat. Vertigo
somatosensoris, jarang dalam isolasi, biasanya disebabkan oleh neuropati perifer yang
menurunkan masuknya sensoris yang perlu untuk kompensasi sentral jika terdapat
disfungsi sistem vestibuler atau visual (Prasti Pirawati, 2004).
Penyebab vertigo patologik yang paling sering ditemukan adalah disfungsi
vestibuler. Vertigo tesebut biasanya disertai dengan gejala nausea, jerk nistagmus,
ketidakstabilan postural dan ataksia berjalan (Prasti Pirawati, 2004).
Vertigo yang disebabkan oleh masalah dengan telinga bagian dalam atau sistem
vestibular disebut "perifer", "otologic" atau "vestibular". Penyebab paling umum adalah
benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tetapi penyebab lain termasuk penyakit
Ménière, sindrom kanal dehiscence unggul, labyrinthitis dan vertigo visual. Setiap
penyebab peradangan seperti pilek, influenza, dan infeksi bakteri bisa menyebabkan
vertigo transien jika mereka melibatkan telinga bagian dalam, seperti trauma kimia
(misalnya, aminoglikosida ) atau trauma fisik (misalnya, patah tulang tengkorak). Motion
sickness kadang-kadang diklasifikasikan sebagai penyebab dari vertigo perifer (Prasti
Pirawati, 2004).
Jika vertigo muncul dari pusat keseimbangan otak, biasanya lebih ringan, dan
memiliki defisit neurologis yang menyertainya, seperti bicara cadel, penglihatan ganda
atau nistagmus patologis . Patologi otak dapat menyebabkan sensasi disekuilibrium yang
merupakan sensasi ketidakeseimbangan. Sejumlah kondisi yang melibatkan sistem saraf
pusat dapat menyebabkan vertigo termasuk: sakit kepala migrain, sindrom meduler
lateralis, multiple sclerosis (Prasti Pirawati, 2004).
c) Vertigo psikogenik
Selain penyebab dari segi fisik, penyebab lain munculnya vertigo adalah pola
hidup yang tak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu memikirkan suatu masalah hingga
stres. Vertigo yang disebabkan oleh stres atau tekanan emosional disebut vertigo
psikogenik (Prasti Pirawati, 2004).
d) Vertigo neurologik
Vertigo neurologik adalah gangguan vertigo yang disebabkan oleh gangguan
saraf. Keluhan vertigo yang disebabkan oleh gangguan mata atau berkurangnya daya
penglihatan disebut vertigo ophtalmologis sedangkan vertigo yang disebabkan oleh
berkurangnya fungsi alat pendengaran disebut vertigo otolaringologis (Prasti Pirawati,
2004).
e) Vertigo sistemik
Vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang disebabkan oleh penyakit tertentu,
misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan jantung (Prasti Pirawati, 2004).
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok (Prasti
Pirawati, 2004) :
a) Vertigo paroksismal
Vertigo paroksismal adalah vertigo yang serangannya datang mendadak,
berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu
ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali
bebas keluhan (Prasti Pirawati, 2004). Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :
Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris,
Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/
odontogen (Prasti Pirawati, 2004).
Yang tanpa disertai keluhan telinga :
Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris,
Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin picu
(trigger labyrinth) (Prasti Pirawati, 2004).
Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional
paroksismal benigna (Prasti Pirawati, 2004).
b) Vertigo kronis
Vertigo kronis adalah vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa serangan
akut, dibedakan menjadi:
Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis
kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin
(Prasti Pirawati, 2004).
Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca
komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler,
intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin (Prasti
Pirawati, 2004).
Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis (Prasti
Pirawati, 2004).
c) Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang,
dibedakan menjadi :
Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta,
perdarahan labirin, neuritis N.VIII (vestibula koklearis), cedera pada auditiva
interna/arteria vestibulokoklearis (Prasti Pirawati, 2004).
Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis
anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks,
hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior (Prasti Pirawati, 2004).
6. Gejala Klinis
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak
dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat
dengan selaput putih lengket, nadi lembut atau seperti senar dan halus (Prasti Pirawati,
2004).
Vertigo adalah sensasi berputar sementara stasioner, hal ini umumnya terkait
dengan kegoyangan, dan berlebihan keringat. Episode berulang pada mereka dengan
vertigo yang umum dan mereka sering merusak kualitas hidup. Penglihatan kabur,
penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah,
kesulitan berbicara, menurunkan tingkat dari kesadaran, dan tingkat kehilangan
pendengaran juga dapat terjadi. Sistem saraf pusat dapat menyebabkan gangguan gejala
permanen (Prasti Pirawati, 2004).
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan
sistemik, otologik atau neurologic vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan
fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum
(Thia, 2011).
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab;
apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat
korteks serebri, serebelum, batang otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik;
selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari
keluhan vertigo tersebut (Thia, 2011).
Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung,
hipertensi, hipotensi, gagal jantungkongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi
kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan
kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi
simtomatik yang sesuai (Thia, 2011).
Pemeriksaan fisik (Odesyafar, 2011) : Pemeriksaan mata
Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
Pemeriksaan neurologik
Pemeriksaan otologik
Pemeriksaan fisik umum. Pada pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan
penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri;
bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa
(Odesyafar, 2011).
Pada pasien-pasien dengan rasa pusing, pengujian umum perlu ditekankan pada
tanda-tanda vital, pengukuran tekanan darah secara terlentang dan berdiri, dan evaluasi
sistem neurologi dan cardiovasculer. Menguji telinga-telinga untuk adanya
infeksi/peradangan telinga tengah atau luar yang dapat terlihat. Test pendengaran
menggunakan satu garpu tala atau berbisik. Menguji leher untuk jangkauan pergerakan
(Thia, 2011).
Karakteristik nistagmus
Nistagmus, apakah spontan, diakibatkan tatapan, atau tergantung posisi, harus
sepenuhnya ditandai agar ditafsirkan dengan tepat. Karakteristik ini meliputi faktor-
faktor propokatif, latensi, arah, efek dari tatapan, profil temporal, kebiasaan, fatigabilas,
pandangan yang terfiksasi, dan diiringi dengan rasa pusing. Kegagalan untuk menandai
nistagmus dapat mendorong terjadinya salah diagnosa (Thia, 2011).
Tes yang berhubungan dengan panas
Tes yang berhubungan dengan panas bisa dilakukan sebagai bagian dari
pengujian di sisi tempat tidur. Setelah mengecek kedua kanal telinga untuk pelubangan
tympanic dan lilin, tuang 1 ml air dengan suhu 30°C. Amati nistagmus menggunakan
kacamata hitam Frenzel atau satu sistem video infra merah. Dengan cara ini, rasa pusing,
jangka waktu dan intensitas nistagmus, dapat dievaluasi (Thia, 2011).
Tes refleks vestibulospinal
Vestibulospinal refleks (VSRs) dapat dievaluasi dengan gaya berjalan tandem,
Romberg, dan Uji langkah Fukuda. Test-test ini menyediakan informasi tentang stabilitas
postural pasien bila input proprioseptif dan visualnya dipindahkan. Dokter yang
berpengalaman dapat mengamati stabilitas postural pasien, batas stabilitas, dan strategi
dari pergerakan pada batas stabilitas. Uji klinis stabilitas postural adalah kualitatif,dan
memerlukan pengalaman pemeriksa serta kooperasi pasien (Thia, 2011).
Test Vestibular Hamid
Tes vestibular Hamid terdiri atas komponen motoris dan sensoris yang dilakukan
menggunakan satu bantalan busa (HCFP). Pengujian sederhana, mudah silakukan, dan
dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan ketidakseimbangan dan pusing (Thia,
2011).
Pada komponen sensoris, pasien berdiri di atas HCFP dengan mata terbuka dan
lengan diregangkan selagi pemeriksa mengamati tingkat mengayunkan. Pasien kemudian
memiringkan kepalanya ke belakang dan menggerakannya ke kiri dan kanan (dengan
mata terbuka dan kemudian dengan mata yang tertutup). Pemeriksa harus siap untuk
menangkap pasien jika mereka jatuh (Thia, 2011).
Mengalami dengan pengujian ini sudah ditunjukkan bahwa pasien-pasien tidak
bisa berdiri di atas HCFP dengan mata yang tertutup dan kepala yang dimiringkan ke
belakang kecuali jika mereka mempunyai vestibular yang baik dan sistem keseimbangan
(Thia, 2011).
Komponen motoris lebih menantang dibanding komponen sensoris dan dikenal
sebagai pengujian impuls badan. Pemeriksa menempatkan tangannya di bagian atas dada
pasien, dan pasien diminta untuk mendorong maju melawan tangan pemeriksa dalam 10
hitungan. Pemeriksa kemudian melepaskan tangannya, mengamati tanggapan pasien, dan
menangkap pasien jika perlu (Thia, 2011).
Pasien-pasien dengan kelainan fungsi tubuh sentral dan perifer memiliki pola-
pola yang tidak meliputi pergerakan yang benar dan cepat, mengayunkan pinggul, atau
mengambil langkah. Tentu saja, test-test ini kwalitatif dan tergantung pada pengalaman
pemeriksa dan kondisi musculoskeletal pasien serta kemampuan untuk bekerja sama
(Thia, 2011).
Uji Hiperventilasi
Jika hasil-hasil dari tes vestibular normal, uji hiperventilasi selama 2 menit sangat
menolong dalam mengidentifikasi pasien-pasien dengan sindrom hiperventilasi. Hal ini
harus dilaksanakan dalam posisi duduk. Hiperventilasi harus dilakukan selagi pemeriksa
memonitor nistagmus dengan menggunakan kacamata hitam Frenzel atau sistem video
infra merah. Hiperventilasi dapat mengenali keduanya, baik disfungsi vestibular perifer
dan sentral serta timbulnya rasa pusing dan gejala-gejala neurologi yang berkaitan
dengan sindrom hiperventilasi (Thia, 2011).
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a) Tes-tes diagnostik vestibular
Evaluasi pasien dengan rasa pusing dimulai dengan menanyakan riwayat dengan
seksama dan lengkap; pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk uji vestibular. Selama
mengevaluasi pasien-pasien dengan gangguan vestibular dan keseimbangan, tes-tes
tambahan yang biasanya dipertimbangkan meliputi audiometri, uji vestibular, tes darah,
CT, dan MRI. Test-test ini, terutama uji vestibular harus disesuaikan menurut temuan
fisik dan riwayat (Thia, 2011).
Hasil MRI pada pasien-pasien muda yang berusia kurang dari 50 tahun adalah
rendah (< 1%). Insidensi adanya tumor pendengaran atau batang otak dan lesi-lesi fossa
posterior juga rendah. Penilaian klinis, pengujian neurotologic yang seksama, dan
dilakukannya penelitian-penelitian audio dan vestibular sangat menolong dalam
menyingkirkan MRI (Thia, 2011).
Pentingnya, hasil dari tes-tes ini bukan diagnostik dalam hal medis. Sebagai
contoh, kehilangan vestibular yang unileteral dapat berhubungan dengan vestibular
neuronitis atau suatu tumor pendengaran. Oleh karena itu, klinisi harus menghindari
keinginan untuk menginterpretasikan hasil-hasil ini sebagai kesatuan patologis. Dokter-
dokter yang bertanggung jawab atas penafsiran medis hasil-hasil ini juga perlu
mempunyai latar belakang dan pelatihan yang sesuai di dalam elektrofisiologi dan
neurofisiologi untuk mampu menggunakan hasil-hasil ini secara efektif. Mereka juga
harus sadar akan batas-batas dan variabilitas yang tidak bisa dipisahkan dalam test-test
tersebut. Tes-tes vestibular yang paling sering adalah electronystagmography (ENG), uji
kursi berputar atau akselerasi selaras sinusoidal (SHA), dan posturography dinamis
terkomputerisasi (CDP) (Thia, 2011).
Uji ENG
Test baku ENG terdiri atas saccadic, tatapan, pengejaran, pergerakan optokinetic-
mata, nistagmus dengan menggoyangkan kepala, nistagmus yang tergantung posisi,
nistagmus ancangan, dan tes-tes bithermal yang berkenaan dengan panas (Thia, 2011).
Tes Saccadic
Tes saccadic digunakan untuk mengevaluasi gerak mata yang cepat secara
fakultatif. Test harus dilakukan dengann merekam masing-masing mata secara terpisah,
terutama jika dicurigai terdapat diskonjugasi gerak mata. Satu saluran tunggal test
saccadic tidak menghasilkan informasi klinis yang berarti dan hanya digunakan sebagai
isyarat kalibrasi untuk gerak mata horisontal. Kelainan-kelainan saccadic umum meliputi
dysmetria, percepatan saccadic lambat, dan dysconjugate saccades (Thia, 2011).
Uji Tatapan
Tes tatapan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan menghasilkan dan
menjaga satu tatapan mantap tanpa gerak atau tatapan yang menimbulkan nistagmus.
Perekaman ENG satu arus searah digunakan untuk membedakan elektronik dari gerak
pathologis. Kelainan-kelainan yang paling umum yang dapat dideteksi oleh test tatapan
adalah nistagmus yang ditimbulkan dan rebound nistagmus yang berkaitan dengan
penyakit cerebellar (Thia, 2011).
Uji Pergerakan mata
Gerak mata pengejaran mencegah keselipan suatu gambaran pada retina selagi
pasien sedang mengikuti jalan/objek yang bergerak cepat (Thia, 2011).
Pemeriksaan untuk nistagmus optokinetic
Nistagmus Optokinetic (OKN) adalah kompleks refleks CNS yang diaktifkan
dengan gambar-gambar yang bergerak pada retina. OKN menampakkan gerakan-gerakan
mata yang vestibular dan sesuai untuk menstabilkan gambaran-gambaran retinal selama
kecepatan yang konstan (Thia, 2011).
Pemeriksaan untuk nistagmus dengan menggoyangkan kepala
Gerakan kepala menghasilkan respon vestibular dengan latensi yang sangat
pendek (<15 pengambilan gambar jarak sedang). Respon-respon okulomotor lebih
lambat dibanding ini, dengan latensi yang mendekati 100-200 msec. Kompensasi untuk
perlawanan sementara ini adalah kemampuan sistem vestibular pusat untuk
mempertahankan satu memori atau gerakan kepala, sehingga gerak mata dapat
disesuaikan dengan akurat dengan gerakan kepala (Thia, 2011).
Kemampuan ini dikenal sebagai velocity storage, yang pada umumnya lemah
dengan defisit vestibular yang unilateral dan tidak ditutupi dengan tes menggoyangkan
kepala (Thia, 2011).
Test posisional
Tes posisional dilakukan dengan merekam gerak mata tanpa fiksasi penglihatan
dalam 3 posisi-posisi utama: terlentang, kepala ke arah kanan, dan kepala ke arah kiri.
Nistagmus pada perubahan posisi pada umumnya perifer dan satu tanda objektif dari
ketidaksamaan vestibular. Meskipun itu hadir hanya di dalam 1 posisi kepala (Thia,
2011).
Test Posisi Dix-Hallpike
Nistagmus posisional adalah satu temuan klasik di dalam pasien-pasien dengan
BPPV. Hal ini ditimbulkan dengan memposisikan pasien dengan cepat dari duduk ke
kepala ke arah kanan, kiri, dan posisi terlentang; dengan merekam nistagmus yang
diinduksi; dan dengan mencatat gejala-gejala pasien. Hyperekstensi leher tidak perlu
dilakukan dan harus dihindarkan. Dua saluran-saluran ENG diperlukan untuk
menentukan arah komponen putaran nistagmus. ENG kurang sensitif dibanding
pengamatan secara klinis dari Benign Positioning Nystagmus sebab ENG tidak dapat
untuk merekam komponen-komponen putaran pada BPPV (Thia, 2011).
Bithermal Caloric Test
Barany memperkenalkan test kalorik ini di tahun 1903. Sejak itu, hal ini telah
menjadi vestibular dihormati sepanjang jaman dalam pengujian neurotology klinis. Test
Kalorik adalah standar untuk mengevaluasi defisit vestibular secara sepihak (Thia, 2011).
Test Kalorik tradisional dilakukan pada pasien yang berbaring dengan kepala
yang diangkat 30° Air dingin (30°C) hangat (44°C) digunakan untuk mengairi masing-
masing telinga, 1 pada waktu yang sama. Irigasi dingin bersifat menghambat stimulus,
irigasi hangat adalah excitatory. Arah nistagmus postcaloric ditentukan oleh fase cepat
dengan mudah diingat oleh menggunakan mnemonic COWS (Thia, 2011).
3 temuan yang paling utama dari test kalorik adalah kelemahan unilateral
kelemahan dari kedua bilateral, dan FFS dari nistagmus yang diinduksi dengan panas. 2
kelainan pertama adalah berkaitan dengan penyakit vestibular perifer, dan yang ketiga
berkaitan dengan penyakit cerebellar pusat (Thia, 2011).
Tes Kursi Berputar, atau SHA
Barany memperkenalkan tes berputar di tahun 1907. Di dalam praktek klinis, tes
berputar tertinggal di belakang test kalorik. Bagaimanapun, dengan kemajuan teknologi
komputer, sistem test kursi berputar dikembangkan di dalam tahun 1970 akhir dan terus
ditingkatkan. Mereka kini digunakan dalam beberapa tes vestibular di laboratorium-
laboratorium (Thia, 2011).
Satu alternatif dari test kursi berputar adalah tes perputaran kepala, yang
digunakan untuk mengevaluasi VOR yang diperoleh pada frekuensi tinggi. Test ini pada
hakikatnya lebih murah dan lebih praktis dibanding tes kursi (Thia, 2011).
Tes CDP
Posturography dinamis sudah menjadi satu bagian integral dari tes vestibular di
dalam banyak pusat-pusat pengujian vestibular. Aplikasi klinis posturography dalam
neurotology diperkenalkan di tahun 1970-an. Sistem CDP terdiri dari satu komputer
pengendali dan visual booth yang digunakan untuk mengevaluasi kedua-dua komponen
motoris dan sensoris keseimbangan. Test sensoris paling bermanfaat secara klinis,
terutama di dalam lesi-lesi perifer, rehabilitasi vestibular, dan kasus-kasus medikolegal.
Posturography bukan suatu pengganti untuk pengujian gaya berjalan dengan teliti dan
mungkin memiliki lebih banyak nilai dalam rehabilitasi dibanding dalam hasil diagnose
(Thia, 2011).
Hasil klinis dari tes-tes vestibular
Beberapa pengamatan-pengamatan yang dibahas di bawah diambil dari satu
database dari 10,000 pasien yang mengalami 3 test (ENG, SHA CDP) di tahun 1985-
1995 di bawah pengawasan langsung (Thia, 2011).
Pertama, data-data yang mentah harus dilihat dan dievaluasi, terutama sekali yang
diperoleh dengan menggunakan sistem terkomputerisasi, dan klinisi mestinya tidak
bersandar pada analisa terkomputerisasi yang dihasilkan oleh sistem software, sekalipun
data yang mentah adalah mengganggu (Thia, 2011).
Kedua, penemuan okulomotor adalah sering overinterpretasi, dan penyelidikan-
penyelidikan neurologi dan MRI yang tidak penting. Dalam menguraikan database di
atas, hasil untuk kelainan-kelainan gerak mata pusat, dysmetria saccadic, pengejaran
saccadic, tanggapan optokinetic tidak simetris, dan tatapan menimbulkan nistagmus
adalah kurang dari 5%. Oleh karena itu, pembaca ENG diminta untuk dengan hati-hati
menginterpretasikan gerak mata. Orang yang baru memakai ENG kadang-kadang
membaca hasil okulomotor sebagai hal yang normal untuk beberapa tahun selagi mereka
menyimpan pola untuk penafsiran yang lebih akurat sebagai peningkatan pengalaman
mereka (Thia, 2011).
Ketiga, sistem ENG hanya mencetak gerak mata horisontal dan vertikal dan
kemudian yang tidak dapat merekam gerak mata berputar murni yang sering dilihat
dengan BPPV. ENG Berbasis Video (VNG) menguntungan untuk menggambar dan
merekam secara digital putaran nistagmus murni untuk menyimpan dan mengedit
kembali isyarat video yang ditangkap (Thia, 2011).
Keempat, penemuan posturography dinamis adalah jarang menyimpang, dan
penggunaan rutin tidak menghemat biaya (Thia, 2011).
b) Pemeriksaan lainnya
Untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih berat akibat serangan stroke yang
diawali dengan serangan vertigo, pemeriksaan lainnya adalah CT scan atau MRI kepala,
yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan syaraf. Jika diduga
suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
Jika diduga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan
angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak
(Thia, 2011).
c) Pemeriksaan tambahan :
Laboratorium
Radiologik dan Imaging
EEG, EMG, dan EKG.
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dipermudah dengan dibakukannya kriteria diagnosis, yaitu (Thia,
2011) :
1. Vertigo hilang timbul
2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf
3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral, misalnya tumor N.VIII (vestibula
koklearis)
10. Teraphy/Tindakan Penanganan
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kausal, simtomatik dan
rehabilitatif. Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui kausanya sehingga terapi lebih
banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif (Thia, 2011).
Terapi simtomatik bertujuan meminimalkan 2 gejala utama yaitu rasa berputar
dan gejala otonom. Untuk mencapai tujuan itu digunakanlah vestibular suppresant dan
antiemetik. Beberapa obat yang tergolong vestibular suppresant adalah antikolinergik,
antihistamin, benzodiazepin, calcium channel blocker, fenotiazin, dan histaminik (Thia,
2011).
Pengobatan khusus untuk pasien yang menderita vertigo yang disebabkan oleh
rangsangan dari perputaran leher (servikal), ialah dengan traksi leher dan fisioterapi, di
samping latihan-latihan lain dalam rangka rehabilitasi. Neuritis vestibuler diobati dengan
obat-obat simptomatik, neurotonik, anti virus dan rehabilitasi (Thia, 2011).
Rehabilitasi penting diberikan, sebab dengan melatih sistem vestibuler ini sangat
menolong. Kadang-kadang gejala vertigo dapat diatasi dengan latihan yang teratur dan
baik. Orang-orang yang karena profesinya, menderita vertigo servikal dapat diatasi
dengan latihan yang intensif sehingga gejala yang timbul tidak lagi mengganggu
pekerjaannya sehari-hari, misalnya pilot, pemain sirkus dan olahragawan (Thia, 2011).
Terapi rehabilitasi bertujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan
kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibular. Mekanisme
kerja terapi ini adalah substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensorik untuk
fungsi vestibular yang terganggu, mengaktifkan kendali tonus inti vestibular oleh
serebelum, sistem visual dan somatosensorik, serta menimbulkan habituasi, yaitu
berkurangnya respon terhadap stimulasi sensorik yang diberikan berulang-ulang (Thia,
2011).
Pada kasus jarang dimana penyakit sudah kebal dengan terapi obat, diet dan
diuretik, pasien terpaksa harus memilih intervensi bedah, misalnya endolimfatik shunt
atau kokleosakulotomi. Jika vertigo sangat mengganggu dan terjadi gangguan
pendengaran yang berat, dilakukan labirintektomi yaitu pengangkatan koklea (bagian
dari telinga tengah yang mengatur pendengaran) dan kanalis semisirkularis (Thia, 2011).
11. Komplikasi
Komplikasi vertigo akibat obat dimana beberapa obat ototoksik dapat
menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu
antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau
antineoplasitik yang mengandung platina (Prasti Pirawati, 2004).
Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan
kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik (Prasti Pirawati, 2004).
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid,
asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin (Prasti Pirawati, 2004).
Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat
supresan vestibuler tidak dianjurkan karena justru menghambat pemulihan fungsi
vestibluer (Prasti Pirawati, 2004).
Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan
keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo (Prasti Pirawati, 2004).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Aktivitas/Istirahat
Letih, lemah, malaise
Keterbatasan gerak
Ketegangan mata, kesulitan membaca
Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau
karena perubahan cuaca.
b) Sirkulasi
Riwayat hypertensi
Denyutan vaskuler, misal daerah temporal.
Pucat, wajah tampak kemerahan.
c) Integritas Ego
Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik).
d) Makanan dan cairan
Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju,
alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG
(pada migrain).
Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
Penurunan berat badan
e) Neurosensoris
Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
Perubahan pada pola bicara/pola pikir
Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
Penurunan refleks tendon dalam
Papiledema.
f) Nyeri/ kenyamanan
Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain,
ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
Fokus menyempit
Fokus pada diri sendiri
Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
g) Keamanan
Riwayat alergi atau reaksi alergi
Demam (sakit kepala)
Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus).
h) Interaksi sosial
Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan
dengan penyakit.
i) Data Subjektif :
Pusing, kepala terasa ringan
Rasa terapung, terayun
Mual
j) Gejala objektif :
Keringat dingin
Pucat
Muntah
Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
Nistagmus
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1) Nyeri akut berhubungan dengan tekanan saraf, vasospressor, peningkatan
intrakranial ditandai dengan klien menyatakan nyeri.
2) Risiko cedera berhubungan dengan gangguan keseimbangan berupa ataksia dan
pusing.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan ditandai dengan wajah klien
tampak gelisah.
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah ditandai dengan
kulit kering.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan intake nutrisi oral ditandai dengan klien tidak nafsu makan karena rasa
mual.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi Rasional
1 Nyeri akut
berhubungan
dengan tekanan
saraf, vasospressor,
peningkatan
intrakranial
ditandai dengan
klien menyatakan
nyeri.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama …x 24 jam
nyeri klien berkurang
dengan kriteria hasil:
NOC Label :
Pain Control
Nyeri klien
berkurang dengan
skala 0-3 (sedang).
Wajah klien tampak
rileks dan tenang.
Menggunakan
bantuan non
farmokologi (teknik
distraksi, relaksasi,
guided imagery).
Menggunakan obat
analgesik.
NIC Label :
Pain Management
1) Amati lokasi,
karekateristik,
derajat dan skala
nyeri klien.
2) Amati tanda-
tanda verbal
respon nyeri
klien.
3) Ajarkan teknik
distraksi,
relaksasi dan
guided imagery.
4) Anjurkan klien
untuk mentaati
dan penggunaan
obat analgesik
dan
mengawasinya.
NIC Label :
Pain Management
1) Memantau
perkembangan dan
skala nyeri klien.
2) Mengetahui skala
nyeri klien
melalui tanda-
tanda verbal yang
ditunjukkan.
3) Membantu klien
mengalihkan
perasaan nyerinya
dan mengurangi
ketergantungan
akan obat
analgesik.
4) Membantu
mengurangi nyeri
klien.
2 Risiko cedera
berhubungan
dengan gangguan
keseimbangan
berupa ataksia dan
pusing.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama ... x 24 jam
diharapkan risiko
cedera klien
berkurang dengan
NIC Label :
Environmental
Management : Safety
1) Observasi faktor-
faktor yang dapat
berkonstribusi
NIC Label :
Environmental
Management : Safety
1) Untuk
meningkatkan
kesadaran klien,
kriteria hasil :
NOC Label :
Risk Detection
Pasien
mengidentifikasi
faktor-faktor yang
meningkatkan
cedera.
Pasien membantu
mengidentifikasi
dan menerapkan
tindakan keamanan
untuk mencegah
cedera.
terhadap cedera.
2) Tingkatkan
keamanan
lingkungan
sesuai kebutuhan.
3) Ajarkan kepada
klien dan
keluarga tentang
perlunya
penerangan yang
aman.
4) Berikan
pendidikan
tambahan kepada
klien bila
diperlukan. Topik
yang
memungkinkan
dapat
menimbulkan
keamanan saat
sakit
berlangsung.
anggota keluarga
dan pemberi
asuhan.
2) Tindakan tersebut
akan mampu
mengaktifkan
koping terhadap
lingkungan yang
tidak familiar.
3) Tindakan tersebut
akan membantu
diskriminasi
visual.
4) Pendidikan
kesehatan dapat
membantu pasien
untuk mencegah
cedera.
3. Ansietas
berhubungan
dengan kurang
pengetahuan
ditandai dengan
wajah klien tampak
gelisah.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama … x 24 jam
cemas pasein
berkurang dengan
kriteria hasil :
NOC Label :
NIC Label :
Anxiety Reduction
1) Observasi respon
fisiologis,
misalnya
takipnea,
palpitasi, pusing.
NIC Label :
Anxiety Reduction
1) Dapat menjadi
indikasi derajat
ansietas yang
dialami klien.
Anxiety Level
Wajah klien tidak
tegang dan gelisah.
Klien menunjukan
sikap menerima dan
mengetahui
penyakitnya.
2) Catat petunjuk
perilaku seperti
gelisah, mudah
marah,
tersinggung.
3) Ciptakan
hubungan saling
percaya.
4) Bimbing teknik
relaksasi latihan
nafas dalam.
2) Indikator derajat
ansietas.
3) Membuat
hubungan
terapeutik,
membantu klien
menerima
perasaan dan
menurunkan
ansietas yang tidak
perlu tentang
ketidaktahuan.
4) Cara relaksasi
dapat membantu
menurunkan takut
dan ansietas.
4. Kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan mual,
muntah ditandai
dengan kulit
kering.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama … x 24 jam
diharapkan klien akan
mempertahankan
keseimbangan cairan
dengan kriteria hasil :
NOC Label :
Fluid Balance
Bibir tidak kering.
Membran mukosa
lembab.
Turgor kulit baik,
tidak kering.
NIC Label :
Fluid Management
1) Kontrol TTV
terhadap
peningkatan suhu,
peningkatan
frekuensi nadi,
hipotensi tiap 4
jam.
2) Auskultasi bising
usus, catat
kelancaran flastus
dan gerakan usus.
NIC Label :
Fluid Management
1) Tanda yang
membantu
mengidentifikasi
volume
intravascular.
2) Indikator
kembalinya
peristaltik,
kesiapan untuk
pemasukan
3) Pasang infus dan
pipa lambung
sesuai dengan
program medik.
4) Control cairan
keluar dan masuk.
5) Berikan sejumlah
kecil minuman
dan lanjutkan
dengan diet
sesuai toleransi.
peroral.
3) Mempertahankan
volume sirkulasi
dan memperbaiki
ketidakseimbangan.
4) Memberikan
informasi tentang
status volume/
cairan sirkulasi dan
kebutuhan.
5) Menurunkan iritasi
gaster/muntah
untuk
meminimalkan
kehilangan cairan.
5. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan penurunan
intake nutrisi oral
ditandai dengan
klien tidak nafsu
makan karena rasa
mual.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama … x 24 jam
intake nutrisi klien
meningkat dengan
kriteria hasil :
NOC Label :
Nutritional Status
Mual klien
berkurang.
Asupan nutrisi
klien terpenuhi.
Makanan klien
habis setengah
porsi.
Kemampuan dan
nafsu makan klien
meningkat.
NIC Label :
Nutrition
Management
1) Berikan informasi
kepada klien
tentang therapy
yang diberikan.
Indikasi dari
antasida.
2) Berikan makanan
sedikit tetapi
sering sesuai
indikasi untuk
klien.
NIC Label :
Nutrition
Management
1) Therapi jenis
antasida dapat
menurunkan
keasaman gaster
dengan absobsi
atau dengan
menetralisir.
2) Makanan
mempunyai efek
penetralisir asam,
juga
menghancurkan
kandungan gaster,
makan sedikit
dapat mencegah
distensi dan
3) Identifikasi dan
batasi makanan
yang dapat
menimbulkan
ketidaknyamanan.
4) Puasakan klien
pada 6 jam
pertama.
5) Anjurkan istirahat
sebelum makan.
6) Dorong tirah
baring dan
pembatasan
aktivitas selama
fase sakit akut.
7) Dorong klien
untuk menyatakan
perasaan terhadap
masalah tentang
makan.
haluaran gastrin.
3) Makanan khusus
yang menyebabkan
distress bermacam-
macam antar
individu.
4) Mengurangi
imflamasi pada
mukosa usus.
5) Menenangkan
peristaltik dan
meningkatkan
energi untuk
makan.
6) Menurunkan
kebutuhan
metabolik untuk
mencegah
penurunan kalor i&
simpanan energi.
7) Keragu-raguan
untuk makan
mungkin
diakibatkan oleh
takut makan akan
menyebabkan
eksaserbasi gejala.
4. Evaluasi
No. Dx Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1. Nyeri akut berhubungan
dengan tekanan saraf,
vasospressor, peningkatan
intrakranial ditandai dengan
S : Klien mengatakan nyerinya berkurang
dengan skala ringan.
O : Wajah klien tampak tenang dan rileks.
A : Intervensi tercapai sebagian.
klien menyatakan nyeri. P : Lanjutkan intervensi.
2. Risiko cedera berhubungan
dengan gangguan
keseimbangan berupa ataksia
dan pusing.
S : Klien mengatakan mampu mengontrol
pusingnya dan jatuhnya.
O : Perawat meilhat klien mampu memilih
tempat untuk jatuh.
A : Intervensi tercapai sebagian.
P: Lanjutkan intervensi.
3. Ansietas berhubungan dengan
kurang pengetahuan ditandai
dengan wajah klien tampak
gelisah.
S : Klien tidak merasa cemas lagi akan
penyakitnya dan mengetahui kondisi
penyakitnya.
O : Raut wajah klien tidak tegang lagi.
A : Intervensi tercapai sebagian.
P : Lanjutkan intervensi.
4. Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan mual,
muntah ditandai dengan kulit
kering.
S : Klien mengatakan sudah tidak merasa haus
lagi.
O : Turgor kulit klien elastis dan mukosa bibir
lembab
A : Tujuan tercapai.
P : Pertahankan kondisi klien dan lanjutkan
perawatan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
penurunan intake nutrisi oral
ditandai dengan klien tidak
nafsu makan karena rasa mual.
S : Klien mengatakan sudah mau makan
dengan jumlah yang ditentukan.
O : Perawat melihat klien makan dengan lahap.
A : Intervensi tecapai.
P: Pantau kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA
Joanne McCloskey, dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United States of
America: Mosby
Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. 2010. Jakarta: EGC
Odesyafar. 2011. Vertigo. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_144_tht.pdf[Akses : 15
Januari 2012]
Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe. 2004. Terapi Akupunktur untuk Vertigo.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.pdf/
144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.html[Akses : 15 Januari 2012]
Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of
America: Mosby
Sugeng Santoso. 2007. Penyakit Vertigo.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_askarullah_aboet.pdf[Akses : 14
Januari 2012]
Thia. 2011. Vertigo. http://www.dr-thia.com/2011/01/vertigo.html[Akses : 15 Januari 2012]