2. CBD TB REV

download 2. CBD TB REV

of 19

Transcript of 2. CBD TB REV

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    1/19

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A LATAR BELAKANG

    Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di

    dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi

    insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB

    diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya (WHO, 2010). Kasus Tuberkulosis di

    Semarang juga mengalami peningkatan. Dinas Kesehatan Kota Semarang

    mencatat suspect atau dugaan TB pada tahun 2010 sebanyak 11.047 kasus

    melonjak menjadi 15.001 kasus pada tahun 2011 dari target suspect sebanyak

    16.120 kasus. Sehingga secara langsung peningkatan TB Basil Tahan Asam

    (BTA) positif juga meningkat dari 879 di tahun 2010 menjadi 989 kasus di tahun

    2011 (Dinkes Semarang, 2011).

    Di Puskesmas Bangetayu jumlah suspeck penderita TB pada Januari 2012

    hingga April 2012 jumlah pasien yang mengikuti pengobatan sebanyak 16 orang

    dan jumlah pasien yang tingkat kepatuhannya tinggi ada 12 orang (75%). Kunci

    keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru antara lain dipengaruhi oleh kepatuhan

    pasien minum obat. Pengobatan TB yang memerlukan waktu relatif lama

    menimbulkan kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT. Hal tersebut

    mengakibatkan tidak tuntasnya pengobatan TB paru (Rachmadi, 2010).

    Kegagalan pengobatan merupakan salah satu yang berpengaruh tingginya

    angka kematian dan kesakitan tuberkulosis. Untuk mengatasi permasalahan

    tersebut, di tingkat global digunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment

    Shortcourse). Strategi ini bermanfaat menurunkan angka kesakitan dan kematian,

    mencegah resistensi obat, dan memberikan angka kesembuhan yang tinggi (StopTB Partnership, 2012). Tahun 1995, Indonesia mengadopsi strategi DOTS untuk

    penanggulangan TB, dan pada tahun 2001 seluruh propinsi dan lebih dari 95 %

    Puskesmas, dan 30% Rumah Sakit/BP.4 telah mengadopsi strategi DOTS. Secara

    harfiah DOTS berarti pengobatan jangka pendek dengan pengawasan ketat.

    Kepatuhan penderita minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan

    determinan utama menentukan keberhasilan pengobatan (Haziq, M, 2012).

    1

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    2/19

    Indonesia memiliki masalah dalam pengobatan tuberkulosis karena

    banyaknya pasien yang mengalami drop out dan tidak patuh pada pengobatan, hal

    ini sesuai dengan penelitian oleh Firdausiyah (2008) bahwa dari 60 pasien TB

    yang menjalani pengobatan TB di Puskesmas Karang Tengah Demak sebanyak 30

    pasien mengalami drop out dan terdapat hubungan bermakan antara tingkat

    pendapatan keluarga, tingkat pengetahuan dan efek samping dari obat dengan

    pasien yang mengalami drop out. Kepatuhan penderita untuk minum obat juga

    mempengaruhi kesembuhan. Penelitian oleh Eka (2009) menyebutkan bahwa ada

    hubungan bermakna antara jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan dan pekerjaan

    dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB di Puskesmas Kayen Pati. Strategi

    DOTS yang dijalankan oleh Pemerintah memberi angka kesemubuhan bagi

    penderita TB, adanya hubungan antara pelaksanaan strategi DOTS dengan angka

    kesembuhan di Puskesmas Se-kota semarang (Triningsih, 2005).

    B RUMUSAN MASALAH

    Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien tuberkulosis

    paru di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang?

    C TUJUAN

    Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien

    tuberkulosis paru di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.

    D MANFAAT

    1. MANFAAT BAGI PESERTA

    Memberi masukan dan informasi ilmiah untuk memperkaya keilmuan

    Menjadi bahan rujukan untuk penelitian yang lebih lanjut.

    2. MANFAAT BAGI MASYARAKAT

    Memberi rekomendasi langsung kepada masyarat untuk memperhatikan

    perilaku dan lingkungan tempat tinggalnya.

    Memberi rekomendasi kepada tenaga kesehatan untuk lebih

    memberdayakan masyarakat dalam upaya kesehatan promotif dan

    preventif

    2

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    3/19

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    1. PENDAHULUAN

    A) Epidemiologi

    Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya

    dengan sejarah manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang

    mummi yang sesuai dengan TB ditemukan di Heidelberg, diduga berasal

    dari tahun 5000 SM. Demikian juga halnya di Italia diduga berasal dari

    tahun 4000 SM. Keadaan ini juga dijumpai di Denmark dan lembah

    Jordan. Di Mesir juga ditemukan lukisan-lukisan pada dinding berupa

    bentuk kelainan tulang belakang yang sesuai dengan penemuan TB spinalpada mummi. Di Indonesia catatan paling tua dari penyakit ini adalah

    seperti didapatkan pada salah satu relief di candi Borobudur yang

    tampaknya menggambarkan kasus tuberculosis. Hipokrates juga

    mendeskripsikan tentang penyakit ini dan menyebutnya Pthisis.

    Akhirnya pada tahun 1882 Robert Koch menemukan basil tuberkulosis

    sebagai penyebabnya dan hasil penemuannya dipresentasikan pada

    tanggal 24 Maret 1882 di Berlin. Hal ini di peringati sebagai hari TB

    sedunia (TB Day) (Aditama, dkk, 2008).

    Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

    Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta

    pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.

    Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi

    pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat

    TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan

    nifas Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif

    secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,

    akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut

    berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar

    20 30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan

    pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB

    3

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    4/19

    juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan

    dikucilkan oleh masyarakat. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama

    kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3

    terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar

    10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004,

    setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.

    Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk

    (DepKes RI, 2006).

    B) Cara penularan

    Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu

    batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

    percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

    3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana

    percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

    mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat

    membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

    keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien

    ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin

    tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

    tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB

    ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup

    udara tersebut (Werdhani, 2006).

    C) Strategi Penanggulangan

    Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah

    mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai

    strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course). Strategi ini

    dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices, dan hasil

    implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade.

    Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat merubah

    kasus menular menjadi tidak menular, juga mencegah berkembangnya

    MDR-TB (DepKes RI, 2006).

    4

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    5/19

    Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,

    prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan

    memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens

    TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan

    cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pada tahun 1995,

    WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam

    penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai

    salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi

    DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi

    efisiensi dan efektifitasnya.

    Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:

    1. Komitmen politis

    2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

    3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB

    dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan

    langsung pengobatan.

    4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

    5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

    penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja

    program secara keseluruhan (DepKes RI, 2006).

    D) Kepatuhan Berobat

    Kepatuhan adalah suatu perbuatan untuk bersedia melaksanakan

    aturan pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah ditetapkan

    (Rusmani, 2002). Penderita yang teratur berobat adalah penderita yang

    berobat teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan hingga

    8 bulan, sedangkan pasien yang tidak teratur berobat dan minum obat

    adalah pasien yang tidak melaksanakan pengobatan sesuai rencana yang

    telah ditetapkan (DepKes RI, 2006). Menurut Aditama (2008) kepatuhan

    pasien dinilai dari datang atau tidaknya pasien setelah mendapat anjuran

    untuk kontrol. Pasien dikatakan patuh apabila minum obat sesuai aturan

    paket obat dan ketepatan waktu pengambilan obat hingga masa

    pengobatan selesai.

    5

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    6/19

    E) Faktor Pengaruh Kepatuhan Berobat

    Menurut Green (1997), kepatuhan pengobatan dipengaruhi oleh :

    1. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor) adalah

    faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya

    perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,

    kepercayaan,nilai-nilai, tradisi.

    (a) sikap dan tekad untuk sembuh.

    Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan

    bahwa dirinya sembuh akan mempengaruhi perilakunya dalam

    menghadapi suatu penyakit.

    (b) Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya.

    Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses

    sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu.

    Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

    terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang

    didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Seseorang

    dengan pengetahuan rendah akan berdampak pada ketaatan yang

    rendah, dimana seseorang yang tidak teridentifikasi mempunyai

    gejala, mereka akan berfikir bahwa merekasudah merasa sembuh dan

    sehat sehingga menghentikan pengobatan.

    (c) Sosial, ekonomi dan budaya

    Keadaan sosial ekonomi berpengaruh pada ketaatan penderita

    untuk berobat. Hal ini dikarenakan apabila penderita berada pada

    tingkat pendapatan yang rendah maka penderita akan

    mengeluarkan biaya yang besar untuk transportasi ke fasilitas

    kesehatan sedangkan kebutuhan sehari-hari memaksanya untuktidak mengeluarkan biaya sehingga menggoyahkan kepatuhan.

    2. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor) adalah faktor-

    faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

    (a) Motivasi keluarga

    Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluargamerupakan unit

    terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerimaasuhan keperawatan.

    6

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    7/19

    Oleh karena itu keluarga sangat berperan dalam menentukan cara

    asuhan yang diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit, apabila

    dalam keluarga tersebut salah satu anggota keluarganya ada yang

    sedang mengalami masalah kesehatan maka sistem dalam keluarga

    akan terpengaruhi.

    (b) Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar.

    Dukungan dari petugas kesehatan misalnya, sangat membantu passion

    mengalami kepatuhan, dimana dengan adanya dukungan petugas

    berpengaruh besar artinya bagi seseorang dalamketaatan melakukan

    pearwatan. sebab petugas adalah yang merawat dan sering

    berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun

    psikis lebih baik, dengan sering berinteraksi akan sangat

    mempengaruhi rasapercaya dan menerima kehadiran petugas bagi

    dirinya, sertamotivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat

    besarartinya terhadap ketaatan passion.

    2. Faktor pemungkin (Enabling Factor) adalah faktor-faktor yang

    memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan.

    (a) Tersedianya fasilitas kesehatan

    ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas mempermudah niat

    suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik.

    Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau

    memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut

    sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin.

    (b) Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan

    Pemanfaatan sarana kesehatan biasanya terkendala oleh lingkungan

    yang jauh yang memberikan kontribusi rendahnya kepatuhan

    B) Program Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Bangetayu

    1. Proporsi suspek yang diperiksa dahaknya

    Target penemuan suspek baru pada bulan berjalan hingga April 2012

    yaitu 114 orang sedangkan suspek yang tercatat hanya 98 orang (86%).

    2. Proporsi penderita BTA (+) diantara suspek

    Pada bulan Januari 2012 hingga April 2012 didapatkan jumlah suspek

    7

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    8/19

    TB sebanyak 98 orang dengan kasus TB BTA (+) sebanyak 12 orang

    dewasa dan 4 anak-anak. Sehingga proporsi penderita BTA (+)

    diantara suspek yaitu 16 % (batasan 10 %). Sehingga ditemukan angka

    yang besar yang mungkin disebabkan oleh penjaringan atau criteria

    suspek yang terlalu ketat atau adanya masalah dalam pemeriksaan

    laboratorium sehingga banyak penderita tidak terdeteksi atau lolos.

    3. Case Detection Rate atau Penderita TB dengan BTA (+)

    Target penderita TB dengan BTA (+) pada bulan berjalan hingga April

    2012 yaitu 19 orang dan jumlah penderita BTA (+) yang ditemukan

    Puskesmas sudah mencapai target yaitu 16 orang (84 %).

    Beberapa program yang dilaksanakan puskesmas untuk

    penanggulangan TB yaitu :

    1. Untuk meningkatkan jumlah suspek Puskesmas melakukan

    pemeriksaan pada anggota keluarga yang kontak erat dengan

    penderita TB dengan BTA (+)

    2. Untuk meningkatkan penemuan kasus baru yaitu edukasi

    pada masyarakat sekitar baik melalui penyuluhan di posyandu,

    kerjasama dengan tokoh masyarakat dan kader secara berkala

    setiap bulan sehingga diharapkan bagi masyarakat yang

    mempunyai keluhan dapat datang di Puskesmas.

    3. Kerjasama lintas sektoral dengan bahan bangunan sehingga

    bagi pasien dengan TB yang memiliki rumah tanpa ventilasi

    diberikan pembagian genting secara gratis. Untuk pelaksanaannya

    dilakukan penilaian kriteria rumah sehat melalui kunjungan rumah

    (kerjasama dengan bagian Kesling) dilaksanakan tiap bulan.

    4. Untuk meningkatkan kepatuhan berobat, pasien yang positif

    menderita TB mendapatkan perjanjian pada awal pengobatan

    dengan isi perjanjiannya berupa jika pasien tidak mengambil obat

    pada tanggal seharusnya pasien mengambil obat (max.

    keterlambatan 1 minggu) maka tenaga kesehatan akan melakukan

    kunjungan rumah dan mengganti biaya transport Rp. 50.000,-. Jika

    8

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    9/19

    pasien telat lebih dari 1 minggu maka harus mengganti biaya

    sebesar Rp. 500.000,-

    BAB III

    ANALISA SITUASI

    A. CARA DAN WAKTU PENGAMATAN

    Cara pengamatan dilakukan dengan pengumpulan data primer dari

    wawancara dan data sekunder dengan menggunakan rekam medik. Pengamatan

    dilakukan dalam dua tempat yaitu di Puskesmas saat penderita berobat yaitu

    tanggal 24 Mei 2012 dan di rumah penderita (Home Visite) untuk mencari faktor

    yang mempengaruhi tingkat kepatuhan berobat yaitu tanggal 28 Mei 2012

    B. HASIL PENGAMATAN

    1. Daftar Penderita (Pasien )

    Identitas pasien

    Nama : Tn. BY

    Jenis kelamin : Laki-laki

    Umur : 44 tahun

    Agama : Islam

    Status Perkawinan : Menikah

    Pendidikan terakhir : SMP

    Pekerjaan : tukang parkir di pasar Johar

    Alamat : Bangetayu wetan

    Mulai berobat : 24 Mei 2012

    Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

    penunjang oleh Dokter di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang dapat

    disimpulkan bahwa pasien tersebut menderita Tuberkulosis Paru BTA +

    dan mendapatkan pengobatan berupa OAT KDT Kategori I.

    Pasien memiliki tingkat kepatuhan pengobatan yang tinggi

    dengan alas an rutin mengambil obat saat tanggal habis obat,

    9

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    10/19

    pengambilan obat tanpa perwakilan dan pasien menelan obat setiap hari.

    2. Hasil kunjungan

    1. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor)

    1. Sikap dan tekad untuk sembuh

    Pasien memiliki keinginan untuk sembuh. Pasien merasa sangat

    menderita dengan penyakitnya. Penyakitnya membuatnya terbatas

    untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Sudah tidak bisa bekerja seperti

    dulu lagi. Pasien juga merasa badannya tidak enak untuk dibawa

    kemanapun. Atas dasar itulah pasien berkeyakinan untuk sembuh agar

    kehidupannya kembali normal.

    Namun diakui pula oleh pasien bahwa pengobatan yang panjang

    hingga 6 bulan dan setiap hari harus minum obat dengan ukuran yang

    besar membuat pasien terganggu dan bosan. Bahkan kadang ingin

    muntah karena merasa jenuh. Pasien juga merasa batuknya tak kunjung

    berhenti padahal sudah meminum obat setiap hari. Pasien meragukan

    kemanjuran dari pengobatannya. Pasien juga tidak nyaman dengan

    efek samping dari pengobatan. Pasien awalnya takut karena air

    kencingnya berubah merah namun karena sudah di edukasi oleh

    petugas kesehatan maka pasien menganggap biasa. Pasien juga

    mengatakan setiap selesai minum obat rasanya mual

    2. Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya

    Pasien masih tidak paham untuk mencegah penularan dan

    pengetahuan tentang kemanjuran obat. Sehingga meskipun sudah

    minum obat dari Puskesmas, pasien juga masih meminum obat batuk

    dari apotek. Masalah yang berbahaya dan ditakutkan terjadinya

    multidrug resistant adalah pasien mengatakan sering membeli obat

    paten dari apotek karena merasa obat dari puskesmas adalah obat

    generik murahan. Setelah diketahui, ternyata obat tersebut berisi INH.

    3. Sosial, ekonomi dan budaya

    Selama ini untuk pengobatan pasien menyisihkan uang dari

    10

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    11/19

    bekerja. Uang yang didapatkan dengan menggabungkan uang istri dan

    beberapa anaknya yang sudah bekerja. Selama ini semua tercukupi

    dengan baik. Tidak ada faktor budaya yang menghambat pengobatan.

    Namun pasien pergi ke dukun untuk mengobati penyakitnya. Pasien

    juga datang ke pengobatan cina dan alternatif.

    2. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor)

    1. Motivasi keluarga

    Pasien mengatakan bahwa istrinya adalah alasannya untuk

    sembuh. Istri pasien rutin untuk mengambilkan obat ke Puskesmas dan

    menjadi PMO. Anak-anak pasien juga sangat mendukung pasien untuk

    terus berobat. Keluarga ingin pasien sembuh dari penyakitnya karena

    merasa pasien menderita setiap malam tidak bisa tidur karena batuk.

    Pada pasien ini istri bertanggungjawab sebagai pengawas minum

    obat. Istrinya memiliki check list tentang rutinitas minum obat. Istri

    mengawasi hingga obat benar-benar tertelan dan menghitung kapan

    obat habis dan harus mengambil lagi ke Puskesmas

    2. Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar

    Motivasi untuk sembuh juga didapatkan dari masyarakat sekitar

    seperti dari kader kesehatan yang datang ke rumah untuk mengajak

    anggota keluarga yang kontak datang periksa dahak. Tokoh agama

    juga mengajak penderita untuk ke masjid, sabar dalam mengahadapi

    cobaan dan berdoa demi kesembuhannya. Masyarakat juga merasa

    nyaman karena tidak ada masyarakat yang mengucilkan.

    3. Faktor yang mendukung (Enabling Factor)

    1. Tersedianya fasilitas kesehatan

    Fasilitas kesehatan terdekat yaitu dokter praktek swasta, bidan praktek

    swasta dan Puskesmas. Mengenai kualitas pelayanan di Puskesmas,

    pasein mengatakan sangat baik, pasien mendapatkan informasi dan

    perhatian yang baik dari petugas puskesmas. Pasien juga mendapatkan

    edukasi yang baik dari petugas. Juga diingatkan untuk di mangkir dari

    pengobatan.

    2. Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan

    11

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    12/19

    Jarak tempuh rumah ke Puskesmas dapat dijangkau dengan sepeda

    motor dan angkutan umum lainnya sehingga memudahkan pasien

    untuk sewaktu-waktu datang ke Puskesma

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Faktor pengaruh tingkat kepatuhan berobat berdasar Green

    Predisposing Factor Reinforcing Factor Enabling Factor

    Sikap dan tekad untuk

    sembuh

    Motivasi keluarga Tersedianya fasilitas

    kesehatan

    Tingkat pengetahuan

    penderita tentang

    penyakitnya

    Motivasi masyarakat

    dan lingkungan sekitar

    Terjangkaunya akses

    menuju fasilitas

    kesehatan

    Sosial, ekonomi dan

    budaya

    Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor)

    Sikap dan tekad untuk sembuh

    Pasien memiliki keinginan untuk sembuh. Pasien merasa sangat

    menderita dengan penyakitnya. Penyakitnya membuatnya terbatas untuk

    menjalani aktivitas sehari-hari. Sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi.

    Pasien juga merasa badannya tidak enak untuk dibawa kemanapun. Atas dasar

    itulah pasien berkeyakinan untuk sembuh agar kehidupannya kembali normal.

    Keinginan pasien untuk sembuh adalah faktor internal terpenting dalam

    kepatuhan berobat. Penelitian oleh Sitepu (2009) menyebutkan bahwa adanya

    keinginan pasien untuk sembuh telah membuat 75,5 % pasien TB relapsmenglami kesembuhan pada akhir pengobatannya.

    Namun diakui pula oleh pasien bahwa pengobatan panjang hingga 6

    bulan dan setiap hari harus minum obat dengan ukuran yang besar membuat

    pasien terganggu dan bosan. Bahkan kadang ingin muntah karena merasa

    jenuh. Pengobatan TB yang memerlukan waktu relatif lama menimbulkan

    kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT. Hal tersebut

    12

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    13/19

    mengakibatkan tidak tuntasnya pengobatan TB paru (Rachmadi, 2010).

    Pasien juga merasa batuknya tak kunjung berhenti padahal sudah

    meminum obat setiap hari. Pasien meragukan kemanjuran dari pengobatannya.

    Beberapa pasien TB tidak memiliki pengetahuan yang benar bahwa

    pengobatan TB membutuhkan waktu yang lama dengan penyembuhan yang

    lambat. Masalah yang sering terjadi oleh hal tersebut adalah menurunnya

    kepatuhan berobat (Yudha, 2010).

    Pasien juga tidak nyaman dengan efek samping dari pengobatan.

    Pasien awalnya takut karena air kencingnya berubah merah namun karena

    sudah di edukasi oleh petugas kesehatan maka pasien menganggap biasa.

    Pasien juga mengatakan setiap selesai minum obat rasanya mual. Hal ini

    sesuai dengan penelitian oleh Ariani (2008) yang melakukan penelitian pada

    pasien TB yang berobat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Banjarmasin

    menunjukkan bahwa adanya efek samping pengobatan menjadi faktor resiko

    terjadinya drop out.

    Tingkat pengetahuan penderita tentang sakitnya

    Pasien masih tidak paham untuk mencegah penularan dan pengetahuan

    tentang kemanjuran obat. Sehingga meskipun sudah minum obat dari

    Puskesmas, pasien juga masih meminum obat batuk dari apotik. Masalah yang

    berbahaya dan ditakutkan terjadinya multidrug resistant adalah pasien

    mengatakan sering membeli obat paten dari apotek karena merasa obat dari

    puskesmas adalah obat generik murahan. Setelah diketahui, ternyata obat

    tersebut berisi INH.

    Salah satu faktor yang menjadi hambatan terhadap kepatuhan penderita

    TB paru dalam melakukan pengobatan adalah tingkat pengetahuan. Tingkat

    pengetahuan tentang penyakit dan kemanjuran pengobatan menentukan pasien

    akan menyelesaikan pengobatannya atau tidak. Kepercayaan kultural juga

    mendukung penderita untuk mencari penyembuhan tradisional. Semakin

    rendah tingkat pengetahuannya semakin tidak patuh penderita untuk datang

    berobat (erawatyningsih, 2008)

    Sosial, ekonomi dan budaya

    Selama ini untuk pengobatan pasien menyisihkan uang dari bekerja.

    13

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    14/19

    Uang yang didapatkan dengan menggabungkan uang istri dan beberapa

    anaknya yang sudah bekerja. Selama ini semua tercukupi dengan baik. Tidak

    ada faktor budaya yang menghambat pengobatan. Namun pasien pergi ke

    dukun untuk mengobati penyakitnya. Pasien juga datang ke pengobatan cina

    dan alternatif untuk mengurangi keluhan.

    Pasien TB paru di masyarakat sebagian besar berada pada pendapatan

    menengah ke bawah. Sehingga selain untuk memikirkan biaya kehidupan

    sehari-hari, penderita harus memperhitungkan biaya transport pengobatan, dan

    hal tersebut menjadi alasan ketidakpatuhan. Penelitian oleh Erawatyningsih

    (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan lurus antara penghasilan

    keluarga yang rendah dengan ketidakpatuhan berobat

    Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor)

    Motivasi keluarga

    Pasien mengatakan bahwa istrinya adalah alasannya untuk sembuh.

    Istri pasien rutin untuk mengambilkan obat ke Puskesmas dan menjadi PMO.

    Anak-anak pasien juga sangat mendukung pasien untuk terus berobat.

    Keluarga ingin pasien sembuh dari penyakitnya karena merasa pasien

    menderita setiap malam tidak bisa tidur karena batuk.

    Pada pasien ini istri bertanggungjawab sebagai pengawas minum obat.

    Istrinya memiliki check list tentang rutinitas minum obat. Istri mengawasi

    hingga obat benar-benar tertelan dan menghitung kapan obat habis dan harus

    mengambil lagi ke Puskesmas.

    Pada umumnya, individu cenderung memiliki sikap yang searah

    dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain di

    motivasi oleh keinginan untuk bervariasi dan keinginan untuk menghindari

    konflik dengan orang yang dianggap penting. Melalui pemberdayaan keluarga

    sehingga anggota rumah tangga yang lain dapat berperan sebagai pengawas

    menelan obat (PMO), sehingga tingkat kepatuhan minum obat penderita dapat

    ditingkatkan yang pada gilirannya kesembuhan dapat dicapai. Penelitian oleh

    Hendrawati (2008) menyebutkan bahwa sikap penderita tuberkulosis paru

    dipengaruhi oleh partisipasi pengawas menelan obat keluarga dengan nilai

    rasio prevalens sebesar 1,778. Sehingga dapat disimpulkan bahwa partisipasi

    14

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    15/19

    PMO di keluarga mempunyai potensi 2x mempengaruhi secara positif sikap

    penderita tuberkulosis paru terhadap pengobatan.

    Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitarMotivasi untuk sembuh juga didapatkan dari masyarakat sekitar seperti

    dari kader kesehatan yang datang ke rumah untuk mengajak anggota keluarga

    yang kontak datang periksa dahak. Tokoh agama juga mengajak penderita

    untuk ke masjid, sabar dalam mengahadapi cobaan dan berdoa demi

    kesembuhannya. Masyarakat juga merasa nyaman karena tidak ada

    masyarakat yang mengucilkan. Cara terbaik mengubah perilaku adalah dengan

    memberikan informasi serta diskusi dan partisipasi dari penderita. Dukungan

    keluarga adalah dengan mendorong penderita agar patuh meminum obatnya,

    memberi dorongan keberhasilan pengobatan dan tidak menghindari penderita

    karena penyakitnya. Penelitian oleh Hutapea (2009) menyebutkan dari analisis

    regresi ordinal dari 4 variabel dukungan keluarga menunjukkan bahwa yang

    paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kepatuhan minum OAT

    penderita TB Paru adalah perhatian keluarga disusul dengan bantuan

    transportasi, dorongan berobat dan tidak menghindarnya keluarga dari

    penderita TB tersebut.

    Faktor yang mendukung (Enabling Factor)

    Tersedianya fasilitas kesehatan

    Fasilitas kesehatan terdekat yaitu dokter praktek swasta, bidan praktek

    swasta dan Puskesmas. Mengenai kualitas pelayanan di Puskesmas, pasein

    mengatakan sangat baik, pasien mendapatkan informasi dan perhatian yang

    baik dari petugas puskesmas. Pasien juga mendapatkan edukasi yang baik dari

    petugas. Juga diingatkan untuk di mangkir dari pengobatan.

    Kualitas pelayanan kesehatan yang baik ditunjukkan dengan adanya

    perhatian dan pemberian informasi yang jelas dari tenaga kesehatan dengan

    penderita TB sehingga timbul hubungan yang baik dan membuat penderita

    rutin berkunjung. Penelitian oleh Rusmani (2009) menyebutkan bahwa

    tingginya kualitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan tingginya

    kepatuhan pasien untuk berobat

    15

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    16/19

    Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan

    Jarak tempuh rumah ke Puskesmas dapat dijangkau dengan sepeda

    motor dan angkutan umum lainnya sehingga memudahkan pasien untuk

    sewaktu-waktu datang ke Puskesmas. Keterjangkauan akses pelayanankesehatan dengan sarana pribadi ataupun dengan transportasi umum

    mempengaruhi kepatuhan penderita TB. Penelitian Erawatyningsih (2009)

    menyebutkan fasilitas kesehatan yang tidak strategis menurunkan tingkat

    kepatuhan berobat penderita TB.

    .

    16

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    17/19

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan

    Kepatuhan berobat pada pasien dengan tuberkulosis dinilai tinggi apabila

    penderita berobat teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan

    hingga 8 bulan, sedangkan pasien yang kepatuhannya rendah adalah pasien yang

    tidak melaksanakan pengobatan sesuai rencana yang telah ditetapkan (DepKes

    RI, 2006). Menurut Aditama (2008) kepatuhan pasien juga dinilai dari datang

    atau tidaknya pasien setelah mendapat anjuran untuk kontrol. Pasien dikatakan

    patuh apabila minum obat sesuai aturan paket obat dan ketepatan waktu

    pengambilan obat hingga masa pengobatan selesai.

    Faktor Pengaruh Kepatuhan Berobat Menurut Green (1997) :

    a. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing

    Factor)

    Sikap dan tekad untuk sembuh

    Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya

    Sosial, ekonomi dan budaya

    b. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing

    factor)

    Motivasi keluarga

    Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar

    c. Faktor yang mendukung (Enabling Factor)

    Tersedianya fasilitas kesehatan

    Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan

    Saran

    Untuk Individu

    17

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    18/19

    Memotivasi penderita agar minum obat dan kontrol secara teratur

    Meningkatkan kandungan makanan yang tinggi kalori dan protein.

    Untuk Keluarga

    Memberitahukan keluarga pasien agar menjaga kontak dengan pasien.

    Menganjurkan kepada keluarga pasien agar orang yang tinggal satu

    rumah dengan pasien diberobatkan ke puskesmas terdekat untuk

    mengetahui adanya penularan atau tidak.

    Memotivasi keluarga agar penderita tidur terpisah dengan anggota

    keluarga yang lain

    Memberitahukan keluarga dan pasien agar pasien tidak membuang

    ludah sembarangan.

    Memberitahukan pasien dan keluarga pasien pentingnya sirkulasi udara

    supaya ventilasi rumah selalu dibuka.

    Intervesi

    Dilakukan tanggal 28 Mei 2012

    Evaluasi

    Dilakukan tanggal 31 Mei 2012

    Mencegah ketidakpatuhan, meliputi :

    Edukasi PMO untuk pengawasanlangsung hingga obat tertelan

    Seluruh anggota rumah menjadiPMO

    Mencegah keparahan, meliputi :

    Edukasi untuk membuka jendela Sudah dilakukan setiap hari

    Edukasi pada anggota keluarga

    yang merokok untuk mengurangi

    merokok dalam rumah

    Anggota keluarga mau merokok di

    luar rumah

    Edukasi untuk mengkonsumsi

    makanan bergizi

    Pasien membeli suplemen penguat

    imun

    Edukasi untuk mengurangi

    konsumsi obat luar tanpa resep

    Pasien masih menggunakan

    pengobatan tradisional saja

    Pemberian genting kaca Tidak dipasang karena atap di cor

    Edukasi pembuatan ventilasi Tidak dilakukan, karena tembok

    menyatu dengan tetangga

    Mencegah penularan, meliputi :

    18

  • 7/30/2019 2. CBD TB REV

    19/19

    Edukasi untuk tidur terpisah Anggota keluarga yang balita tidur

    terpisah dengan pasien

    Penyuluhan cuci tangan dan

    menutup mulut saat batuk

    Pasien sudah menutup mulut saat

    batuk namun belum terbiasa cuci

    tangan dengan sabun setelah batuk

    Penyuluhan PHBS Pasien sudah mau cuci tangan

    sebelum makan dengan sabun

    Edukasi untuk pembuangan dahak

    khusus

    Tidak dilakukan, belum ada waktu,

    pembuangan dahak masih di kamar

    mandi

    Pemberian masker Tidak di pakai, tidak terbiasa dan

    tidak nyaman

    Edukasi keluarga untuk periksa

    dahak

    Tidak dilakukan, tidak ada biaya

    Untuk puskesmas

    Memberikan pengetahuan kepada masyarakat dengan melakukan

    penyuluhan tentang Tuberkulosis

    meningkatkan cakupan suspek Tuberculosis

    19