eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2655/1/merged (1).pdf · digunakan sebagai penyelesaian masalah...
Transcript of eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2655/1/merged (1).pdf · digunakan sebagai penyelesaian masalah...
5
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara
atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur
hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja.1
Dalam hukum perkawinan di Indonesia, dikenal adanya perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah
1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. IV, 1976,
p. 14, 15, dikutip oleh Riduan Syahrani, 2009, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata,
Bandung: PT. Alumni, hlm. 62.
6
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut dan perjanjian
perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Akan
tetapi dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan juga menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak
dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan,
dan selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat
diubah kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut
tidak merugikan pihak ketiga.
Memang dalam masyarakat Indonesia sendiri kesadaran dalam
membuat perjanjian perkawinan dinilai masih rendah ketika ingin
melangsungkan perkawinan, meskipun perjanjian perkawinan ini menjadi
sangat penting apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dalam perkawinan
kedua belah pihak terutama masalah harta benda dalam perkawinan tersebut.
Namun, masih banyak masyarakat yang kurangnya memahami tujuan dari
dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut.
Tujuan dari dibuatnya perjanjian perkawinan ini adalah apabila antara
salah satu pihak suami atau istri mempunyai harta kekayaan yang cukup besar
dibanding harta kekayaan pihak lainnya (suami atau istri), masing-masing
dari mereka memiliki usaha sehingga apabila salah satu pihak (suami atau
istri) pailit maka yang lain tidak akan ikut pailit, dan terhadap utang-utang
yang dibuat sebelum perkawinan masing-masing menanggung sendiri.
Dengan perjanjian perkawinan, kedua belah pihak akan terlindungi
secara hukum harta bawaan masing-masing artinya perjanjian kawin itu bisa
7
digunakan sebagai penyelesaian masalah harta jika terjadi perceraian
dikemudian hari agar tidak terjadi perebutan harta, maka akan jelas mana
harta bersama (gono gini) dan harta pribadi masing-masing. Selain itu pihak
istri juga akan terlindungi dengan adanya perjanjian perkawinan yaitu
membatasi kekuasaan suami untuk memindahtangankan terhadap harta
bersama (perlu persetujuan pihak istri) dan harta istri pribadi yang dibawa
atau diperoleh sepanjang perkawinan yang bisa merugikan pihak istri
misalnya suami melakukan pemborosan terhadap harta kekayaan istri atau
menggunakan harta istri untuk berjudi dan mabuk-mabukan dan sebagainya.
Perjanjian perkawinan ini juga sebagai perlindungan pihak istri dari segala
kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Perjanjian kawin biasanya disusun sebelum dilangsungkannya
perkawinan. Hal ini bertujuan mengatur terlebih dahulu sebelum adanya
pernikahan. Sehingga hak dan kewajiban para pihak akan menjadi jelas.
Pembuatan perjanjian sebelum ada perkawinan adalah agar perjanjian
tersebut berlaku efektif ketika perkawinan tersebut dilangsungkan. Sebab
ada kemungkinan jika perjanjian kawin dilaksanakan setelah adanya
perkawinan akan menjadi sebuah hal yang aneh. Karena masih saja
memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada
indikasi untuk melakukan perceraian atau memang sejak awal motivasi
perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis.2
Waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam
Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak (suami istri) dengan persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, hal ini untuk menghindari
2 Yasir Fatahillah. 2008. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
https://fatahilla.blogspot.co.id. Dikases pada tanggal 01 Mei 2017.
8
terjadinya perselisihan dalam suatu perkawinan tersebut dikemudian hari baik
dalam masalah hak dan kewajiban masing-masing suami istri serta masalah
harta benda dalam perkawinan yang menimbulkan hilangnya kerukunan
antara suami dan istri, sehingga dibuatlah perjanjian perkawinan pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
Namun seiring dengan perkembangan masyarakat kini perjanjian
perkawinan baru dirasakan perlu apabila setelah perkawinan berlangsung
lama, antara suami dan istri ini karena alasan tertentu baru merasakan adanya
kebutuhan untuk membuat perjanjian perkawinan. Misal antara suami istri
yang sudah menikah satu tahun tanpa membuat perjanjian perkawinan
sebelumnya, kemudian suami ingin membangun usaha dengan modal yang
cukup besar timbullah kekhawatiran si istri apabila usaha suami tidak dapat
berjalan dengan baik, maka utang dengan pihak ketiga akan berdampak pula
pada harta mereka, sedangkan mereka tidak ingin hal itu terjadi. Maka dari itu
ada suatu keinginan suami dan istri ini membuat perjanjian kawin selama
perkawinan berlangsung karena saat mereka menikah mungkin saja belum
terpikir untuk membangun usaha dengan modal yang lumayan.
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 69/PUU-
XIII/2015 tertanggal 27 Oktober 2016, terkait gugatan mengenai pengujian
Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengenai perjanjian perkawinan, Pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta bersama
dalam perkawinan, Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
9
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai Hak
Milik, Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai Hak Guna Bangunan.
Kasus ini berawal dari pemohon pengujian yang bernama Ike Farida
merupakan pelaku perkawinan campuran dengan laki-laki yang
berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah dan telah
tercatat di Kantor Urusan Agama di Jakarta. Dimana pemohon telah membeli
rumah susun didaerah Jakarta, kemudian telah dibayar lunas, namun oleh
developer dibatalkan secara sepihak yang dikuatkan dengan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 12 November 2014, dengan alasan
bahwa warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tidak
punya hak memiliki hak milik dan hak guna bangunan jika tidak mempunyai
perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya
perkawinan.
Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015, maka ada beberapa ketentuan yang ada dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengalami perubahan
mengenai perjanjian perkawinan antara lain ayat (1) pejanjian perkawinan
dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama perkawinan berlangsung; ayat (3)
perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan atau
diberlakukan sesuai kesepakatan suami istri; ayat (4) perjanjian perkawinan
dapat dicabut atau diubah sebagian atau seluruhnya sepanjang disepakati oleh
kedua belah pihak.
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ini tentunya
disambut baik oleh para pelaku perkawinan campuran baik warga negara
Indonesia dengan warga negara asing maupun perkawinan non-campuran
antara sesama warga negara Indonesia ketika mereka ingin membuat perjanjian
kawin selama perkawinan berlangsung.
Namun, disisi lain, putusan ini bisa dinilai sebagai putusan yang
memperlakukan pernikahan lebih sebagai hubungan kontraktual atau
hubungan perdata biasa sebagaimana lembaga perkawinan umumnya
diperlakukan didunia Barat. Di Indonesia, lembaga perkawinan
umumnya dianggap sebagai kewajiban agama dan bersifat sakral. “Suatu
yang sakral ataupun ikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan
perempuan yang diatur dalam agama”.3
Ada beberapa bentuk-bentuk perjanjian perkawinan yang telah
diketahui, namun berkaitan dengan hal tersebut bentuk perjanjian perkawinan
seperti apakah yang akan dibuat kedua belah pihak (suami istri) sepanjang atau
selama perkawinan berlangsung, apakah bentuk perjanjian perkawinan yang
dibuat setelah perkawinan itu akan sama dengan bentuk perjanjian perkawinan
yang dibuat sebelum perkawinan, mengenai hal ini tentunya tidak ada
penjelasan lebih lanjut.
Ada perbedaan istilah mengenai mengikatnya pihak ketiga dalam
sebuah perjanjian perkawinan baik didalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi
Hukum Islam. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menggunakan
istilah pendaftaran sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah pengesahan. Terhadap istilah
3 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan.
http://www.m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016.
11
yang berbeda tersebut, apakah mempunyai makna yang sama atau berbeda
terkait dengan pengesahan atau pendaftaran yang dapat mengikat pihak ketiga.
Pengesahan maupun pendaftaran sama-sama mengikat pihak ketiga dalam
perjanjian perkawinan jika ada kepentingan pihak ketiga didalamnya.
Mengenai pengesahan perjanjian perkawinan sendiri dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengalami perubahan yang
amar putusannya menyatakan bahwa kedua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau notaris, sedangkan sebelum adanya putusan ini
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan hanya
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan saja baik pada Kantor Urusan
Agama atau Kantor Catatan Sipil. Hal ini juga akan menimbulkan
permasalahan bagi seorang notaris yang mempunyai kewenangan baru yaitu
mengesahkan perjanjian perkawinan dan nantinya akan bertanggung jawab
terhadap pembuatan akta perjanjian perkawinan, yang ternyata isi dari
perjanjian perkawinan itu akan terjadi permasalahan hukum dikemudian hari.
Sejauh mana kewenangan notaris dalam mengesahkan perjanjian
perkawinan seperti halnya Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan
Agama dan Kantor Catatan Sipil yang sebelumnya diatur Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Notaris mempunyai kewenangan
untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, selain itu Pasal 15 ayat (2) notaris juga berwenang untuk mengesahkan
12
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus. Dalam hal menjalankan kewenangan tersebut,
notaris hanya berwenang mengesahkan tanda tangan para pihak dan kepastian
tanggal dari surat dibawah tangan yang disebut legalisasi, lalu bagaimana
notaris melakukan pengesahan perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tidak menjelaskan
bentuk perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik atau akta dibawah
tangan. Dan apabila kedua belah pihak (suami istri) membuat perjanjian
perkawinan dengan akta notaris atau dengan akta dibawah tangan yang
kemudian disahkan oleh notaris, apakah mereka selanjutnya juga perlu
melakukan pengesahan dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (Kantor Urusan
Agama dan Kantor Catatan Sipil) atau kedua belah pihak cukup melakukan
pengesahan pada Notaris saja. Hal ini masih belum ada diatur dengan jelas
setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Ada suatu kasus mengenai perjanjian perkawinan yang tidak sah dan
menimbulkan batalnya suatu perikatan yang dilakukan dengan pihak
ketiga. Dimana suami istri ini membuat perjanjian kawin yang isinya
menyatakan bahwa istri berhak melakukan perbuatan hukum secara
pribadi atas segala bentuk harta yang beratasnamakan istrinya. Kemudian
si istri meninggal, dan rumah yang dahulu mereka beli setelah menikah
dengan sertifikat atas nama istri, telah dijual dan sudah menjadi hak milik
adik kandung istrinya. Bahkan sertifikat rumah tersebut menjadi atas
nama adik dari si istri. Akan tetapi suami istri ini tidak pernah
mendaftarkan perjanjian kawinnya pada Pengadilan Negeri setempat atau
mencatatkannya pada Kantor Catatan Sipil. Maka pihak ketiga yaitu adik
dari si istri tidak dapat menerima peralihan hak dari salah satu pihak saja,
karena prinsipnya segala harta yang diperoleh selama/setelah perkawinan
harus ada persetujuan kedua belah pihak (suami istri) apabila melakukan
13
perbuatan hukum dengan pihak lain dan untuk perjanjian kawin yang
belum didaftarkan hanya berlaku bagi suami dan istri secara internal
terkait pengurusan harta selama perkawinan berlangsung. Sehingga
mengakibatkan kebatalan atas segala perikatan yang dilakukan dengan
pihak ketiga.4
Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan membawa
akibat terhadap perubahan status hukum harta benda yang terdapat atau
diperoleh didalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.5
Putusan Mahkamah Konstitusi maupun UU Perkawinan tidak mengatur
hal tersebut. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila
perjanjian kawin tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga.
Alangkah tidak adilnya seandainya terdapat suatu perjanjian perkawinan
yang dibuat sepanjang perkawinan, dimana perjanjian perkawinan
tersebut merugikan pihak ketiga, kemudian atas perjanjian perkawinan
tersebut dilakukannya pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Dengan
dilakukannya pencatatan tersebut pihak ketiga terikat atas perjanjian
perkawinan tersebut, sementara perjanjian perkawinan tersebut
merugikan dirinya.6
Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 ini khususnya merubah ketentuan yang ada dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menimbulkan pertanyaan
mengenai bentuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan
akibatnya bagi pihak ketiga.
Terkait dengan pihak ketiga dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan dalam
4 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Intisari Online : Kasus Perjanjian Kawin yang Tak Sah Ini Penting Untuk
Disimak Pasangan yang Akan dan Sudah Menikah. http://intisari.grid.id. Diakses pada tanggal 23
April 2017. 5 Alwesius. 2016. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi. http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11.html. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016. 6 Ibid
14
ayat (1) “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”, dan dalam ayat (4)
“Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.
Perjanjian perkawinan memang bertujuan melindungi kepentingan
kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Perlu diperhatikan juga untuk dapat
mengikatnya pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan, maka perjanjian
tersebut harus dilakukan pengesahan, tujuan dari pengesahan sendiri adalah
agar pihak ketiga mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan yang
dibuat suami istri juga guna melindungi kepentingan pihak ketiga, bukan
memberikan kesempatan suami dan istri untuk mengikat pihak ketiga dengan
sesuatu yang tidak benar. Misalnya suami istri membuat perjanjian perkawinan
dengan itikad buruk yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain (pihak ketiga
yang tersangkut).
Seperti yang diilustrasikan oleh Edna Hanindito Notaris dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah dalam memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 sebagai berikut :7 Seorang suami bersama istrinya yang
sudah menikah, kemudian membuat perjanjian perkawinan di Notaris, salah
satu isinya tentang harta kekayaan. Si istri ini sudah mempunyai aset namun
7 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Putusan MK Soal Perkawinan Berpotensi Rugikan Pihak Ketiga.
http://www.gatra.com. Diakses 22 Maret 2017.
15
dia tidak mau beberapa harta tertentu misal saja rumah dan mobil dijadikan
harta gono gini. Kedua belah pihak ini menyepakati tentang klausul itu.
Kemudian pasangan suami istri tersebut kembali membuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan harta di Notaris yang berbeda dan klausul
perjanjiannya juga bertentangan dengan perjanjian sebelumnya. Dengan
demikian ada dua akta perjanjian perkawinan dan kedua akta itu tentunya
berlaku. Setelah itu, istri meminjam uang ke bank dengan menjaminkan aset
berupa rumah. Pihak bank menyetujui dan dana dicairkan. Selesai pinjam di
bank dan menggunakan akta perjanjian perkawinan yang kedua yang seolah-
olah pisah harta sama sekali antara suami dan istri ini. Setelah tanda tangan
kontrak dan dana dicairkan, lalu mereka ubah akta perjanjian perkawinan itu.
Dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak harus meminta izin terlebih
dahulu dari pasangan kawinnya dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar
nama salah satu pihak. Karena pihak ketiga mengira dari perjanjian perkawinan
yang kedua, harta si istri ini mencukupi untuk pelunasan pinjamannya, maka
jika perjanjian perkawinan itu diubah, pihak ketiga tentunya merasa dirugikan
dengan perjanjian perkawinan tersebut.
Oleh sebab itulah, keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 yang merubah Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan perlu memperhatikan dampaknya terhadap pihak
ketiga yang tersangkut apabila ternyata perjanjian kawin yang dibuat selama
perkawinan berlangsung itu dapat merugikan pihak ketiga sendiri, lalu apa saja
solusi hukum yang bisa diterapkan dalam masalah seperti ini, dan tidak ada
16
pengaturan lebih khusus dalam pasal perjanjian perkawinan mengenai hal itu.
Sedangkan pihak ketiga akan terikat setelah perjanjian perkawinan tersebut
didaftarkan.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya mengatur bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sedangkan isi dari
perjanjian yang dibuat oleh suami istri sendiri tidak dapat diketahui apakah
bisa merugikan pihak ketiga setelah perjanjian perkawinan itu didaftarkan dan
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
mengangkat permasalahan ini dalam melakukan penelitian tesis dengan judul :
“PERLINDUNGAN HUKUM PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN
KAWIN YANG DIBUAT SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG”
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang diangkat dalam
penulisan tesis ini dirumuskan pada persoalan sebagai berikut :
1. Bagaimana makna pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau
Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat selama perkawinan
berlangsung?
2. Bagaimana perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan setelah
dibuatnya perjanjian kawin dalam suatu perkawinan?
17
III. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran terdapat karya-karya ilmiah yang
dipublikasikan dan pernah diangkat sebelumnya, namun dari judul tentunya
tidak sama dengan judul yang diangkat peneliti termasuk juga rumusan
masalah sangat berbeda dengan rumusan masalah yang diangkat peneliti yaitu
sebagai berikut:
1. Zulfanovriyendi, S.H. 2008. Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang. Judul : Akibat Hukum Pendaftaran
Perjanjian Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga. Rumusan Masalah : 1.
Bagaimanakah sebuah perjanjian perkawinan dapat mengikat terhadap
pihak ketiga, 2. Apakah akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan tidak
didaftarkan.
2. Ramadhan Wira Kusuma. 2010. Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang. Judul : Pembuatan Perjanjian Kawin
Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga (Studi
Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor.
207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri
Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr). Rumusan Masalah : 1. Apa yang
menjadi dasar dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur
mengabulkan permohonan Penetapan terhadap Pembuatan Perjanjian
Kawin yang dilakukan setelah perkawinan, 2. Bagaimana akibat
hukumnya Pembuatan Perjanjian Kawin setelah perkawinan yang
didasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
18
3. Marshella Laksana. 2012. Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia Depok. Judul : Efektivitas Perjanjian Perkawinan
Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga. Rumusan Masalah : 1.
Bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang hanya berdasarkan
pada Surat Keterangan Dina Kependudukan, Catatan Sipil dan Tenaga
Kerja, 2. Bagaimana keabsahan akta kesepakatan jual beli tanpa
persetujuan pihak isteri yang didasarkan dari perjanjian perkawinan yang
belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga.
4. Maharani Kartika Puji Karishma, S.H. 2011. Program Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia Depok. Judul : Akibat Hukum
Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan (Studi Kasus :
Penetapan Pengadilan Negeri Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr).
Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam
pemberian putusan terkait dalam Penetapan Pengadilan Negeri
Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr, 2. Bagaimanakah akibat hukum dari
perjanjian kawin tersebut bagi pasangan suami istri serta bagi pihak ketiga
setelah dikeluarkannnya Penetapan Pengadilan Negeri
Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr tersebut.
IV. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini sebagai berikut:
19
1. Untuk menganalisis makna pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
atau Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat selama perkawinan
berlangsung.
2. Untuk menganalisis perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan
setelah dibuatnya perjanjian kawin dalam suatu perkawinan.
Sedangkan Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis : sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk
perkembangan ilmu pengetahuan bagi para akademisi dan peneliti hukum
juga bagi para pihak yang terkait dalam pembuatan perjanjian kawin yang
dibuat selama perkawinan berlangsung.
2. Manfaat Praktis :
1) Untuk menambah bahan masukan referensi di dalam pengembangan
ilmu pengetahuan hukum, Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Dalam
Perjanjian Kawin yang Dibuat Selama Perkawinan Berlangsung.
2) Untuk dijadikan bahan masukan dan acuan bagi para praktisi dan
masyarakat luas yang menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
masalah ini.
20
V. Tinjauan Pustaka
A. Perkawinan Secara Umum
1.1 Pengertian Perkawinan
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perkawinan diartikan adalah
suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.8
Secara yuridis batasan pengertian perkawinan disebutkan dalam
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
ketentuan ini, dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa“.
Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa
pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan
pada agama dan kepercayaan masing-masing.”9 Oleh sebab itu, dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kemudian dalam Penjelasan atas Pasal 2 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan:
8 R. Wirjono Prodjodikoro. 1991. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung : Sumur
Bandung, hlm. 7. 9Riduan Syahrani. 2009. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT
Alumni, hlm. 63.
21
"Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini."
Perkawinan merupakan perikatan suci. Perikatan tidak dapat
melepaskan dari agama yang dianut suami-istri. Perkawinan salah satu
perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga.10
Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan
menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
1.2 Dasar dan Tujuan Perkawinan
Dasar dan tujuan perkawinan telah tercantum dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana perkawinan itu
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri yang tujuan dari perkawinan itu sendiri ialah membentuk keluarga
yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu
haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu
saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu
pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk
10
Rosnidar Sembiring. 2016. Hukum Keluarga: Harta-harta Benda Dalam Perkawinan.
Jakarta: Rajawali Pers, hlm.43.
22
perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak
dapat ditempuh lagi.11
Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan itu tidak hanya untuk
jangka waktu yang singkat atau jangka waktu tertentu saja, akan tetapi
perkawinan sesuai tujuannya dilangsungkan untuk selamanya atau seumur
hidup. Oleh sebab itu lah dalam perkawinan terdapat prinsip mempersulit
terjadinya perceraian kecuali ada alasan-alasan tertentu didepan sidang
pengadilan.
Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
1.3 Syarat Perkawinan
Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi
syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam
Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur
21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua;
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya;
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang tersebut atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
11
Rachmadi Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dam Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 296.
23
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut;
6. Ketentuan tersebut diatas berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Dalam Penjelasan atas Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan mempunyai
maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia
dan sesuai pula dengan hak asasi manusia maka perkawinan harus disetujui
oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ditegaskan hal-hal berikut :
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan ini
diadakan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena
itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan;
2. Dalam hal penyimpangan batas umur perkawinan, dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan berlakunya adanya
ketentuan ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud seperti diatur
dalam KUH Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku;
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tesebut, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi batas umur
perkawinan dengan tidak mengurangi ketentuan di atas.
B. Perjanjian Secara Umum
2.1 Pengertian Perjanjian
Sumber perikatan ada dua macam yaitu yang lahir dari undang-
undang dan lahir dari perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-
24
undang seperti alimentasi, hubungan darah yang menimbulkan kewajiban
pemberian nafkah oleh orang tua kepada anaknya atau anak kepada orang
tuanya yang tidak mampu lagi mencari nafkah. Sedangkan perikatan yang
lahir karena perbuatan manusia dibagi menjadi dua yaitu perbuatan yang
dibolehkan salah satunya adalah pembayaran tanpa terutang, wakil tanpa
kuasa, adapun perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai hukum
adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 sampai dengan 1380 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata).12
Perjanjian merupakan sumber dari perikatan, perikatan adalah
hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan hukum harta kekayaan,
dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain
(debitur) berkewajiban memenuhi prestasi (Riduan Syahrani, 2004; 196).13
Berdasarkan pengertian perikatan diatas ini, dalam satu perikatan
terdapat hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain. Jadi, dalam perjanjian
timbal-balik dimana hak dan kewajiban disatu pihak saling berhadapan
dipihak lain terdapat dua perikatan.14
Adapun perjanjian dalam arti sempit dan arti luas yaitu dalam arti sempit
perjanjian hanya mencakup kepada hubungan dalam lapangan hukum harta
kekayaan saja sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, sedangkan perjanjian dalam arti luas mencakup semua
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikehendaki
para pihak. Jadi, perjanjian dalam arti luas tidak hanya diatur dalam
lapangan hukum harta kekayaan saja, tetapi juga mencakup Buku I Kitab
Undang-undang Hukum Perdata seperti perjanjian kawin (J.Satrio, 1995,
28).
12
Wawan Muhwan Hariri. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam
Islam. Bandung : Pustaka Setia, hlm. 64. 13
Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pustaka
Felicha, hlm. 5. 14
Riduan Syahrani. Op.Cit., hlm. 196.
25
Dengan demikian pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dalam sebuah perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak
yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya Buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur hukum perikatan menganut
sistem terbuka, dimana hukum perjanjian itu memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada setiap orang untuk membuat sebuah perjanjian baik
mengenai dengan siapa akan membuat perjanjian, apa saja yang akan menjadi
objek dari perjanjian, serta penyelesaian sengketa apabila terjadi dikemudian
hari, yang pada dasarnya isinya itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu Undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Konsekuensi yuridis dari perjanjian yang sah adalah mengikat bagi
para pihak laksana undang-undang (Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata), disamping itu juga menjadikan para pihak wajib melaksanakannya
dengan i’tikad baik dan tidak bisa memutuskan perjanjian secara sepihak.15
Mengenai hukum perjanjian yang juga menganut asas I’tikad baik dalam
pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan
15
Abdul Ghofur Anshori. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (konsep, regulasi,
dan implementasi). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm. 8.
26
bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan i’tikad baik”. I’tikad
baik dalam pasal tersebut berarti sebuah perjanjian tanpa adanya tipu
muslihat, tanpa tipu daya. Suatu perjanjian itu harus dilaksanakan dengan
jujur, terbuka dan saling percaya.
2.2 Syarat Sah Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Syarat “sepakat dan kecakapan” merupakan syarat subyketif, yang
apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan
syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” merupakan syarat obyektif,
apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
a) Sepakat (Toestemming)
Sepakat (Toestemming) adalah pertemuan dua kehendak yang saling
mengisi atau saling bersesuaian dengan cara dinyatakan, atau dapat dikatakan
bahwa sepakat adalah bertemunya penawaran dan penerimaan (J.Satrio,
1995;165).16
16
Zakiyah. Op.Cit., hlm. 33.
27
Dianggap tidak ada kesepakatan kalau didalamnya terdapat paksaan,
kekhilafan, maupun penipuan.17
Tiga hal tersebut dikenal dengan cacat
kehendak dalam kesepakatan, paksaan berarti kehendak yang berbentuk
karena adanya rasa takut, bisa terjadi karena adanya ancaman dari pihak lain,
kekhilafan artinya seseorang keliru mengenai orangnya atau mengenai ciri
atau hakikat bendanya namun ia telah memperoleh haknya, sedangkan
penipuan berarti sesuatu yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan
tipu muslihat agar pihak lain memberikan persetujuannya.
b) Kecakapan
Kecakapan terbagi dua yaitu kecakapan bertindak dan kewenangan
bertindak. Kecakapan bertindak (bersifat umum) melakukan suatu tindakan
hukum pada umumnya, seperti sehat pikiran, dewasa, tidak dilarang undang-
undang melakukan perbuatan hukum. Sedangkan kewenangan bertindak
(bersifat khusus) kewenangan untuk bertindak dalam suatu peristiwa tertentu,
mereka umumnya cakap untuk bertindak namun tidak berwenang
melaksanakan tindakan hukum secara sah dalam peristiwa tertentu.
Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak
cakap untuk melakukan suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang-orang yang telah ditetapkan oleh undang-undang dilarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
17
Abdul Ghofur Anshori. Op.Cit., hlm. 9.
28
c) Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan obyek dari perjanjian atau disebut
prestasi, dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata prestasi berupa :
1. memberikan sesuatu
2. berbuat sesuatu
3. tidak berbuat sesuatu
d) Suatu sebab yang halal
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan
dengan undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan baik atau
bertentangan dengan ketertiban umum.
Sebuah perjanjian yang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum seperti halnya perkawinan sesama jenis, perjanjian
membuat provokasi kerusuhan (sebagai bentuk perjanjian yang melanggar
ketertiban umum), transaksi jual beli obat-obatan terlarang, jual beli organ
tubuh, ingkar janji dalam pelaksanaan perjanjian, atau jual beli pisau yang si
penjual hanya bersedia menjual jika si pembeli mau membunuh dengan pisau
itu, dan contoh lain seperti jual beli barang dari hasil curian dimana kedua
belah pihak mengetahui asal usul barang tersebut.
29
C. Konsep Perjanjian Perkawinan
3.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah suatu jenis perjanjian. Ia merupakan
species dari genus perjanjian. Dengan demikian harus memenuhi syarat-
syarat dari genusnya dan disamping itu ia mengandung pula sesuatu unsur
yang menjadikannya sebagai species.18
Menurut Saifuddin Arief dalam bukunya Notaris Syariah Dalam
Praktik, Jilid I Hukum Keluarga Islam menyatakan bahwa yang dimaksud
perjanjian perkawinan adalah akad yang dibuat oleh pasangan calon
pengantin sebelum perkawinan dilangsungkan, yang isinya mengikat
hubungan perkawinan keduanya (pasangan pengantin).19
Perjanjian perkawinan adalah contoh dari perjanjian formil, merupakan
suatu perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kata sepakat saja, tetapi
juga mensyaratkan penuangan perjanjian tersebut kedalam suatu bentuk
bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan formalitas tertentu, selain
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum dan juga harus
dituangkan dalam akta otentik.20
Seorang sarjana modern yang lain, Van der Pleeg memberi rumus
material yakni, “Tiap ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta
kekayaan antara calon suami-istri, yang timbul dari perkawinan mereka,
adalah perjanjian perkawinan (overeenkomst van huwelijksvoorwarden).21
Dalam Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975 tidak mengatur
lebih lanjut bagaimana perjanjian perkawinan dimaksud hanya disebutkan
18
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.64. 19
Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, hlm. 82. 20
Zakiyah. Op.Cit., hlm. 12. 21
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.66.
30
bahwa kalau ada perjanjian perkawinan harus dimuat didalam Akta
Perkawinan.22
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, campur kekayaan
suami dan istri hanya dapat dihindarkan apabila sebelum perkawinan mereka
mengadakan perjanjian perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan itu dapat
berupa campur keuntungan dan kerugian serta campur bunga dan hasil
kekayaan.23
Berdasarkan Pasal 151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata seorang
anak belum dewasa yang dianggap cakap membuat perjanjian kawin dengan
syarat sudah cakap untuk melangsungkan perkawinan dan harus dibuat
dengan bantuan atau didampingi oleh orang yang seharusnya berwenang
untuk memberikan izin pembuatan tersebut. Sedangkan orang tua atau wali
hanya memberikan izin baik tertulis maupun ikut hadir dan menandatangani
akta perjanjian kawin tersebut.24
Pada umumnya perjanjian kawin dibuat :25
1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu
pihak dari pihak lain;
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang
cukup besar;
22
K. Wantjik Saleh. cet. IV, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia, hlm. 32. 23
Mr Wirjono Prodjodikoro. Cetakan Kedua. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung :
Vorkink-Van Hoeve, hlm. 95. 24
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga
(Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press, hlm. 75. 25
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.73.
31
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit
yang lain tidak tersangkut;
4. Atas utang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan
bertanggung jawab sendiri-sendiri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata perjanjian perkawinan
diatur Pasal 139 menyatakan bahwa :
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah
berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang
sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata
susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala
ketentuan dibawah ini.
Selanjutnya perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan,setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Maksud dari 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa kedua
calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan dengan adanya
perjanjian kawin ialah untuk menghindari pencampuran harta perkawinan
secara bulat, karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata prinsipnya
apabila terjadi perkawinan maka harta menjadi persatuan bulat maka kedua
32
belah pihak (suami dan istri) dapat menyimpangi dengan mengadakan
perjanjian kawin.
Dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 29
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan
bahwa sebuah perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas hukum, agama
dan kesusilaan, sebagai contohnya perjanjian kawin yang berisi tentang
keharusan suami untuk menikahi saudara kandung istri, atau perjanjian kawin
yang memuat ketentuan bahwa istri kehilangan haknya untuk melepas atau
menolak hak bagian atas harta persatuan, serta perjanjian kawin yang memuat
apabila mendapatkan harta bersama mereka (suami dan istri) atau salah satu
pihak misal suami akan membuka perjudian.
Selain itu perjanjian perkawinan juga diatur dalam Bab VII Pasal 45
sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan
dalam bentuk :
1. Taklik talak, dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan denga hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.
33
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dialngsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakanikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
Dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 menyatakan bahwa perjanjian
kawin bisa dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lainnya asalkan tidak
bertentangan dengan hukum islam. Yang dimaksud taklik talak dijelaskan dalam
Pasal 1 Ketentuan umum Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian yang
diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta
Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Taklik talak bukanlah suatu yang diwajibkan dalam suatu prosesi
pernikahan, taklik talak ini untuk memberikan perlindungan kepada
pihak isteri, karena dikhawatirkan ada pihak suami yang menelantarkan
isterinya, sehingga pelanggaran taklik talak ini dapat dijadikan alasan
oleh para isteri untuk menggugat cerai suaminya jika dia tidak berkenan
diperlakukan seperti itu.26
Jika suami dan istri ingin melakukan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan harta kekayaan, maka hal ini diperbolehkan oleh
Kompilasi Hukum Islam asalkan tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Misalnya perjanjian yang dibuat oleh suami istri bertujuan untuk
memperoleh keturunan dari wanita lain. Kemudian setelah anak itu
dilahirkan wanita yang menjadi istri kedua tersebut diceraikan maka
26
Aulia Muthiah. 2017. Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga. Yogyakarta :
Pustaka Baru Press, hlm. 100.
34
perjanjian seperti ini dilarang karena telah melakukan kedzaliman
terhadap istri kedua.27
Contoh perjanjian kawin yang melanggar hukum islam dalam Kompilasi
Hukum Islam seperti tidak ada hak waris mewaris antara suami dan istri, dalam
perkawinan si istri tidak akan kawin lagi, jika akad nikah sudah dilangsungkan
agar masing-maasing pindah agama, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang
tua dan harus mau makan daging babi.
3.2 Bentuk Perjanjian Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
perjanjian perkawinan ditetapkan dalam bentuk tertulis, disini tidak
dipersyaratkan dengan akta notarial, artinya tidak harus dibuat secara notarial,
cukup dibawah tangan saja dengan ditandatangani oleh suami istri yang
mengadakan perjanjina perkawinan.28
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mensyaratkan
perjanjian perkawinan harus dibuat secara notarial, termasuk perubahannya,
kalau tidak maka perjanjian perkawinannya akan diancam batal demi hukum.
Dalam Pasal 147 Kitab Undang-undang Hukum Perdata antara lain
dinyatakan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 148 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata antara lain menyatakan bahwa segala perubahan dalam perjanjian
27
Aulia Muthiah. Op.Cit., hlm.102. 28
Rachmadi Usman. Op. Cit., hlm. 287.
35
perkawinan tidak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan
akta dan dalam bentuk yang sama seperti perjanjian kawin yang dulu
dibuatnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan dalam Pasal 47 ayat
(1) bahwa kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan, artinya perjanjian kawin menurut
Kompilasi Hukum Islam seperti halnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, tidak harus dibuat dalam bentuk akta notaris, tetapi
bisa dibuat dibawah tangan saja yang kemudian perjanjian kawin itu akan
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pada umumnya dalam perjanjian perkawinan mengatur pemisahan
harta perkawinan, persatuan untung rugi, dan persatuan hasil dan pendapatan,
yang perinciannya sebagai berikut :29
a. Pemisahan harta perkawinan.
Apabila sebelum perkawinan suami-istri tidak membuat perjanjian kawin,
maka secara hukum terjadi persatuan bulat. Artinya akibat hukum dan
konsekuensi masuknya harta yang dibawa oleh suami dan istri menjadi
satu dalam harta kekayaan perkawinan. Kedua belah pihak harus
menyatakan dengan tegas bahwa antara mereka tidak ada persatuan harta
dan tidak menghendaki terjadinya persatuan harta dalam bentuk lain,
misalnya persatuan untung dan rugi atau persatuan hasil dan pendapatan.
Menurut Pasal 144 Kitab Undang-unndag Hukum Perdata dikatakan
bahwa “ketiadaan persatuan harta kekayaan tidak berarti tak adanya
persatuan untung dan rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas
ditiadakan”.
29
J. Andy Hartanto. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang Pressindo, hlm. 51-57.
36
Apabila perjanjian kawin berisi pemisahan harta perkawinan, maka
masing-masing pihak (suami istri) tetap menjadi pemilik dari barang-
barang yang mereka bawa kedalam perkawinan, begitu juga dengan tidak
adanya persatuan untung dan rugi maka hasil yang diperoleh baik hasil
usaha maupun hasil yang diperoleh dari harta pribadi tetap menjadi milik
masing-masing. Dengan terjadinya pemisahan harta maka dalam
perkawinan tersebut terdapat dua harta yaitu harta pribadi suami dan harta
pribadi istri.
b. Persatuan untung rugi.
Dengan terjadinya persatuan untung dan rugi maka semua keuntungan dan
kerugian yang diperoleh sepanjang perkawinan akan menjadi hak dan
tanggungan suami-istri secara bersama-sama serta menjadi bagian beban
suami-istri menurut perbandingan yang sama besarnya. Apabila dalam
perjanjian kawin ditentukan adanya persatuan untung rugi, maka terhadap
harta yang berupa barang bergerak harus dicatat dalam akta perjanjian
kawin tersebut.
Pembagian dari pencampuran untung rugi biasanya dilaksanakan dalam
dua bagian yang sama besarnya, kecuali mengenai pembagian ini dalam
perjanjian kawin ditentukan lain (Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata).
c. Persatuan hasil dan pendapatan.
Ketentuan mengenai persatuan hasil dan pendapatan, yaitu Pasal 164
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “Perjanjian,
bahwa antara suami-istri hanya akan berlaku persatuan hasil dan
pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta
kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, dan ketiadaaan persatuan
untung dan rugi”.
Maksud pasal diatas ialah persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk
lain dari macam harta perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta
secara keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi. Persatuan
hasil dan pendapatan prinsipnya hampir sama dengan persatuan untung
rugi, hanya saja bentuk persatuan ini dilakukan dengan pembatasan bahwa
hutang-hutang yang melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan akan
menjadi tanggungan si pembuat hutang tersebut.
37
Dengan demikian semua hutang-hutang ada diluar persatuan atau dengan
perkataan lain hutang-hutang tersebut akan menjadi kewajiban/tanggungan
pribadi dari pihak yang berhutang tersebut kepada pihak ketiga (kreditur).
Selain macam perjanjian perkawinan diatas, perjanjian perkawinan
juga bisa terkait dengan pewarisan, yang berisi masalah pisah harta apabila
salah satu meninggal dunia maka harta peninggalan tidak perlu lagi dibagi
dua dengan pasangan kawinnya, tetapi keseluruhan harta warisan dapat
langsung dibagi kepada ahli waris. Adanya perjanjian perkawinan mengenai
pewarisan tidak menyebabkan hilangnya hak pasangan untuk mewaris.
3.3 Isi Perjanjian Perkawinan
Hal-hal apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kedua belah pihak (suami-istri) secara bersama-sama bebas
menentukan isi perjanjian perkawinannya asalkan perjanjiannya tidak
melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan
ada yang mengatur adanya ketentuan pengaturan harta dan ada pula
perjanjian perkawinan dengan pisah harta.30
Didalam peraturan pelaksananya sendiri, yaitu dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang mengenai
perjanjian perkawinan ini tidak mengatur lebih lanjut tentang
pembatasan-pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan, apakah
mengenai harta benda misalnya, maka yang dapat ditafsirkan banyak
berbagai hal.31
30
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.69. 31
Soedharyo Soimin. 2004. Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata/BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 20.
38
Perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan tersebut
dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :32
1. Perjanjian percampuran harta pribadi. Perjanjian ini dapat meliputi semua
harta, baik yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan maupun
yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Dapat juga
diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi tersebut hanya terbatas
pada diri pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh
selama atau sebaliknya;
2. Pemisahan harta pencaharian masing-masing;
3. Perjanjian mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat yang
dibuat, tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Apabila dibuat perjanjian perkawinan yang tidak
memenuhi ketentuan tersebut, maka dianggap tetap terjadi pemisahan
harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga;
4. Disamping itu, boleh juga isi perjanjian pencampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat.
Sebagai akibatnya perjanjian perkawinan mengenai harta itu,
mengikat kepada para pihak suami istri dan pihak ketiga serta hanya dapat
32
Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 289.
39
dicabut atas persetujuan bersama suami istri serta wajib mendaftarkan di
Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat suami istri, tetapi terhadap
pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat. Apabila
pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan dalam tempo 6 (enam)
bulan, maka pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak
mengikat kepada pihak ketiga. Perlu diperhatikan pencabutan perjanjian
perkawinan mengenai harta itu tidak boleh merugikan perjanjian yang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pelanggaran atas perjanjian
perkawinan, baik berupa taklik talak maupun perjanjian lainnya, memberi hak
kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai
alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.33
Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga membatasi dengan
melarang hal-hal tertentu untuk dimuat didalam perjanjian perkawinannya.
Hal-hal yang dilarang dimuat didalam perjanjian tersebut meliputi :34
1. Sebagaimana ketentuan Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
bahwa perjanjian perkawinan yang diadakan tidak boleh berlawanan atau
melanggar hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan; calon suami-istri
dapat saja mengadakan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-
undangan sekitar persatuan harta kekayaan sepanjang perjanjiannya
tersebut tidak menyalahi kesusilaan atau ketertiban umum serta
33
Ibid, hlm. 289-290. 34
Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm.287-288.
40
mengindahkan pula segala ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.
2. Didalam perjanjian perkawinannya :
a. Tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan
si suami sebagai kepala rumah tangga;
b. Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami terhadap anak pada saat
perpisahan meja dan ranjang;
c. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang
kepada suami-istri yang hidup terlama;
d. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami
sebagai kepala keluarga (Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata);
3. Tidak diperbolehkan mengadakan perjanjian yang melepaskan hak-hak
yang diberikan undang-undang kepada suami istri atas harta peninggalan
keluarga sedarah dalam garis kebawah, termasuk tidak boleh mengatur
harta peninggalan itu (Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
4. Tidak diperbolehkan memperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus
membayar sebagian utang yang lain yang lebih besar daripada
keuntungannya (Pasal 142 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
5. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata sepintas lalu atau umum
memperjanjikan bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh
undang-undang luar negeri, adat kebiasaan, peraturan daerah (Pasal 143
Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
41
Perjanjian pernikahan dalam pembahasan Kompilasi Hukum Islam
berkaitan dengan harta kekayaan, baik harta kekayaan yang didapat sebelum
perkawinan (harta bawaan) maupun harta kekayaan yang didapat sesudah
perkawinan.35
Dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam,
menjelaskan hal-hal mengenai apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian
kawin, sebagai berikut
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama
atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama
atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya
kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan maupun yang
diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga
diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat
perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi
harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan
pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan
bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami
isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak
35
Aulia Muthiah. Loc.cit.
42
tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar
setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan
yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur
dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak
ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk
meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya
rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
3.4 Harta Dalam Perkawinan
Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.36
Harta perkawinan mencakup (Soekanto : 1954) :37
1. Harta suami atau istri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagi
warisan (=gawan atau harta asal),
36
Mardani. Op.Cit., hlm. 121. 37
Soerjono Soekanto. 1992. Intisari Hukum Keluarga. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
hlm. 61-62.
43
2. Harta suami atau istri yang didapatkan atas hasil usahanya sebelum atau
semassa perkawinan (=harta pembujangan atau harta penantian),
3. Hartayang diperoleh suami dan istri bersama-sama selam perkawinan
(=gono-gini),
4. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah.
Harta bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing oleh suami
atau istri sebagai pemiliknya, dimana mereka masing-masing berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta tersebut.
Harta pribadi meliputi :38
a. Harta yang dibawa masing-masing suami-istri ke dalam perkawinan
termasuk utang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan;
b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain
kecuali ditentukan lain;
c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan
lainnya;
d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami-istri sepanjang perkawinan
berlangsung termasuk utang yang timbul akibat pengurusan harta milik
pribadi tersebut.
Dalam Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur
mengenai persatuan harta kekayaan yang menyatakan sebagai berikut :
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
38
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.105.
44
Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.”
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, harta benda dalam perkawinan tercantum pada Bab VII Pasal 35
sampai dengan Pasal 37 sebagai berikut :
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan mengenai harta kekayaan
dalam perkawinan tercantum dalam Bab XIII Pasal 85 sampai dengan Pasal
97 sebagai berikut :
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
45
(1) Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atatu warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta msing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama,
maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun
harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa
benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
46
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada
hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta
isteri.
Mengenai harta bawaan atau harta pribadi masing-masing suami dan istri,
mereka mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
harta bawaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pihak lawan kawinnya.
Sedangkan Harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh suami dan istri
sepanjang perkawinan itu berlangsung sampai putusnya perkawinan diluar
warisan.
Asas sifat dan kebersamaan harta perkawinan dalam Pasal 119 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang pada pokoknya menyatakan apabila tidak
dibuat perjanjian kawin oleh calon suami istri sebelum perkawinan
dilangsungkan, maka akan terjadi apa yang dinamakan “Kebersamaan Harta
Kekayaan” antara suami istri itu karena undang-undang.39
Calon suami istri dapat mengadakan penyimpangan-penyimpangan atas
ketentuan-ketentuan yang mengatur kebersamaan harta kekayaan dengan
membuat perjanjian kawin, sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal 139 Kitab
39
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. Op.Cit., hlm. 53.
47
Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa calon suami istri dengan
perjanjian kawin dapat “membatasi” atau “meniadakan”.40
Harta bersama meliputi :41
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak
ditentukan demikian;
c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang
merupakan harta pribadi masing-masing suami-istri.
Mengenai harta bersama antara suami dan istri apabila ingin melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bersama tersebut maka harus dengan persetujuan
kedua belah pihak.
3.5 Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan
Pihak ketiga disini yang dimaksudkan dalam perjanjian kawin yang
tidak boleh dirugikan adalah orang lain diluar kedua belah pihak (suami dan
istri) yang tersangkut dalam perjanjian kawin seperti halnya kreditur yang
telah mengadakan perjanjian dengan salah satu pihak antara suami atau istri.
Dimana perjanjian kawin itu mengenai harta kekayaan dalam perkawinan.
Akibat hukum perjanjian kawin terhadap pihak ketiga dapat dijelaskan
dengan ilustrasi sebagai berikut, pasangan suami istri menikah pada
bulan Oktober 2010 dengan tidak membuat perjanjian pisah harta,
sehingga terjadi pencampuran harta (Pasal 119 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata). Dengan demikian untuk tindakan hukum masing-
masing pasangan suami istri tersebut harus mendapat persetujuan dari
kawan kawinnya. Apabila ada sertifikat atas nama suami yang hendak
40
Ibid. 41
Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.92.
48
dialihkan (dijual) atau dijaminkan, maka persetujuan istri mutlak
diperlukan. Persetujuan itu dapat dilakukan baik dengan akta notariil
maupun akta dibawah tangan yang dilegalisasi notaris. Apabila pada
tahun 2013 pasangan suami istri ini minta dibuatkan akta perjanjian
perkawinan mengenai pisah harta, dimana masing-masing pihak baik
suami atau istri berwenang untuk melakukan kegiatan hukum seorang
diri, maka tentunya akan timbul masalah dengan akta-akta yang telah
dibuat mereka sebelum tahun 2013.42
Untuk mengikatnya pihak ketiga perjanjian perkawinan harus
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil sesuai Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan untuk mengikatnya pihak ketiga maka perjanjian
perkawinan harus didaftarkan dalam register umum Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat.
Perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan
dalam perkawinan saja, perjanjian kawin juga bisa mengatur hal lain diluar
harta kekayaan. Namun, perjanjian seperti apakah yang bisa melibatkan pihak
ketiga dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menerangkan bahwa perjanjian perkawinan yang
mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-undang
seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum
didaftarkan. Dan dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam bahwa perjanjian
kawin mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
42
Dhyah Madya Ruth SN. 2016. Perjanjian Perkawinan.
http://www.indonesianotarycommunity.com. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017.
49
Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Namun
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
dijelaskan perjanjian seperti apa yang dapat mengikat pihak ketiga, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menjelaskan kedua
belah pihak dapat mengadakan persetujuan tertulis, setelah disahkan maka
isinya berlaku bagi pihak ketiga yang tersangkut.
3.6 Pengesahan Perjanjian Perkawinan
Pengesahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses,
cara, perbuatan mengesahkan, pengakuan berdasarkan hukum, peresmian,
pembenaran.
Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut”.
Dalam Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa “pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat
membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah (pada
Kantor Urusan Agama saja) mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”.
50
Pengesahan perjanjian perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
dapat dilakukan di Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam) dan
Kantor Catatan Sipil (bagi yang non muslim).
Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi menambahkan perubahan
baru mengenai pengesahan perjanjian perkawinan, pengesahan perjanjian
perkawinan tidak hanya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tetapi
juga bisa disahkan oleh Notaris.
3.7 Pendaftaran Perjanjian Perkawinan
Pendaftaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses,
cara, perbuatan mendaftarkan, dengan kata lain pencatatan nama, alamat, dan
sebagainya dalam daftar.
Pendaftaran perjanjian perkawina hanya dikenal dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah pendaftaran
perjanjian perkawinan. Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam hanya
mengatur pendaftaran mengenai pencabutan perjanjian perkawinan, pada
Pasal 50 ayat (2), (3) dan (4) perjanjian perkawinan dapat dicabut dan wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah (Kantor urusan Agama),
sejak pendaftaran tersebut pencabutan mengikat kepada suami isteri tetapi
juga terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
51
Dan dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan, pendaftaran
pencabutan gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
Dalam Pasal 147 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata sejak
berlangsungnya perkawinan, maka sejak saat itu berlakulah perjanjian kawin
antara kedua belah pihak suami dan istri. Sedangkan terikatnya pihak ketiga
dijelaskan dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan,
tidak akan berlaku bagi pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu
dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselengarakan untuk itu
di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum perkawinan itu
dilangsungkan atau jika perkawinan berlangsung diluar negeri, di
kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan.
Salah satu syarat agar pihak ketiga terikat terhadap suatu perjanjian
kawin maka perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan pada register
umum di kepaniteraan pengadilan, sehingga dapat diketahui oleh publik.43
Namun tentunya isi dari perjanjian kawin itu sendiri tidak boleh merugikan
perjanjian sebelumnya dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, akibat dari adanya perjanjian perkawinan yang
didaftarkan maka pihak ketiga terikat dengan isi perjanjian perkawinan itu,
namun apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka hanya akan
berlaku dan mengikat kedua belah pihak saja. Anggapan tidak tahunya pihak
ketiga tentang ada perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan pada pihak
43
J. Andy Hartanto. Op.Cit., hlm.63.
52
ketiga yang memang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat
perjanjian perkawinan dan mereka belum mendaftarkannya.
Jadi, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk
mengikatnya pihak lain diluar suami istri sepanjang pihak lain tersangkut,
maka perjanjian perkawinan itu harus didaftarkan (dibukukan) dalam register
umum di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat perkawinan itu
dilangsungkan. Jika tidak didaftarkan maka tidak dapat mengikat pihak lain
hanya berlaku secara internal bagi suami dan istri.
3.8 Asas Publisitas Dalam Perjanjian Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tidak ada ketentuan bahwa perjanjian perkawinan harus didaftarkan pada
register umum di kepaniteraan pengadilan tetapi cukup disahkan oleh
pegawai pencatat nikah. Hal ini tentunya akan menyulitkan pihak ketiga
untuk mengetahui ada tidaknya perjanjian perkawinan diantara suami-istri
jika tidak dicatatkan register umum di kepaniteraan pengadilan.44
Sementara
pengesahan dari pegawai pencatat nikah bukan merupakan pengumuman
adanya perjanjian perkawinan. Tindakan pengesahan oleh pegawai pencatat
nikah hanya bersifat melegitimasi perjanjian kawin dengan melibatkan
petugas pencatat nikah sebagai wakil dari instansi pencatat perkawinan baik
44
Ibid.
53
Kantor Urusan Agama (bagi mereka yang beragama Islam) maupun Kantor
Catatan Sipil (bagi mereka yang beragama selain Islam).45
Tujuan pendaftaran tersebut adalah untuk memenuhi asas publisitas
karena menyangkut harta kekayaan perkawinan yang harus diketahui oleh
pihak ketiga. Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian perkawinan tersebut
tidak berlaku bagi pihak ketiga, dalam arti pihak ketiga dapat menganggap
tidak ada perjanjian kawin antara suami-istri bersangkutan.46
Dalam Perjanjian yang harus diumumkan itu seperti perubahan
perjanjian perkawinan karena adanya perjanjian perkawinan yang baru,
terhadap perjanjian perkawinan yang lama dilakukan pencabutan dan tidak
berlaku lagi. Perubahan perjanjian perkawinan ini berlaku bagi pihak lain
setelah aktanya didaftarkan kemudian diumumkan dalam surat kabar
setempat agar pihak lain yang tersangkut bisa mengetahui.
Dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mengenai
pencabutan perjanjian kawin mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap
pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. Dan dalam tempo
6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan, pendaftaran pencabutan gugur
dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
Jadi, tujuan dari adanya asas publisitas dalam perjanjian perkawinan
adalah supaya pihak ketiga (diluar suami dan istri) mengetahui dan tunduk
45
Ibid. 46
Ibid, hlm.64.
54
pada aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh suami istri.47
Yang dimaksud asas publisitas disini bukan hanya pengumuman sebagaimana
tercantum dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam tetapi juga pendaftaran
atas perjanjian perkawinan yang dibuat kedua belah pihak (suami istri).
D. Definisi Perlindungan Hukum
Beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai
pengertian dari perlindungan hukum diantaranya:48
1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang
lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.
3. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum
yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa
aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai
ancaman dari pihak manapun.
47
Irma Devita Purnamasari. 2013. Sahkah Perjanjian Kawin Yang Tak Didaftarkan ke
Pengadilan. http://m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017. 48
ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2014. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli.
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/. Diakses pada tanggal
10 Maret 2017.
55
4. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai
kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari
hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
5. Menurut Muktie, A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti
dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak
dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek
hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.
Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.
Jadi, Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran
dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.49
49 Prasko. 2011. Definisi Pengertian Perlindungan Hukum.
http://prasko17.blogspot.co.id/2011/02/definisi-pengertian-perlindungan-hukum.html. Diakses
pada tanggal 10 Maret 2017.
56
VI. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan.
2. Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian terhadap
kekosongan hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu penelitian terhadap peraturan yang menjadi dasar hukum
dimana tidak adanya aturan yang mengatur mengenai permasalahan yang
diangkat.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute aproach) yang merupakan suatu
penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi tema suatu penelitian, selain itu penulis juga menggunakan
pendekatan kasus (case approach) untuk menelaah pada kasus-kasus yang
berkaitan dengan penelitian.
57
4. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini ada 3 (tiga) yaitu :
1) Bahan hukum primer yang terdiri dari :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
c. Kompilasi Hukum Islam (Intruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991).
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah buah fikiran para
pakar hukum baik dalam bentuk Literatur-literatur, jurnal hukum, hasil
penelitian, bahan seminar, artikel-artikel hukum ataupun bentuk karya-
karya ilmiah lainnya termasuk yang dipublikasikan dalam internet yang
berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yang terdiri dari kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia, dan ensiklopedi yang ada relevansinya dengan pokok
bahasan dalam penelitian ini.
58
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini peneliti mengolah dan menganalisis bahan
hukum dengan langkah berpikir sistematis, dimana bahan hukum primer
dianalisis dengan langkah-langkah normatif dan dilanjutkan dengan
pembahasan secara deskriftif analitik, terhadap bahan hukum sekunder
dilakukan dengan penelaahan dengan mengacu terhadap pokok bahasan
permasalahan. Bahan hukum tersier dilakukan penelaahan dengan mengacu
kepada petunjuk yang mampu menjelaskan tentang istilah-istilah.
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dibahas dengan
metode analisis isi (content analysis) yaitu menelaah peraturan perundang-
undangan dimaksud.
VII. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini, penulis membagi penelitian kedalam 4
(empat) bab, yang mana setiap bab terdiri dari sub-sub bab guna memberi
penjelasan yang sistematis dan efektif.
Pada Bab I penulis memulainya dengan PENDAHULUAN, di
dalam pendahuluan terdapat latar belakang masalah mengapa penulis
mengangkat judul tesis ini, rumusan masalah guna membatasi permasalahan
agar tidak melebar, tujuan penulisan yang ingin dicapai, metode yang
penulis gunakan dalam meneliti didalamnya terdapat penjelasan mengenai
jenis penelitian, tipe penelitian, pendekatan, dan bahan hukum. Kemudian
disambung dengan pertanggungjawaban sistematika.
59
Pada Bab II penulis melakukan PEMBAHASAN Makna Pengesahan
Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris Terhadap Perjanjian Kawin
yang Dibuat Selama Perkawinan Berlangsung. Sub bab dari pembahasan
rumusan masalah ini dimulai dari Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015 dan Pengesahan
Perjanjian Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris.
Untuk Bab III penulis melakukan PEMBAHASAN Perlindungan Hak
Bagi Pihak Ketiga Apabila Dirugikan Setelah Dibuatnya Perjanjian Kawin
Dalam Suatu Perkawinan. Sub bab dari pembahasan rumusan masalah ini
dimulai dari Mengikatnya Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan dan
Perlindungan Hak Bagi Pihak Ketiga Setelah Dibuatnya Perjanjian Kawin
Dalam Suatu Perkawinan.
Pada Bab IV adalah PENUTUP yang didalamnya terdapat kesimpulan
dari penelitian tesis dan untuk menyempurnakannya penulis memberikan
saran.
60
BAB II
MAKNA PENGESAHAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN
ATAU NOTARIS TERHADAP PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT
SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG
a. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
69/PUU-XIII/2015
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral dan mulia, perkawinan
harus dilandaskan pada rasa saling percaya dan mengasihi antara kedua
mempelai. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa.
Dalam sebuah perkawinan masyarakat dahulu mengenal adanya
pencampuran harta perkawinan, dan mereka tidak pernah meributkan harta
masing-masing pihak karena adanya saling percaya dan memahami yang
menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing
masuk ke Indonesia, diperparah dengan adanya globalisasi yang
mementingkan semangat individualistis. Banyak pasangan yang kini
melakukan perjanjian perkawinan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan
nilai yang ada dalam masyarakat timur, dengan berbagai alasan mereka
membuat perjanjian perkawinan kepada masing-masing pasangannya.
Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus perceraian dikalangan
masyarakat, pada umumnya mereka sebelum melangsungkan perkawinan
61
telah memiliki harta kekayaan masing-masing. Harta bersama (harta gono
gini) dalam perceraian merupakan masalah utama munculnya perjanjian
perkawinan. Kesadaran sebagian masyarakat tentang pentingnya membuat
perjanjian perkawinan sudah mulai dirasakan dari masyarakat menengah
keatas khususnya mereka yang menikah sama-sama bekerja dan mempunyai
penghasilan atau kedua calon suami istri ini sama-sama bekerja sebagai
pengusaha. Perjanjian perkawinan merupakan upaya yang akurat untuk
menghindari terjadinya konflik masalah harta ketika terjadi perceraian, dan
sangat dimungkinkan akan memberikan jaminan kepada masing-masing
suami istri untuk menjaga kesejahteraan hidupnya jika terjadi perceraian,
misal ketika usaha dari suami yang seorang pengusaha mengalami bangkrut,
dengan adanya perjanjian perkawinan maka harta pribadi istri masih bisa
menjadi harapan untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Pada prinsipnya perjanjian perkawinan ini yang menjadi sumber dari
berbagai bentuk harta benda dalam perkawinan.50
Sebelum adanya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan
diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian
perkawinan dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan tujuan untuk
melakukan penyimpangan dari persatuan harta secara bulat antara suami dan
istri asalkan tidak bertentangan dengan tata susila yang baik dan tertib umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tentang persatuan harta kekayaan sejak perkawinan dilangsungkan.
50
R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV, hlm. 58.
62
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon
suami istri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk
mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.
Perjanjian kawin lebih bersifat kekeluargaan sehingga tidak semua
ketentuan hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-
undang Hukum Perdata berlaku, misal suatu aksi (gugat) berdasarkan
suatu kekhilafan (dwaling/error) tidak dapat dilakukan.51
Dalam pembuatan perjanjian perkawinan waktu untuk mengadakan
atau membuat perjanjian perkawinan tersebut sesuai pasal 147 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata ialah sebelum perkawinan dilangsungkan, dan
perjanjian perkawinan juga harus dibuat dengan akta notariil. Apabila sebuah
perjanjian perkawinan tidak dibuat dengan akta otentik (akta notaris) maka
ancaman kebatalan terhadap perjanjian perkawinan tersebut.
Perjanjian perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang harus
dituangkan dalam sebuah akta otentik. Perjanjian kawin juga mengacu pada
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merupakan syarat
sah dari perjanjian itu sendiri. Syarat sah perjanjian terbagi menjadi syarat
subyektif yaitu sepakat dan kecakapan, serta syarat obyektif yaitu suatu hal
tertentu dan sebab yang halal (kausa yang halal). Apabila syarat subyektif
tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan, namun jika syarat
obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.
Suatu perjanjian perkawinan juga melihat dari syarat sahnya suatu perjanjian,
untuk terpenuhinya syarat dalam pembuatan perjanjian perkawinan baik dari
segi kecakapan dan kesepakatan kedua belah pihak antara suami dan istri
yang membuatnya serta memperhatikan isi dari perjanjian perkawinan.
51
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga
(Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press, hlm. 74.
63
Apabila perjanjian perkawinan telah dibuat maka suami istri bisa
mendaftarkan perjanjian perkawinan mereka dalam register umum
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam daerah hukum perkawinan itu
dilangsungkan sesuai Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, agar
ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan tersebut berlaku juga
terhadap pihak ketiga. Jadi, untuk mengikatnya pihak ketiga maka perjanjian
perkawinan itu harus didaftarkan (dibukukan) baik itu hanya sebagian klausul
dari perjanjian perkawinan maupun seluruh klausulnya.
Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan diatur pada Pasal 29 ayat (1)
sampai dengan ayat (4). Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Dengan ketentuan atas
persetujuan bersama suami istri dapat membuat perjanjian tertulis artinya
perjanjian perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak menyebutkan perjanjian perkawinan itu dibuat
dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, berarti jika antara suami istri
jika ingin membuat perjanjian perkawinan bisa secara akta notaris maupun
berupa akta dibawah tangan saja tergantung kesepakatan mereka.
Begitu juga yang diatur dalam pasal 47 Kompilasi Hukum Islam
bahwa kedua belah pihak (suami dan istri) dapat mengadakan perjanjian
tertulis, bisa akta perjanjian perkawinan itu dengan akta otentik maupun
dengan akta bawah tangan. Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan hal
64
yang sama bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan.
Apabila dilihat dari kekuatan hukumnya sebuah perjanjian perkawinan
yang dibuat dengan akta notaris dan akta dibawah tangan, sesuai Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan akta otentik adalah
akta yang didalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang, dibuat oleh
atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akta dibuatnya. Maka jelas akta yang dibuat secara notaril
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna didepan pengadilan,
berbeda dengan kata dibawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian
sempurna apabila isi dan tanda tangan didalam kata tersebut tidak disangkal
oleh pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian kawin harus disahkan petugas pencatatan perkawinan.
Sebenarnya diperbolehkan untuk menyusun perjanjian secara pribadi atau
hanya melibatkan pihak ketiga. Kemudian surat perjanjian tersebut
diserahkan pada pagawai pencatatan untuk dilakukan pengesahan.
Perjanjian kawin yang dilakukan seperti itu dikatakan sah namun
kekuatan hukumnya lemah. Oleh karena itu banyak pihak yang membuat
perjanjian ini dihadapan Notaris dengan menggunakan akta Notariat. Jika
perjanjian dilakukan dengan notaris maka kekuatan hukum perjanjian
tersebut kuat dan tidak diragukan.52
Secara hukum para pihak saling terkait dengan diadakannya perjanjian
kawin dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan haknya. Para
pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan timbul bila
melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kawin.53
52
Yasir Fatahillah. 2017. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
https://fatahilla.blogspot.co.id/2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html. Diakses pada
tanggal 16 Mei 2017. 53
Ibid.
65
Ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
khusus mengatur tentang Perjanjian Perkawinan dan Pasal 35 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang khusus mengatur tentang Harta Bersama,
dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar dapat memberikan
kepastian hukum yang berkeadilan kepada para pihak dalam mengarungi
mahligai rumah tangga. Pasangan suami isteri yang telah mengikatkan
diri ke dalam suatu tali pernikahan, pada perjalanannya tidak sedikit yang
berakhir dengan perceraian, karena itu UU mengatur bagaimana
melindungi kedua belah pihak khusus yang berkaitan dengan harta benda
yang ada pada saat perkawinan maupun harta banda sebagai hasil usaha
bersama dalam perkawinan. Bahkan sesungguhnya Perjanjian
Perkawinan juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum
kepada para pihak ke tiga, yang memiliki hubungan kepentingan dengan
harta benda para pihak dalam perkawinan.54
Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat oleh kedua belah
pihak secara tertulis dan dicatatkan, pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian kepada kedua belah pihak mana-mana harta masing-masing
sebagai harta bawaan dan harta bersama. Karena harta bersama sebagai
harta yang dihasilkan setelah atau selama perkawinan telah diatur dalam
Pasal 35 yang menyebut kan “(1) Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama bersama, (2) Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.55
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015, perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau saat perkawinan
dilangsungkan, hal ini tertuang dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya jika tidak ada perjanjian
perkawinan sebelumnya, maka harta yang diperoleh selama atau sepanjang
perkawinan menjadi harta bersama suami istri sampai putusnya perkawinan.
Sebagaimana diatur Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
54
Yoyon M. Darusman. 2016. “Kajian Yuridis Pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat
(4), Pasal 35 ayat (1) UU No. 1.1974 tentang Perkawinan (Studi pada Putusan MK No.69/PUU-
XIII/2015)”. Disajikan pada Prosiding Seminar Ilmiah Nasional. Tangerang Selatan : Program
Pascasarjana Universitas Pamulang, hlm. 328. 55
Ibid
66
Perkawinan mengenai harta bersama bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan masing-
masing suami dan istri dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Prinsip asas terpisah sebagaimana dianut oleh Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, hal ini merupakan upaya
yang sangat akurat untuk menghindari terjadinya konflik masalah harta
ketika terjadi perceraian. Pemisahan harta pribadi atau harta bawaan
suami istri berlaku dengan sendirinya tanpa harus dibuat suatu perjanjian
perkawinan. Prinsip pada asas harta terpisah sangat dimungkinkan akan
memberikan jaminan kepada masing-masing suami istri untuk menjaga
kesejahteraan hidupnya pasca terjadinya perceraian andaikata harus
terjaid perceraian.56
Perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, ketentuan ini bersifat wajib artinya jika
ketetentuan ini tidak dipenuhi maka perjanjian perkawinan tersebut bukan
tidak sah melainkan tidak mempunyai kekuatan hukum, berakibat secara
yuridis dinyatakan tidak pernah ada.57
Yang dimaksud kalimat pada waktu perkawinan dilangsungkan,
artinya suatu perbuatan hukum dinyatakan terjadi pada saat terjadinya ijab
kabul (akad nikah), maka perjanjian perkawinan itu dinyatakan mempunyai
kekuatan hukum manakala dilakukan bersamaan dengan akad nikah atau
sebelum akad nikah dilakukan.58
Pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 merubah ketentuan dalam Pasal 29
56
M. Ansary. 2016. Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya. Bandung : Mandar
Maju, hlm. 16-17. 57
Ibid. hlm. 14. 58
Ibid.
67
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan,
berawal dari kasus pemohon Ike Farida berkewarganegaraan Indonesia yang
menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang berdasarkan
perkawinan yang sah dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama Jakarta Timur
tahun 1995, dan telah dicatatkan juga pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta
tahun 1999. Terkait pernikahnnya, Ike Farida ini tidak memiliki perjanjian
perkawinan pisah harta, tidak pernah melepas kewarganegaraannya dan tetap
memilih kewarganegaraan Indonesia serta tinggal di Indonesia.
Pada tanggal 26 Mei 2012, Ike Farida membeli 1 (satu) unit Rusun
(rumah susun) di Jakarta, akan tetapi setelah membayar lunas Rusun tersebut,
Rusun tidak diserahkan bahkan perjanjian pembelian dibatalkan secara
sepihak oleh pengembang dengan alasan suami dari Ike Farida adalah warga
negara asing dan mereka tidak memiliki perjanjijan perkawinan, dalam
suratnya pengembang menyatakan sesuai Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa
perempuan yang kawin dengan warga negara asing dilarang untuk membeli
tanah dan atau bangunan dengan status hak guna bangunan oleh karenanya
pengembang memutuskan untuk tidak melakukan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli ataupun Akta Jual Beli dengan Ike Farida karena hal itu melanggar Pasal
36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Selain itu dalam surat pengembang juga menyatakan bahwa
berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
68
Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Maka apabila seorang suami atau istri membeli benda tidak
bergerak (dalam hal ini rumah susun/apartemen) sepanjang perkawinan maka
apartemen tersebut akan menjadi harta bersama/gono gini suami istri yang
bersangkutan, termasuk juga jika perkawinan campuran (antara WNI dan
WNA) yang dilangsungkan tanpa perjanjian kawin pisah harta, maka demi
hukum apatemen yang dibeli oleh seorang suami/istri WNI dengan sendirinya
menjadi milik istri/suami yang WNA juga.
Penolakan pembelian dari pengembang kemudian dikuatkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 12 November 2014, bahwa tidak
terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Hal ini lah yang menjadikan pemohon Ike Farida mengajukan judicial
review beberapa pasal yaitu Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena pasal-
pasal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Ike Farida (pemohon)
yang dapat menghilangkan dan merampas haknya untuk dapat mempunyai
hak milik dan hak guna bangunan.
69
Ike Farida (pemohon) sebagai warga negara yang taat dan menjunjung
tinggi hukum justru diperlakukan secara diskriminatif oleh negara hanya
karena menikahi seorang warga negara asing. Keberadaan pasal-pasal yang
dimohonkan tersebut bukan saja merampas keadilan dan hak asasi dari Ike
Farida (pemohon) tetapi juga merampas hak asasi seluruh warga negara
Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.
Berlakunya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merampas hak
konstitusionalnya sebagai warga negara. Sebagaimana hak konstitusionalnya
antara lain hak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang
baik. Setiap orang ingin memiliki atau memberikan bekal bagi dirinya
maupun anak-anaknya salah satunya dengan membeli tanah dan bangunan
sebagai tempat tinggal atau bekal dimasa depan.
Namun, Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan permohonan dari
Ike Farida (pemohon) untuk sebagian saja yaitu Pasal 29 ayat (1), ayat (3),
dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan
mengenai hubungan manusia Indonesia dengan tanah mengandung karakter
spesifik yang dikonsepkan dengan hak bangsa yang bersifat sakral, abadi dan
70
asasi. Salah satu prinsip atau asas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah asas nasionalitas
(kebangsaan) yang menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia saja
yang mempunyai hak milik atas tanah yang boleh mempunyai hubungan
denga bumi (tanah), air dan ruang angkasa dengan tidak membedakan laki-
laki dan perempuan serta sesama warga negara. Tujuannya untuk melindungi
segenap rakyat Indonesia dari ketidakadilan dan perlakuan sewenang-wenang
yang diatur dalam peraturan yang dibuat dan berlaku pada masa sebelum
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pemberlakuan asas nasionalitas adalah sebagai jaminan hak-hak
warga negara terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sistem pertanahan dan
sebagai pembatas hak-hak warga negara asing terhadap tanah di Indonesia.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria menegaskan hanya warga negara Indonesia yang
berhak memiliki tanah di Indonesia sedangkan warga negara asing atau badan
usaha asing hanya dapat mempunyai hak yang terbatas atas tanah selama
kepentingan warga negara Indonesia tidak terganggu dan perusahaan asing itu
dibutuhkan untuk kepentingan negara Indonesia dalam pembangunan
ekonomi Indonesia. Sebab sebelum disahkan dan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Indonesia terdapat dualisme hukum yang mengatur hukum pertanahan yaitu
orang yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan orang
pribumi tunduk pada hukum adat. Dualisme hukum dengan penggolongan
71
penduduk dan perbedaan hukum yang berlaku sengaja diciptakan untuk
kepentingan politik hukum dan keuntungan ekonomi Belanda.
Kemudian dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hanya warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai sertifikat dengan hak milik atas tanah dan apabila
bersangkutan setelah menerima sertifikat hak milik menikah dengan
ekspatriat (bukan WNI) maka dalam waktu 1 (satu) tahun, harus melepaskan
hak milik atas tanah tersebut kepada subjek hukum lain yang berhak.
Dasar pemikiran yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mencegah
penguasaan tanah oleh pihak asing pemilik kapital yang dapat mengancam
dan menggerogoti kedaulatan negara.
Terhadap pengujian Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga maupun
dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat
dimusyawarahkan bersama suami dan istri.
72
Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah
dapat dilakukan suami dan istri sebagaimana ditegaskan Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena didalam kehidupan
suatu keluarga dalam rumah tangga masalah hak dan kewajiban sebagai
suami istri serta masalah harta benda merupakan salah satu faktor timbulnya
berbagai perselisihan didalam perkawinan bahkan dapat menghilangkan
kerukunan antara suami istri. Untuk menghindari hal tersebut, maka dibuatlah
perjanjian perkawinan antara suami dan istri sebelum melangsungkan
perkawinan dan disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan. Perjanjian
perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, dan berlaku juga bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan
terhadapnya.
Landasan dibuatnya perjanjian perkawinan selama dalam ikatan
perkawinan atau dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi
menyebut perjanjian setelah perkawinan ialah adanya ketidaktahuan atau
kealpaan mengenai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan. Dalam
Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
perjanjian perkawinan itu dibuat “pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan”. Sedangkan alasan lainnya adalah adanya risiko yang
mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena ada pekerjaan
suami atau istri memiliki tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga
masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi.
73
Sehingga frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan”
dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal
29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat
(4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, membatasi
kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan
melakukan perjanjian sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
tanggal 21 Maret 2016, yang merubah ketentuan dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum
dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut”.
2. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
74
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada
waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
3. Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan”.
4. Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.
5. Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
75
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung,
perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau
perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan
perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
6. Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat
mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah
atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak
merugikan pihak ketiga”.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah
mengubah dua ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu waktu pembuatan perjanjian perkawinan dan
pengesahan perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan memang tidak
populer di masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan tidak
76
mengatur hal ini. Sementara disisi lain, ada kebutuhan untuk membuat
perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan.59
Sebelumnya Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan waktu pembuatan perjanjian perkawinan yaitu pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, bentuk perjanjian yang
dibuat sebelum perkawinan ada beberapa yaitu perjanjian perkawinan pisah
harta, persatuan untung rugi, dan persatuan hasil dan pendapatan. Namun,
kebanyakan dari yang ada dalam masyarakat perjanjian perkawinan yang
mereka buat berbentuk perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta.
Walaupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mengatur apa saja bentuk perjanjian perkawinan ini. Kemudian didalam
Kompilasi Hukum Islam, bentuk perjanjian perkawinan dapat berupa taklik
talak dan perjanjian lainnya, taklik talak suatu perjanjian perkawinan yang
diucapkan pada saat perkawinan itu dilangsungkan atau pada saat akad nikah,
sedangkan yang dimaksud perjanjian lainnya adalah bisa berupa perjanjian
perkawinan pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
atau bentuk apapun asalkan tidak bertentangan dengan hukum islam, suami
istri boleh menentukannya sendiri bagaimana isi perjanjian perkawinan
tersebut.
Perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
berlangsung, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan,
belum diatur. Tentu diperlukan instrumen hukum agar dapat
mengakomodir permasalahan ini. Permasalahan ini harus direspon
59
Majalah Konstitusi Nomor 117 ISSN : 1829-7692. November 2016. Perjanjian Dalam
Ikatan Perkawinan. hlm. 3.
77
dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya sehingga
menjamin kepastian hukum.60
Menurut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, terhadap bentuk dan
isi perjanjian perkawinan tergantung kesepakatan suami dan istri, kedua belah
pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya sesuai dengan
asas hukum kebebasan berkontrak asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.61
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 perjanjian perkawinan dibuat pada waktu, sebelum atau selama
dalam ikatan perkawinan. Artinya perjanjian perkawinan bisa dibuat kapan
saja, Mahkamah Konstitusi telah memperlonggar aturan yang ada dalam
Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan
memberikan kesempatan pada suami dan istri karena alasan tertentu tidak
membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, sekarang bisa dibuat selama
dalam masa perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam
ikatan perkawinan ini lebih mengarah pada bentuk perjanjian perkawinan
pemisahan harta saja.
b. Pengesahan Perjanjian Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
atau Notaris
Meskipun makna Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah diperluas Mahkamah Konstitusi, redaksi pasal itu
masih mempertahankan frasa perjanjian perkawinan dengan perjanjian
tertulis. Karena itu, perjanjian perkawinan perlu dengan akta notaris
60
Ibid. 61
Ibid. hlm.13.
78
karena sifatnya yang berlaku jangka panjang dan baru berakhir jika
perkawinan berakhir akibat kematian atau perceraian. Harus pula ada
jaminan isi perjanjian perkawinan tersebut tidak mudah diubah oleh para
pihak. Jika perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris, lalu
ditandatangani para pihak, berarti notaris menjamin isi perjanjian
perkawinan sesuai dengan apa yang tercantum dalam minuta akta.62
Didalam Hukum Perkawinan mengenal dengan adanya beberapa
istilah mengenai pencatatan, pendaftaran dan pengesahan. Terhadap istilah-
istilah tersebut tentunya mempunyai arti yang berbeda. Istilah Pencatatan
pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tercantum
dalam pasal 2 ayat (2), Pasal 60 ayat (2), pasal 61 ayat (1) menyebutkan
bahwa yang dicatatkan itu ialah perkawinannya. Kemudian istilah
pendaftaran ada pada Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengenai kewajiban didaftarkannya surat bukti
perkawinan suami istri yang menikah diluar wilayah Indonesia. Sedangkan
pengesahan hanya Pasal 29 yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan
dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Jadi, istilah
mengenai pencatatan itu hanya pada perkawinan dan pendaftaran hanya pada
surat bukti perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia, bukan pada
perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan hanya perlu disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan.
Jika dalam praktiknya ditambahkan pencatatan ataupun pendaftaran
perjanjian perkawinan, maka hal tersebut bukan menentukan mengikat atau
62
Norman Edwin Elnizar. 2017. Tips Aman Membuat Perjanjian Kawin ala Notaris dan
Hakim Agung. http://www.m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017.
79
tidaknya suatu perjanjian perkawinan.63
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa pengesahan perjanjian perkawinan
hanya dapat dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 69/PUU-XIII/2015,
juga merubah ketentuan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan bahwa
pengesahannya selain bisa dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan juga
bisa dilakukan pengesahan oleh Notaris. Dengan keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka ada kewenangan
baru bagi para notaris yaitu dalam hal mengesahkan perjanjian perkawinan.
Hal ini berarti perjanjian perkawinan tidak hanya disahkan atau dibuat
dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, akan tetapi juga dapat dibuat
dihadapan Notaris selaku pejabat umum. Ketentuan tersebut mengakomodasi
dalam K.U.H Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian kawin harus dibuat
dengan akta notaris.64
Pengesahan perjanjian perkawinan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan dapat dilakukan didua instansi yakni di Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang
beragama selain islam.
Jika dilihat dari kewenangan dari Pegawai Pencatat Nikah (bagi yang
bergama Islam) yaitu melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat dan
bimbingan perkawinan serta menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku
63
Zul Fadli. 2017. Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
http://www.boyyendratamin.com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017. 64
J. Andy Hartanto. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang Pressindo, hlm. 81.
80
nikah(kutipan akta nikah) dan/atau akta rujuk. Dari kewenangan Pegawai
Pencatat Nikah tersebut, bisa dilihat bahwa kewenangan dari Pegawai
Pencatat Perkawinan pada umumnya adalah melakukan serangkaian kegiatan
baik berupa pencatatan, pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan juga
pengesahan mengenai perkawinan.
Berbeda dengan kewenangan seorang Notaris, yang disebutkan dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah sebagai
berikut:
Ayat (1) “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang”.
Ayat (2) “Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftarkan
dalam buku khusus;
81
c. Membuat kopi dari salinan asli surat-surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Ayat (3) “selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Pada dasarnya Notaris berwenang dalam pembuatan akta otentik
sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal
15 ayat (2) menyebutkan kewenangan Notaris yang mengesahkan tanda
tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftarkan dalam buku khusus atau biasa disebut dengan legalisasi.
Legalisasi merupakan pengesahan terhadap akta dibawah tangan yang dibuat
oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai
cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh
Notaris.
82
Perubahan Mahkamah Konstitusi mengenai pengesahan perjanjian
kawin oleh Notaris, tidak hanya monopoli dari Pegawai Pencatat Perkawinan,
ini norma baru yang tentunya dipandang progresif oleh sebagian kalangan.
Masyarakat yang memerlukan perjanjian kawin tidak harus disahkan Pegawai
Pencatat Perkawinan akan tetapi memiliki alternatif lain yakni Notaris.65
Menurut Hakim Agung Gayus Lumbuun, putusan Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pilihan mengenai pengesahan perjanjian
perkawinan, terlebih dibuat setelah perkawinan berlangsung. Yang terpenting
adalah perjanjian perkawinan itu setidaknya dicatat dengan akta notaris. Akan
tetapi, jauh lebih baik jika tetap dilakukan pengesahan dan/atau didaftarkan
ke pejabat pencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan
Sipil.
Lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa perjanjian perkawinan
itu bisa disahkan oleh Notaris, bagaimanakah Notaris melakukan pengesahan
terhadap perjanjian perkawinan, didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris mengenai pengesahan ada beberapa pasal yaitu Pasal 15 ayat (2)
huruf a, Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2).
Apabila dilihat dari kewenangan Notaris sesuai Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka notaris berwenang mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan atau
65
Zul Fadli. Op.Cit.
83
biasa disebut legalisasi, namun Notaris dalam hal ini hanya berwenang
mengesahkan tanda tangan para pihak tetapi berlaku untuk surat dibawah
tangan saja tidak terhadap akta otentik.
Jika Notaris ingin mengesahkan keseluruhan perjanjian perkawinan maka
pengesahannya dengan dituangkan ke dalam akta Notaris. Akta Notaris
merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang
bentuk dan tata caranya ditentukan oleh UUJN. Maka dengan dituangkan
kedalam akta Notaris mulai dari kepala akta hingga seluruh tanda tangan
para pihak maupun saksi disahkan oleh Notaris selaku pejabat umum.
Dengan dituangkan kedalam akta Notaris, tidak perlu lagi adanya
pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.66
Perjanjian perkawinan lazimnya dituangkan kedalam akta Notaris,
kemudian disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi karena hanya Pegawai Pencatat
Perkawinan yang berwenang mengesahkan perjanjian perkawinan, mau
tidak mau akta Notaris tentang Perjanjian perkawinan pun mesti disahkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi tentang perjanjian perkawinan, maka tidak perlu
lagi adanya pengesahan Pegawai Pencatat Perkawinan jika perjanjian
kawin telah dituangkan ke dalam akta Notaris.67
Walaupun Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan yang ada dalam
Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan, terkait
pengesahan perjanjian dengan menambahkan bisa disahkan oleh Notaris,
namun jika melihat konsekuensi dari pengesahan itu adalah mengikatnya
pihak ketiga terhadap isi dari perjanjian perkawinan, maka perlunya
pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sendiri terhadap perjanjian
perkawinan baik yang dituangkan dengan akta notaris atau hanya dibuat
dengan surat dibawah tangan saja. Namun, untuk mempunyai kekuatan
hukum yang sempurna perjanjian perkawinan harus dituangkan dalam bentuk
66
Ibid. 67
Ibid.
84
akta Notaris, agar dapat dijadikan dasar apabila terjadi permasalahan
dikemudian hari.
Pengesahan sendiri sangat perlu dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, supaya asas publisitas dalam perjanjian perkawinan terpenuhi
dengan tujuan pihak lain diluar suami istri dapat mengetahui atau tunduk
pada klausula yang ada dalam perjanjian perkawinan tersebut. Jika setelah
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, makna pengesahan perjanjian
perkawinan yang dilakukan oleh Notaris selaku pejabat umum, hanya cukup
dituangkan dengan akta Notaris saja tanpa perlu disahkan lagi oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan maka hal seperti ini menyulitkan bagi pihak lain diluar
suami istri (pihak ketiga) yang mempunyai kepentingan, untuk mengetahui
adanya suatu perjanjian perkawinan yang dibuat kedua belah pihak. Karena
apabila Mahkamah Konstitusi memaknai pengesahan perjanjian perkawinan
cukup dengan akta Notaris saja, hal ini bisa saja menimbulkan masalah bagi
pihak ketiga yang tersangkut. Dengan demikian, pengesahan perjanjian
perkawinan seharusnya tetap dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
meskipun perjanjian perkawinan itu dibuat dengan akta notaris supaya tidak
ada pihak lain diluar suami istri yang dirugikan kemudian hari.
85
BAB III
PERLINDUNGAN HAK BAGI PIHAK KETIGA APABILA DIRUGIKAN
SETELAH DIBUATNYA PERJANJIAN KAWIN DALAM SUATU
PERKAWINAN
a. Mengikatnya Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin salah satu sarana untuk melakukan proteksi terhadap
harta calon suami dan istri dan bentuk antisipasi dengan resiko atau kerugian
jika terjadi suatu saat perceraian. Melalui perjanjian ini para pihak dapat
menentukan harta bawaan masing-masing dan juga harta bersama, apakah
sejak awal ada pemisahan harta dalam perkawinan atau ada diatur pembagian
harta bersama bila terjadi perceraian.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan. Hal ini
menimbulkan konflik bilamana terjadi perceraian dan salah satu pihak
menuntut pembagian harta, tidak menjadi masalah bila para pihak dapat
melakukan kompromi. Yang sering terjadi dalam kehidupan adalah masing-
masing bersikukuh untuk mengakui harta pasangannya.68
Pada Pasal 36
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa
suami atau istri masing-masing pihak dapat bertindak atas persetujuan
bersama atas harta bersama dalam perkawinan. Suami dan isteri juga
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bawaan.
68
Yasir Fatahillah. 2017. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
https://fatahilla.blogspot.co.id/2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html. Diakses pada
tanggal 16 Mei 2017.
86
Manfaat dari perjanjian perkawinan ialah sebagai berikut :69
1. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta
bawaan masing-masing pihak (suami/istri). Artinya perjanjian
perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan
masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena
perceraian maupun kematian. Dengan adanya perjanjian perkawinan,
maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta gono-gini (yang
perlu dibagi dua secara merata), dan mana yang merupakan harta pribadi
masing-masing (tidak perlu dibagi).
2. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan
kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi penyitaan terhadap
seluruh aset keluarga karena bisnis bangkrut, dengan adanya perjanjian
perkawinan, pasangan ekonomi keluarga akan bisa aman. Ketika hendak
membuat perjanjian perkawinan pasangan calon pengantin biasanya
memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk suatu rumah
tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin
perjanjian. Tujuannya tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga.
3. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum
perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan
keadilan kaum perempuan (istri) dapat terlindungi. Perjanjian
perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli
harta gono gini dan harta kekayaan pribadi istrinya. Di samping itu dari
69
Happy Susanto. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Cetakan
Kedua. Jakarta: PT. Transmedia Pustaka, Cet.Ke-1. hlm. 81.
87
sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat
perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
Perjanjian perkawinan juga sama seperti perjanjian pada umumnya,
harus memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Sebuah perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya sesuai dengan asas kekuatan mengikat suatu perjanjian pada
umumnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Asas kekuatan hukum mengikat ini untuk
menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam perjanjian.
Menurut Subekti, tujuan asas kekuatan mengikat adalah untuk
memberikan perlindungan kepada para pihak agar mereka tidak perlu merasa
khawatir akan hak-haknya karena perjanjian yang mereka buat tersebut
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.70
Sama halnya dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami
dan istri, perjanjian perkawinan tersebut akan berlaku secara internal bagi
kedua belah pihak yang membuatnya. Namun, perjanjian perkawinan itu akan
berlaku bagi pihak lain diluar suami istri yang disebut pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersebut tersangkut, apabila perjanjian perkawinan itu dilakukan
pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang tercantum dalam Pasal
29 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
70
Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pustaka
Felicha, hlm.21.
88
Pihak ketiga yang menjadi kreditur (dalam perjanjian hutang piutang)
penting untuk mengetahui bagaimana kedudukan harta dalam perkawinan
antara suami dan istri tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepastian
terlunasinya hutang.
Walaupun terdapat perbedaan pada Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan itu baru mengikat
pihak ketiga setelah didaftarkan ke Paniteraan Pengadilan Negeri setempat
dimana perkawinan itu dilangsungkan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
tidak menyebutkan perjanjian perkawinan itu perlu disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan hanya cukup didaftarkan saja.
Apabila suami dan istri tidak menghendaki bahwa perjanjian perkawinan
akan berlaku terhadap pihak ketiga, maka seluruh perjanjian perkawinan
tidak harus didaftarkan dalam register umum tersebut. Akan tetapi bila
mereka menghendaki agar hanya beberapa ketentuan yang berlaku
terhadap pihak ketiga, maka hanya ketentuan-ketentuan itu saja yang
harus dibukukan dalam register-register tersebut.71
Sedangkan pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sama-sama menyebutkan
perjanjian perkawinan itu perlu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
baik (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil), setelah mana
disahkan tersebut isi dari perjanjian perkawinan ini akan berlaku juga bagi
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Untuk pengesahan sendiri, dilakukan pengesahan perjanjian
perkawinan secara keseluruhan bukan untuk sebagian saja untuk mengikatnya
71
R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV, hlm. 83.
89
pihak ketiga, tidak seperti halnya didaftarkan dalam Kitab undang-Undang
Hukum Perdata mengenai jika suami dan istri hanya menghendaki sebagian
isi perjanjian perkawinan yang berlaku bagi pihak ketiga maka beberapa
ketentuan saja yang akan didaftarkan dalam register umum.
Anggapan tidak tahunya pihak ketiga terhadap perjanjian perkawinan
yang dibuat oleh suami dan istri hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga
yang tidak mengetahui bahwa suami dan istri telah membuat perjanjian
perkawinan namun belum melakukan pengesahan ataupun pendaftaran.
Pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum dilakukan
pengesahan dapat saja menganggap bahwa perkawinan antara suami dan sitri
ini terjadi persatuan harta selama perkawinan berlangsung.
Jika dilihat tentunya memiliki perbedaan antara Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam, dimana Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menyebutkan hanya didaftarkan saja perjanjian perkawinan
ini akan berlaku bagi pihak ketiga, sedangkan kedua aturan lainnya
menyebutkan perjanjian perkawinan dapat dilakukan pengesahan. Namun
dari konsekuensi aturan antara pendaftaran dan pengesahan yaitu sama-sama
mengikat pihak ketiga.
Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan hukum
kolonial Belanda, dimana sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan tersebutlah yang akan berlaku
mengenai hukum perkawinan yang terdapat pada Buku I tentang Orang dalam
90
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi setelah adanya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (lex spesialis derogat legi
generalis), adanya aturan khusus yang mengatur mengenai perkawinan, maka
hukum yang umum bisa dikesampingkan.
Maka dari itu, mengenai perjanjian perkawinan mengacu pada Pasal
29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyatakan perjanjian perkawinan itu dapat dilakukan pengesahan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan. Dan ada penambahan setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015, yang menyebutkan
pengesahan perjanjian perkawinan dapat juga dilakukan oleh Notaris.
Meskipun perjanjian perkawinan setelah disahkan oleh pejabat yang
berwenang, pastinya perlu diketahui bagaimana suatu perjanjian perkawinan
itu dapat mengikat pihak ketiga atau tidak mengikat sama sekali terhadap
pihak ketiga. Perjanjian perkawinan bisa mengikat pihak ketiga sesudah
perjanjian perkawinan itu dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang
kemudian antara suami dan istri ini melakukan hubungan hukum dengan
pihak ketiga, yang menimbulkan salah satu klausul dalam perjanjian
perkawinan itu berlaku juga bagi pihak ketiga tadi.
Terikatnya pihak lain diluar suami istri dalam suatu perjanjian
perkawinan bukan berarti pihak ketiga tersebut disebutkan juga dalam
perjanjian perkawinan tersebut, akan tetapi pihak ketiga tersebut terikat pada
perjanjian perkawinan itu dikarenakan ada kepentingan atau hak pihak ketiga
91
terhadap harta perkawinan suami istri yang tercantum dalam isi perjanjian
perkawinan.
Tidak semua pihak ketiga dapat terikat pada suatu perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh suami dan istri. Jika pihak ketiga tidak
mempunyai kepentingan terhadap harta yang dijadikan salah satu klausul
perjanjian perkawinan, maka pihak ketiga disini tidak terikat. Meskipun
dalam Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak (suami istri) dan
pihak ketiga yang tersangkut. Artinya pihak ketiga hanya terikat terhadap
perjanjian perkawinan mengenai harta saja, tetapi bisa saja klausul perjanjian
perkawinan itu tidak mengikat pihak ketiga apabila suami dan istri ini
membuat perjanjian perkawinan tidak ada kepentingan pihak lain terikat
dengan harta tersebut.
Contohnya antara suami dan istri ingin melakukan hubungan hukum
dengan pihak ketiga dalam hal perjanjian hutang piutang atau perjanjian jual
beli dan lain sebagainya, dengan menjaminkan harta bersama atau menjual
harta bersama mereka kepada pihak ketiga, suami istri tersebut membuat
perjanjian perkawinan terlebih dahulu supaya harta istri terlindungi dengan
adanya perjanjian perkawinan, karena dikhawatirkan jika suami membuat
perjanjian dengan pihak ketiga dengan jaminan harta bersama, kemudian
harta bersama tidak mencukupi untuk melunasi hutang suaminya, sehingga
dengan adanya perjanjian perkawinan harta dari istri terlindungi.
92
Dalam pengajuan kredit, misalnya bank menganggap harta suami istri
adalah harta bersama, utang juga jadi tanggungan bersama, dengan perjanjian
kawin, pengajuan utang jadi tanggungan pihak yang mengajukan saja
sedangkan pasangannya bebas dari kewajiban. Lalu kalau debitur dinyatakan
bangkrut, keduanya masih punya harta yang dimiliki pasangannya untuk
usaha lain dimasa depan, untuk mejamin kesejahteraan keuangan kedua belah
pihak terutama anak-anak.
Pada uraian contoh diatas, dapat diketahui perjanjian perkawinan itu
mengikat juga bagi pihak ketiga. Pentingnya suatu pengesahan yang
dilakukan pejabat yang berwenang ini agar pihak ketiga mengetahui dan
tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut, misalnya jika terjadi jual beli
atau terjadi perjanjian hutang piutang oleh suami atu isteri, jika ada Perjanjian
Perkawinan, maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakkan
hukum yang akan dilakukannya.
Perjanjian Perkawinan dapat mengikat pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga memang tersangkut dalam Perjanjian Perkawinan dan baru akan
berlaku pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil. Apabila melihat bunyi dari Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak tampak adanya
keharusan Perjanjian Perkawinan tersebut untuk disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil, namun
prosedur tersebut penting dilakukan oleh pasangan yang mempunyai
93
Perjanjian Perkawinan agar Perjanjian Perkawinan tersebut nantinya dapat
mengikat pihak ketiga.
Dasar hukum yang dijadikan untuk mengikatnya sebuah perjanjian
perkawinan terhadap pihak ketiga dapat dilihat berdasarkan Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana kedua
belah pihak (suami dan istri) yang mengadakan perjanjian perkawinan dapat
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isi dari perjanjian
perkawinan ini juga akan berlaku bagi pihak ketiga yang tersangkut.
Oleh karena itu, selain disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
ataupun Notaris, diperlukan perjanjian perkawinan itu dilakukan
pengumuman baik pada surat kabar atau media lainnya agar pihak ketiga
mengetahui dan tunduk pada isi perjanjian perkawinan yang dibuat oleh
suami istri dan telah disahkan tersebut. Kalau hanya disahkan tanpa adanya
suatu pengumuman bisa saja pihak ketiga karena suatu sebab tertentu tidak
mengetahui antara suami istri ini telah melakukan perjanjian perkawinan
tanpa perlu pihak ketiga memeriksa pada Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil atau pada Notaris dimana perjanjian perkawinan itu disahkan.
b. Perlindungan Hak Bagi Pihak Ketiga yang Dirugikan Setelah Dibuatnya
Perjanjian Kawin Dalam Suatu Perkawinan.
Pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan adalah pihak lain diluar
suami dan istri yang mempunyai kepentingan terhadap harta benda
perkawinan yang dijadikan sebagai klausul perjanjian perkawinan oleh suami
94
istri. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan akan mengikat pihak
ketiga setelah dilakukan pengesahan.
Mahkamah dalam putusannya bernomor 69/PUU-XIII/2015 ini
memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), (4) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait perjanjian
perkawinan. Mahkamah memperluas makna perjanjian perkawinan yang
pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing
pasangan. Dengan amar putusan sebagai berikut :
(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan
perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai
harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau
mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak
ketiga.
95
Adanya kesamaan antara perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum
atau selama perkawinan berlangsung yaitu keduanya baru berlaku dan sah
mengikat pihak ketiga setelah dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan atau Notaris dan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Apabila oleh suami-isteri dibuat perjanjian perkawinan sepanjang
perkawinan sedangkan perjanjian tersebut dinyatakan berlaku sejak saat
perkawinan maka terhadap harta campur yang selama ini telah ada perlu
diperhatikan apakah harta benda perkawinan terdiri dari benda yang
dapat dibagi atau tidak dapat dibagi. Misalnya mereka memiliki sebuah
rumah, sebuah mobil dan uang berupa deposito/tabungan. Dalam situasi
seperti itu menjadi sulit untuk membagi rumah dan mobil tersebut
sedangkan uang berupa deposito/tabungan dapat dibagi maka sebaiknya
dianjurkan agar sejak saat perkawinan hingga tanggal perjanjian
perkawinan dibuat tetap rumah dan mobil merupakan harta campur
sedangkan sejak perjanjian perkawinan terjadi pisah harta yang dimulai
dengan membagi uang deposito/tabungan kepada masing-masing suami-
isteri. Hal tersebut terlebih lagi apabila rumah atau mobilnya telah
diagunkan pada bank yang apabila dilakukan pembagian diantara suami-
isteri dapat merugikan pihak bank.72
Membagikan dan memisahkan benda tetap atau benda yang tidak dapat
dibagi, misalnya tanah hak dan rumah kepada salah seorang suami atau
istri tidak dapat dilakukan karena tidak adanya alasan untuk
melakukannya berkaitan dengan pemilikan bersama yang terikat tidak
dapat setiap saat diakhiri atau dipisahkan dan dibagikan bagian tak
terbagi atas suatu kebendaan walaupun suami-isteri mempunyai
pemilikan bersama yang tak terbagi. Pemilikan bersama yang terikat baru
dapat diakhiri dengan meninggalnya suami atau isteri atau perceraian
suami isteri.73
Pada prinsipnya, substansi perjanjian perkawinan tidak terbatas hanya
mengenai kedudukan harta benda perkawinan. Namun pihak ketiga juga
72
Herlien Budiono. 2017. “Beberapa Catatan Pembuatan Akta Notaris Didalam Praktek”.
Rapat Pleno INI Kalimantan Selatan serta Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan. Hotel G
Sign, Jl A. Yani Km. 4.5 Nomor 448, Banjarmasin. hlm. 7-8. 73
Ibid. hlm.8.
96
terikat dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri sebatas
hanya mengenai harta benda. Hal-hal lain di luar pengaturan mengenai harta
benda perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang
ditimbulkannya. Pihak ketiga juga dapat mengajukan pembatalan perjanjian
perkawinan tersebut, terhadap seluruh isi atau sebagian klausula yang
merugikan pihak ketiga.
Adapun tujuan pokok diadakannya perjanjian kawin adalah mengatur
antara suami isteri apa yang akan terjadi mengenai harta kekayaan yang
mereka bawa dan atau yang akan mereka peroleh masing-masing.74
Perjanjian perkawinan sebenarnya dibuat bertujuan untuk melindungi
harta kekayaan masing-masing suami maupun istri dan juga melindungi dari
pihak ketiga apabila terjadi kepailitan oleh salah satu pihak, sehingga pihak
lainnya tidak ikut menanggung kerugian. Hal ini terkait dengan keberlakuan
perjanjian perkawinan tersebut dengan pihak ketiga, para kreditur perlu
mengetahui perjanjian perkawinan antara suami istri mengenai harta pribadi
dan percampuran harta secara bulat karena untuk menentukan harta mana
yang dapat dieksekusi apabila antara suami istri yang menjadi debitur
terhadap hutang mereka yang telah jatuh tempo tetapi mereka tidak dapat
melunasinya disebabkan suatu hal tertentu.
Tujuan pendaftaran atau pengesahan perjanjian perkawinan adalah
untuk memenuhi asas publisitas yang menyangkut harta kekayaan
perkawinan yang harus diketahui oleh pihak ketiga. Akan tetapi apabila
74
Mochammad Djais. 2003. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 9.
97
perjanjian perkawinan itu tidak didaftarkan maka hanya mengikat kedua
belah pihak saja yaitu suami dan istri secara intern, dan terhadap pihak ketiga
sebagai akibat hukumnya perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dengan
pendaftaran perjanjian perkawinan ini, apabila melakukan cidera janji
terhadap pihak ketiga yang berkepentingan maka pihak ketiga dapat menuntut
ganti rugi ke pengadilan negeri terhadap perjanjian perkawinan tersebut.
Pada Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, juga dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan itu tidak dapat
diubah atau dicabut kecuali ada dari kedua pihak (suami dan istri) ada
persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan
tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga
(kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi yang berubah-ubah, yang
dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang
kreditur).75
Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, sebuah perjanjian kawin dapat mengikat terhadap pihak
ketiga apabila perjanjian kawin tersebut disahkan atau didaftarkan kepada
pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian kawin
tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap pihak ketiga.
75
Happy Susanto, 2014. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian.
Jakarta: Visimedia, hlm. 97.
98
Hal yang sama juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada
Pasal 50 disebutkan perjanjian kawin mengenai harta, mengikat kepada para
pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya
perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah.
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan
dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Apabila sebelumnya
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat
perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh
suami isteri sepanjang perkawinan mereka. Mereka yang ingin membuat
perjanjian perkawinan dapat membuatnya secara tertulis dan kemudian
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau mereka dapat meminta
bantuan notaris untuk membuat akta Perjanjian Perkawinan tersebut.
Berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tentunya
Notaris tidak serta begitu saja memberikan bantuannya untuk membuat
perjanjian perkawinan tersebut. Notaris harus memperoleh kepastian
bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak merugikan pihak
ketiga.76
Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
disebutkan di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) : ” Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan”.
Ini berarti, sebagai ketentuan umum perjanjian perkawinan berlaku
sejak perkawinan berlangsung tetapi suami-isteri dapat menentukan waktu
lain untuk berlangsungnya perjanjian perkawinan. Adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap kapan dibuatnya
perjanjian perkawinan berakibat hukum diantaranya:77
76
Alwesius. 2016. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi. http://www.notary.my.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html.
Diakses pada tanggal 11 Mei 2017. 77
Herlien Budiono. Op.Cit., hlm. 6.
99
1) Dengan diperbolehkannya pembuatan perjanjian perkawinan pada waktu,
sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, berarti
bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja yakni sebelum
perkawinan menurut hukum, masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, sebelum pencatatan perkawinan Pegawai Pencatat
Perkawinan atau selama perkawinan berlangsung;
2) Saat berlakunya perjanjian perkawinan adalah sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Penentuan tanggal berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan
dilangsungkan untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang
perkawinan akan berakibat terhadap harta benda perkawinan yang telah
terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat. Dengan demikian akibat
serta kepastian hukumnya terhadap pihak ketiga tergantung pada penentuan
kapan berlakunya perjanjian perkawinan;
3) Diperbolehkannya selama perkawinan berlangsung atas persetujuan kedua
belah pihak (suami-isteri) mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan
yang dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asal
perubahan dan pencabutan tidak merugikan pihak ketiga;
4) Atas perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan harus pula disahkan
oleh pejabat pencatat perkawinan yang tidak jelas dinyatakan di dalam MK
tapi seyoganya pengesahan tersebut harus dilakukan agar berlaku terhadap
pihak ke tiga sesuai dengan sistem yang berlaku.
100
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 membawa
dampak terhadap isi perjanjian perkawinan sehingga harus dibedakan,
apabila didalam perjanjian perkawinan ditentukan berlakunya sejak
perkawinan berlangsung, sedangkan perjanjian perkawinan dibuat selama
perkawinan berlangsung, maka harta bersama yang telah terjadi sebelum
perjanjian perkawinan dibuat harus dibagi dua dan ditentukan mana
merupakan bagian suami dan mana yang merupakan bagian istri. Oleh
para pihak dapat ditentukan bahwa sebelum perjanjian perkawinan terjadi
percampuran harta, sedangkan sejak perjanjian perkawinan terjadi
perpisahan harta bersama. Ketentuan mengenai perkawinan bersifat
memaksa kecuali adanya kebebasan bagi calon suami-istri atau suami
istri selama dalam ikatan perkawinan diberi kebebasan untuk membuat
perjanjian perkawinan baik sebelum perkawinan maupun sepanjang
perkawinan yang menyimpang terhadap harta benda yang diperoleh
selama perkawinan yang menjadi harta bersama. Walaupun adanya
kebebasan tersebut tetap dibatasi dengan rambu-rambu bahwa isi
perjanjian perkawinan yang dapat mengenai harta perkawinan atau
perjanjian lainnya tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan
yang bersifat memaksa, kesusilaan baik dan ketertiban umum. Sehingga
dengan demikian terhadap isi perjanjian perkawinan para notaris harus
dapat mengkaji agar supaya tidak terdapat hal-hal yang merugikan pihak
ketiga.78
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini yang merubah
ketentuan pembuatan perjanjian perkawinan bahwa perjanjian perkawinan itu
bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan, maka perjanjian perkawinan
yang dibuat selama perkawinan berlangsung bisa berpotensi bisa merugikan
pihak ketiga.
Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya
terdapat tatacara yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan
yang akan dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan yang ternyata
merugikan dirinya. Sepanjang belum diatur tatacara tersebut maka
sebaiknya para notaris didalam melayani permintaan pembuatan akta
perjanjian perkawinan terlebih dahulu meminta kepada para pihak untuk
melakukan pengumuman di dalam surat kabar yang terbit di kota dimana
78
Ibid
101
para pihak berdomisili, yang mempunyai peredaran yang luas dan
tentunya ditempatkan pada halaman yang mudah terbaca. Untuk itu harus
ada tata cara yang harus ditempuh sebelum dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga
yang ingin mengajukan keberatannya atas pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut.79
Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perjanjian perkawinan itu tidak boleh
merugikan pihak ketiga, namun mengenai pengaturan tersebut tidak
dijelaskan lebih rinci jika dikemudian hari ternyata timbul kerugian bagi
pihak lain diluar suami istri akibat dibuatnya perjanjian perkawinan yang
dibuat selama perkawinan berlangsung, dengan kata lain perjanjian
perkawinan itu bisa dibuat kapan saja.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini masih terdapat kekurangan, dimana
perjanjian perkawinan hanya disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
atau Notaris, sehingga tidak ada pengumuman bagi pihak ketiga apabila ada
pasangan yang hanya membuat di Notaris, bisa saja mereka membuat
perjanjian perkawinan sampai tiga kali agar menguntungkan mereka.80
Dengan adanya peluang membuat perjanjian perkawinan selama
perkawinan itu berlangsung, suatu ketika dimungkinkan akan menemukan
pasangan suami dan istri yang memiliki itikad tidak baik dalam membuat
perjanjian perkawinan yang bisa merugikan pihak lain.
Misalnya saja, suami dan istri yang membuat perjanjian perkawinan
selama perkawinan berlangsung atau kapan saja perjanjian perkawinan itu
79
Alwesius. Loc.Cit. 80 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Ini Evolusi Perjanjian Perkawinan dari Dulu Hingga Putusan MK.
http://m.hukumonline.com. Diakses 30 Mei 2017.
102
diperlukan pasangan suami dan istri dengan tujuan untuk menghindari
tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga, mereka membuat perjanjian
perkawinan dengan kata notaril yang kemudian disahkan oleh Notaris,
sedangkan klausul dari perjanjian perkawinan itu sendir akan merugikan
pihak lain yang berkepentingan, tentunya hal seperti itu perlu dihindari dan
tidak diinginkan terjadi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Karena dikhawatirkan dengan perjanjian perkawinan dibuat selama
perkawinan berlangsung dimanfaatkan oleh pasangan suami dan istri yang
beritikad buruk. Sehingga diperlukan sebuah perlindungan hukum yang
khusus terhadap pihak ketiga selain dari mengajukan keberatan terhadap
perjanjian perkawinan yang merugikannya itu, dan juga diatur dalam
peraturan perundang-undangan agar ketika hal tersebut terjadi pihak ketiga
mempunyai sebuah perlindungan bagi dirinya sendiri.
Peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga sangat
diperlukan, karena dalam perjanjian perkawinan mengatur banyak hal,
khususnya mengenai harta kekayaan. Wewenang Notaris dalam pembuatan
akta hanya sebatas isi perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.81
Terhadap isi perjanjian perkawinan para Notaris harus dapat mengkaji
supaya tidak terdapat hal-hal yang merugikan pihak ketiga.82
Para notaris
didalam menerima pembuatan akta perjanjian perkawinan yang
dilangsungkan sepanjang perkawinan hendaknya berhati-hati, oleh karena
81
Susisusanti G. Pakaya. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bawaan Dengan
Akta Perjanjian Kawin. Jurnal Ilmu Hukum Edisi 2 Volume 4, hlm.9. 82
Herlien Budiono. Op.Cit., hlm.7.
103
walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dibolehkannya
pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan, akan tetapi masih
ada kendala atau permasalahan terkait dengan pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut, khususnya terkait dengan pembuatan tersebut tidak
boleh merugikan pihak ketiga.
Menurut Ketua Umum Ikatan Alumni Kenotariatan Universitas
Diponegoro, Otty H.C Ubayani Panoedjoe, perjanjian perkawinan
sejatinya harus seimbang antara suami istri dan pihak ketiga. Jangan
sampai ada pihak ketiga yang dirugikan karena adanya pisah harta
diantara mereka. Misal pihak ketiga adalah anak-anak pasangan tersebut,
apabila satu orang dinyatakan pailit dan pisah harta, maka anak-anak
tidak akan terlantar karena masih ada harta yang menjadi haknya baik
dari suami ataupun istri.83
Perlindungan hukum yang berkeadilan bagi pihak ketiga pada
perjanjian perkawinan yang bisa diterapkan hanya berupa putusan pengadilan
yang memutuskan hak-hak yang dilanggar oleh pasangan suami istri kepada
pihak ketiga dikarenakan itikad buruk dan kelalaian kewajiban pasangan
suami istri yang seolah-olah tidak ada perjanjian. Perjanjian yang dibuat tidak
boleh diubah dikarenakan untuk melindungi pihak ketiga karena bisa
menimbulkan kerugian, yang suatu ketika dapat disalahgunakan oleh suami
istri. Meskipun ada batasannya dan harus memperhatikan larangan - larangan
yang dibuat dalam perjanjian perkawinan tersebut.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015, sangat bagus bagi pasangan
ketika sebelum perkawinan tidak membuat perjanjian perkawinan
83
ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Pasca Putusan MK; IKANOT Undip Sambut Baik UU Perkawinan.
http://baruada.com. Diakses pada tanggal 01 Juni 2017.
104
dikarenakan ketidaktahuan mereka mengenai tujuan dibuatnya perjanjian
perkawinan, dan setelah putusan ini mereka mempunyai peluang untuk bisa
membuat perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung jika
dirasakan perlu oleh pasangan suami istri dengan alasan tertentu. Namun
mereka juga perlu memperhatikan hal-hal yang dilarang dalam pembuatan
perjanjian perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, dan juga memperhatikan kepentingan pihak lain yang
terkait agar jangan sampai dikemudian hari dengan adanya perjanjian
perkawinan yang mereka buat tersebut merugikan pihak ketiga.
105
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan dan hanya dapat dilakukan pengesahan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015
yang mengubah ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu mengenai waktu pembuatan perjanjian
perkawinan yang bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan dan
pengesahan perjanjian perkawinan juga bisa dilakukan oleh Notaris.
Makna pengesahan oleh Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat
selama perkawinan berlangsung adalah pengesahan terhadap perjanjian
perkawinan yang disahkan oleh Notaris cukup hanya dengan sebuah akta
otentik yang berupa akta perjanjian perkawinan, karena pengesahan disini
artinya Notaris mengesahkan dari kepala akta sampai akhir akta (kepala
akta, isi akta, tanda tangan para pihak, tanda tangan saksi) yang diakhiri
dengan tandatangan Notaris sendiri. Dan dengan akta otentik tersebut tidak
perlu lagi disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebab Notaris telah
melakukan pengesahan terhadap perjanjian perkawinan yang dituangkan
dengan akta notaril.
106
2. Perjanjian perkawinan akan mengikat kepada pihak ketiga setelah perjanjian
perkawinan itu dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
atau Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan setelah
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 ini bisa
berpotensi merugikan pihak lain diluar suami dan istri (pihak ketiga), sebab
Putusan tersebut memberikan peluang bagi pasangan suami dan istri untuk
membuat perjanjian perkawinan kapan saja tergantung keperluan dan
keinginan mereka. Namun dimungkinkan peluang tersebut disalahgunakan
oleh pasangan suami istri yang mempunyai itikad buruk dengan tujuan ingin
merugikan pihak ketiga atau menghindari tanggung jawabnya terhadap
pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap harta perkawinan yang
ada didalam salah satu klausul perjanjian perkawinan.
Perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan setelah dibuatnya
perjanjian kawin dalam suatu perkawinan adalah dengan mengajukan upaya
hukum berupa mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh pasangan suami istri karena ada hak pihak ketiga yang dirugikan
dalam klausul perjanjian perkawinan, agar perjanjian perkawinan tersebut
dapat dibatalkan.
107
b. Saran
1. Sebaiknya ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengesahan perjanjian
perkawinan yang dilakukan oleh Notaris, agar jangan sampai nantinya
apabila perjanjian perkawinan itu disahkan dapat merugikan pihak lain
karena tidak ada penjelasan lebih lanjut Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskan bahwa perjanjian perkawinan bisa disahkan oleh Notaris.
2. Mengenai perlindungan hukum bagi pihak ketiga apabila dirugikan dengan
dibuatnya perjanjian perkawinan saat perkawinan berlangsung juga
seharusnya ada pengaturan yang jelas sebagai bentuk antisipasi kedepan
apabila hal ini terjadi. Diharapkan ada bentuk perlindungan khusus bagi
pihak ketiga yang dirugikan selain dari upaya hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (konsep, regulasi,
dan implementasi). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ansary, M. 2016. Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya. Bandung :
Mandar Maju.
Djais, Mochammad. 2003. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan,
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Hariri, Wawan Muhwan. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam
Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Hartanto, J. Andy. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang
Pressindo.
Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Muthiah, Aulia. 2017. Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga.
Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1991. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung :
Sumur Bandung.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV.
Prodjodikoro, Mr Wirjono. Cetakan Kedua. Hukum Perkawinan di Indonesia.
Bandung : Vorkink-Van Hoeve.
Rahmida Erliyani, 2016, Aspek Hukum Perjanjian Perkawinan, Yogyakarta, K-
Media, Cet I.
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University
Press.
Saleh, K. Wantjik. cet. IV, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Sembiring, Rosnidar. 2016. Hukum Keluarga: Harta-harta Benda Dalam
Perkawinan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 1992. Intisari Hukum Keluarga. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum
Perdata/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta : Sinar Grafika.
Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian,
Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Transmedia Pustaka, Cet.Ke-1.
Susanto, Happy. 2014. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian.
Jakarta: Visimedia.
Syahrani, Riduan. 2009. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung:
PT. Alumni.
Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dam Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Pustaka Felicha.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan Prof. R. Subekti, S.H. dan R.
Tjitrosudibio)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Kompilasi Hukum Islam (Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015.
Jurnal Hukum Publikasi:
Pakaya, Susisusanti G. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bawaan
Dengan Akta Perjanjian Kawin. Jurnal Ilmu Hukum Edisi 2 Volume 4.
Majalah Publikasi:
Majalah Konstitusi Nomor 117 ISSN : 1829-7692. November 2016. Perjanjian
Dalam Ikatan Perkawinan.
Makalah Seminar Ilmiah:
Budiono, Herlien. 2017. “Beberapa Catatan Pembuatan Akta Notaris Didalam
Praktek”. Rapat Pleno INI Kalimantan Selatan serta Pembekalan Dan
Penyegaran Pengetahuan. Hotel G Sign, Jl A. Yani Km. 4.5 Nomor 448,
Banjarmasin.
Makalah Seminar Ilmiah yang Dipublikasi:
Darusman, Yoyon M. 2016. “Kajian Yuridis Pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3),
ayat (4), Pasal 35 ayat (1) UU No. 1.1974 tentang Perkawinan (Studi pada
Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015)”. Disajikan pada Prosiding Seminar
Ilmiah Nasional. Tangerang Selatan : Program Pascasarjana Universitas
Pamulang.
Internet:
ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan.
http://www.m.hukumonline.com.
ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Putusan MK Soal Perkawinan Berpotensi Rugikan Pihak Ketiga.
http://www.gatra.com.
ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2014. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli.
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-
ahli/.
ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Intisari Online : Kasus Perjanjian Kawin yang Tak Sah Ini Penting Untuk
Disimak Pasangan yang Akan dan Sudah Menikah. http://intisari.grid.id.
ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Ini Evolusi Perjanjian Perkawinan dari Dulu Hingga Putusan MK.
http://m.hukumonline.com.
ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Pasca Putusan MK; IKANOT Undip Sambut Baik UU Perkawinan.
http://baruada.com.