1$AX$.pdf · pentingnya budaya riset. doctorSHARE tak ingin menjadi “pemadam kebakaran” dalam...

60
1

Transcript of 1$AX$.pdf · pentingnya budaya riset. doctorSHARE tak ingin menjadi “pemadam kebakaran” dalam...

1

2

3

4

2017 akan menjadi tahun yang penuh petualangan baru, dengan semangat yang baru pula. Optimisme ini berhembus mengingat besarnya antusiasme para relawan dan sahabat doctorSHARE dari latar bidang yang lebih bervariasi. Dalam berbagai perbincangan, sangat menarik menggali apa yang sebenarnya membuat mereka tertarik menuangkan talentanya dengan semangat kerelawanan.

Selain keprihatinan melihat kehidupan masyarakat daerah terpencil tanah air, para relawan juga memiliki mimpi yang sama melihat berubahnya wajah kesehatan ke arah yang lebih baik. Kasih pada masyarakat yang membutuhkan membuat mereka berkomitmen memupuk mimpi yang diwujudkan melalui pelayanan bersama doctorSHARE, baik pelayanan di lapangan maupun belakang layar.

Media Berbagi edisi kali ini banyak mengupas profil relawan lintas bidang. Selain dokter, adapula kisah-kisah dari relawan guru, ahli hukum, hingga relawan penerjemah. Anda akan membaca bagaimana mereka digerakkan oleh hal yang sama yaitu jiwa yang penuh kasih

(a soul generated by love). Anda juga akan melihat bagaimana mereka mampu bersinergi mewujudkan visi doctorSHARE.

Di samping kisah relawan, Anda pun dapat membaca berbagai opini menarik dari pengalaman pelayanan medis dan trauma healing doctorSHARE bagi korban gempa Aceh Desember 2016 silam, juga berbagai pemikiran seputar pengalaman perjalanan tim Dokter Terbang di pedalaman Papua.

Bacalah dengan cermat dan Anda akan menemukan harta tak ternilai berupa aneka pemikiran kritis soal kebencanaan, infrastruktur, pendidikan, pengelolaan media, pemberdayaan masyarakat, hingga penelitian sains. Semua ini kami sajikan dalam rangka memperkenalkan pentingnya budaya riset.

doctorSHARE tak ingin menjadi pemadam kebakaran dalam area pelayanan medis semata (kuratif) tapi terus berupaya mengimplementasikan rencana strategis lintas bidang yang memberdayakan masyarakat. Kasih pada sesama pun jadi landasan yang makin memicu semangat kami menunjukkan profesionalitas terbaik dalam mewujudkan masyarakat pelosok yang berdaya. Selamat membaca!

A Soul Generated by LoveEverybody can be great because anybody can serve. You dont have to

have a college degree to serve. You dont have to know the second theory of thermodynamics in physics to serve. You only need a heart full of grace. A soul

generated by love.Martin Luther King, Jr.

Editorial

5

Daftar Isi

4-5Editorial & Daftar Isi

10-15Serba-SerbiGempa Aceh

32-33Media doctorSHARE

42-51Goresan Relawan

6-7Kata Pengantar Pendiri & Plt. Sekjen doctorSHARE

16-18Kisah-KisahRumah Sakit Apung

34-37Falbehe: Wawancaradr. Vanessa

52-53Resensi Buku:Indonesia Bangkit!

8-9Pelayanan Medis Korban Gempa Aceh

19-31Kisah-KisahDokter Terbang

38-41Falbehe: Wawancaradr. Nidia

54-55Kaleidoskop

Pemimpin Redaksi & EditorSylvie Tanaga

JurnalisAhmad Yunus, Ben Kristian Citto Laksana, Sherly Wijaya Sari, Devrila Muhamad Indra, Muhammad Alfan Baedlowi, Arfi Zulfan, Ifan Nugraha Dwiyana, Muhammad Rifqy Fadil, Panji Arief Sumirat, Olfi Fitri Hasanah, Abdul Basith Bardan, Muhammad Alif Hudanto, Deando Permana, Aflah Satriadi

KontributorJuni Safitri, Maria Yuly Indarto, dr. Alita Ang Palpialy, dr. Ida Wilona, Lina Tubagus

Desainer GrafisRoy Kuanton Fajaray

Desainer SampulStephen Surya

Edisi I / 2017

6

19 November 2016, doctorSHARE merayakan hari jadinya yang ke-7. Perayaan sederhana yang dipusatkan di Jetski Caf di Pantai Mutiara, Jakarta Utara, berlangsung meriah. Peringatan hari jadi doctorSHARE kali ini memang diselenggarakan secara berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para donatur dan sahabat setia doctorSHARE yang selama ini senantiasa berpartisipasi mendukung program-program yang dikerjakan oleh doctorSHARE.

Paparan laporan keuangan merupakan salah satu acara penting kami sebagai laporan tanggung jawab donasi pihak ketiga, termasuk ke mana saja dana-dana tersebut telah mengalir. Di samping itu, doctorSHARE juga memaparkan capaian-capaian yang telah dilakukan selama 7 tahun terakhir sekaligus apa yang akan menjadi pekerjaan rumah kita ke depan.

Walaupun Indonesia diprediksi menjadi negara ekonomi terkuat kelima pada tahun 2025, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan agar mimpi bersama ini terealisasi. Pembenahan sektor kesehatan menjadi salah satu tantangan yang masih menuntut kerja keras dari kita semua.

Program Indonesia Sehat 2010 maupun MDGs (Millenium Development Goals)2015 telah berakhir tanpa sukses bagi kita. Hari-hari ini, kita dihibur pemberitaan media massa yang mengatakan bahwa 100.000 dokter sudah cukup untuk melayani sekitar 250 juta rakyat Indonesia.

Statistik ini diamini WHO (World Health Organization) yang berpendapat bahwa bagi sebuah negara berkembang, seorang dokter cukup untuk melayani 2.000 penduduk. Dalam hal ini, rasio Indonesia adalah 1:250. Namun statistik haruslah dimaknai untuk mencari kebenaran yang hakiki, bukan untuk pembenaran.

Persoalan yang masih kita hadapi adalah ketimpangan-ketimpangan dalam hal:1. Distribusi penduduk2. Distribusi tenaga kesehatan3. Sarana dan prasarana seperti jalan raya, transportasi, listrik, air bersih, dan sebagainya

Sejak berlakunya skema BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) per 1 Januari 2014, jumlah pasien yang potensial mendapatkan pelayanan medis melonjak tajam dibandingkan sebelum berlakunya BPJS. Sistem kita tidak cukup untuk mengatasi lonjakan pasien tersebut.

Dalam hal ini, warga yang hidup di daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil merasakan manfaat dari keberadaan dan program-program doctorSHARE berupa Rumah Sakit Apung dan Dokter Terbang. Mereka yang belum terjamah pelayanan medis dapat merasakan sentuhan perawatan kita. Sungguh obat penawar lara bagi saudara-saudara kita yang telah lama merindukannya.

Marilah kita lanjutkan kerjasama, karena doctorSHARE tidak akan berhenti berkarya hingga layanan medis bisa benar-benar dirasakan oleh seluruh penduduk nusantara.

Pendiri dan Pembina doctorSHARE

dr. Lie A. Dharmawan

Kata Pengantar

7

Tim pun melakukan perbaikan teknis RSA dr. Lie Dharmawan dan RSA Nusa Waluya I mulai dari pengecatan, penambahan lapisan fiber, perbaikan mesin, renovasi berbagai ruang, dan pemeriksaan alat-alat keselamatan. Dari sisi medis, kami lakukan maintenance dan kalibrasi alat-alat kesehatan. Jadwal dan rute pelayanan medis serta pengurusan surat pun disusun.

RSA Nusa Waluya II akan segera naik dok. Renovasi ruang dan pengaturan alat kesehatan mulai dilakukan. Sistem RSA Nusa Waluya II akan sedikit berbeda dengan dua RSA sebelumnya. RSA ini berbentuk tongkang dan akan ditempatkan di suatu pulau dalam jangka waktu 3 6 bulan sehingga program yang dijalankan akan lebih sustainable.

Divisi Dokter Terbang (Flying Doctors) sudah siap dengan empat lokasi pelayanan medis di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Tak hanya pelayanan medis seperti tahun-tahun sebelumnya, kami juga akan merintis desa binaan di Gagemba, Distrik Homeo, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.

Divisi Logistik berpeluh membenahi kembali inventaris berbagai jenis obat dan alat kesehatan yang turut berlayar setahun, kemudian mempersiapkan kembali kebutuhan untuk satu tahun ke depan. Menghitung obat, memotong & melipat kasa, mensterilisasi alat

kesehatan dan habis pakai, mengemas, dan kemudian memuat ke RSA.

Divisi Fundraising tak kenal lelah mencari donasi. Tak selalu berupa dana tunai, donasi juga dapat berupa obat-obatan, alat kesehatan ataupun makanan. Para sahabat doctorSHARE juga bisa mendapatkan merchandise melalui donasi. Donasi yang diperoleh akan digunakan untuk aneka keperluan program dan operasional doctorSHARE.

Tim manajemen dan operasional di kantor sekretariat juga selalu siap mendukung setiap program yang ada. Meski tak terjun langsung di lapangan, kontribusi mereka sangat penting bagi keberhasilan dan kelancaran pelaksanaan program.

Keberagaman dan semangat kerjasama menghadapi segala permasalahan yang muncul membuat kami makin bijak dan bertanggung jawab dalam tiap pengambilan keputusan. Terima kasih untuk kepercayaan para sahabat doctorSHARE, termasuk para relawan yang telah membantu persiapan dan sudah tak sabar berkontribusi secara langsung di lapangan.

Nantikan kami, INDONESIA!

Plt. Sekretaris Jenderal doctorSHARE

dr. Marselina Mieke

Kata Pengantar

2017 tiba! Tahun baru, tentunya dengan semangat dan energi yang baru. Berbagai persiapan kami lakukan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi Indonesia. Beda pendapat menjadikan kami lebih kreatif. Kami saling mengingatkan akan visi dan misi organisasi, juga bertukar cerita unik selama ini di lapangan, yang tak terbatas dari sisi medis.

8

Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Gempa yang terjadi pada 7 Desember 2016 itu telah meluluh lantakkan ratusan rumah dan bangunan pertokoan. Data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mencatat gempa ini menewaskan 100 orang lebih dan melukai 857 orang, kecil maupun parah.

Masih mengutip data rilisan BNPB, jumlah pengungsi saat ini mencapai 45.239 orang dengan rincian 43.613 orang berada di Kabupaten Pidie Jaya dan 1.716 lainnya di Kabupaten Bireun. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan berbagai lembaga pun langsung turun tangan. Tenda posko pengungsian, distribusi makanan, hingga pembersihan sisa bangunan terus dilakukan hingga hari ini.

Masyarakat masih tinggal di posko pengungsian karena khawatir masih terjadi gempa susulan, kata Siti Raziah Razali, warga Desa Menasah, Pidie Jaya, pada tim doctorSHARE.

doctorSHARE menerjunkan dua kloter relawan yang terdiri dari 6 dokter, 2 perawat, 2 relawan non medis, dan 1 trauma healer untuk memberikan pelayanan kesehatan dan penanganan trauma pada anak-anak di posko pengungsian. Tim melayani warga di posko pengungsian sejak Jumat, 9 Desember 2016.

Tim doctorSHARE bergerak menuju posko-posko lainnya yang belum terlayani medisnya. Kita juga mengirimkan kebutuhan selimut untuk warga di pengungsian, ujar dr. Herliana Yusuf, koordinator tanggap bencana doctorSHARE. Tim doctorSHARE membawa berbagai bantuan obat-obatan dan langsung bergerak menuju posko pengungsian di wilayah pedesaan Blang Iboih, Pidie Jaya, Aceh.

10 Desember 2016, tim memberikan pelayanan medis berupa pengobatan umum di Posko Blang Iboih yang diikuti oleh 95 pasien, termasuk 2 pasien tindakan minor yang dilakukan di dalam mobil ambulans hasil kerjasama dengan anggota DPR Aceh.

11 Desember 2016, tim melangsungkan kegiatan trauma healing pada 40 anak di Posko Blang Iboih dengan mengajak anak-anak menggambar, bermain, bercerita, dan bernyanyi bersama.

12 Desember 2016, tim kembali melakukan kegiatan pengobatan umum di Posko Blang Iboih. Kali ini, jumlah pasien mencapai 107 orang, termasuk 3 pasien tindakan minor. Tim pun melanjutkan kegiatan trauma healing yang diikuti sekitar 40 anak.

doctorSHAREBantu Korban Gempa Aceh

Pelayanan Medis Korban Gempa Aceh

9

13 Desember 2016, tim melangsungkan pengobatan umum di Posko Gampong Lhok Sandeng dan Gampong Sarah Mane, Kecamatan Meurah, Pidie Jaya terhadap 60 pasien. Di posko ini, tim juga menggelar trauma healing yang dihadiri kurang lebih 30 anak berusia antara 3-13 tahun.

14 Desember 2016, tim melakukan kegiatan trauma healing yang melibatkan 50 anak di Posko Gampong Sarah Mane. Kecamatan Meurah Dua.

15 Desember 2016, tim menyelenggarakan kegiatan pengobatan umum di Posko Gampong Sarah Mane, Kecamatan Meurah Dua dengan total 63 pasien. Tim pun kembali melakukan trauma healing terhadap 40 anak berusia 3 - 15 tahun. Tim pun menyerahkan donasi kelambu dan selimut di Gampong Blang Iboih, Kecamatan Banjar Baru, Pidie Jaya.

Dengan demikian, selama seminggu di Pidie Jaya - Aceh, tim doctorSHARE telah menangani 325 pasien dengan jenis penyakit yang diderita sebagian besar warga adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan myalgia (nyeri otot).

Selain itu, tim mengadakan trauma healing terhadap sekitar 120 anak yang berusia antara 3 - 15 tahun. Trauma healing dilakukan tim doctorSHARE untuk menghibur anak-anak yang mengalami kesedihan atau kejenuhan selama bermukim di posko pengungsian.

Anak-anak butuh pendampingan agar mereka tetap semangat dan tidak ketakutan. Di posko pengungsian, kami mengajak mereka bermain menggambar, bercerita, dan bernyanyi. Anak-anak terhibur, tutur dr. Herliana.

Gempa susulan masih terjadi walau tidak menyebabkan kerusakan yang serius. Masyarakat bersama tim tanggap darurat terus waspada memantau kondisi pasca gempa. Dari pengamatan tim doctorSHARE, aktivitas masyarakat sudah kembali berjalan normal. Warga sudah meramaikan aktivitas di pasar, menanam padi, hingga membersihkan puing-puing bangunan.

Warga yang masih tinggal di rumoh (rumah tradisional) Aceh bersyukur. Rumah masih utuh berdiri. Hanya rusak perabot dalam rumah saja. Gempa ini pelajaran berharga buat kami, tutur Zaenal, salah seorang warga di Pasar Meureudu, Pidie Jaya.

Pelayanan Medis Korban Gempa Aceh

10

Muhammad Ilham masih ingat jelas saat gempa bumi melanda kampungnya. Guncangan itu terasa sekitar pukul 05.00 WIB. Kala itu, Ilham sedang mengaji di surau dekat rumahnya di Gampong Sarah Mane, Kabupaten Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Siswa kelas satu SMP Satu Atap Sarah Mane itu panik dan takut melihat orang-orang di sekitarnya berlarian menyelamatkan diri.

Gempanya sekitar satu menitan, tapi terasa sekali dan berulang-ulang, tutur Ilham.

Hari masih gelap. Belum banyak orang desa yang beraktivitas. Hanya segelintir yang melaksanakan ibadah salat subuh dan mengaji di masjid. Pada Rabu (7/12), gempa bumi berkekuatan 6,5 Skala Richter meluluh lantakkan Kabupaten Pidie Jaya. Tak sedikit bangunan rumah, toko, dan masjid yang hancur. Dalam waktu singkat, keadaan berubah. Masyarakat panik dan korban jiwa berjatuhan.

Keadaan yang sama juga dialami Marhaban, siswa kelas lima SD Negeri Malem Dagang. Saat gempa mengguncang, ia masih terlelap di alam mimpi. Ketika telinganya menangkap kepanikan keluarganya karena gempa, sontak

Marhaban terbangun. Marhaban dan keluarganya pun pergi ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. Rumah tempatnya berteduh rusak setelah gempa susulan datang.

Ilham dan Marhaban adalah teman sepermainan yang tinggal di Gampong Sarah Mane. Di usia yang masih belia, keduanya merasakan takut dan panik saat guncangan terjadi. Sekolah tempat keduanya belajar pun rusak. Kegiatan belajar mengajar terhenti hingga seminggu pasca gempa.

Bersama puluhan anak Gampong Sarah Mane, Ilham dan Marhaban mengikuti kegiatan trauma healing yang digelar doctorSHARE. Pada Rabu (14/12), anak-anak berkumpul di Posko Bencana Gempa, Gampong Sarah Mane. Menurut tutor kegiatan trauma healing doctorSHARE, Gr. Juni Safitri, S.Pd, kegiatan ini dilakukan untuk membantu memulihkan kondisi psikologis anak korban bencana.

Tujuan utamanya adalah memulihkan keadaan psikologis anak-anak korban gempa sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka juga bisa tetap tertawa, gembira, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya biasa mereka lakukan, papar Juni

Serba Serbi Gempa Aceh

Asa Usai BencanaOleh : Panji Arief Sumirat

11

Juni menambahkan, rangkaian kegiatan juga dilakukan untuk mendukung proses belajar anak. Saat kegiatan berlangsung, anak-anak dari berbagai usia berbaur dan belajar. Mereka menggambar, menyanyi, dan bercerita. Keceriaan terpancar dari wajah lugu anak-anak korban gempa ini.

Setiap anak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan kemampuan dirinya. Terlihat anak-anak yang percaya diri di depan teman-temannya untuk menyanyi, memperkenalkan diri, menceritakan apa yang mereka cita-citakan. Mereka pun menunjukkan karya seni berupa gambar. Keadaan bertambah seru saat anak-anak diajak bermain bersama.

Juni mengungkapkan bahwa ia sangat senang bercengkerama dengan anak-anak korban gempa. Menurutnya, antusiasme tak hanya datang dari anak-anak melainkan juga para orang tua. Tak sedikit orang tua yang ikut mendampingi anak-anaknya yang masih kecil. Orang tua turut terhibur dengan kegiatan ini. Tingkah pola anak yang unik selama berlangsungnya kegiatan membuat mereka terhibur.

Saya harap semangat belajar anak-anak korban gempa ini semakin tinggi. Semoga mereka bisa kembali tersenyum dan bermain. Yang terpenting, mereka harus tetap percaya diri dan pantang menyerah, Juni menuturkan harapannya.

Ilham dan Marhaban juga berharap dapat kembali belajar di sekolah masing-masing. Ilham menunjukan gedung sekolahnya yang rusak akibat gempa. Tembok dan lantainya retak sehingga terlihat ada celah. Langit-langit sekolah runtuh dan rangka atapnya patah. Keadaan ini tentu membahayakan para siswa. Ilham berharap gedung sekolahnya segera diperbaiki agar ia dapat belajar kembali.

Anak-anak selalu memiliki imajinasi dan kemauan keras untuk mewujudkan mimpi. Ilham dan Marhaban hanyalah sebagian kecil dari anak-anak korban gempa yang punya kesempatan besar dalam meraih cita-citanya di masa yang akan datang, terlepas dari kesulitan apapun yang tengah mereka hadapi.

Panji Arief Sumirat adalah relawan media doctorSHARE

Serba Serbi Gempa Aceh

12

Serba Serbi Gempa Aceh

Meretas Trauma Pada AnakPasca Bencana Bantu Korban Gempa Aceh

Oleh: Ahmad Yunus Awaludin

Anak-anak mengalami trauma pasca gempa di Pidie Jaya, Aceh. Rumah tinggal tempat mereka tumbuh dan berkembang hancur lebur. Begitu juga dengan bangunan sekolah yang rusak berat dan retak-retak. Bagaimana

anak-anak melewati trauma fisik dan kejiwaan pasca gempa?

Rabu pagi, pukul 05.00 WIB, 7 Desember 2016, daerah Pidie Jaya bergetar kuat. Serangan gempa yang berlangsung selama lima hingga 15 menit itu langsung merobohkan berbagai bangunan rumah tinggal hingga pertokoan. Sebagian orang sudah bangun dari tidurnya. Namun tidak sedikit yang masih terlelap.

Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter seketika itu juga membuat warga panik dan ketakutan. Jaringan listrik langsung putus. Warga kalang kabut dalam kegelapan. Akibat gempa, ratusan warga di Pidie Jaya meninggal dunia, sebagian mengalami luka berat dan luka ringan akibat tertimpa robohan bangunan.

Saat gempa tsunami, rasanya seperti ayunan. Namun, gempa kemarin rasanya seperti kita di atas mobil melewati jalan rusak, kata Tengku Musafa Hasan Yahya, pemimpin pondok pesantren di Desa Blang Iboih, Pidie Jaya, Aceh. Gempa ini langsung mengingatkan peristiwa tsunami, katanya.

Gempa tidak hanya merusak berbagai jenis bangunan tapi juga meninggalkan trauma fisik maupun kejiwaan. Salah satunya, ketakutan akut pada anak-anak. Rumah tempat mereka tumbuh dan berkembang rusak berat. Sekolah tempat mereka belajar dan bermain juga roboh dan retak-retak. Anak-anak pun harus beradaptasi dengan lingkungan baru di posko pengungsian.

Pada siang hari, orang dewasa sudah kembali beraktivitas di kebun. Tapi di malam hari semua berkumpul di posko pengungsian, kata Tengku Musafa. Menurutnya, anak-anak yang tinggal di posko pengungsian masih khawatir terjadi gempa susulan. Mereka masih takut dengan keadaan pasca gempa. Ada suara keras, mereka langsung bangun dari tidurnya.

Posko pengungsi bukanlah arena berlibur, bisa jadi justru tak ramah anak. Dalam keadaan darurat, anak-anak harus menerima dan mengalami suasana yang serba tidak pasti. Melewati gempa dan tinggal di posko pengungsi meninggalkan pengalaman dan ingatan buruk. Dalam kondisi seperti itu, anak-anak perlu pendampingan untuk meninggalkan luka trauma akibat gempa.

13

Serba Serbi Gempa Aceh

Hingga saat ini, belum ada konsep rancangan posko pengungsian yang ramah anak sehingga mereka terlindung cukup baik selama dalam keadaan darurat bencana. Posko pengungsian anak-anak hendaknya bisa memberikan rasa nyaman untuk tinggal, bermain, cukup asupan gizi, sekaligus menjadi sarana belajar tentang sebuah fenomena alam.

Peristiwa gempa bisa jadi bagian dari pembelajaran terbaik tentang bagaimana kita menyiapkan diri dari fenomena alam ini.

Bantuan tidak hanya medis dan logistik. Penanganan traumatik pada anak juga sangat penting, kata relawan medis doctorSHARE untuk gempa Aceh, dr. Riny Sari Bachtiar, MARS. Tak hanya melayani medis di wilayah terpencil dan terisolir, doctorSHARE juga turun tangan dalam penanganan kebencanaan.

Anak-anak butuh hiburan selama tinggal di posko pengungsi, kata Tengku Musafa, warga lokal.

Hiburan bukan berarti anak-anak bisa bermain sesuka hati. Mereka juga seharusnya bisa menikmati proses pembelajaran. Penanganan trauma adalah cara agar mental maupun fisik anak-anak kembali normal. Mereka bisa kembali beraktivitas

dalam suasana terbebas dari rasa takut sekaligus siap dan mampu memetik pembelajaran dari perisitiwa yang terjadi.

Penanganan trauma pun membutuhkan tutor yang terlatih dan berpengalaman sehingga kondisi fisik dan mental anak-anak terpantau. Cara penanganan trauma pada anak-anak tentu tak sama dengan orang dewasa. Secara khusus, mereka masih dalam tahap proses perkembangan dan pertumbuhan.

Ahmad Yunus Awaludin adalah relawan media doctorSHARE

14

Masjid Teungku Di Pucok Krueng Beuracan, Kecamata Meureudu, Pidie Jaya menyedot mata saya saat melintasi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Masjid berwarna cokelat berbahan kayu itu berdiri kokoh. Orang ramai berfoto di depan masjid yang menjadi salah satu masjid klasik yang berdiri saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada 1607 1636 Masehi. Masjid ini didirikan oleh seorang ulama untuk menyebarkan ajaran Islam di bumi rencong.

Saya berdiri dan menengok ke bagian dalam masjid. Tiang-tiang kayu di berbagai sudut berdiri tegak menyangga bagian atap. Siku-siku kayu saling mengait membentuk sudut yang kuat dan liat. Di halaman, terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan untuk wudhu kala hendak ibadah.

Sekalipun usianya sudah renta, masjid ini tidak reyot. Tiang-tiang kayu sama sekali tidak rapuh. Tiang terasa keras seperti batu. Konstruksinya yang liat sekaligus elastis telah menyelamatkan masjid ini dari kerusakan parah akibat gempa Rabu pagi (7/12) berkuatan 6,4 Skala Richter tersebut. Kerusakan kecil hanya terlihat pada bagian tembok lantai.

Gempa telah merontokkan ratusan bangunan rumah dan pertokoan di Pidie Jaya, Aceh. Data yang terakhir yang dilihat tim di posko pengungsian mencatat 100 orang lebih meninggal dunia, 217 luka berat dan 462 luka ringan. Gempa selama 15 menit di pukul 05.00 pagi itu langsung merobohkan bangunan berbahan beton.

Gempa yang terjadi saat tsunami terasa seperti ayunan. Namun gempa kemarin rasanya seperti sedang berada di atas mobil melewati jalan rusak, kata Tengku Musafa Hasan Yahya, pemimpin pondok pesantren di Desa Blang Iboih, Pidie Jaya, Aceh. Gempa naik turun dan langsung membuat panik warga. Gempa ini langsung mengingatkan kami pada peristiwa tsunami, ucapnya.

Orang berhamburan lari menyelamatkan diri ke luar rumah. Sebagian tidak bisa menghindar dan terkena reruntuhan tembok dan beton. Ada 30 warga terjepit dan langsung meninggal dunia, kata seorang warga lokal saat ditemui di Pasar Mereudeu, Pidie Jaya.

Bangunan toko berlantai dua rata dengan tanah. Bangunan di sepanjang lintasan Banda

Petaka Beton Gempa Pidie JayaOleh: Ahmad Yunus Awaludin

Rumah Aceh dan meunasah di Pidie Jaya yang berbahan kayu mampu menahan guncangan gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter. Bangunan tradisional ini bahkan ada yang berusia hampir 300 tahun. Namun mengapa rumah tradisional yang telah menyelamatkan nyawa kala bencana terjadi ini justru ditinggalkan banyak orang?

Serba Serbi Gempa Aceh

15

Aceh - Medan juga hancur lebur. Rumah pertokoan ringsek. Besi-besi tiang beton tampak seperti rambut keriting. Jalan aspal amblas dan retak.

Namun tak semua bangunan rontok akibat gempa. Selain Masjid Teungku Di Pucok Krueng Beuracan, puluhan rumah panggung Aceh dan meunasah (masjid kecil) berbahan kayu justru mampu menari di atas gelombang gempa. Rumah-rumah tradisional ini berdiri seperti biasa. Dari pengamatan terhadap sejumlah rumah, tiang-tiang kayu hanya bergeser di atas sepetak batu ukuran lantai keramik rumah.

Rumah kayu masih utuh tidak rusak sama sekali. Hanya perabotan yang rusak. Warga yang tinggal di rumah kayu bersyukur, kata Tengku Musafa.

Sayangnya, sudah banyak warga Pidie Jaya yang memilih mendirikan rumah bertembok. Alasannya, rumah bertembok dianggap lebih maju ketimbang rumah kayu meski rumah bertembok justru membuahkan malapetaka saat gempa terjadi. Ratusan bangunan toko dan rumah lebur oleh gempa. Warga yang tidak sempat melarikan diri banyak yang tertimpa beton dan dinding bangunan.

Kejadian gempa di Pidie Jaya ini membuat warga berpikir kembali tentang rumah aman. Mereka melihat tak satu pun rumah kayu yang rusak akibat gempa, sekalipun rumah bertembok masih memikat warga yang hendak membangun kembali rumahnya.

Saya akan kembali membangun rumah bertembok, kata seorang warga di Desa Blang Iboih.

Indonesia adalah lahan subur bagi gempa maupun tsunami. Deretan gunung berapi di sepanjang dataran Sumatera, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Jawa, hingga Nusa Tenggara Timur adalah ancaman sekaligus berkah. Berbagai peristiwa alam yang telah terjadi, baik gempa maupun tsunami, menjadi pengetahuan dan pengalaman berharga bagi manusia Indonesia.

Di berbagai daerah, berdiri rumah tradisional yang sangat adaptif terhadap bencana seperti rumah Omo Hada di Pulau Nias. Juga syair smong warga Pulau Simeulue yang berkisah tentang kejadian tsunami. Berbagai khasanah budaya ini jadi penanda bahwa manusia Indonesia sudah lama bersahabat dengan kondisi alam sekitarnya dan menyelamatkan kehidupan dari dahsyatnya bencana.

Ahmad Yunus Awaludin adalah relawan media doctorSHARE

Serba Serbi Gempa Aceh

16

Sepanjang 2016, Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Dari barat sampai ke timur, medan laut yang dilalui tak bisa dibilang mudah. Angin, riak, ombak, pasang, surut, hujan, terik, dan sebagainya telah mewarnai pelayaran pelayanan medis di wilayah perairan kepulauan Indonesia.

Tujuh lokasi pelayanan medis yang telah kami sambangi dengan RSA dr. Lie Dharmawan tahun lalu meliputi Sumba Barat Daya dan Atambua di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Aru dan Kabupaten Seram Barat di Provinsi Maluku, Distrik Inanwatan Sorong Selatan dan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat, serta Pulau Doi Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara.

Untuk menjaga kondisi kapal tetap prima sekaligus meningkatkan performa pelayanan tahun ini, tim pun melakukan docking dan pembenahan interior RSA dr. Lie Dharmawan.

1. Docking Menambahan lapisan fiber pada bagian lunas dan bagian lain RSA General overhaul (membongkar, mengganti, dan merakit) mesin RSA Perbaikan propeller shaft (poros penggerak) pada baling-baling RSA

2. Renovasi Interior RSA Menambah ruang pulih sadar pasien pasca tindakan operasi (ruang resusitasi) Menambah lapisan pelindung pada dinding dan lantai RSA Memperbaiki pintu yang terletak di lambung RSA Renovasi kamar-kamar Anak Buah Kapal (ABK)

DockingDocking kapal adalah proses memindahkan kapal dari laut ke atas dock dengan dukungan sejumlah fasilitas. Agar docking berjalan lancar, tim harus melakukan persiapan matang dan berhati-hati mengingat spesifikasi kapal yang berbeda-beda.

Proses docking RSA dr. Lie Dharmawan kali ini dibantu oleh PT. Proskuneo Kadarusman, perusahaan yang memiliki salah satu galangan kapal di Muara Baru, Jakarta Utara. Docking terhadap RSA ditangani oleh para ahli di bidangnya masing-masing.

Proses bermula dari pembersihan bagian bawah kapal, pemeriksaan kondisi baling-baling kapal dan motor penggeraknya, pengecekan mesin, hingga penambahan lapisan fiber untuk memperkokoh bagian dasar kapal.

Selama pelayaran, bagian dasar RSA dr. Lie Dharmawan kerap mengalami benturan ataupun kandas. Banyak pula sisa-sisa

Rumah Sakit Apung

Upaya Meningkatkan PerformaRSA dr. Lie DharmawanOleh: dr. Christ Hally Santoso

17

teritip yang melekat. Teritip (Chthamalus stellatus) adalah hewan laut bercangkang ukuran 2,5 75 sentimeter yang biasanya hidup di perairan dangkal atau area pasang surut laut. Teritip kecil melayang dalam air tapi saat beranjak dewasa akan menempel pada hewan laut lainnya bahkan pada benda padat dalam air, termasuk dasar kapal.

Jika sudah menempel, teritip akan menghabiskan seumur hidup di tempat yang sama. Itu sebabnya bagian dasar kapal harus terlebih dulu digerinda hingga benar-benar bersih dari teritip. Sesudahnya, barulah dasar kapal dilapis ulang dengan fiber untuk memberi perlindungan sehingga kekuatan kayunya meningkat. Bahan dasar RSA adalah kayu ulin atau kayu besi, jenis kayu terkuat di dunia.

Renovasi Interior RSASetelah proses yang berlangsung di atas galangan ini berlangsung dengan baik dan lancar, fisik RSA dr. Lie Dharmawan pun tampak kembali menawan. RSA kemudian kembali ke Pelabuhan Kali Adem, Jakarta Utara, untuk melanjutkan proses renovasi di bagian interior.

Renovasi interior RSA yang dilakukan antara lain adalah menambah ruang pulih sadar pasien yang telah dioperasi (ruang resusitasi), menambah lapisan pelindung pada dinding dan lantai RSA, memperbaiki pintu yang terletak di lambung RSA, serta renovasi kamar-kamar Anak Buah Kapal (ABK). Kami

pun tak lupa memastikan agar perlengkapan keselamatan utama pada kapal seperti pelampung, alat pemadam kebakaran, dan lifeboat berada pada kondisi prima.

Upaya-upaya ini kami lakukan untuk meningkatkan performa Rumah Sakit Apung sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat pelosok bisa lebih optimal. Kami juga terus berkomitmen mengembangkan berbagai inovasi. Yang jelas, seluruh kerja keras ini tak terlepas dari dukungan teman-teman relawan dan para donatur doctorSHARE.

Terima kasih atas kepercayaannya. Mari lanjutkan kerjasama untuk melayani saudara-saudara di kepulauan terpencil tanah air yang selama ini jauh dari perhatian kita semua.

dr. Christ Hally Santoso adalah Manajer Rumah Sakit Apung doctorSHARE

Rumah Sakit Apung

18

September 2016, pelayanan medis RSA dr. Lie Dharmawan dan RSA Nusa Waluya I telah berakhir. Usai setahun berlayar mengarungi perairan nusantara, kedua Rumah Sakit Apung tersebut kembali berlabuh di ibukota. Dan inilah yang justru menjadi awal bagi tim logistik untuk berjibaku membenahi hamparan perlengkapan, peralatan, dan obat-obatan yang ada.

Tim logistik bahu membahu merapikan dan menginventaris ulang sisa-sisa logistik medis dan non medis sisa pelayanan medis 2016 sebagai modal awal pelayanan tahun ini. Beberapa jenis obat yang telah mencapai masa purna harus kami musnahkan secara benar sehingga tidak disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Peralatan medis diperbaiki dan dikalibrasi ulang. Kalibrasi adalah proses pemeriksaan untuk memastikan alat-alat medis yang kami gunakan masih akurat dan sensitif untuk menangani pasien. Kami pun mengevaluasi ulang daftar peralatan kesehatan dan obat-obatan sehingga pelayanan medis tahun ini bisa lebih efektif dan efisien.

Setiap hari, hampir selalu ada relawan yang datang membantu merapikan carut marut barang-barang di gudang logistik. Mereka memilah, mencatat, dan menyusun kembali barang-barang tersebut ke rak obat-obatan dan peralatan kesehatan.

Proses mempersiapkan logistik tidaklah mudah. Perlu ketelitian dan ketekunan sehingga kesalahan tidak terjadi. Menjalani pekerjaan rutin semacam ini adakalanya menjemukan. Namun ketika melamunkan pasien-pasien di pelosok, semangat kami kembali tersulut. Beberapa staf dibantu relawan bahkan merelakan waktu santai akhir pekannya di gudang logistik agar pekerjaan selesai tepat waktu, sebelum RSA mulai berlayar kembali.

Setelah logistik medis dan non medis selesai dipersiapkan, kami harus bolak-balik membawa barang-barang tersebut ke Rumah Sakit Apung dan menyusunnya kembali di dalam kapal. Agar tak tercecer, sebagian besar barang kami susun dalam kontainer-kontainer plastik. Kami pun memilah logistik tersebut berdasarkan warna tutup kontainer untuk mempermudah pencarian di kemudian hari.

Di kantor sekretariat, kami juga melakukan berbagai upaya pembenahan. Beberapa bagian kami renovasi dan percantik guna memancarkan semangat melayani. Terima kasih pada para relawan yang rela berjibaku bersama doctorSHARE di samudera logistik, sebuah perjuangan berharga dibalik layar yang sama pentingnya dengan pelayanan medis di lapangan.

dr. Angelina Vanessa adalah Koordinator Divisi Logistik doctorSHARE dan Koordinator Divisi Pemberdayaan Pulau Kei, Maluku Tenggara

Berjibaku di Samudera LogistikOleh: dr. Angelina Vanessa

Rumah Sakit Apung

19

Pesawat berjenis twin-otter yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Plong. Jantung terasa ringan. Akhirnya, roda pesawat bisa mencium aspal lintasan bandara dengan sempurna.

Rasanya, bandara ini sangat istimewa dibandingkan kebanyakan bandara perintis lainnya di Papua. Bangunan pemantau bandara dan satu unit mobil pemadam kebakaran tersedia. Petugas bandara dan keamanan pun tampak sigap menjaga lintasan bandara.

Penerbangan dari Nabire menuju Sugapa ditempuh sekitar 45 menit. Pesawat melewati lembah yang menjulang dan langit yang sedikit mendung. Pesawat berkapasitas 20 orang ini lincah menembus gumpalan awan yang gelap.

Bagi saya dan mungkin penumpang lainnya, cukup membuat nyali semakin tegang. Mulut komat kamit berdoa sepanjang penerbangan. Satu-satunya hiburan, menikmati keindahan hutan lebat Papua yang menyerupai brokoli. Dan juga perkampungan yang terpisahkan oleh pegunungan dan belantara hutan.

Sugapa terletak di atas pegunungan Papua. Udara dingin langsung mencubit kulit saat tiba di sini. Pemandangan bukit nan hijau di sekitar bandara sungguh memanjakan mata. Kami langsung naik ojek dan meninggalkan bandara. Hujan deras langsung mengguyur Sugapa.

Udara di sini bisa mencapai 15 derajat celcius, kata dr. Riny Sari Bachtiar, MARS, koordinator program Dokter Terbang doctorSHARE (2015-2016) yang memimpin pelayanan medis saat itu. Kabut tipis terlihat menyelimuti pepohonan.

Rumah penginapan yang kami tinggali dikenal sebagai basecamp pendakian Carstensz, salah satu gunung tertinggi di Indonesia yang diselimuti salju sepanjang tahun. Selain Sugapa, titik lain pendakian menuju Carstensz bisa melewati Timika.

Jalan kaki menuju Carstensz bisa ditempuh sekitar empat belas hari, kata Ibu Rini dari Yayasan Somatua yang mendampingi kami. Sayang, puncak Carstensz tidak tampak dari sini.

Malam itu, kami langsung merebahkan badan. Semakin malam, udara terasa

Membangun Kampung Sehat Di PapuaKisah Petualangan doctorSHARE di Wilayah Terpencil Papua

Oleh: Ahmad Yunus Awaludin

Dokter Terbang

20

semakin dingin. Beruntung, makan malam berupa oseng ikan asin dan nasi liwet cukup mengganjal perut. Kami tidur nyenyak sekali. Jaket, kantong tidur dan kaos kaki cukup melindungi dari rasa dingin.

Air di kamar mandi cukup untuk basuh dua mata dan gosok gigi saja, kata saya di pagi hari. Tampaknya, yang lain juga setuju. Bukan karena air di bak mandi kosong tapi dinginnya seperti air es dari kulkas.

Di pagi hari, lima belas unit motor ojek sudah sigap depan penginapan. Kotak obat-obatan dan logistik selama pelayanan medis langsung diikat di atas jok belakang motor. Kebanyakan mereka adalah warga pendatang dari Sulawesi dan Jawa yang merantau ke Sugapa dan memilih jadi tukang ojek.

Pendapatan sebagai tukang ojek di Papua memang menggiurkan. Bisa jadi, setara dengan gaji manajer perusahaan. Dalam sehari, mereka bisa mendapatkan uang minimal 500 ribu rupiah. Tarif ongkos sekali naik jarak dekat sebesar 50 ribu rupiah dan jauh mencapai 150 hingga 500 ribu rupiah!

Kenapa mahal? Namanya juga Papua. Apalagi, bensin termasuk barang mewah. Hitungannya begini, harga satu liter bensin di Sugapa mencapai 50 ribu rupiah. Ditambah biaya untuk membawa satu unit motor ke dalam pesawat senilai lima juta rupiah. Tukang ojek ini mengeluarkan modal yang luar biasa besar ketimbang tukang ojek di mana pun.

Namun, risiko menjadi tukang ojek di Papua juga tidak gampang. Bisa jadi malah bikin melarat si tukang ojek. Pertama, mereka mesti siap dengan segala medan dan kondisi jalan di pegunungan Papua yang masih amburadul. Kedua, jika terjadi kecelakaan, mereka harus siap dituntut hingga puluhan juta rupiah! Jangan sampai nabrak babi, kata tukang ojek ini.

Kehidupan di wilayah pegunungan Papua memang punya rumus matematika sendiri. Hampir 90 persen kebutuhan sehari-hari

didatangkan dari kota. Biaya angkut ini yang membuat kenapa semua kebutuhan hidup di Papua menjadi sangat mahal. Barang seperti telur, ikan, ayam, semen, hingga pakaian diangkut melalui pesawat.

Jangan kaget jika Anda makan satu mangkok bakso seharga 60 ribu rupiah!

Rasanya, ngeri-ngeri sedap. Motor melaju kencang melibas jalan licin dan tanjakan terjal. Tiga puluh menit akhirnya kami tiba di Hitadipa. Kampung kecil eksotik yang terletak di kaki lembah. Aliran Sungai Iyabu yang deras menjadi maskot distrik ini. Jembatan kayu goyang dangdut menjadi satu-satunya penghubung ke kampung ini.

Hitadipa termasuk distrik yang boleh dibilang sudah mandiri. Di sini terdapat puskesmas, SD hingga SMP, gereja, hingga unit tenaga listrik matahari. Aliran listrik mengalir pukul 6 sore hingga 10 malam. Televisi menyala. Orang bisa membaca buku. Bahkan, Hitadipa memiliki sebuah lintasan pesawat sendiri!

Perbedaan pulau, demografis, kesenjangan ekonomi sangat berpengaruh pada kehidupan dan penyakit, kata dr. Lie Dharmawan, pendiri doctorSHARE yang juga

Dokter Terbang

21

mengikuti pelayanan medis ini. Minimnya pelayanan menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah terpencil masih rendah.

Di lapangan, doctorSHARE merangkul para bidan, perawat atau tenaga kesehatan lokal sekaligus berbagi pengalaman mengenai tindakan medis. Mereka jadi ujung tombak untuk mendongkrak kualitas kesehatan warga lokal. Kerja mereka tak mudah ditengah keterbatasan, ucap dr. Riny.

Melakukan pelayanan medis di wilayah terpencil memang tidak mudah. Seringkali para tenaga medis yang ada harus mampu melakukan banyak hal. Padahal, mereka memiliki keterbatasan baik dari pengalaman maupun kemampuan individunya.

Namun, sekarang ada kebijakan bahwa mereka (bidan, perawat, tenaga medis) bisa bekerja seperti dokter. Tentu sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka, kata dr. Lie Dharmawan. Istilahnya, dokter kaki telanjang.

Melalui Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) RI No 90 tahun 2013 tentang pelayanan medis di wilayah terpencil, tenaga medis lokal bisa melakukan tindakan medis layaknya seorang dokter. Jadi tak usah takut. Kalian bisa belajar banyak hal, katanya saat diskusi dengan tenaga medis lokal di Hitadipa. Kondisi di sini sudah termasuk wilayah terpencil.

Hari pertama, warga berdatangan menuju puskesmas. doctorSHARE langsung melakukan pelayanan medis. Satu per satu warga diperiksa kondisi kesehatannya. Tim mendata warga yang siap operasi. Tak sediikit warga terlihat mengalami benjolan di tubuh mereka.

Hari kedua, tenda operasi berdiri. Meja menjadi alas sebagai pengganti tempat tidur. Obat-obatan dan perlengkapan bedah disiapkan. Dokter langsung bekerja menyelesaikan operasi pembedahan warga.

Warga mengalami hernia akibat kerja berat. Banyak yang merasa sakit pada bagian punggung dan kakinya. Termasuk soal pernapasan, jelas dr. Lie.

Di hari ketiga, kami melakukan aktivitas belajar hidup sehat di sekolah. Salah satunya, mengajarkan kebiasaan sikat gigi pada anak-anak. Puluhan anak SD hingga SMP berbaris di lapangan. Mereka tampak riang dan semangat belajar menggosok giginya.

Dokter Terbang (Flying Doctors) doctorSHARE telah berjalan selama dua tahun di 7 titik wilayah terpencil di pegunungan Papua. Usaha meningkatkan kualitas kesehatan warga Papua tak hanya terbatas pada aspek medis tapi juga berkaitan dengan aspek lainnya seperti sosial, budaya, bahkan politik.

Membangun kualitas hidup di Papua membutuhkan kerja sama dan komitmen dengan berbagai pihak. Dengan begitu, kualitas manusianya semakin baik, tutur dr. Lie.

Ahmad Yunus Awaludin adalah relawan media doctorSHARE

Dokter Terbang

22

When we talk of providing education in areas that have been neglected for years, often areas located on the outskirts of Indonesia, areas that have yet to be fully developed of its basic infrastructure, we often see this need of educating the people living within these areas from a more top-down developmental approach. But it is here that we should stop for a moment and reflect on these ideas of education.

To export a system of educating societies through a centralized and urbanized lens, simply because it is currently functioning within cities and urban areas neglects the fact that not everyone is living within well-developed cities. Can education be approached through another way, one that is inclusive to the people residing within these fringe areas?

Yet perhaps the question is not only can their education be contextualized and suited for their cultural, geographical and social needs, but should it be contextualized and suited for societies living in the fringes of Indonesia.

Such for example, education that is provided for people living in the highlands of Papua, where access to basic health care and education remains scarce. Should their education take into account the apparent economic and social inequality suffered by many Papuans when compared to other Indonesian citizens living on the island of Java? Or should we merely provide them with an education that has been standardized from Indonesias national curriculum?

These questions are asked as providing an education adapted for individuals living in the outskirts of Indonesia will not only provide them with skills and knowledge but undeniably change their outlook on life

as well. Which contrary to popular belief may prove disastrous either for them or their immediate environment.

The education in Hitadipa for example, a small village near Sugapa, the capital of the Intan Jaya regency, although having only one school, many of its youth have been educated to the junior high school level (grade 9). Many of them continue their schooling to Sugapa for senior high school (grade 10-12) and if possible many have also continued to universities in the city of Jayapura or even universities in Java.

However after finishing their schooling a number of youths that I have questioned struggle to find jobs or put their education into good use. One instance was one youth, Maria (22), lamented,

I just recently finished my university degree in IT from Bandung, West Java, but I come back here to Hitadipa and the only job that is available for me is to help my parents take care of the farm. Even in Sugapa where the local government has been looking for educated young people, the competition is so high that I dont think Ill get a job.

Here perhaps what first needs to be addressed is the purpose of providing them with an education itself. If the answer to this remains standardized and dictated by policy makers understanding education through the lens of a highly urbanized Jakarta then unquestionably education for people living in areas such as Papua will actually remain tailored for individuals living in cities most predominantly from Java. We are then educating Papuans so that they may assimilate themselves with the rest of Indonesians that the central government sees as more modern and more suited for the 21st century society.

Contextualizing EducationBy: Ben Kristian Citto Laksana

Dokter Terbang

23

To summarize this, when we educate societies living in the peripheries, such as Indonesias Papuans, whom are we educating them for? Are we putting them first? Or are they educated to merely assimilate themselves with often the Javanese centric Indonesian identity, and hence lose themselves in the process of education?

With the lack of basic infrastructure within many areas of Papua, this systematically enforced societal upgrade towards societies that are not only rurally situated but also lacking in the basic infrastructure will deny them the successful promises that the education system have supposedly guaranteed. They will not be able to take full advantage of the urbanized education they have received, as they themselves are not living within an urban modernized setting.

The often carried out solution, which many Indonesians living in the peripheries have done, is to move out of their initial environment and take on the popular merantau. A popular Indonesian pursuit for those living outside Java, which basically translates to journey to other lands in order to find a better living.

What use is their education when individuals cannot put into practice the knowledge and skills they have learned within their classrooms to the environment they are born in? Nor can they look for jobs within that environment as opportunities are close to none.

The education that they have received and have struggled for years to attain

becomes useless for their immediate surrounding. Especially more so when they are not taught on how to tie the skills and knowledge the have received with the urgent social issues that their society are faced with. Education for them becomes nothing more than a method to take part in a system that further benefits areas that are already urbanized and well-developed.

More so, education from this perspective neglects a societys cultural identity and the importance of maintaining said identity. Opting, as I have previously said, more on assimilation to the generally accepted culture. Efforts have been disturbingly minimal, often relegated to providing programs such muatan lokal where they merely learn their local language and at times musical instruments but stops there. Rarely do they deliberate on the grave social issues that these periphery areas are daily faced with.

Assuming that we are to truly and earnestly desire to educate societies living within these periphery areas then we should take into account that the issues they are daily faced with extends farther and much more complex than the issues faced by well-developed societies living in cities. Thus the form of education that should be provided within these areas must also accommodate these local issues. If we intend to educate the local communities then the locality of education must be the basis of the education that is provided.

Ben Kristian Citto Laksana is a researcher, lecturer, and doctorSHAREs media volunteer

Dokter Terbang

24

Tugas ke Papua itu datang 10 hari sebelum jadwal keberangkatan, buah dari pertemuan Lembaga Eijkman dengan doctorSHARE beberapa hari sebelumnya. Dalam tempo singkat, saya dan Gludhug menyiapkan seluruh perizinan, proposal, formulir partisipan, serta perlengkapan untuk mengambil sampel.

Informasi internet mengenai Kampung Basman di Kabupaten Mappi sangatlah terbatas. Jangankan mampu memperkirakan waktu dan rute perjalanan. Ketika membuka peta, saya hanya melihat sebuah titik yang dikelilingi hutan dan aliran sungai tanpa keterangan lainnya.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah meneliti keragaman genom dan penyakit pada populasi etnik Indonesia selama dua

dekade terakhir di penjuru nusantara. Meski pernah mengambil sampel di Papua, tingginya keragaman suku serta sulitnya akses daerah-daerah sangat pelosokmenyebabkan kami belum mendatangi berbagai lokasi penting. Oleh karenanya, kami tak melewatkan kesempatan berangkat bersama tim Dokter Terbang doctorSHARE.

Bukan main jauhnya jarak yang harus kami tempuh menuju Kampung Basman. Untuk menginjak tanah Papua saja, makan waktu enam jam dan berpindah dua zona waktu (Jakarta Merauke). Beruntung, hari itu tersedia pesawat amfibi Cessna berkapasitas delapan penumpang yang dapat mengantar kami dalam waktu satu jam dari Merauke ke Keppi, ibukota Kabupaten Mappi.

Pilihan lainnya adalah melalui jalur darat selama 12 jam dari Merauke (yang kami rasakan juga pada perjalanan pulang). Di Keppi, kami sempat berbincang dengan Bapak Bupati, anggota DPRD, dan kepala Dinas Kesehatan mengenai maksud dan tujuan kedatangan kami.

Dari Kota Seribu Rawa Keppi, butuh waktu empat jam ber-speed boat mencapai Kampung Senggo dimana kami bisa memperoleh listrik memadai untuk membekukan ice pack guna menyimpan sampel serta mendinginkan bahan untuk tes golongan darah. Kami lanjut menyusuri rawa-rawa empat jam berikutnya untuk mencapai Kampung Basman. Begitu tiba, kami disambut gerombolan anak yang dengan sigap membantu menurunkan muatan dari speed boat.

Di Kampung Basman yang gersang, langit biru memancarkan terik yang menyengat. Warga sudah tahu maksud kunjungan kami dan menyambut dengan gembira. Kedatangan kami yang terdiri dari dokter,

Keragaman Genom dan Penyakitdi Kampung Basman, Papua

Oleh: Isabella Apriyana, S.Si

Kalian pergi ke Papua bersama doctorSHARE ya.

Dokter Terbang

25

perawat, peneliti, dan pemerintah daerah membuat Kampung Basman yang biasanya sunyi jadi meriah. Para pria memasang terpal di halaman puskesmas pembantu (pustu). Warga lalu lalang, penasaran dengan kehadiran sekelompok wajah-wajah asing ini.

Penduduk Kampung Basman terdiri dari suku Citak, Kombai, dan Korowai. Secara tradisional, orang Korowai tinggal di rumah yang dibangun di pucuk pohon tinggi dan hidup sangat sederhana dengan berburu meramu. Hingga kini, masih ada masyarakat Korowai yang tinggal di rumah pohon.

Di Basman dan kampung tetangga bernama Mu II, terdapat deretan rumah bantuan dari Dinas Sosial yang melapuk karena banyak yang tidak dihuni. Padahal, usianya belum sampai lima tahun. Rumah-rumah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk merumahkan masyarakat Korowai. Ketiadaan fasilitas saluran air maupun lahan garapan menyebabkan mereka memilih kembali ke hutan. Nyaris tidak ada keramaian di kampung ini kecuali ibadah Minggu di gereja.

Sebuah bangunan sekolah kokoh berdiri namun sunyi karena tak ada guru yang mengajar. Pustu hanya sesekali ditengok mantri dan dokter dari puskesmas tetangga karena tidak ada staf dokter atau perawat. Tidak ada listrik, hanya genset. Tidak ada sinyal telepon, bahkan lima hari tanpa kabar membuat rekan-rekan kerja kami di Jakarta cemas bukan kepalang.

Tidak ada pula air bersih. Warga hanya mengandalkan air hujan. Air rawa melimpah

namun berwarna cokelat, berbau, dan menyebabkan gatal. Tak ada pilihan, warga tetap menggunakannya untuk kebutuhan harian. Tak heran, warga sangat rentan terserang sakit kulit dan diare. Cacing ascaris nyaman bermukim di perut anak-anak sehingga sebagian besar mereka berperut buncit. Rambut mereka pun menguning tanda kurang nutrisi.

Saya melihat seorang anak laki-laki asyik menjilati bumbu mie instan yang ia tuang ke telapak tangannya, seperti penganan saja. Para balita berlarian dengan ingus kental meleleh abadi di hidung. Anak maupun dewasa umumnya hanya memiliki sepotong baju, yang dipakai hingga kumal dan compang-camping. Sanitasi jadi kemewahan. Apa daya, nyaris tak ada apa-apa di sini. Tidak ada infrastruktur yang memadai agar hidup mereka lebih manusiawi.

Awalnya, saya pikir perbedaan bahasa akan jadi kendala dalam pengambilan sampel. Selain itu, saya juga pernah mendengar bahwa orang Papua sangat sensitif dengan pengambilan darah karena secara adat, darah dipandang sakral. Kekhawatiran rupanya terpatahkan. Selama tiga hari di Basman, ratusan orang datang berbondong untuk memeriksakan darahnya.

Lembaga Eijkman mengambil sampel darah untuk penapisan (screening) malaria secara mikroskopis dan molekuler karena Papua merupakan wilayah endemik malaria. Selain itu, kami juga mengambil sampel dari orang dewasa perwakilan keluarga sebanyak tiga generasi ke atas, yang tidak kawin campur dengan suku lain guna melihat kekerabatan antar populasi serta mendapatkan gambaran sejarah migrasi manusia.

Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui struktur populasi dan keanekaragaman genom terkait dengan penyakit kelainan sel darah merah Southeast Asian Ovalocytocis (SAO). SAO adalah salah satu bentuk adaptasi di wilayah endemik malaria di mana sel darah merah berubah bentuk menjadi oval sebagai mekanisme

Dokter Terbang

26

pertahanan dari parasit malaria. Kami juga melakukan pemeriksaan golongan darah, yang hasilnya bisa langsung dibawa pulang. Antusiasme warga membuat kami kebanjiran peminat. Beruntung tim Eijkman dibantu oleh Mama Ocha (bidan), Kakak Jenny (bidan), dan Paman Baso (mantri) dari Puskesmas Amazu. Pengisian formulir silsilah keluarga menjadi hal yang krusial untuk penelitian keanekaragaman genom.

Awalnya, warga agak bingung mengapa ini diperlukan dan banyak yang berusaha mengingat nama-nama keluarga mereka. Banyak yang ditertawakan temannya karena lupa nama kakek atau nenek sendiri. Sungguh terharu, beberapa warga yang datang bahkan sudah membawa kertas catatan berisi nama-nama keluarga dan menyatakan ingin diperiksa darahnya.

Meski belum pernah disuntik, warga memberanikan diri diambil darahnya. Anak-anak pun tak takut ditusuk jarinya untuk pemeriksaan malaria. Warga mengerubungi meja, penasaran dengan gerakan tangan kami memasukan darah ke dalam tabung serta sederet peralatan pengambilan sampel yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Wajah mereka berseri-seri saat menerima kartu golongan darah yang akan bermanfaat, misalnya bila perlu transfusi atau donor darah.

Di tengah keterbatasan fasilitas, saya melihat tingginya kepedulian warga Basman akan kesehatan. Ibu-ibu tak segan memukul anaknya yang menangis karena menolak minum obat cacing yang diberikan tim

doctorSHARE. Hingga hari terakhir kegiatan, warga dari kampung yang jauh terus berdatangan untuk pemeriksaan kesehatan maupun bedah minor.

Bayangkan, berapa harga bahan bakar speed boat yang harus mereka gelontorkan untuk perjalanan dua jam ke puskesmas terdekat yang memiliki dokter di Amazu? Kesehatan adalah dasar penting bagi tiap individu untuk melangsungkan kehidupannya. Penduduk Basman merindukan akses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan inklusif, keadilan sosial yang berhak mereka dapatkan sebagai warga Indonesia.

Masih banyak tantangan dari segi infrastruktur, akses, dan sumber daya untuk mewujudkan Indonesia Sehat di Basman ini. Semoga kedatangan aparat pemerintah daerah bersama kami dapat mewujudkan percepatan pembangunan di wilayah ini.

Selama tiga hari, pelayanan kesehatan doctorSHARE dan pengambilan sampel oleh Lembaga Eijkman telah selesai. Kami mengumpulkan lebih dari 300 sampel darah yang akan dianlisis di Jakarta. Jalan panjang menuju ibukota kembali ditempuh sembari berharap hujan turun sehingga penduduk mendapatkan air. Kami berharap dapat kembali ke Basman begitu hasil analisis diperoleh dan sungguh berharap akan hadirnya guru, dokter, dan kehidupan yang lebih baik di kampung ini.

Isabella Apriyana, S.Si adalah asisten peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman

Dokter Terbang

27

Siapa sebenarnya nenek moyang orang Indonesia asli? Sejak kapan mereka masuk dan bermukim di nusantara? Migrasi manusia modern (homo sapiens) bermula dari Benua Afrika sekitar 150.000 tahun lalu, sedangkan pembentukan manusia Indonesia dipengaruhi empat gelombang migrasi. Gelombang awal berasal dari migrasi nenek moyang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda (gabungan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya).

Gelombang kedua adalah migrasi dari daratan Asia, kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Dari daratan Asia, mereka berpindah ke selatan dan masuk ke nusantara melewati Semenanjung Malaya yang saat itu masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Gelombang ketiga adalah migrasi dari daerah Cina Selatan sekitar 4.000 tahun lalu. Kelompok ini menyebar ke Taiwan, Filipina, hingga Sulawesi dan Kalimantan. Merekalah yang membawa Bahasa Austronesia. Kelompok ini berdiaspora dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika. Austronesia adalah jenis bahasa yang banyak dipakai saat ini. Gelombang terakhir terjadi pada zaman sejarah, termasuk Indianisasi dan Islamisasi di nusantara.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pun melakukan penelitian dengan metode riset berbasis genetika DNA dalam mitokondria (mDNA). Melalui metode tersebut, para peneliti merekonstruksi 50.000 tahun pergerakan manusia Indonesia dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau. Mitokondria

adalah struktur unik dalam sel yang dapat memperlihatkan sejarah penyakit bawaan dalam suatu populasi.

Mitokondria dan 37 gen di dalamnya hanya diwariskan dari garis ibu kepada anak-anaknya. Berdasarkan sampel mitokondria ini, diketahui periode hunian awal di Kepulauan nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Analisis terhadap kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah juga memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik.

Migrasi penutur Bahasa Austronesia ke jalur barat bercampur dengan penutur Austroasiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat. Gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austroasiatik dan Austronesia. Demikian pula etnis Dayak, Batak Toba dan Batak Karo di Pulau Sumatera.

Penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, banyak membawa genetika Papua dan hanya sedikit genetika bangsa penutur Austronesia (terbukti dari penggunaan bahasanya). Hingga kini, Indonesia timur memakai bahasa non Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia barat yang berbahasa Austronesia.

Artinya, tak ada pemilik gen murni di nusantara. Dengan demikian, kita tidak bisa melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika yang awalnya berasal dari Afrika.

(Dari berbagai sumber)

Asal UsulManusia Asli Indonesia

https://www.thinglink.com

28

Mengapa terdorong ingin jadi dokter?Waktu aku kecil, om masuk rumah sakit dalam keadaan darurat. Sampai di rumah sakit, perawatnya mewajibkan kami mengurus administrasi dulu. Sebagai anak kecil, aku bertanya-tanya. Kenapa pasien nggak langsung ditangani? Ah, nanti kalau sudah besar benar-benar ingin fokus menolong orangnya dulu. Lulus SMA, keinginan jadi dokter makin kuat. Orang bilang susah, tapi ya lihat saja nanti.

Apa yang terpikir sesudah lulus kuliah?Saat itu, sistem pendidikan kedokteran di Indonesia sedang banyak perubahan. Habis co-ass harus UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia). Sudah lulus UKDI, ternyata ada kewajiban internship. Lulus co-ass tahun 2014, aku tahu tentang doctorSHARE. Aku tertarik karena doctorSHARE seperti mengembalikanku ke idealisme masa kecil, mengingatkan pada tujuan awal yaitu menjadi dokter yang baik.

dr. Herliana Elizabeth Yusuf:Tilik Kembali Tujuan Awal Jadi Dokter

Kisah-kisah Dokter Terbang

Sejak kecil, Herli bertekad jadi dokter yang sungguh-sungguh melayani masyarakat tak mampu. Tak mudah buat mewujudkan niat mulia ini. Pengalaman bersama doctorSHARE dan pengalaman selama menjalani internship di Wamena

menjadi titik penting yang mengembalikan kesadarannya. Inilah kunci yang membuat Herli mampu mempertahankan idealismenya hingga detik ini.

Nama Lengkap : Herliana Elizabeth YusufTempat, Tanggal lahir : Tangerang, 8 Maret 1991

Riwayat PendidikanSD YPPKK Moria Sorong (1996-2002)SMP YPPK Don Bosco Sorong (2002-2003)SMPK BPK Penabur Gading Serpong (2003-2005)SMAK BPK Penabur Gading Serpong (2005-2008)Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (2008 2014)

Pengalaman Koordinator Dokter Terbang doctorSHARE (Januari 2017 saat ini)Dokter Relawan doctorSHARE (2014 2016)Dokter Internship di RSUD Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua (Mei 2015 2016)

29

Beberapa kali ikut pelayanan medis bareng doctorSHARE, mataku makin terbuka soal kondisi masyarakat yang kurang mampu di pinggiran. Selain itu, aku terinspirasi dengan film Patch Adams yang mendirikan klinik di atas pegunungan dan fokus pada kualitas hidup pasien. Itu juga yang jadi mimpiku, meningkatkan kualitas hidup masyarakat terpinggirkan di daerah yang minim akses dan prasarana.

Mengapa memutuskan jadi dokter internship di Wamena, Papua?Pengalaman selama di doctorSHARE membuat semangat bertualang muncul. Aku ingin ke tempat baru. Tadinya tidak ingin di Papua karena aku sudah pernah tinggal 10 tahun di Sorong, Papua Barat. Di sisi lain, aku berdoa supaya Tuhan pilihkan yang terbaik. Ternyata, aku diterima di Wamena! Perasaan campur aduk. Tidak terbayang harus tinggal setahun di Wamena.

Ceritakan pengalaman awal menjadi dokter internship di Wamena...Sebetulnya, Wamena punya RSUD dan masih ada akses pesawat yang jadwalnya rutin. Tidak ada penyesalan, aku enjoy menjalaninya bersama 17 dokter lainnya. Hanya minggu pertama saja yang agak chaos karena ternyata Wamena baru pertama kali menerima dokter-dokter internship. Terlunta-lunta tanpa kepastian tempat tinggal, akhirnya kami mendapat rumah yang

bisa ditinggali setahun, dengan ongkos sewa Rp 90 juta per tahun. Insentif daerah kami dipotong untuk ongkos sewa tersebut.

Luas wilayah kerja yang ditangani?Dokter internship ditempatkan di sebuah RSUD dengan dua jenis rotasi: UGD dan bangsal. Kami diperbolehkan menangani pasien, tapi di bawah supervisi dokter pembimbing dan dokter PTT. Selain itu, juga ada rotasi puskesmas, tapi hanya untuk puskesmas pilihan. Kami boleh memberi resep, tapi tetap di bawah supervisi. Demikian juga dengan tindakan minor. Di sana ada dua puskesmas, Wamena Kota dan Hom Hom. Yang lainnya adalah Puskesmas Pembantu.

Masalah kesehatan yang paling menonjol di Wamena?Anak-anak beringus, batuk pilek, dan keluar cairan di telinga. Itu sudah sangat umum di Papua. Mereka juga banyak yang terkena bronchopneumonia karena tinggal di honai yang berasap atau kena asap rokok. Paru-paru sesak, suaranya kasar, dan banyak yang meninggal karena penyakit ini. Yang berobat itu-itu saja, dengan penyakit yang itu-itu juga. Mereka sembuh, tapi ternyata kembali lagi dengan kasus yang sama. Kompleks. Ada kaitannya dengan masalah pendidikan dan cara hidup.

Kisah-kisah Dokter Terbang

30

Kasus yang paling berkesan ditangani selama bertugas?Aku beberapa kali menangani anak-anak yang sesak napas karena bronchopneumonia, tapi fasilitas RSUD sudah mentok sehingga tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Biasanya, ini terjadi pada anak di bawah satu tahun. Mereka batuk parah, berlendir, dan sangat sesak sehingga butuh oksigen. Masalahnya, waktu itu RSUD masih belum punya oksigen murni dalam tabung.

Yang ada hanya oksigen konsentrat dari evaporator. Itu hanya mesin saja. Selang oksigennya kurang maksimal dan anginnya kurang. Observasi di UGD sudah mentok. Contohnya, aku pernah lihat seorang anak tulang-tulang dadanya sampai kelihatan naik turun hebat buat menarik napas. Oksigen sudah terpasang tapi masih megap-megap. Mamanya berusaha menggantikan baju anaknya. Pedih rasanya karena tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Si anak makin lemas dan kemudian meninggal.

Dokter PTT minta ijin untuk dilakukan RJP (Resusitasi Paru Jantung), tapi bapaknya menolak. Sudah dokter, nggak usah. Memang sudah kehendak Tuhan anak ini umurnya segini aja. Manusia bisa berusaha, Tuhan yang menentukan. Mereka pasrah dan hanya bisa menangis.

Pelajaran hidup paling berharga yang dipetik dari masa internship?Di sana, aku tinggal berlima belas dalam satu rumah. Banyak sekali pelajaran yang didapat dari situ, terutama soal bagaimana hidup dengan orang lain yang beda kampus, suku, agama, dan jenis kelamin. Aku belajar memahami watak orang dan belajar hidup berdampingan tanpa masalah.

Apakah internship merupakan pengalaman pertama bersentuhan dengan masyarakat Papua?Betul. Baru saat internship inilah aku pertama kali ke Papua. Sebelumnya, aku tinggal di Papua Barat dan pernah pelayanan medis juga bersama doctorSHARE di Bintuni, Papua Barat. Aku jadi bisa melihat masyarakat Papua dari sudut pandang yang berbeda.

Perbedaan sudut pandang seperti apa?Selama ini, masyarakat Papua dianggap keras, kasar, dan terbelakang. Mereka memang miskin, tapi aku jadi belajar memahami segala sesuatunya dari sisi mereka sendiri. Mereka punya tanah dan

berhadapan dengan banyaknya pendatang, tapi pendatang lebih sukses. Masyarakat Papua sendiri jadi semakin terpinggirkan. Dari hasil pengamatanku, hampir 100% pemilik toko dan kios adalah para pendatang. Masyarakat Papua paling cuma jual pinang, itu juga di emperan kios-kios.

Banyak kasus dan cerita yang aku dengar juga dari orang-orang yang aku kenal. Pandanganku jadi makin terbuka, makin

Kisah-kisah Dokter Terbang

31

luas. Selama ini, aku tahu permukaan saja. Misalnya kenapa OPM mau merdeka? Ketika aku lihat sendiri kenyataannya dan membaca banyak kasus dari buku, ternyata mereka memang dianak tirikan. Mereka memiliki tanah dan kekayaan alam tapi tidak menikmati semua itu.

Mengapa akhirnya menerima tawaran sebagai Koordinator Dokter Terbang doctorSHARE?Ketertarikan dengan Papua jadi salah satu pemicunya. Di Wamena, aku sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang Papua. Selama ini, tim Dokter Terbang pun banyak berkiprah di pedalaman Papua, walaupun tentu ke depan inginnya tidak hanya menjangkau Papua.

Apa yang akan dilakukan Dokter Terbang (Flying Doctors) doctorSHARE ke depan?Dokter Terbang makin menjangkau masyarakat di wilayah terpencil yang tidak punya akses, terutama yang tak terjangkau oleh pelayanan RSA (Rumah Sakit Apung). Bayanganku, Dokter Terbang doctorSHARE akan menjangkau seluruh Indonesia dengan karakteristik seperti ini, bukan hanya Papua. Kegiatan yang selama ini sudah dilakukan adalah pengobatan umum, penyuluhan, dan bedah minor.

Ke depannya, kami ingin sekali mengembangkan kerjasama, misalnya dengan dokter-dokter lokal. Jika punya hati dan visi yang sama, kita dapat bekerjasama sehingga jika ada masyarakat kesulitan berobat, dapat kita suplai dengan obat. Kami juga bisa berkunjung, misalnya tiga bulan sekali. Pengobatan umum sehari-hari dapat ditangani sendiri oleh sang dokter. Ketika kita datang, bisa membawa tenaga spesialis.

Terpikir melanjutkan spesialis?Belum tahu. Ternyata pengalaman internship di Papua dan pelayanan medis bersama doctorSHARE membuat aku lebih tertarik untuk fokus ke masyarakat, ke gerakan komunitas. Bayanganku kalau ambil spesialis, nantinya akan bekerja di Rumah Sakit dan hanya menunggu pasien datang. Aku ingin

lebih dari itu, bukan cuma mengobati tapi juga mendorong masyarakat menjadi lebih baik.

Sejak bergabung bersama doctorSHARE, aku jadi sadar bahwa sebenarnya akar permasalahan kesehatan itu banyak. Tidak cuma menerima pasien sakit, operasi, lalu selesai. Aku jadi lebih tertarik pada bidang kesehatan masyarakat. Fokus prioritas untuk satu setengah tahun ke depan adalah doctorSHARE.

Pesan untuk rekan-rekan sesama dokter?Gali kembali tujuan kalian sebelum menjadi dokter. Pasti ada. Kadang-kadang, kita lupa dengan tujuan awal menjadi dokter karena sudah terlalu asyik dengan gaji atau posisi saat ini atau mungkin terlalu stress dengan tuntutan-tuntutan masa kini. Tilik kembali kenapa dulu kalian ingin jadi dokter. Tuhan pasti sudah merencanakan sesuatu.

Yang ingin disampaikan pada pemerintah?Masih ada harapan untuk membuat Indonesia yang lebih baik. Lihat kembali dengan jelas seperti apa kondisi masyarakat di lapangan, apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Apa yang baik bagi pemerintah belum tentu sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenali lebih jauh kondisi masyarakat terpencil, terutama mereka yang suaranya tidak sampai ke tingkat pusat. Mereka harus lebih didengar.

Kisah-kisah Dokter Terbang

32

Ketika dipercaya mengemban tanggung jawab sebagai koordinator Divisi Media doctorSHARE beberapa tahun silam, pikiran saya sederhana. Saya berpikir tugas utama saya hanyalah memastikan agar seluruh aktivitas sosial doctorSHARE terdokumentasi dengan baik, supaya jejaknya tak hilang begitu saja. Maka saya pun berusaha menulis kegiatan demi kegiatan diiringi jeprat-jepret kamera.

Selama blusukan di lapangan, saya pun sadar bahwa isu kesehatan yang menjadi fokus kegiatan doctorSHARE ternyata berkorelasi amat erat dengan kehidupan sosial-politik-budaya masyarakat setempat. Betapa sempitnya doctorSHARE jika sekadar membingkai narasinya hanya sebatas kegiatan atau jasa yang sudah dilakukan tanpa pernah menyinggung bingkai yang lebih luas.

Padahal, doctorSHARE pergi ke wilayah-wilayah terpencil yang jarang diberitakan media-media mainstream. Tanpa kemampuan melihat dari kacamata yang lebih besar, yang tersaji kira-kira hanyalah sejenis doctorSHARE telah melakukan pelayanan medis yang diikuti sekian pasien. Narasi yang lebih utuh tak akan pernah tersentuh.

Publik jadi sulit melihat dari kacamata yang lebih luas, misalnya bagaimana masyarakat lokal selama ini bertahan hidup, bagaimana perasaan mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap kehidupan, bagaimana mereka selama ini berjuang untuk layanan pendidikan dan kesehatan, bagaimana lingkungan mempengaruhi cara mereka hidup, dan sebagainya.

Saya pun berusaha memberi kesempatan pada tiap relawan Divisi Media untuk berkreasi menggali sisi lain dari masalah lapangan tak melulu hanya menampilkan kegiatan pelayanan medis. Tiap relawan

media didorong berlatih mengamati, mewawancarai, menganalisa keadaan, dan menulis opini. Mereka tak jadi tukang jepret atau kuli tinta yang hanya mahir secara teknis, tapi juga kaya pemikiran.

Ini bukan perkara mudah karena sistem pendidikan Indonesia selama ini tak melatih berpikir kritis sehingga tak setiap orang mampu menganalisa suatu permasalahan secara jeli. Maka saya pun mendorong relawan untuk terlebih dulu melakukan riset data, mendiskusikan isu-isu yang muncul, konsep-konsep yang perlu diulas sebelum peliputan, juga penyuntingan ketat terhadap hasil liputan.

Selain itu, saya juga terus mendorong rekan-rekan medis doctorSHARE untuk turut menuangkan kreasi dan pemikirannya dalam bentuk foto, video, maupun tulisan. Isinya tak melulu persoalan medis. Saya sadar bahwa selama ini tak banyak dokter atau perawat hebat tanah air yang bersedia menulis padahal apa yang mereka alami dan pikirkan sesungguhnya menarik.

Konten doctorSHARE pun kini berkembang dengan perspektif yang lebih berwarna. Dengan demikian, media doctorSHARE tidak melulu memuaskan nafsu narsistik alias pencitraan organisasi tapi juga seimbang dalam upaya menawarkan sudut pandang yang lebih luas.

Media doctorSHAREOleh: Sylvie Tanaga

Media

33

Catatannya, doctorSHARE tidak pernah mengklaim bahwa apa yang dilakukan sudah menyuarakan mereka yang tak punya suara atau voicing unvoiceless people. Terinspirasi dari anjuran Zubair Sayed, kepala bagian komunikasi Civicus (NGO kemanusiaan yang bermarkas di Afrika Selatan), media doctorSHARE pun memutuskan tidak menghabiskan energi pada pembentukan branding organisasi.

Fokus pada pembentukan branding hanya akan membuat doctorSHARE selalu berusaha memunculkan topeng pencitraan yang akhirnya membuat organisasi tidak mampu mengevaluasi dirinya sendiri secara kritis. Branding memang sangat penting bagi dunia korporasi demi menggenjot market. Tapi kami sadar bahwa media NGO memiliki karakter khas yang berbeda dengan media korporasi.

Mengapa publik tidak dibiarkan saja melihat keunikan organisasi dan ragam permasalahan lapangan dari berbagai perspektif? Mengapa kita enggan memberi publik kesempatan untuk turut mengutarakan opininya terkait suatu permasalahan, mengkritik kami, dan setelahnya memberi sejumlah masukkan yang berharga bagi pengembangan organisasi?

Sebagai koordinator media, saya juga tidak pernah menerapkan indikator keberhasilan hanya pada jumlah mention dan jempol di media sosial. Yang jauh lebih penting adalah apa yang kami lakukan bisa menambah wawasan. Dengan kata lain, kami berharap apa yang kami sajikan melalui berbagai medium memiliki dampak yang lebih dari sekadar menggaet calon donatur atau calon relawan.

Dalam jangka panjang, bukan tak mungkin upaya ini memberi sumbangsih berskala luas, misalnya menginspirasi para dokter untuk lebih rajin menulis, membantu pemetaan masalah di wilayah terpencil tanah air, menginspirasi publik untuk membuat berbagai gerakan kemanusiaan, atau bahkan mendorong terjadinya sinergi dengan organisasi sosial kemanusiaan lainnya.

Di sisi lain, upaya ini tentu bermanfaat bagi kepentingan organisasi secara internal. Selain berfungsi sebagai jejak rekam, organisasi dilatih untuk berpikir kritis dalam memandang permasalahan, lebih jeli menyelami keragaman budaya tanpa menghakimi, dan akhirnya melahirkan kebijakan dengan pendekatan yang lebih bottom up ketimbang top down.

Upaya menuju hal ini tentu tidak mudah, bahkan memunculkan tantangan tersendiri. Butuh relawan yang lebih dari sekadar pandai mengoperasikan kamera. Butuh kerajinan ekstra dari seluruh relawan untuk belajar mendengar, tak hanya merasa diri di atas masyarakat yang ditolong terlebih jika program yang dikembangkan bersifat pemberdayaan yang mensyaratkan insiatif warga lokal.

Sebagai pelengkap, tak dapat dipungkiri bahwa kualitas, etika, dan estetika penyajian akan mempengaruhi distribusi konten. Selanjutnya, kualitas konten yang sudah baik harus didukung distribusi yang baik pula. Dalam hal ini, penting bagi seluruh relawan dan partisipan doctorSHARE untuk sama-sama terlibat menggaungkan isu-isu terkait kondisi masyarakat di wilayah terpencil.

Sayang sekali jika pemikiran-pemikiran yang menarik dan mencerahkan hanya bergaung di ruang hampa (echo chamber). Seharusnya ia bisa menjadi salah satu pokok bahasan utama di ruang-ruang publik. Ruang publik bukan milik monopoli isu politik nasional tapi juga milik masyarakat yang selama ini terabaikan.

Sylvie Tanaga adalah Koordinator Media doctorSHARE

Media

34

Cerita sampai jadi seorang dokter?Sudah sejak kecil aku ingin jadi dokter, gara-gara melihat pengemis di jalan dari dalam mobil. Aku terenyuh sambil berpikir, ah, nanti mau jadi dokter supaya bisa gratiskan pasien. Di doctorSHARE-lah aku menemukan semangat lain yang tak pernah kutemui. Ketika melayani masyarakat dan balasannya bukan materi, batin puas. Kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan.

Anda adalah koordinator lapangan ketika Rumah Sakit Apung layar perdana. Bagaimana ceritanya? Dulu sempat berpikir bahwa Rumah Sakit Apung adalah sesuatu yang nggak mungkin dijalani. Bukan karena mempertanyakan skill operasi dokternya di atas kapal tapi karena dana operasionalnya yang besar. Apakah kita sanggup? Sekali dua kali pelayanan bisa dicari, tapi bagaimana selanjutnya?

Falbehe : Wawancara dr. Vanessa

dr. Vanessa:Kuncinya adalah

Melayani dengan Hati

Di Kei Besar, dr. Vanessa berhadapan dengan minimnya edukasi dan layanan kesehatan akibat kondisi medan yang ekstra sulit. Tak menyerah, ia memacu motor kopling untuk melaksanakan mobile clinic jemput bola keliling desa.

Tubuh mungilnya kerap jatuh dari motor. Ia sadar bahwa masyarakat Kei membutuhkan kasih, lebih dari sekadar kesembuhan fisik.

Nama Lengkap : Angelina Vanessa DarmadjaTempat, Tanggal lahir : Jakarta, 22 September 1986

Riwayat PendidikanSD Bunda Hati Kudus, Jakarta (1992 1998)SMP Bunda Hati Kudus, Jakarta (1998 2001)SMA Bunda Hati Kudus, Jakarta (2001 2004)Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta (2004 2010)

Pengalaman Koordinator Divisi Fundraising doctorSHARE (2013 2014)Dokter PTT Daerah di Puskesmas Bombay, Kei Besar, Maluku Tenggara (Oktober 2014 2015)Koordinator Divisi Logistik doctorSHARE (2015 saat ini)Koordinator Pemberdayaan doctorSHARE untuk Kei Besar, Maluku Tenggara (2016 saat ini)

35

Setelah perjalanan demi perjalanan, kami benar-benar melihat tingginya kebutuhan masyarakat pedalaman akan layanan kesehatan. Kami terenyuh. Rasanya pelayanan ini memang harus terus berjalan. Semoga Rumah Sakit Apung ini bisa diwariskan ke generasi berikutnya, mungkin dimodifikasi hingga lebih baik. Layanan jemput bola dengan Rumah Sakit Apung sudah tepat untuk Indonesia.

Mengapa tertarik dengan Pulau Kei, Maluku Tenggara?Salah satu ikon doctorSHARE adalah Panti Rawat Gizi. Sebetulnya aku ingin ke Kei sejak akhir 2013, rasanya ada yang mendorong. Mungkin karena aku suka anak-anak sementara program utama doctorSHARE di sana adalah Panti Rawat Gizi yang merawat anak-anak.

Sebelumnya, sudah coba dua kali daftar PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) tapi tidak bisa karena salah satu persyaratan PPDS harus pernah jadi dokter PTT. Kupikir sambil PTT bisa tetap menjadi relawan doctorSHARE untuk mengembangkan Panti Rawat Gizi. PTT juga sekaligus bermanfaat untuk masa depan jika ingin melanjutkan spesialis. Oktober 2014 akhirnya aku ke Kei Besar.

Adaptasi terhadap budaya Kei Besar yang menarik bagi Anda?Di sana masih berlaku kasta, juga ada beda perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan seperti nomor dua. Dalam acara adat yang disertai jamuan makan, mereka sangat mengutamakan orang yang

dihormati seperti tokoh agama, pastor atau ustad. Dokter juga termasuk kelompok yang dihormati. Tetapi warga lokal yang makan terakhir hanya mendapat sisa nasi dan sayur. Ikan habis.

Mata pencaharian utama warga Kei Besar?Berkebun dan nelayan. Saat ombak dan tidak bisa melaut, mereka akan berkebun. Mereka mengerjakan apapun dan rata-rata mampu menjalankan kedua jenis pekerjaan tersebut.

Berapa area yang menjadi tanggung jawab Puskesmas Bombay?Seluruhnya ada 12 desa, tapi tidak semuanya bisa dilalui lewat jalur darat. Ada yang hanya bisa dilalui speed boat, terutama musim hujan. Jalannya bukan aspal tapi kerikil. Air hujan yang menyapu kerikil membuat ban motor mudah selip.

Tantangan terbesar ketika melakukan mobile clinic?Transportasinya. Jalannya sempit dan kadang hanya selebar roda motor. Kiri kanan masih rerumputan. Pakaian harus tertutup lengkap jika tubuh tidak ingin tergores-gores batang rumput dan kayu. Luka-luka lecet sudah biasa. Motor yang digunakan juga harus motor kopling karena kondisi jalan tidak bisa diprediksi. Aku juga harus menjaga keseimbangan saat bermotor karena tubuh tidak terlalu tinggi.

Selain itu, motor kopling pasti lebih berat dari motor bebek. Butuh effort tersendiri, apalagi jika melintasi jalan kerikil. Tidak terhitung berapa kali aku jatuh tertimpa motor. Juga pernah harus dorong-dorong motor di tanjakan. Saat hujan, angin juga kencang

Falbehe : Wawancara dr. Vanessa

36

sampai merubuhkan pohon. Kami pun harus melalui batang pohon yang melintang yang tidak mungkin kami singkirkan jika tidak bawa gergaji.

Cara lainnya adalah mengangkat motor sampai bisa melewati batang pohon. Jika batangnya sangat besar, kami harus menyusun bebatuan hingga motor bisa diturunkan. Tiang listrik juga pernah jatuh, benar-benar tidak terprediksi. Itu sebabnya untuk daerah jauh tidak boleh sendiri. Paling tidak harus ada dua motor sehingga bisa saling menolong. Jadi tantangan utamanya adalah kondisi akses jalan.

Bagaimana kondisi kesehatan masyarakat di sana?Menurutku masih sangat buruk. Hal-hal sederhana seperti masalah kebersihan belum diperhatikan. Kalau mengikuti anjuran penyuluhan, penyakit seperti diare, batuk, pilek itu harusnya tidak muncul. Penyakit-penyakit ini mengganggu produktivitas hidup. Diare menyebabkan orang tidak bisa sekolah atau kerja padahal hanya karena tidak cuci tangan dan mengolah makanan dengan bersih.

Dulu pernah dapat kasus anak 10 bulan dehidrasi berat karena diare. Anaknya sudah koma, harusnya masuk PICU dengan bantuan selang napas. Tidak ada lagi pembuluh darah yang bisa dimasukkan infus. Satu-satunya cara adalah infus tulang yang sebetulnya jarang aku lakukan. Puji Tuhan, anaknya selamat dan hidup. Ini adalah salah satu pasien yang mengalami mukjizat.

Pengalaman menarik lainnya selama PTT di Kei Besar?Banyak kasus yang secara medis seharusnya tidak tertolong karena fasilitas kesehatan yang kurang tapi ternyata berhasil ditangani karena iman. Kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri. Pernah ada seorang ibu yang lutut hingga jari-jari kakinya harus kupotong karena sudah busuk akibat diabetes. Di Jakarta, kasus semacam ini harusnya dikerjakan dokter spesialis bedah dengan bius umum karena pasti sakit.

Gula darahnya rendah padahal sudah diinfus gula. Keluarganya hanya pasrah membawa pulang pasien. Beberapa bulan kemudian, saya mendengar mukjizat bahwa pasien tersebut masih hidup. Pernah juga menjahit pasien yang punggung kakinya tertimpa kayu sampai kulit kaki robek sampai 30 jahitan tanpa obat antibiotik. Hanya ada obat generik. Kalau infeksi menyebar ke seluruh tubuh, dia bisa meninggal.

Enam bulan kemudian, terdengar kabar bahwa dia ternyata sembuh dan dapat beraktivitas kembali. Kulitnya sudah kelihatan bagus tanpa infeksi, bahkan bisa kembali bermotor. Banyak hal yang tidak dapat dijelaskan oleh logika manusia. Tuhan seperti ingin menunjukkan kebesaranNya. Dengan segala keterbatasan, banyak pasien yang kasusnya heboh namun ternyata survive.

Apa penyebab utama masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat Kei Besar?Masalah infrastruktur yang belum baik, masalah transportasi. Sebenarnya setiap Puskesmas punya tugas turun ke desa-desa. Kalau sudah berjalan, sebenarnya tidak dibutuhkan lagi mobile clinic doctorSHARE. Hanya saja, petugas Puskesmas tidak ingin merisikokan nyawa karena jeleknya kondisi jalan. Mengingat bahaya yang harus ditempuh, ongkos ojek pun mencapai ratusan ribu rupiah sekali jalan.

Falbehe : Wawancara dr. Vanessa

37

Karena petugas tidak bisa rutin berkeliling desa, angka kematian ibu dan anak pun tinggi. Petugas kesulitan mendata kehamilan yang berisiko. Akhirnya, para ibu melahirkan di mama biang atau dukun beranak yang tidak steril dan tidak memahami pentingnya penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD).

Penyakit terbanyak yang ditemui selama mobile clinic?Diare, batuk pilek, dan hipertensi. Mereka mengaku tidak pakai garam tapi terlihat mengkonsumsi banyak vetsin. Mereka tidak tahu bahwa vetsin pun memicu darah tinggi. Masak dengan vetsin seolah jadi kultur padahal di Jakarta sudah banyak orang yang menghindari penyedap rasa.

Peranan apa yang dapat dilakukan doctorSHARE untuk mengatasi masalah-masalah tersebut?Pelayanan kesehatan primer pun masih sangat membantu. Modal mobile clinic hanyalah stetoskop dan obat oral. Ketersediaan obat dan petugas di Puskesmas selama ini masih sangat minim. Masyarakat masih membutuhkan pelayanan kesehatan dasar dan penyuluhan soal Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Kalau dilakukan kontinyu harusnya bisa membawa perubahan.

Ceritakan soal Klinik doctorSHARE di Kei BesarKlinik doctorSHARE berada di lahan Balsomlait. Peletakan batu pertamanya 27 April 2015. Butuh 10-15 menit bermotor kalau

mau ke pusat kabupaten. Daerah sekitarnya masih hutan dan gunung. Ada juga warga yang membuka lahan perkebunan di sana. Posisinya di dataran tinggi dengan udara sejuk tetapi pemandangannya mengarah ke Elat, daerah pantai yang sangat indah.

Ke depan, kami akan menempatkan dokter yang akan tinggal bersama petugas logistik. Untuk periode awal, kegiatan yang bisa dilakukan adalah pelayanan rawat jalan dan penyuluhan kesehatan. Selain itu adalah mengaktifkan kembali Panti Rawat Gizi yang saat ini masih dititipkan di Bombay. Kita berharap bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Kuncinya adalah melayani dengan hati.

Pasien tidak hanya perlu sembuh dengan obat. Mereka sebetulnya butuh interaksi, butuh hiburan psikis, butuh didengarkan. Masyarakat juga ingin dianggap sebagai manusia. Inilah spirit yang berkembang dalam doctorSHARE. Kita melihat setiap orang berharga sebagai sesama manusia. Tidak ada yang lebih tinggi posisinya karena semua melayani dengan hati.

Hal paling berharga yang dipelajari selama melayani di Kei Besar?Aku tidak banyak mempelajari ilmu baru karena memang tidak ada bimbingan spesialis maupun aneka pelatihan seperti di kota besar. Tapi di sana, aku harus bisa menyelamatkan orang dengan segala keterbatasan fasilitas dan akses. Iman jadi sangat tumbuh. Pada dasarnya, hal paling berharga yang diperoleh selama melayani di Kei Besar adalah pelajaran soal kehidupan.

Rencana ke depan?Selama ini, aku berkomunikasi mewakili doctorSHARE dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah Maluku Tenggara. Ada tanggung jawab moral untuk mengembangkan pelayanan kesehatan di Kei Besar. Masyarakat berharap bisa mendapat pelayanan yang lebih baik dan tidak perlu keluar ongkos untuk menyeberang ke Kei Kecil. doctorSHARE jadi tempat yang tepat buatku untuk menyalurkan passion ini.

Falbehe : Wawancara dr. Vanessa

38

Pengalaman awal Anda bersentuhan dengan masyarakat?Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran, memang banyak pilihan kegiatan bakti sosial. Cuma bingung mau pilih yang mana. Sejak ikut kegiatan-kegiatan doctorSHARE, aku mendapat banyak pengalaman dalam bidang medis maupun non medis. Aku juga merasa cocok dengan orang-orangnya sehingga akhirnya memutuskan lebih banyak terlibat bersama doctorSHARE.

Mengapa akhirnya mendaftar sebagai dokter PTT Daerah di Pulau Kei, Maluku Tenggara?Tadinya bingung mau PTT Pusat atau melayani atas nama doctorSHARE. Ternyata doctorSHARE menawarkan jalur PTT bekerjasama dengan Pemda. Status PTT-nya diakui jika ingin mengambil PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Saya pun mengambil kesempatan membantu mengembangkan Panti Rawat Gizi doctorSHARE sambil menjalankan kehidupan sebagai dokter PTT.

Falbehe : Wawancara dr. Nidia

dr. Nidia: Jangan Fokus ke Daerah Besar Saja

Pengalaman melakukan pelayanan medis di wilayah terpencil bersama doctorSHARE sejak 2014 membuka matanya terhadap mereka yang

tersisih. Ia pun berbulat tekad mengabdi sebagai dokter PTT di Kei Besar, Maluku Tenggara. Bukan perkara mudah. Daya tahannya menghadapi

tekanan sangat diuji. Kerinduan melihat hidup masyarakat Kei yang lebih baik menguatkan hatinya untuk terus berjuang.

Nama Lengkap : Nidia LimargaTempat, Tanggal lahir : Bekasi, 20 Januari 1989

Riwayat PendidikanSD Maria Fransisca Bekasi (1995 2000)SMP Pax Ecclesia Bekasi (2000 2003) SMA Masdurini Bekasi (2003 2006) Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta (2006-2015)

Pengalaman Relawan doctorSHARE (2014 saat ini)Koordinator Pelayanan Medis doctorSHARE untuk Kei Besar, Maluku Tenggara (2015-2016)Dokter PTT Daerah di Puskesmas Elat, Kei Besar - Maluku Tenggara (Juli 2015 Juli 2016)

39

Gambaran perjalanan dari Jakarta ke Kei Besar?Penerbangan dari Jakarta ke Kei biasanya melalui Ambon, kadang harus transit dulu di Makassar. Waktu penerbangan Jakarta ke Makassar tiga jam, dari Makassar ke Ambon satu setengah jam. Lalu dari Ambon terbang lagi dengan pesawat perintis ke Kei Kecil selama satu jam.

Kei Kecil ke Kei Besar harus menempuh melalui jalur laut dengan kapal cepat. Secepat-cepatnya, miminal perlu waktu satu setengah jam. Itu pun jika kondisi laut tidak berombak. Biaya kapal cepat Rp 35.000 untuk tiket biasa dan Rp 50.000 untuk tiket eksklusif. Jadi kalau ada pasien rujukan dari Kei Besar ke RSU di Kei Kecil, paling tidak harus keluar uang minimal Rp 70.000 per orang. Sebagai petani dan nelayan, biaya ini terasa memberatkan sehingga mereka terpaksa menolak dirujuk.

Anda ditempatkan di Puskesmas Elat?Ya, Puskesmas Elat menjadi pusat rujukan dari puskesmas-puskesmas lainnya. Pasiennya sangat banyak dan aku satu-satunya dokter di sana. Aku bertanggung jawab atas 19 wilayah kerja puskesmas. Tapi karena akses dan transportasinya sulit, hanya aktif mendatangi sembilan hingga sepuluh wilayah kerja.

Tantangan-tantangan yang paling banyak Anda hadapi di lapangan?Tantangan terbesar adalah minimnya penyediaan alat, infrastruktur, dan obat-

obatan. Itu sebabnya sempat titip obat-obatan pada doctorSHARE. Tantangan lainnya adalah kondisi akses dan transportasi serta adaptasi dengan perawat dan petugas Dinas Kesehatan. Masyarakatnya welcome.

Kejadian yang paling berkesan selama bertugas di Kei Besar?Banyak. Misalnya kasus seorang bayi enam bulan penderita kurang gizi. Dia berasal dari selatan Kei Besar. Bayi ini demam dan mencret namun baru sampai puskesmas seminggu kemudian karena jaraknya jauh. Ketika datang, si anak sudah dehidrasi berat. Dari anamnesa, anak ini tidak bisa makan dan minum karena tidak ada uang. Keluarganya tidak mampu. Mereka hanya membeli