199569992 case-report
-
Upload
homeworkping4 -
Category
Education
-
view
130 -
download
3
Transcript of 199569992 case-report
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
Sirosis hati merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hati yang kemudian
menjadi jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hati.
Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hati
menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun
esofagus. World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783
000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati.
Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan
infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan
infeksi virus hepatitis B, C dan karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang
terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati
terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia Regional Office (SEARO) tahun
2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa
hepatitis B, sedangkan sekitar 480 000 orang pembawa hepatitis C (Widjaja and
Karjadi, 2011).
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa di
seluruh dunia, lebih dari 400 juta orang terinfeksi hepatitis B kronis. Setiap tahun,
10 sampai 30 juta terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena hepatitis B.
Prevalensi hepatitis B disetiap regional berbeda-beda. WHO menunjukkan bahwa
bagian-bagian dari Asia, Afrika dan Amerika Selatan memiliki tingkat tinggi
insident hepatitis B. CDC melaporkan bahwa lebih dari 1 juta orang Amerika
terinfeksi hepatitis B kronis. Setiap tahun 100.000 terjadi infeksi baru dan lima
ribu orang Amerika meninggal akibat infeksi hepatitis B (Nunez M., 2003).
Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan
adanya peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan
matriks ekstraselular dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu
yang berlangsung secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Walaupun sampai saat ini belum ada
bukti bahwa penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien
yang teratur pada fase dini diharapkan dapat memperpanjang status
kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah timbulnya komplikasi (Riley
et al, 2009).
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (PERKENI, 2006).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.
Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah
8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2006)
Insiden diabetes mellitus, terutama diabetes tipe-2 meningkat secara dramatis
di seluruh dunia karena peningkatan obesitas, gaya hidup dan populasi penuaan,
dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup besar.
Peningkatan prevalensi diabetes tipe-2 dan konsekuensi komplikasi dan gangguan
yang berkaitan merupakan tantangan kesehatan terbesar yang dihadapi dunia saat
ini (Soewondo, 2011).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sirosis Hepatis
A.1. Definisi
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif
(Sudoyo et al, 2009).
A.2 Etiologi
Etiologi dari sirosis hepatis di negara barat yang tersering akibat
alkoholik sedangkan di indonesia terjadi terutama akibat dari infeksi virus
hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di indonesia menyebutkan bahwa
virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C
30-40%, sedangkan 10-20% tidak diketahui penyebabnya dan termasuk
kelompok virus bukan B dan bukan C (non B-non C). Alkohol sebagai
penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensi datanya kecil sekali karena
belum ada datanya (Sudoyo et al, 2009).
Hepatistis B Hepatitis C Tidak diketahui0
10
20
30
40
50
Column1
A.3 Epidemiologi
Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan-
laporan dari beberapa penelitian seperti penelitian yang dilakukan RSUP
Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011 dengan jumlah penderita sebesar 185 dan
yang bisa dijadikan sampel sebesar 65 (36%) dengan kriteria sebagai berikut:
Variabel Jumlah penderita
sirosis
%
37-43 14 21.5
44-50 23 35.4
51-57 14 21.5
58-64 10 15.4
65-71 4 6.2
Dengan perbandingan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan
wanita, kurang lebih 5: 3. Sedangkan berdasarkan penelitian di RS DR.
Sarjito Yogyakarta sebesar 4,1 % dari pasien yang dirawat di bagian ilmu
penyakit dalam dengan kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004 (Regina et al,
2013).
A.4 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi sirosis hati atas 3 jenis,
yaitu:
1. Mikronodular ( besar nodul < 3mm)
2. Makronodular (besar nodul > 3mm)
3. Campuran (memperlihatkan gambaran mikro dan makronodular)
Secara fungsional sirosis hati terbagi atas:
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten sirosis hati. Pada stadium kompensata
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan
pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan active sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala
sudah timbul, misalnya: ascites, edema, dan ikterus.
(Sutadi, 2003)
Klasifikasi berdasarkan criteria Child-pugh:
Skor/ Parameter 1 2 3
Bilirubin (mg%) <2 2 - <3 >3
Albumin (gr%) >3.5 2.8 - >3.5 >2.8
Prothrombin
time (quick%)
>70 40 - >70 >40
Asites 0 Minimal-Sedang
(+) - (++)
Banyak
(+++)
Hepatic
Enchepalopati
Tidak ada St I dan St II St III dan IV
A.5 Patologi
Perlemakan hati alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola
lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti
hepatosit ke membran sel
Hepatitis alkoholik
Fibrosis perivenuler berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat
masuknya alkohol dan destruksi hepatosit berkepanjangan. Fibrosis
yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cidera hati dan merangsang
pembentukan kolagen.
Di daerah periportal dan perisentral timbul septal jaringan ikat
seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena
centralis kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus.
Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil,
berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati metabolik
a. Hipoksia sentrilobular
Metabolisme asetildehid etanol meningkatkan konsumsi
oksigen lobuler, terjadi hipoksemia relative dan cedera sekunder di
daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah
perisentral).
b. Infiltrasi/ aktivitas neutrofil
Terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit
yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi neutrofil
dan hepatosit melepaskan intermediet oksigen relatife, proteosa,
dan sitokin
c. Formasi acetaldehyde-protein adducts
Berperan sebagai neoantigen dan menghasilkan limfosit yang
tersensitasi serta antibiotik spesifik yang menyerang hepatosit
pembawa antigen
d. Pembentukan radikal bebas
Oleh jalur alternative dari metabolisme etanol disebut sistem
yang mengoksidasi enzim mikrosomal.
(Sudoyo et al, 2009).
A.7 Manifestasi Klinis
Pasien dengan sirosis dapat datang ke dokter dengan sedikit keluhan,
dapat tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan penyakit lain.
Beberapa keluhan dan gejala yang sering timbul pada sirosis antara lain: kulit
berwarna kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal, mual,
penurunan berat badan, nyeri perut dan mudah berdarah. Pasien sirosis juga
dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi dari sirosis hatinya
(Cheney et al, 2004).
Pada beberapa pasien, komplikasi ini dapat menjadi keluhan yang
membawanya pergi ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata
selama bertahun-tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata. Sirosis
dekompensata dapat dikenal dari timbulnya bermacam komplikasi seperti
ikterus, perdarahan varises, asites, atau ensefalopati. Sesuai dengan
konsensus Braveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan menjadi empat
stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan perdarahan
varises:
Stadium 1: tidak ada varises, tidak ada asites,
Stadium 2: varises, tanpa ascites,
Stadium 3: ascites dengan atau tanpa varises dan
Stadium 4: perdarahan dengan atau tanpa ascites.
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata,
semetara stadium 3 dan 4 dimasukkan dalam kelompok sirosis
dekompensata.
Pada pasien ini, didapatkan adanya ascites dan adanya perdarahan yang
terbukti dengan adanya muntah darah dan BAB berwarna hitam, juga adanya
keluhan nafsu makan berkurang, mual, sehingga memperkuat diagnosis
sirosis hepatis dekompensata (Lee, 2009).
A.8 Diagnosis
Penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium,
dan USG untuk membedakan dengan hepatitis kronik aktif yang berat. Pada
stadium dekompensata diagnosis tidak sulit untuk ditegakkan dikarenakan
gejala dan tanda klinis sudah tampak.
1. Anamnesa
Pada anamnesa perlu ditanyakan riwayat minum-minuman beralkohol,
penggunaan narkoba suntik, dan riwayat hepatitis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang khas pada pasien dengan sirosis hepatis antara
lain (Sudoyo et al, 2009):
a. Spider naevi
b. Eritema palmaris
c. Ginekomastia
d. Fetor hepatikum
e. Splenomegali
f. Asites
g. Ikterik
3. Pemeriksaan Laboratorium
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium
antara lain (Sudoyo et al, 2009):
a. SGOT dan SGPT meningkat tapi tidak terlalu tinggi, dimana biasanya
SGOT>SGPT
b. Alkaline fosfatase meningkat
c. Bilirubin meningkat
d. Albumin menurun sedangkan globulin meningkat
e. Waktu protrombin memanjang
f. Natrium serum menurun
g. Kelainan hematologi meliputi anemia, trombositopenia dan
leukopenia
4. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sementara menjadi diagnosis kerja,
maka dapat dilakukan rencana pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Pemeriksaan endoskopi
Varises esofagus dapat ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
endoskopi. Sesuai dengan konsensus Baveno IV, bila pada pemeriksaan
endoskopi pasien sirosis tidak ditemukan varises, dianjurkan pemeriksaan
endoskopi ulang dalam 2 tahun. Bila ditemukan varises kecil, maka
dilakukan endoskopi dalam 1 tahun, dan jika ditemukan varises besar,
maka secepatnya dilakukan tindakan preventif untuk mencegah
perdarahan pertama. Endoskopi direncanakan untuk melihat penyebab
terjadinya hematemesis dan melena. Umumnya kedua hal tersebut
disebabkan pecahnya varises esofagus. Apabila terjadi varises esofagus
maka, hal ini akan mendukung diagnosis sirosis hepatis dekompensata,
karena pecahnya varises esofagus merupakan manifestasi dari hipertensi
portal.
b. Biopsi hati
Pemeriksaan biopsi hati merupakan gold standard untuk menegakkan
diagnosis sirosis hepatis. Karena pada kasus tertentu sulit untuk
membedakan antara hepatitis kronik aktif yang berat dengan suatu
keadaan sirosis hepatis dini. Bila pada pemeriksaan biopsi hati didapatkan
keadaan fibrosis dan nodul-nodul regenerasi sel hati, maka diagnosis
sirosis hepatis dapat ditegakkan dengan pasti.
c. USG
Pemeriksaan dengan USG dilakukan untuk melihat struktur hati,
mendeteksi spelnomegali, nodul dalam hati dan cairan abdomen.
A.9 Tata Laksana
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi:
Pada sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B dapat dicoba
dengan interferon alfa dan lamivudin.
Pada sirosis alkoholik, maka pengobatan utama adalah
menghentikan secara total konsumsi alkohol oleh pasien.
Pada hepatitis autoimun dapat diberikan steroid atau imunosupresif
Pada sirosis akibat hepatitis C kronik maka kombinasi interferon
dan ribavirin merupakan terapi standar.
d. Pengobatan fibrosis hati
Pengobatan antifibrotik sampai saat ini lebih mengarah pada
peradangan dan tidak terhadap fibrosis.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti:
a. Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
Istirahat
diet rendah garam: untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka
penderita harus dirawat.
Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari
1kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik
adalah hipokalemia (khususnya penggunaan furosemid) dan hal ini dapat
mencetuskan ensefalopati hepatik, maka pilihan utama diuretik adalah
spironolakton, dan dimulai dengan dosis rendah 100-200mg, serta dapat
dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid
20-40mg/hari (dengan pengawasan terhadap kadar kalium darah). Respon
diuretik bisa dimonitor dengan penurunan BB + 0,5kg/hari tanpa edema kaki
atau + 1kg/hari dengan edema kaki.
b. Peritonitis bakterial spontan
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan
parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan
asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati
stadium kompensata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyakit ini timbul
selama masa rawatan.
c. Hepatorenal syndrome
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering
dinomorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih
dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan resusitasi sampai
keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik, Vitamin
K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka
menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan
Tindakan Skleroterapi / Ligasi atau Oesophageal Transection.
d. Ensefalophaty hepatic
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit
hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian,
gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya enselopati Hepatik
pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus, antara lain: infeksi,
perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang Hepatotoxic.
e. Perdarahan gastrointestinal
Penyebab dari perdarahan gastrointestinal yang paling sering pada pasien
sirosis adalah perdarahan dari varises esofagus yang merupakan manifestasi
dari hipertensi portal dan penyebab dari sepertiga kematian. Pengobatan yang
dilakukan pada keadaan akut adalah tamponade dengan alat pipa Sengstaken-
Blakemore dan Minessota. Selanjutnya dapat dilakukan tindakan ligasi
endoskopi. Sedangkan untuk pencegahan dan penatalaksanaan setelah
perdarahan dapat diberikan preparat propanolol untuk menurunkun hipertensi
portal.
A.10 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien sirosis berdasarkan Ethical pada
tahun 2010.
Edema dan asites
Semakin beratnya sirosis penurunan aliran darah melalui
vena porta sirkulasi splanik dan sistemik vasodilatasi
pengiriman sinyal ke ginjal retensi garam dan air dalam tubuh
disertai aktivasi saraf simpatis ginjal penurunan aliran darah ke
ginjal dan laju filtrasi glomerulus air terkumpul ditungkai bawah
saat berdiri dan dalam rongga abdomen antara dinding perut dan
organ dalam.
Terjadi sekitar 10% pasien sirosis. Setelah asites terjadi harapan
hidup 5 tahun berkurang 50%. Bila asites refrakter terhadap
pengobatan maka hanya 40-60% yang bertahan hidup selama 2
tahun.
Tatalaksana yang dianjurkan 100-500 mg spironolakton dan
furosemid 20-40 mg/hari serta membatasi konsumsi garam.
Spontaneous Bacterial Peritonitis
Infeksi cairan asites oleh pertumbuhan kuman berlebih disertai
translokasi melalui dinding usus yang permeabilitasnya meningkat.
Bakteri penyebab terutama bakteri gram (-) tapi kadang-kadang
ditemukan bakteri (+) yaitu Staphilococcus aureus.
Beberapa pasien tidak merasakan keluhan sama sekali, namun
sebagian mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tidak
diperut dan asites memburuk.
Diagnosis pasti dengan analisis cairan asites neutrofil absolut
> 250/mm3
Terapi yaitu dengan antibiotik cefotaxim i.v, amoksilin, atau
aminoglikosid.
Perdarahan varises esofagus
Sirosis hepatis aliran dalam hati menghambat aliran darah
dari usus kembali ke jantung peningkatan tekanan vena portal
(hipertensi portal) vena-vena dibawah esofagus dan bagian atas
lambung akan melebar varises esofagus dan lambung bila
tekanan portal meningkat terus perdarahan varises (hematemesis,
melena)
Sindrom hepatorenal
Disebabkan oleh hipertensi portal vasodilatasi splanik dan
sistemik penurunan volume darah efektif (hipovolemi relatif)
penurunan aliran darah ke ginjal (pre-renal acute kidney injuri)
gangguan fungsi ginjal akut oliguri, peningkatan ureum dan
kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Tatalaksana dengan mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
dana mengatur keseimbangan antara garam dan air.
Encephalopati Hepatik
Kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati. Mula-mula ada
ganggun tidur ( insomnia dan hiperinsomnia), selanjutnya dapat
timbul defisit neurologis, gangguan kesadaran selanjutnya koma.
Mekanismenya sebagian protein akan dicerna oleh bakteri
normal usus bahan toxic yang terbawa dari usus melalui vena
porta tidak didetoksifikasi oleh hati karena adanya kerusakan sel hati
dan beberapa bagian darah ada yang tidak dapat masuk ke sel hati
tetapi langsung ke vena lainnya hasil pencernaan sebagian akan
diserap kembali ke dalam tubuh, salah satunya amonia yang
berbahaya terhadap otak bahan toxic terkumpul cukup banyak
menganggu fungsi otak.
Hal ini terjadi pada 45% pasien sirosis. Bentuk subklinis EH
mengenai sekitar 50-80% pasien dan tidak mudah didiagnosis .
Laktulosa membantu pasien mengeluarkan amonia. Neomisis
untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia. Diet protein
dikurangi sampai 0,5 gr/kg BB/hari, terutama diberikan asam amino
rantai cabang.
Diagnosis EH berdasarkan criteria West-heaven
Stadium Kesadaran Intelektualitas Temuan
Neurologis
0 Normal Normal Pemeriksaan
normal,
mungkin
gangguan
psikomotor
1 Berkurangnya
kesadaran,
ringan
Atensi
memendek
Asteriksis
ringan atau
tremor
2 Letargis Disorientasi,
perilaku
inapropriate
Asteriksis berat
dan bicara
tersendat
3 Somnolen,
tetapi dapat
dibangunkan
Disorientasi
berat, perilaku
aneh
Rigirditas
muscular dan
klonus,
hiperrefleksia
4 Koma Koma Deserebrasi
A.11 Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyebab lain
yang menyertai.
Klaisfikasi berdasarkan child-pugh dapat menilai prognosa pasien
sirosis. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan
Child A, B, dan C berturut-turut sebesar 100%, 80%, dan 45% (Sudoyo et al,
2009).
BAB IV
PEMBAHASAN
Dasar diagnosa pada kasus ini adalah sirosis hepatis et causa hepatitis kronis
dimana berdasarkan penelitian didapatkan bahwa hepatitis B kronis dan hepatitis
C kronis menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dalam beberapa waktu. Hepatitis
kronis dapat didefinisikan sebagai penyakit terus tanpa perbaikan selama
setidaknya enam bulan. Kebanyakan orang (60% -80%) yang telah terinfeksi
kronis hepatitis tidak memiliki gejala. Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis
hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC). Sirosis terkait HCV menyebabkan
kegagalan hati dan kematian pada sekitar 20% -25% kasus sirosis. Virus hepatitis
B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit melalui
mekanisme imunologis. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon
imunologis terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel
radang antara lain limfosit T yaitu sel NK (Non spesific Killer) dan sel T
sitotoksik. Antigen virus, terutama HbcAg dan HbeAg, yang diekspresikan pada
permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoptotein HLA kelas I,
mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk isis oleh limfosit T.
Sel hepatosit mengalami lisis akibat limfosit T sehingga terjadi proses apoptosis
sel. Sel yang berapoptosis membentuk jaringan fibrosis sel hepatosit sehingga
terjadi sirosis.
Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan fungsi sebagai berikut:
1. Menyimpan glikogen
2. Mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
3. Glukoneogenesis
4. Membentuk banyak senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme
karbohidrat.
Pada pasien ini keadaan glukosa yang tinggi dalam darah bisa di karenakan
fungsi hepar yang sudah tidak bisa normal kembali di karenakan terjadinya sirosis
pada hati. Hepar berperan penting dalam mempertahankan konsentrasi glukosa
dalam darah dan mengambilnya dari darah kemudian menyimpannya apabila
terjadi kelebihan kadar glukosa dalam darah.
Varises esofagus terjadi karena sirosis hepatis aliran dalam hati
menghambat aliran darah dari usus kembali ke jantung peningkatan tekanan
vena portal (hipertensi portal) vena-vena dibawah esofagus dan bagian atas
lambung akan melebar varises esofagus dan lambung bila tekanan portal
meningkat terus perdarahan varises (hematemesis, melena)
Asites pada pasien disebabkan karena hati mengalami perubahan dalam
memetabolisme protein plasma sehingga terjadi penurunan metabolisme protein
plasma dan menyebabkan cairan intraseluler keluar dari jaringan interstitiel
sehingga terjadi edem dan asites.
Pada pasien ini di berikan terapi transfusi darah karena terjadi gejala
hematemesis dan melena sehingga HB turun. Diberikan pula obat koagulan antara
lain vit K dan asam traneksamat. Furosemid sebagai diuretic untuk membantu
pengeluaran cairan dalam tubuh pasien seperti asites dan edema tungkai.
Ksrmenghemat pengeluaran kalium yang diakibatkan oleh obat diuretik.
Spironolaktan diuretic hemat kalium berfungsi sebagai pendukung furosemide
dan mengehemat pengeluaran kalium dalam tubuh. Propanolol untuk
mengurangi hipertensi porta. Curcuma berfungsi sebagai hepatoproktetor.
Cefotaxim berfungsi sebagai antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder pada
pasien yaitu SBP. Antasid sebagai penetral asam lambung dan ranitidin sebagai
mengurangi pengeluaran asam lambung sehingga menurunkan keluhan pasien
beruapa mual, nyeri ulu hati, dan perut terasa senep.
DAFTAR PUSTAKA
Soewondo P., 2011. Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in
Indonesia: Results from the International Diabetes Management Practices
Study (IDMPS). J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Di Indonesia. Jakarta : PB PERKENI
Regina V., Arnelis, Edward Z., 2013. Hubungan Kadar Limfosit Total dengan
Prognosis Penyakit pada Penderita Sirosis Hati di Bagian Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas.
2013; 2(2).
Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009.
18(3):299-302.
Ethical Digest. 2010. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. No. 72.
Sudoyo, Aru W., dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid 1.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sutadi, Maryani S., 2003. Sirosis Hepatis. USU digitaly libary.
Nunez M. Treatment of Chronic Hepatitis B in the Human Immunodeficiency
Virus-Infected Patient: Present and Future.Clin Infect Dis. 2003;37:1678-
1685
Widjaja F., Karjadi T., 2011. Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien
Sirosis Hati. Volum: 61, Nomor: 10 . Jurnal Indonesia Medical Association.