188306903 case-dss
-
Upload
homeworkping2 -
Category
Education
-
view
385 -
download
1
Transcript of 188306903 case-dss
1
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites BAB I
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue melalui perantara artropoda (nyamuk) spesies Aedes. Virus dengue ini terdiri dari 4
serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini terdapat pada anak-anak dan
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari
pertama. Uji tourniquet akan positif dengan atau tanpa gejala pendarahan seperti petechiae,
epistaksis, hematemesis, melena, trombositopenia, hematokrit meningkat dll.1
Angka kematian pada awal-awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi.
Kemudian dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun
sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009. Walaupun angka kematian sudah menurun hingga
dibawah 1 % tetapi jumlah absolute kematian semakin meningkat lima tahun terakhir. Selain itu,
walaupun angka kematian sudah dibawah 1% tetapi kebanyakan provinsi (61,3%) masih diatas
1%. Penting bagi kita untuk memahami demam berdarah dengue dan manifestasinya agar
menurunkan angka kejadian dan angka kematian karena DBD di kemudian hari.2
Dengue Shock Syndrome adalah komplikasi yang berbahaya dari infeksi dengue karena
memilikki angka mortalitas yang tinggi. Infeksi dengue yang berat dapat terjadi setelah infeksi
2
sekunder oleh serotype yang berbeda. Peningkatan permeabilitas vascular, bersamaan dengan
disfungsi myocardial, dan dehidrasi, memilikki kontribusi terjadinya syok yang berakhir dengan
kegagalan organ. Oleh karena itu, DSS memerlukan perawatan segera dalam dunia medis. Tidak
ada metode spesifik untuk memprediksi progresifitas DSS. Manajemen cairan yang hati-hati dan
terapi suportif menjadi terapi utama dalam penanganan kasus ini.3
BAB II
LAPORAN KASUS
II. 1. IDENTITAS PASIEN
No RM : 00711069
Nama : Azzahra Auliasari
Tempat/Tgl lahir : Jakarta/18/02/2006
Umur : 7 th 7 bl
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sengon No 20 Cinere limo Depok RT/RW 01/08
Propinsi : Jawa Barat
Telepon : 7548561
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan : Tidak/Belum Sekolah
Pekerjaan : Dibawah Umur
Status Perkawinan : Belum Kawin
Jaminan Pembayaran : Askes Wajib – Sosial
3
II. 2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Lemas sejak 1 jam lalu SMRS
RPS: Os merasa lemas secara tiba – tiba sejak 1 jam lalu SMRS. Pada awalnya os demam sejak 4
hari SMRS. Demam dirasakan terus menerus dan tinggi. Kemudian dibawa ke IGD 2 hari SMRS
dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dikatakan hasilnya normal. Kemudian os hanya
diberikan ranitidin dan tempra. 1 hari sebelum SMRS os merasa perutnya sakit di daerah kiri atas
disertai mencret 2x. Kemudian os diberi lansoprazol dan nyeri nya sedikit berkurang. Nafsu
makan turun, makan hanya sedikit. Tidak terdapat bintik merah maupun mimisan atau tanda
perdarahan lainnya menurut orang tua os. 1 jam yang lalu os tiba – tiba lemas dan keringat
dingin. Os kesadarannya mulai menurun, tetapi bila ditepuk dan dipanggil masih dapat
menjawab tetapi responnya lama. Kemudian os dibawa lagi ke IGD dan langsung dicarikan
tempat di PICU tetapi penuh, akhirnya os ditempatkan di ruang ICU.
II. 3. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran: GCS 14
Keadaan Umum: sedang
Nadi: 140 x/menit
RR: 42 x/menit
Suhu: 38.2 °C
Berat badan: 32 kg
Tinggi badan: 120 cm
Kepala: Normocephali
Mata: konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, pupil isokor
Bibir: kering
Leher: dalam batas normal
Thoraks: Suara napas vesikuler kiri, suara napas melemah sebelah kanan, rh-/-, wh-/-
Gerak paru kanan tertinggal saat inspirasi
BJ I-II reg murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: palpasi supel
Turgor kulit: baik
4
Ascites: shifting dullness (+)
Ekstremitas: pengisian kapiler >3detik
Akral dingin
II. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai
Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin Hematokrit Lekosit
Trombosit Eritrosit
Automatic Automatic Automatic
Automatic Automatic
18.8
54
7.4
65
7.08
g/dL %
Ribu/ul
Ribu/ul Juta/uL
10.7 – 14.7 31 – 43
5.0 – 14.5
184 – 488 3.80 – 5.80
VER/HER/KHER/RDW
VER HER KHER
RDW HITUNG JENIS
Basofil Eosinofil Netrofil
Limfosit Monosit
Luc KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT SGPT
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah Kreatinin Darah
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu ELEKTROLIT
DARAH
Natrium (Darah) Kalium (Darah)
Klorida (Darah) SERO – IMUNOLOGI
Automatic Automatic Automatic
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic
IFCC, 37°C IFCC, 37°C
Urease
Jaffe No Deprot
Hexokinase
ISE ISE
ISE
76.7 26.6 34.7
14.1
1 0
48
30 10
10
178
55
51
0.5
118
126
3.87
109
fl pg g/dl
%
% % %
% %
%
U/I U/I
mg/dl mg/dl
mg/dl
mmol/l mmol/l
mmol/l
72.0 – 88.0 23.0 – 31.0 26.0 – 34.0
11.5 – 14.5
0 – 1 1 – 3
50 – 70
20 – 40 2 – 8
<4.5
0 – 34 0 – 40
0 – 48
0.0 – 0.9
60 – 100
135 – 147 3.10 – 5.10
95 – 108
5
Anti Dengue IgG Anti Dengue IgM Golongan Darah
Rapid Rapid
Aglutination
positive
negative B/Rhesus
(+)
Negative Negative
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1 TATALAKSANA
1. Evaluasi awal pada pasien pre syok
2. Apakah ada kondisi yang reversible?
3. Anamnesis untuk cari sebab syok
4. Memberikan fluid challenge test
5. Mendapatkan Hasil Lab yang Tepat
6. Lakukan pencitraan dengan tepat
7. Penanganan pada syok penyebab
Tanggal 13/9/2013
6
1. Kaji tanda –tanda vital
2. Monitor tanda-tanda dehidrasi
3. Okesigenasi
4. RL 500m
5. Asering 500ml
6. Lanjut voluven 320cc/jam
7. Cek TTV bila ada perbaikan Asering dari 10cc/kgBB/jam menjadi 7cc/kgBB/jam
8. Konsul dr spesialis Anank :
a. Dopamine 5 meq/kgBB
b. Dobutamin 5 meq/kgBB
c. Cek albumin dan hemostasis
9. Diberikan OMZ 1x 20mg, bactesyn 4 x 750mg, farmadol 4 x 400 mg
Tanggal 14/9/2013
1. Dobutamin 5mikro stop
2. Ganti oksigen dengan nasal kanul 3L/menit
3. Pasien puasa, NGT dialirkan
4. RL
5. Diberikan OMZ 1x 20mg, bactesyn 4 x 750mg, farmadol 4 x 400 mg
6. Diberikan fentanyl 50 mikro per hari dan midazolam 2 mikro/kgBB
Tanggal 15/ 9/ 2013
1. Diberikan OMZ 1x 20mg, bactesyn 4 x 750mg, farmadol 4 x 400 mg
2. RL 83 cc/jam
II. 2 Monitoring saat ICU
TANDA VITAL
7
PEMANTAUAN HASIL LAB
13 September 2013 (pukul 08.45)
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai
Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin Hematokrit
Lekosit Trombosit
Eritrosit
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic
18.8
54
7.4 65
7.08
g/dL %
Ribu/ul Ribu/ul
Juta/uL
10.7 – 14.7
31 – 43
5.0 – 14.5 184 – 488
3.80 – 5.80
8
VER/HER/KHER/RDW
VER HER
KHER RDW
HITUNG JENIS
Basofil Eosinofil
Netrofil Limfosit
Monosit Luc KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT
SGPT FUNGSI GINJAL
Ureum Darah
Kreatinin Darah DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu ELEKTROLIT
DARAH
Natrium (Darah)
Kalium (Darah) Klorida (Darah) SERO – IMUNOLOGI
Anti Dengue IgG Anti Dengue IgM
Golongan Darah
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic Automatic
IFCC, 37°C
IFCC, 37°C
Urease
Jaffe No Deprot
Hexokinase
ISE
ISE ISE
Rapid Rapid
Aglutination
76.7 26.6
34.7
14.1
1 0
48
30
10
10
178
55
51
0.5
118
126
3.87 109
positive
negative
B/Rhesus (+)
fl
pg
g/dl %
% %
% %
% %
U/I
U/I
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mmol/l
mmol/l mmol/l
72.0 – 88.0 23.0 – 31.0
26.0 – 34.0 11.5 – 14.5
0 – 1 1 – 3
50 – 70 20 – 40
2 – 8 <4.5
0 – 34
0 – 40
0 – 48
0.0 – 0.9
60 – 100
135 – 147
3.10 – 5.10 95 – 108
Negative Negative
13 September 2013 (pukul 11.40)
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
HEMOSTASIS
APTT Kontrol APTT PT
Kontrol PT INR
KIMIA KLINIK
Mekanik
Mekanik
Mekanik
68.8
34.2 19.9
13.7 1.63
Detik Detik Detik
Detik
31.8 – 43.7 -
11.7 – 15.1
- -
9
FUNGSI HATI
Albumin Analisa Gas Darah
pH PCO2
PO2 BP HCO3
O2 Saturasi BE (Base Excess)
Total CO2
BCG
ISE ISE
ISE ISE ISE
ISE ISE
ISE
3.40
7.411 17.7
160.8
753.0 11.0
99.1
-10.7
11.5
g/dl
mmHg
mmHg mmHg mmol/L
% mmol/L
mmol/L
3.40 – 4.80
7.370 – 7.440 35.0 – 45.0
83.0 – 108.0 -
21.0 – 28.0
95.0 – 99.0 -2.5 – 2.5
19.0 – 24.0
13 September 2013 (pukul 13.55)
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai
Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit Lekosit Trombosit
Eritrosit
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic
13.8
39 5.0 28
5.15
g/dL
% Ribu/ul Ribu/ul
Juta/uL
10.7 – 14.7
31 – 43 5.0 – 14.5 184 – 488
3.80 – 5.80
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER KHER RDW
HITUNG JENIS
Basofil
Eosinofil Netrofil Limfosit
Monosit Luc
URINALISA Urobilinogen Protein urin
Berat Jenis Bilirubin
Keton Nitrit pH
Lekosit Darah/HB
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic Automatic
Strip Strip
Strip Strip
Strip Strip Strip
Strip Strip
76.1
26.7 35.1
14.3
2
0
44
37
11
7
0.2
Negative
1.015 Negative
1+ Negative
6.0
Negative Negative
fl
pg g/dl %
%
% % %
% %
E.U./dl
-
72.0 – 88.0
23.0 – 31.0 26.0 – 34.0 11.5 – 14.5
0 – 1
1 – 3 50 – 70 20 – 40
2 – 8 <4.5
<1
Negative
1.005 – 1.030 Negative
Negative Negative 4.8 – 7.4
Negative Negative
10
Glukosa Urin/Reduksi Warna Kejernihan
SEDIMEN URIN
Epitel
Lekosit Eritrosit Silinder
Kristal Bakteri
Lain-lain
Strip Strip Strip
Strip
Strip Strip Strip
Strip Strip
Strip
Negative Yellow Clear
1+
3 - 5 0 – 2
Negative
Negative Negative
Negative
/LPB /LPB /LPK
Negative Yellow Clear
0 – 5 0 – 2
Negative
Negative Negative
Negative
14 September 2013 (pukul 00.50)
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai
Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin Hematokrit
Lekosit Trombosit
Eritrosit
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic
15.0
46
7.7 55
5.00
g/dL %
Ribu/ul Ribu/ul
Juta/uL
10.7 – 14.7
31 – 43
5.0 – 14.5 184 – 488
3.80 – 5.80
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER KHER RDW
HITUNG JENIS
Basofil Eosinofil
Netrofil Limfosit
Monosit Luc
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic Automatic
92.0
33.0
32.9 13.9
2
1
56 15
24
4
fl
pg g/dl %
% %
% %
% %
72.0 – 88.0
23.0 – 31.0 26.0 – 34.0 11.5 – 14.5
0 – 1 1 – 3
50 – 70 20 – 40
2 – 8 <4.5
14 September 2013 (pukul 06.20)
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai Rujukan
11
HEMATOLOGI
Hemoglobin Hematokrit
Lekosit Trombosit
Eritrosit
Automatic Automatic
Automatic Automatic
Automatic
16.5
44
8.2 20
6.03
g/dL %
Ribu/ul Ribu/ul
Juta/uL
10.7 – 14.7
31 – 43
5.0 – 14.5 184 – 488
3.80 – 5.80
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER KHER RDW
HITUNG JENIS
Basofil
Eosinofil Netrofil Limfosit
Monosit Luc
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic
Automatic Automatic Automatic
Automatic Automatic
73.5
27.5 37.4
13.7
4
0
40
36
5 18
fl
pg g/dl %
%
% % %
% %
72.0 – 88.0
23.0 – 31.0 26.0 – 34.0 11.5 – 14.5
0 – 1
1 – 3 50 – 70 20 – 40
2 – 8 <4.5
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
IV.1 ANATOMI SISTEM SIRKULASI
Hanya dalam beberapa hari setelah konsepsi sampai kematian, jantung terus menerus
berdetak. Dalam sekitar tiga minggu setelah pembuahan, bahkan sebelum ibu dapat memastikan
dia hamil, jantung mudigah yang sedang berkembang sudah mulai berfungsi. Hal itu penting
karena system sirkulasi adalah system transportasi tubuh. System sirkulasi sendiri terdiri dari tiga
komponen dasar :
1. Jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.
12
Darah, seperti cairan lain, mengalir dari daerah bertekanan yang lebih tinggi ke daerah
yang bertekanan lebih rendah.
2. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan kemudian mengembalikannya ke jantung.
3. Darah berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang akan disalurkan
dilarutkan atau diendapkan tubuh. Darah berjalan secara kontinu melalui system sirkulasi
ke dan dari jantung melalui dua lengkung vaskuler (pembuluh darah) terpisah, keduanya
berawal dari jantung dan berakhir di jantung. Sirkulasi paru terdiri dari lengkung tertutup
pembuluh-pembuluh yang mengangkat darah antara jantung dan paru, sedangkan
sirkulasi sistemik terdiri dari pembuluh-pembuluh yang mengangkut darah antara jantung
dan system organ. 4
IV. 2 FISIOLOGI HEMODINAMIKA
Hemodinamika Jantung
Prinsip penting yang menentukan arah aliran darah adalah aliran cairan dari daerah
bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Tekanan yang bertanggung jawab terhadap aliran
darah dalam sirkulasi normal dibangkitkan oleh kontraksi otot ventrikel. Ketika otot berkontraksi
darah terdorong dari ventrikel ke aorta selama periode dimana tekanan ventrikel kiri melebihi
tekanan aorta. Bila kedua tekanan menjadi seimbang katup aorta akan menutup dan keluaran dari
ventrikel kiri terhenti. Darah yang telah memasuki aorta akan menaikkan tekanan darah
pembuluh darah tersebut. Akibatnya terjadi perbedaan tekanan yang akan mendorong darah
secara progresif ke arteri, kapiler, dan ke vena. Darah kemudian kembali ke antrium kanan
13
karena tekanan dalam kamar ini lebih rendah dari tekanan vena. Perbedaan tekanan juga
bertanggung jawab terhadap aliran darah dari arteri pulmonalis ke paru dan kembali ke antrium
kiri. Perbedaan tekanan dalam sirkulasi pulmonal secara bermakna lebih rendah dari tekanan
sirkulasi sitemik karena aliran di pembuluh darah pulmonal lebih rendah.
Tekanan Darah dan Sistem Regulasi
Faktor –faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah jantung, tekanan
pembuluh darah perifer, dan volume atau aliran darah. Kontrol terhadap tekanan darah
bergantung pada sensor-sensor yang secara terus menerus mengukur tekanan darah dan
mengirim informasinya ke otak. Otak mengintergrasikan semua informasi yang masuk dan
berespon dengan mengirim rangsangan eferen ke jantung dan sistem pembuluh melalui saraf-
saraf otonom. Berbagai hormon dan mediator kimiawi lokal berperan dalam mengontrol tekanan
darah.
Curah Jantung dan Kontrolnya
Curah jantung (Cardiac Output) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap-tiap
vemtrikel per menit. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung (denyut
per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Dimana volume
sekuncup dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas otot jantung.
Kecepatan denyut jantung rata-rata adalah 70 kali/ menit, yang ditetukan oleh irama
nodus SA, sedangkan volume sekuncup rata-rata adalah 70 ml per denyut., sehingga curah
jantung rata-rata adalah 4.900 ml/ menit atau mendekati 5 liter/ menit.
Volume sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena dan aktivitas simpatis.
Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup, jumlah darah
yang dipompa ke luar oleh tiap-tiap ventrikel sekali berdenyut. Terdapat dua jenis control yang
mempengaruhi volume sekuncup; (1) control intrinsic yang berkaitan dengan seberapa banyak
aliran balik vena dan (2) control ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada
jantung. Kedua faktor meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kekuatan kontraksi
jantung.
Peningkatan volume diastolic akhir menyebabkan peningkatan volume sekuncup.
14
Semakin banyak darah yang dikembalikan ke jantung, semakin banyak darah yang
dipompa oleh jantung. Hubungan langsung antara volume diastolic akhir dan volume sekuncup
membentuk control intrinsic terhadap volume sekuncup yang mengacu pada kemampuan inheren
jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar pengisian saat diastole, semakin
besar volume diastolic akhir dan jantung semakin teregang. Semakin teregang jantung, semakin
meningkat panjang serat otot awal sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya
yang lebih kuat pada kontraksi jantung berikutnya sehingga volume sekuncup semakin besar.
Hubungan intrinsic ini dikenal dengan hukum Frank-Starling. Tingkat pengisian itu disebut
sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan kepada jantung sebelum
kontraksi dimulai.
Kontraksi jantung meningkat oleh stimulasi simpatis.
Selain control intrinsic, volume sekuncup juga menjadi subjek bagi control ekstrinsik
oleh faktor-faktor yang berasal dari luar jantung, yang terpenting diantaranya adalah efek saraf
simpatis jantung dan epinefrin. Stimulasi simpatis dan epinefrin meningkatkan kontraktilitas
jantung, yang mengacu pada kekuatan kontraksi pada setiap volume diastolic akhir. Dengan kata
lain, kekuatan kontraksi jantung semakin bertambah dan memeras lebih banyak darah yang
dikandungnya, sehingga ejeksinya lebih sempurna apabila mendapat stimulasi simpatis.
Peningkatan kontraktilitas ini disebabkan oleh influx Ca2+ yang dicetuskan oleh norepinefrin
dan epinefrin. Tambahan Ca2+ di sitosol memungkinkan serat-serat miokardium menghasilkan
gaya yang lebih kuat daripada gaya yang dihasilkan tanpa stimulasi simpatis.
Peningkatan tekanan darah meningkatkan beban kerja jantung.
Ketika berkontraksi, ventrikel harus menghasilkan cukup tekanan untuk mengatasi
tekanan darah di arteri-arteri besar agar katup-katup semilunaris dapat terbuka. Tekanan darah
arteri disebut juga sebagai afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung
setelah kontraksi dimulai.4
15
IV. 3 SYOK
Syok adalah keadaan penurunan perfusi jaringan sistemik yang berat, ditandai dengan
penurunan pengiriman oksigen seluler dan pemanfaatan serta penurunan pengeluaran limbah
produk sampingan metabolisme. Hipoksia jaringan progresif menyebabkan membran sel
kehilangan integritas, terjadi metabolisme anaerob, dan kehilangan fungsi pompa ion yang
bergantung energy, dan gradien listrik. Produksi energi mitokondria mulai gagal. Kematian sel
yang terlokalisir diikuti dengan kerusakan berbagai organ yang akhirnya terjadi kematian
organisme.
Patofisiologi Syok
Salah satu metode untuk mengevaluasi shock adalah mengingat faktor penentu tekanan
darah sistemik. Tekanan darah ditentukan oleh rumus BP (Blood Pressure) = resistensi pembuluh
darah sistemik (SVR) × cardiac output (CO), di mana CO = denyut jantung (HR) × stroke
volume (SV). Volume sekuncup (SV) = Volume akhir diastolic (EDV) - volume akhir sistolik
(ESV). EDV adalah volume ventrikel penuh sebelum kontraksi sistolik, rata –rata sekitar 100 cc
pada banyak orang dewasa. ESV adalah darah residu yang tersisa di ventrikel setelah
16
pengosongan selama sistol, rata-rata 40 cc. Oleh karena itu, faktor-faktor penentu tekanan darah
adalah resistensi vaskuler, HR, Volume preload, dan kontraktilitas. SVR adalah tonus pembuluh
darah dan merupakan penentu besar tekanan darah diastolik. EDV sangat ditentukan oleh
volume preload yang menambah SV melalui kurva Frank-Starling dimana peningkatan volume
pengisian diastolik meningkatkan CO.
ESV sangat ditentukan oleh kontraktilitas jantung dan ESV menurun saat jantung
menyemprotkan persentase yang lebih besar volume diastolik nya. Sebagai contoh, seseorang
dapat meningkatkan SV dengan meningkatkan volume preload (EDV) atau menurunkan ESV
dengan peningkatan kontraktilitas sehingga fraksi ejeksi ((EDV - ESV) / EDV) bisa meningkat.
Masalah awal yang mencetuskan keadaan shock mungkin (1) vasodilatasi (menyebabkan
penurunan SVR) dari sepsis, anafilaksis, obat-obatan, atau lesi korda spinalis servikal, (2)
perubahan yang ekstrem dari denyut jantung, (3) kehilangan volume preload (menyebabkan
penurunan EDV ) dari kehilangan darah atau volume cairan, atau (4) hilangnya kontraktilitas
(meningkatkan ESV) karena gagal jantung. Mekanisme kompensasi memberikan banyak
petunjuk klinis terhadap gejala awal syok.
Gejala awal vasodilatasi dari hilangnya SVR umumnya menyebabkan kompensasi
takikardia dan haus. Meskipun hipoksemia jaringan sistemik, pada kulit tetap terjadi perfusi dan
hangat pada awalnya. Kehilangan darah atau cairan (penurunan EDV) menyebabkan reflek
untuk meningkatkan SVR sehingga meningkatkan tekanan darah diastolik, membatasi tekanan
nadi, meningkatkan berkeringat yang dipengaruhi kolinergik simpatik, dan membuat pasien
pucat, haus, dan suhu tubuhnya menurun. Saat kehilangan volume cairan, terjadi takikardia dan
hipotensi. Kehilangan kontraktilitas juga dikompensasi oleh peningkatan SVR untuk menjaga
tekanan darah dengan gejala yang sama.
Saat mekanisme kompensasi gagal, syok ireversibel terjadi seiring dengan kematian
ireversibel sel, penyumbatan pada mikrosirkulasi, dan pembentukan radikal bebas. Ada
hilangnya regulasi otonom karena pembentukan vasodilator lokal yaitu nitrat oksida, dan bahkan
dengan koreksi total terhadap volume darah (misalnya, dalam syok hipovolemik), fungsi jaringan
17
dan fungsi organ tidak dikembalikan, sehingga menyebabkan kematian.
Penyebab Syok
Klasifikasi umum klasik dari syok antara lain (1) hipovolemik, (2) kardiogenik, (3)
distributive, dan (4) syok obstruktif. Tiga pertama melibatkan kelainan primer pada faktor EDV,
ESV dan SVR, sedangkan syok obstruktif disebabkan karena ada masalah pada SV karena
obtstruksi mekanis pada preload.
MAP PAWP CO SVR
HYPODYNAMIC
Hypovolemic: hemorrhage, dehydration ↓↔ ↓ ↓ ↑
Cardiogenic: myocardial infarction ↓ ↑ ↓ ↑
Obstructive: pulmonary embolism, pericardial tamponade,
tension pneumotoraks
↓ ↔↑ ↓ ↑
HYPERDYNAMIC
Distributive sepsis, adrenal insuficiency, anaphylaxis ↓ ↔↓ ↔↑ ↓
Evaluasi awal pada pasien pre syok
18
Pada pasien presyok, perlu dipikirkan apakah pasien ini dalam keadaan syok atau menuju
syok?tidak dibenarkan kita menunggu untuk melakukan intervensi sampai terjadi hipotensi yang
hebat saat pasien masih dalam tahap kompensasi. Seorang dokter harus mengutamakan untuk
mempertahankan fungsi vital pasien saat mencari tahu sebab syoknya. Juga harus
mempertimbangkan apakan pasien ini terpapar oleh zat toksin atau tidak.
Buka ABC dan pertahankan jalan nafas yang adekuat dengan aliran oksigen yang tinggi.
Alat bantu nafas seperti lewat nasopharyngeal munggkin bisa membantu. Jika pasien tidak bisa
mempertahankan jalan nafasnya, skor GCS <9 pada trauma, peningkatan denyutjantung yang
tinggi atau hipoksia walau dengan tambahan oksigen, diindikasikan untuk intubasi lewat
endotrakeal. Tangani pneumothoraks jika ada dengan melihat tanda klinis pada pasien. Pasang
skses vena lebih dari satu dengan ukuran yang sebesar mungkin sesuai dengan pasien, dan
pasang monitor jantung. Bisa dipertimbangkan untuk pemasangan kanulasi pada vena sentral
atau arteri. Lepaskan pakaian pasien jika basah dan jaga pasien agar tetap hangat. Kemudian, cari
dan tentukan apakah ada penyebab potensial yang reversible untuk kita tangani.
Apakah ada kondisi yang reversible?
Apakah ada pendarahan setelah trauma?stop pendarahan yang tampak, cari pendarahan pada
kavum thoraks, pelvis atau fraktur pada tulang panjang menggunakan alat penunjang. Jika ada
fraktur, imobilisasi luka dan tekan pendarahan.
Apakah ada pendarahan tanpa didahului trauma?cek pulsasi pada abdomen (aneurisma aorta
abdominalis dll), cek pendarahan saluran cerna seperti ada hematemesis dan melena.
Apakah ada disaritmia?monitor lewat ekg.mulai kejut jantung jika terjadi bradiaritmia yang tidak
stabil.
Apakah ada tension pneumothoraks?cek adanya penurunan suara nafas pada salah satu sisi dada,
deviasi trakea, peninggian salah satu hemithoraks. Pertimbangkan untuk melalukan dekompresi
dengan torakostomi.
Apakah ada tamponade jantung?cek JVP dan suara jantung, voltase EKG yang rendah, dll.
Pertimbangkan kardiosentesis pda pasien efusi pericardial yang tampak secara klinis.
Apakah ada emboli paru?pada pasien dengan resiko dan ada tanda hipoksemia dan terlihat
adanya overload pada ventrikel kanan saat pemeriksaan echo. Pertimbangkan trombolitik atau
pembedahan.
Apakah terjadi syok anafilaktik?cari angioedema, edema laring dengan stridor, wheezing dll.
19
Apakah ada cedera tulang belakang?cek apakah ada lesi motorik atau sensorik kemudian
imobilisasi dan lakukan penanganan selanjutnya.
Apakah ada penurunan tekanan pembuluh darah sistemik?jika kulit hangat, walaupun hipotensi,
pikirkan sepsis, syok neurogenik, sok anafilaktik atau overdosis obat.
Anamnesis untuk cari sebab syok
Mungkin ada petunjuk historis untuk kondisi pasien. Periksa trauma potensial, ,
kehamilan tak terduga atau dikenal, obat baru, alergi, overdosis, atau depresi. Carilah potensi
interaksi obat seperti sildenafil dan nitrogliserin. Mendapatkan riwayat perjalanan (SARS) dan
riwayat penggunaan tampon (toxic shock syndrome), nyeri dada dan dyspnea mungkin
menyiratkan sindrom koroner akut. Demam atau hipotermia mungkin menandakan sepsis.
Memberikan fluid challenge test
Kecuali pasien dalam edema paru parah dari syok kardiogenik, tantangan cairan 20 cc /
kg kristaloid isotonik adalah langkah berikutnya yang wajar setelah ABC telah dievaluasi dan
penyebab yang jelas ditujukan seperti di atas.
Mendapatkan Hasil Lab yang Tepat
Laboratorium awal yang penting termasuk hitung darah lengkap, uji koagulasi, elektrolit,
BUN, kreatinin, gas darah arteri, dan laktat serum. Perhatikan bahwa gas darah vena dan pulse
oximetry mungkin tidak akurat pada shock. Pada syok septik, lakukan kultur yang luas. Lakukan
urinalisis pada semua pasien wanita usia subur dan melakukan tes kehamilan. pertimbangkan dan
crossmatch pasien untuk jika akan ditransfusi sel darah merah. Pada syok kardiogenik, periksa
enzim jantung.
Lakukan pencitraan dengan tepat
Foto toraks dan EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting sebelum pemeriksaan
lebih lanjut yang ditentukan oleh kecurigaan klinis. Bedside U / S dapat memiliki peran penting
dengan evaluasi cairan perikardial dan hemoperitoneum tetapi studi pencitraan kompleks harus
menunggu sampai pasien diresusitasi.
. Tanda-tanda resusitasi berhasil termasuk peningkatan BP, peningkatan kesadaran,
penurunan laktat, asidosis metabolic teratasi, pengeluaran urin> 1 cc / kg / jam, dan perfusi kulit
membaik.5
Penanganan pada syok septik
20
Syok septik adalah sindrom klinis yang memberikan komplikasi pada infeksi yang
disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi berlebihans sehingga menyebabkan disfungsi
organ yang luas. Tanda dari respon yang inflamasi yang berlebihan itu disebut adalah sindrom
respons inflamasi sistemik (SIRS) yang tandanya (dua atau lebih dari (1) suhu> 38 ° C atau <36
° C, (2) HR> 90 bpm, (3) tingkat pernapasan> 20 napas per menit, atau PaCO2 <32 (4) WBC>
12.000 sel/mm3 atau <4000 sel/mm3 atau> 10% band). Pada syok septik, SIRS berhubungan
dengan penurunan SVR dengan kompensasi hiperdinamik awal diikuti oleh kontraktilitas
gangguan dari depresi miokard dan hipoksemia.
Batang Gram-negatif adalah penyebab klasik syok septik tapi semakin gram positif dan
infeksi jamur berkontribusi. Penyebabnya juga mungkin toksemia dari infeksi stafilokokus atau
streptokokus. Yang penting, sekitar 10% pasien tidak memiliki sumber yang dikenal infeksi.
Pasien dengan trauma, luka, diabetes, usia yang terlalu tua atau muda, dan orang-orang
yang sistem kekebalan tertekan oleh kemoterapi, kanker, atau penyakit ginjal berada pada risiko
terbesar. Menstruasi wanita dan pasien dengan luka beresiko untuk toxic shock syndrome yang
disebabkan oleh TSST 1 (toxic shock syndrome toxin 1) dari tampon atau dari luka. Pasien-
pasien ini memiliki SIRS, hipotensi, dan ruam eritematosa. Focus infeksi sering infeksi sering
berasal dari saluran empedu, saluran kemih, retroperitoneum, dan daerah perirectal. Tusukan
lumbal akan meningkatkan terjadinya meningitis.
Pengobatan dimulai dengan prinsip-prinsip umum yang diuraikan di atas. Pasien
diresusitasi, diberikan terapi, antimikroba bertarget, dan, jika ada, drainase abses apapun.
Intubasi dini harus dilakukan untuk mengurangi kerja pernapasan dan memastikan pengiriman
oksigen. Etomidate, obat dalam anesthesia, yang sering digunakan dalam intubasi darurat,
mungkin harus dihindari walaupun data yang menyebutkan masih sedikit. Etomidate
menghambat sintesis glukokortikoid, dan beberapa pasien syok septik memiliki insufisiensi
adrenocortical relatif yang mungkin secara teoritis diperparah dengan etomidate.
Goal-directed therapy membutuhkan vena sentral dan monitoring arteri, sedasi dengan
atau tanpa kelumpuhan, optimalisasi tekanan vena sentral (CVP) untuk 8-12 mm Hg pertama
dengan cairan, optimalisasi tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan cairan dan vasopressor, dan
optimasi campuran kandungan oksigen vena dengan memulai terapi vasopressor atau transfusi ke
hematokrit> 30. Dopamin umumnya digunakan sebagai vasopressor awal namun norepinefrin,
21
dengan aktivitas alpha, mungkin pilihan yang lebih baik. Vasopressin menunjukkan beberapa
perbaikkan, tapi data terbatas.
Antibiotik harus diberikan dalam satu jam pertama saat mengenali sepsis, kultur yang
tepat lebih utama diperoleh sebelum pemberian antibiotik, tetapi bisa diberikan berdasarkan
kemungkinan besar patogen pada situs yang paling mungkin dan kompetensi kekebalan pasien.
Obat generasi ketiga atau keempat sefalosporin adalah pilihan yang wajar untuk pasien
imunokompeten. Cakupan anaerobik membantu dalam infeksi intra-abdomen dan menambahkan
macrolide untuk pneumonia. Di daerah resistensi tinggi, vankomisin ditambahkan. Pasien
kekebalan tubuhnya tidak kompeten memerlukan pemberian lebih dari satu macam obat yang
cakupannya untuk gram positif, aerob gram negative, anaerob dan kemungkinan karena infeksi
virus atau jamur.
Pengangkatan setiap abses atau benda asing penting dan mungkin memerlukan amputasi,
pengangkatan benda asing atau insisi, dan drainase. Steroid dosis tinggi telah terbukti berpotensi
berbahaya dalam syok septik, tetapi seiring kejadian yang terus meningkat menunjukkan bahwa
beberapa pasien dalam syok septik memiliki tingkat insufisiensi adrenal relatif dan telah
mendorong pengobatan dengan stres dosis hidrokortison (300 mg hidrokortison / hari) atau
tantangan cosyntropin formal.6,7
IV. 4 DENGUE SHOCK SYNDROME
Definisi
Sindrom Syok Dengue (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DHF disertai
dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah kelanjutan dari DHF dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang
berakibat fatal. (8,9,10)
Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain sangat kurang, sehingga
22
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,
pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan
bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (8,9,10)
Patogenesis
Patogenesis DHF dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
dan hipotesis immune enhancement. (8,9,10)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien
yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen
antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)8,9,10
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-
antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang
ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga
syok. 8,9,10
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma
kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
23
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. 8,9
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DHF. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi
trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
24
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.9,10
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.9,10
Klasifikasi demam dengue:
25
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi perubahan hematologis.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45%
dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah total
leukosit) yang pada fase syok meningkat.
b. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/μl) pada hari ke 3 –
8
c. Hematokrit
26
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥20%
dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke – 3 demam.
d. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (aPTT),
thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
e. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin adalah
3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl.
f. SGOT/SGPT
Dapat meningkat.
g. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal serum
adalah 3,5 – 5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.
h. Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
i. Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3
– 5, meningkat sampai minggu ke – 3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada
infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke -14, pada infeksi sekunder IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-2.
2. Radiologis
Pada foto thorax didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites
27
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Penatalaksanaan DSS
Rencana tata laksana untuk mengobati pasien dengan syok terkompensasi (tekanan sistolik
dipertahankan tetapi ada tanda perfusi menurun) adalah sebagai berikut
• Mulai resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kgbb/jam selama
satu jam. Kemudian nilai kembali kondisi pasien (tanda-tanda vital, capillary refill time,
hematokrit, jumlah urin). Langkah berikutnya tergantung pada situasi.
• Jika kondisi pasien membaik, cairan infus harus bertahap dikurangi menjadi 5-7 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam, dan
kemudian lebih lanjut tergantung pada status hemodinamik pasien, yang dapat dipertahankan
hingga 24-48 jam.
• Jika tanda-tanda vital masih belum stabil (yaitu syok berlanjut), periksa hematokrit setelah
bolus pertama. Jika hematokrit meningkat atau masih tinggi (> 50%), ulangi bolus kedua cairan
kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama satu jam. Setelah
bolus kedua ini, jika ada perbaikan, kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, dan
kemudian terus kurangi seperti di atas. Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan
hematokrit awal (<40% pada anak-anak dan perempuan dewasa, <45% pada pria dewasa), ini
mengindikasikan perdarahan dan diperlukan transfusi darah sesegera mungkin (lihat terapi
komplikasi perdarahan)
• bolus selanjutnya larutan kristaloid atau koloid mungkin perlu diberikan
selama 24-48 jam berikutnya.
Pasien dengan syok hipotensi harus ditangani lebih intensif. Rencana tata laksana untuk
mengobati pasien dengan syok hipotensi adalah sebagai berikut:
• Lakukan resusitasi cairan intravena dengan kristaloid atau koloid 20 ml/kg sebagai bolus
diberikan lebih dari 15 menit untuk mengatasi fase syok secepat mungkin.
• Jika kondisi pasien membaik, berikan kristaloid / koloid infus 10 ml/kg/jam selama satu jam.
Kemudian lanjutkan dengan infus kristaloid dan secara bertahap dikurangi sampai 5-7 ml/kg/jam
28
selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam , dan kemudian 2-3 ml/kg/jam atau
kurang, yang dapat dipertahankan hingga 24-48 jam.
• Jika tanda-tanda vital masih belum stabil (yaitu syok menetap), lihat hematokrit yang diperoleh
sebelum bolus pertama. Jika hematokrit yang rendah ( < 40 % pada anak-anak dan perempuan
dewasa, < 45 % pada pria dewasa ), ini menunjukkan perdarahan dan dibutuhkan transfusi darah
sesegera mungkin (lihat tata laksana komplikasi perdarahan).
• Jika hematokrit tinggi dibandingkan dengan nilai dasar, ubah cairan infus menjadi larutan
koloid 10-20 ml/kg sebagai bolus kedua, berikan lebih dari 30 menit sampai satu jam. Setelah
bolus kedua, nilai kembali keadaan pasien. Jika kondisi membaik, kurangi menjadi 7-10 ml / kg /
jam selama 1-2 jam, kemudian ubah kembali menjadi cairan kristaloid dan kurangi tingkat infus
sebagaimana disebutkan di atas. Jika kondisinya masih stabil , ulangi hematokrit setelah bolus
kedua.
• Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan nilai sebelumnya ( < 40 % pada anak-anak dan
perempuan dewasa , < 45 % pada pria dewasa ), ini menunjukkan perdarahan dan dibutuhkan
transfusi darah sesegera mungkin (lihat pengobatan untuk komplikasi perdarahan). Jika
hematokrit meningkat dibandingkan dengan nilai sebelumnya atau masih sangat tinggi ( > 50 %
), lanjutkan larutan koloid 10-20 ml / kg sebagai bolus ketiga lebih dari satu jam. Setelah dosis
ini, kurangi menjadi 7-10 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian ubah kembali ke cairan
kristaloid dan kurangi tingkat infus sebagaimana disebutkan di atas ketika kondisi pasien
membaik.
• bolus cairan lanjutan mungkin perlu diberikan selama 24 jam berikutnya. Tingkat dan volume
masing-masing bolus harus dititrasi terhadap respon klinis. Pasien demam berdarah yang parah
harus dirawat di ruang rawat intensif.
Rencana tata laksana untuk pengobatan komplikasi perdarahan adalah sebagai berikut:
• Berikan 5-10ml/kg packed red cell atau 10-20 ml / kg fresh whole blood dan amati respon
klinis. PRC dan fresh whole blood sangat penting diberikan. Pengiriman oksigen ke jaringan
yang optimal yaitu tingginya 2,3 di-phosphoglycerate (2,3 DPG).
kehilangan 2,3 DPG pada kehilangan darah, mengakibatkan rendahnya tingkat yang
menghambat kapasitas oksigen melepaskan hemoglobin, mengakibatkan hipoksia jaringan
29
fungsional. Sebuah respon klinis yang baik meliputi peningkatan hemodinamik dan
keseimbangan asam-basa.
• Pertimbangkan transfusi darah ulang jika ada kehilangan darah lebih lanjut atau ada kenaikan
hematokrit setelah transfusi darah. Apabila terjadi perdarahan parah, dapat diberikan transfusi
trombosit dan FFP (fresh frozen plasma). Hal ini sering dilakukan saat perdarahan masif tidak
dapat dikelola hanya dengan fresh whole blood atau pun PRC, tetapi hal ini dapat memperburuk
overload cairan.
Kreteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini:
1.Tampak perbaikan secara klinis
2.Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3.Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik. 11
30
BAB V
KESIMPULAN
31
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Sheperd SM. Dengue. July 18th, 2013 [cited September 15th, 2013]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview
2. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI. Demam Berdarah Dengue.
August 2010 [cited September 15th, 2013]. Available at:
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.pdf
3. Rajapakse S. Dengue Shock. J Emerg Trauma Shock. 2011 Jan-Mar; 4(1): 120–127.
4. Sherwood L. Fisiologi Jantung. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed.
Jakarta: EGC; 2001. p. 256-257
5. Young WF. Shock. In: Stone CK, Humphries RL. Current Diagnosis & Treatment
Emergency Medicine. 6th ed. Texas: Mc Graw Hill; 2008.
6. Stapczynski JA: Septic Shock. In: eMedicine Hypovolemic Shock. Available at: www.emedicine.com.
7. Rivers E et al.: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic
shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-1377.
8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2009
9. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen
Kesehatan RI. 2005
10. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews.
1998.Vol 11, No 3 ;480-496
11. WHO. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control, new edition.
Geneva, World Health Organization, 2009.