18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

94
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94

Transcript of 18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94

I

asingsingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu.

Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang

berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui,

kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu.

Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap

kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia

dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak

Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang

mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua,

Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya

kepada salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu

akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-

duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak

orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan

yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab

ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam.

Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain

di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi

Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu

adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan

melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang

mencemaskan hatinya itu.

Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan

terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor

serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci.

Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya

mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram

keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap

kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati

Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau.

Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu

berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan

P

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94

dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur

seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat

tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk

mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan

kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat

mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-

semak, berselimut kehitaman malam.

Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan

tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang

penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang

masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung

kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu,

dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya,

sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki

belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka,

sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.

Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia

meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah

terlambat.”

Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo

Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu

mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya,

“Apa yang terlambat?”

Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung

ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan

yang luar biasa.”

“Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.

“Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir

berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.

Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik

nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94

Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah

menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di

perkemahan.

“Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.

“Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.

Sementara itu yang lain pun telah berdiri mengitarinya.

Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.

“Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada

mereka.

“Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi

Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.

Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan

pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang

hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itu

pun masih kelihatan pucat.

“Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.

Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah

Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan itu bisa

menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa

ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak

melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama

sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya

menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh

sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat

menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”

Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau

harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa

ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah

tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94

“Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu

sekali?” bantah ayahnya.

“Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan

ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong

Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan

Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas

yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.

Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya.

Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang

menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera

gadis kecil itu. “Aku berkata benar, Ayah....”

Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar

itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun

kembali.”

“Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.

“Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak,

barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring,

menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh

Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.

“Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.

“Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata

sebenarnya.”

Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia

mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam

benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun

dapat dijatuhkannya.”

Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa

Jenar selamat?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94

“Bagi kami” jawab Mantingan, “agak sulit untuk dapat

mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada

jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia

masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang

dikejarnya,”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika

tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak.

Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang

berjalan perlahan-lahan ke arahnya.

“Mahesa Jenar....” sapa Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya,

Kakang.”

“Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.

Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil

menangkapnya.”

Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian

katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan

bencana?”

“Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

“Baiklah....” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang

cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin

pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah

pergi pula.”

Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu

diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan

orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi

sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94

Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan

sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit

telah diwarnai oleh cahaya perak pagi.

Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah

mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi

yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun

pepohonan rimba.

“Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah

kaliah lelah?”

“Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan

tidur sehari penuh.”

“Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.

“Kenapa?” tanya Widuri.

“Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun

dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.

Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.

Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang

disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat

masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai,

sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya

dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah

tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan

suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.

Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang

Widuri untuk beristirahat.

Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah

tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada

diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang

diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika

tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin

mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94

beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para

petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika

mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan

untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk

pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar

Banyubiru itu pun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-

tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat

fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam

dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab

sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang

belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi

didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi

tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-

saat penjagaan.”

Tetapi, mereka menjadi agak terhibur ketika mereka

mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa

meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu

bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh

sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk

melepaskan darinya.

Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan

petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk

mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada

para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada.

Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila

ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan.

Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu

duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya.

Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan

Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang

apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah

dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri

sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat

melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94

melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar

belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar

seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang.

Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di

keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat

digetarkan.

Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya

Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia

sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya

Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa

Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok

itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu

dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan,

namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka.

Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan

seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu

Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu

Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat

sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.

Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk,

bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula,

Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun

ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia

masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo

Kanigara.

“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil

mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.

“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu

bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan

berdasarkan ajinya Alas Kobar.”

“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar

itu?” tanya Kanigara pula.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94

“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada

saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat

seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku

getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra

Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku

kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku

mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh

Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena

aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu,

sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-

getaran itu terganggu.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil

tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,

meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada

penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu

Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan

pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau

lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai

cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan

demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”

Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang,

semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar

bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap

tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran

itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi

telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas

Kobar itu.”

Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa.

Katanya, “Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil

menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna,

tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan

yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal

sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai

kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94

pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau

dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-

kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah

kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu.

Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau

benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila

pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti

mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya

mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”

Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati

Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga.

Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa

yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak

akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat

mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.

Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki

senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia

menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit

yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia

menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak

menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip

dengan ilmu kekebalan.

Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-

saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari

kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh

kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.

Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup

untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya

yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada

saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan

bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam

relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri,

mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94

ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan

pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa

cinta kasih.

Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan

seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat

dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-

macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat

yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam

sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi

sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas

tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang

akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo

Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir

karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang

dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan

mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak

menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia

mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk

menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa

Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya.

Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada

kebenaran dan keadilan.

Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan,

terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku

bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada

Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-

kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-

mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini

sebaik-baiknya.”

Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab,

tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar.

Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas

keluhuran hatimu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94

Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun demikian Mahesa

Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum

ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah

kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai

pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau

pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat

mempertanggung-jawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama

manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak

kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan

mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala

pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak

dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima

dari Yang Maha Tinggi.”

Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti

apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa

Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang

dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo

Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang

dilakukannya pun sesuai benar dengan kata-katanya itu.

Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk

keperluan yang tepat pula.

Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu

berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya

dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya

kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan

dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya

sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama

dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya,

dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun

disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara

kepada gurunya.

Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula

harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan

mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94

demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya

sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa

yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya

itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar

karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-

kesulitan yang masih harus di atasi.

Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit

dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan

membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih

tetap berangan-angan.

Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan

itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar

matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan

cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula

kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada

masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada

ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya,

namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya

menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar betapa

ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang

pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah

seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun

juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya

dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa

tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba

memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan

masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa

mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk

mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia

berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu.

Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari

yang masih sangat condong menembus dinding-dinding

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94

pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di

kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan.

Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian

terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati

indahnya pagi ini.

Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok

ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir

lemah.

Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-

mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit

timba serta debur air orang mandi.

Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja

mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula

dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal,

namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam

dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di

dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya

yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.

“Ah....” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba

melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik

nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam

angan-angannya.

Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya.

Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas

tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan

Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu

dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun

membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-

anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar

berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang

menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka

melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94

kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan

kesetiaannya kepada tumpah darah.

Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya

mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah

tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap.

Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia

berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan

diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula.

Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah

memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar

maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah

meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang

dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan

Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru

sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk

pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah

di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan

kekuasaan Demak.

Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-

mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai

macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam

seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai

Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam

perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak

itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan

hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam

himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian

wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah

pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan

Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi

ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari

perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94

sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka

yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.

Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih

tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia

merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir

lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila

keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota

gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk

mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di

istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian

Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi

rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan

baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak

termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya

mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa

hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan

tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar

terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk

diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin

kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.

Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa

meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang

senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam

sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha

dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-

masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka

tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan,

namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka,

berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan,

perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-

hal yang akan terjadi.

Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika

kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94

perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama

Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang

menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi

Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan

yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat

menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan

hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-

orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar

Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu

Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.

Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang

tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi

adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.

Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru,

serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini,

memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar

cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal

terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.

Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia

tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak

langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia

membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap

hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang

buruan dan sayur-sayuran.

“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.

Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan

pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan

lahapnya.

Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya

telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94

Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku

cemaskan, Kakang.”

Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya

telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara.

Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang

berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada

kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”

Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip.

Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia

tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan

itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-

sungguh.

Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan

masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang

menyenangkan.

Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun

rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh

dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung.

Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang

tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting

bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja

keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan

bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku

kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai

tugas kita kepada Arya Salaka.”

Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah

ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan

terjadi.”

Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira.

Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94

kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta

Kebo Kanigara.

“Arya....” kata Mahesa Jenar, “Aku akan menceritakan

perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan

mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang

benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada

di sana.”

Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan

penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa

yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata

diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia

sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang

menyenangkan itu.

Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah terjadi,

namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi

ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan

sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar,

betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang

sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang

ayah bundanya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut

mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak

bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri.

Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan

untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari

tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan

baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya.

Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda

itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia

berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan

menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94

yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-

kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan

berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia

tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang

mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika

ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru

ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak

kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.

Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya, aku minta maaf

kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali

untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga

dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah

Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak

mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itu pun tidak mengalami

sesuatu.”

Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya.

Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya,

sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat

itu juga.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan

anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah

menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat

kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh

kasih sayang.

Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati

untuk menentramkan hati anak itu, “Arya, tenangkanlah hatimu.

Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan

pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung

tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan

terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu

menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94

Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata

gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba

untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.

Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun

ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan

rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya

ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya

kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada

tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka

kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh tekad ia

berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada

bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan

bangga. Katanya, “Demikianlah putra Ki Ageng Gajah

Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di

depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah

anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama

dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”

Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia

akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah

ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya

dengan darah.

Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka

meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-

mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan

mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.

“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang

Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.

“Ya,” jawab Arya Salaka.

“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau

ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94

sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah

begitu?”

“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.

“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening

yang berkilau…?” Widuri meluruskan.

“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka

rumahku.” Arya Salaka membetulkan.

“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu

mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.

“Hem....” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak

seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana

Demak pun ada alun-alun.”

“Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku bukanlah orang yang

kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah

perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di

Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun.

Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di

Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”

“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya

seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.

Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang

pula.

“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.”

Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.

Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah

perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama

ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian

menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94

dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,

“Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi

ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin

melihat kehidupan bukit

Telamaya dan kecerahan

wajah Rawa Pening di pagi

yang bening.”

Rara Wilis tersenyum.

Sebenarnya di dalam hatinya

sendiri pun tersimpan pula

harapan, agar segala sesua-

tunya menjadi lekas

terselesai-kan. Sebagai

seorang gadis ia lebih mudah

tersentuh oleh perasaan rindu

kepada keluar-ga. Kepada

hidup kekeluarga-an yang

lumrah. Meskipun di dalam

tubuhnya mengalir juga darah

pengembara dari kakeknya,

Pandan Alas, namun baginya

lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang

bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau

dengan tetangga.

Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut

duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-

cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada

masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya,

bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya

dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam

pergolakan masa kini.

Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu

lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah

ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94

gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri

pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran,

Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa

orang lagi.

Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala

sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri

Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke

Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka

bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa

apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itu pun memiliki

kekuatan yang tak dapat diabaikan.

Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan

keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar

Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus

ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke

Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke

Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk

kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang

bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan

perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi

kemanusiaan.”

Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-

kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap

orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia

melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan.

Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik

kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk

setiap saat berangkat ke Banyubiru.”

Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan

Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah

Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau

menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena

itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94

Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal

yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian

menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar

mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada

sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki

Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada

agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan

pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan

kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak

tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan,

cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan

menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah

darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan

Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada

kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan

pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.

Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar

dalam pengamalan dan perbuatan.

Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam

pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak

masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya

sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia

tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang

kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi

dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah

artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan

sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah

lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya

janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri

yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan

perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan

lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah

dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-

mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94

tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang

dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah.

Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya.

Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas

kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-

an.

Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru

yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu.

Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan

wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru

mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka,

mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-

senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap

orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang

demikian itu tak dapat dikesampingkan.

Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan

menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa

mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung

memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan

beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-

latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping

usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,

Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.

II

Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa

waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan

pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari

setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-

anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular

menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah

Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya

berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94

Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang

penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang

berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang

merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan

itu. Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu

menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang

masih tersangkut di ujung-ujung daun.

Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-

tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa

Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di

dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan

memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika

Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia

menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya

sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang

berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup

tinggi.

“Ai....” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?”

Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau

merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat

matahari terbit.”

Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata

ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa

Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”

“Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.

“Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah

kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya

Widuri pula.

Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi

sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang

mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94

jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan

berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun

demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah

Bukit Telamaya.”

Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang menjalar di

hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi

berdebar-debar.

Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan

daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba angan-

angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah

melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi

sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai

daerah yang menyenangkan.

Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya

Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping

Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya

yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan

nyenyaknya. Di balik bukit itu membayanglah warna biru

kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu.

Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan

penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang

pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di

hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-

dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur

putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang

yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu

hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di

lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah

sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang

sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu

masih jauh.

Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa

betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94

Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-

tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya

dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti

hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit

Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta

dirindukannya, yaitu ibunya.

Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu

mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari

mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat

menambah gelora perasaan rindu itu.

Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping

mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah

terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah

bukit itu menggantungkan nasibnya.

Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia

melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya

terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya,

sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa

kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan

seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali

sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya

menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata

yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan

ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.

Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah

terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya.

Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu

sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa

panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang

sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan

ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera

dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian

berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94

bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat

menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah

yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air

yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah

di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.

Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang

seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya.

Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit

bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak

memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan

lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan

menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan

nyawanya.

Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh

tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca.

Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku

juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang

demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan

kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar.

Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang

Menciptakannya.

Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka

mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora

hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna

merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak

melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan

pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan

Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya, udara cerah.

Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-

mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”

Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab,

“Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94

“Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita

meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum

esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”

“Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya

Arya Salaka sekenanya.

“Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab menurut

pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua

tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila

terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui

siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda

pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat

gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”

Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali

lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan

gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang

berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab,

“Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”

Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit

Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta

jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya

matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening.

Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu

telah berjalan agak jauh mendahului kita.”

Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran-

gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya

laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah

hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya

Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan

Penjawi.

Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah

sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94

Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata,

“Adakah yang kurang dalam barisan ini?”

Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak,

Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita

menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki

Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa,

berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran

tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan

kesatuan Demak.”

Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya,

apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi

menjawab, “Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-

tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita

akan bertambah megah?”

“Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita

bertambah megah dan besar.”

Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan

demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu

untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari

wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada

orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala

daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.

Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam

keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata,

namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai

macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan-

kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah

mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari,

kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka

hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk

kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa,

seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94

terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan

penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan

orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang

diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia

kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya

itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam

keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang

berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat

menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan

yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala

sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya.

Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang

demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang

Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah

kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di

pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha

pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari

benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat

tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi

apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk

yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah

pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan,

serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.

Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang

sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat

kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak

begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan

rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa

pasukan itu harus berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu

Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta

beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-

pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului

laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah

diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar

mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94

mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka

diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada

rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka.

Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti

bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh

berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang

mempunyai kepentingan yang sama.

Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat

Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk

memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit,

antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan

kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah

laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk

mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang

perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang

mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang

Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan

Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang

Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman.

Dengan demikian mereka telah menggali lubang yang semakin

dalam antara dua keluarga sedarah itu.

Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan

serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan

perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah

membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari

mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap

laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan

penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-

penjahat yang lain.

Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah

diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan

dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada

kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh

beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94

kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia

minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk

mengawasi pelaksanaan tugas itu.

Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu.

Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik-

baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.

“Sendang Papat dan Sendang Parapat....” pesan Mahesa Jenar,

“Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan,

bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian

datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang

sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita

memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat

mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman

Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.

Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami

dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”

Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu

pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang

malam, mereka sudah akan memasuki kota.

Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun

rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora

Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat

dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama

Kebo Kanigara.

Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan

laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih

saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak

akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka

masih harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi

Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka

menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka

masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94

itu kembali, seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa

Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu

tidak akan banyak berarti?

Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata

dengan sareh, “Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih

mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang

penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan

kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala

sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki

Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan

mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah

yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana

dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa

setetes darah pun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap

bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan

Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab

bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”

Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu

terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal

hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak

kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak

cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap

pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut

dibuatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti

sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap

untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan

golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh,

“Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian

terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus

diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya.

Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang

terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini

gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94

menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan

yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya

Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru,

mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah

putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat

disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai

Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”

Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan

mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba

untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa

saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan.

Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang

prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan

yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar

yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan

dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk

menunggu itu pun akan mereka laksanakan pula.

Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar

Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap

untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap

untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka

akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan

sebal dan gelisah.

Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian

cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah

barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah

sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik-

baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun

mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora

mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itu pun

segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun

perkemahan untuk beberapa hari lamanya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94

Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang

Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga

keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi.

Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang

memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah

gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.

Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat

mencapai pusat kota dengan selamat.

Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah

yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan

mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang,

memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka

mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam

jumlah yang besar sekaligus.

Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang

Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan.

Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka

ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata,

“Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang

itu?”

Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,

“Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”

Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku kira tidak, Sendang

Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak

daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita

dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya

menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang

besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”

“Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan

demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94

Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di

belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka

segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka

pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan

tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan,

berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai

dengan acara gila-gilaan itu.”

Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka

hanya mengangguk-anggukkan kepala.

“Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung

Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya

kedatangan kita tidak menarik perhatian.”

Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang

Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun

kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang

yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu.

Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda

dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera

mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat

beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-

gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat

adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah

mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh

tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal

siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka

sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang

Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat

masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis-

gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis

yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula.

Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94

pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian

mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka

benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu

jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula.

Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara

pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri.

Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni suara.

Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari-

tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus

dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang,

bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang

kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak.

Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa

pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu,

bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-

benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah

kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya

memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus

dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah

seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang

itu ke dalam suasana yang mengerikan.

Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja

berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu

yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian

diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk

tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan

dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di

samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat

beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja

menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka,

Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada

diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang

kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-

olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94

akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk

kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu.

Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut

dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru

itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang

gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang

yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya

bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya

berdebar-debar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang

bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara

yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan

Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti,

kemudian ia kembali ke Maja-

pahit mengabarkan kepada

rakyatnya bahwa Baginda telah

wafat. Ketika ia mengetahui

bahwa rakyat Majapahit dan

para pembesar berduka cita

atas berita itu, tahulah ia

bahwa rakyat masih cinta

kepada Baginda Jayanegara.

Demikianlah kali ini, ia harus

berhadapan dengan rakyat

Banyubiru, membawa kabar

tentang laskar mereka.

Mula-mula tak seorangpun

memperhatikan kehadirannya.

Tetapi beberapa saat kemudian

seorang demi seorang meman-

dangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu,

apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak

acuh itu Kiai Wanamerta.

Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian

orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94

pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila

dan panas.

Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para

penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang

berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”

Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,

“Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”

Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka

untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan

perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang

itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai

Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itu

pun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang

semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka

ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai

Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.

Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit

ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian apakah ia

dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas

untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar

jantungnya.

Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan

bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping

pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.

Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-

iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak.

Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang

sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan

gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai

Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang

demikian itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94

Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan

hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah-

oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan

satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para

tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya.

Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak

yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu

demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar

kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan

bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia

yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama

dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka

menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa

tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para

penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di

esok hari.

III

Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah

lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap

kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua

yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di

hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam

ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun

Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya

matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam

dada penduduk Banyubiru itu pun ikut serta berkata-kata. Ikut

serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab,

“Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?”

Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika

di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang

sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-

oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-

kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94

sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan

ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya

bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi

kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama.

Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta.

Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka

menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi

di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh

Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping

perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada

pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh

kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau

di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal

yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian

demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang

Wanamerta dengan perasaan benci.

Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu

berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-

kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya

mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan

arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan

pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua

tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara

mereka.

Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu

tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama

yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera

lenyap dalam keheningan yang tegang.

Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-

lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti

bersuka ria?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94

Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya.

Namun tak seorang pun dapat menjawab.

“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur.

Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria,

bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering

kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian

menuai padi musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-

batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian

buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh

kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang

diperkenankan oleh agama kita.”

Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian

gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa

kerasnya.

Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta

meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah,

teruskanlah.”

Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka

yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta,

menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu.

Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru

itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian

memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak

mengenal aku lagi?”

Masih belum terdengar suara dari antara mereka.

“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung

Wanamerta.

Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak

tahu apa yang mesti dilakukan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94

Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang

berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan

di sini?”

Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara

yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis

pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan

bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh

burung.

“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.

“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya

memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran

Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah

pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk

mengamankan daerahnya.

“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,

“Kau sekarang nampak begitu gagah.”

Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya

mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena

itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan

mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta,

ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai,

aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu

jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”

Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota

Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang

saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan

keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta

menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi

lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94

“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua

yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di

rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”

Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak

menjawab.

Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku

ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”

Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku

katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”

“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya

kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-

tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang

mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak

rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama,

memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang

demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada

kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup

diantara kalian seperti sediakala.”

“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,”

bantah Sontani.

“Kenapa?” sahut Wanamerta.

“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama.

Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya

kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu

Sora,” ancam Sontani.

“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan

kepalanya. “Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku

rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali

pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94

Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga

dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda

Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”

Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang merata di

seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang

berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang

kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri,

kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu

benar…?”

Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-

katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah

kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah

pengalaman?”

Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu,

tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari

berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah-

mudahan berita itu benar.”

Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan

itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!”

Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul

dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita

dengan kedatangan anak itu?”

“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.

“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan.

Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana.

Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa

pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya

bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah

tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih

menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94

Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan

menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia masih merasa berhak

pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa

kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa

peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan

kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia

menyesal!”

Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang,

lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta

itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,

“Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek.

Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”

Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi

menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk

memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-

puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang,

maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri

tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itu pun

dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak

menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah bersautan, “He,

Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah

kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak

itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”

Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita

tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula.

Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya

akan menambah keributan. Satu demi satu merekapun

terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan

akhirnya seorang berteriak, “Pergilah kau Wanamerta, keledai tua

yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh,

“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang

indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar

Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian

suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 94

Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah

bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai

diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya.

Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun

ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan

tenangnya, merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya.

Memang pada saat itu Wanamerta masih berdiri tegak di

tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-

orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu.

Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan

setan.

Teriakan-teriakan itu pun semakin lama menjadi semakin

keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada berteriak-

teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja

seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-

teriakan itu pun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika

mereka melihat ketenangan yang membayang di wajah orang tua

itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin

yang berdesir, menyegarkan tubuhnya.

Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia

berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ketika

suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia dengan

lantangnya, “He, Nyi Gadung Sari kenapa kau belum juga menari?

Marilah kita menari bersama-sama. Bukankah Wanamerta juga

seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang berada di

tanah lapang ini?”

Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi

Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah mereka

yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan

demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi

ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.

“Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku sudah

berkata bahwa aku akan kembali ke kampung halaman? Bukankah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 94

dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup

kalian?”

Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah

lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya yang sudah

puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau. Tetapi

ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta

yang sama sekali tak mereka duga sebelumnya.

“Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu

kalian?” tanya Wanamerta.

Sementara suasana menjadi hening. Namun sesaat kemudian

terdengar beberapa orang menjawab, “Ia benar, jangan ganggu

kami.”

“Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian.” Wanamerta

meneruskan, “Bahkan aku ingin menyesuaikan diri dengan kalian.

Bukankah apa yang kalian lakukan itu sangat menarik? Menari-nari

menyanyi dan bergembira sepanjang hari. Bukankah dengan

demikian kalian akan awet muda?” Wanamerta diam sesaat. Maka

kembali tanah lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar

hanyalah tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorang

pun yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan,

“Inilah kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman nenek

moyang nenek moyang kita. Apa yang kalian lakukan sekarang

belum pernah terjadi di tanah perdikan ini sejak masa tanah ini

masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang tidak perlu bekerja

keras, tidak perlu membanting tulang untuk tanah kita yang sudah

melimpah ruah ini. Sawah ladang, parit-parit dan jalan-jalan.

Begitu?”

Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi. Namun dada orang-

orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah mereka

sekarang tidak perlu lagi bekerja keras? Benarkah sawah ladang

mereka telah melimpah ruah? Pertanyaan-pertanyaan itu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 94

bergelora di setiap dada. Dan perlahan-lahan mereka

menggelengkan kepala mereka.

“Nah....” sambung Wanamerta, “Sekarang kita tidak usah

bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita sekarang

tidak usah bersusah payah berpikir tentang kesejahteraan

kampung halaman lahir maupun batin. Begitu?”

Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga Wanamerta

berkata terus, “Jadi bagaimana? Atau kita memang menghendaki

hal-hal seperti ini berlangsung terus? Kita biarkan masjid-masjid,

banjar-banjar desa dan balai-balai kita menjadi sarang labah-labah

dan runtuh sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal kita…?

Bagus-bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari

anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri. Tidak

perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena itulah maka

aku sependapat dengan kalian. Menyabung ayam di siang hari,

judi, tuak dan tayub di malam hari seperti sekarang ini. Hem….”

Wanamerta berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya telah

basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya. Kata-katanya

seakan-akan menghunjam ke dalam dada orang-orang Banyu Biru

yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di sekitarnya. Ketika tak

seorang pun menjawab ia meneruskan lagi, “Dan sekarang semua

itu ada pada kita. Menyabung ayam, judi, perempuan, dan

apalagi…?”

Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang semula

terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu, sekali lagi

menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada

diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata, “Nah, sekarang kalian

boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak

kembali lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita

menjadi hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari

kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita bersama.

Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat

menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 94

batin. Sekarang kita dapat tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi

besok kita akan mati dengan bau tuak menghambur dari mulut

kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali

kepada Tuhan kita.”

Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang

kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah Wanamerta

kembali, “Sekarang kalian tinggal memilih. Aku berada di pihak

kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah kalian

pernah mendengar ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa

menuntut haknya kembali dari para Kurawa…?”

Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta,

sehingga ia dapat meneruskan, “Dalam ceritera pewayangan,

wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari

Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua.

Kenapa akhir dari Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak

Pendawa? Tidak Kurawa?” Wanamerta melihat kegelisahan rakyat

Banyubiru yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka

tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum seorang

yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar kemudian adalah

suara Wanamerta kembali, “Nah, baiklah lain kali kita mengadakan

pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam. Sejak Kresna Duta

sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang

mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-

turut habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu.

Juga Parikesit kita bunuh.”

Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya

tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan tenang dan gelisah

mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi Baratayuda

dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara

tepat Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan

mempergunakan ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah

seseorang berkata, meskipun perlahan-lahan, “Tidak bisa Kiai,

Baratayuda tidak bisa diubah demikian.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 94

Wanamerta pura-pura terkejut mendengar perkataan itu.

Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, “Kenapa tidak bisa?

Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada

rakyatnya keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam,

judi, tayub, tuak dan sebagainya, sedang orang-orang Pendawa

sepanjang hidupnya hanya prihatin saja?”

“Tidak, Kiai,” terdengar suara yang lain, “Kita tidak

menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-

orang Astina di Banyubiru.”

“He…?” kembali Wanamerta pura-pura terkejut. “Apakah yang

kau katakan?”

“Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang

suara itu.

“Yang mana tidak kau kehendaki? Bukankah raja Astina Ratu

Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah adinda baginda yang

berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan tuak?

Bukankah di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu,

agal alus, yang kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama

Dorna?”

“Tidak… tidak....” terdengar beberapa orang memotong kata-

kata Wanamerta, “Kami tidak menghendaki itu.”

“Itu yang mana…?” Wanamerta memancing ketegasan

mereka.

“Judi. Kami tidak mau judi,” jawab yang lain.

“O, hanya itu saja?” desak Wanamerta.

“Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa

suara berbareng.

“Judi dan tuak itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir

mencapai maksudnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 94

Dan ada yang didengarnya kemudian sangat

menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian

berteriak, “Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung

ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah orang-orang

Banyubiru.”

“Tunggu dulu,” potong Wanamerta, “Bukankah putra-putra

Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang bijaksana,

yang dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah,

rohaniah dalam kekuasaan mereka atas Astina?”

“Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam

Dorna.” Terdengar mereka berteriak-teriak, “Pendeta degleng,

pendeta bermulut ular.”

“Jadi bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari

Baratayuda itu?” tanya Wanamerta.

“Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta

Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil memancung

lehernya,” sahut mereka bersama.

“Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-citakan.

Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan keprihatinan dari

kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti kemenangan dari jiwa

rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha

Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan

masyarakat seperti masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat

yang bekerja keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai

tata tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi”.

Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi jatuh

di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat mengejutkan.

Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah yang

terbanting-banting.

Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara Wanamerta

gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis, “Hei

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 94

rakyat Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian

masih tetap pada pendirian kalian? Supaya aku membiarkan kalian

hanyut dalam arus kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu

pada nafsu yang tak terkendali seperti sekarang ini?” Tak ada

suara yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,

“Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan

cara hidup kalian sekarang ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi

sesama kita karena kita sudah mabuk…?”

Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam.

Namun kemudian terdengarlah suara mereka saur manuk,

“Tidak…tidak… tidak….” Wanamerta kemudian meneruskan, “Nah,

dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara

hirup kita ini akan kita akhiri?”

“Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka

berebut keras.

“Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru yang

sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan perlahan-lahan

membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga kalian

lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada

kampung halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah

baik-baik. Arya Salaka itu akan datang. Benar-benar akan datang.”

Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. “Kita sambut

anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera

Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan

kita.”

Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang sampai

beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu terdengar

sebuah teriakan, “Belum. Kita belum sampai ke sana. Kita masih

harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”

“Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung

halaman sendiri,” teriak yang lain.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 94

Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak

menggetarkan tanah lapang itu, “Omong kosong! Omong kosong

semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak seorangpun

merasa kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”

Tiba-tiba suara riuh itu mereda. Karena itu Sontani

meneruskan, “Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah, sawah,

halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-barang itu masih

tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada seorangpun yang

merampasnya?”

Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang berdiri

di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka, sawah mereka

dan rumah mereka. Tetapi kemudian terdengarlah suara

Wanamerta tenang, “Kau benar Sontani, tetapi aku dan kalian

harus membayar upeti lebih dari dua kali lipat dari upeti yang harus

kalian bayar dulu.”

“Benar, benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.

Muka Sontani menjadi merah padam. Ia merasa terdesak.

Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu terjadi. Kalau rakyat

Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia akan tetap

menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah

dengan demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi

kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus

berusaha keras untuk melawan Wanamerta. “Upeti adalah

kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai tanahnya. Kalau

upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu adalah karena kebutuhan-

kebutuhan kamipun meningkat pula,” katanya.

Wanamerta tersenyum, jawabnya, “Apakah yang pernah

dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun rumah-

rumah pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak

satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru? Yang sudah ada pun tak

terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat ibadah pun tidak ada. Dan

bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 94

“Benar, benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.

Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat

menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling

Wanamerta, sambil berteriak, “Persetan dengan sesorahmu. Kau

hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap kau.”

Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan

masih setenang tadi ia menjawab, “Jangan marah Sontani.

Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula akupun

telah mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah

mengatakan bahwa aku berada di pihak kalian, apapun yang kalian

kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki meletakkan segala

sesuatunya pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang

seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu

dan kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan kebenaran

dan keadilan yang sebenar-benarnya.”

“Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau

meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu dengan

tanganku.” Sontani sudah tidak dapat menyabarkan diri lagi.

“Jangan Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi,

“Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik.”

Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah

semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang hitam

kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya.

Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah

meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik perhatian,

mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang berdesak-

desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah

menghampiri Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang

diri, maka Sendang Papat dan Sendang Parapat pun menyabarkan

diri mereka dan melihat saja apa yang akan terjadi.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 94

“Wanamerta....” kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh

kemarahannya. “Jangan menjawab pertanyaanku. Tetapi kau

hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat ini.”

Wanamerta masih belum

bergerak. Tetapi orang-orang

yang berdiri melingkar itu

menjadi cemas. Sontani adalah

seorang yang benar-benar

keras hati. Ia benar-benar

dapat melakukan apa saja

yang ia katakan. Tetapi

Wanamerta belum juga

beranjak dari tempatnya. Maka

ketika ia melihat Sontani

semakin dekat di hadapannya,

ia mencoba untuk sekali lagi

menjawab. Tetapi demikian

Wanamerta menggerakkan

mulutnya, Sontani sudah

membentaknya, “Jangan

menjawab dengan kata-kata,

pergi!” Wanamerta memandanginya dengan seksama. Dari ujung

rambutnya sampai ke ujung kakinya. Maka ketika ia sudah

mendapat ketetapan hati, sengaja ia berkata, “Kenapa tidak

boleh?”

Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar

Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan

dirinya. Dengan satu loncatan ia telah berhasil menangkap baju

Wanamerta dan mengguncangnya sambil membentak, “Jangan

menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”

Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua

orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba mereka

menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap orang yang gila

pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 94

mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan,

“Lepaskan dia Sontani, lepaskan.”

Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau

mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar pula

suara, “Sontani, jangan main kekerasan.”

“Diam kalian!” bentak Sontani, “Aku dapat berbuat apa yang

aku kehandaki. Jangan turut campur.”

“Jangan keras kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain,

“Supaya kami tidak berkeras kepala pula.”

Sontani menjadi gemetar. Tetapi suara-suara itu terus saling

menyusul. “Lepaskan dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus

melepaskannya?” Disusul pula dengan suara-suara yang mulai

bernada kemarahan. “Pergi kau Sontani. Pergi kau. Atau kami

harus memaksa?”

Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit

pengikut-pengikut Sontani, “Hantam dia. Hantam kambing tua

itu.”

Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian ia

menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-

goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, “Babi tua,

jangan banyak tingkah.”

Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai lagi.

Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila demikian, di

tanah lapang itu akan terjadi medan pertempuran kecil-kecilan.

Tetapi, tiba-tiba Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan

Sontani, “He, orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian

masing-masing. Jangan dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian

ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”

Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa

orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran.

Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi oleh pengalaman

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 94

dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang

Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya.

Mata yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang

tak habis-habisnya. Ketika Sontani melihat mata orang tua itu, ia

terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu memancarkan pengaruh

yang aneh. Sehingga tiba-tiba Sontani membuang matanya ke

arah orang-orang Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun

masing-masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.

“Lepaskan Sontani,” kata Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi

bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak di atas

kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh kata-kata itu

dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik

Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti

tugu yang tegak dan tak tergerakkan. Bahkan sekali lagi ia berkata

lirih, “Lepaskan Sontani, lepaskan.”

Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia

melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat melawan

pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya itu.

Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa

Bahu Lemah Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka

benar-benar akan datang. Karena itu, didorong pula oleh

kesombongannya, serta untuk menutupi kelemahannya, ia

berteriak, “Aku lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”

Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia

berkata kepada orang-orang Banyubiru, “Apa yang kalian lakukan?

Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”. Mereka yang

membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan

mereka yang berpihak kepada Sontani. Kenapa kalian…? Bukankah

kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih kepada

kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan

aku berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang

berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain. Tetapi

aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih melihat kalian

akan bertempur satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 94

Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang mendengar

kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak tahu

maksud perkataan itu. Bagaimanakah seharusnya mereka

berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini?

Tetapi mereka tidak boleh berbuat apa-apa.

Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia

menjelaskan, “Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal

itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak bagiku dan tidak

bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan hanyalah menempa tekad

untuk melebarluaskan berita itu. Kalian hanya akan menyambut

kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini dengan tombak Kyai

Bancak di tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan

oleh yang berhak membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang

mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu

perintahnya.”

Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah

mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah laskar

Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar keputusan Mahesa

Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu

Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara

dengan mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang

harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang sudah

dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.

Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia tidak

dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya. Karena itu

dengan suara yang mengguruh ia berkata, “Wanamerta, baiklah

kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan

berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau

kesempatan, aku sekarang terpaksa bertindak terhadapmu.

Menyumbat mulutmu.”

Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia

tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya. Tetapi ia

tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke dalam bentrokan itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 94

Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan

penyelesaian masalah hanya karena berkelahi sesamanya. Karena

itu ia menjawab, “Baiklah Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku

ingin berbicara terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu

terserah apa yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba

untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan

aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk

pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat diperlukan

buat masa depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu kalau ada

perbedaan pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut

mereka.”

Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-kata

itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan seorang. Ia

menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa pengikutnya tidak

sedemikian banyak berada di tanah lapang itu. Maka ia menjawab

lantang, “Suatu kehormatan bagiku orang tua yang sombong.

Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor

anak ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas

pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu.”

Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang

mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala daerah

perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana,

ia telah menjabatnya. Karena itu iapun cukup tajam untuk menilai

seseorang. Terhadap Sontani, iapun dapat menilai pula dengan

tepat. Ia tidak lebih dari seorang yang besar kepala, sombong dan

keras hati.

“Kau benar,” jawab Wanamerta, “Kau adalah ayam jantan itu.

Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah

matahari hampir terbenam.”

Sontani menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling.

Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang Parapat yang

tersenyum melihat kesombongannya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 94

Dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat

Banyubiru, “Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah

Abang.”

Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, “Wanamerta, bukan

salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir.

Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”

Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan

bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata,

“Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama,

barangkali ini untuk yang terakhir.”

“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.

“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh

tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya.

Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar

sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali. Maka

jawab Wanamerta, “Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi

aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi

kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan

berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”

Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia

berteriak, “Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku

ingin sekali meremasmu.”

Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang

cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri

disekitarnya berdesakan mundur. Dada mereka tergoncang.

Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu

serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas

apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu

Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk

mempertahankan kedudukannya itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 94

Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat

demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai

seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu

berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang

pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga

sama sekali.

Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan

yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun

beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua

itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah

dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan

yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya

bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar

hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.

Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta

menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf

mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan

berbahaya itu. Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak

memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia

meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi. Tetapi

Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua,

maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan.

Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga.

Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi

perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka

bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya.

Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan

demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan

segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua

yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah

berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di

pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi serigala yang marah itu,

Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani

selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang

yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 94

tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak

berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat

mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena

Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani,

maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang

berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka

tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun

berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar

karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya.

Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan

Sendang Parapat tersenyum-senyum. Lima tahun yang lampau,

memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak

lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di

bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian

mereka itu pun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar

sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan

Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta

dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan

dan sama sekali tidak bermutu. Wanamerta tidak ingin melihat

keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk

mengalahkan Sontani tanpa melukainya.

Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak.

Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan

menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia

berteriak-teriak, “Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi

serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus

karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi

janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu

yang seolah-olah membelah langit.”

Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindar terus ia

menjawab, “Sontani, seingatku, seumur hidupku aku tidak pernah

sesumbar. Karena itu, aku tidak malu seandainya aku kalah dalam

pertempuran. Kekalahan bukan berarti kehilangan kejantanan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 94

Seorang jantan pun dapat kalah pula. Kalah dalam kejantanannya

sebagai suatu kenyataan.”

Sontani tertawa. Karena tertawa, ia memperlemah

serangannya. Katanya, “Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku

beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf

kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena

kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini

dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”

“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak,

Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi

permintaanmu,” jawab Wanamerta.

Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta

benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak

dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba

Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu

sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu, “Aku beri

kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada

kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur

gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi.”

Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani

menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani

sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai

dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut.

Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu

masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut.

Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa

serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak

hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa

langkah surut. Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang

hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana

menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak,

bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena

perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 94

macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk

menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan

Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian

ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta,

meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan. Namun dengan

perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua

kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak

menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan

kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya

dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.

Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan

pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk

rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin

membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh

nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari

mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang

seram.

Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang

demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan

berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak

mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta

pengikut-pengikutnya.

Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap

itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah

akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan

korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah

mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya

seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin

dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan

umum. Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut.

Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih

mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang

mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat

dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 94

sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih

dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan

kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri

sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan.

Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke

dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina

lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri.

Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan. Tetapi

sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya.

Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang

tak dapat dikalahkan.

Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah

kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia

berteriak nyaring, “He Wanamerta, bertempurlah dengan laku

seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar.

Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”

“Hem....” gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai

menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia

menyabarkan diri.

Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum

menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, “Hai, kelinci betina.

Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar

seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran

ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”

Wanamerta menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu

sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu perlahan-lahan ia

menjawab, “Kau belum sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”

Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa pada

hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-tiba. Sekarang

dari lawannya itu ia mendapat peringatan akan kelalaiannya.

Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba terjadilah

apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 94

dihindari, sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani

itu terus menerus tanpa menjatuhkannya. Dengan penuh

kemarahan, Sontani berteriak, “Hei orang-orang Lemah Abang

yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”

Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta.

Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan seluruh

pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati karenanya.

Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus

menghadapi akibat yang barangkali tak pernah dipikirkan. Karena

itu Wanamerta mencoba mencegahnya. Dengan nyaring ia

berteriak, “Tunggulah Sontani.”

Tetapi, Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia tidak

mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang pengikutnya yang

mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah menjadi

ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan

berloncatan maju, mendesak orang-orang yang berdiri di

sekitarnya. Bahkan beberapa orang mereka dorong jatuh tanpa

peringatan apapun.

Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-jejal itu

tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih belum sadar apa

yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang berloncatan

memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama

dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-

ramai.

IV

Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri Sontani.

Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya, melihat kebenaran

keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi makanan pesta dari

orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari

kepentingan mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun

serentak, tanpa perintah dari siapapun, bergerak melawan orang-

orang Sontani. Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 94

semacam perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani

melawan orang-orang Banyubiru yang lain.

Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang

kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus

menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi

emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa

pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.

“Apa yang akan kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat.

Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit,

namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya telah

terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran

antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti

masa depan yang lebih menyenangkan.

Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk menjauhi

Wanamerta. Dengan penuh kemarahan ia berkelahi. Namun

lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa mundur dan

mundur. Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka

ternyata korban lawan. Lawan yang dengan penuh kemarahan

melawan mereka. Bagaimanapun kuatnya Sontani, dan

bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta, namun

akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali

tak mereka harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah

berkelahi mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil

melepaskan diri dari tangan orang-orang yang semula

dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang

menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya. Beberapa

orang mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya

sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya. Tetapi tangan

orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak mampu melepaskan diri

dari mereka yang tak terkendali lagi itu.

Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia tak

menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak terdengar dari

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 94

sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata, “Sendang,

selamatkanlah Sontani itu.”

Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda yang

selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan yang telah

dialami oleh orang-orang

Banyubiru dari orang-orang

semacam Sontani itu. Di

hadapan hidungnya ia melihat

Sontani telah berusaha untuk

menghina Wanamerta, sese-

puh tanah perdikan ini. Karena

itu, ketika ia mendengar

perintah Wanamerta, mereka

menjadi heran dan ragu, se-

hingga Wanamerta terpaksa

mengulangi, “Sendang....”

suaranya perlahan-lahan, “Se-

lamatkan Sontani.”

Sendang Papat dan

Sendang Parapat sadar dari

keragu-raguannya. Bagaima-

napun perasaannya bergolak di dalam dadanya, namun mereka

adalah orang-orang yang patuh. Karena itu mereka tidak

menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat

diantara orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup

langsung ke arah Sontani.

Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta

kelebihan-kelebihan mereka, mereka pun segera berhasil berdiri di

samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu. Dengan penuh

tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan suara orang-

orang Banyubiru yang marah itu, “Hai, kawan-kawan yang baik.

Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini kepadaku.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 94

Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang Papat itu

terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam samar-samar

sinar obor yang jauh. “Bukankah yang berteriak itu Sendang

Papat...?”

Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, “He, adakah kau

Adi Sendang Papat?”

“Ya,” jawabnya singkat.

Dari arah lain terdengar suara, “Dan inilah adiknya, Sendang

Parapat.”

“Bagus, bagus,” teriak yang lain, “Bukankah kau datang untuk

membunuhnya?”

“Lepaskan dia,” kata Sendang Papat keras-keras.

Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat

mendesakkan kata-katanya pula, “Lepaskan dia. Berhentilah

berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”

Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh beberapa

kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena suara-suara itulah

maka perkelahian itu terpengaruh pula. Semakin lama menjadi

mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun masing-masing wajah

masih diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.

“Serahkan orang itu kepadaku,” kata Sendang Papat dengan

kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang berdiri di

sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka ragu,

seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri

dengan kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.

“Apakah kalian keberatan?” desak Sendang Papat. Matanya

beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang penuh

mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang berdiri di

hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar

bahwa Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 94

selama ini seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-

lainnya lagi.

Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu

terdengar sebuah pertanyaan, “Akan kau apakan dia, Sendang

Papat?”

Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar

pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Serahkanlah

kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”

“Apa yang akan dilakukan?” bertanya yang lain.

“Ia tahu apa yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.

Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan. Masing-

masing mencoba mengangan-angankan apakah kira-kira yang

akan dilakukan oleh Wanamerta.

Tetapi kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu peristiwa

yang tak terduga-duga, yang merusak suasana yang hampir baik

kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni yang

pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta

menyerang Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat

mengenai lambung kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.

Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih. Karena

itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan mengenai dirinya,

selain tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun dengan

cepatnya ia bergerak dengan tenaganya yang terakhir, menangkap

tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan

melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret

beberapa langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat

segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-orang

yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti mendorong

Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-

oleh terkunci. Dalam saat itulah Sendang Papat, memandangi

kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 94

adiknya, pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya,

adalah serasa tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-

rapat, kini seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung

berapi yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah

kemarahan Sendang Papat. Ia sempat melihat adiknya berputar

cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan orang yang

menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu

terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti

thathit meloncat beberapa langkah ke arah orang yang mendorong

adiknya, untuk melepaskan pegangannya. Demikian Sendang

Parapat terlepas, dan tubuhnya terbanting di tanah, demikian

Sendang Papat sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat

tiba-tiba berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat

pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia

menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itu pun

agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan

itu. Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi

seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai yang tak tertahan lagi ia

menerkam orang yang menusuk lambung adiknya. Betapa orang

itu mencoba melawannya, tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah

lawannya. Karena itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang

kemudian disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam

pada dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu

seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke

belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke

tanah. Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata

Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-

pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah, seorang dengan licik

dan curang telah menusuk adiknya. Seperti seekor harimau ia

meloncat ke atas tubuh orang itu, dan dengan sekuat tenaga

seperti hujan yang tercurah dari langit, ia menghantam bertubi-

tubi wajah orang itu. Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi

juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat

yang sedang marah.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 94

Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru menjadi

terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak pula mereka

menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang berlangsung sedemikian

cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui kemudian adalah

Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang

terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk

mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.

Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal diam.

Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk bergerak,

mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata

mereka adalah pengikut-pengikut Sontani.

Beberapa orang bersama-sama dengan mempergunakan

senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau runcing,

menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya,

namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan

bahaya yang mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan

tangkasnya ia berdiri, menarik bagian dada baju orang yang

menusuk adiknya itu sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga

yang ada, Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan

kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti

tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan terhuyung-

huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang Papat

melepaskan pegangannya, dengan tangan kirinya, ia mengangkat

muka orang itu menengadah, dan sekali lagi dengan tangan

kanannya ia menghantam wajah itu. Ternyata orang itu sudah

tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja

terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada

saat itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat

dengan pisau-pisau di tangan. Tetapi Sendang Papat adalah

seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri

tidak mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak takut

melawan orang-orang itu. Karena itulah maka segera berkobar

kembali perkelahian. Sendang Papat melawan lebih dari empat

lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru. Meskipun

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 94

demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk

mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya.

Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor kijang

yang keriangan di padang rumput yang hijau. Tangannya

menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang

bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-

latihan yang ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya

pada kedudukan yang menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang

bernama Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa

terkendali.

Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya

kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu. Ketika para

pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang

yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-

orang Sontani itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu

melawan kemarahan orang-orang yang jauh lebih banyak dari

jumlah mereka. Karena itu sebagian besar dari mereka segera

melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian

hanyalah kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan

Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka merasa

bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka.

Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat keributan

timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui apakah yang

terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang Parapat

terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia

melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga

berusaha untuk menahan darah yang mengalir itu. Sedang

seorang lagi agaknya ikut serta berkelahi melawan orang Sontani.

Wanamerta kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat

Sendang Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya

sama sekali.

Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.

Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 94

dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia dapat mengambil

keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat

menempatkan beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada

kesadarannya kembali. Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat

membawa akibat yang buruk. Meskipun hanya sementara.

Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani lagi.

Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan, tanpa

mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih berkelahi terus,

dan apakah ada diantara mereka yang menjadi korban. Yang

penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.

Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah menyuruh

kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang keluar

dari lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.

Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,

“Bagaimana luka itu?”

“Berat Kiai,” jawab salah seorang diantaranya.

“Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar

tempat ini?” tanya Wanamerta pula.

Kedua orang itu berpikir. Kemudian salah seorang menjawab,

“Bagaimana dengan Kakang Prana?”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia

mengangguk-angguk, katanya, “Aku kira ia baik. Bawalah

Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan beberapa

persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti ke sana. Aku

sendiri masih harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan

keseimbangan.”

“Tak dapat disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri

sendiri.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 94

“Ya,” jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata, “Nah

pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka

itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-labah.”

“Baik Kiai,” sahut orang itu sambil berdiri dan mengangkat

tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana yang tak jauh dari

lapangan itu. Mereka mengharap akan dapat beristirahat dan

menyembunyikan Sendang Parapat yang terluka itu.

Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta mendekati

Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa orang telah berdiri

di sekitar tempat itu dan beberapa orang lagi berbondong-bondong

berlari-lari ke titik perkelahian itu pula. Mereka itu datang kembali

setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani.

Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas

tersengal-sengal berteriak, “Bunuh saja mereka semua, bunuh

saja.”

“Bunuh… bunuh….” sahut yang lain.

Wanamerta menjadi semakin cemas. Dengan demikian

permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan bertambah

menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia

mengharapkan pertanggungan-jawab sepenuhnya terletak di

bahunya, setidak-tidaknya pada Sendang Papat. Maka segera ia

meloncat maju sambil berteriak, “Jangan ganggu mereka. Biarkan

mereka bertempur dengan jujur.”

Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata

Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya.

Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan

mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan paling depan

bertanya, “Bagaimanakah perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi

Sendang Papat hanya seorang diri tanpa senjata, harus melawan

lima orang bersenjata.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 94

Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat

kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia menjawab, “Jangan

takut. Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur

melawan lima orang sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”

Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak mendengar

mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat akan mengalami

bencana seperti adiknya.

Kemudian tak seorang pun berbicara lagi. Mereka dengan

seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun

juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan

tidak tahu bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah

kepadanya. Yang ia ketahui adalah gelora dadanya sendiri. Gelora

kemarahan yang meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-

satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah.

Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang sedemikian

eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit pula bagi yang lain.

Tiba-tiba sekarang di hadapan hidungnya ia melihat adiknya jatuh

berlumurah darah. Karena itu otaknya menjadi terguncang dan

karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-

tiba menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu

mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah mereka

telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu mereka tidak

mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan demikian maka

merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur mati-

matian, sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka

mengharap Sontani datang membantu, atau Sontani akan datang

dengan kawan-kawan yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani

dapat menghubungi pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka

mendengar kata-kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-

orang Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka.

Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi mereka

itu.

Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak

apa-apa terhadap mereka, namun akan sama sajalah akibatnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 94

Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu, tendangannya jauh

lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu

menyerang mereka beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba

juga untuk mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang

berdiri di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu

tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama.

Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh kemarahannya,

melawan lima orang yang mata gelap karena putus asa. Sebab

setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu,

mereka tidak dapat mengharapkannya lagi.

Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin lama

menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas tandang

Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima orang yang

bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat Sendang

Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya

bertambah-tambah.

Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak dirinya.

Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap. Tanpa sesadarnya

sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah seperti hujan yang

melimpah.

Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-

tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah

seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya,

terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah seorang dari

lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur

dari dadanya.

“Sendang Papat…!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang

Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian

seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar tak berdaya. Tiga

orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada

mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 94

mereka pun berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan

sekeliling mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat

ke arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-

merta, mereka mendesak menyusup ke dalam kepepatan orang-

orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari

mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat

menangkap lehernya dan tanpa ampun lagi, belati kecilnya

menyusup diantara tulang-tulang iganya. Terdengar sekali ia

memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga

orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari

mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali belum

puas. Dengan marahnya ia berteriak nyaring, “Tangkap iblis-iblis

itu.”

Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas

pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu. Mereka hanya

dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat mengejar dua

orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang

berdiri memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku

diam, dan membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu

menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian

belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.

Sinar obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali

tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-

gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat

mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua orang yang

melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang

kemudian dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam

gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.

Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang

lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang

ingatan ia berteriak, “Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua

orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti

menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 94

Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar

memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat

diketemukan.

Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat

gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik

dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang

dikentalkan, badhek dan sebagainya. Hatinya yang marah itu pun

menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok

bersama-sama.

Gamelan yang seperangkat itu pun merupakan salah satu

sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu

sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.

Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan

seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya. Tetapi gamelan yang

seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring

tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati

kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang

tak terkendali. Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,

“He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan

menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang

pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”

Tak seorang pun yang menjawab.

“Dengar…!” teriak Sendang Papat, “Aku akan membakar

gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang

cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau

kalian sependapat, ikutlah aku.”

Juga tak seorang pun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba

dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang

dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar

sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan.

Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan

itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 94

minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya. Bahkan

kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi

terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil

berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah

lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat

gamelan itu.

“Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.

Obor-obor itu pun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak

yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan

membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat

kemudian, api pun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah

hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin

perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang

menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi

sedikit hangus dimakannya.

Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang.

Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan

mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja

di atas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya.

Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itu pun dalam sekejap

telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan

iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang

terbakar. Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-

orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka

menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah

lapang itu.

Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang

sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat.

Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya.

Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa

Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 94

dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri

peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.

Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara.

Asap yang hitam membubung tinggi ke langit.

Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan

keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman

malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.

Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan

demikian keadaan akan bertambah buruk. Karena itu, selagi masih

ada kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan

orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih besar.

Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti

anak anak bermain api mendekati Sendang Papat.

Ketika ia sudah berdiri di belakang anak muda itu ia

menggamitnya, Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya

masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta

beragu sejenak, tetapi akhirnya ia berkata, “Sendang, hentikan

permainan ini.”

Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan

kecewa, bantahnya, “Aku harus membunuh semua orang yang

telah bersetuju untuk membunuh adikku.”

“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak

sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta

lunak.

“Kapan aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai

sekarang.” bantah Sendang Papat.

“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini

kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita

dengan orang orang yang telah keblinger itu,” Wanamerta

mencoba memberikan penjelasan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 94

“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih

adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut

Sendang Papat.

“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha

membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang dari

mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini.

Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke

tanah lapang ini?,” bertanya Wanamerta. “Bagaimanakah kalau

terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu

Sora?.”

“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka

semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.

Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu

Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari tanggung

jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya.

Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang

Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan

derap kaki kuda. Dada Wanamerta pun berdesir. Itulah pertanda

bencana akan datang.

“Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,”

berbisik Wanamerta.

Tetapi Sendang papat ridak mendengarnya. Yang didengar

adalah derap kuda yang mendatangi tanah lapang itu.

Tiba-tiba wajahnya menjadi terang. Tampaknya ia menjadi

gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan.

Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian

menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama

semakin dekat. Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-

lari dibelakangnya. Merekapun tiba tiba menjadi gembira pula.

Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa

orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 94

Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang

kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan

berkuda itu.

Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-

nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah

mengamuk. Segera kemarahan menjalar di dada mereka. Apalagi

ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan

mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apa saja

yang mereka ketemukan.

Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan

bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru.

Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak

orang dilapangan itu. Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan

ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di tanah.

Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat

umpat.

Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu

terpencar pencar seperti orang kesurupan ia berlari-lari mengejar

kuda-kuda itu. Tetapi, kuda-kuda itu berputar-putar dan

menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat sikap itu Sendang

Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi

marah pula. Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang

Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu dianggapnya sapi

gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat

pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin.

Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang

berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan

perlawanan. Orang banyak itu pun mengamuk sejadi-jadinya.

Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka

adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan

keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak

banyak berarti. Hanya Sendang Papat lah yang mampu

menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda

dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 94

kekuatan ia mendesak orang di sekitarnya untuk menghindar.

Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia

meloncat ke atas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah

membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian

terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan

orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itu pun tak

banyak yang dapat dilakukan.

Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung jawabnya.

ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang Pamingit itu. Namun

akhirnya satu demi satu jatuhlah korban.

Sedang keributan di tanah lapang itu pun semakin menjadi jadi

pula.

Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu harus

segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil menjadi korban.

Karena itu segera Wanamerta berteriak, “Hindarkan diri, hei orang

Banyubiru. Hindarkan diri kalian.”

Sekali dua kali suara Wanamerta itu tenggelam saja dalam

gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta teriakan orang

Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa. Diulanginya

lagi kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia berteriak

keras; “Hei orang Banyu Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh

melawan orang berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri

kalian dari injakan kuda-kuda itu.”

Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka

mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang berkuda

itu. Sedangkan di hadapan mereka korban jatuh bertambah lagi.

Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus

pedang mereka. Meskipun demikian Sendang Papat bertempur

seperti burung Sikatan. Ia menyambar dengan lincahnya di atas

kudanya. Namun tidaklah banyak yang dapat dikerjakan.

Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi, suaranya mulai dapat

perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap luap

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 94

perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan tanah lapang

itu meskipun seandainya mereka harus terbunuh, tetapi terdengar

Wanamerta berkata: “He, hindarkan diri kalian. Jangan mati tanpa

arti. Tenaga kalian masih

sangat diperlukan oleh tanah

kelahiran ini. Tetapi nanti

dalam kesempatan yang lebih

baik, dimana kalian membawa

senjata di tangan kalian.”

Demikianlah, kemudian

orang Banyubiru itu sadar akan

keadaan yang tidak

berimbang. Karena itulah

mereka mengikuti nasehat

Wanamerta yang selalu

diulang ulang. Beberapa orang

meloncat dan berlari

meninggalkan lapangan itu.

Kuda orang Pamingit itu

pun mejadi liar pula. Mereka

berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar. Diatas

punggung mereka itu pun duduk orang gila yang liar seperti

beruang alasan.

Orang berada dilapangan semakin berkurang jua. Satu satu

mereka mencoba menghindarkan diri mereka dengan janji di

dalam dada apabila datang saatnya maka akan mereka serahkan

jiwa raga mereka sebagai tebusan atas kekhilafan mereka selama

ini. Tetapi kali ini, mereka tidak akan mati tanpa arti.

Beberapa orangberkuda mencoba mengejar mereka namun

mereka itu pun segera meloncati pagar batu dan menyusup pagar

bambu, tenggelam dalam gerumbul yang gelap.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 94

Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama sekali

tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak

mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia harus bertempur

seorang diri.

Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-sama

menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak

dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk

memutar kudanya, menghindar kesamping. tetapi kuda lawannya

itu akan melanggarnya. Disusul dengan yang seekor lagi dari arah

lain. Sendang Papat segera menarik kekang kudanya, sehingga

kuda itu terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan,

tetapi seekor lagi benar benar membenturnya.

Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat

sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya

bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya.

Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha bangkit kembali.

Demikian mereka berdiri, demikian mereka bertempur kembali.

Tetapi dalam pada itu, kawan kawannyapun telah siap pula untuk

membantu. Wanamerta yang masih berdiri di tanah lapang melihat

kesulitan yang bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau

mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia harus

berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi lawan

terlalu banyak. Untuk sesaat Wanamerta berbimbang hati. Ia

menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan kejernihan

pikirnya sehingga seolah olah ia akan membunuh diri.

Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun yang

terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah dengan secepat

ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah Sendang Papat, untuk

membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang

Papat masih sempat mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat

menyerang lawannya, yang berdiri di atas tanah. Dengan

demikian, Wanamerta masih dapat menyapanya sebelum ia digilas

oleh kaki kuda orang Pamingit itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 94

Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah “Sendang,”

suaranya perlahan sekali. “Adikmu mencarimu”

“He,” Sendang Papat terkejut “Prapat?”

“Ya,” jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut melawan

lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor kuda sekali lagi

menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang diuraikan,

Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta

dan melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh

sendang Papat. Dengan sigapnya ia meloncat, dan sekali lagi

kerisnya membenam di tubuh orang itu. “Naiklah kiyai,” teriaknya.

Tetapi Wanamerta tidak sempat naik. Orang yang semula berkelahi

melawan Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang

menyambar lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan

dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam lambung orang

itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar. Malanglah

baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari

mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk

menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah. Tiba-Tiba seseorang

terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itu

pun dengan dahsyatnya terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang

berlari kencang. Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar

saja. Iapun segera berlari, meloncat ke atas punggung kuda, yang

semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang masih berdiri

di tengah lapangan, menjadi terkejut dan berlari melingkar-

lingkar. Untunglah Wanamerta segera dapat menguasainya.

Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau semula

ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan membawa bela

sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir kembali.

“Adakah Parapat masih hidup?” pikirnya.

Dan tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan

tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera mendekatkan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 94

diri kepada Wanamerta sambil bertanya, “Adakah Kiai tadi berkata

tentang Parapat?”

Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang kuda

yang telah siap menerjang mereka. Meskipun demikian ia

menjawab, “Ya.”

“Bagaimana dengan anak itu?” Sendang Papat minta

penjelasan.

“Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih

tertolong,” Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu

meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.

Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang semula

mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki tanah lapang

kembali. Bahkan mereka pun segera bersiap pula untuk

menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah,

sementara itu harapannya mulai timbul kembali. Mudah-mudahan

Sendang Papat bersedia meninggalkan tanah lapang ini untuk

melihat adiknya.

“Tak cukup banyak waktu Sendang,” kata Wanamerta pula,

“Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan.”

“Di mana dia sekarang?” tanya Sendang Papat.

“Ia disembunyikan di rumah Ki Prana,” jawab Wanamerta.

Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya orang-

orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka berdua.

“Mereka datang, Kiai,” kata Sendang Papat.

Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik

kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping. “Pikirkan

adikmu itu,” katanya sebelum kudanya berlari.

Sendang Papat tidak sempat menjawab. Seekor kuda lawan

menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 94

menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada

punggung kudanya. Hatinya berdesir ketika Sendang Papat

merasakan angin sambaran pedang menghembus tengkuknya.

“Hampir saja,” desisnya. Karena itu Sendang Papat merasa bahwa

lebih baik melawan orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula.

Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun memungut pedang dari

seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali. Dengan

pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya dengan

kekuatan yang berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun

bertambah-tambah pula. Sendang Papat melihat Wanamerta yang

tua itu pun dapat bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba

saja telah tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai

pendek. Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah

senjata yang tidak terlalu pendek dalam pertempuran berkuda.

Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat

mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-kata

Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia

mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan dengan suara yang

parau dan perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kita lebih baik

meninggalkan lapangan ini, Kiai?”

“Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan

perawatan,” jawab Wanamerta.

“Baiklah,” jawab Sendang Papat.