17_Abd Rachaman Assegaf

46
BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan diatur dalam Permendiknas No. 40 Tahun 2007. Kebijakan ini berlaku baik bagi guru di sekolah umum maupun di madrasah. Kebijakan ini terutama sekali diperuntukkan bagi guru muda yang berprestasi yang tidak mengikuti jalur portofolio sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 18 Tahun 2007. Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, guru madrasah dapat mengikuti program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Namun demikian, perlu diketahui bahwa guru madrasah memiliki kekhasan tersendiri yang tidak dijumpai di sekolah umum. Guru madrasah memikul beban ganda dalam muatan kurikulumnya, mengingat bahwa madrasah adalah sekolah umum dengan ciri khas Islam, maka komposisi materi pelajarannya lebih kompleks daripada di sekolah umum. Selain itu, madrasah dikelola oleh Departemen Agama dimana lebih dari 80% adalah berstatus swasta yang sebagian besar di antaranya berada dalam naungan pesantren. Keterlibatan peran serta masyarakat, dalam hal ini adalah pihak yayasan dan ormas Islam, semakin menambah ciri khas madrasah tersebut menjadi lebih kompleks, karena mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan pelaksanaan pendidikannya, bahkan dalam kurikulumnya. Lebih dari itu, adalah sulit mencari peserta program sertifikasi guru madrasah yang muda dan berprestasi untuk ikut serta dalam program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan, kalaupun ada, umumnya mereka kurang memenuhi kualifikasi dan persyaratan, dimana hal ini berbeda dengan guru di sekolah umum yang lebih siap mengikuti program ini. Untuk itu perlu dilakukan upaya inovasi dan pengembangan bagi kebijakan sertifikasi bagi guru madrasah tersebut. Tulisan ini berupaya untuk meneliti tentang perkembangan kebijakan Pemerintah terhadap madrasah, problematika yang dihadapi oleh guru madrasah, dan mencermati kesiapan mereka dalam melaksanakan kebijakan program sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk

Transcript of 17_Abd Rachaman Assegaf

Page 1: 17_Abd Rachaman Assegaf

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan diatur dalam

Permendiknas No. 40 Tahun 2007. Kebijakan ini berlaku baik bagi guru di sekolah

umum maupun di madrasah. Kebijakan ini terutama sekali diperuntukkan bagi guru

muda yang berprestasi yang tidak mengikuti jalur portofolio sebagaimana diatur dalam

Permendiknas No. 18 Tahun 2007.

Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, guru madrasah dapat mengikuti

program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Namun demikian, perlu diketahui

bahwa guru madrasah memiliki kekhasan tersendiri yang tidak dijumpai di sekolah

umum. Guru madrasah memikul beban ganda dalam muatan kurikulumnya, mengingat

bahwa madrasah adalah sekolah umum dengan ciri khas Islam, maka komposisi materi

pelajarannya lebih kompleks daripada di sekolah umum. Selain itu, madrasah dikelola

oleh Departemen Agama dimana lebih dari 80% adalah berstatus swasta yang sebagian

besar di antaranya berada dalam naungan pesantren. Keterlibatan peran serta

masyarakat, dalam hal ini adalah pihak yayasan dan ormas Islam, semakin menambah

ciri khas madrasah tersebut menjadi lebih kompleks, karena mereka ikut terlibat dalam

proses pengambilan keputusan pelaksanaan pendidikannya, bahkan dalam

kurikulumnya. Lebih dari itu, adalah sulit mencari peserta program sertifikasi guru

madrasah yang muda dan berprestasi untuk ikut serta dalam program sertifikasi guru

melalui jalur pendidikan, kalaupun ada, umumnya mereka kurang memenuhi kualifikasi

dan persyaratan, dimana hal ini berbeda dengan guru di sekolah umum yang lebih siap

mengikuti program ini. Untuk itu perlu dilakukan upaya inovasi dan pengembangan

bagi kebijakan sertifikasi bagi guru madrasah tersebut.

Tulisan ini berupaya untuk meneliti tentang perkembangan kebijakan

Pemerintah terhadap madrasah, problematika yang dihadapi oleh guru madrasah, dan

mencermati kesiapan mereka dalam melaksanakan kebijakan program sertifikasi guru

dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk

1

Page 2: 17_Abd Rachaman Assegaf

mengetahui sejauh mana kebijakan Pemerintah tentang sertifikasi guru dapat terlaksana

bagi guru madrasah tanpa menimbulkan kesenjangan dengan program sertifikasi guru di

sekolah umum.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan kebijakan Pemerintah terhadap madrasah? Apa yang

berubah dalam kebijakan tersebut? Bagaimana kondisi madrasah dalam konstelasi

pendidikan nasional saat ini?

2. Apa problematika yang dihadapi oleh guru madrasah dalam upaya peningkatan

profesionalisme guru melalui kebijakan sertifikasi guru?

3. Sejauh mana kesiapan guru madrasah dalam menghadapi kebijakan sertifikasi guru

dalam jabatan melalui jalur pendidikan?

C. Tujuan

1. Menjelaskan pentinnya peran madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional.

2. Mencermati realitas guru madrasah dalam melaksanakan kebijakan Permerintah

terkait dengan upaya peningkatan profesionalisme dan sertifikasi guru.

3. Memberi masukan kepada pihak pengelola madrasah, terutama para gurunya, agar

berupaya secara optimal dalam melaksanakan kebijakan sertifikasi guru dalam

jabatan melalui jalur pendidikan.

4. Memberi rekomendasi kepada pihak Pemerintah, khususnya Departemen

Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, agar hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai acuan bagi pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan

kebijakan sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan.

D. Lingkup

Tulisan ini dibatasi pada lingkup pembahasan seputar masalah sertifikasi guru

madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan, bukan jalur portofolio. Adapun

pemilihan guru madrasah di sini berarti selain dari guru sekolah umum, meskipun guru

di sekolah umum tersebut mengajar Pendidikan Agama Islam. Agar pembahasannya

2

Page 3: 17_Abd Rachaman Assegaf

menjadi spesifik, maka dalam uraian tentang guru madrasah dalam penelitian ini akan

difokuskan pada madrasah secara umum mulai dari jenjang MI, MTs, dan MA, dan data

terkini dikemukakan dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2008.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis kebijakan (policy analysis)

yang menerapkan pendekatan kualitatif. Sumber data digali dan dikumpulkan dari hasil

wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan secara bebas dengan

pihak yang terkait dengan sertifikasi guru madrasah, yakni pihak MAPENDA, Kantor

Wilayah Departemen Agama di DIY, beberapa guru madrasah, dan pihak Fakultas

Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu LPTK yang melaksanakan sertifikasi

guru di lingkungan madrasah. Jumlah responden tidak dibatasi berdasarkan teknik

sampling, namun dipilih berdasarkan teknik snowballing. Sedang observasi dilakukan

dengan cara mengunjungi beberapa madrasah di DIY. Adapun dokumen yang

dikumpulkan berasal dari instansi terkait, yakni Depag dan Diknas, berupa kebijakan

sertifikasi guru, seperti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, bahan sosialisasi panitia

sertifikasi guru dari Diknas, data statistik madrasah dari EMIS (Education Management

Information System) dari Depag, serta sumber tertulis lain baik dari buku, jurnal, surat

kabar, maupun internet.

Penelitian ini dibatasi pada lingkup madrasah yakni sekolah umum yang berciri

khas Islam. Lama waktu penelitian ini dilaksanakan sekitar tiga bulan yang dimulai

sejak diajukannya abstrak tulisan ini kepada panitia simposium pada akhir April 2008

dan dinyatakan masuk nominasi pada Mei 2008.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

memadukan beberapa pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan deskriptif (positif),1

yakni dengan menerangkan suatu gejala yang terjadi melalui pencarian fakta lalu

dilakukan interpretasi secara tepat.2 Yang dimaksud dengan gejala di sini adalah

kondisi riil dari karakteristik madrasah beserta problematika yang dihadapinya, sedang

1 Ace Suryani & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993), h.46. 2 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h.63.

3

Page 4: 17_Abd Rachaman Assegaf

faktanya adalah kebijakan Pemerintah terkait dengan sertifikasi guru dalam jabatan

melalui jalur pendidikan. Antara gejala dengan fakta memiliki hubungan interaktif.

Kedua, pendekatan preskriptif (normatif), yakni dengan menawarkan suatu

norma atau kaidah yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah. Dalam

penelitian kualitatif, pendekatan ini tergolong pendekatan rasionalistik, karena realitas

kebijakan sertifikasi guru madrasah tidak hanya dapat diamati dalam perspektif

empirik-sensual, dan perspektif teoretik dan etik,3 melainkan juga melalui pendekatan

realisme metafisik yakni dengan mempertimbangkan arti penting dari dimensi

keagamaan yang menjadi ciri khas madrasah, karena objek kajiannya tidak hanya

menekankan pada aspek material atau realitas sosial dari fenomena guru madrasah

semata, melainkan juga aspek spiritual atau metafisik yang berhubungan dengan

dimensi pendidikan agama (Islam).

F. Kajian Teoretik

Kebijakan (policy) merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh

seorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk

mencapai tujuan tersebut.4 Jadi, kebijakan selalu mengandung keputusan,5 dimana

keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil mengenai cita idiil; sedang

kriteria yang dipakai mungkin rasionalitas, prioritas, atau kaidah konstitusi.6 Di

samping suatu kebijakan diwujudkan dalam bentuk keputusan, kebijakan juga

menekankan kepada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan.7

3 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.85. 4Supandi & Achmad Sanusi, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK), 1988), h.11. Sebagian penulis membedakan kata kebijakan dengan kebijaksanaan. Dikatakan bahwa kebijakan sepadan dengan wisdom, sementara kebijaksanaan adalah policy. Dalam kebijakan terdapat pertimbangan perkecualian, sedang kebijaksanaan merupakan keputusan yang disepakati secara umum tanpa perkecualian. Sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Bahkan ada yang menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Lihat Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.15-17. Dalam hal ini penulis tidak memaknai kata kebijakan secara terisolasi atau sendiri melainkan dirangkai dengan kata pendidikan sehingga menjadi ‘kebijakan pendidikan’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 115, kebijakan pendidikan diartikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya. Batasan inilah yang diikuti.

5 Supandi & Achmad Sanusi, op. cit., h.15. 6Noeng Muhadjir, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia

(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.59. 7Supandi, op. cit., h.14.

4

Page 5: 17_Abd Rachaman Assegaf

Yang dilakukan itu bukanlah kebijakannya, melainkan programnya. “... Policy is not

implemented; it is the statute or program that are implemented.”8

Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam kebijakan adalah Undang Undang

Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, Undang Undang

Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan Peraturan Pemerintah

Departemen Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 Tentang

Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan Permendiknas Nomor 40 Tentang Sertifikasi Guru

dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, dan lain-lain. Semua produk kebijakan di atas

diberlakukan oleh Pemerintah dalam rangka mewujudkan upaya peningkatan mutu

pendidikan dan profesionalisme guru, serta peningkatan kesejahteraan guru. Sedang

program yang dilaksanakan adalah program sertifikasi guru (madrasah).

Bila dicermati secara seksama, kebijakan tentang sertifikasi guru ini berjenjang

atau memiliki tingkat kebijakan (policy level), yaitu : Pertama, tingkat nasional

(national policy level), misalnya Ketetapan MPR atau GBHN. Tingkat kebijakan ini

bicara secara umum soal pembangunan nasional melalui bidang pendidikan yang

dirancang dalam jangka pendek maupun panjang. Bidang pendidikan dan agama dalam

GBHN masuk dalam sektor sosial budaya.

Kedua, tingkat umum (general policy level), misalnya Undang-Undang (UU),

Peraturan Pemerintah (PP), dan Keputusan Presiden (Kepres). Kebijakan pada tingkat

ini menjabarkan arah pembangunan nasional, dan karenanya lebih khusus atau spesifik

dari kebijakan level atasnya. Produk kebijakanya pun sudah dibuat berdasarkan

pembidangan masing-masing pembangunan. Untuk UU, misalnya adalah UU Sisdiknas

No. 20 Tahun 2003, dan untuk PP misalnya adalah PP Nomor 14 Tahun 2005 Tentang

Guru dan Dosen. Penjabaran atas kebijakan pada tingkat ini diberikan dalam tingkat

khusus.

Ketiga, tingkat khusus (special policy level), misalnya Surat Keputusan (SK)

Menteri. Kadang kala SK Menteri ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan

keputusan bersama dengan Menteri lain. Misalnya saja, yang terkait dengan madrasah

8Soetjipto, Analisis Kebijaksanaan Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, P2LPTK, 1987), h.2.

5

Page 6: 17_Abd Rachaman Assegaf

adalah SK Bersama Tiga Menteri, yaitu: Menteri Agama No. 6 Tahun 1075, Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 037/U/1975, dan Menteri Dalam Negeri No. 36 Tahun

1975 Tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. Dan SK Bersama Dua

Menteri, yaitu: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0299/U/1984 dan Menteri

Agama No. 45 Tahun 1984 Tentang Peraturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum

dan Madrasah. Ketiga level kebijakan di atas masih memerlukan penjabaran uraian

dalam bentuk teknis pelaksanaan yang diatur oleh kebijakan teknis.

Keempat, tingkat teknis (technical policy level), misalnya Keputusan Direktorat

Jenderal atau pimpinan lembaga non-departemen ke bawah. Dari kebijakan tingkat

inilah maka keputusan Pemerintah dilaksanakan oleh masyarakat, dalah hal ini kalah

masalah pendidikan berarti dilaksanakan oleh satuan pendidikan atau pihak sekolah dan

madrasah. Ibarat aliran air, kebijakan tingkat nasional mengalir arusnya sampai ke

tingkat bawah dan satuan terkecil. Begitu pula sebaliknya, level grass root

melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kebijakan adalah kebijakan yang

dihasilkan oleh perumus kebijakan pada tingkat umum (general public policy) berupa

UU dan PP yang terkait dengan pendidikan atau pendidik, dan tingkat khusus (special

public policy) berupa SK atau Peraturan Menteri yang terkait dengan sertifikasi guru.

Adapun tingkat teknis dipandang telah sesuai atau tidak menyimpang dari kebijakan di

atasnya, dan pelaksanaan kebijakannya dapat diamati di lapangan.

Bahwa dalam melaksanakan kebijakan sering terdapat hambatan, problem, atau

bahkan resistensi dan penolakan, atau pro dan kontra, baik yang disampaikan secara

langsung melalui aksi demonstrasi dan protes, maupun yang disampaikan secara tak

langsung melalui tulisan di media massa, semua itu meniscayakan pihak pembuat

kebijakan (policy makers) untuk meninjau ulang kebijakannya. Biasanya, bila desakan

arus bawah menguat dan tidak ada respons dari pihak pembuat kebijakan maka hal ini

dapat memunculkan sikap masyarakat yang kurang percaya pada Pemerintah.

Sebaliknya, bilamana respons masyarakat terhadap suatu kebijakan mendapat perhatian

serius oleh Pemerintah dan dilakukan tindak lanjut berupa evaluasi kebijakan atau

merumuskan kebijakan baru yang kondusif, maka hal ini bukan saja dapat

6

Page 7: 17_Abd Rachaman Assegaf

meningkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) kepada Pemerintah tetapi juga

masyarakat dapat melaksanakan produk kebijakan tersebut secara lebih kondusif.

Itu sebabnya dalam proses penyusunan kebijakan perlu diperhatikan langkah-

langkah atau tahapan suatu kebijakan yang disebut dengan siklus kebijakan. Secara

teoretik, siklus kebijakan dimaksud meliputi lima tahap, yaitu: pertama, tahap

penyusunan kebijakan (policy formulation); kedua, tahap penerapan kebijakan (policy

implementation); ketiga tahap hasil kebijakan (policy output); keempat, tahap penilaian

kebijakan (policy evaluation); dan kelima, tahap perbaikan kebijakan (policy

improvement). Dengan memperhatikan siklus kebijakan tersebut maka dapat dikatakan

bahwa kebijakan itu bukanlah sebuah harga mati, kaku, dan permanen, melainkan dapat

berubah atau diubah, tergantung pada adanya perubahan situasi dan kondisi sosial,

budaya, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama, yang melingkupi

munculnya sebuah kebijakan. Sebabnya tak lain adalah bahwa kebijakan itu sendiri

tidak muncul di ruang hampa (vacuum).

Penelitian ini mencoba untuk menganalisis produk kebijakan (policy output)

yang terkait dengan sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan,

dan diniatkan untuk memberi masukan-masukan yang dapat dijadikan sebagai acuan

oleh Pemerintah, khususnya Depag dan Diknas, dalam upaya mengevaluasi

kebijakannya (policy evaluation) serta dapat ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan

kebijakan (policy improvement).

Kebijakan tentang guru madrasah tak lepas dari kebijakan Pemerintah

menyangkut pendidikan Islam. Oleh karena itu, Depag merupakan kepanjangan tangan

dari pihak Pemerintah yang paling berwenang dalam merumuskan dan melaksanakan

kebijakan pendidikan Islam. Bicara tentang pendidikan Islam umumnya dapat diartikan

dalam empat dimensi, yakni: pertama dimensi kegiatan yang berarti sebagai upaya

internalisasi nilai-nilai Islam; kedua, dimensi kelembagaan, yakni tempat dimana

dilaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan pada programnya atas

pandangan serta nilai-nilai Islam; ketiga, dimensi pemikiran, yakni paradigma teoretik

yang disampaikan oleh tokoh Muslim berdasarkan nilai-nilai Islam; dan keempat,

dimensi kebijakan yang berarti keputusan Pemerintah yang terkait dengan atau yang

7

Page 8: 17_Abd Rachaman Assegaf

dibuat berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Karena penelitian ini memfokuskan

pembahasannya pada kebijakan tentang guru madrasah, maka makna pendidikan Islam

di sini berada dalam dimensi kedua, yakni kelembagaan madrasah dan dimensi keempat

yakni kebijakan tentang sertifikasi guru.

Adalah penting untuk mengetahui peran dan kondisi madrasah dalam kontelasi

pendidikan nasional, serta mengetahui perkembangan perubahan kebijakan Pemerintah

terkait dengan guru dan madrasah, sebab kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah

tentang sertifikasi guru saat ini tidaklah berada dalam ruang hampa, melainkan ada

faktor internal dan eksternal yang melingkupinya, termasuk faktor kelembagaan

madrasah dan historisitasnya. Uraian dalam bab di bawah ini diarahkan untuk

menjelaskan hal tersebut.

8

Page 9: 17_Abd Rachaman Assegaf

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Historis Kebijakan Tentang Madrasah

Eksistensi madrasah di Indonesia telah ada sejak awal abad ke-20, atau paling

cepat pada akhir abad ke-19,9 berbarengan dengan munculnya Ormas Islam, semisal

Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.10 Mengapa madrasah muncul pada masa kolonial

Belanda sekitar awal abad ke-20, bukan sebelumnya? Ada dua analisis: pertama,

karena beberapa kali usulan Volksraad (Dewan Rakyat) agar pelajaran agama Islam

dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh Belanda.11

Belanda bahkan memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2

yang menyatakan bahwa “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran

itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran

agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah”. Sampai dengan akhir pemerintahan

Belanda di Indonesia, pengajaran agama di sekolah umum atau open baar orderwijs

tidak pernah menjadi kenyataan.12 Hal ini menumbuhkan inisiatif untuk mendirikan

model sekolah di luar kebijakan Belanda yang memberi muatan pelajaran agama Islam

lebih, namun berbeda dengan komposisi materi PAI di pesantren dan sejenisnya yang

telah ada sebelumnya. Lembaga tersebut adalah madrasah.

9Penulis mendapatkan fotokopi Akte Tanah yang telah menyebutkan kata “Madrasah Alkhairiyah”,

sebuah LPI yang sekarang terletak di Jalan Ampel Madrasah No.1 Surabaya Utara, sekitar 100 meter arah belakang Masjid Ampel. Di tempat ini sekarang tetap menyelenggarakan kegiatan pendidikan namun dalam bentuk Sekolah Dasar I Alkairiyah, bukan madrasah.

10 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), h. 71-72. Lihat juga Timur Djaelani, Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982), h.36-37. juga Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), h.108; Selanjutnya lihat pula Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.159-192; dan I Djumhur & Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1976), h.162-169. Juga Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h.112.

11 Timur Djaelani, op. cit., h.19. Juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.9. 12 Ibid., h.19-20.

9

Page 10: 17_Abd Rachaman Assegaf

Kedua, madrasah muncul karena tuntutan pembaharuan pendidikan Islam

secara internal, baik dari segi metode maupun isi (materi pelajaran).13 Saat itu

diperlukan hadirnya LPI selain pesantren yang mampu memberikan pengetahuan

umum secara klasikal, agar tidak tertinggal dengan kemajuan yang telah dicapai oleh

sekolah bentukan Belanda. Di sini madrasah berfungsi sebagai counter institution bagi

sekolah model Belanda. Timbulnya pembaharuan ini dipercepat pula dengan hadirnya

para alumnus Timur Tengah (Makkah dan Kairo) di penghujung abad ke-19 dan awal

abad ke-20, yang sekembalinya ke tanah air merintis berdirinya pesantren dan

madrasah.14

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), perkembangan madrasah tidak

mengalami hambatan, bahkan pendidikan agama di sekolah umum diizinkan,

walaupun guru agama yang mengajarkan pendidikan agama (Islam) tidak digaji oleh

pemerintah Jepang.15

Setelah proklamasi kemerdekaan R.I., madrasah berjalan sesuai dengan

kemampuan para pengasuh dan masyarakat pendukungnya masing-masing. BP KNPI

menganjurkan agar pendidikan di madrasah berjalan terus dan dipercepat,16 serta

diberikan subsidi.17 Di samping itu, ijazah dari madrasah swasta (MIS) dihargai18 dan

13 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen,

(Jakarta: LP3ES, 1994), h.27-28; juga Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut Kurikulum Pendidikan Islam” dalam Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991), 322. Lihat juga Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h.153.

14 Haidar Putra Daulay, op. cit., h.322-323; juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), h. 63-73. Disebutkan bahwa di antara madrasah perintis adalah: Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad (1909), Madras School oleh Syekh M. Thaib Umar (1910), Madrasah Diniyah oleh Zainuddin Labai al-Junus (1915), Sumatera Thawalib oleh Syekh Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (1921), dan Sumatera Thawalib Parabek oleh Syekh Ibrahim Musa (1921). Sedang di Jawa, madrasah umumnya didirikan oleh lembaga atau Ormas Islam, seperti: Jammi’yat Khair di Jakarta (1905), Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1913), PUI (1917), NU (1926), PERTI (1928) dan lain-lain, lihat juga A. Malik Fadjar, op. cit., h.70-72. Kebanyakan para pendiri madrasah saat itu, juga pesantren dan sejenisnya, adalah berasal dari alumni Timur Tengah (Makkah atau Kairo).

15 Timur Djaelani, op. cit., h.37-38. 16 Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945. Lihat Muljanto Sumardi, Bibliografi

Pendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan Kemasyarakatan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976), h.108. juga A. Malik Fadjar, op. cit., 73; dan Timur Djaelani, op. cit., h.38.

17 Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945 dan Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.108, 113; juga Timur Djaelani, op. cit., h. 39. bantuan kepada madrasah ini terus berlanjut sampai setelah munculnya UUPP No.4 Tahun 1950, yakni melalui

10

Page 11: 17_Abd Rachaman Assegaf

diakui sama dengan ijazah dari madrasah negeri (MIN), serta tamatannya memiliki

civil effect yang sama dengan madrasah negeri.19

Pembaharuan madrasah telah dimulai sejak Orde Lama (1945-1965). Tahun

1958/1959, misalnya, Departemen Agama melakukan upaya pembaharuan sistem

pendidikan di madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB)

dengan spesifikasi: lama belajar 8 tahun (berarti 8 kelas) untuk murid usia 6 sampai 14

tahun, bertujuan untuk menunjang kemajuan ekonomi, industri dan transmigrasi,

materi meliputi pengetahuan agama, umum dan keterampilan, dan berbasis pada

pembangunan masyarakat pedesaan (rural development).20 Guna memenuhi tenaga

guru di MWB-MWB tadi, didirikanlah Pusat Pelatihan Guru MWB di Pacet, Cianjur,

Jawa Barat. Pusat Pelatihan ini bersifat nasional. Peserta pelatihan adalah para tamatan

PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di seluruh Indonesia. Kurikulum pelatihan

mencakup pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan koperasi. Ada pula

pendidikan olah raga dan agama.21 Sayangnya, MWB ini tidak berjalan sebagaimana

diharapkan, hanya bertahan beberapa tahun saja. Karena faktor keterbatasan sarana,

peralatan, guru, respons masyarakat yang kurang dan pihak penyelenggara madrasah

yang tidak profesional,22 maka program ini tidak berlanjut.

Pada masa awal Orde Baru, antara tahun 1967 sampai 1970, dilakukan

penegerian di lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)

Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian bantuan kepada madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs), yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H. Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan mengenai bentuk bantuan (hadiah, sokongan atau tunjangan), syarat-syarat memperoleh bantuan, cara penetapan pemberian bantuan, pengawasan dan kewajiban perguruan agama Islam, pengubahan dan penghentian pemberian bantuan dan pelaksanaan pemberian bantuan. Lihat juga: Deliar Noer, “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No.58. New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.

18Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 tentang penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) 1951-1963. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117.

19 Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengakuan persamaan MIS dengan MIN dan persamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 tentang civil effect tamatan madrasah. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117-118. Juga Timur Djaelani, op. cit., h.41.

20 Timur Djaelani, op. cit., h.40; juga I. Djumhur, op. cit., h.226-230; juga A. Malik Fadjar, op. cit., 27-28. Juga Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), h.58. MWB ini merupakan penjabaran atas UUPP No.4 Tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang berbunyi: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Lihat juga Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997), h.151.

21 Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, op. cit., h.151-152. 22 Haidar Putra Daulay, op. cit., h.341.

11

Page 12: 17_Abd Rachaman Assegaf

serta merubah nama dan struktur Madrasah Negeri.23 Selanjutnya, tahun 1975, melalui

SKB 3 Menteri, madrasah ditingkatkan mutu pendidikannya.24

Berangkat dari SKB 3 Menteri tersebut PAI perguruan agama menjadi sejajar

dengan sekolah umum. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum,

lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum mulai dari

jenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, status dan kedudukan madrasah juga

sama dengan sekolah.25 Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini adalah bahwa

seluruh madrasah harus melakukan perubahan kurikulum dimana 70 % merupakan

ilmu pengetahuan umum dan 30 % ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula

diharapkan LPI dapat meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu berkompetisi

dengan sekolah umum.26 Bedanya, madrasah berada di bawah payung Departemen

23 Penegerian MTs dan MA mengikuti Peraturan Menteri Agama No.29 tahun 1967 dan Keputusan

Menteri Agama No.213 tahun 1970 tanggal 14 September 1970 tentang penghentian penegerian sekolah-sekolah dan madrasah swasta. Sedang perubahan nama dan struktur madrasah mengikuti Keputusan Menteri Agama No.52 tahun 1971 tentang perubahan nama-nama & struktur dan kurikulum Madrasah Negeri dan Sekolah Dinas. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.118-119. Lihat juga Husni Rahim, op. cit., h.55. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa penegrian madrasah ini telah dilakukan sejan 1950-an oleh Departemen Agama. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), h.103.

24 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Perlu diketahui bahwa latar belakang munculnya SKB 3 Menteri ini adalah karena sikap pemerintah waktu itu yang bermaksud mengintegrasikan pengelolaan madrasah dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana dapat dilihat dalam kebijakan Kepres No.34/1972 yang kemudian dipertegas dengan Inpres No.15/1974 tentang tanggungjawab fungsional dan latihan. Namun, Kepres tersebut mendapat reaksi keras dari kaum Muslimin yang menyelenggarakan pendidikan madrasah. Maka dibentuklah Musyawarah Kerja Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) bersama Menteri Agama, waktu itu adalah Dr. Mukti Ali, yang berusaha mengambil jalan tengah agar madrasah berada di bawah pengelolaan Departemen Agama. Dari situ lalu dicapai kompromi dengan hadirnya SKB 3 Menteri 1975 dimaksud dengan isi tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Lebih lanjut lihat Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), h.122-123.

25 A. Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, op. cit., h.5-6 dan 38. Lihat juga SKB dua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah Bab V pasal 11 ayat 1-5. Disebutkan bahwa: 1) peserta didik sekolah umum dapat pindah ke madrasah atau sebaliknya sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikannya dengan penyesuaian yang diperlukan. 2) Lulusan sekolah umum dapat melanjutkan pendidikannya ke madrasah, kejuruan agama atau keguruan agama sesuai dengan jenjang pendidikannya. 3) STTB/ijazah sekolah umum dan madrasah dari jenjang pendidikan yang sama mempunyai kedudukan setaraf. 4) Lulusan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas dapat melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri sesuai dengan program yang diikuti dan persyaratan yang berlaku. Dan 5) Lulusan madrasah tingkat menengah atas dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum sesuai dengan program yang diikuti dan persyaratan yang berlaku. Lihat juga: M. Arifin, Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama (Semarang: Toha Putra, [1981]), h.97. Lihat juga Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.123.

26 M. Irsyad Djuwaeni, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), h.53-54.

12

Page 13: 17_Abd Rachaman Assegaf

Agama, sementara sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional, di samping

adanya perbedaan proporsi materi pelajaran agama Islam di dua lembaga tersebut.

Posisi madrasah ini dipertegas kembali dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 Bab

IV pasal 11 ayat 6 tentang pendidikan keagamaan, yang kemudian dijabarkan dalam

Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri, bahwa MI, MTs, dan MA masing-

masing termasuk SD, SLTP, dan SMU yang berciri khas agama Islam dan

diselenggarakan oleh Departemen Agama.27 Tanggungjawab atas pengelolaan

madrasah dilimpahkan kepada Menteri Agama.28 Siswa berhak memperoleh pendidikan

agama sesuai dengan agama yang dianutnya,29 apabila dalam satu kelas di suatu

sekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang siswa yang memeluk agama

tertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan di kelas

tersebut,30 sementara bagi siswa yang tidak memeluk agama yang sedang diajarkan

pada saat berlangsungnya pelajaran agama di kelas itu diberi kebebasan.31 Kurikulum

dan bahan kajian yang diberikan di madrasah minimal sama dengan di sekolah, di

samping bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut.32 Kurikulum di

27 PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (SD dan SLTP) Bab III pasal 4 ayat 3,

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Bab I pasal 1 ayat 2, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 tentang Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP) Bab III pasal 1 ayat 5, dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 tentang Pendidikan Menengah Umum (SMU) Bab I pasal 1 ayat 6.

28 PP No.28 Tahun 1900 Bab VI pasal 10 ayat 1 dan 2; dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VI pasal 11 ayat 2 dan 3.

29 PP No.28 Tahun 1990 Bab VIII pasal 16 ayat 2 dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VIII pasal 17 ayat 2.

30 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Bab V pasal 9 ayat 2. Bandingkan dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri pasal 4 yang menyebutkan bahwa: 1) Pendidikan Agama diberikan menurut agama murid masing-masing, 2) Pendidikan Agama baru diberikan kepada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya sepuluh orang, yang menganut suatu macam agama. Lihat juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.11, 14.

31 Ibid., pasal 5. Bandingkan juga dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri pasal 4 ayat 3, bahwa murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu tertentu, dan murid-murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkan tetapi tidak mendapat izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnya selama jam pelajaran agama itu.

32 Ibid., Bab IX pasal 25 dan 26. Isi kurikulum SD wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran: pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, membaca dan menulis, Matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, sejarah nasional, dan menggambar. Sedang isi

13

Page 14: 17_Abd Rachaman Assegaf

madrasah belakangan dimodernisir melalui upaya Departemen Agama untuk menyusun

buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam,33 atau buku pelajaran

keislaman yang bernuansa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, meskipun dalam

realisasinya masih dihadang oleh kendala teknis-operasional berupa SDM dan fasilitas.

Belum lagi kendala klasik yang berkaitan dengan ketidakadilan alokasi dana untuk

madrasah dari Departemen Agama bila dibandingkan dengan alokasi dana untuk

sekolah umum dari Departemen Pendidikan Nasional.34

Walaupun saat ini kondisi madrasah telah mengalami perubahan bila

dibandingkan dengan masa awal kemunculannya hingga akhir Orde Baru, namun

perbedaan mencolok masih dijumpai oleh madrasah bila dibandingkan kondisinya

dengan sekolah umum. Bagaimana peran dan kondisi madrasah saat ini? Berikut ini

adalah uraian tentang gambaran umum madrasah dimaksud.

B. Gambaran Umum Kondisi Madrasah

1. Data Kelembagaan Madrasah

Pendataan secara terpadu terhadap lembaga pendidikan yang bernaung

dibawah Departemen Agama, yakni madrasah, sudah dimulai sejak tahun 1998.

Saat ini, pendataan tersebut ditangani oleh Bagian Data dan Informasi Pendidikan

Setditjen Kelembagaan Agama Islam. Jumlah lembaga yang berhasil didata dari

tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan yang cukup pesat. Perkembangan

jumlah madrasah yang berhasil didata sepanjang tahun 2001 hingga 2004 disajikan

pada beberapa grafik berikut:

kurikulum SLTP wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran sebagaimana yang diberikan di tingkat SD di atas ditambah dengan pelajaran Bahasa Inggris (SK Menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) No. 054/U/1993 tentang SLTP Bab IX pasal 19 dan 20), sementara isi kurikulum SMU wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran sebagaimana diberikan di tingkat SLTP di atas, ditambah beberapa mata pelajaran: ekonomi, geografi, sosiologi, kimia, fisika, biologi, dan bahasa asing. Baik di SLTP mapun SMU dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas SLTP yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional

33 Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.125. 34 Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.126-127. Hasil studi ADB bekerjasama dengan

Comparative Education Center Universitas Hong Kong menunjukkan perbedaan alokasi dana yang mencolok. Rentang pengeluaran rata-rata murid SDN per tahun Rp. 190.000,oo-Rp. 304.000,oo; sedang MIN Rp. 139.000,oo-Rp.225.000,oo, dan MIS Rp. 87.000,oo-Rp.163.000,oo per murid per tahun. Untuk SLTPN per tahun adalah Rp. 418.000,oo-Rp. 572.000,oo, berbeda jauh dengan murid MTs yaitu Rp.185.000,oo-Rp.380.000,oo per murid per tahun.

14

Page 15: 17_Abd Rachaman Assegaf

Grafik 1. Pertumbuhan jumlah madrasah dari tahun 2001 sampai 2004

Sumber: www.depag.go.id

Grafik di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah madrasah sepanjang

tahun 2001 sampai 2004 terjadi penambahan sebanyak 3% setiap tahunnya. Hal ini

disebabkan oleh adanya pertumbuhan madrasah-madrasah baru bagi madrasah

swasta, dan adanya penegrian madrasah dengan pertimbangan madrasah negeri

menjadi madrasah model percontohan dan induk pembinaan bagi madrasah

swasta di lingkungannya, di samping itu terdapat beberapa madrasah yang baru

terdata karena lokasi yang sulit terjangkau. Gejala ini menunjukkan adanya

pertumbuhan madrasah di masa mendatang bahwa pendidikan madrasah mampu

menampung peningkatan jumlah peserta didik seiring dengan pertumbuhan jumlah

penduduk.

Pertumbuhan lembaga pendidikan madrasah, sebagian besar bersumber dari

swadaya masyarakat yang didirikan dengan niat agar dapat memberikan pendidikan

yang lebih baik kepada anaknya untuk pendidikan umum dan agama. Hal ini

tampak jelas dari status madrasah 91,5% berstatus swasta sedangkan yang berstatus

negeri atau dikelola oleh pemerintah hanya berjumlah 8,5%. Perbandingan untuk

seluruh tingkat disajikan secara lengkap pada grafik berikut:

15

Page 16: 17_Abd Rachaman Assegaf

Grafik 2. Perbandingan status madrasah pada tahun 2004.

Sumber: www.depag.go.id

Dengan sistem pengelolaan yang dilakukan langsung oleh masyarakat

ditambah dengan kondisi masyarakat dimana sebagian besar dari mereka berasal

dari golongan kurang mampu, menyebabkan perkembangan madrasah tidak secepat

sekolah umum.

2. Peserta Didik (Siswa)

Saat ini total siswa pada madrasah adalah 6.022.965 jiwa mulai dari tingkat

MI hingga MA. Pada tingkat MI siswa berjumlah 3.152.665 atau 12.1% dari jumlah

penduduk usia sekolah 7 – 12 tahun, pada tingkat MTs siswa berjumlah 2.129.564

atau 15.9 dari jumlah penduduk usia sekolah 13 – 15 tahun, pada tingkat MA siswa

berjumlah 744.736 atau 5,7 % dari jumlah penduduk usia sekolah 16 – 18 tahun.

Perkembangan jumlah siswa dari tahun 2001 hingga 2004 pada grafik berikut ini :

Grafik 3. Perkembangan jumlah siswa sejak tahun 2001 hingga 2004.

16

Page 17: 17_Abd Rachaman Assegaf

Pertumbuhan tersebut secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan

pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan adanya indikasi keinginan

masyarakat yang lebih tinggi untuk menyekolahkan anaknya dimadrasah

dibandingkan sekolah umum.

Dari rasio rombongan belajar (rasio jumlah siswa per rombongan

belajar), terlihat bahwa rasio pada tingkat MTs lebih tinggi daripada MI dan MA.

Rasio rombel pada tingkat MTs 33,9; pada tingkat MA 32,1 dan pada tingkat MI

21,3. Daya serap madrasah terhadap siswa baru yang mendaftar termasuk tinggi.

Pada tingkat MI tahun 04/05 daya serap mencapai 97,0% dari jumlah pendaftar

yang ada. Hal ini berarti terdapat 3,0% dari pendaftar yang tidak dapat diserap oleh

MI. Sementara pada tingkat MA, daya serap pada tahun 04/05 91,3% yang berarti

terdapat 8,7% dari para siswa calon pendaftar tidak dapat diserap.

Beragamnya kualitas input siswa baru pada madrasah dapat dilihat pada

tabel 2.9 sampai 2.11 (Jumlah Pendaftar dan Siswa Baru Berdasarkan Asal

Sekolah). Pada tingkat MI, sebagian besar (47,8%) siswa baru langsung dari orang

tua yang berarti bahwa mereka tidak melalui pendidikan pra sekolah. Siswa baru

yang melalui pendidikan TK Islam sebanyak 40,0% dan sisanya sebanyak 12,3%

melalui pendidikan TK Umum.

Pada tingkat MTs, sebagian besar siswa baru berasal dari SD Negeri

(mencapai 70,6%) disusul dari MI Swasta sebanyak 21,5%; MI Negeri sebanyak

5,6% dan SD swasta sebanyak 2,2%. Pada tingkat MA, siswa baru sebagian besar

berasal dari MTs Swasta (mencapai 47,6%) disusul SMP Negeri sebanyak 23,1%;

MTs Negeri sebanyak 21,0% dan SMP Swasta sebanyak 8,3%. Hal ini

menunjukkan bahwa pada tingkat MTs dan MA juga banyak diminati oleh para

lulusan dari sekolah umum.

Lulusan MI, sebagian besar melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi

mencapai 88.7% yang tersebar pada MTs, SMP dan Pondok Pesantren. Lulusan

yang melanjutkan MTs sebanyak 49.3%; SMP sebanyak 29.5% dan Pondok

Pesantren sebanyak 9.9%. Sedangkan yang yang lainnya sebanyak 10.4% tidak

diketahui.

17

Page 18: 17_Abd Rachaman Assegaf

Lulusan MTs yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebanyak

63.9% yang tersebar pada MA, SMA dan Pondok Pesantren. Sebanyak 8.2%

melakukan pendidikan informal melalui kursus-kursus dan bekerja, sedangkan yang

lainnya sebanyak 27.9 tidak diketahui. Lulusan yang melanjutkan MA sebanyak

39.5%; SMA sebanyak 37.8% dan Pondok Pesantren sebanyak 11.4%. Lulusan

MA yang melanjutkan Perguruan Tinggi yang terdaftar pada PTAI sebanyak 21.6%

dan PTU sebanyak 14.0%.

Dari penjelasan sebelumnya diperoleh informasi bahwa siswa baru pada

tingkat MI sebagian besar adalah siswa yang yang belum melalui pendidikan pra

sekolah. Hal ini menjadi salah satu kendala yang menyebabkan tingkat pengulang

pada MI masih tinggi. Jika dibandingkan dengan MTs dan MA, maka dapat

dikatakan bahwa tingkat pengulang pada MI mencapai 2.6 % untuk MTS 0.2% dan

untuk MA 0.2 %, dari data diatas pengulang untuk MI mencapai 10 kali lebih

tinggi dibandingkan MTs dan MA.

Secara umum bahwa tingkat putus sekolah pada tingkat MTs dan MA

lebih tinggi dibandingkan MI. Selain itu juga terlihat bahwa tingkat putus sekolah

pada MTs dan MA ada sedikit kenaikan sedangkan pada MI terus menurun. Salah

satu penyebab tingginya tingkat putus sekolah pada MTs dan MA adalah

kemampuan sosial ekonomi orangtua. Orangtua siswa pada madrasah sebagian

besar (mencapai 84%) berasal dari golongan kurang mampu (pendapatan dibawah

UMR).

3. Guru Madrasah

Guru yang mengajar pada madrasah dari tingkat MI hingga MA berjumlah

524.679 yang terdiri dari Guru PNS sebanyak 71.422 (13.61%) dan guru Non-PNS

sebanyak 453.257 (86.39%). Banyaknya jumlah guru Non-PNS karena banyaknya

lembaga madrasah yang berstatus swasta yang langsung dikelola oleh masyarakat.

18

Page 19: 17_Abd Rachaman Assegaf

Grafik 4. Jumlah Guru berdasarkan Status Kepegawaian Tahun 2004

1. Madrasah Ibtidaiyah

Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah Jumlah

Siswa PNS Non-PNS Total PNS Non-

PNS

Total

Negeri 302,811

10,720 8,057 18,777

28.2 37.6

16.1

Swasta 2,829,125

23,193

154,589

177,782

122.0

18.3

15.9

2. Madrasah Tsanawiyah

Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah Jumlah

Siswa PNS Non-PNS Total PNS Non-

PNS

Total

Negeri 508,521

17,532 14,067 31,599

29.0 36.1

16.1

Swasta 1,558,226

8,857

155,639

164,496

175.9

10.0

9.5

3. Madrasah Aliyah

Guru Rasio Siswa:Guru Status Madrasah

Jumlah Siswa PNS Non-

PNS Total PNS Non-PNS Total

Negeri 291,608

11,068

6,759

17,827

26.3

43.1 16.4

Swasta 406,696

2,369

54,386

56,755

171.7 7.5 7.2

Tabel 1. Jumlah Guru Berdasarkan Status Kepegawaian

dan Rasio terhadap Siswa pada Madrasah Tahun 2004

Sumber: www.depag.go.id

Dari dua grafik di atas dapat diketahui bahwa kondisi guru madrasah

umumnya berstatus non-PNS, terutama sekali pada madrasah swasta, dengan rasio

siswa-guru yang belum ideal.

19

Page 20: 17_Abd Rachaman Assegaf

4. Fasilitas Ruang Belajar

Ruang kelas yang dalam kondisi baik (layak untuk digunakan) hanya 55,6%

atau berjumlah sekitar 126.095 dari tingkat MI hingga MA. Jumlah ini sangat tidak

sesuai bila dibandingkan dengan jumlah rombongan belajar yang harus dilayani

berjumlah 233.776. Dari angka tersebut jelaslah bahwa hanya 53,9% rombongan

belajar yang dapat dilayani dengan ruang kelas yang memadai. Sedangkan sisanya

sebanyak 46,1% rombongan belajar menggunakan ruang kelas yang kurang

memadai.

Grafik 5. Kondisi Ruang Kelas.

Dari data yang dikumpulkan terlihat bahwa jumlah madrasah yang

menyelenggarakan pendidikan secara kombinasi (pagi dan siang) mencapai 5.9%.

Yang berarti terdapat sebanyak 2.376 madrasah terpaksa menggunakan waktu pagi

sampai sore hari untuk menyelenggarakan pendidikan karena kekurangan ruang

kelas. Madrasah yang menyelenggarakan pendidikan pada siang hari sebanyak

14.1% dan sebanyak 80,0% madrasah menyelenggarakan pendidikan dipagi hari.

Untuk mengatasi kondisi yang demikian, maka perlu peran pemerintah dalam

memberikan bantuan kepada madrasah untuk mendirikan ruang kelas baru atau

memperbaiki ruang kelas yang rusak.

Keterbatasan lain nampak bada dukungan dana dari Pemerintah kepada

madrasah swasta yang relatif kecil. Namun demikian madrasah masih tetap

membutuhkan kemitraan dengan Pemerintah, terutama sekali untuk memperoleh

pengakuan dan status madrasah, serta bantuan keuangan dan bahan pelajaran.

20

Page 21: 17_Abd Rachaman Assegaf

Semua keterbatasan di atas merupakan problema yang dihadapi oleh madrasah

hingga saat ini.

C. Problematika Guru Madrasah

Lebih dari 80% madrasah berstatus swasta. Kurikulum dan sistem akreditasi

madrasah berada dalam payung Departemen Agama. Hanya sedikit madrasah yang

menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk dana, buku teks, dan guru. Walaupun

begitu, dukungan Pemerintah kini kian meningkat seiring dengan komitmen Pemerintah

untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Yang perlu diapresiasi adalah

madrasah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa mendapat bantuan

berarti dari Pemerintah. Di sini perlu dibuat rencana kebijakan yang jelas untuk

memperluas bantuan kepada madrasah swasta secara sistematis dan jangka panjang

melalui rumusan kriteria bantuan yang cermat. Sebab, pendidikan dasar merupakan hak

konstitusional tiap anak mengingat pelaksanaan program wajib belajar tidak bisa

mengesampingkan peran madrasah swasta.

Dari kondisi madrasah sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dianalisis

beberapa problema yang dihadapi oleh madrasah (termasuk gurunya). Fasli Jalal

mengemukakan isu-isu yang menjadi problema utama madrasah dalam beberapa hal:

Pertama, kebanyakan peserta didik madrasah berasal dari kelompok masyarakat dengan

income rendah sementara kebanyakan madrasah berada di daerah pedesaan, akibatnya,

tanpa bantuan dari pihak Pemerintah maka madrasah swasta akan semakin terpuruk.

Kedua, rendahnya kualitas guru madrasah. Masih sering dijumpai guru

madrasah yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, terutama sekali guru

madrasah untuk bidang studi Sains, Matematika dan bahasa Inggris yang masih jauh

dari memuaskan. Belum lagi masalah banyaknya guru madrasah yang berstatus sebagai

Guru Tidak Tetap atau GTT yang sering menimbulkan problema kurangnya

ketersediaan guru dan SDM. Rata-rata sekitar 65% guru madrasah memiliki kualitas

akademik Diploma 3 atau di atasnya, sementara sekitar 40% guru madrasah masih

mengajar bidang studi yang bukan termasuk keahliannya. Selain itu, sekitar 46% guru

madrasah swasta berstatus Tidaj Tetap (GTT). Rasio Guru Tetap madrasah adalah 1 :

81 siswa, atau hanya 10% saja guru yang berstatus tetap (GT) dimana kebanyakan dari

21

Page 22: 17_Abd Rachaman Assegaf

mereka itu adalah lulusan dari IAIN, UIN atau PTAI yang tidak memiliki latar belakang

yang kuat dalam mengajar Sains, Matematika atau bahasa Inggris. Selain itu, lebih dari

60 % guru madrasah mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan keahliannya.

1. Madrasah Ibtidaiyah

Status Kepegawaian Guru Status Madrasah

NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total

Negeri 9,500

1,220

8,057 - -

18,777

Swasta 22,227

966

62,202

62,351

30,036

177,782

2. Madrasah Tsanawiyah

Status Kepegawaian Guru Status Madrasah

NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total

Negeri 15,541

1,991

14,067 - -

31,599

Swasta 8,128

729

32,379

55,378

67,882

164,496

3. Madrasah Aliyah

Status Kepegawaian Guru Status Madrasah

NIP-15 NIP-13 BP3 GTY GTTY Total

Negeri 9,466

1,602

6,759 - -

17,827

Swasta 1,911

458

8,973

19,466

25,947

56,755

Tabel 2. Jumlah Guru Berdasarkan Status Kepegawaian pada Madrasah Tahun 2004

Tabel di atas menunjukkan mahwa jumlah Guru Tidak Tetap (GTT) madrasah

untuk semua jenjangnya masih tergolong besar, sementara jumlah guru berstatus PNS

jauh dari rasio yang memadai bila dibandingkan dengan jumlah siswa.

Ketiga, di banyak provinsi menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan peserta

didik baru di bawah angka 150 orang. Jumlah peserta didik yang kecil menunjukkan

kondisi yang tidak ekonomis, apalagi bila diingat bahwa biaya pendidikan madrasah

masih mengandalkan pemasukan dari masyarakat setempat yang umumnya miskin.

Keempat, sebagian besar madrasah menghadapi masalah kurangnya fasilitas

perpustakaan dan laboratorium. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah meningkatkan

fasilitas madrasah dalam bentuk Madrasah Model. Sekitar 25 MI, 70 MTs, dan 15 MA

telah dikembangkan menjadi Madrasah Model. Madrasah Model dilengkapi dengan

22

Page 23: 17_Abd Rachaman Assegaf

fasilitas laboratorium dan perpustakaan yang memadai, dimana pendanaannya diperoleh

dari bantuan proyek ADB. Meskipun begitu, keberhasilan madrasah tersebut masih

belum teruji sepenuhnya.

Kelima, bahan ajar tidak memadai. Peserta didik madrasah umumnya yang

terakhir menerima sisa buku ajar gratis dari Diknas melalui sistem pengiriman yang

didanai oleh Diknas. Berdasarkan sampel survey yang dilakukan pada tahun 1997-1998

dapat diketahui bahwa sekitar 30% siswa MTs yang menerima buku ajar dari kurikulum

baru setelah pertengahan semester berjalan, dan sekitar 30% siswa membeli buku

ajarnya sendiri, sisanya 40% siswa hanya mengandalkan pada catatan pelajaran di

kelas. Keadaan ini berubah sejak adanya proyek penerapan buku ajar yang baru. Secara

bertahap kemampuan siswa memiliki buku ajar mulai membaik. Meskipun begitu,

buku-buku referensi ang sebagiannya merupakan buku ajar dan bahan bacaan masih

kurang memadai dalam koleksi buku di perpustakaan.

Dalam hal MTs swasta yang umumnya menerima pendaftaran peserta didik dari

kalangan ekonomi rendah, keadaannya semakin memprihatinkan. Beberapa kelas MTs

swasta yang dikunjungi menunjukkan bahwa kurang dari 5 siswa dalam kelas yang

memiliki buku ajar. Kebijakan Pemerintah menekankan pada pencapaian kesetaraan

akses dan peningkatan kualitas pendidikan madrasah untuk menyetarakannya dengan

SMP. Hal ini tentu saja memerlukan masukan yang tepat bagi MTs dan ketersediaan

buku teks bagi mereka, baik negeri maupun swasta, yang setaraf dengan siswa di SMP.

Keenam, kebijakan yang tidak mendukung peningkatan mutu guru madrasah

serta ketersediaan sarana prasarana. Umumnya lulusan pendidikan itu tergantung pada

faktor masukan peserta didik yang meliputi tingkat kecerdasan siswa, latar belakang

sosial-ekonomi orang tua, lingkungan keluarga, kualitas dan pengalaman guru,

ketersediaan buku teks, rekan sejawat, manajemen sekolah, dan lain-lain. Walaupun

pengaruh dari masukan tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian, namun masukan

yang setaraf tentu akan dicapai secara bertahap dalam menuju ke keluaran (lulusan)

yang setaraf pula. Saat ini, kualitas dan kuantitas input di madrasah masih di bawah

sekolah umum. Misalnya saja, dalam hal sekolah umum yang dikelola oleh Diknas,

ketersediaan satu orang guru SMP adalah untuk rasio 19 siswa, sementara bila

23

Page 24: 17_Abd Rachaman Assegaf

dibandingkan dengan MTs Negeri maka satu orang guru rasionya adalah 30 siswa.

Lebih parah lagi halnya dengan MTs Swasta, dimana satu orang guru rasionya adalah

81 siswa, padahal di lingkungan SMP Swasta satu orang guru rasionya adalah 22 siswa.

Terlebih lagi, dalam hal ketersediaan guru di lingkungan Depag masih jauh kualitasnya

karena hanya 30% dari kepala madrasah adalah lulusan SLTA. Dengan demikian,

upaya up grading guru madrasah merupakan tantangan serius dan merupakan syarat

mendasar bagi perbaikan mutu pendidikan dan penentu bagi berhasilnya penerapan

kurikulum baru. Kesenjangan yang sama terjadi antara SMP dengan MTs dalam hal

ketersediaan fasilitas fisik yang memadai bagi laboratorium, perpustakaan, buku teks,

dan seterusnya.

Ketujuh, lemahnya sistem evaluasi di madrasah. Upaya untuk membenahi

kualitas proses belajar mengajar di madrasah juga diperlukan. Selain itu, faktual bahwa

sistem evaluasi yang ada di madrasah saat ini belum dapat membedakan antara berbagai

tingkat belajar siswa, dengan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang siknifikan antara

persentase siswa yang lulus sekolah dengan perbedaan mutu input mereka.

Kedelapan, lemahnya supervisi pendidikan. Di lingkungan madrasah terdapat

654 pengawas bagi lebih dari 8000 MTs yang tersebar di lebih dari 299 provinsi dan

kabupaten. Ironisnya, sekitar 36% dari pengawas tersebut memiliki kualifikasi di bawah

S-1. Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dan tidak memiliki keahlian tentang

supervisi. Anggaran untuk perjalanan mereka tergolong rendah, sehingga praktis tidak

ada sistem pengawasan pendidikan. Agung Nugroho dalam tesisnya yang meneliti

tentang pelaksanaan supervisi PAI di MAN 1 Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah

pengawas untuk lingkungan madrasah di DIY hanya seorang dan melakukan visitasi

kelas setahun sekali. Tindak lanjut dari hasil supervisi umumnya juga tidak jelas.

Melihat kondisi dan problematika yang dihadapi oleh guru madrasah

sebagaimana dijelaskan di atas, muncul suatu pertanyaan besar terkait dengan kebijakan

Pemerintah tentang sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan.

Siapkah mereka?

D. Kesiapan Guru Madrasah Menghadapi Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan

1. Kebijakan Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan

24

Page 25: 17_Abd Rachaman Assegaf

Kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme

guru tidak lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan

nasional. Dalam konteks global, kualitas SDM Indonesia tergolong amat rendah bila

dibandingkah dengan negera-negara lain, bahkan bila dibandingkan dengan negara

tetangga dalam lingkup ASEAN. Data Human Development Index yang dikeluarkan

oleh UNDP tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 112

dari 175 negara. Bagaimana dengan kondisi guru secara nasional? Dari rekapitulasi

data statistik Diknas menunjukkan bahwa 50,51 % guru SD berijazah di bawah D-2,

sisanya 49,49 % berijazah D-2 ke atas. Sedang guru SLTP berijazah D-3 (Diploma

3) 33,67 %, guru SLTP berijazah D-3, dan sisanya 66,33 % berijazah D-3 ke atas

(Balitbang Diknas 2002). Guru yang layak mengajar hanya 50,7 % untuk jenjang

SD, 64,1 % untuk SLTP, dan 67,1 % untuk SMU (Kompas, 3 Pebruari 2006: 7). Faktor ekonomi juga ikut berpengaruh. Sejak krisis ekonomi yang melanda

Indonesia pada tahun 1997, kemampuan daya beli masyarat menurut, harga barang

melambung tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh kebanyakan

masyarakat. Sementara itu, kebijakan Pemerintah terkait dengan peningkatan

anggaran pendidikan belum mampu mengatasi problema ini. Baru pada tahun 2003

Pemerintah membuat komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional

melalui UU Sissiknas No. 20 Tahun 2003. UU ini memuat banyak hal terkait

dengan pendidik, dalam hal ini guru dan dosen, serta hal-hal yang mengatur tentang

pembenahan mutu pendidikan nasional. UU ini diteruskan dengan hadirnya

kebijakan yang mengatur tentang guru dan dosen terutama dalam rangka

meningkatkan profesionalismenya melalui progran sertifikasi.

Siapa sebenarnya guru tersebut? Apa yang dimaksud dengan sertifikasi?

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1

disebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai

guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,

dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam

menyelenggarakan pendidikan.

Sedang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I

tentang Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik

25

Page 26: 17_Abd Rachaman Assegaf

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini

jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedang

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.

Dengan demikian, sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang

diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam BAB II tentang Kedudukan, Fungsi, Dan Tujuan pasal 2 ayat 1

disebutkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada

jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini

pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Sedang jalur pendidikan sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas No

20 Tahun 2003 adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan

potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Dalam Buku 6 yang merupakan Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi

Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008 disebutkan bahwa secara

umum tujuan sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan adalah untuk

meningkatkan kompetensi peserta agar mencapai standar kompetensi yang

ditentukan. Secara khusus program ini bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan

kompetensi guru dalam bidang ilmunya. 2. Memantapkan kemampuan mengajar

guru. 3. Mengembangkan kompetensi guru secara holistik sehingga mampu

bertindak secara profesional. 4. Meningkatkan kemampuan guru dalam kegiatan

penelitian dan kegiatan ilmiah lain, serta memanfaaatkan teknologi komunikasi

informasi untuk kepentingan pembelajaran dan perluasan wawasan.

Adapun sistem pembelajarannya dalam program sertifikasi guru dalam

jabatan melalui jalur pendidikan ini adalah menekankan pada pengembangan

kemampuan yang mempersyaratkan pemahaman konsep-konsep yang mantap dan

kemudian diterapkan dalam praktik. Dengan kata lain, pembelajaran tidak cukup

menekankan pada segi apa dan mengapa, tetapi pada segi bagaimana penerapannya.

26

Page 27: 17_Abd Rachaman Assegaf

Dengan demikian, proses pembelajaran dalam program ini perlu memperhatikan

hal-hal berikut. 1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)

semester. 2. Pengembangan bahan ajar dilakukan berdasarkan standar isi kurikulum

dengan mempertimbangkan kondisi setempat. 3. Dalam proses pembelajaran, dosen

mampu berperan sebagai model guru SD atau SMP, sehingga peserta didik

mendapat gambaran nyata tentang perilaku guru yang harus ditampilkan ketika

mengajar. 4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang dapat melibatkan

peserta didik dalam pemerolehan konsep dan makna materi kajian melalui

pengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan. 5.

Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara bervariasi, sehingga memungkinkan

terbentuknya dampak instruksional dan dampak pengiring, seperti keterbukaan,

kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai. 6. Kegiatan

pembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang dapat menumbuhkan

kreativitas peserta didik untuk memilih alternatif media dan sumber belajar yang

sesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang paling

canggih saat berada di sekolah.

Persyaratan peserta dan prosedur rekrutmennya diatur sebagai berikut:

1. Sertifikasi melalui jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yang

berprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (SD dan SMP).

2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.

3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksi

administratif dilakukan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan

seleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.

Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai

berikut.

1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)

dari program studi yang terakreditasi.

2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.

3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yang

diselenggarakan oleh masyarakat.

27

Page 28: 17_Abd Rachaman Assegaf

4. Guru bukan PNS, yaitu guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar pada

satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).

6. Guru SD yang meliputi guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelas

diutamakan yang memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1

kependidikan lainnya, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yang

memiliki latar belakang S1 keolahragaan.

7. Guru SMP (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,

IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling)

diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40

tahun pada saat mendaftar.

9. Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi di

tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.

10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugas

mengajar.

11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan proses

pembelajaran di sekolah tidak terganggu.

Agar lebih jelasnya, prosedur yang harus dilalui leh guru madrasah dalam

mengikuti program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan ini adalah sebagaimana

terlihat dalam bagan berikut ini.

6/10/20086/10/2008 66

GURU DLM JABATAN (S1/D-IV)

UJI KOMPETENSI

GURUBERSERTIFIKAT

PENDIDIK

PKA

PROSEDUR SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

MELALUI JALUR PENDIDIKAN

TL

PELAKSANAAN PENDIDIKAN

TL

PAI/ DEPAG

LULUSPROGRAM PENDIDIKAN

L

MAPENDA KAB/KOTA

SELEKSIADM

SELEKSI AKADEMIK

REMEDIAL

3 X TLMAKS 2 KALI

PEMBINAAN

PEMBINAAN

Bagan 1. Prosedur Sertifikasi Guru Madrasah Jalur Pendidikan

28

Page 29: 17_Abd Rachaman Assegaf

Penjelasan alur sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan di

atas dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Guru madrasah yang memenuhi syarat untuk mengikuti sertifikasi guru dalam

jabatan melalui jalur pendidikan mendaftar ke Departemen Agama

Kabupaten/Kota dengan melengkapi berkas sesuai pedoman penyelenggaraan.

b. Pihak Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan seleksi administratif

kepada calon peserta sesuai dengan rambu-rambu yang telah ada.

c. Pihak Departemen Agama Kabupaten/Kota mengusulkan 1 (satu) orang guru

MTs per bidang studi dan 2 orang guru MI yang telah diseleksi ke Ditjen Diktis

untuk diproses lebih lanjut.

d. Rekap calon peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan beserta dokumen

kelengkapannya di kirimkan ke Ditjen Diktis.

e. Ditjen Diktis memfasilitasi seleksi akademik yang dilakukan LPTK

penyelenggara sertifikasi melalui jalur pendidikan untuk menetapkan calon

peserta program. Ditjen Diktis menetapkan alokasi peserta pada masing-masing

LPTK yang ditunjuk.

f. Peserta yang lolos seleksi akademik mengikuti Pemetaan Kemampuan Awal

untuk menentukan jumlah SKS yang wajib diambil selama mengikuti sertifikasi

guru melalui jalur pendidikan.

g. Pelaksanaan pendidikan di LPTK selama 2 semester. Peserta wajib lulus semua

matakuliah sebagai syarat untuk dapat mengikuti uji kompetensi dalam rangka

memperoleh sertifikat pendidik.

h. Peserta yang lulus semua mata kuliah diikutkan uji kompetensi. Bagi peserta

yang belum lulus ujian mata kuliah diberi kesempatan mengikuti pemantapan

dan ujian ulang sampai 2 kali. i. Peserta yang tidak lulus satu atau lebih mata

kuliah diberi kesempatan mengikuti ujian ulang. Kesempatan mengikuti ujian

ulang maksimal dua kali. Bila ada peserta yang telah menempuh ujian ulang

yang kedua dan belum lulus maka peserta dikembalikan ke dinas pendidikan

kabupaten/kota untuk mendapatkan pembinaan.

j. Peserta uji kompetensi yang tidak lulus diberi kesempatan untuk mengikuti

remidi di LPTK. Kesempatan remidi diberikan dua kali. Bila peserta gagal uji

29

Page 30: 17_Abd Rachaman Assegaf

kompetensi yang ke-3, maka peserta diserahkan kembali ke Departemen Agama

kota/kabupaten untuk mendapatkan pembinaan.

Dalam Bab IV tentang Guru Bagian Kesatu tentang Kualifikasi,

Kompetensi, dan Sertifikasi Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani,

serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9

menyebutkan bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Pasal 10 menyebutkan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal

8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Pasal 11 menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi

pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan

tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi

pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

Pasal 16 menyebutkan bahwa Pemerintah memberikan tunjangan profesi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki

sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan

pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan profesi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang

diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau

pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

Terkait dengan sertifikasi guru madrasah ini, dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional No. 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam

Jabatan Pasal 1 ayat 1-3 disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan

adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Sertifikasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang

telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV).

Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

30

Page 31: 17_Abd Rachaman Assegaf

diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan

tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan

Nasional.

Penjelasan tentang materi sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur

pendidikan tersebut, Buku 7 Tentang Rambu-Rambu Penyusunan Kurikulum

Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008 menyebutkan bahwa

tujuan program secara umum program ini adalah untuk meningkatkan kompetensi

guru sebagai pendidik profesional. Secara khusus program ini bertujuan sebagai

berikut. 1. Meningkatkan penguasaan bidang ilmunya. 2. Memantapkan

kemampuan mengajar guru. 3. Mengembangkan kompetensi guru secara holistik

sehingga mampu bertindak secara profesional. 4. Meningkatkan kemampuan guru

dalam kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya, serta memanfaaatkan

teknologi komunikasi informasi untuk kepentingan pembelajaran dan perluasan

wawasan.

Sedang sasaran program sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui

jalur pendidikan adalah guru MI dan MTs yang lulus seleksi administrasi di dinas

pendidikan kota/kabupaten dan seleksi akademik yang dilakukan LPTK bersama

Ditjen Diktis. Guru-guru tersebut adalah: 1. guru MI (guru kelas) 2. guru MTs

untuk bidang studi Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,

Kesenian, Olah raga, PKn, Bimbingan dan Konseling.

Kompetensi lulusan program sertifikasi melalui pendidikan dilaksanakan

untuk menghasilkan guru yang kompeten dengan usaha-usaha berikut ini. 1.

Meningkatkan empat kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran, yaitu

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan

kompetensi sosial. Keempat kompetensi tersebut secara holistik dan integratif

tercermin dalam kinerja guru. 2. Menerapkan empat kompetensi tersebut dalam

situasi nyata untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang mendidik.

31

Page 32: 17_Abd Rachaman Assegaf

2. Kesiapan Guru Madrasah

Bila diperhatikan bahwa kebijakan tentang sertifikasi guru madrasah dalam

jabatan melalui jalur pendidikan ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak

mengikuti sertifikasi jalur portofolio, dan dipersyaratkan bahwa mereka adalah guru

muda yang berkualifikasi sarjana S-1 dan sudah mengajar minimal lima tahun serta

memiliki prestasi, maka hal ini sulit dipenuhi oleh guru madrasah. Kembali kepada

kondisi dan problema yang dihadapi oleh guru madrasah sebagaimana diuraikan

sebelumnya yang menunjukkan rendahnya kualitas akademik mereka bila

dibandingkan dengan guru di sekolah umum yang lebih siap mengikuti program

sertifikasi guru jalur pendidikan.

Ditengah pengaruh globalisasi, lembaga pendidikan Islam khususnya

madrasah masih harus menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya, bagaimana

madrasah dapat setara, dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum.

Menurut Malik, Kepala Balitbang Agama DKI Jakarta, kini sudah saatnya,

madrasah bisa memainkan peran penting dalam kehidupan global, tanpa kehilangan

ciri khas serta jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurutnya, sebagai

lembaga pendidikan tertua di Indonesia, perkembangan lembaga pendidikan Islam

khususnya madrasah, masih sering diperlakukan diskriminatif. Padahal, sebagai

negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikan

sebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag melalui balai penelitiannya terus

berupaya menyetarakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum, memberikan

peluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan di

perguruan tinggi umum. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas

menyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunya

dengan memberikan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatan

profesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini bisa menjadi salah satu tolak ukur dari

profesionalisme seorang guru, terutama guru agama, untuk selalu meningkatkan

kemampuannya.

Kualifikasi pendidikan guru madrasah sampai saat ini masih relatif rendah.

Hal ini terlihat pada grafik dibawah ini. Persebaran tingkat pendidikan guru

madrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI,

32

Page 33: 17_Abd Rachaman Assegaf

kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MA

sebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih.

Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004

Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi standar (D2 atau lebih)

berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkat

MTs yang sudah memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yang

belum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhi

standar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%.

1. Madrasah Ibtidaiyah Kualifikasi Pendidikan

Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total

Negeri 3,479

520

9,880

802

4,096

18,777

Swasta 92,473

8,445

49,030

4,885

22,949

177,782

2. Madrasah Tsanawiyah Kualifikasi Pendidikan

Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total

Negeri 1,959

446

1,819

6,114

21,261

31,599

Swasta 40,867

5,034

18,290

20,770

79,535

164,496

3. Madrasah Aliyah Kualifikasi Pendidikan

Status Madrasah < D1 D1 D2 D3 > D3 Total

Negeri 500 34

146 1,338

15,809

17,827

Swasta 8,081

809

2,725

5,821

39,319

56,755

Tabel 3. Jumlah Guru Berdasarkan Kualifikasi Pendidikan

pada Madrasah Tahun 2004

33

Page 34: 17_Abd Rachaman Assegaf

Secara lebih spesifik, kondisi kualifikasi akademik guru madrasah tersebut

tidak jauh beda dengan yang dihadapi oleh guru madrasah di wilayah DIY. Data

EMIS Departemen Agama Provinsi DIY Tahun 2008 menunjukkan bahwa lebih

dari 60% guru MI berpendidikan akhir di bawah S-1. Kondisi lebih baik dijumpai di

MTs dan MA, dimana sekitar 75% guru MTs berpendidikan S-1 ke atas, dan sekitar

85% guru MA berpendidikan S-1 ke atas. Namun demikian, perlu diperhatikan di

sini bahwa tidak semua dari mereka yang berpendidikan S-1 tersebut memiliki

pengalaman mengajar lebih dari lima tahun. Kalau pun sebagian di antara mereka

telah mengajar lebih dari lima tahun, belum tentu semuanya memiliki prestasi

akademik yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau penghargaan lain, padahal hal

ini sebagai prasyarat bagi keikutsertaan mereka dalam program sertifikasi guru

melalui jalur pendidikan. Beberapa tabel berikut ini ditampilkan untuk memberi

gambaran terhadap kesiapan guru madrasah di DIY dalam mengikuti program

sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.

Keberadaan Guru MI

Status Pendidikan Akhir

Kabupaten

PNS Non PNS

<= SL TA

D1 D2 D3 S1 S2 S3

Sleman 128 125 43 3 97 12 93 2 0 Kota 21 11 3 0 8 2 19 0 0 Gunung Kidul 410 473 133 6 18 196 5 0 Bantul 160 141 48 1 123 18 103 4 0 Jumlah 719 750 227 10 246 18 411 11 0

Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008

Tabel 4. Status dan Pendidikan Akhir Guru Madrasah Ibtidaiyah di DIY Tahun 2008

34

Page 35: 17_Abd Rachaman Assegaf

Keberadaan Guru MTs

Status Pendidikan Akhir

Kabupaten

PNS Non PNS

<= SL TA

D1 D2 D3 S1 S2 S3

Sleman 327 220 47 4 7 67 382 19 0 Kota 62 144 17 0 2 17 159 7 0 Gunung Kidul

251 337 41 10 48 74 410 10 0 Bantul 325 332 74 38 44 92 463 45 34 Jumlah 965 1033 179 52 101 250 1414 81 34

Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008

Tabel 5. Status dan Pendidikan Akhir Guru Madrasah Tsanawiyah di DIY Tahun 2008

Keberadaan Guru MA

Status Pendidikan Akhir

Kabupaten

PNS Non PNS

<= SL TA

D1 D2 D3 S1 S2 S3

Sleman 190 264 34 0 2 15 374 29 0 Kota 121 157 9 0 0 18 231 19 0 Gunung Kidul 44 87 7 0 8 10 95 9 0 Bantul 12 92 11 8 2 22 59 0 0 Jumlah 367 600 61 8 12 65 759 57 0

Diolah dari sumber: Data EMIS Depag DIY 2008

Tabel 6. Status dan Pendidikan Akhir Guru MA di DIY Tahun 2008

Pengalaman pelaksanaan program sertifikasi guru jalur portofolio tahun lalu

menunjukkan bahwa sekitar 60 persen dari 21 ribu guru madrasah yang mengikuti

sertifikasi guru tahun 2007 dinyatakan tidak lulus. Direktur Pendidikan Madrasah

Departemen Agama, Drs H Firdaus Basyuni MPd, menginformasikan bahwa sebanyak

21 ribu guru yang menyampaikan portofolio untuk sertifikasi tahun 2007 namun yang

lulus 30 persen hingga 40 persen. Menurutnya, sebagian besar peserta tidak lulus karena

portofolio yang disampaikan kurang lengkap dan tidak memenuhi persyaratan

sertifikasi seperti yang ditentukan.

35

Page 36: 17_Abd Rachaman Assegaf

Walaupun program sertifikasi guru melalui jalur portofolio telah dilaksanakan

namun umumnya kompetensi guru masih memprihatinkan, bahkan guru yang telah

memiliki sertifikat profesi pun belum menunjukkan sikap dan kinerja yang profesional.

Masih dijumpai adanya persepsi guru yang ikut serta program sertifikasi tersebut

semata-mata untuk mengejar tunjangan profesi, dan bukan peningkatan

profesionalisme. Hal ini perlu diperhatikan secara serius agar pelaksanaan program

sertifikasi selanjutnya, baik yang melalui jalur portofolio maupun pendidikan, dapat

dikaji ulang terutama dalam hal pembinaan, monitoring dan evaluasinya. Salah seorang

guru peserta program sertifikasi, Sundari,35 mengaku bahwa program sertifikasi guru

melalui jalur pendidikan lebih prospektif dari pada jalur portofolio. Alasannya, dalam

jalur pendidikan, dana bantuan yang diberikan kepada guru tersebut relatif lebih besar

dari pada jalur portofolio yang justru menyita waktu dan biaya dari guru itu sendiri.

Keluhan senada disampaikan oleh Bapak Dayat,36 Kepala MIM Kranggan, yang

menyatakan bahwa jalur prortofolio benar-benar melelahkan sementara bagi yang sudah

menerima sertifikat pendidik, sampai saat ini pun belum menerima tunjangan. Agaknya

para guru saat ini banyak yang mendapatkan informasi tentang program sertifikasi guru

melalui jalur portofolio, sedang jalur pendidikan kurang diketahui. Ketika

diwawancarai, Pak Nanang,37 guru MAN Prambanan, misalnya, mengaku baru

mengetahui kabar tentang program sertifikasi jalur pendidikan ini dari Kompas yang

dibacanya dua hari yang lalu (akhir Juni 2008).

Dengan mencermati seluruh kondisi dan kekhasan madrasah, problematika yang

dihadapinya, serta data tentang kesiapannya, sebagaimana diuraikan di atas, maka

program sertifikasi guru madrasah dalam jabatan melalui jalur pendidikan yang akan

dilaksanakan mulai tahun 2008 ini hendaknya dapat diselenggarakan secara cermat,

fleksibel dan tidak menimbulkan kesenjangan yang semakin lebar dengan guru di

sekolah umum.

35 Wawancara dengan Ibu Sundari, guru SDN di Kebonanom, Klaten, pada tanggal 23 Juni 2008. 36 Wawancara dengan Bapak Dayat, Kepala MIM Kranggan, Manisrenggo, Klaten, pada tanggal 21

Juni 2008. 37 Wawancara dengan Bapak Nanang, guru MAN Prambanan pada tanggal 21 Juni 2008.

36

Page 37: 17_Abd Rachaman Assegaf

BAB III

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Madrasah memiliki potensi dan karakteristik tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Sejak masa perjuangan colonial Belanda, pasca kemerdekaan, hingga kini, madrasah

menyediakan dasar-dasar pendidikan moral dan agama kepada masyarakat pada saat

Pemerintah tidak sanggup melaksanakannya. Saat ini, madrasah menyerap peserta didik

dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah yang mayoritas berada di daerah

pedesaan, khusunya kaum perempuan. Jadi, dapat dikatakan bahwa madrasah berpihak

pada rakyat miskin, berbasis masyarakat, dan pro perempuan. Ketika harga barang

melambung tinggi, biaya pendidikan meningkat, dan daya beli masyarakat menurun

seperti yang terjadi sekarang, maka madrasah yang berkarakter populis tersebut

membuka jalan keluar bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk

menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif.

2. Madrasah bisa dikatakan sebagai jalan tengah di antara pendidikan model sekolah

umum dengan pesantren, sebab madrasah memiliki keunikan dalam memadukan

pendidikan umum dengan moral-keagamaan, bahkan sering kali madrasah dikaitkan

dengan wahana pelatihan keterampilan dan kewirausahaan. Namun demikian, keunikan

madrasah ini sekaligus sebagai bentuk doble burden atau beban ganda karena kekhasan

komposisi kurikulumnya yang 30% agama dan 70% umum, ditambah lagi dengan

kurikulum lokal yang diberlakukan oleh pihak penyelenggara madrasah, baik yayasan,

ormas Islam, maupun pesantren.

3. Pemerintah perlu membenahi kebijakan yang terkait dengan alokasi sumber dana,

sistem pengangkatan guru, penyediaan buku teks, sarana pembelajaran, administrasi

dan manajemen madrasah, termasuk pembenahan fasilitas perpustakaan, laboratorium,

sarana-prasarana, bahkan masalah bangunan fisik kelas, maupun perkantoran.

Kebijakan pembenahan madrasah ini hendaknya didasarkan pada prinsip persamaan

perlakuan atas akses dan kualitas pendidikan.

37

Page 38: 17_Abd Rachaman Assegaf

4. Dalam rangka untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru, khususnya

guru madrasah, Diknas dan Depag perlu melakukan road map berdasarkan masing-

masing daerah, agar kebutuhan guru dapat dihitung berdasarkan kondisi geografis dan

demografis secara komprehensif. Hal ini penting dilakukan agar dapat diketahui berapa

banyak guru yang akan pensiun, sekaligus dapat memetakan kebutuhan daerah tertentu

yang masih kekurangan guru atau kebanyakan guru. Di lingkungan Depag, kebutuhan

akan guru agama masih kurang, sedang rekruitmen yang dilakukan berdasarkan

formasinya nampak sangat terbatas.

5. Mengingat bahwa tujuan sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan guru

dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran, meningkatkan profesionalisme

guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, dan mempercepat terwujudnya tujuan

pendidikan nasional, maka hendaknya kebijakan sertifikasi guru madrasah dalam

jabatan melalui jalur pendidikan ini hendaknya diutamakan bagi guru muda Madrasah

Ibtidaiyah (MI) yang belum memperoleh kesempatan uji kompetensi melalui portofolio

dengan mempertimbangkan segala aspek keterbatasan kondisi dan problematikan yang

dihadapi guru madrasah.

6. Kebijakan Pemerintah terkait dengan sertifikasi guru madrasah hendaknya didahului

oleh sosialisasi yang memadai, pembinaan internal guru madrasah, dan peningkatan

kualitas akademiknya, terutama bagi guru MI. Bila dicermati, pelaksanaan sertifikasi

guru madrasah jalur portofolio pada tahun 2007 yang menunjukkan sekitar 60% guru

madrasah tidak lulus, maka kesiapan guru madrasah dalam kebijakan sertifikasi guru

jalur pendidikan perlu mempertimbangkan kekhasan, kondisi, dan problematika yang

dihadapi oleh guru madrasah, mengingat bila kriteria guru muda madrasah yang

berprestasi dan mendapat penghargaan dilaksanakan secara kaku, maka jumlah mereka

akan sangat terbatas dan kuotanya menjadi sulit dipenuhi. Agar tidak membawa

dampak kesenjangan yang lebar dengan sertifikasi guru di sekolah umum, maka

pemberlakuan secara ketat kriteria dan persyaratan sertifikasi guru madrasah melalui

jalur pendidikan ini dipandang perlu dilaksanakan secara bertahap.

7. Proses dan materi pembelajaran program sertifikasi guru madrasah melalui jalur

pendidikan yang dilaksanakan selama dua semester ini hendaknya dapat dikemas

38

Page 39: 17_Abd Rachaman Assegaf

sedemikian rupa sehingga tidak dikesankan oleh pesertanya sebagai bentuk lain dari

penataran atau pelatihan yang membosankan, dan hasilnya sering kali tidak jelas, atau

tidak ada tindak lanjut. Untuk itu program pengawasan, monitoring dan evaluasi dari

Depag maupun Diknas, khususnya LPTK, perlu dilaksanakan secara intensif mulai dari

kegiatan sebelum, sedang, maupun setelah proses pendidikan dilaksanakan.

39

Page 40: 17_Abd Rachaman Assegaf

DAFTAR PUSTAKA

Buku Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:

Gemawindu Pancaperkasa, 2000.

Ace Suryani & H.A.R. Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999.

Deliar Noer. “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No.58. New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.

Djumhur, I. & Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1976.

Ensiklopedi Islam 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.

Fadjar, A. Malik. “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa, 1997.

Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999

Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.). IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2002.

Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut Kurikulum Pendidikan Islam” dalam Hasil penelitian (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991.

Husni Rahim. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Karel A. Steenbrink. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1994.

M. Arifin. Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama. Semarang: Toha Putra, [1981].

M. Irsyad Djuwaeni. Pembaruan Kembali Pendidikan Islam. Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998.

Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992.

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h.63.

40

Page 41: 17_Abd Rachaman Assegaf

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Muljanto Sumardi, Bibliografi Pendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan Kemasyarakatan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976.

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h.85.

Noeng Muhadjir, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992.

Soetjipto, Analisis Kebijaksanaan Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, P2LPTK, 1987), h.2.

Supandi & Achmad Sanusi, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK), 1988.

Timur Djaelani. Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982.

Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Produk Kebijakan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3

Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.

Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945.

Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 tentang Pendidikan Menengah Umum (SMU)

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD)

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 tentang Sekolah Dasar (SD) Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeri

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 tentang Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP)

Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H. Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan mengenai bentuk bantuan (hadiah, sokongan atau tunjangan), syarat-syarat

41

Page 42: 17_Abd Rachaman Assegaf

memperoleh bantuan, cara penetapan pemberian bantuan, pengawasan dan kewajiban perguruan agama Islam, pengubahan dan penghentian pemberian bantuan dan pelaksanaan pemberian bantuan.

Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 tentang penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) 1951-1963.

Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengakuan persamaan MIS dengan MIN dan persamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 tentang civil effect tamatan madrasah. Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997.

Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946.

Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian bantuan kepada madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs),

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan

PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (SD dan SLTP)

SKB dua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003

Internet www.eramuslim.comwww.depag.go.idwww.depdiknas.go.idwww.sertifikasiguru.org

42

Page 43: 17_Abd Rachaman Assegaf

Lampiran ........

Perpustakaan MAN Yogyakarta I terletak di sebelah barat Masjid Al Hakim. Di dalamnya terdapat koleksi berbagai buku pelajaran, buku bacaan yang mengandung ilmu pengetahuan, dan ensiklopedi dunia. Ruang baca yang nyaman, ber-AC, dan dengan petugas yang ramahdakwah Islam sekaligus internalisasi nilai-nilai kejujuran, amanah dan tanggungjawab.

Masjid Al Hakim yang terletak di sebelah utara gedung MAN Yogyakarta I merupakan fasilitas yang memiliki multi fungsi. Disamping untuk kegiatan shalat, Masjid yang memiliki dua lantai itu biasa digunakan untuk kegiatan keagamaan yang diadakan Rohis MAN Yogyakarta I.

Penyerahan hewan kurban pada peringatan Idul Adha 1427 H sebagai wujud siar Islam dan kepedulian sosial MANSA. .

Syawalan dengan saling memaafkan antar siswa dengan guru dan karyawan.

43

Page 44: 17_Abd Rachaman Assegaf

Sebagai bagian dari kegiatan belajar sering dilakukan kegiatan diskusi untuk mengekplorasi pemikiran dan ide-ide siswa terhadap suatu permasalahan yang dihadapi.

Gedung MAN Prambanan, Kebon Dalem, Kecamatan Prambanan, Klaten. Lokasinya berada di antara pemukiman penduduk dan lahan pertanian

Sebagai bagian dari kegiatan belajar sering dilakukan kegiatan diskusi untuk mengekplorasi pemikiran dan ide-ide siswa terhadap suatu permasalahan yang dihadapi.

Siswa-siswi MAIN I Yogyakarta sedang tekun mendengarkan pelajaran Aqidah Akhlak oleh Dra. Hj. Hindayati

44

Page 45: 17_Abd Rachaman Assegaf

Gedung Utama MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta

Ruang Perpustakaan MA Ali Maksum Yogyakarta

Ruang Laboratorium Komputer MA Ali Maksum Yogyakarta

Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Kranggang Kecamatan Manisrenggo Klaten

45

Page 46: 17_Abd Rachaman Assegaf

46