(17. Senin) Konservasi_marlinda

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tangkahan adalah salah satu obyek wisata yang ada di Sumatera Utara dan merupakan pintu gerbang Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan Tangkahan memiliki panorama alam yang sangat indah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga menjadi tujuan wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tangkahan juga memiliki atraksi gajah yang keberadaannya diawali dengan program Conservation Response Unit (CRU) yang diinisiasi sebuah NGO (Non Government Organization) pada tahun 2004. Melalui CRU program konservasi gajah diharapkan dapat dilakukan secara eksitu dan insitu di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) (Balai Besar TNGL, 2009). Informasi mengenai pengelolaan gajah jinak, seperti : aktivitas harian CRU dalam mengelola gajah, biaya dan pendapatan CRU dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi CRU, belum menjadi perhatian masyarakat sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET). Padahal informasi mengenai pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU adalah penting untuk diketahui masyarakat sekitar KET, agar kedepannya masyarakat dapat secara mandiri mengelola KET termasuk pengelolaan gajah jinak yang ada disana. Dari berbagai bentuk 1

Transcript of (17. Senin) Konservasi_marlinda

Page 1: (17. Senin) Konservasi_marlinda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tangkahan adalah salah satu obyek wisata yang ada di Sumatera Utara dan

merupakan pintu gerbang Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan Tangkahan

memiliki panorama alam yang sangat indah dengan keanekaragaman hayati yang

tinggi sehingga menjadi tujuan wisata bagi wisatawan domestik maupun

mancanegara. Tangkahan juga memiliki atraksi gajah yang keberadaannya diawali

dengan program Conservation Response Unit (CRU) yang diinisiasi sebuah NGO

(Non Government Organization) pada tahun 2004. Melalui CRU program

konservasi gajah diharapkan dapat dilakukan secara eksitu dan insitu di kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) (Balai Besar TNGL, 2009).

Informasi mengenai pengelolaan gajah jinak, seperti : aktivitas harian

CRU dalam mengelola gajah, biaya dan pendapatan CRU dan permasalahan-

permasalahan yang dihadapi CRU, belum menjadi perhatian masyarakat sekitar

Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET). Padahal informasi mengenai pengelolaan

gajah jinak yang dilakukan oleh CRU adalah penting untuk diketahui masyarakat

sekitar KET, agar kedepannya masyarakat dapat secara mandiri mengelola KET

termasuk pengelolaan gajah jinak yang ada disana. Dari berbagai bentuk

pemanfaatan gajah jinak yang telah dilakukan di Tangkahan, yaitu : pemanfaatan

untuk ekowisata, patroli kawasan hutan, mitigasi konflik manusia dengan gajah

dan penyuluhan konservasi sumber daya hutan. Perlu dilakukan perumusan

bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan. Pendapat para

stakeholder menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam

menentukan bentuk pemanfaatan gajah jinak yang sebenarnya paling penting atau

paling sesuai untuk dilaksanakan dan dikembangkan di

Tangkahan. Status Tangkahan sebagai Kawasan Ekowisata Tangkahan

(KET) dengan gajah sumatera sebagai ikon yang paling melekat dengannya, maka

sudah seharusnya dibarengi dengan persepsi ataupun wawasan masyarakat yang

baik dalam konservasi gajah sumatera terlebih lagi dengan kegiatan-kegiatan

penyuluhan konservasi yang pernah dilakukan oleh pihak manajemen CRU

1

Page 2: (17. Senin) Konservasi_marlinda

kepada masyarakat sekitar KET. Karena, gajah sumatera yang menjadikan

Tangkahan sebagai obyek wisata yang menarik perhatian baik dari kalangan

wisatawan asing maupun dalam negeri.

Informasi mengenai pengelolaan gajah jinak, seperti : aktivitas harian

CRU dalam mengelola gajah, biaya dan pendapatan CRU dan permasalahan-

permasalahan yang dihadapi CRU, belum menjadi perhatian masyarakat sekitar

Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET). Padahal informasi mengenai pengelolaan

gajah jinak yang dilakukan oleh CRU adalah penting untuk diketahui masyarakat

sekitar KET, agar kedepannya masyarakat dapat secara mandiri mengelola KET

termasuk pengelolaan gajah jinak yang ada disana.

Status Tangkahan sebagai Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET) dengan

gajah sumatera sebagai ikon yang paling melekat dengannya, maka sudah

seharusnya dibarengi dengan persepsi ataupun wawasan masyarakat yang baik

dalam konservasi gajah sumatera terlebih lagi dengan kegiatan-kegiatan

penyuluhan konservasi yang pernah dilakukan oleh pihak manajemen CRU

kepada masyarakat sekitar KET. Karena, gajah sumatera yang menjadikan

Tangkahan sebagai obyek wisata yang menarik perhatian baik dari kalangan

wisatawan asing maupun dalam negeri.

2

Page 3: (17. Senin) Konservasi_marlinda

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus)

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Gajah adalah mamalia

darat terbesar yang merupakan salah satu satwa peninggalan zaman purba yang

masih bertahan hidup di dunia dengan penyebaran yang sangat terbatas. Spesies

ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan

status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on International Trade

of Endangered Fauna and Flora/ Konvensi tentang Perdagangan International

Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok

Appendix I (Suara Satwa, 2008). Secara umum gajah hanya terbagi menjadi 2

spesies utama yaitu gajah afrika (Loxodonta Africana) dan gajah asia (Elephas

maximus). Gajah asia berbeda dari saudaranya gajah afrika, karena ukuran tubuh

dan telinganya lebih kecil, punggungnya lebih bundar, dan memiliki 4 kuku jari di

kaki. Yang sangat menarik adalah telinga gajah asia berbentuk mirip dengan pola

dataran India, sedangkan telinga gajah afrika berbentuk benua Afrika. Secara

umum gajah asia memiliki tiga sub-spesies, salah satunya adalah gajah sumatera

(Elephas maximus Sumatranus) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra

Indonesia (Suara Satwa, 2008). Gajah sumatera (Elephas maximus sumtranus)

merupakan salah satu dari subspecies gajah asia. Dua subspecies yang lainnya

yakni Elephas maximus maximus dan Elephas maximusindicus hidup di anak

benua India, Asia Tenggara dan Borneo (Hamid, 2001).

Secara umum gajah hanya terbagi menjadi 2 spesies utama yaitu gajah

afrika (Loxodonta Africana) dan gajah asia (Elephas maximus). Gajah asia

berbeda dari saudaranya gajah afrika, karena ukuran tubuh dan telinganya lebih

kecil, punggungnya lebih bundar, dan memiliki 4 kuku jari di kaki. Yang sangat

menarik adalah telinga gajah asia berbentuk mirip dengan pola dataran India,

sedangkan telinga gajah afrika berbentuk benua Afrika. Secara umum gajah asia

memiliki tiga sub-spesies, salah satunya adalah gajah sumatera (Elephas maximus

Sumatranus) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra Indonesia (Suara

Satwa, 2008). Gajah sumatera (Elephas maximus sumtranus) merupakan salah

3

Page 4: (17. Senin) Konservasi_marlinda

satu dari subspecies gajah asia. Dua subspecies yang lainnya yakni Elephas

maximus maximus dan Elephas maximusindicus hidup di anak benua India, Asia

Tenggara dan Borneo (Hamid, 2001).

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Gajah adalah mamalia

darat terbesar yang merupakan salah satu satwa peninggalan zaman purba yang

masih bertahan hidup di dunia dengan penyebaran yang sangat terbatas. Spesies

ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan

status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on International Trade

of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International

Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok

Appendix I (Suara Satwa, 2008).

2.2 Sebaran Populasi Gajah Sumatera

Populasi gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh

Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan

Lampung. Sementara itu, gajah kalimantan hanya terdapat di satu provinsi yaitu

Kalimantan Timur. Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang

tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi

kedua satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dan menggunakan metode

ilmiah yang baku. Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen

Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan

metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para

petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber

Daya Alam dan Dinas Kehutanan (Suara Satwa, 2008).

2.3 Permasalahan Gajah Sumatera

Laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di

Pulau Sumatera, secara langsung telah memberikan pengaruh signifikan pada

terjadinya pengurangan populasi gajah sumatera di alam. Dampak pengurangan

terbesar pada keberadaan populasi gajah di alam selain karena adanya perburuan,

juga disebabkan oleh semakin berkurangnya luasan habitat gajah. Pengurangan

habitat gajah secara nyata ini karena berubahnya habitat gajah sumatera menjadi

4

Page 5: (17. Senin) Konservasi_marlinda

perkebunan monokultur skala besar (sawit, karet, kakao) yang telah menggusur

habitat gajah sumatra. Selain itu hal ini juga telah membuat gajah terjebak dalam

blok-blok kecil hutan yang tidak cukup untuk menyokong kehidupan gajah untuk

jangka panjang, di sisi lain hal ini juga yang menjadi pemicu terjadinya konflik

antara manusia dengan gajah. Untuk itu, perlu adanya penanganan khusus

terutama untuk menghindarkan gajah dari kepunahan dan juga konflik dengan

manusia (Suara Satwa, 2008).

2.4 Pengelolaan Gajah Jinak

Dirjen PHKA (2007) menyebutkan bahwa gajah jinak memiliki sejarah

yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi

gajah di Indonesia. Gajah jinak di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an,

pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)

melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah dengan

manusia.

Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah

Tiga Liman, yaitu : Bina Liman, Tata Liman dan Guna Liman. Pengelolaan gajah

dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena

dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di

habitat aslinya. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan

pengelolaan gajah jinak dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk

tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan

konflik (Dirjen PHKA, 2007).

2.5 CRU (Conservation Response Unit)

Konsep Conservation Response Unit (CRU) didasari oleh keinginan untuk

menyelamatkan biodiversitas dengan menerapkan beberapa strategi konservasi.

Pendekatan secara eksitu dan insitu tidak selamanya efektif, karena tidak ada satu

pun metode yang dapat diterapkan secara optimal untuk berbagai kondisi dan

dapat menyelesaikan semua permasalahan. Perbedaan sistem konservasi

diharapkan dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan dapat menutupi

kelemahan-kelemahan yang ada pada satu metode. Sehingga keberhasilan dari

5

Page 6: (17. Senin) Konservasi_marlinda

penggunaan sistem insitu dan eksitu tergantung pada kekuatan antar hubungan

keduanya (FFI, 2007).

Pelaksanaan program CRU telah didukung oleh United States Fish and

Wildlife Service (USFWS) sejak tahun 2002, dan juga termasuk ranger hutan,

masyarakat lokal, pelatih gajah (mahout) yang bekerjasama di Sumatera Utara

Pelaksanaan program CRU telah didukung oleh United States Fish and Wildlife

Service (USFWS) sejak tahun 2002, dan juga termasuk ranger hutan, masyarakat

lokal, pelatih gajah (mahout) yang bekerjasama di Sumatera Utara untuk

melakukan konservasi pada habitat gajah yang tersisa. Kapasitas sarana adalah

kunci yang utama pada konsep CRU dan tim-tim yang telah dibentuk dilatih untuk

meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara mengatasi konflik yang terjadi

antara manusia dengan gajah, mengawasi penggunaan sumber daya hutan,

melakukan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya hutan secara ilegal dan

juga bertanggung jawab atas penyuluhan terhadap kesadaran masyarakat lokal

tentang konservasi hutan. Penyuluhan yang dilakukan kepada masyarakat lokal

diharapkan mampu memberikan kedekatan secara pribadi dengan camp gajah dan

pembelajaran secara interaktif ini diatur sedemikian rupa agar terjadi kedekatan

satu dengan yang lainnya (FFI, 2007).

Model yang telah dibuat CRU merupakan salah satu metode yang

menghasilkan ikatan yang kuat antara konservasi gajah secara insitu dan eksitu.

Model ini menggambarkan bagaimana perlakuan kepada gajah tangkapan dengan

mahotnya dilapangan yang berdasarkan kepada konsep konservasi gajah liar dan

habitatnya yang diharapkan akan dapat mengahasilkan pengaruh positif bagi

masyarakat dan gajah. Dengan membuat hubungan ini, maka dapat menyakinkan

bahwa gajah-gajah ini dilihat sebagai sumber daya yang penting. Dengan

demikian masyarakat lokal, lembaga yang berkepentingan dan para stakeholder

lainnya akan memberikan kontribusi mereka yang tentu saja diharapkan mampu

memberikan perhatian yang khusus terhadap perlindungan gajah-gajah sumatera

baik di habitat aslinya maupun pada penangkaran (FFI, 2007). Pada wilayah

Sumatera Utara, CRU dikembangkan di Tangkahan. Ruang lingkup kegiatan CRU

antara lain :

1. Peningkatan kapasitas sarana bagi masyarakat, staf dan lembaga terkait.

6

Page 7: (17. Senin) Konservasi_marlinda

2. Patroli hutan dan pengawasan juga penegakan hukum.

3. Pengembangan ekoturisme berbasiskan masyarakat dan menggali potensi

lainnya sebagai pendapatan alternatif di Tangkahan.

4. Peningkatan hubungan antar masyarakat lokal dengan pengunjung.

5. Mitigasi konflik antara manusia dengan gajah.

Konsep yang dibawa CRU sebagai latar belakang filosopi pendirian

organisasi ini telah mendapatkan berbagai apresiasi dari berbagai komunitas

konservasi gajah baik secara nasional maupun internasional dan konsep tersebut

juga diterapkan dibagian lain Sumatera (Bengkulu) yang bekerjasama dengan FFI,

International Elephant Foundation (IEF) dan BKSDA sebagai bagian dari strategi

konservasi gajah sumatera (FFI, 2007). FFI (2007) menyebutkan bahwa CRU

banyak menghadapi berbagai hambatan dalam melakukan konservasi habitat

gajah sumatera. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan adanya kerjasama yang

dibangun antar pihak-pihak yang terkait. Disadari bahwa tanpa adanya kerjasama

yang baik sangat sulit untuk melakukan manajemen tempat penangkaran dengan

kondisi yang lebih baik. Dengan menguatkan hubungan kepada masyarakat yang

berada disekitar TNGL, CRU memiliki beberapa target yang dilakukan secara

bertahap dan berkelanjutan, antara lain adalah :

1. Membangun kapasitas taman nasional secara berkelanjutan dengan

mengembangkan langkah-langkah CRU yakni : dalam patroli hutan,

pengawasan dan penegakan hukum di daerah Seikundur-Besitang dan

kawasan hutan Tangkahan.

2. Mencegah berbagai aktivitas kriminal yang terjadi di wilayah taman

nasional khususnya penebangan liar melalui patoli hutan dan penegakan

hukum.

3. Mengembangkan ekoturisme berbasis kemasyarakatan dan memfasilitasi

kegiatan konservasi gajah sebagai wujud pengembangan perencanaan

ekoturisme untuk menjamin keberlangsungan kegiatan tersebut secara

finansial.

4. Menggali potensi-potensi yang ada sebagai mata pencaharian alternatif

yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal di Tangkahan.

7

Page 8: (17. Senin) Konservasi_marlinda

5. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat dan pengunjung untuk

meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akan nilai dari hutan dan

tanggung jawab perlindungan pada kawasan hutan Tangkahan juga

Seikundur-Besitang.

2.6 Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET)

Kawasan Ekowisata Tangkahan terletak di zona penyangga Taman

Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat Sumatera

Utara. Terletak di ketinggian130 meter sampai 800 meter di atas permukaan laut.

Terletak di pertemuan dua sungai yaitu: Sungai Buluh dan Sungai Batang

Serangan, yang mengalir lebih ke hilir pertemuan Sungai Musam (Visitor Center

KET, 2004).

Kawasan Ekowisata Tangkahan secara administrasi berada di dua desa,

yaitu: Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, karena keindahan alamnya

Tangkahan terkenal sebagai surga tersembunyi di Leuser. Antara tahun 1980

hingga tahun 1990-an, masyarakat di sekitar Tangkahan dulunya giat membalak

kayu hutan yang berasal dari Taman Nasional Gunung Leuser. Namun, seiring

dengan waktu, masyarakat kemudian sadar akan kerusakan dan kesalahan yang

telah mereka lakukan sehingga atas kesepakatan bersama masyarakat di

Tangkahan kemudian memutuskan untuk menghentikan pembalakan kayu illegal

dari Taman Nasional Gunung Leuser dan mengembangkan kawasan Tangkahan

menjadi daerah ekowisata. Pada tahun 2001, masyarakat Tangkahan berkumpul

dan menyepakati peraturan desa (perdes) yang melarang segala aktivitas yang

mengeksploitasi hutan secara illegal dan mendirikan Lembaga Pariwisata

Tangkahan (BBTNGL, 2009).

8

Page 9: (17. Senin) Konservasi_marlinda

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah

Tiga Liman, yaitu : Bina Liman, Tata Liman dan Guna Liman. Pengelolaan gajah

dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena

dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di

habitat aslinya. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan

pengelolaan gajah jinak dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk

tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan

konflik (Dirjen PHKA, 2007).

Pelaksanaan program CRU telah didukung oleh United States Fish and

Wildlife Service (USFWS) sejak tahun 2002, dan juga termasuk ranger hutan,

masyarakat lokal, pelatih gajah (mahout) yang bekerjasama di Sumatera Utara

Pelaksanaan program CRU telah didukung oleh United States Fish and Wildlife

Service (USFWS) sejak tahun 2002, dan juga termasuk ranger hutan, masyarakat

lokal, pelatih gajah (mahout) yang bekerjasama di Sumatera Utara untuk

melakukan konservasi pada habitat gajah yang tersisa. Kapasitas sarana adalah

kunci yang utama pada konsep CRU dan tim-tim yang telah dibentuk dilatih untuk

meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara mengatasi konflik yang terjadi

antara manusia dengan gajah, mengawasi penggunaan sumber daya hutan,

melakukan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya hutan secara ilegal dan

juga bertanggung jawab atas penyuluhan terhadap kesadaran masyarakat lokal

tentang konservasi hutan. Penyuluhan yang dilakukan kepada masyarakat lokal

diharapkan mampu memberikan kedekatan secara pribadi dengan camp gajah dan

pembelajaran secara interaktif ini diatur sedemikian rupa agar terjadi kedekatan

satu dengan yang lainnya (FFI, 2007).

9

Page 10: (17. Senin) Konservasi_marlinda

DAFTAR PUSTAKA

Amborowati dan Armadyah. 2008. Sistem Penunjang Keputusan Pemilihan Perumahan Dengan Metode AHP Menggunakan Expert Choice. STMIK AMIKOM. Yogyakarta.

Arief, H dan Tutut Sunarminto. 2003. Studi Ekologi dan Pengelolaan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Arikunto, S. 1966. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta.

Jakarta.

BBTNGL. 2009. Ayo Berwisata di Taman Nasional Gunung Leuser. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Medan

Dirjen PHKA. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Direktorat jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta

Faried, A. 1996. Metode Penelitian Sosial dalam Bidang Ilmu Administrasi dan Pemerintah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

FFI-SECP. 2007. Conservation of Sumatran Elephant and Their Habitat Through Conservation Respon Unit In The Buffer Zone of Gunung Leuser National Park. Medan

Hamid, A. 2001. Mengenal Lebih Dekat Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser. Buletin Leuser. Vol. 4 no. 11. Aceh

Onrizal. 2009. Diambang Kepunahan : Sejuta Asa Menyelamatkan Kekayaan Dunia di Sumatera Utara. Ekspedisi Geografi Indonesia 2009. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Cibinong

Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Cetakan ke-3. Penerbit Alfabeta. Bandung

Rahmawaty, Villanueva, T.R, and M.G. Carandang. 2011. Participatory Land Use Allocation. LAP Lambert. Saarbrucken, Germany.

Simangunsong, A. K. 2008. Studi Pengembangan Hutan Kota di Kota Medan. Studi Kasus di Tiga Taman Kota. Departemen Kehutanan USU. Medan

Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. UI-Press. Jakarta

10