16 Nasehat RMP Sosrokartono

download 16 Nasehat RMP Sosrokartono

of 65

Transcript of 16 Nasehat RMP Sosrokartono

16 RENUNGAN MEMAKNAI KEMBALI NASEHAT RMP SOSRO KARTONO

Oleh: Ir. Triwidodo Djokorahardjo, M.Eng triwidodo.wordpress.com

Kanthong Bolong, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono, Renungan Pertama Sepasang suami istri membolak-balik pitutur-pitutur luhur, nasehat bijak para leluhur. Mereka tertarik membicarakan Nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Untuk lebih mendekatkan rasa, sepasang suami istri tersebut menyebut beliau sebagai Eyang Sosro Kartono. Kakak kandung Raden Ajeng Kartini tersebut menguasai 35 bahasa asing dan bahasa daerah. Pergaulannya dengan lingkaran intelektual di Belanda tidak mengurangi kedalaman spiritualitasnya yang sangat dipengaruhi lingkungan kehidupannya sejak kecil. Sepasang suami istri tersebut menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi pembicaraan mereka. Sang Istri: Renungan pertama Eyang Sosro Kartono tentang ajaran kanthong bolong Nulung pepadhane, ora nganggo mikir wayah, wadhuk, kanthong. Yen ana isi lumuntur marang sesami.. Menolong bagi sesama, tidak perlu mempertimbangkan waktu, perut, dan saku kita. Jika masih ada isinya biarlah mengalir bagi sesama. Sang Suami: Seorang Bijak adalah milik dunia, bukan milik suatu kelompok atau suatu bangsa. Seorang Bijak bahkan tidak pernah lahir, tidak pernah mati. Lewat pencerahan serta kesadarannya, lewat karya dan pandangannya, ia selalu hidup, tidak pernah mati. Eyang Sosro Kartono dengan ajaran kanthong bolong tengah menggelorakan semangat untuk mempersembahkan waktu dan sumberdaya yang dimiliki guna berbhakti terhadap sesama selama hidupnya Apa gunanya hidup sampai usia 70 atau 80 atau 90 tahun, apabila kehidupan kita tidak berkualitas? Apabila waktu kita hanya tersia-sia hanya untuk kejar-mengejar kekayaan, kedudukan dan ketenaran, ketahuilah bahwa kehidupan akan melewati kita begitu saja. Demikian, sesungguhnya kita tidak pernah hidup. Kita hanya melewati waktu, atau justru waktu melewati kita Demikian disampaikan dalam buku Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan. Hidup dan berkaryalah dalam masa kini dengan penuh kesadaran. Kita tidak dapat berkarya dalam masa lalu yang sudah berlalu, atau pun dalam masa depan yang belum datang. Kita harus berkarya dalam masa kini. This moment is your moment; saat ini adalah saat kita untuk berkarya, untuk hidup dan menghidupi. Gunakanlah saat ini dengan sebaik-baiknya. Demikian disampaikan dalam buku Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya. Sang Istri: Eyang Sosro Kartono melayani dan mengobati orang-orang yang sakit sampai pukul 12 malam setiap harinya. Beliau mengajak kita untuk menjadi Pengabdi Purnawaktu.. dalam buku Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri dijelaskan.. Pengabdi adalah pekerja purnawaktu. la tidak percaya akan pekerjaan paruhwaktu. Berseragamkan Pengabdian pada hari-hari tertentu atau jam-jam tertentu dan menukarnya dengan pakaian waktu senggang pada hari lain, pada jam lain. Ia bukan seorang pelayan part time yang bekerja pada hari Minggu pagi atau Jumat siang atau Senin sore. Seluruh kehidupannya, sepenuhnya berubah menjadi tindakan pelayanan tak berakhir. Sehingga, la akan siap melayani Sang

Kekasih pada setiap saat. Siapkan diri kita untuk pekerjaan purnawaktu dan sambutlah jam kerja panjang dengan senang hati. Tidak ada hari libur. Untuk dapat menikmati pekerjaan ini, kita harus mulai dengan mencintai. Cintailah pekerjaan, tugas yang dipercayakan pada kita. Hanya dalam kerja kita dapat bertemu dengan Kekasih kita. Liburan akan memisahkan kita dari Sang Kekasih. Tidak, kita tidak lagi membutuhkan liburan. kita tidak butuh istirahat. Bagaimana kita dapat hidup tanpa Kekasih kita di samping kita? Kehidupan menjadi tak berarti, tak berasa, tak beraroma. Kita harus melihat wajah Kekasih kita sepanjang waktu. Inilah Pengabdian.. Sang Suami: Eyang Sosro Kartono menasehati agar selama memiliki waktu, kekuatan dan harta kita menolong sesama. Saat menggunakan harta untuk kepentingan sesama, beliau mendapatkan makna kehidupan. Bila kita menganggap kepemilikan harta sebagai makna, kita perlu berhati-hati, karena apa yang kita miliki saat ini tak mungkin kita miliki untuk selamanya. Dalam buku Fengshui Awareness Rahasia Ilmu Kuno bagi Manusia Modern disampaikan. Bila kita terlalu percaya pada kepemilikan-kita, maka hidup kita bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kita miliki, tidaklagi menjadi milik kita. Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidup kita. Barangkali Kebahagiaan, rasa bahagia yang kita peroleh saat kita berbagi kebahagiaan. Tidak berarti kita tidak boleh mencari uang. Carilah harta sehingga kita dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Berikan makna kepada hidup kita dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, kasih Sang Istri: Dalam Surat Al Ashri disampaikan tentang pentingnya waktu, agar kita mengisi dengan kebajikan agar tidak merugi. Eyang Sosro Kartono juga menasehati kita untuk dapat mengelola waktu, energi dan sumberdaya yang kita miliki. Dalam buku Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern disampaikan. Jangan menghamburkan uang yang telah kita kumpulkan dengan jerih payah. Jangan menyia-nyiakan waktu dan tenaga bersama mereka yang tidak menunjang terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Jika nasihat ini kita indahkan, kita akan selalu jaya! Hidup ini singkat sekali. Dari duapuluh empat jam; setiap hari setidaknya sepertiga atau delapan jam tersita untuk tidur, makan, mandi, dan lain sebagainya. Kemudian, delapan sampai sepuluh jam untuk urusan-perut. Sisa enam sampai delapan jam harus kita bagi antara keluarga, sahabat, nonton teve, mengikuti perkembangan dunia dan banyak hal yang lain. Mendengar seseorang berkata, Lagi ngabisin waktu aja, nih. saya suka bingung. Sebenarnya, siapa yang sedang menghabisi siapa? Kita sedang menghabisi waktu atau justru waktu yang sedang menghabisi kita? Karena itu, jangan menyia-nyiakan waktu. Jangan berkumpul dengan mereka yang tidak menunjang terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Jangan pula mengumpulkan pengalaman-pengalaman hidup yang tak berguna. Gunakan waktu seefisien mungkin. Berkumpullah dengan mereka yang sama-sama menyadari nilai waktu. Demikian, kita akan selalu jaya, selalu berhasil!. Sang Suami: Kita yang hidup di kota-kota besar sering mengambil sikap tidak acuh terhadap permasalahan orang lain. Kita berbicara tentang kasih padahal kebalikan

kasih bukanlah kebencian tetapi ketidakpedulian. Eyang Sosro Kartono selalu peduli dan mencari kesempatan untuk mengabdi. Dalam buku Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri disampaikan Ibadah, Pemujaan, Sembahyang adalah sarana untuk menciptakan Pengabdian dalam diri kita. Tidak lebih dari itu. Disiplin-disiplin seperti itu dibutuhkan untuk melahirkan Pengabdian dalam diri kita. Begitu lahir Rasa-Pengabdian dalam diri kita, kita akan mulai melihat kekasih kita di mana-mana. Dia ada di Selatan dan di Timur, di Utara dan di Barat, Dia di mana-mana. Dengan kesadaran seperti itu, apa pun yang kita lakukan akan menjadi pemujaan. Kita tidak akan lagi melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi, apa pun yang kita lakukan, kita lakukan demi cinta kasih. Sang Istri: Benar suamiku, beliau sesuai dengan yang disampaikan dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan. la berkarya bukan bagi dirinya sendiri, bukan bagi keluarganya saja, tetapi bagi seluruh umat manusia. Ia berkarya bagi sesama makhluk. la berkarya bagi Semesta. la tidak memikirkan hasil. Seluruh kesadaran dipusatkannya pada apa yang dikerjakannya. Sehingga hasilnya pun sudah pasti baik. Tidak bisa tidak. Maka, tidak perlu dipikirkan. la berkarya dengan semangat persembahan dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa Bagi seorang Karma Yogi, Maanava Sevaa atau Pelayanan terhadap Sesama Manusia, bahkan Sesama Makhluk, adalah Maadhava Sevaa atau Pengabdian terhadap Hyang Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh atau ber-dana-punia demi pahala atau kenikmatan surgawi. Dia melakukan hal itu karena senang melakukannya. Sang Suami: Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depanjuga disampaikan.. Dharma tidak bisa berdiri sendiri tanpa Jagat Hita Kebaikan bagi Seluruh Jagad Raya. Para teroris boleh mengaku beragama, pembela mereka pun demikian. Tetapi, mereka bukanlah pelaku Dharma. Mereka tidak memikirkan kebaikan Jagad Raya. Jangankan Jagad Raya, bahkan kebaikan sesama saudara sebangsa dan setanahair pun tak terpikir oleh mereka. Atas nama agama, mereka merusak nama negara dan mencelakai sesama anak bangsa. Dharma adalah Keagamaan, Religiositas atau Religiousness. Inti dan tujuan kita beragama itulah Dharma. Dan, Keagamaan menuntut supaya kita memikirkan kebaikan seluruh umat manusia. Bahkan, kebaikan sesama makhluk hidup kebaikan bagi semua.. Sang Istri: Seseorang yang sudah sadar tidak perlu dipaksa, tidak perlu diiming-imingi juga tidak perlu diintimidasi, diteror atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia akan selalu berusaha berbuat baik karena sadar! Para Korawa kontemporer yang belum sadar berjuang demi keluarga dan kelompoknya dalam medan perang Kurukshetra. Kuru adalah istilah dari keluarga, golongan Korawa. Sedangkan Pandawa kontemporer yang sadar berjuang dalam medan perang Dharmakshetra, berjuang demi dharma Kita tidak memahami perbedaan antara kuru dan dharma, antara kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan, dan kebaikan atau kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kebaikan umat manusia, maka kita balik lagi ke Kurukshetra.. Demikian disampaikan dalam buku The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern.

Sang Suami: Dalam buku Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia disampaikan bahwa Dharma tidak selalu menyenangkan sebagaimana kita mengartikan kata kesenangan. Ia adalah ketepatan. Kita masih ingat tutur Sri Krishna dalam Bhagavad Gita, Ada yang menyenangkan atau Preya, dan ada yang memuliakan atau Shreya. Dharma adalah sesuatu yang memuliakan. Sesuatu yang menyenangkan tidak selalu memuliakan. Tetapi, sesuatu yang memuliakan sudah pasti menyenangkan pula, walau di awalnya tidak terasa demikian. Sesuatu yang menyenangkan pada awalnya memang terasa manis, tetapi akhirnya terasa pahit. Sebaliknya, sesuatu yang memuliakan, awalnya barangkali terasa pahit akhirnya manis. Dharma adalah sesuatu yang memuliakan Semoga kita selalu dikaruniai kesadaran untuk memilih Shreya daripada Preya Terima kasih Eyang Sosro Kartono. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Mandor Klungsu, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono, Renungan Kedua Sepasang suami istri setengah baya membicarakan tentang pitutur luhur, nasehat bijak dari Raden Mas Panji Sosro Kartono. Untuk lebih mendekatkan rasa, sepasang suami istri tersebut menyebut beliau sebagai Eyang Sosro Kartono. Mereka sampai pada renungan kedua. Sebagai referensi, mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna. Sang Istri: Renungan Kedua.. Eyang Sosrokartono menyebut dirinya sebagai Mandor Klungsu. Klungsu adalah biji asam yang tak ada harganya dan hanya dipakai untuk mainan anak-anak pada zaman tersebut. Sang Suami: Beliau mengatakan bahwa diri beliau adalah orang biasa, padahal pada tahun 1908 beliau mendapat gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dalam bidang bahasa dan sastra di Belanda. Sebuah pertanda kebangkitan intelektual-modern Indonesia. Intelektual Besar Belanda, Mr Abendanon, Mr Van Deventer, Prof Dr Snouck Hurgronye, dan Prof Hazeu mengakui intelektualitas beliau. Bahkan seandainya tidak dipersulit oleh Prof Dr Snouck Hurgronye, beliau akan menyelesaikan disertasi doktornya. Pada tahun 1925, beliau pulang ke negerinya setelah berkelana di Eropa sebagai mahasiswa, termasuk menjadi wartawan The New York Herald Tribune. Beliau pulang untuk mengabdi kepada negeri dengan menjadi pemimpin Nationale Middlebare School di Bandung. Akan tetapi, pemerintah Belanda mencurigainya dan memberikan tekanan politis. Beliau akhirnya mengabdi sebagai manusia bebas dan membuka praktik pengobatan fisik dan pengobatan jiwa tradisional dan menempuh laku spiritual khas Jawa.. Menjadi manusia biasa itulah keluarbiasaan spiritualitas. Pernyataan beliau sebagai Mandor Klungsu perlu direnungkan. Bukankah seorang Mahatma Gandhi pun juga menyatakan dirinya adalah orang biasa. Dalam buku Be The Change, Mahatma Gandhis Top 10 Fundamentals For Changing The World disampaikan bahwa tujuan manusia adalah menjadi manusia biasa. Seperti inilah kejujuran seorang Gandhi. Ia tidak mengaku dapat melihat masa depan. Ia tidak mengaku memperoleh bisikan dari siapa-siapa. Ia mengaku dirinya orang biasa, tidak lebih penting daripada orang yang derajatnya paling rendah, paling hina dan dina. Menjadi manusia biasa adalah tujuan setiap manusia. Manusia tidak lahir untuk menjadi sesuatu yang lain. Ia tidak lahir untuk menjadi malaikat atau dewa. Ia lahir untuk menjadi manusia. Manusia biasa. Sulit untuk menjadi manusia biasa. Adalah sangat mudah bagi kita untuk mengaku sebagai ini dan itu sebagai umat dari agama tertentu, sebagai alumni dari universitas tertentu, sebagai politisi dari partai tertentu. Dan, betapa sulit bagi kita untuk mengaku, aku orang Indonesia. Karena kita ingin menunjukkan bahwa diri kita beda. Ya, masing-masing ingin berucap, Aku bukan orang biasa; aku luar biasa. Jadilah manusia biasa. Pertahankanlah ke-biasa-an kita. Jadi pemimpin, jadi profesional, jadi apa saja, kita tetaplah manusia biasa, dengan segala kelemahan dan kekurangan kita. Mari kita mengajak sesama anak bangsa, untuk ikut menjadi manusia biasa. Manusia yang tidak diperbudak oleh sistem, oleh dogma dan doktrin,

oleh agamawan dan ruhaniwan, oleh lembaga keagamaan dan upacara keagamaan. Manusia biasa yang berhamba sepenuhnya pada Gusti Allah, pada Hyang Widhi, pada Adi Buddha, pada Ia yang Sejati, pada Bapa di Surga.. Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir disampaikan bahwa Para bijak tidak berhenti berkarya. Mereka menerjemahkan kesadaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berkarya tanpa rasa angkuh, tanpa arogansi. Kesadaran kita mengalami kemerosotan karena adanya rasa angkuh, karena keakuan. Kesadaran dan keakuan seolah berada pada dua ujung yang tak pernah bertemu, tak akan bertemu. Di mana ada keakuan, di sana tidak ada kesadaran. Di mana ada kesadaran, di sana tak ada lagi keakuan, keangkuhan.. Sang Suami: Istriku, klungsu atau biji asam walaupun bentuknya kecil tetapi sangat keras dan kuat dan tidak gampang rusak. Dan apabila ditanam dan dirawat sebaik-baiknya, maka biji asam tersebut akan berubah menjadi sebuah pohon asam yang besar-kekar, berdaun rimbun dan berbuah lebat. Pada masa tersebut pohon asam sangat berguna sebagai peneduh jalan, buahnya untuk membuat minuman, bahkan ketika ditebang, kayunya juga bermanfaat untuk keperluan peralatan rumah tangga.. Perumpamaan klungsu hampir sama dengan perumpamaan biji sawi. Dalam buku Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha disampaikan Kerajaan surga itu seperti biji sawi yang terkecil di antara biji-bijian, tetapi jika jatuh di atas lahan yang siap, ia akan melahirkan pohon yang besar dan lebat, sehingga bisa menjadi pelindung bagi burung-burung di angkasa Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan.. Manusia lahir dengan potensi untuk mengungkapkan kemanusiaannya secara sempurna. la lahir bersama benih kemanusiaan. Pun Keberadaan menyediakan seluruh bahan baku, sarana dan apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang pengungkapan kemanusiaan itu. Namun, adalah kesadaran awal manusia yang dibutuhkan untuk meracik bahan baku yang telah tersedia dan menggunakan sarana yang dibutuhkan untuk mengungkapkan jati-dirinya kemanusiaannya Sang Istri: Eyang Sosro Kartono memahami tentang kecerdasan alam, sehingga beliau tidak terkecoh dengan wujud klungsu, biji asam yang tidak berharga. Dalam buku Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan disampaikan. Melihat sebutir biji yang seolah tak bernyawa itu, sulit memercayai bahwa kelak biji itu akan menjadi pohon yang lebat, berbunga, berbuah, dan menghasilkan entah berapa banyak biji baru. Dan, setiap biji memiliki potensi yang sama, yaitu berbunga, berbuah, dan menghasilkan biji-biji baru Demikian pula halnya mereka yang terperangkap dalam alam pikiran, panca indra, dan pemahaman sempit tentang sains tidak bisa menerima bahwa di balik pikiran, panca indra dan pemahaman sempit itu terdapat Kecerdasan yang luar biasa. Perubahan-perubahan dalam organisme atau wujud kehidupan bersel satu atau lebih seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia bersifat makroskopik dan mikroskopik Perubahan-perubahan makro atau besar dapat diamati dengan mata telanjang dan tidak membutuhkan alat bantu. Namun perubahan-perubahan

mikro atau kecil hanya dapat diamati dengan alat bantu. Dengan peralatan yang kian hari makin canggih, kita dapat mengamati mikro organisme, sel, bagian-bagian sel, bahkan DNA yang berada dalam inti sel, termasuk pemetaannya. Ulat yang berubah menjadi kupu-kupu tidak membutuhkan waktu yang panjang. Namun, ada pula bentuk-bentuk kehidupan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga jutaan tahun. Inilah yang disebut evolusi. Sebagai contoh, perubahan dari manusia purba yang hanya mampu membuat kampak dari batu hingga manusia modern yang dapat membuat bom atom membutuhkan waktu yang sangat panjang. Karena waktu panjang yang dibutuhkan itulah maka proses ini disebut evolusi, bukan revolusi. Dalam proses revolusi, perubahan bisa terjadi seketika atau dalam waktu yang relatif singkat dan pendek Sang Suami: Beliau yakin walaupun hanya klungsu, biji pohon asam , beliau terus mengabdi kepada sesama sebagai seorang manusia. Dalam buku Sabda Pencerahan, Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern disampaikan Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Ini merupakan hukum alam yang tidak dapat dielakkan. Apa pun yang kita tanam, itu pula yang akan kita peroleh. Biji buah asam tidak akan memberikan buah mangga. Apabila kita hidup dalam kesadaran demikian, kita tidak akan pernah menderita. Kita akan selalu sadar bahwa penderitaan itu karena ulah kita sendiri pada masa lalu. Dan, dengan kesadaran itu, kita bisa menghindari perbuatan tercela di masa kini. Kemurahan hati berarti berbagi rasa. Apa yang dapat kita bagikan, kecuali apa yang kita miliki? Kembangkan kasih dalam hati kita, sehingga kita dapat menyebarkan kasih pula. Kita harus mulai dari diri kita sendiri. Apabila yang kita kembangkan adalah kebencian, yang akan kita bagi, yang dapat kita bagi, juga kebencian. Sebelum beranjak lebih jauh, sebelum bermurah hati, kembangkan dulu rasa kasih dalam diri kita. Tanpa kasih tidak akan pernah ada kemurahan hati Dalam buku Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan disampaikan.. Karma berarti karya, tindakan, dan setiap tindakan akan membawa hasil. Setiap aksi ada reaksinya. Itulah Hukum Karma. Hukum Karma ini yang menentukan pola hidup kita. Kita menanam biji buah asem, jangan harapkan pohon apel. Apa yang Anda tanam, itu pula yang Anda peroleh sebagai hasil akhirnya. Oleh karena itu, bertindaklah dengan bijak. Sang Istri: Eyang Sosro Kartono tidak terikat dengan kenyamanan, karena mendapat tekanan dari pemerintah kolonial, beliau tetap mengabdi dengan membuka tempat pengobatan fisik dan jiwa bagi sesama. Dalam buku Youth Challenges And Empowerment disampaikan.. Setidaknya kita semua sudah memiliki potensi untuk itu. Selanjutnya, tinggal dikembangkan. Namun, ada juga yang tidak mengembangkannya, sehingga potensi itu mulai berkarat. Pada akhirnya, potensi itu tidak dapat digunakannya, seperti biji yang tidak ditanam dan di sia-siakan. Akhirnya, ia mati. Salah satu penyebab utama kematian potensi adalah kenyamanan yang berlebihan. Ini melumpuhkan semangat juang kita. Tak ada lagi gairah untuk menghadapi tantangan. Seorang anak atau remaja yang sejak kecil dimanjakan; seorang pejabat yang terlalu lama berkuasa; orang kaya yang lebih percaya pada

kekayaannya daripada kemampuan dirinya; seorang miskin yang menjadi minder dan menerima kemiskinannya sebagai takdir atau nasib adalah kenyaman yang mematikan potensi kita.. Sang Suami: Eyang Sosro Kartono nampak sangat lembut dan damai tetapi tegas dalam perjuangan membantu sesama. Seperti biji klungsu yang sederhana tetapi tidak gampang pecah, beliau yakin bahwa di dalam dirinya terdapat potensi pohon asam yang kekar dan berguna bagi sesama. dalam buku The Gospel Of Obama disampaikan. Setelah berkembang dari amoeba dan berjuang menjadi makhluk bersel satu, seperti yang diyakini para ilmuwan, kekerasan sudah menjadi tabiat kita. Kekerasan adalah insting hewaniah yang dimiliki seluruh anggota kerajaan hewan. Anti-kekerasan, dan kedamaian bukanlah hal alami bagi kita, belum. Ini adalah potensi tersembunyi manusia, yang harus dimunculkan ke permukaan. Keduanya ibarat biji yang bisa tumbuh menjadi pohon besar, tetapi kita harus merawatnya. Kita harus menyiraminya dengan cinta dan welas asih. Tidak selalu mudah untuk mempraktekkan anti-kekerasan. Tetapi, inilah nilai ideal yang harus kita sadari. Tidak mudah juga memang, untuk mengingat peran kita agar selalu membawa perdamaian, kapan pun. Namun ini jangan menjadi alasan untuk melupakannya sama sekali.. Semoga kita dapat mengendalikan potensi kehewanian yang ada dalam diri dan berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Jaka Pring, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Ketiga Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan Nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Mereka sudah sampai pada renungan Eyang Sosro Kartono ketiga tentang Jaka Pring. Begitulah beliau sering menyebut dirinya. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka. Sang Istri: Renungan Eyang Sosro Kartono ketiga. Pring padha pring. Weruh padha weruh. Eling tanpa nyanding.. Bambu dengan bambu lainnya, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat.. Beliau sering menyebut dirinya sebagai Jaka Pring Sang Suami: Beliau lahir pada tahun 1877 dan meninggal pada tahun 1952. Beliau menempuh pendidikan di Belanda dan mendapat gelar sarjana sastra tahun 1908 dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Nusantara. Belanda pada waktu tersebut menjalankan politik Etis, politik balas budi dengan memberi kesempatan pemuda-pemudi yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan tertinggi. Sebagai seorang pemuda terpelajar, kemungkinan besar beliau tertarik dengan pandangan pujangga Ronggowarsito (1802-1873) dan Sri Mangkunegoro IV (1811-1881), karena sampai awal kemerdekaan RI pandangan kedua pujangga besar tersebut mempengaruhi pandangan masyarakat setempat. Pada waktu tersebut berkembang istilah Jaka Lodhang yang dipopulerkan oleh Pujangga Ronggowarsito. Dalam buku Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern disampaikan bahwa. Jaka berarti perjaka seorang pemuda. Lodhang berarti sudah beres, sudah selesai, sudah melaksanakan kewajibannya. Seorang pemuda yang sudah menyelesaikan tugasnya, yang sudah merampungkan pekerjaannya. Biasanya, seorang pemuda justru diharapkan bekerja keras. Pemuda yang satu ini sudah tidak harus bekerja lagi, apa yang harus dikerjakan oleh dia? Apa pun yang harus dikerjakannya, sudah selesai, sudah rampung. Apa pula tugasnya? Tugas pemuda ini, merupakan tugas kita semua. Tugas pemuda ini mencari telaga pencerahan, tugas pemuda ini mendaki bukit kesadaran. Sekarang ia sudah cerah, ia sudah sadar sudah tidak ada satu tugas lagi. Seorang Jaka Lodhang adalah seorang Pujangga.. Sang Istri: Jadi seorang Jaka Lodhang walaupun sudah cerah, walaupun sudah tidak harus bekerja lagi, ia toh tetap bekerja. Ia menjadi seorang pemandu, ia yang menunjukkan jalan. Seorang pemandu menunjukkan jalan, seterusnya kita sendiri yang harus melakukan perjalanan.. Istilah Eyang Sosro Kartono tentang Jaka Pring nampaknya dipengaruhi oleh Jaka Lodhang. Beliau menyatakan bahwa beliau hanya sekedar bambu yang sederhana. Walaupun demikian Presiden Soekarno sangat menghormati beliau yang tidak mau namanya ditinggikan, padahal jasanya bagi bangsa tidak kalah dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, adik kandungnya yang telah diangkat sebagai pahlawan bangsa Suamiku, kemudian apa makna bambu dengan bambu lainnya, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat..

Sang Suami: Beliau menyatakan perlunya kerukunan bagi seluruh bangsa. Sesama Pring, sama-sama bambu mestinya sama-sama tahu. Sesama manusia mestinya sadar dirinya hanya kulit luar bambu dan dalamnya kosong. Kerukunan sesama manusia, sesama warga negara sampai sekarang pun masih perlu perhatian mendapat bangsa. Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan.. Kerukunan perlu dibicarakan dan diupayakan karena adanya perbedaan. Sebab itu, setiap orang yang berbicara tentang kerukunan haruslah menerima perbedaan. Menerima perbedaan, dan menerimanya dengan sepenuh hati merupakan prasyarat bagi kerukunan. Tanpa penerimaan seperti itu, kerukunan hanyalah sebuah wacana. la tak akan mewujud menjadi kenyataan. Pertikaian antara umat beragama yang masih sering terjadi, semata karena tidak adanya penerimaan. Kita belum cukup membuka diri terhadap perbedaan. Belum cukup mengapresiasi perbedaan.. Kenapa? Karena masih adanya rasa iri di dalam diri kita: Jumlah umatku tidak bertambah, sementara jumlah umat dia bertambah. Karena adanya kompleks superioritas: Agamaku lah yang terbaik. Kemudian, terjadilah persaingan. Dan, persaingan adalah benih bagi pertikaian, pertengkaran perang!.. Setiap agama menerima Kedamaian sebagai Nilai Luhur, bahkan Nilai Kemanusiaan yang Tertinggi. Damai dengan sesama manusia, Damai dengan Alam Semesta, dan Berdamai dalam Tuhan, dalam Kasih-Nya. Namun, adalah kenyataan yang tak dapat dinafikan pula bahwa agama lebih sering menjadi, atau dijadikan alasan untuk berperang. Para pelaku agama, para praktisi agama sering melupakan tujuan mereka beragama Di balik toleransi itu, dibalik pembukaan diri itu masih tersisa pandangan primordial Bagaimana pun jua, akulah yang terbaik! Dengan cara pandang seperti itulah, manusia modern tengah mengupayakan kerukunan. Hasilnya kerukunan yang semu. Pemerintah boleh membuat undang-undang atau peraturan kerukunan antar umat beragama dan kerukunan pun dapat dipaksakan. Tetapi, untuk sesaat saja. Sesaat itu barangkali sebulan atau setahun tetapi tak akan bertahan lama. Toleransi, apalagi toleransi yang masih menyimpan arogansi, bukanlah landasan yang kuat bagi kerukunan. Kerukunan yang tercipta hanyalah kemunafikan terselubung. Toleransi macam itu hanyalah emosi sementara. Saat ini pasang, sesaat kemudian surut. Adalah Apresiasi atau Saling Menghargai, Saling Memahami Pengertian yang dapat menjadi landasan bagi Kerukunan. Landasan yang kuat. Pengertian dalam hal ini bukanlah sebuah pikiran belaka. Tetapi, pengertian yang muncul dari nurani, dari sanubari, dari rasa terdalam. Pengertian yang lahir dari kecerdasan. Pengertian yang muncul dari kesadaran. Ketika Pengertian seperti ini muncul dalam sanubari para resi, maka mereka menerima wahyu atau Shruti; mereka melihat, menyaksikan sisi-sisi Kebenaran. Ekam Sat Ternyata Kebenaran itu Satu Adanya, walau banyak sisinya. Pengertian seperti inilah yang dapat menjadi landasan bagi Kerukunan Umat Beragama. Pengertian seperti inilah yang semestinya menjadi dasar bagi negara Pring padha pring. Weruh padha weruh. Eling tanpa nyanding. Sesama bambu haruslah hidup rukun Sang Istri: Suamiku, Pring atau bambu selalu bermanfaat bagi sesama dalam setiap masa kehidupannya. Sewaktu masih muda berupa rebung, bambu mempersembahan dirinya sebagai bahan lumpia dan sayur rebung. Selagi masih hidup, bambu

berkembang biak memperkuat tebing sungai dan menjadi sumberdaya bagi bahan bangunan. Bambu sebagai bahan dasar rumah gubug, pagar bambu, dinding bambu dan sebagainya. Bambu tidak butuh pengakuan masyarakat dan masuk dalam headline news koran terkenal. Eyang Sosro Kartono memahami jatidiri sebuah bambu. Dalam buku Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan disampaikan.. Sekalipun tanpa pengakuan dari masyarakat, keberhasilan tetap saja dapat dicapai, sesungguhnya dunia ini penuh dengan para pahlawan yang tidak dikenal dan diakui. Seorang pekerja biasa pun dapat menganggap dirinya berhasil, bila ia menjalani tugasnya dengan semangat melayani umat manusia. Tidak menjalani kurang mulia, hanya karena tidak ada yang membunyikan gendang saat kita memasuki medan laga dunia ini. Dan tak ada pula yang menyambut saat kita kembali dari medan laga, setelah meraih kemenangan atau kegagalan.. Memang tidak banyak penghargaan yang diperoleh Eyang Sosro Kartono, namun apa arti penghargaan bagi seorang pahlawan? Secara fisik, beliau memang tidak lagi berada di tengah kita. Namun, obor berkarya tanpa pamrih yang beliau tinggalkan itu tak akan pernah padam. Para putra-putri bangsa akan selalu menjaga supaya cahayanya tetap menerangi bangsa dan negara ini. Dalam buku Soul Quest, Pengembaraan Jiwa dari Kematian Menuju Keabadian ditegaskan. melayani sesama sama dengan melayani Tuhan. Keselamatan dan pembebasan pribadi bisa menunggu. Melayani sesama itu yang utama Sang Suami: Bambu itu nampak banyak macamnya, akan tetapi di dalam dirinya sama yaitu kekosongan. Bambu itu mempunyai rongga atau ruang kosong di dalamnya, sehingga dengan luasan penampang bagian yang padat yang sama, bambu jauh lebih kuat dibandingkan seandainya luas penampang bagian padatnya sama tetapi tanpa rongga dan berkumpul menjadi satu. Suatu pemahaman beliau yang sangat dalam. Bambu itu hanya nampak berbeda pada kulit luarnya, tetapi dalamnya sama, kosong. Dalam buku Tantra Yoga disampaikan Badan ini sesungguhnya kosong, tak berisi, seperti bagian dalam bambu. Yang dimaksudkan bukan hanya badan saya dan badan anda, tetapi setiap badan, segala sesuatu yang berbadan. Setiap wujud. Ya, setiap wujud sesungguhnya semua kosong. Tak berisi. Lalu bagaimana dengan organ-organ tubuh yang kita anggap isi badan? Ada jantung, ada paru-paru, ada ginjal, ada liver macam-macam. Bila seorang ilmuwan, seorang saintis membaca syair ini, dia akan memahami maksud Tilopa. Seorang ilmuwan tahu persis apa maksud Tilopa. Bila setiap organ, segala sesuatu yang bersubstansi di dalam tubuh terurai, yang tersisa apa? Atom. Dan atom tidak dapat dilihat. Tidak bersubstansi. Atom hanyalah sebuah asumsi. Dari yang tak bersubstansi, lahirlah segala sesuatu yang bersubstansi. Dari yang tak berwujud, lahirlah segala wujud. Dari ketidakadaan, muncullah Keberadaan.. Sang Istri: .Kekosongan itu sempurna. Kita tidak dapat mengurangi sesuatu dari kekosongan. Kita memiliki gelas yang terbuat dari kristal-mahal harganya. Selama gelas itu masih kosong, mereka yang melihat gelas itu, akan mengaguminya, menghargainya, karena gelas itu sendiri memang berharga. Sekarang kita tuangkan arak dalam gelas yang sama. Mereka yang melihatnya tidak akan menilai lagi gelas

itu karena kristalnya. Mereka yang melihat akan terbagi dalam dua kelompok. Kelompok yang satu akan mengatakan bahwa arak itu haram dan kelompok yang lain akan mengatakan bahwa arak itu halal. Gelas kristal yang mahal akan kehilangan nilainya. Kedua kelompok tadi akan tenggelam dalam perdebatan mereka tentang halal-haram, dan gelas yang begitu indah, begitu mahal, akan terlupakan. Demikian disampaikan dalam buku Mengikuti Irama Kehidupan, Tao Teh Ching Bagi Orang Modern. Sang Suami: Banyak jalan menuju Gusti. Tetapi, sesungguhnya hanya ada dua jalan: Jalan Pengetahuan dan Jalan Pengabdian. Sebagai bambu, Eyang Sosro Kartono tidak hanya berusaha menempuh jalan pengabdian purnawaktu, tetapi juga mendalami jalan pengetahuan. Dalam buku Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir disampaikan Mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan; mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain; mereka yang menganggap sama awam dan ulama. Mereka yang sudah tidak terpengaruh oleh kata-kata, sesungguhnya telah meneliti dan menemukan inti. Mereka berada pada Jalur Pengetahuan.. Mereka yang telah melampaui dualitas dan menyadari kembali hakikat diri; mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan; mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain. Mereka berada pada Jalur Pengetahuan. Bagi yang di jalur pengetahuan perlu memahami Pikiran menciptakan dualitas; Kesadaran mempersatukan. Lampaui pikiran, dan dualitas terlampaui. Atau, lampaui dualitas dan pikiran pun terlampaui! Mereka yang berada pada Jalur Pengetahuan melampaui dualitas, kemudian pikiran ikut terlampaui, dan mereka pun memasuki Alam Meditasi. Mereka yang berada pada Jalur Pengetahuan ini melampaui dualitas lewat reasoning, lewat penelitian dan pembedahan.. Terima Kasih Eyang Jaka Pring.. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Murid Dan Guru Pribadi, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Keempat Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan Nasehat RMP Sosro Kartono. Agar dapat lebih menjiwai mereka memanggil beliu dengan sebutan Eyang Sosro Kartono. Mereka telah sampai pada renungan keempat dan mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka. Sang Istri: Renungan keempat dari Eyang Sosro Kartono.. Murid, gurune pribadi. Guru, muride pribadi. Pamulangane, sengsarane sesami. Ganjarane, ayu lan arume sesami. Seorang murid adalah guru bagi diri pribadi. Seorang Guru adalah murid dari diri pribadi. Tempat belajarnya adalah penderitaan sesama. Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama. Sang Suami: Seseorang (murid) yang sedang belajar, pengetahuannya menjadi (guru) pemandu bagi tindakan pribadinya. Seseorang (guru) yang sedang memandu sedang belajar (menjadi murid) dari diri pribadinya. Dalam diri seseorang terdapat sifat murid dan sifat guru. Intinya adalah seseorang perlu belajar untuk meningkatkan kesadaran, dari kesadaran diri yang dipandu oleh seorang yang sedang belajar menuju kesadaran diri yang memandu seseorang yang sedang mengajar. Yang belajar dan yang mengajar sesungguhnya adalah satu hanya berbeda tingkat kesadarannya. Dalam buku Seni Memberdaya Diri 1, Meditasi Untuk Manajemen Stres dan Neo Zen Reiki disampaikan ada beberapa tingkatan kesadaran Manusia mempunyai lapisan-lapisan kesadaran yang dibawa sebagai bekal sejak kelahiran. Akan tetapi tidak semua berhasil mengarungi atau keluar masuk lapisan kesadaran tersebut. Keluar masuk lapisan kesadaran dari dalam manusia adalah pengalaman yang tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan membutuhkan latihan. Lapisan-lapisan kesadaran dalam diri manusia terdiri dari: Lapisan kesadaranjasmani, energi, pikiran, intelejensia dan spiritual. Banyak orang yang berhasil menempuh perjalanan menembus lapisan-lapisan kesadaran tersebut. Tetapi tidak sedikit pula yang merasa atau mengira sudah menempuhnya, padahal belum. Lapisan-lapisan tersebut mempunyai ciri dan kualitas energi yang mempengaruhi kejiwaan manusia. Terlebih dahulu perlu disadari bahwa lapisan kesadaran itu ada didalam diri manusia. Keberadaannya tidak merupakan pemilahan yang tajam, namun keutuhannya adalah potensi manusia. Untuk mencapai puncak pemekaran potensi diri manusia, perlu ditempuh perjalanan ke dalam diri, menembus lapisan kesadaran tersebut. Perjalanan tersebut hanya bisa ditempuh melalui meditasi. Sang Istri: Lapisan kesadaran pikiran berbeda dengan lapisan kesadaran intelegensia. Dalam buku Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi disampaikan. Ada pembedaan antara intelijen dan intelektual. Seorang intelijen menjadi demikian karena membuka diri terhadap semesta. la belajar dari alam. la belajar dari setiap peristiwa, setiap kejadian dalam hidupnya. la belajar dari pengalaman pribadi. Pengetahuan dia sepenuhnya berdasarkan pengalaman bahkan melampaui pengalaman pribadi. la memperolehnya lewat mekanisme alam yang mulai bekerja, apabila ia menjadi lebih peka, lebih reseptif terhadap alam itu sendiri. Itu yang disebut

intuisi, ilham. Sang Suami: Kesadaran kita mengalami pasang surut dan kita sering melupakan identitas Aku sejati yang kekal abadi. Dalam buku Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan disampaikan Kadang kita mengidentitaskan diri kita dengan badan, kadang dengan pikiran, kadang dengan emosi. Kadang kita terlibat dengan benda-benda duniawi yang tidak permanen. Kadang kita bersuka ria, kadang tenggelam dalam duka yang tak terhingga. Kita melupakan identitas diri kita yang sebenarnya. Kita lupa akan Aku yang sejati, yang tak pernah musnah, yang kekal dan abadi. Sang Istri: Alam yang serba terbatas ini hanyalah proyeksi dari Sang Aku, proyeksi dari Ia yang meliputi Segalanya. Oleh karena itu Guru yang berada di dalam diri dan Guru yang ada di luar diri adalah proyeksi Aku yang berkenan memandu kita. Dalam buku Maranatha, Bersama Anthony de Mello Mabuk Anggur Kehadiran Tuhan disampaikan.. Aku-nya Yesus di sini adalah Aku-nya Krishna dalam Bhagavad Gita. Aku-nya Yesus di sini adalah Aku-nya Muhammad, ketika ia menyatakan dirinya Arab tanpa huruf ain atau Rabb. Aku-nya Yesus di sini adalah Aku-mu dan Aku-ku. Jangan membatasi Aku-nya Yesus sebagai akunya anak Yusuf dan Miriyam. Jika anda mengartikannya demikian, sampai kapan pun anda tidak akan pernah bisa memahami Yesus. Jika anda menyempitkan arti kata Aku dalam ayat-ayat ini, anda akan berhenti pada tahap berhallo-hallo dengan Tuhan. Ada gerakan tetapi anda tidak berjalan. Ada suara tetapi hanya sekadar ocehan. Tidak berarti apa pun. Anda menjadi berisik sendiri Sang Suami: Guru di luar diri mengajari kita untuk menemukan Guru di dalam diri. Dalam buku Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha disampaikan. Entah untuk keberapa kalinya, Yesus sedang meyakinkan para muridnya. Tidak ada yang perlu dicari. Yang kau cari itu ada dalam dirimu. Cahaya yang menerangi alam semesta ini, juga menerangi dirimu. Yang ada di luar, juga ada dalam dirimu. Kalau belum terlihat, ya karena kau belum pernah menoleh ke dalam. Selama ini, kau sibuk melihat ke luar. Sekarang alihkan pandanganmu. Lihatlah ke dalam diri, dan kau akan menemukan Sumber Cahaya itu dalam dirimu sendiri. Sang Istri: Guru di luar diri pun mewakili Dia Yang Maha Pengasih. Dalam buku Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas disampaikan. Seorang Guru duduk di tengah. Para siswa duduk melingkar, menghadapinya. Apa arti pola duduk seperti itu? Sang murshid harus menjadicentrepoint hidup kita. Titik tengah kehidupan kita. Dan jangan lupa, yang menjadi centrepoint bukanlah wujud dia. Tetapi apa yang diwakilinya. Dan setiap guru, setiap murshid mewakili hanya satu Lembaga Lembaga Non-Lembaga. Kasih. Dengan semangat permainan, berupayalah untuk mencapai titik tengah di dalam diri sendiri. Untuk menemukan kasih di dalam diri sendiri. Guru di luar diri hanya mewakili Murshid di dalam diri setiap murid. Sang Suami: Karena Guru adalah perwujudan Dia Yang Maha Pengasih dalam memandu peningkatan kesadaran, maka murid yang mempunyai keinginan tunggal

untuk mencapai Kasih menganggap Guru sebagai wujud kesadaran. Dalam buku Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena disampaikan.. Bagi Maria, kesadaran identik dengan Guru. Bagi dia, pencerahan identik dengan Yesus yang dicintainya. Di balik kejadian itu ia tidak melihat andil dirinya sama sekali. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk memperoleh pencerahan itu. Apa yang terjadi atas dirinya semata-mata karena berkah, karena rahmat, karena anugerah Sang Guru! Kelak, Nanak pun mengatakan hal yang sama. Bertahun-tahun setelah kejadian: Ik Omkaar, Sadguru Prasaad Hyang Tunggal Itu kutemui berkat rahmat Guruku! Inilah satu-satunya cara untuk menafikan ego. Tidak ada cara lain. Kehadiran seorang Guru dalam hidup kita semata-mata untuk membantu kita tidak menjadi egois. Guru bagaikan katalisator, perantara yang ada dan tidak ada. Ia bagaikan awan yang menyebabkan keteduhan untuk sejenak dan berlalu. Awan tidak memberi keteduhan, ia tidak membuat teduh: ia menyebabkan terjadinya teduh. Itulah Guru. Sang Istri: Eyang Sosro Kartono memahami tentang penderitaan yang dialami oleh setiap manusia. Penderitaan adalah tempat belajar tentang kesadaran. Duka disebabkan oleh keinginan. Kita merasa kekurangan, maka timbul keinginan untuk mengisi kekurangan itu, dan kita tidak dapat mengisinya. Kita kecewa, marah dan menderita. Keinginan berada di balik penderitaan. Bila kita telusuri lebih lanjut, keinginan itu sendiri berasal dari mind, dari pikiran dan, sesungguhnya ia tak akan menyebabkan penderitaan, bila emosi kita tidak ikut terlibat. Nah mental-emotional factor inilah yang menyebabkan keinginan dan memperkuatnya sedemikian rupa sehingga dapat menyebabkan penderitaan. Dalam buku Tantra Yoga disampaikan secara detail penderitaan.. Dalam tantra, kita mengenal istilah klesha, yang berarti kegelisahan, penderitaan. Apa saja yang membuat manusia gelisah, menderita klesha. Dan menurut Tantra, ada lima penyebab klesha, yaitu: Pertama, Avidya atau ketidaktahuan. Kita tidak tahu bahwa api bisa membakar. Lalu memasukkan tangan ke dalam api. Maka tangan kita terbakar, luka. Dan kita pun menderita, gelisah. Kedua, Asmita atau ego, keangkuhan. Kita menganggap diri sudah hebat, sempurna. Selalu benar. Kemudian ada yang menegur, Jangan sombonglah. Lihat tuh kesempurnaan ada di mana-mana. Bukan kamu saja yang hebat. Kebenaran pun bukan monopoli seseorang. Ego kita terusik. Kita tidak bisa menerima kenyataan dan oleh karena itu, kita gelisah, menderita. Ketiga, Raga atau keterikatan. Sudah terlalu sering kita membicarakan keterikatan. Keterikatan pada apa saja, siapa saja hanya menghasilkan kegelisahan, penderitaan. Keempat, Dvesha. Yang satu ini agak sulit diterjemahkan. Dvesha berartinon affirmation. Tidak mengiyakan Keberadaan. Kebalikan sikap nrimo. Dvesha berati tidak mengalir bersama kehidupan. Menentang arus kehidupan. Menentang keberadaan. Dvesha berasal dari suku kata Dvi dwi, dualitas. Salah satu kamus Sanskerta-Inggris menerjemahkan dvesha sebagai kebencian. Bisa. Kendati bukan sekedar kebencian. Kebencian muncul dari penolakan. Kita tidak menyukai sesuatu, maka kita membencinya. Ada alasan untuk tidak menyukai. Dan alasan itu disebabkan oleh double vision, oleh mata batin yang sakit, sehingga satu tampak dua. Ada yang kehilangan pasangan, pacar, dan dia tidak bisa menerima

kenyataan. Maka dia gelisah, menderita. Sikap menentang, menolak dan tidak menerima itulah Dvesha Kelima, Abhinivesha, clinging to body consciusness. Berpegang teguh pada kesadaran fisik yang bersifat sementara membuat kita menderita.. Sang Suami: Ganjarane, ayu lan arume sesami Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama. Eyang Sosro Kartono memahami tugas manusia di dunia yaitu, Mangasah mingising budhi; Mamasuh malaning bhumi; Mamayu hayuning bhawana. Mengasah tajamnya budi, membasuh lukanya bumi atau menyehatkan bumi yang sakit, dan memperindah alam semesta. Sakitnya bumi ini, terjadi karena manusia tidak mengasah budinya, dan telah melukai bumi dalam memenuhi keserakahannya. Sebagai murid belajar pada Guru adalah mengasah budi. Setelah ajaran Guru membawa kesadaran diri, maka tugas murid yang telah sadar adalah menyehatkan bumi yang sedang sakit, yang sedang menderita dan memperindah alam semesta. Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama.. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Sugih Tanpa Bandha, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Kelima Sepasang suami istri setengah baya membicarakan tentang Nasehat RMP Sosro Kartono. Untuk mendekatkan rasa mereka menyebut beliau sebagai Eyang Sosro Kartono. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka. Sang Istri: Renungan kelima. Sugih tanpa bandha. Digdaya tanpa adji. Nglurug tanpa bala. Menang tanpa ngasorake. Kaya tanpa harta. Kuat tanpa jimat. Mendatangi tempat musuh tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.. Nampaknya Eyang Sosro Kartono menyampaikan pentingnya kesejahteraan, kekuatan diri, perdamaian dan menjaga kehormatan orang . Perdamaian dan menjaga kehormatan orang juga merupakan wujud dari kasih. Sang Suami: Sebagai orang-orang terpelajar lulusan Universitas Belanda, para pemimpin kita pada awal pergantian milenea ke 20, sedikit banyak tentu memahami oleh Ajaran Theosofi. Para pengurus Boedi Oetomo sangat spiritual. Demikian juga mestinya dengan Eyang Sosro Kartono yang pada tahun 1908 lulus dari universitas Leiden Belanda. Para pemimpin kita baik pada pergerakan tahun 1908, 1928 dan 1945 sangat spiritual. Mereka tidak ikut blok Kapitalis atau Komunis tetapi memimpikan persatuan bangsa yang diwujudkan dengan Sumpah Pemuda dan seterusnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kembali ke nasehat Sugih tanpa bandha, kaya tanpa harta atau sejahtera. Istilah kesejahteraan itu sendiri mengandung makna holistik. Punya harta belum tentu sejahtera. Sejahtera berarti tidak kekurangan. Dan tidak kekurangan itu sendiri merupakan sikap mental. Ada yang memiliki 2 mobil dan masih merasa kurang. Ada yang berjalan kaki dan merasa cukup. Dalam hal ini, si pemilik mobil sesungguhnya belum sejahtera. Sebaliknya, si pejalan kaki sudah sejahtera. Dalam buku Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia disampaikan bahwa Kesejahteraan sungguh sangat luas lingkupannya. Bukan saja kesejahteraan materi, tetapi juga kesejahteraan jiwa, kesejahteraan mental dan rasa. Nilai-nilai luhur yang ada di dalam budaya kita harus dikembangkan, dilakoni. Semuanya itu dapat membuat hidup kita sejahtera. Dan, nilai utama adalah cinta kasih. Bila hidup kita diwarnai olehnya, selesailah segala macam persoalan.. Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern disampaikan.. Mengapa seseorang mengharapkan sesuatu? Karena la tidak sejahtera! Kesejahteraan tidak berarti kekayaan. la yang sejahtera, memiliki secukupnya, tidak berkelebihan, tidak kekurangan dan oleh karena itu ia tenang. la memiliki keseimbangan jiwa. Dan ia yang memiliki keseimbangan jiwa, tidak akan merasa kekurangan sesuatu. la tidak mengharapkan sesuatu. Ini harus kita renungkan bersama. Jadi harapan-harapan itu muncul, karena kita belum puas dengan situasi kita saat ini. Seseorang yang sudah merasakan kecukupan dalam hidupnya tidak akan mengharapkan tambahan lagi. la sudah tidak berambisi lagi.

Sang Suami: Kepemilikan akan harta harus diganti dengan kepemilikan akan kesadaran. Kebahagiaan sementara yang tidak merupakan hasil dari ketentraman jiwa tidak akan bertahan lama. Kita mengharapkan kebahagiaan yang abadi. Dalam buku Zen Bagi Orang Modern disampaikan. Terkendalinya pikiran menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan suatu outcome, suatu hasil. Ia yang pikirannya kacau tidak pernah bahagia. Harta benda, kekuasaan, dan ketenaran tidak sesuatu pun dapat membahagiakan Anda.. Dalam buku Sabda Pencerahan, Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern disampaikan Ketenaran, kedudukan dan kekayaan tiga K ini merupakan perkembangan dari rasa kepemilikan kita. Rasa kepemilikan ini harus diganti dengan Kesadaran. Selama ini tidak terjadi, selama itu pula kita akan selalu terombang-ambing di tengah lautan kehidupan. Kita akan selalu menderita. Mengumpulkan harta di dunia berarti mengumpulkan tiga K tadi. Dan tiga K ini tidak langgeng, tidak abadi. Sewaktu kita masih memilikinya, kita senang. Begitu kehilangan, kita kecewa, kita sedih. Harta sorgawi yang dimaksudkan oleh Yesus adalah Kesadaran. Dalam lautan kesadaran, segala rasa terlarut dan jiwa kita menjadi bersih. Sekali rasa kesadaran ini terkembangkan, kita akan terbebaskan dari keterikatan-keterikatan duniawi Sang Istri: Dalam buku Be Happy! Jadilah Bahagia Dan Berkah Bagi Dunia dijelaskan bahwa. Mengutamakan kebahagiaan tidak berarti bahwa uang tidak penting. Uang tetap penting, tetapi uang bukanlah segalanya. Bila uang dapat membahagiakan, semestinya orang kaya tidak pernah menderita, walaupun sakit. Ternyata tidak demikian. Penelitian di Barat, khususnya yang dilakukan oleh BBC dan Newsweek itu, telah menggugurkan mitos bahwa harta dapat membahagiakan. Kesehatan, relasi atau persahatan, dan kepuasan serta ketenangan batinlah yang membahagiakan manusia.. Sang Suami: Digdaya tanpa adji, Kuat tanpa jimat atau kekuatan diri Eyang Sosro Kartono menasehati agar kita kuat karena kekuatan diri dan tidak menggantungkan diri dari hal-hal di luar termasuk jimat. Mereka yang lemah selalu membutuhkan sandaran. Dalam buku Be Happy! Jadilah Bahagia Dan Berkah Bagi Dunia disampaikan. Power adalah kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Sifatnya alami. Force adalah kekuatan yang berasal dari luar diri, dibuat-buat, tidak alami, termasuk bila kita percaya pada dukungan dari pihak lain, baik institusi maupun perorangan.. Dalam buku Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern disampaikan. Orang bijak tidak pernah bersandar. Seorang diri, mandiri ia menghadapi setiap situasi. Yang tidak bijak selalu mencari sandaran. Yang bijak tidak membutuhkan sandaran. Itulah kelebihan seorang bijak. Lepaskan sandaran dan hadapilah hidup ini dengan penuh kesadaran, dan kau akan berhasil! Dilihat dari jauh, anda hampir tidak bisa membedakan mana yang bijak, mana yang tidak. Dua-duanya dalam keadaan berdiri tegak-lurus. Anda harus mendekati mereka untuk mengetahui, yang mana bijak, yang mana tidak bijak. Anda akan menemukan yang tidak bijak bersandar pada sesuatu, pada seseorang. Sebaliknya, yang bijak tidak membutuhkan sandaran. Sang Istri: Eyang Sosro Kartono menasehati agar kita tidak mengejar kesaktian,

kewaskitaan dari luar diri. Kita kuat karena pengenalan diri bukan karena jimat di luar. Dalam buku Atisha, Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif disampaikan. Kekuatan Pengenalan Diri ini tidak membuat anda sombong atau arogan. Sama sekali tidak. Anda tidak angkuh, tetapi percaya diri. Anda tahu persis kemampuan diri anda, sehingga anda bisa melangkah maju tak gentar! Anda juga tahu persis, apa yang hendak anda capai. Anda berhenti mengejar kesaktian, kewaskitaan dan lain sebagainya, yang, kekuatan Pengenalan Diri justru membuat anda berhenti mengejar kesaktian dari luar diri. Sederhana sekali, yang merasa kuat tidak akan mengejar kekuatan lagi Sang Suami: Nglurug tanpa bala, mendatangi tempat musuh tanpa balatentara atau membuat perdamaian Eyang Sosro Kartono membicarakan tentang pentingnya makna damai dan kasih. Dalam buku Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa disampaikan Bila Kedamaian dan Kasih menjadi program universal, bukan demi kepentinganku, tetapi demi kepentingan kita semua, bersama, maka dunia menjadi tempat yang sangat indah untuk dihuni. Kenapa Program Kedamaian dan Kasih? Karena Program-Program Kekacauan dan Kebencian sudah kita coba dengan memproduksi senjata dan amunisi dan menonjolkan perbedaan-perbedaan. Ternyata dunia kita menjadi tempat yang menyeramkan, tidak aman. Maka, marilah kita mencoba sesuatu yang lain. Bukan baru, Kasih dan Kedamaian bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja dulu dipraktekkan oleh individu-individu tertentu. Sekarang kita praktekkan bersama, secara kolektif. Sang Istri: Dalam buku The Gospel of Obama disampaikan. Kita bisa hidup bersama dalam damai. Rumusnya sederhana: Bebaskanlah nafsu keserakahan dan kendalikan keinginan. Kita jangan diperbudak oleh keinginan. Fokus pada faktor-faktor pemersatu yang mengikat kita semua sebagai satu keluarga besar. Jangan berfokus pada perbedaan. Yang penting, mari kita kembangkan cinta; mari kita tumbuhkan rasa welas asih antar sesama. Mari kita percaya akan persahabatan, bukan permusuhan.. Dalam buku Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan disampaikan bahwa menyerang dengan balatentara dan merampas milik musuh adalah tanda keserakahan, tanda jiwa yang lemah.. Sesungguhnya orang yang tamak, yang merampas hak orang lain amat sangat lemah. Dengan merampas hak orang lain, ia pikir bisa menjadi kuat. Mereka yang melakukan agresi, ingin merebut hak atas tanah, atas kedudukan, sebenarnya adalah orang-orang lemah. Sadarilah bahwa kita sesungguhnya tidak lemah. Selama ini kita pikir anda lemah. Lalu kita mempercayai pikiran itu. Kelemahan diri kita hanya ada dalam pikiran. Bangkitlah-bangunlah-sadarlah! Dan setelah menyadari kekuatan diri, jangan duduk diam Lalu jiwa yang lemah ingin menutupi kelemahannya dengan menguasai orang lain, dengan menimbun harta, dengan mengejar kesaktian. Demikian jiwa yang lemah justru menjadi keras. Demikian, manusia kehilangan kemanusiaannya Sang Suami: Dalam buku Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo disampaikan. Kasih tidak pernah menaklukkan. Sekalipun kebencian dan kekerasan yang dihadapinya, ia tetap merangkul keduanya. Ia tidak perlu

menaklukkan siapa pun karena dengan merangkul mereka yang bertentangan dengannya, ia dapat menyelesaikan perkara sepelik apapun jua. Kasih tidak pernah menaklukkan karena ia yakin pada kekuatannya. Ia tidak lemah. Ia tidak perlu membuktikan kekuatannya dengan menaklukkan siapa pun jua. Kebencian tidak percaya diri; kekerasan sangat lemah; maka membutuhkan pembuktian. Ya, pembuktian yang sebetulnya tidak membuktikan apa-apa.. Sang Istri: Menang tanpa ngasorake, menang tanpa merendahkan atau menjaga kehormatan orang . Eyang Sosro Kartono mengingatkan akan harga diri manusia. Harga diri adalah nilai yang paling tinggi, paling berharga dalam diri setiap manusia. Dalam buku Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa disampaikan Kita menentukan harga diri kita, juga harga diri orang lain. Umumnya kita menaruh harga sangat tinggi bagi diri sendiri, dan sangat rendah bagi orang lain. Kita mudah tersinggung karena menaruh harga terlalu tinggi bagi diri sendiri. Mudah kecewa, mudah sakit hati, sedikit-sedikit merasa dihina dan menghina kembali semua karena harga diri.. Sang Suami: Untuk menjaga harga diri pihak lain kita harus menghormati perbedaan. Dalam buku Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern disampaikan. Dalam hal kerja sama dengan pihak lain, hormatilah perbedaan-perbedaan yang ada. Temukan sesuatu yang dapat mempersatukan, tanpa harus mengorbankan ciri khas masing-masing pihak.. Dalam buku Neo Psychic Awareness disampaikan Kita harus belajar untuk mengangkat kesadaran kita dari alam dualitas. Ini pula yang dilakukan oleh para leluhur kita, sehingga terciptalah kedamaian sejati. Spiritualitas adalah: kemampuan untuk melihat Yang Tunggal di balik Kebinekaan, dan kesadaran bahwa tidak sesuatu pun terjadi di luar Kehendak-Nya, maka Kebhinekaan pun harus dihargai, dihormati, dan diterima sebagai wujud Kehendak-Nya.. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Trimah Mawi Pasrah, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Keenam Sepasang suami istri membicarakan renungan keenam dari Nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Sebagai referensi, mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka berharap buku referensi bukan sekadar text book, tetapi work book. Bila memperlakukannya sebagai buku teks saja, maka kita tidak akan memperoleh apa-apa, paling banter, ya beberapa kisah baru. Tetapi jika diperlakukan sebagai workbook, buku bisa menjadi teman hidup. Work book berarti buku kerja kerja nyata yang harus dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Harus dikerjakan; bukan sekadar dibaca. Sang Istri: Renungan keenam Trimah mawi pasrah. Suwung pamrih, tebih ajrih. Langgeng tan ana susah, tan ana seneng. Anteng mantheng sugeng jeneng. Menerima dengan pasrah. Tanpa pamrih, jauh dari rasa takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat menyebut Nama Sang Suami: Nampak bahwa Eyang Sosro Kartono memberi nasehat tentang beberapa ciri-ciri seorang pengabdi, seorang bhakta yaitu, menerima tantangan hidup; bekerja tanpa pamrih dan tanpa rasa takut; tidak terpengaruh keadaan suka dan duka; dan berada dalam keadaan one pointedness, memfokuskan diri dengan pikiran yang tak bercabang. Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan.. Bagaimana ciri-ciri seorang Bhakta? Bagaimana mengenalinya? Gampang Bhagavad Gita menjelaskan bahwa dalam keadaan suka maupun duka ia tetap sama. Ketenangannya kebahagiaannya, keceriaannya tidak terganggu. Ia bebas dari rasa takut. la tidak akan menutup-nutupi Kebenaran. la akan mengungkapkannya demi Kebenaran itu sendiri. la menerima setiap tantangan hidup.. la bersikap nrimo nrimo yang dinamis, tidak pasif, tidak statis. Pun tidak pesimis. Menerima, bukan karena merasa tidak berdaya; ikhlas, bukan karena memang dia tidak dapat berbuat sesuatu, tetapi karena ia memahami kinerja alam. Ia menerima kehendak Ilahi sebagaimana Isa menerimanya diatas kayu salib. Ia berserah diri pada Kehendak Ilahi, sebagaimana Muhammad memaknai Islam sebagai penyerahan diri pada-Nya. Jadilah seorang Bhakta, demikian ajakan Sri Krishna kepada Arjuna, di tengah medan perang Kurukshetra. Tentunya, ia tidak bermaksud Arjuna meninggalkan medan perang dan melayani fakir-miskin di kolong jembatan. Atau, berjapa, berzikir pada Hyang Maha Kuasa, ber-keertan, menyanyikan lagu-lagu pujian. Tidak. Krishna mengharapkan Arjuna tetap berada di Kurukshetra, dan mewujudkan Bhaktinya dengan mengangkat senjata demi Kebenaran, demi Keadilan.. Sang Istri: Nrimo bukan berarti malas, bahkan nrimo berarti seseorang percaya diri dan percaya pada Tuhan. Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan. Banyak yang berprasangka bahwa sikap nrimo membuat orang menjadi malas. Sama sekali tidak. Sikap itu justru menyuntiki manusia dengan semangat, dengan energi. Terimalah setiap tantangan, dan hadapilah! Seorang Bhakta selalu penuh semangat. Badan boleh dalam keadaan sakit dan tidak berdaya jiwanya

tak pernah berhenti berkarya. la akan tetap membakar semangat setiap orang yang mendekatinya.. Dalam buku Masnawi Buku Kesatu, Bersama Jalaludin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai disampaikan. Jika sudah cukup percaya diri, anda tidak akan pernah mengejar sesuatu. Tuhan pun tidak akan anda kejar, karena percaya diri berarti percaya Tuhan. Ia yang mengenali dirinya, mengenali Tuhannya pepatah dalam bahasa Arab yang sering dikutip oleh Hazrat Ali. Berserah diri, pasrah, nrimo semuanya timbul dari percaya diri. Tanpa percaya diri anda tidak bisa berserah diri. Apa yang akan anda serahkan?.. Sang Suami: Eyang Sosro Kartono memahami bahwa alam bekerja tanpa pamrih. Dalam buku Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena disampaikan. Belajarlah dari alam. Dari bumi yang selalu memberi walau dieksploitasi, diinjak-injak dan perutnya dikoyak-koyak. Ada langit yang selalu mengayomi, menyirami bumi ketika gersang. Ada udara, angin, sehingga kita dapat bernapas. Belajarlah dari alam. Ada api atau energi yang membantu kita dalam setiap pekerjaan. Ada ruang luas di mana bumi kita berputar tanpa henti. Pernahkah mereka menuntut sesuatu darimu? Mereka memberi tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari kita. Itulah pelajaran utama yang dapat dipetik dari alam: memberi tanpa mengharapkan imbalan, memberi tanpa pamrih. Dalam buku Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern disampaikan. Ia yang bijak akan mengalir seperti air. Tempat yang terpencil dan sukar dicapai pun dapat dicapai oleh air. Air memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dalam alam ini, namun tidak mengharapkan sesuatu. Yang keras, yang kukuh, sangat terbatas gerakannya. Kekukuhannya, kekerasannya sendiri menjadi penghalang utama bagi gerak-geriknya. Namun yang cair, yang seperti air, dapat mengalir ke mana saja. Hidup kita juga hendaknya mengalir seperti air. Sambil menyirami hati yang kering, membasahi jiwa yang gerah, hendaknya kita mengalir terus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Bekerja tanpa pamrih. Sang Istri: Benar suamiku, bekerja keras tanpa pamrih. Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan. Ingatlah pesan Sri Krishna kepada Arjuna, Janganlah engkau membiarkan dirimu melemah di tengah medan perang ini. Angkatlah senjatamu untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Janganlah memikirkan hasil akhir, janganlah berpikir tentang untung-rugi. Berkaryalah sesuai dengan tugas serta kewajibanmu dalam hidup ini! Seorang Bhakta adalah seorang Pejuang Tulen. la tidak pernah berhenti berjuang. Kendati demikian, ia pun tidak bertindak secara gegabah. la waspada, tidak was-was. la tidak menuntut sesuatu dari hidup ini, dari dunia ini. la berada di tengah kita untuk memberi. la tidak mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya. la berkarya tanpa pamrih. Keberhasilan dan kegagalan diterimanya sebagai berkah.. Sang Suami: Tebih ajrih, jauh dari rasa takut. Dalam buku Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan disampaikan ada tiga hal utama dalam spiritual: pertama abhaya, fearless, tidak takut. Kedua ahimsa do not act violently, jangan menggunakan kekerasan. Ketiga asanga, be detached, jangan terikat pada sesuatu Rasa takut menciptakan kekerasan. Sering seorang meditator pun

menjadi penakut, karena ia tidak menyalurkan energi yang diperolehnya dari meditasi untuk mengatasi rasa takut. Energi itu malah memperkuat rasa takutnya. Pada dasarnya setiap orang, bahkan setiap makhluk, memiliki rasa takut. Tidak satu pun makhluk bebas dari rasa yang paling mendasar itu. Seorang meditator mesti menggunakan seluruh energinya untuk mengatasi rasa takut. Jika tidak, dan energi itu bersarang di dalam diri dan memperkuat rasa takut, ia menjadi penakut yang luar biasa, melebihi seorang non meditator. Karena itu, para guru selalu menciptakan program-program penyaluran, di mana para meditator ditantang untuk menjadi pemberani; untuk maju ke garis paling depan. Sayang, banyak yang tidak memahami hal ini, dan memisahkan latihan meditasi dari kehidupan meditative, sehingga energi meditasi yang semestinya membebaskan mereka malah membebani mereka.. Sang Istri: Dalam keadaan meditatif, kita terbebas dari rasa suka dan duka. Dalam buku Neo Psychic Awareness disampaikan.. Bila sudah memasuki Alam Meditasi, kita akan berada di atas alam pikiran dan perasaan. Rasa jenuh atau rasa apa pun tidak akan muncul lagi, atau tidak terasakan lagi. Meditasi membebaskan diri kita dari dualitas, dari segala macam dualitas. Bebas dari segala macam dualitas. Tidak ada lagi duka, namun suka pun tidak ada, karena keberadaan suka akan menghadirkan pula duka dalam hidup kita. Ada mawar, ada duri. Ada positif, ada negatif. Rasa jenuh muncul karena keberadaan kita antara dua kutub positif dan negatif, suka dan duka. Bagaimana melepaskan yang satu tanpa melepaskan yang lain inilah dilema kita selama ini. Kita harus belajar untuk mengangkat kesadaran kita dari alam dualitas. .. Sang Suami: Dalam buku Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan disampaikan.. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang Bhakta, seorang Pengabdi atau Pecinta Allah selalu sama dalam keadaan suka maupun duka. Keseimbangan dirinya tak tergoyahkan oleh pengalaman-pengalaman hidup. Ilmu apa yang dikuasai oleh seorang Bhakta sehingga ia tidak terombang-ambing oleh gelombang suka dan duka? Temyata, ilmu matematika yang sangat sederhana. Seluruh kesadaran seorang Bhakta terpusatkan kepada la yang dicintainya. Kesadaran dia tidak bercabang. la telah mencapai keadaan Onepointedness Ekagrataa. One, Eka Satu. la sudah melampaui dualitas. la telah menyatu dengan Hyang dicintainya. la telah menyatu dengan Cinta itu sendiri. Pecinta, Hyang dicintai, dan Cinta tiga-tiganya telah melebur dan menjadi satu. Sang Istri: Anteng mantheng sugeng jeneng, Tenang memusat menyebut Nama Onepointedness. Dalam buku Youth Challenges And Empowerment disampaikan Onepointedness jauh lebih berfokus daripada fokus. Maka, penulis menambahkan dengan pikiran yang tak bercabang. Fokus pada suatu titik tidak menghilangkan segala sesuatu di sekitar titik itu. Persis seperti saat mengambil foto. Kita boleh berfokus pada suatu objek, namun apa yang ada di sekitarnya tetap ada. One pointed ness menghilangkan, melenyapkan segala sesuatu sekitar titik fokus. Seluruh kesadaran kita, pikiran kita, terpusatkan pada titik itu. Ini bukan konsentrasi. Konsentrasi adalah urusah pikiran saja. Dan, pikiran tidak pernah stabil, selalu naik turun, tidak bisa berada lama di suatu tempat atau pada suatu titik. Lagi

pula, konsentrasi mesti selalu diupayakan. Sementara itu, one pointed ness bisa terjadi tanpa upaya, asal ada niat, hasrat, dan keinginan yang kuat terhadap titik yang dituju. Ketika titik yang dituju diniatkan sebagai satu-satunya kiblat dan kita mencintai kiblat itu, maka one pointed ness terjadi dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan. Apa yang terjadi saat jatuh cinta? Walau berskala kecil, saat itu pun terjadi one pointed ness. Setiap saat kau mengingat pacarmu, kekasihmu. Kau tidak perlu mengingatkan diri untuk mengingatnya. Ingatan itu muncul sendiri, wajah kekasih terbayang sendiri. Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan.. One pointed ness adalah latihan mental dan emosional untuk memperkuat syaraf dan nyalimu. Latihan ini juga membutuhkan tenaga yang luar biasa, tenaga ribuan kuda, yang hanya dimiliki oleh kaum muda. Maka, tentukan kiblatmu, cintailah kiblatmu. Arahkan seluruh kesadaranmu dan tunjukkan seluruh energimu untuk mencapainya. Bila kau tidak mempraktikkan one pointed ness ketika masih memiliki kekuatan yang luar biasa dan energi yang berlimpah, maka setelah berusia 40-an nanti kau tak dapat mempraktikkannya lagi. Saat untuk melatih diri adalah, sekarang!. Sang Istri: Dalam buku Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan disampaikan Mengabdilah selalu pada Yang Mahamemiliki. Mengabdi kepada siapa? Berbakti kepada siapa? Kepada mereka yang mengaku mahatahu dan mahamemiliki? Kepada mereka yang telah menyadarkan hak kita untuk berpikir dan berperasaan? Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Tentunya tidak. Mengabdilah kepada Ia Yang Maha Memiliki. Kepada ia yang adalah Pemilik Tunggal Alam Semesta. Kepada Dia yang disebut Hyang Widhi oleh orang Hindu, Adi Budha oleh orang Buddhis, Bapa di Surga oleh orang Kristen, dan Allah oleh orang muslim. Dia pula Tao Yang Tak Terungkap, dan Kami Yang Tak Terjelaskan namun dapat dijalani, dilakoni dalam keseharian hidup. Dialah Satnaam para pemuja Sikh, Sang Nama Agung Yang Berada di Atas Semua Nama. Janganlah engkau goyah dari imanmu itu, dari pengabdianmu itu. Dari Iman pada Pengabdian itu sendiri!

Mencari Padhang ing Peteng, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Ketujuh Nasehat RM Panji Sosro Kartono sedang dibicarakan oleh sepasang suami istri. Mereka menyebut beliau sebagai Eyang Sosro Kartono agar terasa lebih menjiwai. Buku-buku Bapak Anand Krishna mereka gunakan sebagai referensi. Mereka yakin, lewat siapa pun kebenaran diperoleh, sebenarnya sumber segala kebenaran adalah Gusti. Kebenaran yang disampaikan oleh siapa pun bahkan dari semua kitab suci pun sumbernya adalah Gusti. Sang Istri: Renungan Eyang Sosro Kartono ketujuh.. Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta kesimpulannya adalah mencari penerangan dalam gelap, kebahagiaan dalam penderitaan, bersatunya seribu juta. Sang Suami: Bagi saya pribadi Eyang Sosro Kartono sangat lembut, beliau ingin menyampaikan bahwa kebanyakan dari kita itu berada dalam kegelapan, berada dalam penderitaan disebabkan kita menuruti atau tunduk pada pikiran dan panca indra kita. Pikiran dan panca indra kita selalu ingin mengulang hal yang menyenangkan dan menghindari penderitaan, padahal tidak ada kesenangan yang abadi dan oleh sebab itu dengan mengikuti pikiran dan panca indra, kita akan mengalami kesenangan dan penderitaan yang tak ada habisnya. Beliau memberi nasehat agar kita dapat menjinakkan pikiran dengan padhang, dengan Cahaya Ilahi, dengan Kesadaran, dengan Rahmat Ilahi. Beliau menyampaikan dengan Cahaya Ilahi maka kegelapan akan hilang, penderitaan berubah menjadi kebahagiaan dan yang banyak, yang seribu juta itu semuanya pada hakikatnya satu. Dalam buku Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran disampaikan Pancaindra bagaikan kuda. Si Kuda itu sedang dalam perjalanan menuju Istana Raja, tetapi tidak tahu jalan. Rerumputan di pinggir jalan menggoda dia. Lagi-lagi dia berhenti untuk memakannya. Lagi-lagi dia tersesat dan tujuan perjalanan pun terlupakan. Kuda itu harus ditunggangi oleh Sang Raja, karena hanyalah Dia yang bisa membawanya ke dalam lstana. Cahaya Ilahi itulah Sang Raja. Bila Cahaya Ilahi atau Kesadaran Ilahi menunggangi pancaindra, Si Kuda tidak akan tersesat lagi. Tanpa Cahaya Ilahi, kesadaran manusia akan mengalami kemerosotan terus-menerus. Dengan Cahaya Ilahi, kesadarannya akan mengalami peningkatan. Rumi menasehati kita, Janganlah sombong, janganlah angkuh; Kendati kesadaranmu sudah meningkat, jangan mengira bahwa hal itu terjadi karena upayamu semata-mata. Tidak! Apa pun yang terjadi, karena Rahmat-Nya. Sang Istri: Benar suamiku, bahkan seseorang yang sadar yang mengikuti Cahaya Ilahi sadar bahwa musibah apa saja yang menimpa dirinya adalah bagian dari kebijakan alam. Tak ada sesuatu apa pun yang terjadi di luar kehendak alam dan Perancangnya. Dalam buku Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan disampaikan dalam keadaan suka maupun duka, ia akan selalu beradaptasi atau menyesuaikan diri. la tak akan mengeluh atau berkeluh kesah dalam

keadaan duka atau tak akan menjadi arogan dan sombong dalam keadaan suka. la akan menerima suka dan duka sebagai pengalaman yang silih berganti sesuai dengan hukum perubahan. Oleh karena itu dalam keadaan apa pun ia akan selalu tenang, damai, bahkan bahagia. Tidak gelisah. la akan berkarya sekuat tenaga namun puas dengan apa yang diperolehnya. la tidak akan menuntut macam-macam.. Sesungguhnya manusia dapat memprogram pikirannya untuk menerima hukum alam dan dengan demikian hidup selaras dengan alam. Atau dapat memprogram pikirannya untuk melawan hukum alam dan menciptakan konflik yang tidak berkesudahan. Manusia bebas untuk menciptakan apa saja namun tidak bebas dari konsekuensi ciptaannya sendiri. la bahagia dan menderita karena pikiran yang diciptakannya sendiri. Penderitaan yang kita alami adalah karena ulah kita sendiri. Kita tidak bisa dan tidak boleh menyalahkan siapa pun Jadi apa pun yang terjadi pada diri kita, secara pribadi maupun kolektif adalah konsekuensi dari tindakan, pikiran, dan ucapan kita sendiri. Alam sekitar kita selaras dengan apa yang kita lakukan. Bila kejahatan yang kita lakukan, maka konsekuensinya kejahatan pula. Bila kebaikan yang kita lakukan, maka akibatnya kebaikan pula. Kita boleh tidak selaras dengan alam, tapi alam selalu selaras. Oleh karena itu setiap sebab sudah pasti membawa akibat. Setiap aksi menghasilkan reaksi yang setimpal Sang Suami: Eyang Sosro Kartono berbicara tentang padhang, tentang penerangan bukan tentang penjelasan. Dalam buku Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi disampaikan . Para ahli buku tidak mampu mengalihkan isi buku ke dalam hidup sehari-hari. Mereka sibuk menjelaskan apa yang sudah jelas, dan sebenarnya tidak perlu dijelaskan lagi. Justru harus dilakoni. Kemudian, penjelasan-penjelasan seperti itu justru membingungkan. Seorang guru tidak menjelaskan, tetapi menerangkan Penjelasan berasal dari pikiran. Penerangan berasal dari hati. Untuk menjelaskan sesuatu, pikiran tidak perlu jelas, tidak perlu terang. Seorang ahli buku menjelaskan kegelisahan dan kegaduhannya. Untuk menjelaskan sesuatu, pikiran tidak perlu jelas. ketidakjelasan pun dapat dijelaskan. Sementara itu, hati yang belum terang tidak bisa menerangkan sesuatu. Pelita yang padam, bolam yang mati, tidak berguna sama sekali sebagai penerang. Dia tidak terang, maka tidak mampu menerangkan sesuatu. Dekatilah seorang Murshid, seorang Guru, Master, Wali Allah yang sudah terang jiwanya. Kemudian, penjelasan pun tidak kau butuhkan. Dengan mendekati mereka saja, jiwamu akan menjadi terang benderang.. Sang Istri: Padhang atau Cahaya Ilahi juga bermakna kasih. Dalam buku Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi juga disampaikan.. Cahaya-Mu menerangi kegelapan pikiranku. Kasih-Mu bersemayam dalam hatiku. Sebelum mengejar pengetahuan dan amal-saleh, biarlah kasih bersemayam dulu di dalam hati. Tanpa kasih, pengetahuan menjadi kering. Tanpa cinta, amal saleh pun sekedar permainan ego.. Dalam buku Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri disampaikan Cinta kasih adalah cahaya dan di mana ada cahaya, di sana kegelapan tidak ada. Cinta Kasih melampaui semua dualitas. Cinta Kasih tidak terhingga, tak terbatas. Karena itu, dia yang mencintai tidak akan pernah

puas dengan kesenangan duniawi yang picik dan tak berarti. Bukannya Cinta Kasih tidak berurusan dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Semua kesenangan duniawi ada dalam cinta. Tetapi Cinta Kasih melebihi mereka. Cinta Kasih melampaui kesenangan-kesenangan picik. la yang mencintai selalu berusaha keras mencapai Yang Tak Terbatas, Yang Tak Terhingga.. Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan. Cinta Kasih mengembangkan kesadaran kita. Dibandingkan dengan Cinta, hubungan-hubungan duniawi yang lain, kesenangan-kesenangan yang lain, semuanya tidak berarti sama sekali. Cinta Kasih membuat kita sadar akan warisan nyata kita yang sebenarnya. Hanya Cinta Kasih dapat menjadi keduanya, luas dan dalam, terhingga dan tak terhingga, besar dan kecil hanya Cinta Kasih dapat menjadi keduanya, terang dan gelap, karena dalam Cinta Kasih sebenarnya tidak ada dualitas. Sang Istri: Kesadaran dan cinta kasih saling terkait, persis seperti dua sisi dari kepingan logam yang sama. Orang yang sadar sudah pasti mengasihi. Dan, orang yang mengasihi sudah pasti sadar. Kesadaran mengakibatkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan. Dalam buku Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati disampaikan. Bahwa kesadaran tidak hanya menerangi jiwa manusia, tetapi mempengaruhi hidupnya secara menyeluruh. Dalam bahasa meditasi, secara holistik. Ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan, kesehatan dan bahkan kesejahteraan, semua tergantung pada kesadaran diri kita.. Sang Suami: Eyang Sosro Kartono memberi nasehat cara menjalani kehidupan, ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta mencari penerangan dalam gelap, mencari kebahagiaan dalam penderitaan, bersatunya seribu juta. Dalam buku Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia disampaikan. Setiap orang, setiap anak manusia, bahkan setiap makhluk, sejak awal mulanya alam ini sesungguhnya mendambakan satu hal saja yaitu: Kebahagiaan Sejati. Ketika otaknya belum cukup berkembang, daya pikir serta intelejensianya masih minim, ia memahami apa yang didambakannya itu sebagai keinginan untuk sesuatu. Sesuatu yang dianggapnya dapat membahagiakan dirinya. Saat ia belum mampu medefenisikan kebahagiaan. Kenikmatan indera dan kenyamanan tubuh dianggapnya sudah cukup membahagiakan. Dalam perjalanan panjang menuju kebahagiaan, manusia menemukan banyak hal yang membuat tubuhnya menjadi nyaman. Masa yang cukup panjang dilaluinya sebelum ia dapat menyimpulkan bahwa, Adalah Kebahagiaan Sejati atau Anand yang sedang kucari! Manusia ingin bahagia, ia mendambakan kebahagiaan. Tetapi, bukanlah kebahagiaan biasa, kebahagiaan sesaat. Ia menginginkan Kebahagiaan yang Kekal, Abadi, Langgeng Kebahagiaan Sejati. Kebahagiaan yang tak pernah berakhir, tak pernah melentur, tak pernah berkurang. Tak pernah hilang. Sekali Bahagia, Tetap Bahagia Dunia Benda ini tidak kekal, tidak abadi. Kebendaan berubah terus. Apa yang kita miliki saat ini, pernah dimiliki orang lain sebelumnya. Dan, dapat berpindah tangan kapan saja. Sebab itu, Kebendaan tidak dapat membahagiakan diri kita untuk selamanya. Sesuatu yang bersifat tidak kekal, tidak abadi tidak dapat

memberi kebahagiaan yang kekal dan abadi. Sang Istri: Setiap benda esensinya adalah energi. Wujud setiap benda tak pernah abadi, akan tetapi esensinya atau energi itu abadi. Energi itulah Tuhan. Dalam buku Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia tersebut juga disampaikan. Tuhan adalah Sumber Segala Kebahagiaan. Kebahagiaan yang Kekal, Abadi dan Tak Pernah Berakhir Sumber Segala Kebahagiaan, tetapi juga Sumber Segala Kemuliaan, bahkan Sumber Segala-Galanya. The Source. Dengan memusatkan kesadarannya, seluruh perhatiannya pada Sumber itu Manusia memperoleh kebahagiaan yang luar biasa. Sang Suami: Ada juga yang masih berkomentar, bukankah mereka yang melakoni kasih nampak menderita dizalimi oleh musuh-musuhnya. Mungkin musuh-musuhnya nampak menang, padahal sebenarnya tidak demikian. Dalam buku Otobiografi Paramhansa Yogananda, Meniti Kehidupan bersama para Yogi, Fakir dan Mistik disampaikan.. Alamlah yang bekerja. Keadilan Tuhan-lah yang bekerja. Kerajaan Roma yang terlibat dalam konspirasi untuk menyalibkan Yesus lenyap tanpa bekas. Bangsa Yahudi yang menolak Yesus harus menderita selama dua ribu tahun. Sampai sekarang pun, negara Israel bukanlah negara yang damai dan tenteram. Warganya hidup dalam kecemasan. Pemimpinnya hidup dalam kegelisahan. Diamnya seorang Yesus membuat roda keadilan alam berputar. Jangan kira, Keberadaan akan duduk diam. Seorang Yesus bisa saja memaafkan kita. Dan seorang Yesus memang akan selalu memaafkan kita. Pemaafan itu yang membuat dia seorang Yesus, seorang Kristus. Tetapi, hukum alam tidak dapat kita hindari!. Kita perlu berhati-hati, jangan sampai menzalimi mereka yang berjalan di jalan kebenaran. Terima Kasih Eyang Sosro Kartono. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Catur Murti, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Kedelapan Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan Nasehat RM Panji Sosro Kartono. Untuk mendekatkan jiwa mereka menyebutnya Eyang Sosro Kartono. Mereka sudah sampai pada Catur Murti, renungan kedelapan. Sebagai referensi buku-buku Bapak Anand Krishna mereka gunakan. Sang Istri: Renungan Eyang Sosro Kartono kedelapan Catur Murti, bersatunya empat hal dalam diri. Selarasnya pikiran, perasaan, ucapan dan perbuatan. Sang Suami: Keempat hal, pikiran, perasaan, ucapan dan perbuatan memang harus selaras, apabila terjadi ketidakselarasan di antara mereka, seseorang akan menjadi gelisah. Kita perlu membicarakan kaitan antara keempat hal tersebut. Dalam buku Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia disampaikan. segalanya bermula dari pikiran. Kita melihat sesuatu, ada ketertarikan, dan timbul keinginan untuk memperolehnya. Kemudian, keinginan itu yang ditindaklanjuti menjadi perbuatan atau tindakan. Keinginan = Pikiran + Pikiran + Pikiran. Jika dilihat dari belakang, dirumuskan dari yang paling bawah maka Pikiran itulah yang menimbulkan Keinginan. Kemudian, Keinginan mendorong adanya Perbuatan atau Tindakan. Dan, Perbuatan atau Tindakan itulah yang menentukan Pengalaman Pengalaman Hidup. Kehidupan = Pengalaman + Pengalaman + Pengalaman. Pengalaman = Perbuatan + Perbuatan + Perbuatan. Perbuatan = Keinginan + Keinginan + Keinginan. Keinginan = Pikiran + Pikiran + Pikiran. Komponen Terkecil dalam Bangunan Hidup kita adalah Pikiran, Thoughts. Sesungguhnya, hidup kita adalah cerminan pikiran kita. Pikirkan sesuatu yang baik, maka kita akan menginginkan hal-hal yang baik. Kita akan berbuat baik. Alhasil, pengalaman-pengalaman hidup kita baik pula. Dan, hidup kita menjadi baik Dalam buku Be The Change, Mahatma Gandhis Top 10 Fundamentals For Changing The World disampaikan Keselarasan antara apa yang kita pikirkan, apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan itulah kebahagiaan. Jadikan keselarasan antara pikiran, ucapan dan tindakan sebagai tujuan kita. Jadikanlah pemurnian pikiran sebagai tujuan kita, maka semuanya akan beres. Diri seperti itu bukanlah diri manusia. Manusia dilahirkan dengan keunikan yang sungguh luar biasa. Luar biasa karena seunik apa pun juga, diri kita semua tetap selaras dengan alam, dengan semesta. Kita sedang bergetar bersama alam semesta. Pikiran kita yang sempit telah merusak keselarasan itu. Sekarang hidup kita terombang ambing dan kita bingung. Kita mencari solusi di luar sana, padahal solusinya ada di dalam sini. Solusinya keselarasan diri. Mulailah dengan menyelaraskan pikiran, ucapan dan tindakan. Saya menambah satu lagi, yaitu perasaan, karena terbentuknya watak manusia sangat tergantung pada apa yang dirasakannya.. Sang Istri: Suamiku, kita perlu membedakan antara emosi dan rasa. Emosi adalah reaksi tubuh terhadap suatu kejadian. Semua emosi berasal dari sistem limbik dari otak. Kemudian setiap orang memberikan respon yang berbeda-beda terhadap

rangsangan pemicu emosi yang sama. Di lain pihak rasa yang kita bicarakan adalah rasa pada ruhani yang kita rasakan dalam hati. Emosi adalah bagian dari lapisan mental emosional atau lapisan pikiran, sedangkan rasa sudah melampaui pikiran. Pikiran itu terbatas pada pengalaman yang dialami, sedangkan rasa sudah lebih luas. Dalam buku Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo disampaikan Dari sangkar ke kamar, dari kamar ke pekarangan rumah, dan dari pekarangan rumah ke alam bebas itulah perjalanan jiwa. Sangkar adalah pikiran, pekarangan rumah adalah alam rasa. dan alam bebas adalah alam Kesadaran Murni. Antara pikiran dan kesadaran ada alam rasa. Alam rasa adalah alam dengan kebebasan terbatas; bukan kebebasan yang dibatasi, tetapi kebebasan yang membatasi diri, karena sesungguhnya pekarangan rumah adalah bagian dari alam bebas. Ia sudah menjadi bagian dari alam bebas, walau tetap juga berfungsi sebagai pekarangan rumah. Cinta adalah Alam rasa. Cinta berada antara pikiran yang membelenggu dan kesadaran yang membebaskan. Cinta adalah alam rasa. Satu di bawah cinta kita terbelenggu: kita jatuh kepada nafsu. Satu langkah di atas cinta, kita terbebaskan dari segala macam belenggu. Kita memasuki kasih!.. Sang Suami: Dalam buku Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan disampaikan.. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan yang selaras. Berarti yang kita ucapkan dan yang kita lakukan sesuai dengan pikiran kita. Kita tidak berpura-pura, tidak munafik. Kita tidak menipu orang dengan memperlihatkan wajah palsu. Ini juga berarti bila pikiran, ucapan, dan tindakan kita selaras dengan alam semesta. Kita tidak mencelakakan siapa pun, termasuk lingkungan hidup, dengan pikiran, ucapan, serta tindakan kita. Sang Istri: Eyang Sosro Kartono menaruh perhatian sekali terhadap Catur Murti agar tidak terjadi kemunafikan. Apabila apa yang dipikirkan apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dilakukan maka terjadilah kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut sampai saat ini masih berlangsung pada masyarakat kita. Dalam buku Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena disampaikan.. Dengan peraturan kita boleh berharap supaya setiap orang berperilaku jujur, namun kenyataannya apa? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peraturan, undang-undang, dogma, dan doktrin tidak dapat menjujurkan jiwa manusia. Bagaikan benih, kejujuran harus ditanam dan dikembangkan dalam diri manusia. Ia tidak dapat dijadikan peraturan, kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam diri manusia. dalam buku Youth Challenges And Empowerment disampaikan. Jika kita memang melakukan kesalahan terhadap seseorang, tidak ada salahnya kita meminta maaf. Meminta maaf karena kita menyadari kesalahan yang terjadi. Meminta maaf karena kita menyadari bahwa hanya dengan cara itu kita dapat melampaui rasa bersalah. Seusai itu, selesailah persoalan kita. Tidak ada rasa bersalah lagi. Asalkan dalam permintaan maaf itu kita tulus dan jujur, tidak berbasa-basi. Permintaan maaf yang semu. Saya sudah minta maaf. Banyak orang menghibur diri dengan kalimat jitu ini. la tidak peduli bahwa pihak yang dizaliminya telah memaafkannya. Pokoknya, saya sudah minta maaf. Bahkan ada yang menambah embel-embel yang sungguh tidak masuk akal, Demikian anjuran

agama. Dan, saya sudah menjalani itu. Agama mengajarkan ketulusan hati, kejujuran, dan kesungguhan. Setahu saya, tidak ada agama yang mengajarkan asal-asalan dan pokok-pokokan. Keduanya adalah saudara kembar kemunafikan. Induk mereka adalah Pembenaran. Bukan, bukan permintaan maaf seperti itu yang dimaksud. Permintaan maaf yang sungguh-sungguh, itulah yang dimaksud.. Sang Suami: Mari kita berpikir jernih apakah ada kemunafikan dalam kehidupan beragama kita? Saya pernah membaca di internet tulisan seseorang yang saya pikir sangat bijak dan lugas, walau saya sendiri tidak ingat di mana dan kapan, bahwa di Indonesia, tak seorang pun berani menentang agama. Baru berpandangan kritis sedikit saja sudah bisa berurusan dengan pihak berwajib. Tapi itu hanya terjadi pada tataran formal. Di permukaan, semuanya tampak rapi, tetapi bisa terselubung kemunafikan. Secara formal memang tidak ada yang menentang agama, tetapi banyak perilaku yang mencerminkan sikap menentang agama, dalam arti menentang nilai-nilai luhur yang terdapat dalam agama itu. Kita bisa jatuh pada ironi yang luar biasa: kelihatannya membela agama, tetapi sedang menginjak-injaknya, tampaknya menjunjung tinggi, tetapi pada kenyataannya sedang merendahkannya. Yang ditentang adalah nilai-nilai ajaran yang ada dalam semua agama. Sekarang, agama sekedar menjadi asesoris, perlengkapan standar untuk menciptakan kesan kemegahan, kegagahan, kesalehan. Atribut-atribut luaran setiap agama ditonjolkan.. Agama mengajarkan kedamaian dan kasih, tetapi kita melakukan aksi terror atas nama agama. Agama mengajarkan kesederhanaan, tapi kita suka pamer. Agama mengajarkan kepasrahan pada kehendak Ilahi, tapi kita malah menjadi tamak, serakah. Agama mengajarkan kepolosan dan keluguan, tapi kita ingin dikenal sebagai cendikiawan dan ahli tafsir, ahli teologi. Agama mengajarkan persatuan, tapi kita percaya pada perbedaan. Dengan mudah kita mengabaikan ketidakadilan yang dilakukan oleh sesama umat, karena bagaimanapun mereka masih seiman dengan kita. Kita tidak sadar bahwa ulah kita itu menyebakan ketakadilan. Padahal keadilan merupakan salah satu nilai dasar setiap agama. Sang Istri: Rasa malu itulah yang masih kita perlukan. Dalam buku Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan disampaikan. Rasa malu merupakan sifat perempuan di dalam diri. Karena itu, bagi seorang yang lahir sebagai perempuan, sifat itu menjadi kodratnya. Bagi seseorang yang lahir sebagai lelaki, sifat itu masih berupa potensi yang harus dikembangkan, benih yang harus dipupuk. Sifat malu lahir dari kelembutan-kelembutan dalam diri manusia, kelembutan yang ada dalam diri setiap manusia. Sifat malu bukan rasa takut, misalnya takut dihukum atau didenda seorang penjahat bisa memberi kesan seolah dirinya sudah sadar. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara atau oleh institusi agama yang hanya menimbulkan rasa takut, tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesadaran manusia. Masyarakat menjadi munafik. Hanyalah rasa malu yang dapat menyadarkan manusia. Kemudian, seorang penjahat akan meninggalkan kejahatan untuk selamanya, karena sadar. Rasa malu membuat sadar, sekaligus lembut.. Sang Suami: Dengan Catur Murti Eyang Sosro Kartono, ingin menyelaraskan hati atau rasa dengan otak atau pikiran dan dengan badan atau perbuatan, soul, mind and

body. Dengan keselarasan tersebut maka manusia akan menjadi sempurna. Dalam buku Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan disampaikan tentang Manusia Sempurna Pertama, Memiliki hati penuh Kasih yang lahir dari kesadaran diri dan bergetar dengan kekuatan yang dahsyat.Kedua, Memiliki sepasang tangan (mewakili badan) yang sakti yaitu sepasang tangan yang dipakainya untuk melayani seluruh dunia dan kesaktian yang diperolehnya dari keceriaan dan pencerahan diri. Ketiga, Memiliki otak yang terbuka bagi pengetahuan dari segala penjuru dan mampu menyelaraskan pengetahuan itu dengan nuraninya sendiri bahkan mengubahnya menjadi kehendak yang kuat. Berwawasan luas, selaras dengan hati nurani atau kata hati, berkehendak yang kuat. Keempat, Memiliki kemampuan untuk menyelaraskan hati (perasaan), raga, dan otak (pikiran) untuk berkarya bagi seluruh umat manusia dan jagat raya. Akhir kata dapat disimpulkan bahwa seorang Manusia Sempurna tak pernah menggunakan kekuatan-kekuatan atau kemampuan-kemampuannya untuk memperbudak atau menguasai dunia, tetapi untuk melayani semesta.. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Maksud Kehidupan, Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Kesembilan Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan renungan kesembilan dari Nasehat RM Panji Sosro Kartono. Mereka menggunakan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka menganggap buku yang membicarakan kesadaran sebagai yantra, alat untuk membuat sadar akan kehadiran-Nya. Sang Istri: Renungan Eyang Sosro Kartono kesembilan . Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang. Tansah anglampahi dados muriding agesang. Belajar merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, asal dan arti kehidupan satu. Selalu menjadi murid kehidupan.. Sang Suami: Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang. Belajar merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, asal dan makna kehidupan satu.. Eyang Sosro Kartono dalam bahasa sekarang berbicara tentang keikaan, keutuhan, oneness. Selama ini karena menganggap badan adalah diri kita, maka kita merasa setiap orang berbeda. Dalam buku Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan disampaikan.. Bebaskan dirimu dari anggapan keliru bahwa badan inilah dirimu. Bebaskan diri dari anggapan keliru yang bersifat delusory, ilusif. Anggapan keliru ini telah membingungkan kita. Kemudian kita bersuka dan berduka dalam kebingungan itu. Kita senang karena merasa berhasil dan menang. Kita sedih karena merasa gagal dan kalah. Siapa yang merasakan keberhasilan dan kegagalan itu? Siapa yang merasakan kemenangan dan kekalahan itu? Panca indra kita. Apakah pancaindra itu satu-satunya kebenaran diri kita? Adakah kebenaran lain yang lebih tinggi di balik pancaindera yang kita miliki? Dimanakah kita sebelum kawin, berkeluarga, dan membina rumah tangga? Siapakah kita sebelum terciptanya ikatan dan keterikatan baru itu? Seperti apakah jati diri kita seb