1

12

Click here to load reader

description

vvvvv

Transcript of 1

Page 1: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 1 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PERNIKAHAN USIA MUDA PADA REMAJA PUTRI DI DESA PAGEREJO

KABUPATEN WONOSOBO

Astri Yunita Program Studi Diploma IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

ABSTRACT

Teen marriage in Indonesia is still high, which is 34.5% of 120,000 marriages. Teen marriage

can affect physiological, psychological and socio-economic condition in female adolescents. The factors that can affect teen marriage are the level of education, employment and culture. This study aims to determine the relationship between levels of education, employment and culture of female teenagers with the incidences of teen marriage.

The study design was case-control with the samples of 42 people and control samples of 42 people taken by purposive sampling method. The data about level of education, employment and culture were taken from the questionnaires. Bivariate analysis used chi square test with p-value = 0.05.

The results of the study got that the respondents who did teen age marriage had the most basic educational level who were 61,9%, 72,6% did not work and 52,4% believed in the culture. Bivariate analysis showed that there was a relationship between level of education with incidences of teen marriage in the teenagers (p = 0,0001, OR = 9.750), there was no relationship between the job of female teenagers with teen marriage (p = 0,328, OR = 0.545) and there was a relationship between the incidences of teen marriage and culture (p = 0,039). It could be concluded that there was a relationship between level of education and culture to teen marriage in female teenagers, there was no relationship between the job of female teenagers and teen marriage in female teenagers. Keywords: education level, job of female teenagers, culture, teen marriage, female teenagers

PENDAHULUAN

Menurut UU Perkawinan Tahun 1974,

pernikahan ialah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk melangsungkan pernikahan seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pernikahan hanya diijinkan apabila pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia reproduktif yaitu kurang dari 20 tahun (Maryanti dan Septikasari,2009). Pernikahan yang dilangsungkan pada usia remaja umumnya

akan menimbulkan masalah baik secara fisiologis, psikologis dan sosial ekonomi. Dampak pernikahan usia muda lebih tampak nyata pada remaja putri dibandingkan remaja laki-laki. Dampak nyata dari pernikahan usia muda adalah terjadinya abortus atau keguguran karena secara fisiologis organ reproduksi (khususnya rahim) belum sempurna. Meningkatnya kasus perceraian pada pernikahan usia muda karena umumnya para pasangan usia muda keadaan psikologisnya belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi masalah yang timbul dalam pernikahan. Ditinjau dari masalah sosial ekonomi pernikahan usia muda biasanya tidak diikuti dengan kesiapan keadaan ekonomi (Romauli dan Vindari,2012).

Fenomena pernikahan usia dini (early marriage) masih sering dijumpai pada masyarakat Timur Tengah dan Asia Selatan. Di Asia Selatan terdapat 9,7 juta anak perempuan 48% menikah di bawah umur 18

Page 2: 1

2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

tahun, Afrika sebesar 42 % dan Amerika Latin sebesar 29% (Rafidah,2009).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, perempuan usia 15-19 tahun yang menikah di perkotaan meningkat menjadi 21%. Sedangkan yang terjadi di pedesaan tentang pernikahan usia muda ini menurun menjadi 24,5%. Menurut Pusat kajian dan Perlindungan Anak di Indonesia, lebih dari 20% masyarakatnya menikahkan anak-anaknya dalam usia muda. Angka usia menikah pertama penduduk Indonesia yang berusia di bawah 20 tahun masih tinggi, yakni mencapai 20 %.

Data Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah pada tahun 2010 sebanyak 0,2%. Meskipun proporsi kecil, namun hal ini menunjukkan lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun, yaitu 11,7% dibandingkan dengan 1,6%.

Berdasarkan data statistik Indonesia tahun 2011 rata-rata usia perkawinan di daerah perkotaan adalah 27,9 tahun pada laki-laki dan 24,6 tahun pada perempuan. Sedangkan di daerah pedesaan adalah 26,1 pada laki-laki dan 21, 9 tahun pada perempuan. Sementara menurut Rafidah (2009) sebanyak 34,5 % dari sekitar 120.000 pernikahan di Indonesia dilakukan oleh remaja usia dini.

Salah satu faktor yang menyebabkan orang tua menikahkan anak usia dini pada negara berkembang adalah karena kemiskinan. Orang tua beranggapan bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi dan perkawinan merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan keluarga (Rafidah,2009). Di masyarakat pedesaan, pernikahan usia dini terjadi terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah yang lebih merupakan bentuk sosial pada pembagian peran dan tanggung jawab dari keluarga perempuan pada suami.

Penelitian di Bangladesh terhadap 3.362 remaja putri terdapat 25,9% menikah usia muda dan faktor yang menyebabkan pernikahan usia muda adalah pendidikan. Wanita tanpa pendidikan dasar di Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin, memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk menikah sebelum usia 18 tahun. Perbedaan ini juga nampak di

negara-negara maju seperti Amerika Serikat, 30% dari wanita yang menempuh pendidikan kurang dari 10 tahun akan menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini berbeda dengan wanita yang menempuh pendidikan lebih dari 10 tahun, dengan perkawinan dini terjadi kurang dari 10% (Glasier dalam Darnita,2013).

Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah atau mempunyai keterbatasan pendapatan untuk bermain di luar lingkungan mereka, sehingga mempengaruhi cara pandang dan mempersempit ruang lingkup pergaulan mereka (Romauli dan Vindari,2012). Dengan sempitnya cara pandang dan pergaulan menimbulkan kurang luasnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda.

Lingkungan dan adat istiadat adanya anggapan jika anak gadis belum menikah disuruh segera menikah, karena biaya hidupnya nanti akan segera ditangani suami merupakan hal yang berpengaruh terhadap kejadian pernikahan usia muda. Selain itu, banyak di daerah ditemukan adanya pandangan yang salah, seperti kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan. Di beberapa wilayah terutama di daerah pedesaan masih memiliki pandangan yang kolot yaitu menganggap bahwa anak gadis ibarat sebagai dagangan (Landung,2009).

Berdasarkan data Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kertek mendapatkan jumlah remaja putri yang menikah pada usia di bawah 20 tahun pada tahun 2013 terdapat 273 (29,04%) dari 940 wanita yang menikah. Desa Pagerejo merupakan desa tertinggi untuk kejadian pernikahan usia muda di Kecamatan Kertek yaitu terdapat 70 (25,64%) dari 273 wanita yang menikah. Rata-rata penduduk di Desa Pagerejo sebagian besar memiliki tingkat pendidikan SD dan bekerja sebagai pedagang dan buruh.

Studi pendahuluan yang dilakukan kepada delapan remaja putri yang melakukan pernikahan usia muda, dua orang (25%) tingkat pendidikan SMP, lima orang (62,5%) tingkat pendidikan SD dan satu orang (12,5%) tidak sekolah. Dilihat dari segi pekerjaan, lima orang (62,5%) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, dua orang (25%) sebagai pedagang dan satu orang (12,5%) sebagai buruh. Dalam hal kebudayaan, enam orang (75%) mengatakan percaya terhadap kebudayaan tentang pernikahan usia muda di lingkungan

Page 3: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 3 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

sekitar, dan dua orang (25%) mengatakan tidak percaya pada budaya tentang pernikahan usia muda yang ada di lingkungan sekitarnya.

Masih banyaknya kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri, maka menarik minat peneliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo.

METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitic Korelasi yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan (Notoatmodjo, 2010). Pendekatan dalam penelitian ini yaitu case control yaitu suatu penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pagerejo Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo pada bulan Juli 2014. Populasi Dan Sampel Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua remaja putri berusia kurang dari 20 tahun yang sudah melakukan pernikahan usia muda pada bulan Januari-Desember 2013 yang ada di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo sebanyak 70 orang. Sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan menggunakan cara atau tehnik tertentu, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin bisa mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian yaitu semua remaja putri berusia kurang dari 20 tahun yang sudah melakukan pernikahan usia muda pada bulan Januari-Desember 2013, sampel yang digunakan dalam penelitian menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi sehingga klien yang dapat dijadikan sampel hanya 42 responden.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1) Semua remaja putri yang berusia kurang dari 20 tahun; 2) Remaja putri yang

berdomisili asli di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo; 3) Remaja putri yang bersedia menjadi responden.

Jumlah populasi yang tidak memenuhi kriteria inklusi 28 responden, karena 10 remaja putri tidak berdomisili asli di Desa Pagerejo, 2 sudah pindah dari Desa Pagerejo, 7 bekerja di luar negeri dan 9 bekerja di luar kota Wonosobo. Sehingga jumlah sampel yang diperoleh adalah 42 sampel penelitian.

Pada desain kasus kontrol 1: 2, sehingga diperoleh 42 sampel kasus dan 42 sampel kontrol, sehingga total sampel sebanyak 84 responden. Sumber dan Jenis Data Data Primer

Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari: Kuisioner identitas dan Kuisioner kebudayaan. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekundernya diperoleh dari KUA Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. : Analisis Data Analisa Univariat

Analisa univariat adalah untuk mengetahui tabel distribusi frekuensi dari sampel masing-masing variabel yang diteliti. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yaitu tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kebudayaan masyarakat. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan kebudayaan. Analisis data bersifat bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Analisa statistik yang digunakan dengan menggunakan software menggunakan uji statistik korelasi dengan meggunakan Uji Chi – square .

Page 4: 1

4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Variabel dinyatakan berhubungan signifikan apabila hasil pengujian chi-square menunjukan X2

hitung lebih besar dari X2tabel atau

menunjukan nilai p-value lebih kecil dari α penelitian (0,05).

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden Usia

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Remaja Putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Kejadian Pernikahan Usia Muda

Umur Remaja Putri Total 19 tahun 18 tahun 17 tahun 16 tahun 15 tahun

f % f % f % f % f % Menikah Usia Muda 9 21,4 11 26,2 13 31,0 8 19,0 1 2,4 42 (100%)Belum menikah 26 62,0 7 16,6 1 2,4 8 19,0 0 0 42 (100%)Jumlah 35 83,4 18 42,8 14 33,4 16 38,0 1 2,4 84 (100%)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang melakukan pernikahan usia muda berusia 17 tahun sebanyak 13 (31,0%) remaja putri sedangkan paling sedikit berusia 15 tahun

sebanyak 1 (2,4%) remaja putri. Sebagian besar responden yang belum melakukan pernikahan usia muda berusia 19 tahun sebanyak 26 (62,0%) remaja putri sedangkan usia 15 tahun tidak ada (0%).

Analisis Univariat Tingkat Pendidikan

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Remaja Putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Kejadian Pernikahan Usia Muda

Tingkat Pendidikan Total Dasar (SD/SMP) Menengah (SMA) Tinggi

f % f % f % Menikah Usia Muda 36 42,9 6 7,1 0 0 42 (50 %) Belum menikah 16 19,0 26 31,0 0 0 42 (50%) Jumlah 52 61,9 32 38,1 0 0 84 (100%)

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui

bahwa sebagian besar responden yang melakukan pernikahan usia muda berpendidikan dasar yaitu sebanyak 36 (42,9%) remaja putri. Responden yang berpendidikan menengah yaitu sebanyak 6 (7,1%) remaja putri dan berpendidikan tinggi

tidak ada (0%). Sebagian besar responden yang belum melakukan pernikahan usia muda berpendidikan menengah yaitu sebanyak 26 (31,0%) remaja putri. Responden yang berpendidikan dasar yaitu sebanyak 16 (19,0%) remaja putri dan berpendidikan tinggi tidak ada (0%).

Pekerjaan

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Remaja Putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Kejadian Pernikahan Usia Muda

Pekerjaan Total Bekerja Tidak Bekerja

f % f % Menikah Usia Muda 9 10,7 33 39,3 42 (50%) Belum menikah 14 16,7 28 33,3 42 (50%) Jumlah 23 27,4 61 72,6 84 (100%)

Page 5: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 5 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang melakukan pernikahan usia muda tidak bekerja yaitu sebanyak 33 (39,3%) remaja putri dan paling sedikit responden yang bekerja yaitu sebanyak 9 (10,7%) remaja putri. Sebagian

besar responden yang belum melakukan pernikahan usia muda tidak bekerja yaitu sebanyak 28 (33,3%) remaja putri dan responden yang bekerja yaitu sebanyak 14 (16,7%) remaja putri.

Kebudayaan Masyarakat

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebudayaan Masyarakat pada Remaja Putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Kejadian Pernikahan Usia Muda

Kebudayaan Masyarakat Total Sangat Percaya Percaya Tidak Percaya

f % f % f % Menikah Usia Muda 15 17,9 22 26,2 5 6,0 42 (50%) Belum menikah 7 8,3 22 26,2 13 15,4 42 (50%) Jumlah 22 26,2 44 52,4 18 21,4 84 (100%)

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang melakukan pernikahan usia muda percaya pada kebudayaan masyarakat yaitu sebanyak 22 (26,2%) remaja putri. Responden yang sangat percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu sebanyak 15 (17,9%) remaja putri dan tidak percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu

sebanyak 5 (6,0%). Sebagian besar responden yang belum melakukan pernikahan usia muda percaya pada kebudayaan masyarakat yaitu sebanyak 22 (26,2%) remaja putri. Responden yang tidak percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu sebanyak 13 (15,4%) remaja putri dan sangat percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu sebanyak 7 (8,3%).

Analisis Bivariat Hubungan antara tingkat pendidikan remaja putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Tabel 5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Remaja Putri dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda pada Remaja Putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo

Tingkat Pendidikan

Pernikahan Usia Muda Total p-value OR Menikah Belum

Menikah f % f % f %

Dasar Menengah

36 6

42,9 7,1

16 26

19,0 31,0

52 32

61,9 38,1

0,0001 9,750

Jumlah 42 50 42 50 84 100

Berdasarkan Tabel 5, menyatakan bahwa subjek penelitian pada kelompok kasus (menikah) sebagian besar memiliki pendidikan dasar (SD/SMP) sejumlah 36 remaja (42,9%), sedangkan pendidikan menengah sejumlah 6 remaja (7,1%). Sedangkan pada kelompok kontrol (belum menikah) sebagian besar berpendidikan menengah (SMA) sejumlah 26 remaja (31,0%), sedangkan pendidikan dasar (SD/SMP) sejumlah 16 remaja (19,0%). Ini menunjukkan bahwa pernikahan usia muda lebih berpeluang terjadi pada remaja dengan

pendidikan dasar (SD/SMP) dibandingkan pendidikan menengah (SMA).

Berdasarkan uji Chi Square didapat p-value 0,0001. Oleh karena p-value = 0,0001 ≤ α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan remaja putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo. Hasil Odds Ratio yaitu 9,750 artinya remaja dengan pendidikan dasar memiliki peluang melakukan pernikahan usia muda 9,750 kali lebih besar dibanding remaja berpendidikan menengah.

Page 6: 1

6 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Hubungan antara pekerjaan remaja putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Tabel 6. Hubungan antara Pekerjaan Remaja Putri dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda pada Remaja Putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo

Pekerjaan Pernikahan Usia Muda Total p-value OR Menikah Belum Menikah

f % f % f % Bekerja Tidak Bekerja

9 33

10,7 39,3

14 28

16,7 33,3

23 61

27,4 72,6

0,328 0,545

Jumlah 42 50 42 50 84 100

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa remaja yang tidak bekerja yang menikah usia muda sejumlah 33 remaja (39,3%) dan yang belum menikah usia muda sejumlah 28 remaja (33,3%). Sedangkan remaja yang bekerja yang menikah usia muda sejumlah 9 remaja (10,7%) dan belum menikah usia muda sejumlah 14 remaja (16,7%).

Berdasarkan uji Chi Square didapat p-value 0,328. Oleh karena p-value = 0,328 > α

(0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo. Didapatkan hasil OR=0,545 yang dapat diartikan bahwa pekerjaan bukan merupakan faktor resiko untuk meningkatkan terjadinya pernikahan usia muda.

Hubungan antara kebudayaan di lingkungan sekitar tentang pernikahan usia muda dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Tabel 7.

Hubungan antara Kebudayaan Masyarakat dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda pada Remaja Putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo

Kebudayaan Masyarakat Pernikahan Usia Muda Total p-value OR Menikah Belum Menikah

f % f % f % Sangat Percaya Percaya Tidak Percaya

15 22 5

17,9 26,2 6,0

7 22 13

8,3 26,2 15,4

22 44 18

26,2 52,4 21,4

0,039 -

Jumlah 42 50 42 50 84 100 Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui

bahwa pada remaja menikah usia muda paling banyak percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu sejumlah 22 remaja (26,2%) dan yang belum menikah usia muda paling banyak juga percaya terhadap kebudayaan masyarakat yaitu 22 remaja (26,2%). Sedangkan remaja yang sangat percaya pada kebudayaan masyarakat yang menikah usia muda sejumlah 15 remaja (17,9%) dan yang belum menikah usia muda 7 orang (8,3%). Ini menunjukkan bahwa pernikahan usia muda lebih berpeluang terjadi pada remaja yang percaya dan sangat percaya kebudayaan masyarakat dibandingkan remaja yang tidak percaya.

Berdasarkan uji Chi Square didapat p-value 0,039. Oleh karena p-value = 0,039 ≤ α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebudayaan masyarakat dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo.

PEMBAHASAN Analisis Univariat Tingkat Pendidikan Remaja Putri

Penelitian ini menggunakan 84 responden dimana didapatkan hasil bahwa lebih banyak responden memiliki tingkat pendidikan dasar (SD/SMP), yaitu sejumlah 52 remaja (61,9%)

Page 7: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 7 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan menengah (SMA), yaitu sejumlah 32 remaja (38,1%). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kategori pendidikan dasar pada kelompok kasus terjadi pada sebagian besar dan hanya hampir sebagian saja yang berpendidikan menengah. Sedangkan dalam kelompok kontrol hasil penelitian berbanding terbalik dengan kelompok kasus.

Pada saat penelitian, paling banyak responden memiliki tingkat pendidikan dasar (SD/SMP), hal ini dikarenakan faktor ekonomi di lingkungan sekitar. Dimana banyak orang tua yang tidak membiayai kelanjutan sekolah anaknya dengan beralasan tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah, selain itu orang tua berpendapat bahwa remaja putri tidak perlu untuk sekolah terlalu tinggi karena biaya hidupnya kelak akan ditanggung oleh suami.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah dapat mempengaruhi pola pikir terbatas yang akan berdampak kepada perilaku individu (Romauli dan Vindari,2012). Dalam pemikiran yang terbatas ini remaja lebih memikirkan hal yang tidak begitu penting dalam hidupnya. Perilaku remaja tersebut seperti remaja yang lebih memfokuskan dirinya untuk memikirkan hal-hal menikah muda, hal ini dilakukan supaya lebih dihargai. Dengan pendidikan akan bertambah pengetahuan yang akan melandasi setiap keputusan-keputusan dalam menghadapi masalah kehidupan, sehingga perempuan akan lebih dihargai bila berilmu. Pekerjaan Remaja Putri

Dilihat dari status pekerjaan menggambarkan paling banyak responden tidak bekerja, yaitu sejumlah 61 remaja (72,6%) dibandingkan dengan responden yang bekerja, yaitu sejumlah 23 remaja (27,4%). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kategori tidak bekerja pada kelompok kasus dan kontrol terjadi pada sebagian besar dan hanya hampir sebagian saja yang bekerja.

Pada saat penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar remaja putri baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah yang menjadi responden di Desa Pagerejo tidak bekerja. Banyak remaja putri yang beralasan bahwa dengan pendidikan yang rendah tentunya mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan yang layak, selain itu umur yang masih muda dianggap bahwa remaja tersebut masih meminta uang saku

kepada orang tua, sehingga dengan tidak bekerja pun tidak menjadi masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagian besar mata pencaharian orang tuanya adalah sebagai petani, sehingga remaja putri tersebut merasa bahwa pekerjaan yang harus mereka lakukan secara turun temurun tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, akibatnya memilih untuk tidak bekerja.

Kebudayaan tentang Pernikahan Usia Muda

Dari hasil yang didapatkan dapat diketahui bahwa remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo, paling banyak masih percaya terhadap kebudayaan masyarakat, yaitu sejumlah 44 remaja (52,4%), sedangkan paling sedikit adalah tidak percaya yaitu 18 remaja (21,4%). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kategori percaya terhadap kebudayaan di lingkungan sekitar tentang pernikahan usia muda pada kelompok kasus terjadi pada sebagian besar remaja, kemudian diikuti remaja sangat percaya dan hanya hampir sebagian saja yang tidak percaya.

Pada saat penelitian, masih banyak remaja putri yang percaya terhadap kebudayaan tentang pernikahan usia muda di Desa Pagerejo. Anggapan-anggapan yang salah tentang pernikahan usia muda tidak hanya dipercaya oleh remaja putri, melainkan juga oleh masyarakat sekitar. Dari hasil kuisioner yang didapatkan bahwa dari sampel kasus dan kontrol paling banyak mepercayai kebudayaan bahwa pernikahan usia muda boleh dilakukan karena kedewasaan seseorang itu dinilai dengan status pernikahan. Berkembangnya kepercayaan terhadap kebudayaan tentang pernikahan usia muda tersebut terjadi karena kebiasaan saling berbicara dengan tetangga dan juga pada saat ada acara seperti arisan dan pengajian terkadang membahas tentang hal tersebut, sehingga kepercayaannya masih melekat. Analisis Bivariat Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo didapatkan p-value 0,0001. Oleh karena p-value = 0,0001 ≤ α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan remaja

Page 8: 1

8 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo. Hasil Odds Ratio yaitu 9,750 artinya remaja dengan pendidikan dasar memiliki peluang melakukan pernikahan usia muda 9,750 kali lebih besar dibandingkan remaja dengan pendidikan menengah.

Kategori tingkat pendidikan responden, sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan dasar yaitu 52 remaja, 36 remaja (42,9%) melakukan pernikahan usia muda dan 16 remaja (19,0%) belum melakukan pernikahan usia muda. Semakin tinggi pendidikan seseorang, informasi yang dimiliki lebih luas dan lebih mudah diterima termasuk informasi tentang kesehatan reproduksi, usia pernikahan yang baik dan dampak apabila melakukan pernikahan usia muda. Sedangkan bila tingkat pendidikan seseorang rendah maka akan berakibat terputusnya informasi yang diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih selain juga meningkatkan kemungkinan aktivitas remaja yang kurang. Dalam persepsi remaja tentang pernikahan dengan pendidikan lebih tinggi akan mengurangi risiko menikah usia muda (Rafidah,2009).

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kategori pendidikan dasar pada kelompok kasus terjadi pada sebagian besar dan hanya hampir sebagian saja yang berpendidikan menengah. Peran pendidikan dalam hal ini sangatlah penting, dalam mengambil keputusan oleh individu lebih condong dilihat sebagai perilaku. Pendidikan berpengaruh kepada sikap wanita terhadap kesehatan. Rendahnya pendidikan membuat wanita kurang peduli terhadap kesehatan. Wanita tidak mengenal bahaya atau ancaman kesehatan yang mungkin terjadi terhadap diri mereka. Sehingga walaupun sarana yang baik tersedia mereka kurang dapat memanfaatkan secara optimal karena rendahnya pengetahuan yang dimiliki. Faktor sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah erat hubungannya satu sama lain. Kualitas sumber daya manusia tergantung dari kualitas pendidikannya (Maryanti dan Septikasari,2009). Sedangkan dalam kelompok kontrol hasil penelitian berbanding terbalik dengan kelompok kasus. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan seseorang sangat menentukan dalam kehidupannya, baik dalam mengambil keputusan, penyikapan masalah, termasuk di dalamnya kematangan psikologis maupun

dalam hal lain yang lebih kompleks (Sarwono, 2007).

Pada kelompok kasus (melakukan pernikahan usia muda) memang banyak terjadi pada remaja dengan tingkat pendidikan dasar, namun terdapat juga remaja yang memiliki tingkat pendidikan menengah (SMA) yang melakukan pernikahan usia muda yaitu sebanyak 6 (7,1%) responden. Sebagian besar remaja putri tersebut beralasan bahwa setelah lulus SMA sudah waktunya untuk menikah. Pendapat seperti itulah yang sebaiknya dimusyawarahkan dengan orang tua mengenai kapan usia yang tepat untuk menikah.

Pada kelompok kontrol (belum melakukan pernikahan usia muda) memang banyak terjadi pada remaja dengan tingkat pendidikan menengah, namun terdapat juga remaja yang memiliki tingkat pendidikan dasar yang belum melakukan pernikahan usia muda yaitu sebanyak 16 (19,0%) responden, terdiri dari 1 responden memiliki tingkat pendidikan SD dan 15 responden tingkat pendidikan SMP. Remaja yang dengan tingkat pendidikan SD tersebut belum melakukan pernikahan usia muda karena memiliki pekerjaan sehingga lebih memiliki kesibukan dan tidak memiliki pemikiran untuk menikah. Untuk 15 responden dengan tingkat pendidikan SMP, yang bekerja ada 4 responden dan 11 responden tidak bekerja. Bagi responden yang tidak bekerja sebagian besar beralasan bahwa pernikahan itu dilakukan setelah mendapatkan pasangan yang tepat dan jangan terburu-buru dilaksanakan yang penting jangan sampai menjadi perawan tua.

Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil remaja melakukan pernikahan usia muda. Dengan menambah wawasan dan informasi tentang pernikahan, kesehatan reproduksi dan juga tentang kesehatan remaja tentunya dapat membantu remaja untuk mengambil keputusan dalam menentukan usia yang pantas untuk menikah terutama pada remaja putri. Dukungan keluarga dan lingkungan sekolah perlu dalam hal ini sehingga membantu remaja untuk memhami tentang pernikahan. Selain itu dukungan dari sektor kesehatan juga perlu dalam memberikan penyuluhan kepada remaja tentang pernikahan usia muda dan juga hal-hal lain yang berkaitan dengan kebutuhan waktu remaja.

Page 9: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 9 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

Hubungan pekerjaan remaja putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo p-value 0,328. Oleh karena p-value = 0,328 > α (0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo. Hasil OR=0,545 yang dapat diartikan bahwa pekerjaan bukan merupakan faktor resiko untuk meningkatkan terjadinya pernikahan usia muda.

Kategori pekerjaan responden, sebagian besar responden tidak bekerja yaitu 61 remaja, 33 remaja (39,3%) melakukan pernikahan usia muda dan 28 remaja (33,3%) tidak melakukan pernikahan usia muda. Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial, pendidikan serta masalah kesehatan. Pekerjaan dapat mengukur status sosial ekonomi serta masalah kesehatan dan kondisi tempat seseorang bekerja (Guttmacher,2005).

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kategori tidak bekerja pada kelompok kasus dan kontrol terjadi pada sebagian besar dan hanya hampir sebagian saja yang bekerja. Pada kelompok kasus (melakukan pernikahan usia muda) memang banyak terjadi pada remaja yang tidak bekerja, namun terdapat juga remaja bekerja yang melakukan pernikahan usia muda yaitu sebanyak 9 (10,7%) responden. Sebagian besar remaja putri tersebut beralasan bahwa usianya masih muda dan mencari pengalaman lewat bekerja lebih baik daripada memutuskan untuk menikah. Dilihat juga dari usia remaja yang masih muda yaitu dari 9 remaja terdapat 2 remaja berusia 18 tahun, 3 remaja berusia 17 tahun, 3 remaja berusia 16 tahun dan 1 remaja berusia 15 tahun.

Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian pernikahan usia muda ini didukung oleh teori dari Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pekerjaan merupakan salah satu bagian dari faktor sosial yang bersifat dinamis. Suatu lingkungan sosial tertentu tidak begitu saja memberi pengaruh yang sama kepada setiap orang, akan tetapi kebiasaan sosial akan memberi pengaruh terhadap kesehatan. Dengan teori tersebut, maka memberikan makna bahwa pengaruhnya

tidak langsung diterima oleh remaja sehingga antara remaja yang bekerja dan tidak bekerja tidak ada bedanya dalam mendapatkan pengaruh untuk melakukan pernikahan usia muda. Namun, kebiasaan di lingkungan sekitar yang bisa didukung dengan adanya kebudayaan yang lebih berpengaruh.

Menurut penelitian Rafidah (2009), yang mempengaruhi kejadian pernikahan usia muda jika ditinjau dari sudut pandang pekerjaan adalah bukan karena pekerjaan remaja putri, namun lebih dikarenakan pekerjaan dari orang tua remaja putri tersebut. Kehidupan seseorang sangat ditunjang oleh kemampuan ekonomi keluarga, sebuah keluarga yang berada di garis kemiskinan akan mengambil keputusan bahwa untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanita dikawinkan dengan orang-orang yang dianggap mampu.

Penelitian yang dilakukan di Nepal, bahwa kehidupan ekonomi berhubungan dengan status bekerja. Dikaitkan dengan status bekerja orang tua dimana status ekonomi orang tua yang tinggi akan lebih sedikit menerima pernikahan usia muda (Rafidah, 2009). Pernikahan membutuhkan persiapan yang matang, khususnya bidang persiapan ekonomi, sehingga dalam upaya memperoleh pekerjaan baik langsung atau tidak langsung akan mendewasakan atau menunda pernikahannya (BKKBN,2012).

Dapat disimpulkan bahwa status pekerjaan remaja putri tidak berhubungan dengan kejadian pernikahan usia muda. Namun, yang mempengaruhi kejadian pernikahan usia muda tersebut bukanlah dari saudut pandang pekerjaan remaja putri melainkan lebih ke pekerjaan orang tua. Dengan pekerjaan orang tua maka akan mencerminkan status sosial ekonomi dari keluarga remaja tersebut. Sehingga ada kebudayaan tentang pernikahan usia muda yaitu orang tua yang beralasan menikahkan anaknya karena desakan ekonomi Hubungan kebudayaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kebudayaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo didapatkan p-value 0,039. Oleh karena p-value = 0,039 ≤ α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebudayaan masyarakat dengan kejadian pernikahan usia

Page 10: 1

10 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kab. Wonosobo.

Kategori tingkat kepercayaan terhadap kebudayaan responden, sebagian besar responden percaya terhadap kebudayan di lingkungan sekitar yaitu 44 remaja, 22 remaja (26,2%) melakukan pernikahan usia muda dan 22 remaja (26,2%) tidak melakukan pernikahan usia muda.

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kategori percaya terhadap kebudayaan di lingkungan sekitar tentang pernikahan usia muda pada kelompok kasus terjadi pada sebagian besar remaja, kemudian diikuti remaja sangat percaya dan hanya hampir sebagian saja yang tidak percaya. Tentunya hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Darmawan (2010), yang menyatakan bahwa pernikahan usia muda dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu gadis belum menikah dianggap sebagai aib keluarga, status janda lebih baik daripada perawan tua dan kepercayaan bahwa orang tua takut anaknya dikatakan sebagai perawan tua. Sedangkan dalam kelompok kontrol hasil penelitian berbanding terbalik dengan kelompok kasus. Pada kelompok kontrol didapatkan sebagian remaja percaya dan tidak percaya pada kebudayaan sekitar, sedangkan untuk hasil sangat percaya sedikit jumlahnya.

Pada kelompok kasus (melakukan pernikahan usia muda) memang banyak terjadi pada remaja yang percaya terhadap kebudayaan sekitar, namun terdapat juga remaja yang tidak percaya terhadap kebudayaan namun melakukan pernikahan usia muda yaitu sebanyak 5 (6,0%) responden. Pada kelompok kontrol (belum melakukan pernikahan usia muda) memang banyak terjadi pada remaja yang percaya terhadap kebudayaan sekitar, namun terdapat juga remaja yang sangat percaya terhadap kebudayaan sekitar tetapi belum melakukan pernikahan usia muda yaitu sebanyak 7 (8,3%) responden.

Hasil kuisioner yang disebarkan ke responden, didapatkan bahwa sebagian besar remaja di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo paling percaya bahwa kebudayaan yang mempengaruhi kejadian pernikahan usia muda di desanya adalah kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan. Remaja yang berada pada fase meningkatkannya dorongan seksual selalu mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Remaja Indonesia mencakup

37% dari penduduk, tetapi informasi berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang ditujukan pada mereka dan yang mereka miliki sangat sedikit (Widyastuti,2009). Dalam masyarkat pedesaan kebiasaan gaya berfikirnya masih sederhana dimana masyarakat pedesaan lebih suka melihat sesuatu dari bentuk lahirnya saja. Sehingga anggapan dewasa hanya dilihat bukan dari usia tetapi dari status pernikahan.

Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengaruh kebudayaan di lingkungan sekitar yang dipercaya oleh remaja dan lingkungannya maka semakin besar remaja melakukan pernikahan usia muda. Sehingga diharapkan dengan kemajuan zaman maka remaja dan lingkungan seperti orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat mampu mengembangkan pemikirannya secara rasional dan tidak terpatok pada kebudayaan yang turun temurun ada. sehingga pemikiran tentang pernikahan dapat ditinjau dari keuntungan, dampak dan usia yang tepat untuk menikah, serta kesiapan dari remaja itu sendiri, sehingga dalam menentukan keputusan menikah tidak hanya semata-mata karena budaya yang ada di lingkungan masyarakat. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang pengambilan datanya menggunakan kuisioner tertutup. Dengan kuisioner tertutup ini responden tidak dapat memberikan informasi secara terbuka dan jawaban yang diberikan memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan apa yang dialaminya sehingga responden terkesan tidak jujur dalam memberikan jawabannya.

KESIMPULAN

Ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo.

Tidak ada hubungan antara pekerjaan remaja putri dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo.

Ada hubungan antara kebudayaan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo.

Page 11: 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri 11 Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

SARAN Diharapkan dapat memberikan peluang

untuk meningkatkan wawasan mahasiswa dalam menambah informasi tentang pernikahan usia muda dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Diharapkan sebagai tenaga kesehatan aktif dalam memberikan penyuluhan kepada remaja putri tentang pentingnya pengetahuan mengenai pernikahan ditinjau dari usia yang disarankan dan sesuai kesehatan reproduksi, pendidikan, pekerjaan dan kebudayaan yang mempengaruhi hal tersebut.

Diharapkan remaja putri dapat menambah wawasannya tentang pernikahan usia muda, mengikuti kegiatan yang positif dan bermanfaat agar dapat lebih belajar untuk mengenali diri dan mampu memilih teman untuk bergaul secara benar sehingga dapat terhindar dan tidak terjerumus pada perilaku yang mengakibatkan mengambil keputusan untuk menikah usia muda.

Diharapkan peneliti selanjutnya mampu mengembangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pernikahan usia muda lebih rinci sehingga dapat digunakan sebagai penambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pernikahan usia muda pada remaja putri.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anggraini, Y., dan Martini. 2011.

Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta : Rohima Press.

[2] Anita. (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pernikahan di Desa Genting Jambu Semarang. Diakses tanggal 20 Mei 2014 jam 07.30 WIB, dari http://jasapusperti.wordpress.com/2012/02/28/profil-upt-perpustakaan-ngudi waluyo-ungaran/

[3] Arikunto. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

[4] BKKBN. 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja. Kantor Wilayah Jawa Tengah.

[5] Dahlan, M. Sopiyudin. 2004. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Arkans.

[6] Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : PT Ghalia Indonesia.

[7] Darnita. (2013). Jurnal Karya Tulis Ilmiah : Gambaran faktor-faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini di Kemukiman Lhok Kaju Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie.Diakses tanggal 18 April 2014 jam 22.00 WIB, dari http://www.stikesbudiyah.ac.id/

[8] Departemen Pendidikan Nasional RI. 2010. Sistem Pendidikan Nasional. Diakses tanggal 10 Maret 2010 jam 07.00 WIB, dari http://www.depdiknas.go.id/content.php

[9] Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan.Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

[10] Guttmacher.2005.Into A New World : Young Women’s Sexual and Reproductive Lives.Diakses tanggal 19 Mei 2014 jam 16.00 WIB dari http://www.agi-usa.org/pubs/new_world_indo.html.

[11] Haditono, Siti Rahayu. 2006. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

[12] Hurlock, Elizabeth B. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta : Erlangga.

[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Pekerjaan. Diakses tanggal 18 Mei 2014 jam 01.00 WIB, dari http://kbbi.web.id/kerja.

[14] Landung, Ridwan Thaha dan A.Zulkifli Abdullah. (2009). Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja Jurnal MKMI, Vol.5 No.4, Oktober 2009Diakses tanggal 17 April 2014 jam 09.00 WIB, dari http : //universitashasanuddin-makassar.ac.id/

[15] Survey Demografi Kesehatan Indonesia.2012. Laporan Kesehatan Reproduksi Remaja. Mei. Jakarta.

[16] Maryanti, Dwi dan Majestika Septikasari. 2009. Kesehatan Reproduksi Teori dan Praktikum. Yogyakarta : Nuha Medika.

Page 12: 1

12 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pernikahan Usia Muda Pada Remaja Putri Di Desa Pagerejo Kabupaten Wonosobo

[17] Mulyana, Nandang dan Ijun Ridwan. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Usia Menikah Muda pada Wanita Dewasa Diakses tanggal 1 Juni 2014 jam 01.00 WIB, dari http://stikesayani.ac.id/

[18] Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta.

[19] Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

[20] Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983.Perkawinan.10 Mei 2014. Jakarta.

[21] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. 10 April 2014. Jakarta

[22] Rafidah, Ova Emilia dan Budi Wahyuni. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah Jurnal Kedokteran Masyarakat, Vol.25, No.2, Juni 2009, Semarang dari http : //perpus-ugm.ac.id/

[23] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Kejadian Pernikahan Usia Muda Remaja. Diakses tanggal 7 Mei 2014 jam 20.00 WIB.

[24] Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

[25] Romauli, Suryati dan Anna Vida Vindari. 2012. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.

[26] Rumini, Sri dan Siti Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : PT Asdi Mahasatya.

[27] Santjaka, Aris. 2009. Statistik untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

[28] Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja (Edisi Keenam). Jakarta : Erlangga.

[29] Sarwono, Sarlito W. 2013. Psikologi Remaja (Edisi Revisi).Jakarta : Rajawali Press.

[30] Saryono.2009. Metodologi Penelitian Kesehatan Penuntun Praktis Bagi Pemula.Yogyakarta : Mitra Cendekia Press.

[31] Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

[32] Siswanto, Yuliaji. 2011. Modul Mata Kuliah Biostatistik. PSKM-STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.

[33] Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak.Jakarta : EGC.

[34] Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta.

[35] Suharso dan Retnoningsih A. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang : Widya Karya.

[36] Suryanto dan Salamah. 2009. Riset Kebidanan : Metodologi dan Aplikasi Sakit. Yogyakarta : Mitra Cendekia Press.

[37] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974. Perkawinan. Jakarta.

[38] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

[39] Walgito, Bimo.2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : C.V.Andi Offset.

[40] Widyastuti, Yani dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.

[41] Willis, Sofyan. 2012. Remaja dan Masalahnya.Bandung : Alfabeta.

[42] WHO (World Health Organization). The Adolescence Information Definition. Diakses tanggal 15 Mei 2014 jam 19.29 WIB, dari http://www.who.int/

[43] Wonosobo Dalam Angka 2013. Diakses tanggal 10 April 2014 jam 09.00 WIB, dari http://bpswonosobo.go.id/