1

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saliva atau air liur merupakan cairan yang kompleks serta tidak berwarna yang berasal dari sekresi kelenjar saliva. Manusia memproduksi sebanyak 1000–1500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air, dan 0,5% lagi terdiri dari garam–garam, zat organik, dan zat anorganik. Unsur– unsur organik yang menyusun saliva antara lain protein, lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak, dan beberapa enzim. Enzim yang terdapat dalam saliva antara lain yaitu enzim amilase, enzim maltase, serta mukus. Unsur–unsur anorganik yang menyusun saliva antara lain sodium, kalsium, magnesium, bikarbonat, khloride, rodanida, dan thiocynate (CNS), fosfat, serta potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam saliva adalah kalsium dan natrium. Selain itu terdapat gas O 2 , gas CO 2 , NO 2, Ig A, Ig G, dan Ig M (Sherwood, 2002). Saliva memiliki beberapa fungsi, antara lain : 1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan. 2. Berperan dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran air yang 1

Transcript of 1

Page 1: 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saliva atau air liur merupakan cairan yang kompleks serta tidak

berwarna yang berasal dari sekresi kelenjar saliva. Manusia memproduksi

sebanyak 1000–1500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari

99,5% air, dan 0,5% lagi terdiri dari garam–garam, zat organik, dan zat

anorganik. Unsur–unsur organik yang menyusun saliva antara lain protein,

lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak, dan beberapa

enzim. Enzim yang terdapat dalam saliva antara lain yaitu enzim amilase,

enzim maltase, serta mukus. Unsur–unsur anorganik yang menyusun saliva

antara lain sodium, kalsium, magnesium, bikarbonat, khloride, rodanida, dan

thiocynate (CNS), fosfat, serta potassium. Yang memiliki konsentrasi paling

tinggi dalam saliva adalah kalsium dan natrium. Selain itu terdapat gas O2, gas

CO2, NO2, Ig A, Ig G, dan Ig M (Sherwood, 2002).

Saliva memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses

mengunyah dan menelan makanan.

2. Berperan dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut

dan gigi. Aliran air yang terus–menerus membantu membilas residu

makanan, melepaskan sel epitel, dan benda asing.

3. Pelarut molekul–molekul yang merangsang papil pengecap dan molekul

dalam larutan yang bereaksi dengan papil pengecap. Hanya molekul dalam

larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor papil pengecap.

4. Membantu diagnosa penyakit.

5. Mempunyai aktivitas anti bakterial dan sistem buffer.

6. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin

(amilase ludah) dan lipase ludah.

7. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena

terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva.

1

Page 2: 1

8. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang

keseimbangan air dalam tubuh.

9. Membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah)

10. Menjaga kelembaban pada mukosa mulut dan bibir.

Manusia memiliki kelenjar ludah yang dibagi atas kelenjar ludah utama

(mayor) dan kelenjar ludah tambahan (minor).

1. Kelenjar ludah utama atau mayor

Kelenjar–kelenjar ludah besar terletak agak jauh dari rongga mulut

dan sekretnya disalurkan melalui duktusnya ke dalam rongga mulut.

Kelenjar saliva mayor terdiri dari :

a. Kelenjar parotis, terletak di bagian bawah telinga di belakang ramus

mandibula.

b. Kelenjar submandibularis, terletak di bagian bawah korpus mandibula.

c. Kelenjar sublingualis, terletak dibawah lidah (Sherwood, 2002).

2. Kelenjar ludah tambahan atau minor

Kebanyakan kelenjar ludah merupakan kelenjar kecil yang terletak

di dalam mukosa atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari

pengeluaran ludah dalam 24 jam) yang diberi nama lokasinya atau nama

pakar yang menemukannya. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya

ke dalam rongga mulut. Kelenjar minor dapat dibagi sebagai berikut

(Guyton, 2004):

a. Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir

bawah dengan asinus–asinus seromukus.

b. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan

asinus-asinus seromukus.

c. Kelenjar Bladin–Nuhn ( Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian

bawah ujung lidah disebelah menyebelah garis, median, dengan asinus–

asinus seromukus.

d. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland: albuminous gland) terletak pada

pangkal lidah, dnegan asinus–asinus murni serus.

2

Page 3: 1

e. Kelenjar Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus–

asinus mukus. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula

lingualis posterior.

f. Kelenjar–kelenjar pada pallatum dengan asinus mukus.

B. Tujuan

Tujuan praktikum kali ini dilaksanakan adalah supaya mahasiswa

mengetahui dan melakukan percobaan seperti berikut ini:

1. Viskositas saliva

2. Buffer saliva

3. Reaksi reduksi gula pada saliva

4. Aktivitas enzim amylase saliva

5. Garam Ca pada saliva

C. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 28 April 2010 pada pukul

13.00–15.00 WIB di Laboratorium Jurusan Kedokteran Gigi Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto.

3

Page 4: 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Viskositas

Saliva adalah suatu cairan yang dalam keadaan istirahat memiliki

kepekatan (kental–dapat mengalir) sehingga tetap lama berada di dalam

mulut. Sifat kepekatan saliva ini terutama ditentukan oleh adanya musin.

Molekul musin dalam keadaan istirahat merupakan suatu anyaman sehingga

saliva menjadi sangat pekat, tetapi segera sesudah seseorang bicara,

mengunyah atau menelan, anyaman ini terganggu dan kepekatan saliva turun

dramatis (Amerongen, 1991).

Viskositas saliva dipengaruhi oleh laju alir dan komposisi saliva.

Viskositas saliva submandibula biasanya menurun dengan meningkatnya laju

alir saliva, hal ini dikarenakan sel serosa memiliki respon lebih besar terhadap

stimulasi dibandingkan sel yang mensekresikan musin. Kelenjar sublingual

mengandung predominan sel yang mensekresikan musin sehingga sekresinya

bersifat kental. Selain itu, peningkatan viskositas saliva dapat terjadi karena

stress emosional. Viskositas juga bervariasi secara langsung dengan

kandungan protein (Guyton, 2000).

Sekresi saliva dapat distimulus baik dari stimulus mekanik maupun

stimulus kimiawi. Stimulus mekanik tampak dalam bentuk gerak

pengunyahan sedangkan stimulus kimiawi tampak dalam bentuk efek kesan

pengecapan. Stimulus mekanik yang berupa pengunyahan akan meningkatkan

sekresi saliva yang tampak dalam kecepatan aliran saliva. Demikian juga

dengan stimulus kimiawi dalam efek kesan pengecapan. Proses mengunyah

merupakan stimulus mekanik yang merangsang peningkatan sekresi saliva

sedangkan pengecapan merupakan informasi sensorik yang berhubungan

dengan stimulus kimiawi yang dapat meningkatkan kecepatan aliran saliva.

Stimulus kimiawi dalam rongga mulut berhubungan dengan kesan

pengecapan dan sekresi saliva (Sherwood, 2002).

4

Page 5: 1

B. Buffer Saliva

Sistem bufer asam karbonat–bikarbonat, serta kandungan amonia dan

urea dalam saliva dapat menyangga dan menurunkan pH yang terjadi saat

bakteri plak sedang memetabolisme gula. Kapasitas bufer dan pH saliva erat

hubungannya dengan kecepatan sekresinya. Peningkatan kecepatan sekresi

saliva mengakibatkan naiknya kadar natrium dan bikarbonat saliva, sehingga

kapasitas bufer saliva pun meningkat. Peningkatan kapasitas bufer dapat

melindungi mukosa rongga mulut dari asam yang terdapat pada makanan saat

muntah. Selain itu, penurunan pH plak sebagai akibat ulah organisme akan

dihambat. Sistem bufer saliva membantu mempertahankan pH rongga mulut

sekitar 7,0 (Ganong, 1995).

C. Reaksi Reduksi Gula pada Saliva

1. HCl (Asam klorida)

Larutan asam klorida atau yang biasa kita kenal dengan larutan HCl

dalam air, adalah cairan kimia yang sangat korosif dan berbau menyengat.

HCl termasuk bahan kimia berbahaya atau B3 (www.usu.ac.id).

2. NaOH

Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima

proton dari Na+. Basa ini mengandung unsur dari golongan alkali, yakni

Natrium (Na+).

NaOH sering digunakan sebagai pelarut karena fungsi dan

efektifitasnya sangat banyak untuk menetralkan asam. NaOH dihasilkan

dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan basa kuat (Ansori dalam

Fauzan, 2001). NaOH sangat reaktif ketika bereaksi dengan lautan asam.

Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima proton

dari Na+ dari golongan alkali (www.usu.ac.id).

Ciri–ciri golongan alkali menurut Linggih (1998):

a. Reduktor kuat dan mampu mereduksi asam.

b. Mudah larut dalam air.

c. Merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas

5

Page 6: 1

d. Urutan kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berat

atom

3. Larutan Benedict

Larutan Benedict adalah varian dari larutan yang secara ensensial

sama, yang mengandung ion-ion tembaga (II) yang dikompleks dalam

sebuah larutan basa. Larutan Benedict mengandung ion-ion tembaga (II)

yang membentuk kompleks dengan ion-ion sitrat dalam larutan natrium

karbonat.

Glukosa yang terlihat dari hasil positif pada uji benedict yang

terbukti dengan terbentuknya warna merah bata pada tabung reaksi yang

telah dipanaskan. Warna merah bata yang terbentuk disebabkan oleh

glukosa memiliki gugus aldehid yang bebas sehingga dapat mereduksi ion-

ion tembaga (Cu) yang terdapat pada larutan benedict menjadi Cu2O yang

berwarna merah bata (www.gudangmateri.com).

Pada prinsipnya benedict digunakan untuk mengetahui apakah

suatu gula merupakan gula pereduksi atau bukan (mempunyai gugus

aldehida bebas). Reaksi Benedict akan menyebabkan larutan yang

berwarna biru akan berubah menjadi orange atau kuning (www.chem-is-

try.org).

D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva

1. Tanpa stimulasi

Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya

adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya

amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat

dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka.

Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar

mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik.

Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang,

sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang.

Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri

atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air

6

Page 7: 1

dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu

larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium

akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa

yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan

warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996).

Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam

sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan

bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan

oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang

terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah

menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996).

Pada reaksi hidrolisis parsial, amilum terpecah menjadi molekul-

molekul yang lebih kecil yang dikenal dengan nama dekstrin. jadi dekstrin

adalah hasil antara proses hidrolisis amilum sebelum terbentuk maltosa.

tahap-tahap dalam proses hidrolisis amilum serta warna yang terjadi pada

reaksi dengan iodium adalah sebagai berikut : Amilum terdiri atas dua

macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu

amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas

250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi

molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas

molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik

dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik.

Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang,

sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang.

Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri

atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air

dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu

larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium

akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa

yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan

warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996).

7

Page 8: 1

Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam

sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan

bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan

oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang

terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah

menjadi glukosa dalam bentuk maltosa. (Gilvery, 1996).

Tabel 1. Tahap hidrolisis:

2. Dengan pemanasan

Enzim adalah suatu protein dan dihasilkan oleh sel hidup. Enzim

adalah protein yang mempunyai fungsi khusus. Enzim bekerja dalam

mengkatalisis reaksi kimia (biokimia) yang berlangsung di dalam sel itu

sendiri. Amilase merupakan kelompok enzim hidrolase yang mengkatalisis

reaksi hidrolisis suatu substrat. Enzim α-amylase (dikenal juga sebagai

enzim ptyalin) yang berperan dalam mengkatalisis reaksi pemecahan pati

menjadi unsur penyusunnya yang lebih sederhana. Enzim ini dihasilkan

secara alami di mulut bersama–sama dengan saliva

(http://greenforce.files.wordpress.com).

Amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:

a. α-amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian

dalam molekul, karenanya disebut endoamilase.

8

Page 9: 1

b. β-amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian

dalam molekul, karenanya disebut eksoamilase.

c. Glukoamilase, yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non

pereduksi substrat pati (Winarno, 1986).

Bagan 1.1 Pengaruh enzim α-Amylase

(http://www.bem.fmipa.its.ac.id)

Prinsip percobaan ini adalah terbentuknya warna biru tua antara

amilum dan dengan yodium. Amilum setelah dihidrolisis oleh enzim α-

Amylase secara berturut–turut akan membentuk dekstrin dan oligosakarida

dengan masing–masing tingkat kemampuan yodium yang berbeda–beda.

amilodekstrin dengan yodium membentuk warna biru. Eritodekstrin

dengan yodium membentuk warna merah. Akrodekstrin dan maltosa tidak

berwarna. Disamping kerjanya sangat spesifik, kerja enzim juga sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diantaranya adalah faktor suhu dan pH

(keasaman).

Saliva yang mempunyai pH antara 6,0-7,4. Suatu kisaran yang

menguntungkan untuk kerja pencernaan dari α-amilase. Enzim ini bekerja

secara optimal pada pH 6,6 (Guyton dkk, 1997). Amilase saliva mulai

tidak aktif pada pH 4,0. Oleh karena itu, setelah makanan ditelan dan

masuk ke dalam lambung, proses hidrolisis oleh enzim amilase saliva tidak

9

Page 10: 1

berjalan lebih lama lagi. Aktivitas enzim ternyata dipengaruhi banyak

faktor. Faktor-faktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim.

Apabila faktor pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum,

maka kerja enzim juga akan maksimal. Beberapa faktor yang

mempengaruhi kerja enzim:

a. Substrat–Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat

cocok dengan enzim maka kinerja enzim juga akan optimal.

b. pH (keasaman)–Enzim mempunyai kesukaan pada pH tertentu. Ada

enzim yang optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang

optimal pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal

pada pH netral.

c. Waktu–Waktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan

efektivitas kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi maka kerja enzim

juga akan semakin optimum.

d. Konsentrasi atau jumlah enzim–Konsentrasi enzim berbanding lurus

dengan efektivitas kerja enzim. Semakin tinggi konsentrasi maka kerja

enzim akan semakin baik dan cepat.

e. Suhu–Seperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum

untuk kerjanya.

f. Produk Akhir – Reaksi enzimatis selalu melibatkan 2 hal, yaitu substrat

dan produk akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata dapat

menurunkan produktivitas kerja enzim

(http://greenforce.files.wordpress.com).

E. Garam Ca pada Saliva

Pada uji Kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat

endapan putih pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium

oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion

K+ yang terdapat dalam kalium oksalat (http://asic.lib.unair.ac.id).

Dengan terdapatnya kalsium tersebut di atas dapat menyebabkan

terjadinya kalkulus. Kalkulus Menurut Harty dan Ogston (1995), dahulu

disebut tartar atau calcareous deposits terdiri atas deposit plak yang

10

Page 11: 1

termineralisasi , yang keras yang menempel pada gigi. Kalkulus juga dapat

didefinisikan sebagai massa kalsifikasi yang terbentuk dan melekat pada

permukaan gigi ataupun objek solid lainnya di dalam mulut., kalkulus berasal

dari plak yang bercampur dengan zat kapur pada ludah sehingga lama-

kelamaan akan mengendap (usupress.usu.ac.id).

Kalkulus dimulai dengan pembentukan plak pada gigi. Permukaan

kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival selalu diliputi oleh plak gigi.

Bakteri plak diperkirakan memegang peranan penting dalam pembentukan

kalkulus, yaitu dalam proses mineralisasi, meningkatkan kejenuhan cairan di

sekitarnya sehingga lingkungannya menjadi tidak stabil atau merusak faktor

penghambat mineralisasi. Sumber mineral untuk kalkulus supragingival

diperoleh dari saliva, sedangkan kalkulus subgingival dari serum darah.

Kalkulus dapat dibersihkan dengan cara scalling (www.adln.lib.unair.ac.id).

Beberapa teori pembentukan kalkulus :

1. Teori CO

Berdasarkan teori ini pengendapan garam kalsium fosfat terjadi akibat

adanya perbedaan tekanan CO dalam rongga mulut dengan tekanan CO dari

ductus salivarius hal ini menyebabkan pH saliva meningkat sehingga larutan

menjadi jenuh.

2. Teori Protein

Pada konsentrasi tinggi, protein klorida saliva bersinggungan dengan

permukaan gigi sehingga protein tersebut akan keluar dari saliva, sehingga

mengurangi stabilitas larutannya dan terjadi pengendapan garam kalsium

fosfat.

3. Teori Fosfatase

Fosfatase berasal dari plak gigi, sel-sel epitel mati atau bakteri.

Fosfatase membantu proses hidrolisa fosfat saliva sehingga terjadi

pengendapan garam kalsium fosfat.

4. Teori Esterase

Esterase terdapat pada mikrorganisme, membantu proses hidrolisis

ester lemak menjadi asam lemak bebas yang dengan kalsium membentuk

kalsiumfosfat.

11

Page 12: 1

5. Teori Amonia

Saat tidur, aliran saliva berkurang, urea saliva akan membentuk

ammonia sehingga pH saliva naik sehingga terjadi pengendapan garam

kalsium fosfat.

6. Teori pembenihan

Plak gigi merupakan tempat pembentukan inti ion-ion kalsium dan

fosfor yang akan membentuk kristal inti hidroksi apatit dan berfungsi

sebagai benih kristal kalsium fosfat dari saliva jenuh

(www.bem.fmipa.its.ac.id).

Pada percobaan uji kalsium, semakin banyak larutan asam asetat encer

dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan

putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada saliva

tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga pembentukan

kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya, apabila dengan sedikit

tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah mampu membentuk endapan

putih pada dasar saliva, maka menunjukkan bahwa kadar asam pada saliva

rendah dan kadar kalsium pada saliva tinggi, maka kondisi ini memudahkan

pembentukan kalkulu (www.bem.fmipa.its.ac.id).

12

Page 13: 1

BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. pH meter

2. Asam cuka encer

3. HCl 1n

4. NaOH 1n

5. Larutan K-oksalat

6. Larutan kanji 1%

7. Larutan yodium

8. Larutan benedict

9. Kain kasa

10. Tabung reaksi

11. Beker glass

12. Piring porselen

13. Penangas air 37oC

14. Penangas air mendidih

15. Akuades

16. Lampu bunsen

B. Cara Kerja

1. Viskositas saliva

a. Kumurlah dengan akuades beberapa kali

b. Kain kasa dikunyah–kunyah

c. Ludah yang keluar dikumpulkan dalam gelas yang tersedia

d. Tingkat keasaman ludah diuji, dan

e. Perhatikan viskositasnya

2. Buffer saliva

a. Ambil saliva dan ukur menggunakan gelas ukur sebanyak 5 ml.

b. Masukkan ke tabung reaksi.

c. Tambahkan 5 tetes asam cuka encer.

13

Page 14: 1

d. Amati presipitasi.

e. Tuangkan saliva yang tercampur dengan asam cuka ke tabung lain

untuk melihat viskositasnya.

3. Reaksi reduksi gula pada saliva

a. Mengambil 2 ml ludah dan masukan ke dalam tabung reaksi yang

bersih.

b. Menambahkan ke dalam tabung reaksi 1 atau 2 ml HCl.

c. Panasi tabung itu selama 10 menit, dalam suatu penangas air mendidih.

d. Menetralkan dengan 1 atau 2 tetes NaOH.

e. Ujilah untuk reaksi reduksi gula dengan menambahkan ke dalam tabung

reaksi tersebut sebanyak 10 ml larutan benedict

f. Panasi sampai mendidh.

g. Mengamati perubahan warna yang terjadi dalam tabung tersebut.

4. Aktivitas enzim amilase saliva tanpa stimulasi

a. Tanpa stimulasi

1) Ambil 25 ml larutan kanji 1% , masukkan ke dalam beker.

2) Tambahkan 10 ml ludah kedalam gelas beker tadi dan aduk sampai

ludah dan kanji tercampur rata. Tunggu sekitar 3 menit.

3) Ambil 5 tetes campuran ludah-kanji masukkan dalam porselen.

4) Tambahkan 1 tetes larutan yodium kedalam porselen dan amati

perubahan yang terjadi.

5) Ulangi langkah no 4 dengan interval 1 menit sebanyak 5 kali sampai

reaksi yodium dengan kanji menjadi negatif.

6) Ambil 5 ml larutan ludah-kanji, masukkan dalam tabung reaksi yang

bersih.

7) Tambahkan larutan Benedict sebanyak 10 ml dan panasi beberapa

menit

8) Amati perubahan warna yang terjadi dalam tabung reaksi.

14

Page 15: 1

b. Dengan pemanasan

1) Mengambil sebanyak 25 ml larutan kanji 1 % lalu memasukannya ke

dalam gelas beker.

2) Menambahkan ke dalam gelas beker tersebut 10 ml ludah yang

sudah dipanaskan selama 10 menit terlebih dahulu kemudian

mengaduknya sampai tercampur rata kanji dengan ludah, lalu

mendiamkannya selama 3 menit.

3) Mengambil 5 tetes campuran ludah dan kanji lalu memasukannya ke

dalam piring porselen, kemudian menambahkan 1 tetes larutan

yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, lalu mengulangi hal ini

selama 5 tetes larutan yodium dengan jeda waktu tiap tetes 1 menit.

4) Mengambil sebanyak 5 ml campuran ludah kanji dan

memasukkannya ke dalam tabung reaksi, kemudian menambahkan

larutan benedic sebanyak 10 ml kemudian memanaskannya beberapa

menit.

5. Garam Ca pada saliva

a. Mengambil 5 ml saliva segar dan kemudian dimasukkan ke dalam

tabung reaksi bersih.

b. Menambahkan beberapa tetes larutan asam cuka dan beberapa tetes

larutan K oksalat ke dalam saliva segar tersebut

c. Amati perubahan yang terjadi pada tabung reaksi

15

Page 16: 1

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

No. Percobaan Hasil Pengamatan

1. Viskositas saliva Bersifat serous

pH: 9

2. Buffer saliva Pada bagian bawah tabung

tersentuk endapan garam dan

viskositas saliva pada saat di

tuang ke tabung lain menjadi lebih

encer (serus) dari saliva murni.

3. Reaksi reduksi gula pada saliva Terjadi perubahan warna dari biru

tua menjadi biru muda (warna

lebih cerah), dan terdapat endapan

yang melayang-layang setelah

dipanaskan.

4 a. Aktivitas enzim amilase saliva

tanpa stimulasi

Yodium: biru keabu-abuan lama-

lama menjadi lebih keruh

Benedict: tidak ada perubahan

karena benedictnya rusak

4 b. Aktivitas enzim amilase saliva

dengan pemanasan

Yodium: biru muda

Benedict: biru tua

5. Garam Ca pada saliva Terbentuk endapan berwarna

putih dan konsistensi kental

16

Page 17: 1

B. Pembahasan

1. Viskositas Saliva

Gambar 4.1 viskositas saliva

Hasil percobaan yang kami lakukan menunjukkan bahwa saliva

bersifat serous dengan nilai pH yaitu 9. Berdasarkan tinjauan pustaka,

ketika terdapat rangsangan mekanik di dalam mulut dengan bentuk gerak

pengunyahan, maka dapat meningkatkan sekresi saliva yang tampak

dalam kecepatan aliran saliva.

Selama proses mastikasi kecepatan sekresi bertambah 0,9 ml/menit

dan 70% hasil sekresi diproduksi oleh kelenjar parotis yang mensekresi

saliva bersifat serous sehingga viskositasnya encer. Hal ini dipengaruhi

oleh karena kelenjar parotis terletak di dekat otot masseter serta letak

duktus stensen yang bersilangan dengan otot masseter dan buccinator.

Poses mastikasi merupakan refleks sederhana atau tidak terkondisi.

Refleks saliva sederhana (tidak terkondisi) terjadi sewaktu kemoreseptor

atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut merespon terhadap adanya

makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptor–reseptor tersebut memulai impuls

diserat saraf aferen yaitu n. Glossofaringeus (CN.IX) yang membawa

informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva yaitu pada

kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis yang ada pada bagian

nukleus salivatorius superior (NSS) dan pada glandula parotidea pada

bagian nukleus salivatorius inferior (NSI). Pusat saliva kemudian

mengirimkan impuls melalui saraf otonom ekstrinsik (eferen) ke kelenjar

17

Page 18: 1

liur untuk meningkatkan sekresi air liur karena adanya reseptor tekanan

yang terdapat di mulut. Jaras eferen pada glandula submandibula dan

glandula sublingual diinervasi oleh n. Facialis (CN.VII) sedangkan

glandula parotis diinervasi olah n. Glossofaringeus (CN. IX) (Sherwood,

2002).

Pada proses mastikasi dengan diikuti oleh stimulus seperti

pengunyahan kasa akan meningkatkan saliva sekitar tiga kali dari semula.

Reseptor yang ada pada otot mastikasi, temporo mandibular joint, ligamen

periodontal dan mukosa akan melanjutkan proses mastikasi sehingga

nuklei salivarius meningkat dan saraf parasimpatik bekerja. Adanya kerja

dari saraf parasimpatik menyebabkan saliva yang disekresikan bersifat

serous (encer).

Pada hasil praktikum yang telah dilaksanakan dihasilkan bahwa

sekresi dengan stimulasi kasa memiliki pH 9. Hal ini menunjukan bahwa

dengan stimulasi mekanis (kasa) dapat mempengaruhi kecepatan sekresi

saliva yang mana dapat meningkatkan konsentrasi ion bikarbonat

sehingga dapat menaikkan pH saliva.

2. Buffer Saliva

Gambar 4.2 Endapan yang terbentuk

Larutan penyangga (buffer) adalah larutan yang dapat menjaga

(mempertahankan) pH-nya dari penambahan asam, basa, maupun

pengenceran oleh air. pH larutan buffer tidak berubah (konstan) setelah

18

Page 19: 1

penambahan sejumlah asam, basa, maupun air. Larutan buffer mampu

menetralkan penambahan asam maupun basa dari luar (Raymond,2007).

Semua cairan tubuh harus merupakan larutan buffer, agar pH selalu

konstan saat metabolisme berlangsung. Ada dua jenis larutan buffer yaitu

buffer asam dan buffer basa, komponen buffer asam adalah asam lemah

dan basa konyugasinya, sedang buffer basa terdiri dari basa lemah dan

konyugasinya. Sifat larutan buffer adalah:

a. pH larutan tidak berubah jika diencerkan

b. pH larutan tidak berubah jika ditambahkan kedalamnya sedikit asam

atau basa (www.dikmenum.go.id).

Enzim memiliki sifat bekerja pada pH tertentu dan enzim akan

menjadi inaktif atau rusak jika pHnya melebihi atau kurang pada pH yang

seharusnya. Pada enzim di saliva misalnya enzim amylase akan bekerja

pada kondisi pH mulut yang normal yaitu kurang lebih 7 dan pH optimum

adalah 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas

enzim (www.woodrow.org).

Saat saliva diberi asam cuka, secara otomatis keadaan pH akan

terpengaruh secara tiba-tiba dan mempengaruhi kinerja dari enzim

tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim di mana sifat

enzimatik dan biologis dari enzim mengalami gangguan, sehingga

mengakibatkan terjadinya presipitasi garam yang akhirnya mempengaruhi

konsistensi atau viskositas dari saliva menjadi lebih kental

(www.woodrow.org).

Di dalam saliva juga terdapat protein–protein. Selain kerja enzim

yang terhambat oleh penambahan asam asetat encer, pada saat itu protein

juga akan mengalami denaturasi sehingga terbentuk suatu endapan. Hasil

pengamatan yang kita peroleh berupa larutan yang semakin keruh jika

dibandingkan dengan larutan semula. Kekeruhan ini merupakan indikasi

jika di dalam larutan tersebut terbentuk endapan dan pada beberapa saat

kemudian akan terbentuk endapan pada bagian bawah tabung. Endapan

tersebut merupakan protein (www.biochemia.amb.edu.pl).

19

Page 20: 1

Pada percobaan didapatkan hasil yang berbeda yaitu viskositas

saliva menjadi lebih encer (serus) dari sebelumnya. Hal tersebut

disebabkan karena komponen utama dari penuyusun serus yang

mempunyai sifat lebih encer adalah protein dan enzim. Dengan adanya

protein dan enzim yang mengendap, maka konsentrasi dari serus menjadi

rendah sehingga viskositasnya juga menjadi lebih encer.

3. Reaksi reduksi gula pada saliva

Penambahan HCl pada saliva dalam reaksi reduksi gula berfungsi

dalam menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa

memiliki sifat mereduksi pereaksi Benedict. Untuk menetralkan asam

ditambahkan NaOH (www.adln.lib.unair.ac.id).

Menurut Harper (2009), saliva setelah diuji dengan Benedict, maka

warna larutan menjadi kuning keruh dan terdapat endapan yang

menandakan bahwa glukosa memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi

ion Cu2+ menjadi Cu+ dengan menghasilkan endapan Cu2O.

Pada percobaan reduksi gula pada saliva yang telah dilakukan

menggunakan larutan benedict terjadi perubahan warna dari biru tua

menjadi biru muda atau warna larutan menjadi lebih cerah dan terdapat

endapan berwarna biru keputih-putihan yang melayang-layang.

Seharusnya dalam saliva yang telah ditambahkan larutan benedict

warna larutan berubah menjadi kuning-orange (www.chem-is-try.org).

Dengan adanya perbedaan antara hasil percobaan dengan tinjauan pustaka

yang ada, maka dilakukan percobaan menggunakan aquades yang

dicampur gula dan ditambahkan 4 tetes larutan benedict. Kemudian

dipanaskan sampai mendidih. Namun hasilnya tetap saja, larutan tetap

berwarna biru muda tidak berubah warna menjadi kuning.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan pada benedict yang

digunakan untuk percobaan tersebut, sehingga saliva yang telah ditambah

larutan benedict tidak berubah warna menjadi kuning.

20

Page 21: 1

Gambar 4.3 Campuran saliva dan HCL setelah dipanaskan

Gambar 4.4 Campuran saliva, HCl, dan NaOH

Gambar 4.5 Saliva setelah dicampur benedict

21

Page 22: 1

Gambar 4.6 Campuran saliva dan benedict setelah dipanaskan

Gambar 4.7 Larutan gula yang dicampur benedict sebelum dipanaskan

Gambar 4.8 Larutan gula dan benedict setelah dipanaskan

22

Page 23: 1

4. Aktivitas enzim saliva

a. Tanpa stimulasi

Hasil yang didapat pada pemeriksaan yodium menujukkan

adanya perubahan warna pada larutan kanji-saliva yang ditetesi yodium.

Dari tetesan pertama yang berwarna biru keabuan menjadi lebih gelap

pada tetesan-tesan berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya rekasi

antara amylum dalam kanji yang diubah menjadi maltosa oleh enzym

amilase pada saliva. Hasil yang seharusnya didapatkan adalah dengan

pengujian yod, adalah warna larutan menjadi sama dengan warna yod

dengan melalui proses perubahan warna tertentu. Perubahan warna

tersebut merupakan hasil antara hidrolisis amilum menjadi glukosa

yang melalui tahap hidrolisis menjadi dekstrin.

Gambar 4.9 Larutan kanji-saliva ditambah yodium tetes 1

Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam

sehingga menghasilkan glukosa. Hidrolisis juga dapat dilakukan dengan

bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang

dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap

amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase,

amilum diubah menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996).

Pemeriksaan dengan larutan benedict, seharusnya memberikan

hasil perubahan warna dari biru menjadi oranye kekuningan setelah

dipanaskan yang menunjukkan adanya reaksi glukosa dengan larutan

benedict. Perubahan warna tidak terjadi karena larutan benedict yang

digunakan sudah rusak dan tidak berfungsi.

23

Page 24: 1

Gambar 4.10 Larutan kanji-saliva ditambah benedict awal.

Gambar 4.11 Larutan kanji-saliva ditambah benedict setelah pemanasan

b. Dengan pemanasan

Pada percobaan menggunakan saliva sebanyak 10 ml yang telah

dipanaskan terlebih dahulu selama 10 menit kemudian mencampur

dengan larutan kanji sebanyak 25 ml kemudian mendiamkannya selama

3 menit hasilnya berwarna jernih, sedangkan pada percobaan berikutnya

yaitu mengambil 5 tetes dari campuran larutan kanji dan saliva lalu

menuangkannya ke piring porselen kemudian menambahi 1 tetes

larutan yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, dan terus seperti

itu sampai 5 tetes, hasilnya berubah dari jernih menjadi biru tua ini

24

Page 25: 1

berarti amilum berubah menjadi maltosa. Sedangkan pada pengamatan

5 ml saliva yang menambahkan larutan benedic sebanyak 10 ml lalu

memanaskannya selama beberapa menit hasilnya juga sama yaitu

berubah dari jernih menjadi warna biru ini berarti amilum tidak berubah

menjadi maltosa, seharusnya percobaan ini menghasilkan warna orange,

ini disebabkan oleh larutan benedic nya mengalami kerusakan.

Hal ini disebabkan oleh pengaruh pH, suhu dan konsentrasi

substrat terhadap enzim. Jika semakin tinggi suhunya, enzim akan lebih

mudah dijadikan inaktif. Suatu enzim dapat bekerja dengan baik bila

faktor tersebut berada dalam keadaan optimum. Keadan optimum

berbeda-beda untuk setiap enzim.Warna jernih dapat terbentuk

disebabkan amilum yang berikatan dengan Iod membentuk warna biru

telah mengalami proses hidrolisis menjadi maltosa dan dekstrin yang

tidak menimbulkan warna apabila berada dalam larutan yodium.

Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim

mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik

akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi.

Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai

batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut

dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang

mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi

yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan

terjadi.

Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar

yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim

dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka

semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.

25

Page 26: 1

Gambar 4.12 Gambar 4.13

Campuran larutan kanji dan saliva sebelum ditetesi 1 tetes larutan yodium

Ditetesi larutan yodium dan benedic

Gambar 4.14 Gambar 4.15

Ditetesi 2 tetes larutan yodium Ditetesi 3 tetes larutan yodium

Gambar 4.16 Gambar 4.17

Ditetesi 4 tetes larutan yodium Ditetesi 5 tetes larutan yodium

26

Page 27: 1

Gambar 4.18 Ditetesi larutan benedic setelah dipanaskan

5. Garam Ca pada saliva

Gambar 4.19 Sebelum : belum tampak endapan

27

Page 28: 1

Gambar 4.20 Sesudah : telah tampak endapan putih di dasar saliva

Pada percobaan uji kalsium pada saliva ini diperoleh hasil bahwa

terjadi endapan berwarna putih pada dasar saliva dan konsistensi saliva

lebih kental daripada sebelumnya setelah saliva segar sebanyak 5ml diberi

beberapa tetes larutan asam asetat encer dan diberi beberapa tetes larutan

K- Oksalat. Pengendapan tersebut terjadi setelah saliva ditetesi masing –

masing 5 tetes larutan asam asetat encer dan juga 5 tetes larutan K oksalat.

Sesuai dengan tinjauan pustaka di atas, endapan putih tersebut adalah

kalsium oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat

menggeser ion K+ yang terdapat dalam kalium oksalat

(http://asic.lib.unair.ac.id).

Jadi, pada percobaan ini, semakin banyak larutan asam asetat encer

dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan

putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada

saliva tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga

pembentukan kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya,

apabila dengan sedikit tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah

mampu membentuk endapan putih pada dasar saliva, maka menunjukkan

bahwa kadar asam pada saliva rendah dan kadar kalsium pada saliva

tinggi, maka kondisi ini memudahkan pembentukan kalkulus.

28

Page 29: 1

BAB V

SIMPULAN

Dari beberapa percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan antara

lain adalah sebagai berikut:

1. Viskositas saliva pada percobaan dengan stimulasi pengunyahan kasa

menghasilkan pH 9 dan encer. Viskositas saliva akan menurun apabila sekresi

saliva semakin meningkat. Volume saliva dapat meningkat akibat adanya

rangsangan mekanik misalnya pengunyahan.

2. Saliva mempunyai fungsi sebagai buffer ketika kondisi saliva asam terbukti

adanya endapan.

3. Hasil reaksi reduksi gula saliva terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi biru

muda dan terdapat endapan yang melayang-layang pada. Fungsi HCl adalah

menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa memiliki

sifat mereduksi pereaksi benedict. setelah diuji dengan benedict, warna larutan

seharusnya kuning keruh dan terdapat endapan yang menandakan glukosa

memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dan akan

mengendap sebagai Cu2O.

4. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring peningkatan suhu sampai

batas optimum. Suhu optimum enzim amilase salivarius adalah 37oC, sama

dengan suhu normal tubuh. Enzim memiliki aktivitas maksimal pada pH

optimum yaitu 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas

enzim. Apabila keadaan suhu maupun pH tidak sesuai keadaan normal, maka

akan terjadi denaturasi enzim, dimana fungsi enzimatik dan biologi dari enzim

mengalami kerusakan. Hal ini mempengaruhi fungsi dari saliva adalah fungsi

dari enzim amilase yang memecah polisakarida menjadi disakarida, yang dapat

diamati melalui indikator iodium.

5. Pada uji kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat endapan putih

pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium oksalat. Saliva

memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion K+ yang

terdapat dalam kalium oksalat.

29

Page 30: 1

DAFTAR PUSTAKA

Amerongen, A.N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti Penting bagi Kesehatan

Gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Chang, Raymond. 2007. Chemistry Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill.

Ganong, 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Gilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3.

Airlangga University Press: Surabaya.

Guyton, dan Hall. 2004. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Harper. 2009. Biokimia. Jakarta: EGC.

Harty, F. J., R. Ogston.1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC

Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.

http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Kus%20%3B%20Peran%202.pdf,

diakses pada tanggal 29 April 2011.

http://greenforce.files.wordpress.com, diakses 29 April 2011.

http://usupress.usu.ac.id/files/Menuju%20Gigi%20dan%20Mulut%20Sehat

%20_Pencegahan%20dan%20Pemeliharaan__Normal_bab%201.pdf,

diakses pada tanggal 29 April 2011.

www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-probosarin-

1108&PHPSESSID=633b, diakses pada tanggal 29 April 2011.

www.bem.fmipa.its.ac.id/download/SAINTEK/Jurnal/praktikum-enzim-petunjuk-

kerja.pdf, diakses pada tanggal 29 April 2011.

www.biochemia.amb.edu.pl/stoma.html, diakses tanggal 28 April 2011.

www.chem-is-try.org/tanya_pakar/

bagaimana_prinsip_kerja_reaksi_fehling_tollens_dan_benedict/, diakses

tanggal 29 April 2011.

www.dikmenum.go.id, diakses tanggal 28 April 2011.

www.gudangmateri.com/2010/02/biokimia-karbohidrat.html, diakses tanggal 28

April 2011.

www.woodrow.org/teachers/ci/1988/starch.html. diakses tanggal 28 April 2011.

30