1537 4204-1-sm

17
Hubungan Antara Pola Asuh Permisif Dengan Intensi Bullying Pada Siswa- Siswi Kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Imanda Arief Rahmawan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada Siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas Vlll SMP 4 Muhammadiyah Yogyakarta sebanyak 125 orang terdiri dari empat kelas. Metode pengumpulan data yang digunakan metode skala, yaitu skala pola asuh permisif dan intensi bullying. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) = -0,206, koefisien determinan (r 2 ) = 0,042 dengan kesalahan p = 0,021 (p<0,05). Hasil ini menginformasikan bahwa tingginya intensi bullying diikuti oleh rendahnya pola asuh permisif. Sebaliknya semakin rendah pola asuh permisif akan diikuti dengan tingginya intensi bullying. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Kata Kunci :, Intensi Bullying, Pola Asuh Permisif Abstract This study aimed to determine the relationship between permissive parenting with the intention of bullying on students SMP Muhammadiyah Yogyakarta 4. The subjects were all students in grade 4 Vlll SMP Muhammadiyah Yogyakarta as many as 125 people, consisting of four classes. Data collection methods used method of scale, ie the scale of permissive parenting and bullying intentions. The data obtained were then analyzed using the techniques of the Pearson product moment correlation. The relationship is shown by the correlation coefficient (r) = -0.206, determinant coefficient (r2) = 0.042 p = 0.021 with errors (p <0.05). These results inform that the high intensity followed by low bullying permissive parenting. Conversely the lower permissive parenting will be followed by a high intensity of bullying. Based on these results the hypothesis is rejected. Keywords: intention of bullying and permissive parenting

Transcript of 1537 4204-1-sm

Page 1: 1537 4204-1-sm

Hubungan Antara Pola Asuh Permisif Dengan Intensi Bullying Pada Siswa-

Siswi Kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta

Imanda Arief Rahmawan

Fakultas Psikologi

Universitas Ahmad Dahlan

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh

permisif dengan intensi bullying pada Siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta.

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas Vlll SMP 4 Muhammadiyah

Yogyakarta sebanyak 125 orang terdiri dari empat kelas. Metode pengumpulan

data yang digunakan metode skala, yaitu skala pola asuh permisif dan intensi

bullying. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik

korelasi product moment dari Pearson. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh

koefisien korelasi (r) = -0,206, koefisien determinan (r2) = 0,042 dengan

kesalahan p = 0,021 (p<0,05). Hasil ini menginformasikan bahwa tingginya

intensi bullying diikuti oleh rendahnya pola asuh permisif. Sebaliknya semakin

rendah pola asuh permisif akan diikuti dengan tingginya intensi bullying.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini ditolak.

Kata Kunci :, Intensi Bullying, Pola Asuh Permisif

Abstract

This study aimed to determine the relationship between permissive parenting

with the intention of bullying on students SMP Muhammadiyah Yogyakarta 4.

The subjects were all students in grade 4 Vlll SMP Muhammadiyah Yogyakarta

as many as 125 people, consisting of four classes. Data collection methods used

method of scale, ie the scale of permissive parenting and bullying intentions. The

data obtained were then analyzed using the techniques of the Pearson product

moment correlation. The relationship is shown by the correlation coefficient (r) =

-0.206, determinant coefficient (r2) = 0.042 p = 0.021 with errors (p <0.05). These

results inform that the high intensity followed by low bullying permissive

parenting. Conversely the lower permissive parenting will be followed by a high

intensity of bullying. Based on these results the hypothesis is rejected.

Keywords: intention of bullying and permissive parenting

Page 2: 1537 4204-1-sm

Pendahuluan

Sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman, nyaman dan dapat mendukung

siswa-siswi untuk berkembang secara mental, fisik, emosional, dan sosial

(Woolfolk, 2009). Sekolah juga diartikan sebagai sarana untuk menimbah ilmu,

wawasan serta menciptakan lingkungan pembelajaran bagi siswa-siswinya

didukung oleh guru sebagai mediator untuk menyiapkan siswa-siswinya menjadi

penerus bangsa dengan harapan siswa mampu bersaing serta menghasilkan karya-

karya otentik dan berguna bagi bangsa Indonesia.

Sekolah harus memiliki peraturan dan pengawasan yang konsisten agar

tercipta kondisi yang kondusif bagi siswa untuk beraktivitas dan bermain di

lingkungan sekolah. Kelalaian dalam menegakkan aturan dan pengawasan yang

kurang konsisten akan menimbulkan masalah yang beragam. Berbagai macam

permasalahan yang terjadi di sekolah diantaranya adalah tawuran, bolos sekolah,

bermain di dalam kelas sampai dengan bullying.

Brook (2011) menjelaskan bahwa anak melakukan lebih banyak pelanggaran

aturan ketika anak berada di lingkungan yang penuh aturan atau tidak ada

peraturan, tercermin dari beberapa kasus seperti anak-anak bolos sekolah, tawuran

dan tindak kekerasan bullying. Hal itu diperkuat oleh Rigby (2002), menyatakan

bahwa sekolah menjadi titik awal terjadinya bullying dan tidak diragukan lagi

bahwa intimidasi terjadi di sekolah dan menyebabkan beberapa anak menderita,

minimnya pengawasan dari sekolah, ketidakpedulian teman-teman dan kurangnya

perhatian orang tua menjadi dugaan alasan meluasnya kecenderungan bullying .

Bullying bukanlah fenomena yang baru dan masalah ini telah lama

didiskusikan. Secara umum bullying adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji

yang bertujuan untuk melukai atau menanamkan ketakutan melalui ancaman

agresi lebih lanjut dan menciptakan teror (Coloroso, 2003). Bowers, Smith, &

Binney (Lee, 1994) menyatakan bullying tersistematis, terjadi berulang-ulang, dan

mencakup berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh

pelaku bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-

bayangi rasa takut.

Olweus (Krahe, 2005) menambahkan bullying adalah tindakan negatif yang

diarahkan kepada seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi

dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying dianggap sebagai perilaku berkelanjutan

yang berusaha mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Kondisi ini

akan terus terjadi di sekolah salah satunya karena keengganan dan pembiaran dari

kelompok sebaya untuk memberikan informasi serta ketidakberanian korban

untuk melaporkan kejadian bullying (Routledge, 2003).

Beberapa penelitian tentang bullying telah dilakukan di berbagai negara,

seperti penelitian Ross (Carter & Spencer 2006) pada tahun 1985 dimana

perkiraan 15% pelajar sekolah di Norwegia terlibat dalam kasus bullying.

Penelitian selanjutnya di Amerika dengan sampel sebanyak 609 pelajar

sekolah hasilnya ada kenaikan yang signifikan dalam melakukan tindakan

bullying. Sebanyak 50% pelajar melakukan tindakan bullying secara verbal

(Carter & Spencer, 2006). Penelitian di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh

Siswati (2009) berkaitan dengan prosentase siswa yang mengalami bullying dan

bertujuan untuk mengetahui gambaran dari bullying yang terjadi di SD Negeri

Page 3: 1537 4204-1-sm

Semarang. Total sampel pada penelitian ini sebanyak 78 siswa dari kelas 3 sampai

kelas 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 37,55% siswa menjadi korban

bullying, di antaranya siswa yang mengalami intimidasi fisik sebanyak 42,5% dan

yang mengalami intimidasi non fisik sebanyak 34,06%.

Ada empat bentuk dari bullying yaitu fisik seperti menendang, memukul

dan menganiyaya, bullying secara verbal seperti menghina, menggosip dan

memberi nama ejekan pada korbannya, secera isyarat tubuh seperti mengancam,

dengan gerakan-gerakan dan secara berkelompok seperti membentuk kolisi serta

menghasut orang lain untuk mengucilkan seseorang (Rigby, 2002).

Salah satu penyebab bullying adalah pola asuh keluarga. Keluarga

seharusnya menjadi agen sosial bagi anak-anak muda. Orang tua, saudara dan

pengasuh memberikan contoh pada anak bagaimana mengontrol emosi,

berhadapan dengan konflik, mengatasi masalah dan mengembangkan

keterampilan hidup lainnya (Susan dkk, 2009). Kesibukan bekerja membuat

orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk membina dan mengawasi anak.

Minimnya pengawasan orang tua serta kurang pahamnya keluarga dalam

mendidik, membuat anak kurang terkontrol atau tidak patuh sehingga anak sangat

sulit diatur. Jika kondisi ini terus terjadi maka akan menimbulkan dampak yang

negatif pada anak.

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi munculnya bullying di sekolah

diduga salah satunya adalah pola asuh permisif. Pola asuh yang diterapkan orang

tua kepada anaknya dapat memberi makna yang ambigu (Hurlock, 1990). Orang

tua permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri,

hanya membuat sedikit batasan dan membiarkan anak memonitor aktivitas

sendiri, namun orang tua tetap bersikap hangat, tidak mengontrol, dan tidak

menuntut anak (Papalia dkk, 2009). Pola asuh permisif ini memberikan keluasaan

kepada anak untuk mengekspresikan pendapat dan aktivitas yang diminati

sementara orang tua tidak menuntut banyak kepada anak dan seolah-olah tidak

terlibat didalamnya. Salah satu alasan adalah kesibukan orang tua, dampaknya

anak yang dididik dengan pola asuh permisif cenderung kurang matang dan

kurang memiliki kontrol diri sehingga anak sering melanggar norma serta kurang

memiliki etika, dampaknya adalah anak akan membentuk perilaku dan karakter

diri yang tidak stabil. Krahe (2005) menyatakan bahwa hubungan antara orang

tua-anak yang renggang akan menghasilkan pola perilaku anti sosial.

Kondisi anak yang tidak stabil akan sangat mudah dipengaruhi dan

memunculkan beragam reaksi emosi (Susan dkk, 2009). Santrock (Siddiqah dan

Helmi, 2005) menambahkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri akan

mengalami banyak masalah dan muncul frustasi dimana kondisi tersebut akan

menyebabkan munculnya perilaku menyimpang pada siswa salah satunya adalah

bullying.

Intervensi orang tua dan sekolah sangat dibutuhkan untuk menciptakan

iklim pembelajaran yang produktif. Orangtua bertanggung jawab dan memberikan

dukungan positif agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, sedangkan sekolah

mempersiapkan program, metode dan aturan-aturan untuk perkembangan anak.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh

permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta.

Page 4: 1537 4204-1-sm

Sekolah ini memiliki tujuan melaksanakan kegiatan yang bersifat fardhu kifaya

maupun fardhu‘ain, melaksanakan ajaran islam yang bersifat teori maupun

praktek serta melaksanakan tata tertib secara konsiten. Sekolah ini memiliki visi

mencetak siswa-siswinya bekepribadian muslim, cerdas, berprestasi dan

berwawasan teknologi.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 21 September 2012 dan 22

September 2012 dengan dua guru BK didapatkan data adanya indikasi bullying

pada siswa kelas Vlll seperti berkata kasar seperti “asu koe” dan mengejek teman-

temannya. Kemudian hasil wawancara dengan dengan mahasiswa BK yang

sedang praktik di SMP Muhammadiyah 4 didapati data indikasi intensi bullying

dalam bentuk verbal yaitu mengejek salah satu murid dengan panggilan-panggilan

yang tidak menyenangkan seperti “gendut”. Selanjutnya hasil wawancara dengan

tiga siswa SMP Muhammadiyah 4 didapati indikasi intensi bullying dalam bentuk

fisik yaitu mencekik teman perempuannya, memukul dan mempermainkan sepatu

salah satu temannya.

Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 21 September 2012 dan 22

Sepetember 2012 dilokasi sekolah seperti kelas, kantin, taman dan tangga sekolah

SMP Muhammadiyah 4 diperoleh data bahwa seorang siswa menunjukkan

perilaku menyerang dengan cara mencekik dan menarik jilbab pada salah satu

siswi, beberapa siswa terlihat merebut dan mempermainkan sepatu salah satu

temannya dan mengganggu siswa lain didalam kelas.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan peneliti tertarik untuk mengetahui

hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP

Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Permisif dengan Intensi bullying.”

1. Pengertian Intensi Bullying

Intensi adalah suatu bentuk perilaku hingga pada saat ada kesempatan dan

waktu yang memungkinkan untuk terciptanya aksi dari niat tersebut (Ajzen,

2005). Chaplin (2005) menambahkan intensi sebagai suatu perilaku yang

disadari, sengaja dan atas kemauan sendiri, dengan kata lain intensi merupakan

dorongan dalam diri atau niat sebelum terjadinya perilaku. Olweus (Flynt &

Marton, 2006) mengartikan bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan

untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali

dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam hubungan yang tidak terdapat

keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya. Bullying adalah cara

mengerikan dan kejam kepada individu atau kelompok yang membuat korbannya

terjebak dalam kondisi memalukan dan menyakitkan sehingga korban merasa

terancam sedangkan pelaku tidak menyadarinya (Tattum & Lee, 2004).

Yayasan sejiwa (2008) menyatakan bullying merupakan suatu dimensi

dimana terjadi penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan oleh seseorang atau

sekelompok orang. Bullying merupakan tindakan yang menyalahi kekuatan dan

kekuasaan yang bersifat merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis

sehingga korban merasa di bawah tekanan dan cenderung tidak berdaya.

Menurut Rigby (Astusti, 2008) bullying merupakan suatu hasrat untuk

menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang dapat menyebabkan penderitaan

pada korbannya. Aksi ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang

Page 5: 1537 4204-1-sm

lebih berkuasa, tidak bertanggung jawab dan dilakukan berulang kali dengan

sengaja untuk menyakiti korban. Craig, Palper dan Atlas (2000), menambahkan

bullying merupakan interaksi antara pelaku bullying (individu yang dominan)

terhadap korban bullying (individu kurang dominan) dengan cara menunjukan

perilaku agresif. Sullivan, dkk. (2005) mengartikan bullying sebagai serangkaian

tindakan negatif dan agresif yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang

terhadap orang lain dalam beberapa periode waktu tertentu.

Murphy (2009) memandang bullying sebagai keinginan untuk menyakiti

dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan serta orang atau

kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan

perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Lee (2004)

menyebutkan bullying adalah perilaku berkelanjutan yang berusaha mendapatkan

kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Selain itu Bowers, Smith, dan Binney

(Lee, 2004) menyebutkan bullying terjadi secara tersistematis dan mencakup

berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh pelaku

bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi

rasa takut.

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa

intensi bullying merupakan niat yang dimiliki individu atau sekelompok orang

untuk menyakiti, membuat individu lain merasa kesusahan, tindakan yang akan

berupaya untuk mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas orang lain yang akan

terjadi secara berulang-ulang serta dapat diprediksi mengakibatkan kerugian pada

korbannya baik secara fisik maupun psikis sehingga korban merasa tidak berdaya,

berada dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi rasa takut sehingga

korban yang tidak memiliki kekuatan akan menimbulkan efek trauma dalam

kurun waktu yang cukup lama.

2. Aspek-Aspek Bullying

Rigby (2002) mengemukakan empat aspek bullying antara lain yaitu :

a. Bentuk fisik yaitu menedang, memukul, dan menganiaya orang yang dirasa

mudah dikalahkan dan lemah secara fisik.

b. Bentuk verbal yaitu menghina, menggosip, dan memberi nama ejekan pada

korbannya.

c. Bentuk isyarat tubuh yaitu mengancam dengan gerakan dan gertakkan

d. Bentuk berkelompok yaitu membentuk koalisi dan membujuk orang untuk

mengucilkan seseorang.

Craig (2006) menambahkan bahwa aspek-aspek dari bullying adalah:

a. Panggilan tertentu yaitu pelaku memberikan nama panggilan yang tidak

menyenangkan kepada korbannya.

b. Menggoda yaitu pelaku menganggu korban (biasanya perempuan)

menggunakan kata-kata rayuan.

c. Menyerang, mendorong dan memukul yaitu pelaku melakukan tindakan

fisik yang cenderung ingin melukai korbannya.

d. Pemalakan harta dan benda pelaku memaksa korbannya untuk menyerahkan

uang dan barangnya

e. Surat kaleng pelaku memberi pesan ancaman kepada korbannya.

Page 6: 1537 4204-1-sm

f. Gossip individu atau kelompok menyebarkan rumor/keburukan pada

korbannya

g. Diabaikan atau ditinggalkan korban tidak diikutsertakan pada kegiatan-

kegiatan tertentu atau sengaja dijauhi.

h. Serangan fisik, ras, agama, dan suku menggunakan kata-kata kasar bernada

menghina kepada korbannya tentang agama, ras, suku dan agama.

Dari aspek-aspek yang diungkapkan Craig (2006) hanya melengkapi dari

aspek-aspek bullying yang dikemukakan oleh Rigby (2002), sehingga peneliti

akan membuat skala intensi bullying Berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan

oleh Rigby (2002) tersebut diatas, maka peneliti akan membuat Skala intensi

bullying dengan aspek-aspek yang sesuai yaitu bullying fisik, verbal, isyarat

tubuh dan berkelompok.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying

Susan, dkk. (2009) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya bullying yaitu :

a. Faktor individu.

Individu yang bersifat pencemas, berfisik lemah, cacat fisik, memiliki harga

diri rendah, kurang memiliki konsep diri yang kuat atau mudah dipengaruhi

akan mudah menjadi korban bullying.

b. Faktor teman sebaya.

Tindakan bullying yang diterima dan adanya pembiaran dari teman-teman

atas kejadian bullying dapat menyebabkan perilaku bullying meningkat.

c. Faktor sekolah.

Adanya senioritas, hukuman yang tidak tegas dan tidak konsisten pada

pelaku dapat menyebabkan bullying meningkat.

d. Faktor komunitas.

Adanya tokoh yang menjadi acuan pelaku untuk menduplikasikan

kemiripannya, biasanya individu mencontoh perilaku negatif tokoh

idolanya.

Astuti, (2008) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi

terjadinya bullying yaitu :

a. Perbedaan kelas ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme

Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim)

individu dengan suatu kelompok, jika tidak toleransi oleh anggota kelompok

tersebut, maka dapat menjadi penyebab bullying.

b. Senioritas.

Perilaku bullying seringkali juga justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai

kejadian yang bersifat lazim. Pelajar yang akan menjadi senior

Page 7: 1537 4204-1-sm

menginginkan suatu tradisi untuk melanjutkan atau menunjukkan

kekuasaan, penyaluran dendam, iri hati atau mencari popularitas.

c. Tradisi senioritas.

Senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk

melakukan bullying terhadap junior tidak berhenti dalam suatu periode saja.

Hal ini tak jarang menjadi peraturan tak tertulis yang diwariskan secara

turun menurun kepada tingkatan berikutnya.

d. Keluarga yang tidak rukun.

Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu menderita

depresi, kurangnya komunikasi, antara orang tua dan anak, perceraian atau

ketidakharmonisan orang tua dan ketidakmampuan sosial ekonomi

merupakan penyebab tindakan agresi yang signifikan.

e. Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif

Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para

guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan

yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.

f. Karakter individu atau kelompok seperti

1) Dendam atau iri hati, karena pelaku merasa pernah diperlakukan kasar dan

dipermalukan sehingga pelaku menyimpan dendam dan kejengkelan yang

akan dilampiaskan kepada orang yang lebih lemah atau junior pada saat

menjadi senior.

2) Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuasaan fisik dan daya

tarik seksual, yaitu keinginan untuk memperlihatkan kekuatan yang dimiliki

sehingga korban tidak berani melawannya.

3) Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan

(peers), yaitu keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri, mencari

perhatian dan ingin terkenal.

g. Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.

Korban seringkali merasa dirinya memang pantas untuk diperlakukan

demikian (bully), sehingga korban hanya mendiamkan hal tersebut terjadi

berulang kali padanya.

Coloroso (2006) menambahkan salah satu faktor yang mempengaruhi

bullying yaitu faktor keluarga. Pola asuh keluarga dan orang tua yang diterapkan

seperti pola asuh permisif dan otoriter yang dapat memicu anak untuk

memberontak.

Faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas hanya sebagai pelengkap dari

faktor-faktor penyebab terjadinya bullying yaitu individu yang terlihat lemah,

hubungan teman sebaya yang jelek, perbedaan kelas ekonomi, tradisi senioritas,

keluarga yang tidak rukun serta situasi sekolah yang tidak harmonis. Dari

pemamparan faktor-faktor tersebut diatas, Penelitian ini mengacu pada faktor-

faktor yang dikemukakan oleh Coloroso(2006) yaitu pola asuh permisif yang

diduga memicu anak untuk memberontak.

1. Pengertian Pola Asuh.

Page 8: 1537 4204-1-sm

Brooks (2011) mendefiniskan bahwa pola asuh adalah sebuah proses

dimana orang tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing dari bayi

sampai dewasa serta orang tua juga menjaga dengan perkembangan anak pada

seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk

memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup :

a. Kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung

b. Kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal

c. Displin yang bertanggung jawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan

kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya

d. Pendidikan intelektual dan moral

e. Persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa

f. Mempertanggungjawabkan tindakan anak pada masayarakat luas.

Berdasarkan pemaparan definisi pengasuhan di atas dapat disimpulkan

bahwa pola asuh merupakan suatu proses perlakuan yang diaplikasikan oleh orang

tua kepada anak yang terbentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar yang

berlangsung seumur hidup, terikat, berproses, setulus hati dan penuh kasih sayang.

2. Jenis-jenis Pola Asuh.

Menurut Baumrind (Borntstein, 2002) ada tiga tipe pola asuh yaitu :

a. Authoritian.

Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritian berlaku sangat ketat dan

mengontrol anak dengan mengajarkan standar dan tingkah laku. Pola asuh

authoritian mengakibatkan kurangnya komunikasi dua arah, kurang

harmonis atau kaku dan anak merasa terkekang sehingga menjadi cemas

dan kurang aman dalam bergaul dengan lingkungan atau sebaliknya tumbuh

menjadi anak yang agresif.

b. Authoritative

Orang tua yang menerapkan pola asuh authoriative memiliki aturan dan

harapan yang jelas kepada anak, orang tua memadukan antara hadiah dan

hukuman yang berhubungan dengan tingkah laku anak dengan jelas. Orang

tua sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur otoritas, tetapi

tanggap terhadap kebutuhan, keinginan dan kemampuan anak. Pola asuh ini

memiliki aturan yang jelas, adil, fleksibel, harmonis dan penuh tanggung

jawab sehingga terjalin komunikasi yang baik.

c. Pola asuh permisif.

Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif melindungi anak-anak

dengan tidak mengajarkan kepada anak untuk menghadapi konsekuensi dari

tindakannya sendiri dengan tidak melakukan pembatasan dan pengawasan,

selain itu juga orang tua memberi dukungan dan mendorong anak untuk

sepenuhnya menentukan nasibnya sendiri.

Berdasarkan pemaparan jenis pola asuh menurut Baumrind (Bornstein,

2002) tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis pola

asuh yaitu Authortian, Authoritative dan Permisif yang dapat diterapkan oleh

orang tua kepada anak. Dari jenis-jenis pola asuh tersebut diatas maka peneliti

akan mengungkap komponen pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind

(Bornstein, 2002) sebagai variabel yang diduga mempengaruhi intensi bullying.

Page 9: 1537 4204-1-sm

3. Pengertian Pola Asuh Permisif

Bee & Boyd (2007) mengartikan pola asuh permisif yaitu pola asuh yang di

dalamnya ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak memberikan

batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang

komunikasi. Hurlock (1980) menambahkan bahwa pola asuh permisif tidak

memiliki konsekuensi, peraturan dan hukuman bagi anak atas perbuatannya serta

pola komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja yaitu dari anak karena orang tua

hanya mengikuti saja. Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah

sebuah keluarga yang tidak memiliki aturan yang kuat dan tidak konsisten, seperti

ada ketegasan, namun beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang

sehat padahal tidak konsisten diterapkan.

Berndt, (1992). menyatakan pola asuh permisif terdiri dari dua jenis, yakni :

a) Gaya pengasuhan permisif-tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua

tidak terlibat dan cenderung membiarkan apapun yang diinginkan oleh anak.

Hal ini nantinya akan mempengaruhi kecakapan perilaku sosial dan

kurangnya pengendalian diri pada anak. Orang tua yang bersifat permisif-

tidak peduli cenderung kurang memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh

anak. Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-tidak peduli ini

akan cenderung tidak mandiri dan selalu ingin diperhatikan..

b) Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan adalah suatu pola dimana

orang tua terlalu khawatir dan ingin selalu terlibat namun tidak banyak

menuntut atau mengendalikan serta tidak melarang anak untuk melakukan

apa saja yang diinginkan, sehingga akibatnya kondisi diri anak tidak stabil

terutama bila mengharapkan sesuatu yang diinginkan namun tidak tecapai.

Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-memanjakan sangat

tidak terkontrol ketika menginginkan sesuatu, cenderung akan

membangkang bahkan bertindak agresi apabila keinginannya tidak tercapai.

Hal ini akan terus terjadi pada saat anak menginginkan sesuatu dan

menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya terpenuhi.

Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah sebuah keluarga

yang tidak memiliki aturan yang kuat dan konsisten, seperti ada ketegasan, namun

beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang sehat padahal tidak

konsisten diterapkan. Pola asuh ini terbagi menjadi dua jenis yaitu :

a. Struktur tidak konsisten : orang tua tidak tahu cara menciptakan sebuah

struktur yang sehat, konsisten dan ada batas-batas, atau mungkin dalam

sebuah keluarga yang otoriter dan permisif yang tidak konsisten sehingga

anak takut dimarahi oleh orang tuanya, tetapi tidak tahu tindakan yang pas

untuk mengatasinya dan anak merasa perannya ambigu. Orang tua dengan

pola asuh ini cenderung terlibat dalam kehidupan anak-anaknya dan selalu

berada di dekat anak untuk meringankan masalah dan menolong anak dari

setiap kesulitan. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan pola asuh ini

akan lebih rentan menghadapi penindasan dan cepat putus asa.

b. Struktur menyingkirkan anak serta memaksa anak untuk mengatasi

masalahnya sendiri : orang tua memiliki permasalahan pribadi dan terlalu

sibuk dengan kehidupannya sendiri. Materi yang cukup namun tidak

mendapat kasih sayang, perhatian, dan cuek. Anak dengan pola asuh ini

Page 10: 1537 4204-1-sm

mengalami kesepian, kehilangan dan kesedihan. Hal ini tidak nampak secara

fisik tetapi dalam hatinya rusak, putus asa dan sedih. Anak merasa tidak

dicintai dan tersingkir serta merasa anak harus menyelesaikan

permasalahannya sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun semua itu karena

anak terabaikan oleh orang tuanya sehingga anak memunculkan pertahanan

diri dengan cara berbohong dan memanipulasi guna memenuhi

kebutuhannya.

Coloroso (2006) menyatakan bahwa pola asuh permisif terbagi menjadi dua

yaitu struktur yang tidak konsisten dan struktur yang menyingkirkan anak untuk

mengatasi masalahnya sendiri.

Berdasarkan pemaparan beberapa toko tersebut di atas mengenai pengertian

pola asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif menurut Bee &

Boyd adalah pola asuh yang bersifat toleran, penuh kehangatan dan cenderung

memberi kebebasan. Menurut Hurlock (1980) pola asuh permisif adalah

inkonsistensi antara hukuman, hadiah yang diberikan kepada anak serta tuntutan

yang dominan oleh anak kepada orang tua. Coloroso (2006) menyimpulkan pola

asuh permisif adalah inkonistensi peraturan, ketegasan dan emosi.

4. Karakteristik Pola Asuh Permisif

Lima karateristik utama dari keluarga permisif menurut Coloroso (2006)

yaitu :

a) Hadiah dan hukuman diberikan tidak konsisten

b) Tanggung jawab yang tidak konsisten : penerapan hukuman yang

inkonsisten diberikan pada anak

c) Ancaman dan penyuapan : bentuk tindakan orang tua digunakan untuk

mengontrol perilaku anak.

d) Perilaku didominasi oleh emosi : orang tua dan anak bertindak tanpa

memikirkan konsekuensi yang akan muncul.

e) Cinta memiliki banyak syarat : guna mendapatkan kasih sayang oleh orang

tua, anak harus menyenangkan orang tua.

Hurlock (Walgito, 2000) mengungkapkan karakterisik dari pola asuh

permisif yaitu :

a) Peraturan yang tidak jelas dari orang tua kepada anaknya

b) Hukuman tidak konsisten dijalankan

c) Persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari kesalahan yang telah

dilakukan.

d) Tidak ada pemberian hadiah, karena social approval sudah cukup

memuaskan.

Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh di atas mengenai karakteristik pola

asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pola asuh permisif menurut

Coloroso (2006) adalah pemberian tanggung jawab, hadiah, penyuapan,

ancaman, perilaku didominasi emosi, kasih sayang yang bersyarat dan hukuman

yang tidak konsisten dijalankan. Hurlock (Walgito, 2000) menyimpulkan bahwa

karakteristik pola asuh permisif adalah adanya ketidakjelasan peraturan, hukuman

Page 11: 1537 4204-1-sm

yang tidak konsisten dijalankan, persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari

kesalahan yang telah dilakukuan dan tidak ada pemberian hadiah.

Hipotesis

Ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying

Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4

Yogyakarta mahasiswa dengan jumlah subyek 125 orang

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode skala yaitu dengan skala intensi

bullying akademik dan pola asuh permisif

Analisis Data

Metode analisis data dengan menggunakan teknik analisis product moment.

Hasil

Sebelum dilakukan uji hipotesis maka perlu dilakukan asumi terlebih

dahulu. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linieritas dengan

hasil sebagai berikut:

Tabel 1

Hasil Uji Normalitas

variabel Empirik Hipotetik

M SD Min Maks σ µ Min Maks

Intensi Bullying 55,15 6,104 38 66 12 60 24 96

Pola Asuh Permisif 68,50 6,678 50 84 12,5 62,5 25 100

Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada

perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi,

dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran “jika

nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak

normal”.

Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov – Smirnov.

Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun

hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut :

a) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh

skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05).

Page 12: 1537 4204-1-sm

b) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di

peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis

tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran

normal.

Berdasarkan hasil kategorisasi variabel intensi bullying dapat diketahui

sebagian besar subjek memiliki tingkat intensi bullying dalam kategori sedang

yaitu sejumlah 108 siswa atau 86,4% dari 125 subjek penelitian.

Berdasarkan norma kategorisasi dengan distribusi normal dapat disimpulkan

bahwa kategorisasi skor subyek adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Kategorisasi Variabel Intensi Bullying

Interval F % Kategori

X < 428 17 13,6 Rendah

48 ≤ X < 72 108 86,4 Sedang

X ≥ 72 0 0 Tinggi

Tabel 3

Kategorisasi Variabel Pola Asuh Permisif

Interval F % Kategori

X < 50 1 0,8 Rendah

50 ≤ X < 75 109 87.2 Sedang

X ≥ 75 15 12 Tinggi

1. Uji Asumsi

Sebelum dilakukan analisis product moment dari Pearson, terlebih dahulu

dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas sebaran dan uji linieritas

hubungan antar kedua variabel.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada

perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi,

dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran “jika

nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak

normal”.

Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov – Smirnov.

Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun

hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut :

c) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh

skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05).

d) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di

peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis

tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran

normal.

Page 13: 1537 4204-1-sm

b. Uji Linieritas

Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dan

variabel tergantung. Uji linieritas ini bertujuan untuk memastikan bahwa sebaran

nilai variabel-variabel penelitian ini dapat ditarik lurus (linier) yang menunjukkan

adanya hubungan yang linier antara variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian

ini pengujian linieritas hubungan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis

varian. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya suatu

hubungan adalah “jika p linearity lebih besar daripada 0,05 (p>0,05), maka

hubungan antara kedua variabel tersebut adalah tidak linier, sebaliknya jika p

linierity lebih kecil daripada 0,05 (p<0,05), maka hubungan antara kedua varaibel

tersebut linier”. Hasil uji linieritas, pada tabel anova menunjukkan nilai F =

5,561 dengan p = 0,020 (p<0,05) maka hubungan kedua variabel dinyatakan

linier.

2. Uji Hipotesis

Analisis data untuk mengetahui teknik korelasi antara variabel pola asuh

permisif dengan intensi bullying menggunakan product moment dari Pearson.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara

kedua variabel adalah r = -0,206 dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh permisif

dengan intensi bullying.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh

permisif dengan intensi bullying. Hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis

yang telah diajukan sebelumnya, Berdasarkan hasil analisis diketahui pula bahwa

besarnya koefesien korelasi antara kedua variabel tersebut adalah r = -0,206

dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hal tersebut diatas terjadi karena teori yang

digunakan dari hipotesis kurang mendukung, Subjek uji coba yang tidak serupa

walaupun usia dan kelas subjek serupa namun lingkungan subjek uji coba tidak

representatif dan alat ukur intensi bullying yang kurang handal yang berarti alat

ukur tidak reliabilitas sehingga hipotesis yang diajukan oleh peneliti di tolak.

Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif

tidak terbukti mempengaruhi Intensi Bullying walaupun mayoritas subjek

penelitian berada pada kategori sedang (86,4%), hal ini menunjukkan bahwa

intensi bullying pada siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta dalam

kategori sedang. Mayoritas pola asuh permisif pada subjek penelitian berada pada

kategori sedang (87,2%), hal ini mengindikasikan bahwa ada dugaan faktor-faktor

diluar pola asuh permisif yang mempengaruhi intensi bullying.

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan antara

intensi bullying dengan pola asuh permisif.

2. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pola asuh permisif

memberikan sumbangan efektif sebesar 4,2% terhadap variabel intensi

Page 14: 1537 4204-1-sm

bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta sedangkan sisanya

95,8% faktor-faktor lain yang mempengaruhi intensi bullying.

3. Berdasarkan kategorisasi kedua variabel penelitian dapat disimpulkan

bahwa Intensi Bullying mayoritas subjek penelitian berada pada kategori

sedang (86,4%), sedangkan pada variabel Pola Asuh Permisif, mayoritas

subjek penelitian berada pada kategori sedang (87,2%).

Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan di atas dapat

diajukan beberapa saran.

1. Secara teoritis

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Keterbatasan penelitian ini yaitu hanya mengkaji pola asuh permisif, padahal

masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi atau berperan terhadap

intensi bullying di sekolah. Untuk itu penelitian selanjutnya yang tertarik

melakukan penelitian mengenai intensi bullying, disarankan menggunakan

faktor-faktor lain diluar pola asuh permisif seperti, faktor lingkungan, faktor

media, faktor budaya, faktor teman sebaya dan faktor senioritas.

Daftar Pustaka

Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying: 3 cara Efektif Menanggulangi Kekerasan

pada Anak. Jakarta: Grasindo.

Anonim. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan sekitar

anak. Jakarta: PT. Grasindo.

Azwar, S. 1996. Tes Prestasi, edisi kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2009. Penyusun Skala Psikologis. Edisi 1 cetakan Xll. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Bee, H. & Boys, D. 2007. The Developving Child. Eleventh Edition. USA :

Paramount Publishing.

Berndt, T. J. 1992. Child Development. USA : Harcourt Brace Javanovich

Publisher.

Bornstein, M. H. (Ed.). (2002). Handbook of Parenting: Practical Issues in

Parenting (2nd ed., Vol. 5). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,

Inc.

Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent

Competence and Substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-

95.

Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Page 15: 1537 4204-1-sm

80

Chaplin, J.P. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.

Coloroso, B. 2006. Penindas, Tertindas, dan penonton. Jakarta : PT SERAMBI

ILMU SEMESTA

Craig, D.2006. Bullying. England : Indevendence.

Craig, W. M., Pepler, D. And Atlas, R. 2000. Observation of Bullying in the

playgroup and in the Classroom. Journal of School Psychology

International, Volume 21, 22-36.

Djuwita, R, 2006. Masalah Tersembunyi Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia.

Workshop Bullying. 29 April. Jakarta : Universitas Indonesia

http://www.google.com/bullying/WEBSITE--Direktorat Pembinaan Sekolah

Luar Biasa.

Duana. 2010. Hubungan antara Kecerdasan Emosi pada Remaja Siswa SMP

dengan Intensitas Melakukan Bullying di sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan)

Yogyakrta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Elsevier’s Science & Technology Rights Department in Oxford,UK.

2004.Bullying : Implication Classroom. Cheryl E.S. & Gery D.P.(editor).

London : Educational Psychology Series.

Flynt, S.W. & Marton, R.C. 2006. Alabama Elementary Principals Perception of

Bullying. Education, 2, 187-191.

Gini, G. 2004. Bullying in Italain School An Overview of Intervention Programs.

School Psychology International, 25, 1, 106-106.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang

rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Hurlock, E.B 1990. Perkembangan Anak. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

J.P. Chaplin, 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Dr. Kartini Kartono.

Jakarta : PT RajaGrafindo

http//www.google.co.id/bullying- Wikepedia, the free encyclopedia.htm

10/04/2012.

Kathleen Conn. 2004. Bullying an Harassment. USA : Association For

Supervision and Devlopment Press.

Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Buku Panduan Psikologi S. 2003. Aggressive

Behavior. Prelevance Estimation of School Bullying With the Olweus

Bully/Victim Questionnare,X,29,239-268.

Page 16: 1537 4204-1-sm

81

Lamborn, S. D., Mounts, N. S., Steinberg, L., & Dornbusch, S. M. (1991).

Patterns of competence and adjustment among adolescents from

authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child

Development, 62,1049-1065.

Lee, C. 2004. Preventing Bullying in School. London : Paul Chapman

Magfirah, U. 2009. Hubungan Antara Iklim Sekolah dengan Kecenderungan

Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi

Universitas Islam Indonesia

Murphy, M. M. & Bannas. 2009. Dealing with Bullying. New York : Chelsea

House.

Olweus, D., & Solberg, M.E. 2003. Prevalence Estimation of School Bullying

With the Olweus Bully/Victim Questionnaire. Jurnal of Education

Psychology, 29,239-268.

Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2011. Human Development (9th Ed.).

New york: McGraw-Hill, Inc.

Ponny R.A. 2008. Meredam Bullying. Jakrta : PT Grasindo.

Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soestio, S. R. 2005. “Gencet-Gencet” di Mata

Siswa/Siswi kelas 1 SMA : Naskah Kognitif Tentang Arti Skenario dan

http://www.google.co.id/bullying/”Bullying” dalam dunia pendidikan

(bagian 1) <<POPsy!. Jurnal Psikologi Populer.

Rigby, K. 2007. Bullying in Schools: and What to do About it. Australia : ACER

Press.

Rigby, K. 2002. New Perspectives on Bullying. London : Jessica Kingsley.

Rigby, K. 2007. Bullying in Schools: and what to do abaut it. Australia : @

ACER Press.

Rizki. 2011. Hubungan antara Kematangan Emosi Pada Siswa dengan Perilaku

Bullying di Sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakrta: Fakultas

Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Routledge. 2003. School Bullying: Insights and Perspectives. Peter K.Smith and

Sonia Sharp. USA and Canada : Simultaneously.

Sadif, R,S. 2009. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan

Kecenderungan Bullying Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan)

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Page 17: 1537 4204-1-sm

82

Saptriana, S. 2012. Hubungan Antara Kelekatan Aman Terhadap Orang Tua

Dengan Kecenderungan Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Sarwendah. 2009. Hubungan Antara Intensitas Bermain Playstation Jenis

Permainan Action Dengan Perilaku Bullying pada siswa SMP

Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Skripsi ( tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Sejiwa. 2008. bullying “Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan Sekitar

anak”. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Siswati & Widayanti, C.G. 2009. Fenomena Bullying di sekolah Dasar Negeri di

Semarang: Sebuah Studi Deskriptif. Jurnal Psikologi Undip 5(2)

Siddiqah, L., & Helmi, A.F. 2005. Peran Emosi Malu Dan Rasa Bersalah terhadap

Perilaku Agresif Pada Remaja. Jurnal Psikologi Sosial, 12, 29-56. Jakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sullivan, K, Cleary, M. & Sullivan, G. 2005. Bullying in Secondary Schools.

London : A SAGA publication.

Susan. M. Dkk. 2009. Bullying Prevention and Intervention. Canada : The

Guilford press.

Susan M.S, Dorothy L.E, & Scott A.N. 2009. Bullying Prevention and

Intervention. Canada : The Guildford Press.

Utami. 2009. Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dengan perilaku Bullying pada

Siswa Sekolah Menegah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas

Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Walgito, B. 2000. Peran Psikologi Indonesia. Yogyakrta : penerbit Yayasan

Pembina Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Widiharto, CA. Sandjaja, SS., Eriany, P. 2008. Perilku Bullying Ditinjau dari

Harga Diri Dan Pemahaman Moral Anak. IKIP PGRI. Semarang.

Woolfolk, A. 2009. Education Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Yayasan Sejiwa. 2008. Bullying “Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan

Lingkungan Sekitar Anak”. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.