15 DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN...
Transcript of 15 DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN...
15
BAB II
PENGGUNAAN PERMAINAN SOSIAL
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL
A. Karakteristik Siswa SMP Sebagai Remaja
Masa remaja merupakan bagian dari rentang kehidupan yang penting
dalam siklus perkembangan siswa. Masa remaja merupakan masa transisi dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini, siswa diarahkan kepada
perkembangan menuju masa dewasa yang sehat.
Menurut Konopka (Yusuf, Syamsu, 2006) fase remaja awal : 12-15
tahun, remaja madya : 19-22 tahun. Sedangkan menurut Hurlock (1980), masa
remaja terbagi dua yaitu remaja awal : 13-16 tahun, dan remaja akhir : 16-18
tahun. Dilihat dari dua pendapat diatas, siswa sekolah menengah pertama
(SMP) termasuk kepada masa remaja awal.
Piaget dalam Hurlock (1980) berpendapat bahwa secara psikologis
masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintergrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkatan
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas
dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi
dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan cirri
khas yang umum dari perkembangan ini.
16
Untuk memahami lebih lanjut mengenai karakteristik perkembangan
remaja, berikut akan dijelaskan aspek-aspek perkembangan remaja.
a. Aspek Fisik
Pada masa remaja individu akan mengalami kematangan organ-organ
seksual. Menurut Santrock (2002:7) remaja merupakan suatu periode
dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama
pada awal masa remaja. Remaja pria mengalami pertumbuhan pada
organ testis, penis, pembuluh mani dan kelenjar prostat. Matangnya
organ-organ tersebut memungkinkan remaja pria untuk mengalami
mimpi basah. Remaja wanita ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina,
dan ovarium. Matangnya organ-organ seksual ini memungkinkan remaja
wanita untuk mengalami menstruasi. Perubahan fisik lainnya seperti
dipaparkan oleh Nancy J. Cobb (Yusuf Syamsu, 2006:7) adalah sebagai
berikut.
Tabel 2. 1 Pertumbuhan Fisik Remaja
Jenis Kelamin Usia Pertumbuhan Fisik
Pria 8-13 tahun Tumbuhnya testis dan
kantung buah pelir
10-15 tahun Tumbuhnya bulu di sekitar
kemaluan
10,5-14,5 tahun Pertumbuhan badan
11-14,5 tahun Tumbuhnya penis
11-14,5 tahun Perubahan suara (tumbuhnya
pangkal tenggorokan)
12-17 tahun Minyak dan peluh
17
menghasilkan kelenjar
Wanita 8-13 tahun Tumbuhnya buah dada
8-14 tahun Tumbuhnya bulu di sekitar
kemaluan
9,5-14,5 tahun Pertumbuhan badan
10-16,5 tahun Menstruasi pertama
10-16 tahun Tumbuh bulu ketiak minyak
dan keringat menghasilkan
kelenjar.
b. Aspek Intelektual
Remaja tahap perkembangan berpikir operasional formal. Tahap ini
ditandai dengan kemampuan berfikir abstrak, idealis, dan logis. Tipe
pemikiran logis ini, oleh piaget (yusuf, syamsu, 2006 : 9) disebut juga
pemikiran deduktif hipotetik, yaitu kemampuan kognitif untuk
mengembangkan hipotesis (dugaan-dugaan terbaik) tentang cara-cara
mengatasi masalah dan mengambil keputusan.
c. Aspek Sosial
Pada masa ini berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain. Kemampuan tersebut mendorong remaja untuk
menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya. Konformitas juga
berkembang pada masa ini, yaitu kecenderungan untuk meniru,
mengikuti opini, pendapat, nilai kebiasaan, hobi, atau keinginan orang
lain. Perkembangan konformitas ini bisa berdampak positif atau negatif
bagi remaja. Hurlock (1980) mengemukakan pada masa ini terjadi
peningkatan pengaruh teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,
18
pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam pemilihan
teman, nilai-nilai baru dalam penerimaan dan penolakan sosial.
d. Aspek Emosi
Masa remaja dianggap sebagai masa “badai dan tekanan”, suatu masa
dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik
dan kelenjar. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas.perubahan
yang dirasakan mempengaruhi emosi atau perasaan-perasaan baru yang
belum dialami sebelumnya sebelumnya seperti rasa cinta, rindu, dan
keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia
remaja awal (usia SMP) perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang
sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau
situasi sosial.
e. Aspek Moral
Ketika memasuki masa remaja, remaja tidak lagi begitu saja menerima
kode moral dari orang tua, guru, dan teman sebaya. Sekarang ia ingin
sendiri membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep tentang benar
dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan
tingkat perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi
dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari
orang tua dan gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral
mereka dengan pengetahuan yang telah diperolehnya dari pelajaran
agama.
19
B. Ciri-Ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannnya
dengan periode sebelum dan sesudahnya. Elizabeth Hurlock menjelaskan
terdapat beberapa cirri pada masa remaja, yaitu sebagai berikut.
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada periode perkembangan remaja, perubahan fisik dan psikologis
sangatlah penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai
dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, menimbulkan
perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat
keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan
lagi seorang anak dan juga orang dewasa. Jika remaja berperilaku seperti
anak-anak, ia akan diajari untuk bertindak sesuai umurnya. Jika remaja
berperilaku seperti orang dewasa akan dimarahi karena bertingkah diluar
usianya.
3. Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Masalah yang dihadapi oleh remaja terkadang menjadi permasalahan yang
sulit untuk diatasi. Terdapat dua alasan untuk menjelaskan situasi tersebut.
Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah sebagian anak-anak
diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa
20
mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan
menolak bantuan dari orang tua dan guru.
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pada akhir usia masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar
kelompok adalah jauh lebih penting pada anak daripada individualitas,
seperti cara berpakaian, berbicara, dan berperilaku. Sedangkan pada masa
awal remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting.
Tetapi lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak
puas lagi dengan menjadi sama dengan teman dalam segala hal. Hal
tersebut menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan “krisis identitas”.
Seperti dijelaskan oleh Erikson (Hurlock, 208 : 1980) identitas diri yang
dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa
peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak-anak atau orang
dewasa, secara keseluruhan apakah ia akan berhasil atau gagal.
Menurut Erikson masa remaja sering disebut sebagai masa
identitas ego (Ali, Muhammad, 16 : 2004). Hal tersebut disebabkan karena
masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan
masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah
bukan anak-anak lagi melainkan sudah menjadi orang dewasa, tetapi jika
diperlakukan seperti orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan
sikap dewasa. Menurut Muhammad Ali (2004) mengemukakan terdapat
sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu sebagai berikut.
21
1. Kegelisahan
Remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan atau keinginan yang
ingin dicapai di masa yang akan datang. Tetapi, sesungguhnya remaja
belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan semua itu.
Tarik-menarik antara keinginan yang tinggi dengan kemampuannya yang
masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi perasaan gelisah.
2. Pertentangan
Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi
psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih
belum mampu mandiri. Oleh karena itu, sering terjadi pertentangan
pendapat antara mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi
itu, menimbulkan perasaan ingin melepaskan diri dari orang tua.
Pertentangan yang terjadi itu kemudian ditentangnya sendiri karena dalam
diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja
sesungguhnya belum berani mengambil resiko dari meninggalkan
lingkungan keluarga yang jelas aman bagi dirinya.
3. Mengkhayal
Keinginan untuk menjelajah atau bertualang tidak semuanya dapat
tersalurkan karena hambatan segi keuangan. Kebanyakan remaja
memperoleh uang dari orang tuanya. Akibat tidak tersalurkannya
keinginan tersebut mereka mengkhayal, melalui dunia fantasi. Khayalan
remaja putra biasanya berkisar soal prestasi dan karir. Remaja putri lebih
mengkhayal romantika hidup. Khayalan itu tidak selamanya negatif.
22
Khayalan terkadang melahirkan sesuatu yang bersikap konstruktif,
misalnya timbul ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.
4. Aktifitas Kelompok
Berbagai macam keinginan para remaja tidak dapat terpenuhi karena
bermacam-macam kendala. Adanya larangan-larangan dari orang tua
seringkali melemahkan bahkan mematahkan semangat para remaja.
Kebanyakan dari mereka menemukan jalan keluar dari kesulitannya
setelah mereka berkumpul bersama rekan sebayanya untuk melakukan
kegiatan bersama. Mereka melakukan suatu kegiatan secara berkelompok
sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama.
5. Keinginan untuk mencoba segala sesuatu.
Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high
curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja
cenderung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu yang belum pernah
dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa
menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan
oleh orang dewasa.
C. Tugas Perkembangan Remaja
Yusuf, Syamsu (2006) mengemukakan tugas-tugas perkembangan
remaja yang harus dicapai, adalah sebagai berikut.
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya )seperti
kecantikan, keberfungsian dan keutuhan)
23
2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orang tua dan
orang lain)
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal (lisan dan
tulisan)
4. Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5. Menemukan manusia model yang dijadikan pusat identifikasinya.
6. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.
7. Memperoleh self-control (kemampuan mengendalikan diri sendiri) atas
dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.
8. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku)
yang kekanak-kanakan.
9. Bertingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang
diperlukan bagi warga negara.
11. Memilih dan mempersiapkan karir.
12. Memiliki sikap positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga
(meyakini bahwa pernikahan merupakan satu-satunya jalan yang
menghalalkan hubungan seksual pria-wanita)
13. Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
24
D. Siswa SMP Yang Terisolir
Masa remaja merupakan masa perubahan dalam setiap aspek
kehidupan, salah satu aspek yang mengalami perubahan adalah aspek sosial.
Sebagai remaja mereka harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan
dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Elizabeth
Hurlock mengemukakan beberapa hal yang terjadi selama masa perubahan
sosial masa remaja, diantaranya :
1. Kuatnya pengaruh kelompok sebaya
Horrocks dan Benimoff (Hurlock, 214 :1980) menjelaskan kelompok
sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung
dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok
sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya; disinilah ia
dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya yang tidak dapat
memaksakan sanksi-sansi dunia dewasa yang justru ingin dihindari.
Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat
melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai berlaku bukanlah
nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman
seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh
dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan disitu pulalah ia dapat
menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin
apabila ia mampu melakukannya. Kecuali itu, kelompok teman sebaya
merupakan hiburan utama bagi anak-anak usia belasan tahun. Berdasarkan
25
alasan tersebut terlihatlah betapa vitalnya masa remaja, bagi remaja bahwa
kelompok teman sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-
temannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya ia saling
bergantung.
2. Perubahan dalam perilaku sosial.
Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat menonjol dalam pola
hubungan heteroseksual. Perubahan yang terjadi seperti lebih menyukai
lawan jenis lebih dari sekedar teman.
3. Pengelompokan sosial baru
Beberapa pengelompokkan sosial remaja diantaranya teman dekat,
kelompok kecil, kelompok besar, kelompok yang terorganisir, dan
kelompok geng.
4. Nilai-nilai baru dalam memilih teman.
Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya entah
disekolah maupun di lingkungan rumah. Remaja menginginkan
mempunyai teman yang mempunyai minat, dan nilai-nilai yang sama,
yang dapat membuatnya mengerti, dan merasa nyaman serta dapat
dipercaya sebagai seseorang yang dapat berbagi cerita.
5. Nilai-nilai baru dalam penerimaan dan penolakan sosial
Seperti halnya perubahan yang terjadi dalam nilai-nilai baru dalam
memilih teman, nilai-nilai dalam peneriman dan penolakan sosial pun
berubah.
26
Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa dewasa khususnya
perubahan dalam aspek sosial pasti akan memerlukan penyesuaian. Dari pikiran,
sikap, atau penampilan yang dimunculkan oleh remaja akan menentukan apakah
mereka akan diterima atau ditolak oleh lingkungan teman sebayanya. Dikatakan
oleh Schneirders (dalam Hurlock, 1990 ) penyesuaian sosial merupakan proses
mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri
dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh
lingkungannya.
Dibawah ini disajikan tabel yang menjelaskan beberapa kondisi yang
menyebabkan remaja diterima atau ditolak dalam kelompok sebayanya.
Tabel 2.2 Penerimaan dan penolakan sosial
Sindroma penerimaan Sindroma penolakan
1. Kesan pertama yang menyenangkan
(penampilan menarik, sikap yang
tenang, dan gembira)
1. Kesan pertama yang kurang
menyenangkan (menarik diri,
mementingkan diri sendiri)
2. Reputasi sebagai seorang sportif dan
menyenangkan
2. Tidak sportif
3. Perilaku sosial yang ditandai oleh
kerja sama, tanggung jawab, panjang
akal, sopan, dll)
3. Perilaku sosial yang ditunjukkan
dengan sikap mengganggu, senang
memerintah, tidak bijaksana
4. Matang, terutama dalam hal
pengendalian emosi serta kemauan
untuk mengikuti peraturan-peraturan.
4. kurangnya kematangan
27
5. Status ekonomi yang sama dengan
teman sebaya
5. Status ekonomi yang berbeda
6. Tempat tinggal yang dekat dengan
anggota kelompok
6. Jauh dari tempat tinggal teman sebaya
Siswa yang diterima oleh teman sebayanya pasti akan mendapatkan
kebahagiaan dan bersemangat untuk melewati hari demi hari bersama teman
sebayanya. Tetapi bagi orang yang ditolak oleh teman sebayanya perasaan tidak
nyaman, merasa diabaikan dan malas untuk menyediakan waktu untuk bergaul.
Hal tersebut menyebabkan siswa terisolasi. David Fontana (Yaya Sunarya, 1999)
menjelaskan bahwa: “…the isolate is the unfortunate individual who has
nofriends and whois generally either ignored by the group, or used in some way
as a butt for the rest of them. He or she may be loughed at and ridiculed, or be
ficked upon bullied”. Dari pengertian tersebut terkandung makna bahwa konsep
isolate (terisolir) berkaitan dengan dua hal, yaitu pertama, berkaitan dengan
masalah penerimaan sosial (social acceptance) yang tidak wajar dari teman
sekelompoknya. Dimana perlakukan ini akan membawa dampak tertentu terhadap
mereka, baik terhadap perkembangan aspek kepribadiannya, perilaku sosial,
maupun terhadap prestasi belajar disekolahnya (kegagalan akademis). Kedua,
bahwa isolasi (terisolir) merupakan indikator ketidakmampuan melakukan
hubungan sosial (sosialisasi) dalam lingkungannya (sekolah/kelas/kelompok
belajar).
Seorang siswa yang kurang mampu melakukan hubungan sosial dengan
yang lain, mungkin karena dia merasa cepat tersinggung, suka menghindari
28
tanggung jawab, overacting, sombong, dan sebagainya akan disikapi (menjadi
objek sikap) oleh anggota kelompok yang lain. Selain itu, atribut lain yang dibawa
oleh seorang siswa, seperti prestasi yang diperoleh, status sosial ekonomi, dan
lain-lainnya, akan disikapi juga oleh orang lain secara berbeda. Mungkin dia
diisolasi oleh yang lain atau sebaliknya. Seperti ditegaskan oleh David Fontana
(335 : 1986)
…An isolate might simply be marked off from the rest of the class by
widely differing academic ability or socio-economic status, or he could be
socially aggressive in some way, or exceptionally timed and retiring, or
have some other kind or personality problem which may need particular
guidance and counseling.
Dari pendapat diatas jelas bahwa isolasi (terisolir) merupakan indikator
ketidakmampuan bersosialisasi, yang ditandai dengan terlalu agresifnya dalam
hubungan sosial atau punya perasaan malu yang berlebihan.
Menurut Natawidjaja (1979 : 93-95) faktor yang berpengaruh kepada
ketidakmampuan penyesuian sosial atau perkembangan sosial yang terpenting
adalah faktor pendidikan atau pembiasaan dalam keluarga, dan faktor kelompok
sosial.
Yang dimaksud dengan siswa terisolir dalam penelitian ini adalah siswa
yang tidak dipilih oleh teman sekelasnya (sekelompoknya) sebagai teman dekat
atau paling disenangi dalam suatu situasi. Mereka adalah siswa yang terasing atau
terpencil atau dikucilkan oleh teman sekelompoknya karena kemampuan
penyesuaian yang rendah atau memiliki sikap yang tidak disenangi teman
29
sekelompoknya. Mereka merupakan anggota kelompok kelas tetapi tidak
disenangi dan ditolak oleh teman-temannya. Konsep ini mengacu kepada tes
sosiometri.
E. Penggunaan Permainan Sosial Dalam Meningkatkan Kemampuan
Penyesuaian Sosial
1. Pengertian Permainan
Dalam literatur konseling bermain, istilah play (bermain) dan game
(permainan memiliki makna yang berbeda. Genis G. Wahyu (2009)
mengemukakan bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata
untuk menimbulkan kesenangan. Menurut Schaefer & Reid (Nandang
Rusmana, 6:2009) bermain dipandang sebagai suatu perilaku muncul
secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan
binatang, bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-
senang.
Setiap orang pasti pernah bermain, mulai dari masa kecil hingga
masa dewasa tidak akan terlepas dari bermain. Bermain dapat memberikan
kesan bagi orang yang terlibat didalamnya. Kesan atau pengalaman yang
kuat dari melakukan permainan dapat membantu seseorang untuk
mencegah atau mengatasi tantangan psikososial dan mencapai
perkembangan diri yang optimal.
Holeman (2009) mengemukakan bermain dianggap penting
semenjak jaman Plato (429-347 SM). Plato Mengemukakan “you can
30
discover more about a person in an hour of play than in a year of
conversation”, dari pendapat tersebut tersirat bahwa lebih mudah
memahami seseorang ketika dia bermain. Sedangkan Rousseau
berpendapat bahwa bermain adalah alat untuk mempelajari dan memahami
individu.
Formberg (Sue Dockett&Marylin Fleer, 15: 1999) mengemukakan
karakteristik bermain yaitu.
a. Bermain bersifat simbolik
Bermain melibatkan elemen berkhayal, dimana manusia, objek, dan
ide-ide diperlakukan sebagai hal-hal atau sesuatu yang lain. Ketika
bermain, manusia atau benda digunakan sebagai symbol untuk
manusia dan benda lain yang berbeda.
b. Bermain memberikan makna
Johnson (1990) menggambarkan bermain sebagai jendela
perkembangan dan kesempatan untuk belajar. Kesan-kesan dan
pengalaman ketika bermain berperan kuat dalam mengembangkan
kepribadian.
c. Bermain membuat aktif
Bermain adalkah beraktivitas. Dengan bermain berarti mendorong
seseorang untuk melakukan aktivitas baik secara fisik maupun psikis.
d. Bermain memberikan kesenangan
Seseorang terdorong untuk bermain karena permainan yang dilakukan
dapat memberikan kesenangan. Bermain tidak harus seperti bekerja
31
yang menuntut seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Bermain
adalah aktivitas untuk memperoleh kesenangan. Oleh karena itu,
terapis, konselor, atau guru banyak menggunakan metode bermain
sebagai media.
e. Bermain bersifat sukarela
Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri. Seseorang bebas
memilih tanpa paksaan untuk bermain atau tidak ikut bermain. Hal
tersebut melatih seseorang untuk mempertimbangkan waktu dan
energi pada hal-hal yang dianggap penting.
Sue Dockett & Marylin Fleer (1999) mengemukakan terdapat
beberapa teori yang menjelaskan mengenai konsep bermain, teori tersebut
terbagi dua teori klasik dan teori kontemporer.
a. Teori Klasik
1. Teori Surplus Energi, teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan
bermain ketika mereka mempunyai energi yang lebih. Jadi,
bermain merupakan cara untuk menghabiskan energi. Salah satu
tokohnya adalah Schiller seorang filosof dari Jerman yang
menyebutkan bahwa bermain adalah pengeluaran banyak energi
dan tidak mempunyai tujuan. Sekarang banyak yang menentang
teori ini karena pendapatnya yang menyebutkan bahwa bermain itu
tidak bertujuan.
2. Teori Rekreasi, teori ini menjelaskan bahwa bermain merupakan
aktivitas yang bertujuan untuk bersenang-senang atau rekreasi,
32
bukan untuk keperluan pekerjaan atau keperluan lain. Teori ini
berpendapat bahwa bermain bertujuan untuk mengembalikan atau
memulihkan energi.
3. Teori Latihan-Naluri
Teori ini menjelaskan bermain sebagai cara bagi anak-anak untuk
mempelajari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan ketika
menjadi orang dewasa. Bermain berarti mempersiapkan diri untuk
peran di masa yang akan datang
4. Teori Katarsis
Teori ini menjelaskan bahwa bermain merupakan kegiatan untuk
menunjukkan dorongan naluri dalam cara yang pantas dan dapat
diterima secara sosial.
b. Teori Kontemporer
1. Teori Psikoanalisa
Dalam teori ini dijelaskan bahwa bermain adalah sebagai katarsis
dari pengalaman-pengalaman. Bermain merupakan cara yang aman
untuk mengekspresikan emosi dan impuls-impuls yang tidak
diterima dalam kenyataan.
2. Teori Vygotsky
Dalam pandangan Vygotsky bermain selalu menjadi simbol
pengalaman sosial. Pembelajaran dan perkembangan adalah suatu
aktivitas sosial. Tema utama teori ini ialah interaksi sosial
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kognitif.
33
Baginya, proses perkembangan yang panjang antara interaksi sosial
dan pembelajaran sosial akan menyebabkan perkembangan
kognisi. Zone Proximal Development (ZPD) dan Scaffoldingk ZPD
adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan
seseorang saat ini. Scaffolding adalah memberikan bantuan kepada
seseorang dalam tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi pemberian bantuan tersebut dengan tujuan pemberian
kesempatan kepada seseorang tersebut untuk dapat mengerjakan
sendiri.
3. Teori Piaget
Piaget terkenal dengan teorinya mengenai tahapan bermain, yaitu.
a. Permainan latihan (terutama selama 2 tahun pertama): latihan
memperlakukan benda-benda untuk mengerti sifat-sifatnya,
memperluas pengetahuannya.
b. Permainan simbolis (terutama sesudah tahun ke-2): banyak
persamaan dengan permainan fiksi Bữhler; remaja belajar
untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginan-
keinginannya pada kenyataan (bandingkan asimilasi).
c. Permainan aturan (terutama antara 7 dan 11 tahun): mengerti
aturan-aturan, yaitu aturan-aturan objektif lepas dari waktu dan
orang-orang tertentu. Dipelajari melalui aktifitas-aktifitas
permainan.
34
4. Teori Parten
Parten mengkategorikan bermain yaitu.
a. Gerakan yang terarah: tidak berbuat apa-apa, jalan-jalan,
melihat kesana-kemari, bermain-main dengan badan sendiri.
b. Tingkah laku pengamat (onlooker behavior): melihat individu
lain yang sedang melakukan sesuatu.
c. Permainan solitair: bermain sendiri, mencari kesibukan sendiri.
d. Permainan parallel: bermain dengan permainan yang sama
tanpa ada tukar-menukar alat permainan dan tanpa ada
komunikasi.
e. Permainan asosiatif: remaja bermain bersama-sama tetapi tanpa
ada pemusatan terhadap suatu tujuan, tanpa ada pembagian
peranan dan alat-alat permainan.
f. Permainan kooperatif: kerjasama dan koordinasi dalam alat-alat
dan peranan-peranan, ada perjanjian dan pembagian tugas-
tugas.
Genis G. Wahyu (2009) mengemukakan bermain adalah kegiatan
yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. hal tersebut
yang menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang
semata untuk kesenangan fungsional. Berbeda dengan bekerja yang
memiliki tujuan tertentu dan tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat
ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat bermain yang bersifat
35
edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal tersebut terlihat
dengan pencakupan permainan, olah raga, seni, dalam kurikulum
pendidikan formal.
Game (permainan) telah ada sejak zaman prasejarah dan dianggap
memainkan suatu peran signifikan dalam adaptasi terhadap
lingkungannya. Game (permainan) adalah kagiatan yang terstruktur,
biasanya dilakukan untuk memperoleh kesenangan atau sebagai alat
pendidikan (www.wikipedia.org). kebanyakan permainan memiliki aturan-
aturan yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan
terhadap perilaku, dan menggambarkan cara permainan itu
berfungsi/berjalan (nandang Rusmana, 6 :2009) . berdasarkan pengertian
diatas terlihat jelas perbedaan antara play (bermain) dengan game
(permainan). Game memiliki struktur, rentang dan cakupan perilaku yang
terbatas dibandingkan play yang tak terstruktur dan melibatkan imajinasi
yang berpura-pura. Dalam pelaksanaanya game (permainan)memerlukan
kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan play
(bermain).
Studi tentang permainan dapat menjelaskan hubungan antara
kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ,1987; J. Singer,1973;D.
Singer & J. Singer,1990). Menurut Russ (Nandang Rusmana, 7 : 2009)
dengan mengamati proses permainan, konselor dapat melihat ekspresi dari
sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses interpersonal. Proses kognisi
yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi :
36
1. Organisasi adalah proses psikologis yang terkait dengan
kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis
dan sistematis.
2. berpikir divergen berkait dengan kemampuan individu untuk
mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita, dan symbol secara
kreatif.
3. simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi
objek-objek biasa ke dalam representasi-representasi objek-objek
lain.
4. khayalan berkait dengan kemampuan untuk terlibat dalam perilaku
bermain”seakan-akan” untuk berpura-pura berada dalam suatu
waktu dan ruang yang diekspresikan.
Proses afektif yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi :
1. Ekspresi emosi merujuk kepada kemampuan individu untuk
mengekspresikan keadaan-keadaan dalam situasi bermain pura-
pura, baik afeksi positif maupun afeksi negatif.
2. Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk
mengekspresikan bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema
khusus dalam bermain.
3. Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan
memuat dan mengatur emosi positif maupun emosi negatif.
Proses interpersonal yang diekspresikan melalui proses bermain
meliputi :
37
1. Empati merujuk pada ekspresi kepedulian dan perhatian terhadap
orang lain.
2. Skema interpersonal merujuk pada kapasitas individu untuk
mempercayai orang lain.
3. Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi,
mengekspresikan gagasan, dan emosi pada orang lain.
2. Fungsi Permainan
Bandi (2004) mengemukakan bahwa bermain mempunyai fungsi
yang berhubungan dengan faktor biologis, intrapersonal, interpersonal, dan
sosiokultural.
a. Faktor biologis dimaksudkan bahwa bermain sangat erat kaitannya
dengan fungsi biologis, yaitu
1. bermain merupakan wahana bagi seseorang untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan dasar.
2. melalui bermain seseorang dapat meyalurkan seluruh energi
serta mendapatkan relaksasi.
3. bermain memberikan kemungkinan terhadap remaja untuk
melakukan kinestetik.
b. fungsi intrapersonal yaitu :
1. bermain dapat memenuhi gairah diri, yang merupakan perilaku
manusia yang membutuhkan sesuatu, walaupun sering tidak
terkabulkan.
38
2. bermain dapat memungkinkan seorang untuk memperolah
kemampuan untuk menguasai situasi tertentu
3. bermain menjadikan diri seseorang untuk dapat mengatasi
konflik-konflik dirinya.
c. Fungsi interpersonal, yaitu :
1. bermain merupakan wahana yang paling penting bagi
seseorang untuk menemukan jati dirinya.
2. bermain membantu seseorang untuk mempelajari keterampilan-
keterampilan sosial.
Sedangkan fungsi permainan secara sosiokultural adalah
bermain sebagai media untuk mempelajari peranan budaya.
Hetherington Dan Parke (1979) menyebutkan tiga fungsi utama
dari permainan yaitu.
1. Fungsi Kognitif
Permainan membantu perkembangan kognitif. Melalui
permainan seseorang mampu menjelajah lingkungan,
mempelajari objek-objek disekitarnya, dan belajar
memecahkan masalah yang dialaminya. Piaget (1962) percaya
bahwa struktur kognitif seseorang mulai dari anak-anak harus
dilatih dan permainan merupakan metode yang sempurna bagi
latihan tersebut. Melalui permainan memungkinkan
39
2. Fungsi Sosial
Permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial. Ketika
kecil, permainan membantu anak-anak dalam memerankan
suatu peran, belajar memahami orang lain dan peran-peran
yang akan dimainkan kemudian hari setelah mereka tumbuh
dewasa. Tidak hany anak-anak bagi remaja atau orang dewasa
permainan menjadi ajang bersosialisasi dengan orang lain.
3. Fungsi Emosi
Permainan memungkinkan seseorang untuk memecahkan
masalah-masalah emosional, sarana untuk belajar mengatasi
kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan
seseorang untuk melepaskan energi fisik yang berlebihan dan
membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Karena
tekanan batin terlepaskan didalam permainan, seseorang dapat
mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan.
3. Jenis-Jenis Permainan
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan mengenai jenis-jenis
permainan. Menurut McClellan & Katz (2001) kegiatan bermain dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis utama, yaitu (1) kegiatan bermain
fantasi (symbolic/pretend/imaginary play), dan (2) gim (game), yaitu
permainan yang terstruktur dan mempunyai seperangkat aturan baku dan
40
bersifat kompetitif. Baik kegiatan bermain fantasi maupun gim
memperkuat perkembangan kompetensi sosial pada remaja.
Sutton-Smith dan Roberts (Nandang Rusmana, 14:2009)
membedakan jenis permainan berdasarkan pada apa yang menentukan
siapa yang menang. Pertama, permainan keterampilan fisik. Kedua,
permainan strategi. Ketiga, permainan untung-untungan.
Berikut ini akan disajikan secara skematis kategori-kategori
permainan yang dikemukakan oleh beberapa ahli yang lainnya dalam tabel
2.3.
Tabel 2.3 Bentuk-bentuk Permainan Menurut Beberapa Ahli (Mönks, 1982:142)
No. Nama Tokoh Bentuk Permainan 1. Bữhler a. Permainan gerak dan permainan fungsi (dari
lahir sampai ± 3 tahun); berbagai aktifitas motorik, vokal dan penginderaan.
b. Permainan peranan, permainan fantasi dan permainan fiksi (terutama antara usia 2 dan 5 tahun); semua aktifitas mempunyai sifat “seakan-akan”.
c. Permainan reseptif (ada sesudah tahun ke-2; tidak ada puncak yang terikat pada usia tertentu) terbuka untuk dan dapat meresapkan kesan-kesan baru.
d. Permainan konstruksi (sudah ada mulai usia 2 tahun dan meningkat terutama mulai usia 5 tahun); misalnya membuat sesuatu.
2. Parten a. Gerakan yang terarah: tidak berbuat apa-apa, jalan-jalan, melihat kesana-kemari, bermain-main dengan badan sendiri.
b. Tingkah laku pengamat (onlooker behavior): melihat individu lain yang sedang melakukan sesuatu.
c. Permainan solitair: bermain sendiri, mencari kesibukan sendiri.
d. Permainan parallel: bermain dengan permainan yang sama tanpa ada tukar-menukar
41
alat permainan dan tanpa ada komunikasi. e. Permainan asosiatif: remaja bermain bersama-
sama tetapi tanpa ada pemusatan terhadap suatu tujuan, tanpa ada pembagian peranan dan alat-alat permainan.
f. Permainan kooperatif: kerjasama dan koordinasi dalam alat-alat dan peranan-peranan, ada perjanjian dan pembagian tugas-tugas.
3. Piaget a. Permainan latihan (terutama selama 2 tahun pertama): latihan memperlakukan benda-benda untuk mengerti sifat-sifatnya, memperluas pengetahuannya.
b. Permainan simbolis (terutama sesudah tahun ke-2): banyak persamaan dengan permainan fiksi Bữhler; remaja belajar untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginan-keinginannya pada kenyataan (bandingkan asimilasi).
c. Permainan aturan (terutama antara 7 dan 11 tahun): mengerti aturan-aturan, yaitu aturan-aturan objektif lepas dari waktu dan orang-orang tertentu. Dipelajari melalui aktifitas-aktifitas permainan.
4. Caillois a. Agon (Yunani = permainan kompetisi): setiap orang mempunyai kebutuhan untuk menonjol dalam suatu bidang tertentu, pertandingan memberikan kesempatan untuk hal ini.
b. Alea (Latin = dadu): tidak tergantung kekuatan sendiri tetapi karena sifat kebetulan; main judi; mengadu nasib dan ingin menguasai.
c. Mimicry (Yunani = menirukan); lepas dari diri sendiri dengan menjadi orang lain, berbuat seakan-akan untuk melebihi keterbatasan sendiri.
d. Ilin (Yunani = pusaran): permainan yang mengandung bahaya dan resiko, misalnya autocross, mendaki gunung (menanklukkan puncak gunung).
Jefree dan kawan-kawannya (Bandi, 2004:75)
mengembangkan beberapa jenis permainan. Keenam jenis permainan
tersebut yaitu :
42
a. Exploratory Play atau permainan eksplorasi, yaitu permainan yang
memberi kesempatan terhadap remaja untuk dapat menjelajahi
lingkungannya
b. Energetic Play atau permainan energik, yaitu permainan yang
menggunakan seluruh energi
c. Skillful Play atau permainan melatih keterampilan, yaitu permainan
yang berkaitan dengan keterampilan baru
d. Social Play atau permainan sosialisasi, yaitu permainan untuk
meningkatkan kemampuan bersosialisasi
e. Imaginative Play atau permainan imajinasi, yaitu permainan untuk
mengembangkan daya berfikir dan bahasa
f. Puzzle-It-Out Play atau permainan puzzle, yaitu permainan
memecahkan masalah dengan bermain puzzle.
4. Penggunaan Permainan Sosial Dalam Meningkatkan Kemampuan
Penyesuaian Sosial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri
dengan lawan jenis yang sebelumnya mungkin belum pernah dirasakannya
dan ada juga yang harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar
lingkungan keluarga.
Untuk mencapai tugas perkembangan tersebut remaja memerlukan
pola penyesuaian baru. Jika remaja dapat menunjukkan sikap, penampilan,
43
dan perbuatan yang diterima oleh teman sebaya, maka dia akan diterima
secara sosial. Jika gagal maka penolakan adalah konsekuensi dari
ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri. Siswa yang ditolak secara
sosial dalam istilah sosiometri berstatus terisolir.
Hurlock (1980) mengemukakan tanda bahaya yang biasa
ditunjukkan oleh remaja karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri
yaitu.
1. tidak bertanggung jawab, seperti perilaku mengabaikan tugas
sekolah demi mendapat pengakuan sosial.
2. sikap yang agresif dan yakin pada diri sendiri.
3. perasaan tidak aman.
4. merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang dikenal.
5. perasaan menyerah.
6. terlalu banyak mengkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasan.
7. mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan
diperhatikan.
8. menggunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi,
proyeksi, berkhayal, dan memindahkan.
Untuk mencegah hal-hal tersebut di atas terjadi, maka remaja perlu
dilatih untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya. Hal
tersebut bertujuan agar mereka mampu berusaha sendiri agar pikiran,
sikap, penampilannya dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
44
Salah satu pendekatan yang dapat diberikan untuk melatih remaja
dalam mengembangkan kemampuan sosialnya adalah dengan permainan.
Permainan yang digunakan adalah permainan sosial. Jefree (Bandi,
2004:75) menyebutkan bahwa permainan sosial adalah permainan yang
diberikan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
Permainan sosial dapat membantu remaja dalam interaksi sosial
dan mengembangkan keterampilan sosial, yaitu belajar bagaimana berbagi,
hidup bersama, memecahkan masalah, serta belajar hidup dalam
masyarakat secara umum. Parten mengistilahkan permainan ini dengan
permainan kooperatif. Permainan sosial dan permainan kooperatif
mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu seseorang yang terlibat
didalamnya untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Permainan ini
dilakukan dalam situasi kelompok. Nandang Rusmana (2009)
mengemukakan terdapat tujuh alasan untuk menggunakan permainan
dalam kelompok, diantaranya :
1. Mengembangkan diskusi dan partisipasi
Penggunaan permainan dalam kelompok seringkali dapat
meningkatkan partisipasi anggota kelompok dengan cara
memberikan mereka pengalaman umum.permainan dapat menjadi
cara untuk menstimulasi minat dan energi anggota kelompok.
2. Memfokuskan kelompok
Suatu permainan dapat digunakan untuk memfokuskan anggota
pada suatu isu atau topik yang umum.
45
3. Mengangkat suatu fokus
Konselor juga bisa menggunakan permainan untuk mengangkat
suatu fokus saat ia merasa sebuah topik baru dibutuhkan.
4. Memberi kesempatan untuk pembelajaran eksperiensial
Permainan berguna untuk membuat anggota menindaklanjuti tema
yang didiskusikan dalam kelompok daripada hanya
membicarakannya.
5. Memberi konselor informasi yang berguna
Permainan berguna untuk mendapatkan informasi yang berguna
dari anggota kelompok.
6. Memberikan kesenangan dan relaksasi
Permainan tertentu dapat melonggarkan suasana dalam kelompok
melalui canda tawa dan relaksasi.
7. Meningkatkan level kenyamanan
Permainan dapat digunakan untuk meningkatkan level kenyamanan
dalam kelompok. Banyak anggota mengalami kecemasan selama
sesi awal dalam kelompok. Permainan untuk meningkatkan
keakraban seringkali menambah rasa nyaman diantara anggota
kelompok.
Dalam permainan sosial, seseorang diajarkan untuk bisa
memulai mengajak orang lain berkenalan. Kemudian melakukan
interaksi yang berkelanjutan, memahami orang lain, menerima
kelebihan dan kekurangan orang lain, mampu menjalankan peran yang
46
telah ditentukan bersama, kemampuan mengontrol diri, kemampuan
berempati, dan kemampuan untuk saling menghargai.
Dengan diberikan permainan sosial diharapkan remaja yang
mempunyai kemampuan penyesuaian sosial rendah mampu mengatasi
permasalahannya tersebut dan siap untuk menempuh tingkat
kehidupan dewasa.