1.5 Bab II

25
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Ubi Jalar Ungu Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang kaya akan sumber karbohidrat dan berpotensial sebagai bahan penganekaragaman pangan dan agroindustri. Meskipun memiliki kadar protein yang rendah ubi jalar ungu juga mengandung vitamin C dan kaya akan antosianin yang berperan sebagai antioksidan (Bararah, 2012). Menurut Sarwono (2005) dalam Rakhmah (2012), taksonomi tanaman ubi jalar berasal dari Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Angiospermae, Kelas: Dicotyledone, Ordo: Turbiflorae, Famili: Convolvulaceae, Genus: Ipomoea dan Spesies: Ipomoea batatas L. Mengingat kondisi dan iklim di Indonesia sangat mendukung, tanaman ubi jalar sangat potensial untuk dikembangkan secara nasional. Ubi jalar dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan akan menghasilkan hasil terbaik apabila dibudidayakan pada lahan persawahan (Anonim, 2013). Ubi jalar dapat dipanen

description

yayayan

Transcript of 1.5 Bab II

Page 1: 1.5 Bab II

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang kaya akan

sumber karbohidrat dan berpotensial sebagai bahan penganekaragaman pangan

dan agroindustri. Meskipun memiliki kadar protein yang rendah ubi jalar ungu

juga mengandung vitamin C dan kaya akan antosianin yang berperan sebagai

antioksidan (Bararah, 2012). Menurut Sarwono (2005) dalam Rakhmah (2012),

taksonomi tanaman ubi jalar berasal dari Divisi: Spermatophyta, Sub divisi:

Angiospermae, Kelas: Dicotyledone, Ordo: Turbiflorae, Famili: Convolvulaceae,

Genus: Ipomoea dan Spesies: Ipomoea batatas L.

Mengingat kondisi dan iklim di Indonesia sangat mendukung, tanaman ubi

jalar sangat potensial untuk dikembangkan secara nasional. Ubi jalar dapat

tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan akan menghasilkan hasil terbaik

apabila dibudidayakan pada lahan persawahan (Anonim, 2013). Ubi jalar dapat

dipanen berdasarkan umur tanaman. Idealnya ubi jalar dapat dipanen apabila

sudah berumur 3 bulan. Ciri ubi jalar yang sudah dapat dipanen apabila ubi-

ubinya sudah tua. Ciri fisik ubi jalar yang matang, yaitu kandungan tepungnya

sudah maksimum, ditandai dengan kadar serat yang rendah dan apabila dilakukan

perebusan akan menghasilkan rasa yang enak dan tidak berair (Prihatman, 2000).

Produksi ubi jalar terbesar di Indonesia berada di daerah Jawa Barat, Jawa

Timur, Jawa Tengah, Papua dan Sumatera. Namun hanya Papua yang baru

memanfaatkan ubi jalar sebagai makanan pokok pada saat ini (Iriyanti, 2012).

Tanaman ubi jalar lebih efektif sebagai penghasil karbohidrat dibandingkan

Page 2: 1.5 Bab II

6

dengan ubi kayu. Ubi jalar mampu menghasilkan 48.000 kalori per hektar per

hari, sedangkan ubi kayu hanya 35.000 kalori per hektar per hari (Rahmawan,

2006).

Menurut Rahayu dkk. (2012) karbohidrat pada ubi jalar ungu mengandung

indeks glikemik yang rendah sehingga aman untuk dikonsumsi dan dapat

menurunkan kadar gula darah karena mengandung karbohidrat yang berfungsi

sebagai serat pangan. Serat pangan terdiri dari komponen yang larut (Solube

Dietary Fiber) dan komponen yang tidak dapat larut (Insolube Dietary Fiber).

Kandungan serat pangan pada ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 1.

Menurut Suiatna (2009) indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan

berdasarkan pengaruh yang diberikan terhadap kadar gula darah. Pangan yang

dapat menaikkan gula darah dengan cepat maka menghasilkan IG tinggi, begitu

juga sebaliknya. Penentuan IG suatu pangan ditentukan oleh jenis dan cara

pengolahan pangannya. IG dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu IG rendah

(<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70).

Tabel 1. Kandungan serat pangan ubi jalar unguSerat Pangan (Dietary Fiber) Jumlah Solube Dietary Fiber (SD) (% bb) 3,18Insolube Dietary Fiber (IDF) (% bb) 1,46

Sumber : Hardoko dkk. (2010)

Kandungan utama pada ubi jalar ungu adalah pati yang terdiri dari 30-

40% amilosa dan 60-70% amilopektin. Selain itu ubi jalar ungu juga mengandung

kadar serat pangan yang tinggi yaitu 4,72% per 100 g (Nintami, 2012). Ubi jalar

ungu mengandung antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain

sehingga memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu pekat dan disebut

Ipomoea batatas (Kumalaningsih, 2006 dalam Kristiyani, 2012). Menurut Ginting

Page 3: 1.5 Bab II

7

dkk. (2008) senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai

antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah

terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arterisklerosis.

Adapun kandungan gizi yang terdapat di dalam ubi jalar ungu dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi ubi jalar ungu per 100 gKandungan gizi JumlahKalori (kal) 123,00Karbohidrat (g) 27,90Protein (g) 1,80Lemak (g) 0,70Kalsium (mg) 30,00Fosfor (mg) 49,00Zat besi (mg) 0,70Natrium (mg) 77,00Kalium (mg) 0,90Niacin (mg) 22,00Vitamin A (SI) 62,00Vitamin B (mg) 0,70Vitamin C (mg) 22,00

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Republik Indonesia (1991) dalam Iriyanti (2012)

2.2. Tepung Ubi Jalar Ungu

Tepung ubi jalar ungu merupakan salah satu produk setengah jadi yang

diperoleh dari pengolahan ubi jalar ungu. Pembuatan tepung ubi jalar dapat dibuat

secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan tetapi

dapat juga dibuat dari gaplek ubi jalar yang digiling (dihaluskan) kemudian

diayak atau disaring (Ambarsari dkk., 2009). Menurut Kristiyani (2012) tepung

ubi jalar ungu merupakan bahan pangan lokal yang memiliki kandungan

antosianin yang cukup tinggi. Menurut Hasbullah (2001) dalam Yosephine (2011)

di dalam 100 g ubi jalar ungu mengandung 110,51 mg antosianin. Antosianin

Page 4: 1.5 Bab II

8

merupakan salah satu sumber antioksidan yang mampu menghalangi laju

perusakan sel radikal bebas akibat nikotin, polusi udara dan bahan kimia.

Tepung ubi jalar ungu mengandung karbohidrat yang tinggi namun rendah

protein. Tepung ubi jalar ungu mengandung protein sekitar 2,79% (Iryanti, 2012)

dibandingkan dengan kandungan protein terigu sekitar 9% per 100 g (Mahmud

dkk., 2009). Komposisi kimia yang terdapat dalam tepung ubi jalar ungu dan

tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 3. Selain mengandung karbohidrat yang

tinggi, tanaman ubi jalar ungu banyak terdapat di Indonesia sehingga berpotensi

untuk menggantikan terigu. Pemanfaatan tepung ubi jalar ungu dalam pengolahan

pangan telah dilakukan oleh Hardoko dkk. (2010) melalui penelitian pembuatan

roti tawar. Penggunaan tepung ubi jalar ungu dalam pembuatan roti tawar tersebut

dilakukan sebagai substitusi parsial tepung terigu sekaligus meningkatkan

aktivitas antioksidan roti yang dihasilkan. Namun penggunaan tepung ubi jalar

hanya dapat dilakukan hingga 20%, hal itu dikarenakan apabila penggunaan

tepung ubi jalar ungu lebih akan menyebabkan penurunan karakteristik mutu roti

yang meliputi volume roti, keempukan dan kesukaan warna terhadap roti tawar.

Menurut Ambarsari dkk. (2009) keunikan dari tepung ubi jalar ini adalah

warna produk yang dihasilkan mengikuti warna daging umbi bahan bakunya.

Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan bahan bakunya harus menggunakan

proses yang tepat. Menurut Kuncahyo (2013) keuntungan pembuatan tepung ubi

jalar ungu adalah memiliki daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan ubi

jalar segar, penggunaannya lebih luas dalam pengolahan pangan dan nilai gizi,

sebagai alternatif penyediaan bahan baku industri dengan harga stabil, dapat

menciptakan industri dan menambah pendapatan masyarakat.

Page 5: 1.5 Bab II

9

Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu dan tepung teriguKomposisi kimia Tepung Ubi Jalar Ungu (*) Tepung Terigu (**)Air (%) 7,28 11,80Abu (%) 5,31 1,00Protein (%) 2,79 9,00Lemak (%) 0,81 1,00Karbohidrat (%) 83,91 77,20Serat (%) 4,72 0,30

Sumber : 1.Lies Suprapti (2003) dalam Iryanti (2012)** 2. Mahmud dkk. (2009)**

2.3. Tempe dan Tepung Tempe

Menurut Cahyadi (2009) tempe merupakan makanan yang diperoleh dari

proses fermentasi kapang golongan Rhizopus. Tempe merupakan sumber protein

nabati yang tinggi dan sangat digemari masyarakat karena proses pembuatannya

sederhana dan memiliki harga yang relatif murah. Menurut Widianarko (2000)

tempe merupakan makanan tradisional masyarakat Indonesia yang terbuat dari

kedelai melalui proses fermentasi. Tempe memiliki nilai gizi yang tinggi

dibandingkan dengan kedelai, karena tempe memiliki daya cerna yang lebih baik.

Tempe merupakan sumber protein nabati yang tidak kalah dengan protein

hewani. Dalam 100 g tempe mengandung energi sebanyak 201 kkal, karbohidrat

13,50 g, protein 20,80 g, lemak 8,80 g dan serat 1,40 g (Waluyani, 2013). Selama

proses fermentasi tempe menyebabkan terjadinya peningkatan asam amino,

sehingga apabila mengkonsumsi tempe dapat memenuhi sebagian besar

kebutuhan asam amino pada tubuh seperti triptofan, treonin, isoleusin, valin dan

histidin (Anonim, 2012).

Zat gizi pada tempe lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan di dalam tubuh

sehingga baik diberikan pada makanan anak-anak penderita gizi buruk dan diare

kronis untuk meningkatkan pertumbuhan berat badan pada anak tersebut

Page 6: 1.5 Bab II

10

(Anonim, 2013). Selain mengandung nutrisi yang tinggi tempe juga mengandung

antibiotika dan antioksidan yang berpotensi melawan radikal bebas penyebab

penuaan, penyakit degenaratif dan penyakit yang lainnya (Waluyani, 2013)

Tepung tempe merupakan tepung yang diperoleh dari hasil pengolahan

tempe. Tepung tempe memiliki kadar abu, protein, lemak dan serat kasar yang

lebih tinggi daripada tepung terigu (Susanti, 1995). Tepung tempe memiliki rasa

yang hambar dan tidak memiliki rasa kedelai akan tetapi masih mengandung

protein yang tinggi (Faizah, 2012). Pemanfaatan tepung tempe dalam pengolahan

beberapa produk makanan sudah banyak dilakukan sebagai bahan tambahan pada

produk makanan anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia.

Penelitian pembuatan kukis dengan tepung tempe sudah dilakukan oleh

Susanti (1995). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi

penggunaan tepung tempe maka kadar abu, protein, lemak dan serat kasarnya

semakin tinggi namun kadar air dan karbohidratnya semakin rendah. Penggunaan

tepung tempe dalam pembuatan kukis tersebut hingga mencapai 25% masih dapat

diterima oleh panelis secara organoleptik. Tepung tempe diperoleh melalui proses

pemotongan tempe segar, blanching, pengeringan, penggilingan dan pengayakan.

Adapun tujuan dari blanching terhadap tempe adalah untuk mematikan

kapang Rhizopus sehingga vitamin B12, B2 dan B6 tidak larut. Tempe yang sudah

diolah menjadi tepung tempe akan memiliki kandungan zat gizi yang berbeda.

Kandungan gizi tempe dan tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 7: 1.5 Bab II

11

Tabel 4. Kandungan zat gizi tempe dan tepung tempe per 100 gKandungan gizi Tempe Tepung tempe (*)Energi (kkal) 201,00 149,00Karbohidrat (g) 13,50 28,00Air (g) 55,30 4,00Abu (g) 1,60 3,00Protein (g) 20,80 46,10Lemak (g) 8,80 26,00Serat kasar (g) 1,40 2,80Kalsium (mg) 155,00 149,00**Zat besi (mg) 4,00 10,00Fosfor (mg) 326,00 340,80**Vitamin B1 (mg) 0,19 0,10

Sumber : 1. Mahmud dkk. (2009) 2. Marulitua (2013)* 3. Pertiwi (2012)**

2.4. Tepung Udang Rebon

Udang merupakan salah satu sumber protein yang cukup tinggi. Salah satu

jenis udang yang mudah ditemui di pasaran dan masih memiliki harga yang

terjangkau yaitu udang rebon. Udang rebon adalah salah satu Famili Penaeidae.

Udang rebon memiliki kulit agak keras namun tidak kaku. Biasanya udang rebon

digunakan sebagai bahan pembuatan terasi (Anonim, 2013). Menurut Wau dkk.

(2010) udang rebon (Acetes erythraeus) merupakan jenis udang yang bertekstur

lembut dan disukai hampir seluruh masyarakat.

Udang rebon merupakan sumber protein hewani yang sangat baik. Dalam

100 g udang rebon segar mengandung protein sebesar 16,20 g. Kandungan ini

hampir sama dengan kandungan protein pada udang segar sehingga disarankan

pada anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan agar banyak mengonsumsi

udang, termasuk rebon (Astawan, 2009). Protein merupakan salah satu zat gizi

yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

Protein berperan penting dalam pembentukan sel-sel dan jaringan baru tubuh,

Page 8: 1.5 Bab II

12

memelihara pertumbuhan jaringan tubuh dan untuk perbaikan jaringan yang rusak

(Winarno, 2004). Selain mengandung protein udang rebon juga kaya akan kalsium

yaitu sebanyak 757 mg per 100 g (Setiyorini, 2013).

Menurut Astawan (2009) udang rebon tidak hanya kaya akan kalsium juga

kaya akan fosfor. Terjadinya osteoporosis tidak hanya disebabkan karena

kurangnya kalsium tetapi dengan konsumsi kalsium dan fosfor yang seimbang

dapat mencegah osteoporosis. Pada umumnya pemanfaatan udang rebon

digunakan sebagai bahan pembuatan terasi dan pakan ternak (Wau dkk., 2010).

Pengolahan udang rebon menjadi tepung udang rebon sangat mudah dilakukan

melalui proses pengeringan dan penggilingan. Adapun komposisi zat gizi yang

terdapat dalam udang rebon dan tepung udang rebon dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi zat gizi udang rebon segar dan tepung udang rebon dalam 100 g

Komposisi zat gizi Udang rebon segar (*) Tepung udang rebon (**)Energi (kkal) 81,00 299,00Karbohidrat (g) 0,70 3,20Air (g) 79,00 21,60Protein (g) 16,20 59,40Lemak (g) 1,20 3,60Kalsium (mg) 757,00 2306,00Zat besi (mg) 2,20 21,40Fosfor (mg) 292,00 265,00

Sumber : 1. Mahmud dkk. (2009)* 2. Astawan (2009)**

2.5. Minyak Sawit Merah

Menurut Rismawati (2009) minyak sawit merah adalah minyak sawit yang

diperoleh tanpa melalu proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan

mempertahankan karotenoidnya. Sementara menurut Wardi (2008) minyak sawit

merah merupakan minyak yang kaya akan vitamin A dan vitamin E. Menurut

Page 9: 1.5 Bab II

13

Julita dan Damayanti (2002) minyak sawit merah merupakan sumber vitamin A

yang dapat digunakan sebagai penanggulangan masalah kekurangan vitamin A,

penyediaan zat warna alami (orange kemerahan) dan sebagai bahan “healthy

food” sangat bermanfaaat terhadap kesehatan masyarakat.

Minyak sawit merah mengandung banyak karotenoid dalam bentuk α dan

β-karoten, selain itu minyak sawit merah juga mengandung 800 mg/Kg vitamin E

dalam bentuk tokoferol dan tokotrienol (Razak, 2007). Vitamin A yang terdapat

pada minyak sawit merah 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan vitamin A

pada wortel dan 300 kali lebih banyak dari vitamin A pada tomat (Nugroho,

2013).

Penelitian yang berhubungan dengan analisis kadar beta karoten sudah

dilakukan oleh Hayadi dan Yusianti (2001). Dengan suhu pemanggangan yang

bervariasi dan lama waktu pemanggangan dapat menyebabkan hilangnya

kandungan karoten pada roti manis. Suhu 325°F selama 15 menit, suhu 350°F

selama 12 menit, suhu 375°F selama 9 menit. Pada suhu 325°F selama 15 menit

dan subtitusi 20% tepung ubi jalar dan 50% minyak sawit merah, roti manis

mengalami kehilangan karoten yang lebih sedikit yaitu sekitar 56,05%. Semakin

meningkatnya suhu yang digunakan maka hilangnya karoten cenderung lebih

besar.

Vitamin A adalah nutrisi penting yang dibutuhkan dalam jumlah kecil

untuk fungsi normal dari sistem penglihatan, pemeliharaan fungsi sel

pertumbuhan, memproduksi kekebalan sel darah merah dan reproduksi (Anonim,

2012). Penambahan minyak sawit merah dalam pembuatan menu makanan anak-

anak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan vitamin A (Julita

Page 10: 1.5 Bab II

14

dan Damayanti, 2002). Rata-rata, kebutuhan vitamin A setiap harinya pada anak-

anak yang berusia 1-3 tahun sebanyak 300 µg, sedangkan usia 4-8 tahun

membutuhkan 400 µg dan usia 9-13 tahun umumnya akan membutuhkan 600 µg

(Bunie, 2012).

Vitamin A merupakan vitamin yang cepat rusak apabila dipanaskan

dengan adanya oksigen dan suhu yang tinggi sehingga penggunaan minyak sawit

merah dalam proses penggorengan dengan suhu tinggi tidak dianjurkan karena

karotenoid pada minyak sawit merah akan hilang pada pemanasan tinggi (Razak,

2007). Minyak sawit merah lebih dianjurkan digunakan sebagai minyak makan

dalam menumis sayur, minyak salad, shortening dan bahan fortifikan (Puspitasari,

2008).

Minyak sawit merah digunakan sebagai shortening dalam pembuatan

kukis berfungsi mempengaruhi aroma, rasa dan warna pada kukis. Semakin tinggi

subtitusi minyak sawit merah yang digunakan pada pembuatan kukis maka warna

kukis yang dihasilkan lebih baik, aroma yang harum serta rasa yang enak pada

kukis (Julita dan Damayanti, 2002). Pembuatan biskuit dengan menggunakan

minyak sawit merah sudah dilakukan oleh Najamuddin dkk. (2012). Penambahan

minyak sawit merah hingga 25% menjadi biskuit terpilih baik dari segi

penerimaan panelis maupun dari segi kandungan β-karotennya. Biskuit dengan

penggunaan minyak sawit merah 25% memiliki kandungan β-karoten yang cukup

tinggi (406,66 ppm) hal ini disebabkan karena proses pemanggangan dilakukan

tidak terlalu lama yaitu pada suhu 120ºC selama ± 15 menit dan dari segi

organoleptiknya dapat diterima panelis.

Page 11: 1.5 Bab II

15

2.6. Kukis

Kue kering (kukis) merupakan salah satu jenis makanan kecil yang

sangat digemari masyarakat di perkotaan maupun di pedesaan, karena dapat

dijadikan sebagai penganan minum teh pada sore hari. Bentuk dan rasa kue kering

sangat beragam tergantung pada bahan tambahan yang digunakan (Suarni, 2004).

Kukis adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,

relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat

(Saputra, 2008). Menurut Suhardjito (2006) kukis atau kue kering adalah kue

manis yang berukuran kecil-kecil. Kukis atau kue kering dapat digolongkan

menjadi dua yaitu jenis adonan misalnya kue kering manis dan jenis busa

misalnya sponge dan cake (Anonim, 2012).

Tahapan pembuatan kue kering meliputi pembentukan krim,

pembentukan adonan, pencetakan, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan.

Pada tahap pembakaran, suhu yang digunakan untuk pembakaran bergantung pada

jenis kue kering yang dibuat. Umumnya pembakaran dilakukan pada suhu kurang

lebih 170ºC selama 15-20 menit (Suarni, 2009). Sementara menurut Sultan (1983)

dalam Saputra (2008) pemanggangan kukis dapat dilakukan pada suhu 220ºC

selama 12-15 menit.

Suhu pemanggangan mempengaruhi karakteristik dari suatu produk

kukis, semakin tinggi suhu pemanggangan kukis yang digunakan maka kukis

yang dihasilkan memiliki bentuk yang lebih kecil karena crust cepat terbentuk,

warna crust menjadi gelap dan bagian tengah tidak mengalami pemanggangan

yang merata. Sementara suhu yang rendah memerlukan waktu yang lama untuk

Page 12: 1.5 Bab II

16

mendapatkan warna crust yang diinginkan dan crust menjadi tebal (Anonim,

2013).

Ketika akan melakukan pembakaran terhadap adonan yang sudah

dicetak, oven yang digunakan tidak boleh terlalu panas pada saat kue dimasukkan

sebab bagian luar kue akan terlalu cepat matang sehingga menghambat

pengembangan, dan mengakibatkan permukaan kukis pecah-pecah.

Bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kukis

dibedakan menjadi dua bagian, yaitu terdiri bahan pengikat seperti tepung, air,

telur, sementara bahan pelembut seperti gula, shortening atau margarin, bahan

pengembang (soda kue dan baking powder). Bahan yang berperan penting dalam

membentuk sifat-sifat kue kering khususnya sifat fisik dan cita rasa antara lain

tepung, telur dan bahan pengembang (Anonim, 2012).

Penggunaan tepung dalam adonan berfungsi untuk membentuk tekstur,

mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata serta

membentuk cita rasa. Shortening atau margarin berperan untuk memberi nilai gizi,

kelembutan, rasa enak dan berpengaruh juga pada tekstur (Sultan, 1969 dalam

Indriyani, 2007). Telur berfungsi membentuk warna, aroma, kelembutan,

membentuk struktur dan kekokohan, berfungsi sebagai emulsifier alami.

Penggunaan gula dalam formulasi kukis tidak hanya berfungsi sebagai pemanis

tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna dan kontrol pengembang adonan.

Gula yang digunakan biasanya dalam bentuk gula pasir, gula halus atau tepung

gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak

menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar (Anonim, 2012).

Page 13: 1.5 Bab II

17

Garam berfungsi sebagai penguat rasa, memperkuat struktur kukis,

secara tidak langsung membantu pembentukan warna, mencegah pertumbuhan

bakteri yang tidak diinginkan dalam adonan. Garam yang ditambahkan dalam

formulasi kukis adalah ± 1% (Affandi, 2007). Penggunaan bahan pengembang

berfungsi untuk mengembangkan produk dengan menghasilkan gas

karbondioksida. Sumber gas tersebut umumnya adalah natrium bikarbonat, yang

populer digunakan karena harganya murah dan toksisitasnya sangat rendah

(Anonim, 2012).

Kukis yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan agar

aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu kukis yang digunakan merupakan syarat

mutu yang berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional

Indonesia pada Tabel 6.

Secara umum ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu kukis,

diantaranya :

1) Air

Menurut Legowo (2004) air merupakan komponen penting pada bahan

pangan yang mempengaruhi acceptability, kenampakan, kesegaran, tekstur dan

cita rasa pangan. Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat di dalam

bahan pangan dinyatakan dalam persen. Banyaknya air pada bahan pangan juga

dapat mempengaruhi masa simpannya. Air di dalam bahan makanan terbagi

menjadi beberapa bentuk, yaitu : (a) air bebas yang terdapat di ruang-ruang antar

sel dan inter-granular dan pori-pori yang terdapat pada bahan pangan, (b) air

terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan koloid

Page 14: 1.5 Bab II

18

makromolekuler dan (c) air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat

(Sudarmadji dkk., 2007).

2) Abu

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kadar abu sangat erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan tersebut

(Legowo, 2004). Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan

dan cara pengabuannya (Sudarmadji dkk., 2007). Kadar abu dalam suatu bahan

menunjukkan kandungan mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang

dihasilkan. Abu di dalam bahan pangan dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu

abu total, abu terlarut dan abu tidak terlarut. Kadar abu total adalah bagian dari

analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan

pangan (Andarwulan dkk., 2011).

3) Protein

Protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam-

asam amino, mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen

lain. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara

fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia

dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang

dioksida dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi (Palupi

dkk., 2007). Protein merupakan zat yang penting bagi tubuh karena berfungsi

sebagai zat pembangun, zat pengatur dan sumber energi. Protein tersusun dari

asam-asam amino dengan unsur-unsur utama C, O, H dan N (Legowo, 2004).

Protein yang diperlukan organisme dapat diklasifikasikan menjadi dua

golongan utama, yaitu protein sederhana merupakan protein yang apabila

Page 15: 1.5 Bab II

19

terhidrolisis hanya menghasilkan asam amino dan protein terkonjugasi merupakan

protein yang dalam hidrolisis tidak hanya menghasilkan asam amino, tetapi juga

menghasilkan komponen organik ataupun komponen anorganik, yang disebut

"gugus prosthetic" (Sumarno, 2002). Menurut Andarwulan dkk. (2011) protein

memiliki sifat fungsional yang berperan penting dalam membentuk karakteristik

pangan, seperti pengemulsi, pengikat air, pembentuk gel/tekstur dan kekentalan.

Tabel 6. Syarat mutu kukis berdasarkan Standar Nasional IndonesiaKriteria Uji Satuan Klasifikasi

Keadaan - Bau- Rasa - Warna - Tekstur

AirProtein Abu

Bahan tambahan makanan- Pewarna

- Pemanis

Cemaran logam- Tembaga (Cu)- Timbal (Pb)- Seng (Zn)- Raksa (Hg)- Arsen (Ar)

Cemaran lempeng total- Angka lempeng total- Coliform- E. coli - Kapang

%

%%

mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

koloni/gAPM/gAPM/g

Koloni/g

NormalNormal Normal Normal

Maks. 5Min. 6Maks. 2

Sesuai SNI 0222-MNo. 772/Menkes/Per/IX/88Tidak boleh ada

Maks. 10,0Maks. 1,0Maks. 40,0Maks. 0,05Maks. 0,5

Maks. 1,0 x 104

Maks. 20Maks. 3Maks. 1.0 x 104

Sumber : SNI 01 – 2973 – 1992

Page 16: 1.5 Bab II

20

Menurut Winarno (2004) penentuan mutu suatu bahan pangan secara

umum dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur yang

terdapat pada bahan pangan tersebut. Sama halnya dengan penilaian organoleptik

terhadap kukis dipengaruhi oleh :

1. Warna : salah satu faktor utama yang dapat digunakan sebagai penentu mutu

suatu bahan pangan, sebagai indikator kesegaran atau kematangan bahan. Baik

tidaknya cara pengolahan atau cara pencampuran dilihat dari warna yang

seragam.

2. Aroma : salah satu penentu kelezatan suatu bahan makanan. Aroma dapat

dikenali apabila berbentuk uap dan molekul-molekul komponen aroma tersebut

harus mampu menyentuh indera penciuman.

3. Rasa : rasa berbeda dengan aroma, rasa cenderung melibatkan panca indera

lidah. Rasa dapat timbul apabila terjadi rangsangan kimiawi yang dapat

diterima lidah atau indera pencicipan.

4. Tekstur : tekstur memiliki pengaruh terhadap penilaian suatu bahan pangan

seperti keempukan, kekerasan dan kelembutan. Tekstur juga merupakan

sensasi tekanan yang dapat diamati melalui mulut (waktu digigit, dikunyah dan

ditelan) dan dapat diamati dengan menggunakan jari.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna, aroma, rasa dan

tekstur pada kukis adalah bahan dasar yang digunakan, suhu pemanggangan, lama

pemanggangan, reaksi kimia yang terjadi selama pemanggangan yaitu reaksi

browning dan reaksi maillard.