13th Issue

84
1 APRIL/MEI 2011 DKI JAKARTA RP 27,500.- (LUAR PULAU JAWA RP32,500.-) PEOPLE OF THE MONTH NANO RIANTIARNO HARTATI TITIEN WATIMENA MPOK NORI ACHO SAMBAS ART REPORT JKT BIENNALE XIV 2011 LONELY MARKET ARTWORK BUNCH LAHANDI BASKORO BAY BAY DANIEL TIMBUL AGRA SATRIA JAKARTA WASTED ARTISTS DWI WICAKSONO S FOR ANOTHER REASON : THE BIRTHDAY ISSUE SOCIAL BREW PERJALANAN SENI RUPA MODERN INDONESIA

description

The Birthday Issue

Transcript of 13th Issue

Page 1: 13th Issue

1

APRIL/MEI 2011DKI JAKARTA RP 27,500.-

(LUAR PULAU JAWA RP32,500.-)

PEOPLE OF THE MONTHNANO RIANTIARNO HARTATI TITIEN WATIMENA MPOK NORI ACHO SAMBAS

ART REPORT JKT BIENNALE XIV 2011

LONELY MARKET

ARTWORK BUNCH LAHANDI BASKORO BAY BAY DANIEL TIMBUL AGRA SATRIA JAKARTA WASTED ARTISTS DWI WICAKSONO S

FOR ANOTHER REASON : THE BIRTHDAY ISSUE

SOCIAL BREWPERJALANAN SENI RUPA MODERN INDONESIA

Page 2: 13th Issue

2 FAR APRIL/MEI 2011

Page 3: 13th Issue

3

Ilustrasi oleh : Ficky Fahreza (Jakarta 32c)

Page 4: 13th Issue

4 FAR APRIL/MEI 2011

part

FAR MAGAZINE 13ILLUSTRATION by META NADILLA

Untuk kalian yang ingin memberi kesan atau pesan, kritik atau saran bisa dikirim ke [email protected]

Untuk pemasangan iklan di FAR magazine dapat menghubungi 021-3161072 dengan Aditya Gerhard atau mengirim email ke [email protected]

CONTENT03 INDEX // CONTRIBUTORS

05 EDITOR’S NOTE

06 PERSON OF THE MONTH NANO RIANTIARNO HARTATI TITIEN WATTIMENA MPOK NORI ACHO SAMBAS

19 ARTWORK BUNCHLAHANDI BASKORO BAY BAY DANIEL TIMBUL AGRA SATRIA JAKARTA WASTED ARTIST DWI WICAKSONO S

28 NATION ON A MISSION

NADIA SASKIA INDRA PRADITYO

43 UPCOMING YOUNG SYAIFUL ARDIANTO

50 HEAT N BEAT EXCLUSIVE SAJAMACUT

52 TRIBAL INSANITY 60 PLAYING HARD

67 LUCKY NO. 7 ARTCESSORIES

73 STREET SHOUT ART FOR CURE PART OF THE SHOW

FEATURES25 ART REPORT

JAKARTA BIENNALE XIV 2011 LONELY MARKET

74 SOCIAL BREW PERJALANAN SENI RUPA INDONESIA

76 HOT SPOT ISMAYA CATERING CAFE

78 EVENTKONSER BERKILAU SHEILA MAJID

UNFORGETTABLE JANET KOPLING

Page 5: 13th Issue

5

part

COLONYEDITOR IN CHIEF RANI [email protected]

ART DIRECTOR NUR ANIS [email protected] [email protected]

PRIJANTO HARDJOTARUNO [email protected]

REGIT AGENG [email protected]

INTERNMETA NADILLA (GRAPHIC DESIGNER)ERSYA VADITA (GRAPHIC DESIGNER)HARYO AJI PRAYOGO(GRAPHIC DESIGNER)

MARKETING DIRECTOR ADITYA [email protected]

ACCOUNT EXECUTIVE ANASTASIA RENI [email protected]

CAMEL ANTONIO [email protected]

DEWI PERMATA SARI [email protected]

PHOTOGRAPHER ARDHIAN WISNU PRATAMA

[email protected]

FINANCIAL DIRECTOR EDDY SUHERRY

PUBLISHER PT GALAKSI KOMUNIKA UTAMA

CORPORATE HEADQUARTERSPT DUTA MATRA RAMA

FAR MAGAZINEJl. Wahid Hasyim No. 92Menteng 10340Telp. 021 316 1072

FAR MAGAZINE IS PUBLISHED BY PT.DUTA MATRA RAMA. COPYRIGHTS NOVEMBER 2008 ALL RIGHTS RESERVED. SIUP 1.829./1.824.51 NO PART OF THIS MAGAZINE MAY BE REPRODUCED WITHOUT THE WRITTEN PERMISSION OF THE COPYRIGHT HOLDER. FAR MAGAZINE CANNOT ACCEPT RESPONSIBILITY FOR ANY UNSOLICITED MANUSCRIPTS, ARTWORK OR PHOTOGRAPHY, PRICE IN JAKARTA RP.27.500 (INCLUDE GST)

INDEXBOUTIQUE & DESIGNERZARAGrand Indonesia East Mall, 1st FloorJalan Muhammad Husni Thamrin No. 1Jakarta, Indonesia 10310

MOSSIMO DUTTIGrand IndonesiaLantai Ground Blok West Mall Unit 3 A - 7 Jl. MH Thamrin No. 1 Menteng, Jakarta PusatINDONESIA 10310

ACCESSORIES

IDEKUHANDMADEGriyo Kulo RestoMoch Khafie no. 16aCilandak, Jagakarsa, Jakarta Selatanwww.idekuhandmade.com0856 1413126

NYALAGriyo Kulo RestoMoch Khafie no. 16aCilandak, Jagakarsa, Jakarta Selatan

PEPOLOCOGriyo Kulo RestoMoch Khafie no. 16aCilandak, Jagakarsa, Jakarta Selatan

MOOZPlaza Semanggi Lt. GF no. 064-065, Telp: 021 - 2553 6492

NAUGHTYMall AmbasadorJl. Prof. Dr. SatrioSetiabudiJakarta Selatan 12940

CHLORISITC Kuningan, Lt Dasar Blok E1 no.1Pintu Timur 1Tlp : 021-70068687

GREEDY SASSYwww.facebook.com/greedysassy

HAIR & MAKE UP

BUNLAY0815 9910482

INDRA PRADITYOPria yang mempu-nyai hobi fotografi dan olahraga ini tidak pernah lepas dari kamera, seh-ingga setiap mo-ment indah selalu

diabadikannya. Terlihat dari beberapa karyanya pada rubrik Nation on a Mission. Lahir pada 21 Mei 1986, dan merupa-kan alumni dari Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) ini sekarang mempunyai kesibukan sebagai pegawai disalah satu perusahaan swasta.

NADYA SASKIANadya Saskia la-hir dan besar di Jakarta 25 tahun yang lalu, saat ini sedang menjalani pekerjaan sebagai seorang creative

assistant di sebuah 5-star establishment di Bali. Gadis ini pernah akrab dengan dunia internet, gambar dan music fan-dom. Dari situlah dia banyak mendapat inspirasi dan kreatifitas untuk membuat karya dan sebagainya. Penggemar Blur ini lebih suka sesuatu yang orisinil, bua-tan tangan dan fisikal. Lulusan DKV FSR IKJ inipun jatuh cinta dengan kamera analog vintage yang dipadukan dengan film slide yang diakhiri dengan cross-pro-cessed dan saat ini hasilnya bisa di lihat di Nation on a mission edisi ini.

CONTRIBUTORS

Page 6: 13th Issue

6 FAR APRIL/MEI 2011

Page 7: 13th Issue

7

Happy Happy birthday to us! Sudah 2 tahun kita bersama mem-bangun FAR dari titik nol. Tidak dis-angka, dan memang pastinya kita masih butuh banyak ralat, tidak hanya keseluruhan tapi mungkin dari masing - masing individu. Di FOR ANOTHER REASON : THE BIRTHDAY ISSUE ini let’s have fun fun fun! Like I said, this is about FUN ART. Bisa dibilang kalian tidak akan melakukan sesuatu dengan sung-guh - sungguh if you don’t have fun with it, you won’t love it.

Rasa jenuh itu bisa dibilang seperti layang - layang, kadang dekat ka-dang jauh. Tapi jelas yang menarik atau ulur layangan tersebut adalah orang yang memegang kendali layangannya. Sama halnya seperti rasa jenuh. With this kind of weather why don’t we pump it up with a little bit of life in us. Regangkan tubuh kalian dan ingat - ingat sewaktu kita masih kecil, dimana perasaan bebas itu ada dalam jangkauan tangan. Loosen up yourself and have a little bit of wild fun in your life! La-gipula, ini kan ulang tahun kita? Boleh lah kita main - main.

Dimulai dari People of the Month yang kita hadirkan. Tidak ada satu-pun di dunia ini yang dapat hidup sendirian. Sama halnya dengan dunia teater. Dimana dunia pen-tas ini dapat menjadi suatu karya yang hebat dikarenakan beberapa orang dibelakangnya. Diantaranya yang akan dibahas di edisi kali ini adalah Nano Riantiarno, Hartati, Titien Wattimena, Mpok Nori dan Acho Sambas. Bagaimana perjalan-an dan pemikiran para seniman ini agar dapat mencapai di posis-inya yang sekarang dan menikmati hidupnya sebagai seniman.

Artwork Bunch yang dipenuhi den-gan warna - warni dan gaya mas-ing - masing. Ragam yang berbeda mengingatkan kita akan betapa uniknya suatu individu dengan individu lainnya, akan tetapi kita berkumpul dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu seni. Dari seni pahat sampai ilustrasi dan poster propaganda.

This edition is full of fun, we make less talk more action on this one.

Personally, I would like to lift my hat

and thank my team and everyone that has been involved with FAR. Be-cause without them FAR Magazine would not be as fun.

Semoga FAR Magazine telah men-jadi salah satu bagian dari apa yang kalian gemari.

EDITOR IN CHIEF RANI TACHRIL

LET’S HAVE FUN WITH FAR

Page 8: 13th Issue

8 FAR APRIL/MEI 2011

PEOPLE OF THE MONTH

Ia telah berkarya selama 34 tahun di dunia seni. Kiprahnya sebagai sutradara handal tentu tercatat secara pasti dari 122 karya teater yang telah ia hasilkan dan selalu berkarya dari kecintaanya terhadap seni pertunjukkan Indonesia.

NANORIANTIARNOSUTRADARA

Kapan ketertarikan terhadap dunia seni ada dalam diri

anda?Ketika kita berbicara soal geografi maka Cirebon adalah sebuah kawasan dimana teater rakyat tumbuh, berkembang dan juga

mati. Seni budaya di Cirebon lahir dari spontanitas rakyat dimana banyak tumbuh seni rakyat, seni pertunjukan, dan teater tradisional. Saya tumbuh sejak kecil dalam lingkungan tersebut, saya sejak dulu sudah senang menonton wayang. Saya memang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan suasana berkesenian yang sangat kental. Lalu saya memiliki teman sebangku dari kelas 4 SD sampai lulus SMA bernama Supriyanto. Dialah yang membawa saya dan memperkenalkan saya kepada teman-teman seniman yang pada saat itu berkegiatan di RRI Cirebon. Disitulah tempat berkumpulnya sastrawan, penyair, dan pemusik, perkumpulan itu bernama Tunas Tanah Air. Dia juga yang membawa saya kepada Indra Suradi seorang sutradara dan aktor. Sosok Indra Suradi inilah yang saya anggap sebagai guru pertama, pada saat diperkenalkan saya masih duduk dibangku SMA kelas 1 sekitar tahun 1965. Lalu di tahun 1966, saya dilibatkan dalam sebuah pementasan “Arya Pangemban”. Peran pertama saya sebagai seorang penjaga yang hanya diam saja selama satu jam pertunjukkan dan hanya memiliki dialog satu kata. Lucu tapi itu adalah pengalaman yang luar biasa untuk saya. Produksi berikutnya telah dipersiapkan sebuah lakon berjudul “Caligula” karya Albert

Camus. Saat itu cerita Caligula yang diterjemahkan oleh Asrul Sani menjadi trend untuk dipentaskan baik di Jakarta maupun Bandung. Dan pada pementasan kali itu saya mengalami peningkatan peran, saya menjadi seorang bangsawan dan tentunya dengan dialog yang panjang. Namun teman saya yang seharusnya memerankan tokoh utama ternyata jatuh sakit dan tidak bisa memerankan tokoh tersebut. Kebetulan saya memiliki kebiasaan untuk menghafal semua dialog yang ada didalam naskah, saya nyaris hafal semua dialog. Dari situ Indra Suradi melihat kemampuan dan menantang saya untuk memerankan tokoh tersebut. Dalam waktu dua minggu, saya digedor untuk berlatih peran itu. Pementasan itu cukup sukses karena paling tidak banyak gadis belia yang mengajak berkenalan dengan saya, ukuran sukses yang sangat sederhana. Itu menginspirasi saya untuk melanjutkan pendalaman akan pengetahuan mengenai teater.

Siapa sosok yang anda anggap sebagai guru?

Ketika lulus SMA saya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di tahun 1967. Di ATNI inilah saya memiliki dosen bernama Teguh Karya. Dialah yang mencoba mengumpulkan mahasiswa yang

Posisi dan peran mereka memang di belakang layar, tetapi tanpa kehadiran mereka, sebuah karya seni, baik itu seni pertunjukkan maupun film, tentu tidak akan tercipta. Paduan cerita, ide dan pengalaman mereka untuk tetap

menjadi kreatif dalam perkembangan dunia kontemporer. Fungsi dan peran mereka seakan membentuk suatu rantai yang saling melengkapi. Mereka adalah Nano Riantiarno, Hartati, Titien Watimena, Mpok Nori dan Acho Sambas. Seorang sutradara, koreografer, penulis skenario, penata artistik dan juga pemainnya

editor’s note

Page 9: 13th Issue

9

person of the monthberbakat, saya salah satunya. Kemudian kami bersama-sama membuat Teater Populer pada tahun 1968. Kalau Indra Suradi adalah guru pertama yang memperkenalkan saya pada dunia teater secara sederhana. Teguh Karya adalah guru yang mengajari saya bukan hanya mengenai teater tapi juga mengenai hidup. Bagaimana agar saya bisa terus memiliki semangat untuk memajukan teater hingga permasalahan hidup. Ia memiliki peraturan tidak tertulis, bahwa dalam jangka waktu 5 tahun kami tidak boleh melakukan apa-apa. Bayangkan saja pada saat itu kami pria muda dengan wajah yang bisa dibilang good looking, dimana film di Indonesia sedang booming dan tawaran berdatangan kepada kami. Namun karena peraturan itu kami tidak bisa mengambil semua tawaran yang datang. Pada awalnya peraturan itu sangat menyiksa, tetapi setelah 5 tahun kami dibebaskan untuk berkreasi. Saya merasa berterimakasih dengan adanya peraturan itu, karena bila tidak ada peraturan itu mungkin saya tidak bisa seperti saat ini. Waktu kuliah yang ia berikan kepada kami nyaris selama 24 jam. Selama 5 tahun itu adalah waktu dimana saya dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan kehidupan berkesenian di luar. Menurut saya Teguh Karya adalah seorang maha guru, apa yang diajarkan benar-benar total dan bermanfaat.

Bagaimana anda melihat perkembangan sistem

manajemen seni pertunjukkan khususnya teater?Kalau dilihat sejarahnya industri kreatif yang berjalan di Indonesia itu kurang lebih bersamaan dengan Broadway, pada tahun 1904 sudah ada kelompok teater yang menjual tiket di Indonesia. Di tahun 1925 banyak seni pertunjukkan yang sukses didatangi penonton. Dan masa keemasan seni pertunjukkan di Indonesia ada pada tahun 1915-1930, harga tiket dulu setara dengan harga 50 kg beras. Namun pada saat itu Broadway terus berjalan sementara di Indonesia justru mengalami kemunduran kemudian mati. Saya terpaksa harus membuka kenyataan bahwa

pada waktu jaman penjajahan Jepang semangat Asia Timur Raya sangat tinggi. Kemudian seluruh bentuk kesenian dikumpulkan oleh penguasa untuk mensosialisasikan kampanye Asia Timur Raya, sehingga seni popular yang memang dibutuhkan rakyat kemudian diubah menjadi seni yang disesuaikan dengan kepentingan kekuasaan. Dari situlah satu per satu kelompok seni tumbang. Akibatnya mati sangat lama hingga disekitar tahun 1960 baru kembali. W.S. Rendra, meletakkan kembali dasar-dasar harkat dan martabat teater yang berharga. Menurut saya Rendra berhasil mendudukkan posisi teater menjadi sangat berharga sehingga menjadi sebuah tonton yang pas untuk kalangan yang well educated/kelas menengah ke atas. Sementara itu Teguh Karya mengembalikan nilai managemen ke dasar semula. Dan Jim Lim menyajikan sebuah alternatif bahwa tidak hanya naskah Indonesia saja yang bisa diteaterkan, tapi juga naskah asing dapat disadur kedalam bahasa Indonesia. Kemudian Arifin C Noer melalui beberapa naskah yang dibuatnya, dia bisa disebut sebagai bapak naskah teater sandiwara modern Indonesia. Karena pada saat itu semangat yang didukung

oleh naskah dari Arifin adalah semangat yang ada di teater rakyat. Artinya dia memberikan inspirasi bahwa sebuah imajinasi itu tidak ada batasnya.

Tentang Teater Koma?Kehadiran teater Koma

hanya melanjutkan perjuangan dari keempat tokoh seniman Rendra, Teguh Karya, Jim Lim dan Arifin C. Noer. Tentu saja Teater Koma dimana saya sebagai penggeraknya mengambil spirit dan roh dari teater rakyat. Dengan satu dasar pemikiran bahwa teater

rakyat dan teater tradisional selalu memiliki lima unsur pelengkap dari pertunjukannya, yaitu pertama nyanyian, kedua musik, lalu tarian, keempat humor dan kelima adalah seni peran. Itu diambil dari kenyataan yang ada di masyarakat, karena masyarakat kita adalah masyarakat yang bernyanyi, bermusik, dan humor adalah salah satu semangat untuk menghargai kehidupan, dengan humor kita bisa menyindir tanpa menyakiti, kita bisa menggelitik bukan memukul. Lalu ditahun 1975 saya pergi mengelilingi

Page 10: 13th Issue

10 FAR APRIL/MEI 2011

person of the month

Indonesia selama setengah tahun untuk mempelajari beragam teater rakyat dan tradisi. Semua yang saya pelajari selama ini kemudian saya ramu hingga jadilah Teater Koma. Beberapa kritikus menyebut Teater Koma adalah teater rakyat yang ada di kota. Menurut saya mungkin itu ada benarnya, karena paling tidak saya mencoba menggabungkan semangat yang ada di teater rakyat dan tradisional dengan tehnik penyajian yang saya pelajari dari teater barat. Mengenai pesan, saya sadar bahwa seni pertunjukkan dimana saya berada didalamnya, harus dapat memberi inspirasi, dapat menjadi suara yang mengingatkan, harus berperan sebagai pemotret dari keadaan sosial politik dan potret itu seharusnya tidak boleh direkayasa. Panggung adalah podium dan corong untuk saya. Lalu mencoba memotret keadaan sosial politik dan saya beritahukan kepada masyarakat. Seharusnya yang memiliki kekuasaan tidak marah tetapi melihat itu sebagai sebuah kenyataan yang harus diatasi bersama. Namun yang terjadi di jaman Orde Baru adalah ketersinggungan. Kesenian itu juga berpolitik, saya menyajikan simbol, isyarat, dan sebuah atmosfer yang seharusnya bisa dimaknai secara bersama-sama.

Bagaimana perkembangan dunia teater dengan

ditunjang kemajuan teknologi saat ini?Kalau kita mau jujur kita jauh ketinggalan, dengan negara Jepang saja kita ketinggalan jauh. Menurut saya teknologi sejauh itu bukan sesuatu yang dipaksakan kehadirannya maka bukan masalah. Tapi yang paling penting untuk dipertajam adalah niat kita untuk menyampaikan sesuatu melalui pementasan. Sehingga walaupun sederhana cara kita menyampaikan akan tetap kena dihati penonton. Teknologi hanya membantu sejauh apa yang kita butuhkan saja. Namun Jakarta belum memiliki gedung teater yang representatif yang ditengok oleh teater luar sebagai gedung yang layak untuk pementasan internasional. Keterbatasan ini membuat kita kehilangan kesempatan untuk melihat aksi teater dari luar negeri karena memang kita dianggap belum memiliki tempat yang layak untuk itu.

Unsur apa saja yang dianggap penting dalam sebuah

pertunjukkan teater?Semua unsur itu penting, didalam teater ketika sesuatu dihadirkan itu berarti penting begitu pula sebaliknya. Penataan cahaya dan sound itu penting kemudian setting juga penting karena saya menganggapnya sebagai sebuah ekspresi dari sebuah kehadiran. Pada setting “Sie Jin Kwie” saya harus menghadirkan bentuk kerajaan megah, namun berbeda dengan setting “Opera Kecoa” yang mengangkat cerita mengenai rakyat kecil yang dianggap tidak memiliki hak hidup dan tidak memiliki hak untuk mencicipi kue pembangunan hanya dianggap sebagai kayu bakar, maka set-nya adalah kawasan kumuh. Jadi saya hadirkan sesuatu yang betul-betul bau dan kumuh. Sehingga ketika ditanya seberapa penting setiap unsur yang ada di dalam teater, maka sesungguhnya semua itu penting makanya saya hadirkan. Maka saya sering berbicara bahwa siapapun yang hadir di atas panggung maka berupayalah agar kamu penting.

Pernah merasa jenuh dengan rutinitas di teater?

Mudah-mudahan saya tidak mengalami hal itu, karena selama ini tidak pernah mengalami kejenuhan itu. Karena dunia teater sudah menjadi darah daging saya. Tapi saya pernah dua kali marah, ketika saya dilarang tampil di Medan tahun 1989, saya menulis statement bahwa “kezaliman yang tidak lazim telah dilakukan oleh penguasa”. Karena pada saat itu yang melarang adalah dinas kebudayaan yang seharusnya mendukung. Dan yang kedua saat “Suksesi” dan “Kecoa” dilarang untuk pentas ke Jepang, pada saat itu saya menulis press release bahwa saya tidak akan berpentas selama dua tahun, tapi saya sadar mungkin inilah resikonya dan kembali berkarya. Teater memiliki kekuatan yang tidak terduga, yang saya harus sadari adalah bahwa tidak semuanya niat baik mendapatkan timbal balik yang baik pula.

Dari sekian banyak rasa, rasa apa yang paling banyak

menginspirasi anda dalam berkarya?Saya juga pernah marah sekali pada dua keadaan karena saya

Apa yang bisa diceritakan mengenai kehidupan anda

saat di Padang?Saya lahir di Jakarta kemudian pindah dan dibesarkan pada sebuah kampung di Solok Selatan, tepatnya Desa Muara Labu, Padang, Sumatera Barat dan menyelesaikan sekolah dari TK sampai SMP. Saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari. Itu merupakan sekolah khusus untuk seni. Saya memang sudah menyukai seni sejak kecil, segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenian. Kesenian yang ada di Sumatera Barat khususnya tari itu dasarnya adalah pencak silat. Saya belajar tari di sekolah dan dasar tari itu sendiri adalah hasil yang dibuat oleh seorang koreografer ternama Alm. Hoerijah Adam. Ia mengadaptasi dari pencak silat yang kemudian menjadi dasar dari tari yang ada di Minang, metode itulah yang dipakai selama saya bersekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia. Sebenarnya dalam tradisi Minang tidak ada anak perempuan yang menari, tapi kegiatan itu adalah silat. Lalu

HARTATI KOREOGRAFER

Melalui gerak ia mencoba untuk m e n y a m p a i k a n sebuah rasa. Seorang koreografer yang memegang kuat seni tradisi Indonesia. Tidak hanya sekedar tari tapi lebih dari itu pesan moral selalu ia hadirkan dalam setiap karyanya.

merasa tidak mampu berbuat apa-apa, lalu saya membuat dua buah pertunjukkan. Pertama berjudul “Banci Gugat” yang merupakan cerita dari kemarahan saya terhadap sekeliling saya tapi saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu yang kedua “Suksesi” dimana berisi kemarahan saya kepada orde baru. Artinya kemarahan juga bisa melahirkan sebuah karya, namun jika disadari kalau kita berkarya harusnya jangan marah dan ketika berkarya dengan kemarahan tertentu maka hasilnya tidak akan optimal. Jadi sebetulnya berkarya itu merupakan sebuah passion dan kerinduan untuk berbuat sesuatu. Dan didalam kerinduan itu dasarnya adalah cinta.

Media lain untuk anda berekspresi?

Saya suka menulis. Menulis sudah sebuah kebutuhan seperti makan 3x sehari, kalau tidak menulis sehari saja maka saya akan lapar. Dalam rutinitas saya biasanya menulis sekitar pukul 12 malam hingga subuh. Saya selalu berdoa agar saya tidak sakit hingga saya masih mampu menulis dan berteater, karena ketika menulis dan berteater saya tidak kekurangan energi tapi justru memperoleh energi. Lalu saat kita menemui jenuh pada waktu menulis maka tulislah kemacetan dan kejenuhan itu, jangan langsung menyerah.

Apa arti sebuah kebebasan untuk anda?

Saya selalu merasa bebas, bahkan disaat tertekan sekalipun. Saya dipanggil oleh polisi, saya diinterogasi. Teman-teman aparat menyebutnya interogasi tapi saya menganggapnya itu sebuah bentuk silahturahmi. Memang orang lain melihatnya sebagai sebuah tekanan tapi saya menganggapnya sebagai inspirasi.

Totalitas itu menurut anda seperti apa?

Totalitas itu bersumber dari hati, kalau totalitas yang dipaksakan akan menjadi penyakit. Bila semuanya bersumber dari hati dan karena cinta pasti kita akan melakukannya dengan sepenuh daya. Jadi dari sebuah totalitas akan mengakibatkan hasil yang paling optimal.

Mimpi yang selalu ingin anda wujudkan?

Memiliki gedung teater khusus untuk Teater Koma, dulu pada tahun 1988 saya pernah mengatakan mudah-mudahan ada orang kaya yang “gila” yang membangunkan gedung teater untuk Teater Koma. Tapi sampai saat ini belum terwujud berarti belum ada orang kaya yang “gila” atau mungkin tidak ada orang gila yang kaya. FOTO DOK. Teater Koma

Page 11: 13th Issue

11

setelah tamat sekolah, di tahun 1986 saya hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di jurusan seni tari Institut Kesenian Jakarta.

Sebuah alasan yang membuat anda berkarya di jalur seni?

Yang jelas di dunia seni saya tidak terikat oleh apapun dalam arti saya bebas berekspresi dan berkomunikasi dengan masyarakat melalui karya. Saya merasa ada kebebasan yang orang lain tidak bisa gugat. Kemudian saya bisa belajar apa saja mengenai kesenian tidak hanya mengenai tari tapi saya juga otomatis harus belajar mengenai politik, ekonomi, kehidupan yang glamor hingga yang termiskin saya bebas mengamatinya. Saya belajar mengenai kompleksitas melalui kesenian. Pada akhirnya saya fokus di seni tari, mungkin karena sudah menyukai tari sejak kecil dan ditambah saat saya melanjutkan pendidikan Seni Tari di IKJ. Itulah yang membuat saya tetap berpijak di seni tari.

Satu momen yang meyakinkan anda untuk menjadi

seniman?Pada saat awal saya masuk di IKJ, saya sudah yakin bahwa saya akan menjadi seniman. Saya sangat

ngotot untuk hijrah ke Jakarta, padahal setelah tamat dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan mendapatkan nilai yang paling bagus dari satu angkatan. Saat itu saya mendapatkan PMDK untuk meneruskan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tapi karena setelah lulus dari ISI saya harus bertugas di Padang maka tawaran itu saya tolak. Saya menetapkan untuk melanjutkan di IKJ karena passion saya menjadi seorang koreografer bisa terwujud dengan ilmu yang saya dapat dari IKJ.

Apakah gerak merupakan unsur yang paling

ditonjolkan dalam seni tari?Secara otomatis memang gerak yang ditonjolkan dalam tari, tapi bagaimana sebuah gerak bisa menjadi bahasa itulah yang paling penting. Kaitannya adalah bagaimana menjadikan tubuh itu sendiri bisa membahasakan sebuah pesan, memang dibutuhkan waktu untuk melatih si tubuh tersebut untuk mampu berekspresi, berbicara, memunculkan simbol, hingga penonton dapat membaca bahwa gerakkan itu sebuah kata-kata hingga serangkaian kalimat. Idealnya bila masuk didalam sebuah pendidikan tari paling

tidak membutuhkan waktu sekitar 3 tahun hingga bisa memiliki gerakkan yang syarat akan bahasa. Tapi terkadang sistem pendidikan tidak terlalu menunjang. Karena di Indonesia ini banyak sekali etnik dan kebudayaan yang harus diserap dan itu semua memiliki bahasa-bahasa yang berbeda. Nah, untuk memahami satu per satu kemudian digunakan untuk bahasa saat ini itulah yang sulit. Bila belajar secara otodidak itu juga tergantung bagaimana sistem saat berlatih, ketika hanya berlatih bentuk dan gerak maka tidak bisa menghasilkan sebuah tari yang mampu bercerita. Tapi saat dia diajarkan untuk menerjemahkan gerak itulah yang membuat si penari dapat menari baik walaupun secara otodidak.

Apa saja perkembangan di dunia seni tari yang

anda rasakan selama 25 tahun berkarya? Pergeseran dan perkembangan tari dari dulu hingga sekarang tentunya sangat jauh. Saya merasa beruntung belajar dalam dua generasi, dulu saya belajar bagaimana berekspresi melalui tradisi, saat sebuah tarian dengan konsep modern tapi tetap dalam bentuk tradisi. Semua berbicara

melalui rangkaian bentuk dan tehnik saat di era modern dance. Tapi di era saat ini orang menganggap tehnik itu sudah lewat, dimana tehnik memang sudah seharusnya ada didalam setiap tarian. Saat ini pada tarian kontemporer, pola pikir dan konsep yang ada di kepala itulah yang harus mampu berbicara mengenai kesenian. Menarik sebuah tradisi kedalam kekinian itu yang harus cermat, karena ini tidak lagi bicara mengenai bentuk. Bentuk itu bisa saja hadir tapi tidak sekompleks pada saat modern dance. Dan harus mampu komunikatif dengan masyarakat. Dimana dalam tarian tersebut harus berbicara tentang keadaan dan masyarakat saat ini, harus lebih kritis.

Seberapa penting keterkaitan antara tari dengan kostum,

make-up, dan berbagai alat penunjang lainnya?Untuk sebuah karya tari semuanya memiliki fungsi yang sama penting hanya bentuk kerjanya saja yang berbeda. Untuk dibagian penata kostum, mereka harus mengerti gerak dan ide dari setiap tarian. Penata kostum bisa berekspresi melalui desain untuk kostum itu sendiri. Tapi desain yang harus dipikirkan juga bukan hanya bentuk kostumnya saja yang lebih utama adalah kenyamanan saat kostum itu dipakai untuk menari. Jangan sampai kostum menyebabkan hilangnya sebuah gerak, karena ini seringkali terjadi seperti tarian yang banyak menonjolkan gerakan kaki tapi karena menggunakan rok yang lebar menyebabkan keindahan gerak dari kaki itu tidak terlihat.

Siapa saja guru yang melatih anda dalam menari?

Tentunya saya memiliki banyak sekali guru dalam menari. Hoerijah Adam guru saya sejak di Padang, Gusmiati Suid adalah guru saya saat di satu kelompok tari bernama “Gumarang Sakti”. Saya belajar dan berkarya selama 20 tahun bersama Gusmiati Suid. Kemudian guru lainnya adalah saat saya belajar di Institut Kesenian Jakarta, ada Tom Ibnur, Sardono, Yulianti Parani, Wiwiek Sipala, masih banyak lagi sosok yang saya anggap guru. Dari merekalah saya belajar banyak hal, ilmu dalam tari hingga bagaimana mereka menjalankan profesi sebagai seorang penari yang berpandangan terhadap tradisi

Page 12: 13th Issue

12 FAR APRIL/MEI 2011

person of the monthitulah yang selalu saya pelajari dari mereka. Belajar mengenai hidup berkesenian dan idealisme dalam berkarya.

Apa saja yang selalu menginspirasi anda dalam

berkarya?Saya telah berkarya sejak tahun 1988, beberapa orang menyimpulkan karya saya banyak berbicara mengenai perempuan. Mungkin karya saya memang banyak terinspirasi dari perempuan, saya mengamati bahwa kehidupan kita ini tidak

pernah jauh dari permasalahan perempuan. Pada awalnya saya sering mempertanyakan mengenai posisi perempuan dalam masyarakat antara yang disebut dengan emansipasi wanita dengan kenyataan yang saya lihat. Kemudian saya juga sering mempertanyakan sistem matrilinial yang ada di Minangkabau dan kembali mengaitkan dengan kenyataan yang ada dan mengenai fungsi perempuan didalam keluarga. Ada satu karya saya berjudul “Membaca meja” dalam karya ini saya berbicara mengenai

“meja” adalah media pendidikan. Dimana dari meja makan kita akan mendapatkan sebuah pendidikan mengenai etika dan sopan santun, tapi sekaligus dari meja makan itu kita bisa melihat kekuasaan. Bapak memiliki prioritas pertama yang harus dilayani. Terkadang sang ibu menjadi prioritas akhir, padahal ibu juga memegang peran yang kuat dalam sebuah keluarga. Lalu mengenai kehidupan saat ini yang memerlukan sosok ibu pintar dengan wawasan yang luas agar dapat mengajari anak mereka, tapi bagaimana bisa pintar bila hanya sibuk mengurusi rumah dan tidak tahu mengenai perkembangan yang terjadi di dunia luar. Dari pengalaman pribadi bagaimana saya melihat situasi yang terjadi saat dulu hingga sekarang mengenai perempuan inilah yang banyak menhadirkan ide untuk karya saya. Emansipasi dengan kodrat perempuan itu tentu sesuatu yang sangat berbeda, kodrat adalah saat kita menikah, mengandung, melahirkan dan menyusui tapi ketika anak itu lahir dan berkembang peran bapak juga sangat diperlukan. Anak itu adalah titipan untuk kedua orangtuanya.

Apakah seni tari itu tari itu cukup kuat untuk

menyampaikan sebuah pesan?

Tentu saja, gerak itu merupakan bahasa yang universal. Tinggal bagaimana kita membuat tarian itu untuk bisa diterima di masyarakat. Harus ada komunikasi dan ekspresi yang bisa penonton tangkap. Gerak tubuh itu memiliki keajaiban, gerak tidak sama dengan mimik muka tapi gerak bisa menjadi sebuah mimik. Contoh saja, dalam gerakkan marah dalam tarian tidak harus didukung dengan mimik yang marah juga. Marah saja memiliki bentuk yang berbeda-beda. Gerak yang membahasakan sebuah rasa itu bisa dipelajari dari kejadian sehari-hari. Tari yang bagus itu tari yang bisa bicara dengan masyarakatnya dan dengan jamannya.

Bagaimana pendapat anda mengenai kaitan tari dengan

sensualitas?Bila kita melihat dari sebuah tradisi, tidak semua tari itu menonjolkan sensualitas. Seperti di Bali tidak ada hubungan tari dengan sensualitas, tapi justru berhubungan dengan ritual keagamaan mereka. Kemudian di Minang tidak ada hubungan tari dengan sensualitas, tari malah berhubungan dengan pencak silat. Jaipong sendiri yang identik dengan gerakan sensual dasar sebenarnya adalah pencak silat, bahkan dalam sejarahnya

Jaipong itu ditarikan pada saat ritual panen tiba. Yang ada saat ini telah mengalami pergeseran, dimana seperti tari Jaipong fungsinya telah berubah menjadi tarian yang dipertontonkan untuk acara rakyat, kostum pun telah dirombak. Tari itu tidak selalu identik dengan sensualitas, bagi saya apa saja bisa menjadi sensual itu semua kembali lagi kepada niat yang menyuguhkan dan pikiran dari yang melihat suguhan tersebut.

Apakah seni tari menjanjikan untuk

sebuah masa depan?(Tertawa lepas) kita harus tetap optimis untuk masa depan. Tari bisa dibilang sebagai sebuah bentuk yang menjanjikan karena apapun itu harusnya bisa dihargai, berpartisipasi saja orang sudah bisa dihargai apalagi orang yang berdedikasi untuk tari harusnya lebih dihargai. Pengakuan untuk

Page 13: 13th Issue

13

TITIEN WATTIMENAPENULIS SKENARIO

Penulis skenario yang telah lama berkecimpung di dunia perfilman. Mengejar Matahari, Laskar Pelangi, Minggu Pagi di Victoria Park, adalah deretan film yang pernah ia tulis. Sibuk berkeliling daerah untuk memutar omnibus terbarunya: Belkibolang.

sebuah karya akan tetap terjadi, tapi bagi saya yang terpenting itu bagaimana saya tetap memiliki ide untuk berkarya. Tapi saya pernah mengalami “diam” dalam berkesenian, saya pernah berhenti untuk tidak menari. Di sepanjang 25 tahun saya berkarya pernah berhenti dua kali, tapi yang paling panjang pada saat tahun 2004 – 2007 selama 3 tahun saya tidak bersentuhan dengan dunia tari. Dimana saya mengalami sebuah proses tentang keputusaan terhadap masa depan dari seni tari. Saya merasa dedikasi saya tidak berharga, tidak ada apresiasi dari media, sementara saya memiliki kebutuhan untuk keluarga saya. Kemudian saya berdagang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saya. Saya tidak mau melihat orang latihan, tidak mau baca resensi tari, tidak mau datang untuk undangan rapat tari. Tapi saya merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Pada akhirnya saya percaya keahlian saya, dimana dari tari itu bisa mendatangkan rejeki. Kemudian saya bangkit dan kembali berkarya. Karya pertama saya setelah bangkit kembali adalah “Hari Ini” yang dipentaskan di Goethe House pada bulan Juli 2007. Mendapat respon yang sangat baik dari penonton, itu yang membuat saya terharu dan bangkit hingga saat ini.

Karya yang paling berkesan?Semua karya memiliki

kesannya masing-masing. Tapi yang paling berkesan itu adalah karya saya yang berjudul “Sayap Yang Patah”, karena dulunya saya tergabung dalam komunitas Gumarang Sakti yang dipimpin Gusmiati Suid kami selalu bersama dan membuat karya. Sehingga orang sudah mengidentikkan saya dengan Gumarang Sakti, membuat saya seperti sulit untuk keluar dari image Gumarang Sakti, saya seperti tidak menemukan ciri khas untuk karya saya sendiri. Pada tahun 2001, “Sayap Yang Patah” adalah karya pentas yang saya selenggarakan secara tunggal. Pementasan itu merupakan momen untuk saya bisa mandiri. Karya itu dinilai paling berbeda dari sebelumnya, sehingga image Gumarang Sakti bisa lepas dengan sendirinya. Itu juga menjadi momen untuk saya bangkit. Ide dari tari itu sendiri adalah dari pengalaman saya sebagai ibu rumah tangga dan bagaimana

peran saya antara peran sebagai ibu juga sebagai wanita karir. Bercerita mengenai kegalauan pilihan wanita mengenai karir dan rumah tangga. Kemudian mengapa saya menerima “Laskar Pelangi” karena saya melihat idealisme yang besar. Dimana ceritanya berbicara tentang Indonesia, kehidupan, keluarga, dan pendidikan. Sebuah drama musikal yang mampu menghadirkan kebahagiaan, kepedihan dan semua rasa ada didalamnya. Yang paling menyenangkan Indonesia ada dalam cerita itu, bukan sebuah cerita yang diadopsi dari barat. w

Bagaimana mengenai mimpi anda?

Saya sangat ingin memiliki sekolah tari dan mimpi yang lain adalah saya bisa mengangkat tradisi ke dalam bentuk apapun. Karena saya percaya tradisi adalah inspirasi yang sangat kuat. Tentang bagaimana saya bisa melestarikan sebuah akar dari seni tradisi dengan bentuk lain. (BW) FOTO DOK. Toto Pras & Djajusman.

Bagaimana awal perjalanan Mbak Titien sampai akhirnya

jadi Penulis Skenario?Awalnya itu jadi setelah lulus kuliah, aku jadi asisten sutradara. Di beberapa sutradara sampai ketemu Mas Rudy Sudjarwo. Lalu ikut Mas Rudy setahun, mengerjakan video klip, iklan, sampai saat itu sedang tahap produksi Mengejar Matahari. Waktu itu bagian produksi Mengejar Matahari, sudah menyediakan skenario, tapi Mas Rudy belum happy. Mas Rudy

lalu meminta aku cari penulis. Dan, karena aku seneng nulis, jadi aku menawarkan diri. Suka atau tidak, ngga masalah. Terus dia bilang, “Yaudah coba tulis.” Lalu aku nulis 20 halaman, dan ternyata dia tertarik untuk diteruskan. Setelah itulah baru jadi penulis skenario Mengejar Matahari.

Apakah sudah ada keputusan dari awal untuk menjadi

Penulis Skenario?Kalau untuk film iya, karena kuliah ku dulu di Televisi IKJ. Cuma setelah lulus aku langsung jadi asisten sutradara (astrada), masih ada kaitannya dengan televisi. Tapi karena waktu itu film (layar lebar) muncul lagi, seperti AADC, lalu tiba-tiba saja ingin mencoba film. Cuma kalau untuk memutuskan untuk jadi penulis skenario sih ngga, bahkan ketika menjadi astrada pun belum ada keputusan. Benar-benar baru mencoba. Sampai seiring jalannya waktu aku juga belum memutuskan. Karena masih menjadi astrada, nulis juga, sampai akhirnya aku jadi astrada Laskar Pelangi. Di situlah aku memutuskan untuk berhenti jadi astrada dan full jadi penulis.

Adakah kiat-kiat khusus untuk menjadi penulis skenario?

Page 14: 13th Issue

14 FAR APRIL/MEI 2011

Pertama mungkin harus suka nulis. Apa aja dulu deh. Karena kalau ngga suka nulis, bakal susah. Senang baca dan nonton film pastinya. Abis itu tetap harus belajar format penulisan skenario. Jadi belajar format skenario itu seperti apa. Sedangkan kalau dari isi skenarionya tentu based on pengalaman dan kekayaan rasa yang kita punya.

Film kedua yang pernah Mbak tulis?

Yang kedua itu “Tentang Dia.” Selanjutnya ada “Cinta Pertama,” ada “D’Bijis,” ada “Love.” Sampai yang terakhir itu “Minggu Pagi di Victoria Park.” Terus yang mau tayang itu filmnya Hanung, “Tanda Tanya.”

Lalu bicara soal Belkibolang, ide apa sih yang ada di benak

Mbak Titin untuk membuat omnibus itu?Belkibolang itu formatnya kan omnibus ya, satu film panjang yang terdiri dari sembilan film pendek. Kesembilannya itu aku yang tulis. Awalnya sih ngga kepikiran untuk buat Omnibus itu. Jadi yang syuting pertama itu Sidi Saleh, sutradara “Full Moon.” Waktu itu belum kepikiran mau buat film pendek. Jadi Sidi cuma minta bantuan tulis (slenario), dia mau bikin film pendek. Waktu itu aku tulis di awal tahun 2010. Setelah itu, Rico Marpaung, sutradara “Planet Gajah” bilang mau buat film pendek juga, dan minta bantuan tulis skenario. Nah kalau “Planet Gajah” itu idenya sudah lama ada. Terus tiba-tiba aku lihat ada kesamaan di dua film itu. Ada dua karakter utama, Jakarta, dan malam hari. Lalu aku ajuin ke Dede, dia itu produser. Lalu aku ajak Dede, untuk bareng-bareng memproduser i Omnibus yang tema besarnya itu Jakarta, malam hari, dan

dua karakter utama. Si Dede dan Rico Marpaung langsung kita tarik dengan film-film yang sudah jadi. Begitu ceritanya.

Jadi, bisa dibilang awalnya simpel ya?

Simpel bangeett!! Ngga kepikiran apa-apa gitu. Buat senang-senang aja. Ngomong ke Dede juga buat iseng-iseng. Kalau berhasil syukur, kalau ngga ya sudahlah. Jadi bener-bener trial and error. Sutradara yang kita ajak juga yang deket sama kita. Sutradara yang kira-kira punya keinginan yang sama untuk melakukan trial and error itu.Setelah itu tiap bulan syuting. Sampai waktu itu kira-kira Bulan April syuting filmnya Edwin. Lalu filmnya Anggun yang “Tokek” di Bulan Mei. Dan, waktu itu ada perjanjian (antara Edwin dan Anggun), “Kalau gua main, elu juga harus main di film gua.” Jadi ya gitu, Edwin main di filmnya Anggun; Anggun main di filmnya Edwin. Tukeran aja.Memang kita tidak memutuskan untuk cari pemainnya harus casting atau syarat-syarat lainnya. Kita lempar misinya. Misinya itu kita bikin omnibus yang independen. Jadi semua pemain yang terlibat juga adalah orang-orang yang sebenarnya punya visi sama. Seperti Desta, Marsha Timothy,

person of the month

Page 15: 13th Issue

15

person of the month

ACHO SAMBASPENATA ARTISTIK

Hanya sesingkat itu namanya. Tapi tidak demikian dengan perjalanan kariernya. Pria beranak dua yang lahir di Jakarta pada tanggal 10 September 1978 ini adalah Kepala Urusan Teknik pada Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih.

Lingkup pekerjaannya sebagai “anak wayang” di kelompok sandiwara tersebut cukup beragam yang mencakup segala hal yang berhubungan dengan tata artistik dan tata visual, dari mulai tata rias (make up), costum design untuk beberapa karakter tertentu, membuat special effect semisal penggunaan tali sling untuk adegan terbang, instalasi listrik, efek khusus berupa ledakan dan kembang api, teknik animasi,

Dwi Sasono. Jadi kita jelaskan dulu misinya, buat film yang senang-senang. Kalau dia setuju baru kita approach lagi ke arah karakternya. Kita sering ditanya, Belkibolang itu pesannya apa? Terus terang kita ngga memikirkan pesan moralnya apa. Karena justru pesan yang kita bawa bukan melalui cerita atau filmnya, tapi melalui pergerakkannya. Lewat orang-orang di balik layarnya. (Pesannya) bahwa, kalau kamu sudah tertarik buat film, pasti ada cara untuk mewujudkan keinginan itu. Dengan uang yang tidak banyak, tetapi pembuatan film bisa terjadi. Itu (pesan) yang ingin kita bawa. Kami ingin melahirkan orang-orang yang buat film lagi.

Sistem di Belkibolang itu patungan aja. Setiap film itu patungan dengan sutradaranya, aku dan Dede juga ikut patungan. Terus beberapa judul juga ada orang yang dengan baik hati membiayai. Itu makanya di Belkibolang itu ada produser dan co-produser, seperti Tuti Kirana, Dani Bayu, David dan suamiku Rico Mangunsong. Nah mereka itu memang mempunyai judul-judul yang memang ingin di full support.

Ada pengalaman menarik ketika menulis skenario?

Yang pasti setiap proyek beda-beda. Kalau penulis slenario, apalagi freelance seperti saya, hal yang menarik adalah setiap proyek kita ketemu hal-hal baru, sutradara baru. Jadi saya banyak bertemu tipe-tipe sutradara, even sutradara yang format penulisannya itu harus disesuaikan. Jadi aku udah tahu, kalau sutradara ini ngga suka formatnya ada hal-hal kecil seperti ini, misalnya. Enak sih ketemu dengan beda-beda produser dan sutradara.

Lalu kesulitan yang biasanya itu dalam hal apa saja?

Kesulitannya itu sebenarnya adalah apa yang sering dialami penulis. Kepentok mood. Ngga mood buat nulis, writers block gitu lah. Sementara sudah deadline. Sebenarnya paling susah mengatasi badmood, bosen, jenuh, males, dan tidak ketemu ide lagi. Itu masalah banget. Sementara di industri itu kan ada yang namanya deadline. Jadi ya harus tetep menyesuaikan. Tidak bisa sembarangan lagi tidak mood nulis. Kalaupun telat ya ngga telat-

telat banget. Jadi ngga apa-apa telat dikit tapi hasilnya kan bagus! Hehe.

Apa yang Mbak Titin lakukan jika sedang mengalami

writers block? Umpamanya aku lagi ngerjain judul “A,” harus keluar dulu dari judul “A.” Dalam arti tidak menulis dulu, baca dulu, berpikir dulu. Terus mungkin cari kegiatan lain, jalan-jalan misalnya. Tapi in the end harus balik lagi. Atau menulis yang lain. Yang pasti harus keluar dulu lah dari yang sedang kita tulis.

Lalu apa proyek Mbak Titien ke depan?

Ada yang lagi mau syuting itu “Di Bawah Lingungan Ka’bah.” Lalu Juni yang mau editing itu “Milinatan.” Sebenarnya aku dan Dede masih punya keinginan untuk buat omnibus seperti Belkibolang lagi. Tapi mungkin kita mengerjakannya lebih rapi. Lebih terarah juga. Dan, tahun ini lagi konsen ke Belkibolang untuk keliling. Lempar ke festival-festival, lalu kita lihat siapa yang tertarik untuk memutar.

Apakah Mbak Titien selalu melakukan pemilihan film-

film yang mainstream atau tidak mainstream?Mainstream tuh apa ya? Hehe. Biasanya itu (awalnya), ditelepon dulu terus diberi tahu ada ide begini. Kalau aku sudah suka idenya baru aku tulis. Aku sih ngga pernah mikir, itu mainstream atau bukan. Dan, aku juga tidak pernah berpikir bahwa mainstream itu tidak lebih menarik dari yang tidak mainstream, dan sebaliknya. Kalau ide ceritanya aku suka, dan aku ngerasa mampu menulisnya yaa aku tulis.

Berarti pernah ada yang Mbak Titien tolak?

Akhirnya ada sih. Cieh akhirnya (tertawa). Kalau dulu kan semua diterima. Sekarang-sekarang ada yang ditolak.

Alasannya ditolak?Pertama karena idenya ngga

sesuai. Lalu kedua, waktu (schedule) yang diajukan itu juga tidak cocok. Timelinenya. Kemudian (ketiga) bicara soal industri ya harga. Hehe. Cuma kalau lagi ketemu ide yang menarik banget, dan aku suka banget, ya prioritasnya itu.

Konsep atau ide yang menarik bagi Mbak Titien itu seperti

apa sih?Harus ada penawaran yang beda sih. (Ibaratnya) belum ditulis, baru denger ceritanya aja udah menyentuh. Terus harus bisa kena ke perasaan aku dulu sih, baru bisa nulis. Kalau sudah tidak kena di hati, ya susah. Hehe.

Apa harapan Mbak Titien dengan pergerakan film

seperti Belkibolang ini ke depannya?Inginnya sih makin marak, makin banyak yang bikin film. Tapi itu juga harus ditunjang. Harus banyak juga yang mau memutar filmnya, dan banyak pula yang mau menonton filmnya. Dalam artian, biarpun kita tidak mainstream, kita sebagai pembuat film, di manapun, pasti ingin film kita ditonton. Jadi, untuk sekarang ya masih usaha untuk mengetuk hati pengusaha bioskop agar mau memutar film seperti ini (Belkibolang). Harapannya itu aja sih. Jadi orang-orang juga tahu bahwa “Oh ada juga ya film-film seperti ini.” Susah kan kita sudah buat tapi tidak ada yang mau muter. Jadi kita seneng banget kalau ada yang mau memutarkan. Kampus-kampus dan yang sejenisnya juga masih kita cari. Jadi selain pembuat film, harus butuh pemutar film juga, dan penonton film.

Dengan dibatasinya film-film Hollywood, apakah

ini merupakan peluang untuk memutar film bergenre seperti Belkibolang?Mmm… berpengaruh ngga ya? Dibatasinya oleh film Hollywood itu kan di bioskop ya. Ada kecenderungan ketika kita bikin film, So - Called, independen itu pake digital, karena kalau pake roll film itu kan cenderung mahal. Sementara bioskop sendiri belum punya proyektor digital, yang bisa menunjang film kita diputar. Tetap harus di convert. Jadi tidak tahu berpengaruh atau tidak. Kecuali jika bioskop mau membuka studio digital. Untuk membuat studio digital itu kan ngga murah. Dan, yang punya uang itu mereka, bukan kita (tersenyum).

Kira-kira adakah kendala khusus yang menghambat

perkembangan dunia perfilman nasional? Selain masalah dana.Selain masih dana, sebenarnya terletak pada masih sedikitnya

orang yang bisa menonton film. Bayangkan saja, satu juta penonton itu sudah bisa dibilang box office. Padahal kan satu juta itu hanya berapa persen dari 200 juta penduduk Indonesia. Jadi sebenarnya pangsa pasar film di Indonesia itu masih sedikit sekali. Pergi ke bioskop itu masih terbilang kegiatan yang eksklusif. Kalau aku liat justru, hambatan terbesar itu berasal dari penontonnya. Masih sedikit yang mau menonton film.

Kira-kira apa penyebabnya?Mungkin karena sudah

keburu termakan citra sinetron aja. TV sudah cukup. Lagi pula usaha pengusaha bioskop masuk ke daerah-daerah terpencil kan juga ngga gampang. Jadi ya (masyarakat) hanya mengandalkan TV. Even kita jualan DVD juga ngga membantu, karena penontonnya memang ngga ada. Mereka sudah cukup dengan TV. Mereka belum tahu kalau ada seni lain yang namanya FILM. (RAS) FOTO DOK. Titien

Page 16: 13th Issue

16 FAR APRIL/MEI 2011

tata lampu, set decorating, set dressing, properti, dan juga sebagai pemain atau kadang-kadang bahkan sebagai asisten sutradara. Sambas atau yang akrab dipanggil Acho ini memang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkup seni, karena kedua orang tuanya adalah juga anggota dari kelompok sandiwara ini.

Sekedar catatan, bahwa Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang pada awalnya bernama Opera Valencia adalah sebuah kelompok sandiwara yang sudah berdiri sejak

tahun 1928 dengan lakon-lakon yang khas seputar legenda di tatar Sunda, cerita rakyat di tanah Betawi dan juga cerita-cerita berbau horror seperti Sangkuriang, Tjiung Wanara, Lutung Kasarung, Si Manis Djembatan Antjol, Beranak Dalam Kubur dan lain sebagainya. Sejak awal terbentuknya, kelompok sandiwara ini pernah beberapa kali berpindah-pindah lokasi, dari mulai ngamen keliling di kota-kota di seputar Jawa Barat, kemudian menetap di Jl. Kramat Raya atau tepatnya di samping bioskop Rivoli, di kawasan Tubagus Angke,

lalu pada tahun 1987 bersamaan dengan berpindahnya sistem kepemilikan dari tangan keluarga Aboe Bakar Bafaqih secara pribadi menjadi bentuk yayasan di bawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta maka kelompok ini juga ikut hijrah ke bilangan Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta Pusat hingga saat ini, dan sempat mengalami kebakaran hebat pada tahun 1997 yang membuat kelompok sandiwara ini kehilangan tempat pertunjukan dan mengharuskan mereka kembali ngamen keliling untuk mempertahankan eksistensi dan mempertahankan hidup.

Sejak kapan anda mulai menekuni dunia sandiwara?

Sejak Miss Tjitjih masih di Angke juga saya sudah menekuni dunia seni, tapi baru sekedarnya saja. Tapi bibit-bibit kecintaan saya pada dunia panggung sudah mulai timbul. Kemudian waktu Miss Tjitjih pindah ke sini (Cempaka Baru – red) sekitar tahun 1987 pelan-pelan saya makin mendalami. Awalnya saya bersama teman-teman sebaya hanya menjadi penjaja makanan dan minuman ringan yang berkeliling di sela-sela bangku penonton saat sandiwara main. Dan barulah pada tahun pada tahun 1996 saya mulai

aktif sebagai anggota sandiwara walau hanya sebagai figuran untuk peran-peran kecil yang kurang berarti seperti misalnya punggawa, anggota komplotan perampok, peran hantu-hantu, dan sebagainya. Dan pada tahun 2000 saya mulai diangkat sebagai Kepala Teknik.

Siapa saja orang yang mempengaruhi anda

sehingga anda memutuskan untuk total menggeluti dunia sandiwara?Ada beberapa tokoh yang bisa saya sebutkan, dan saya anggap beliau-beliau itu adalah guru-guru saya. Mereka itu adalah Alm. Bpk. Sukendar, yang merupakan guru untuk urusan teknik. Untuk urusan teater yaitu Alm. Bpk. Eko Mintarsa dan untuk urusan trik-trik ilmu silat yang digunakan untuk adegan-adegan laga saya belajar pada Alm. Ade Kungfu. Terkecuali untuk teknik sling yang ia pelajari secara otodidak dengan mengamati cara kerja crane pada proyek pembangunan gedung bertingkat. Dan saya merasa sangat kehilangan ketika para tokoh tersebut satu persatu pergi mendahului saya. Karena di sandiwara ini, para tokoh tersebut sangat besar jasanya, dan tidak tergantikan oleh siapapun.

Apa pendapat anda melihat kondisi

Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih dulu dan sekarang?Kalau mendengar cerita dari Abah dan Emak saya, lebih enak waktu jaman Miss Tjitjih masih di Angke dulu. Waktu itu, pendapatan pemain masih ditentukan dari jumlah karcis yang terjual. Semakin banyak karcis yang terjual, semakin besar pendapatan pemain. Begitu juga sebaliknya, kalau tidak ada penonton, ya pemain tidak dapat uang. Tapi waktu itu kita benar-benar sauyunan (bhs. Sunda yang berarti kompak). Susah senang kita sama-sama. Istilahnya, kalau yang satu makan, maka yang lain juga ikut makan. Kalau yang satu lapar, maka yang lain juga ikut lapar. Dan itu berkesan sekali. Beda dengan kondisi sekarang, di mana nasib anak wayang ditentukan oleh subsidi dari

person of the month

Page 17: 13th Issue

17

Dinas (Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta). Apalagi saat ini, subsidi dari Pemda entah nyangkut di mana. Biasalah, permainan tikus-tikus kantor itu. Ujung-ujungnya, sandiwara tidak bisa main, karena subsidi belum turun. Dan kalau sandiwara tidak main, berarti anak wayang juga tidak dapat gaji. Tapi untungnya, untuk mensiasati itu saya punya sumber penghasilan lain di luar sandiwara. Sehari-hari saya jadi tukang ojek, atau terima order untuk pekerjaan artistik, pembuatan patung, melukis, bikin stand untuk pamerannya Pemda dan lain sebagainya. Saya juga kerap dimintai tolong oleh Mak Haji Nori untuk mengerjakan tata artistik dan sebagai sutradara pada kelompok Lenong beliau. Sebab kalau hanya mengandalkan dari sandiwara, bisa repot. Anak istri saya mau dikasih makan apa nanti?

Menurut anda, mengapa bisa begitu?

Entahlah, tapi saya merasa bahwa orang-orang yang saat ini duduk sebagai pengurus Miss Tjitjih adalah orang-orang yang asal pilih. Saya meragukan dedikasi mereka, karena yang terlihat selama ini mereka hanya peduli dengan dirinya sendiri. Bagaimana nasib

kelompok sandiwara, itu urusan nomor enam belas.

Memang berapa gaji anda di Miss Tjitjih?

Pertama kali saya mulai aktif sebagai anggota sekitar tahun 1996, saya menerima gaji Rp 3.000. Sekarang gaji saya itu Rp 50.000 setiap kali pertunjukan yang hanya seminggu sekali. Tapi tidak tentu juga, kadang-kadang juga seminggu sandiwara main dua kali. Dan uang segitu itu tidak bersih saya terima. Sebab sebagai Kepala Teknik, saya sering nombokin. Sekarang anda bayangkan, anggaran untuk tim teknik untuk satu kali pertunjukan itu hanya Rp 25.000. Dan itu tidak cukup. Belum lagi kalau sutradara meminta kami untuk membuat trik-trik khusus yang memakan biaya yang melebihi anggaran itu tadi. Ya mau tidak mau saya harus nombokin itu. Dan lagi pula, saya dan anak buah dalam mengerjakan trik-trik itu juga butuh makan. Dan uang makan tidak masuk dalam anggaran. Coba anda bayangkan itu.

Jadi menurut anda apa yang sebaiknya dilakukan?

Kalau saya punya kesempatan bicara, saya ingin agar anak

wayang tidak bergantung pada subsidi. Anak wayang harus bisa mandiri. Kita buat saja pementasan seperti biasa, nanti kan kita bisa lihat berapa jumlah karcis yang terjual. Terserah itu mau langsung dibagikan atau bisa diambil setiap bulan. Yang penting kalangan masyarakat penggemar Miss Tjitjih jangan sampai hilang karena menganggap bahwa Miss Tjitjih sudah tidak eksis lagi. Miss Tjitjih masih tetap eksis hingga saat ini, dan insya Allah untuk selamanya. Tapi sayangnya, itu tidak bisa diterapkan, karena anak wayang sendiri tidak sauyunan. Di sini, kata sauyunan itu bull shit! Hanya omong kosong belaka!

Bagaimana jika seandainya anak-anak anda kelak

mengikuti jejak anda dan orang tua anda untuk menekuni dunia seni ini?Sebagai orang tua, saya dan istri tidak keberatan jika seandainya anak-anak saya ada yang mengikuti jejak ayah dan kakek neneknya. Tapi saya hanya ingin berpesan agar jangan tanggung-tanggung kalau mau menekuni dunia seni. Dan harus yakin bahwa itu memang datang dari panggilan jiwa, dan bukan karena ikut-ikutan saja. Sejak kecil, anak-anak saya

person of the month

MPOKHJ. NORIPEMAIN

M e m b i c a r a k a n seni budaya Betawi khususnya kesenian Lenong, tampaknya tidak akan lengkap tanpa membicarakan Ibu Hajjah Nori atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Mpok Nori. Beliau adalah tokoh Betawi yang masih tersisa, karena teman-teman seangkatannya satu persatu telah lebih dulu berpulang pada Sang Pencipta.

Belakangan ini lagi sibuk ngapain aja Mak?

Yah, biasa aja deh. Sibuk acara panggung, acara shooting, dan sekarang Emak juga lagi sibuk banget ini, soalnya Emak mau pergi umroh. Berangkat ntar tanggal 18 (Maret 2011). Hari Rabu mau selametan dulu. Emak ngambil paket yang 12 hari, yang enam belas setengah (juta), jadi baru

juga sudah saya biasakan dengan dunia panggung sandiwara, sama seperti saya dulu waktu masih kanak-kanak. Anak-anak saya juga kadang-kadang diikutsertakan sebagai figuran dengan bayaran yang cukup untuk jajan mereka. Tapi tidak apa-apa. Saya dukung mereka. Saya didik mereka seperti itu biar mereka juga tahu dan ikut merasakan bagaimana susahnya saya mencari uang.

Anda sudah merasa mantap menekuni dunia seni ini?

Ya, karena walau bagaimanapun kondisinya, saya merasa enjoy di sini. Saya menemukan kebahagiaan tersendiri. Mungkin karena saya merasa bahwa ini adalah panggilan jiwa saya. Dan kalau saya boleh berharap, saya ingin mengabdikan hidup saya di dunia seni. Hidup dan mati saya ada di sini. (PH) FOTO DOK. Sambas

Page 18: 13th Issue

18 FAR APRIL/MEI 2011

balik ke Jakarta lagi ntar tanggal 30.

Dari kapan nih Emak nekunin Lenong?

Emak mulai nekunin Lenong ini kurang lebih dari taun sembilan puluhan. Tapi kalo terjun di seni, Emak udah dari umur 14 taun. Tadinya awalnya dari topeng, naat, nayub. Dulu kan ada yang namanya nayub. Kalo sekarang kan udah gak ada nayub. Sekarang kan adanya kliningan.

Kalo Emak emang asalnya dari keluarga seni ya Mak?

Iya, dulu itu Bapak sama Emak emang dari keluarga seni. Sama orang tua, kita dari kecil udah dibiasain sama seni. Tapi yang masih lanjut di seni dari mulai masih muda sampe segini tuanya cuma Emak sama Haji Nasir aja. Dia itu abang Emak. Tapi sekarang udah almarhum dia.

Sama orang tua emang diajarin

seni ya Mak?Lah kalo Emak mah kaga pake belajar lagi. Emak bisanya di seni kaga ada yang ngajarin. Kalo anak sekarang kan pada latihan, tapi kalo Emak dari dulu sampe sekarang, Emak mah kaga punya guru. Emak bisa sendiri, belajar sendiri, nyari ide sendiri, ngembangin sendiri. Kemungkinan karena Emak dari darah seni, jadi gampang bisanya.

Kalo di seni, yang jadi panutan

Emak tuh siapa?

person of the month

Page 19: 13th Issue

19

Kaga ada sih. Sama aja semua juga. Kaga ada yang dibeda-bedain kalo Emak sih.

Kalo sekarang Emak ngeliat kesenian, khususnya

kesenian Betawi itu gimana Mak?Ya kalo Emak sih, ya gimana ya? Makanya Emak sekarang biar kata kecil-kecilan, Emak ndiriin sanggar tari Betawi. Maksud Emak, biar anak cucu cicit Emak bisa pada belajar, biar kesenian Betawi itu jangan sampe punah. Kali aja nurunin Emak sepenuhnya mah kagak bisa, ya setengahnya. Setengahnya kaga bisa, ya seprapatnya. Maksud Emak begitu. Kalo Emak liat, anak-anak sekarang sama kesenian Betawi tuh jauh. Pada ngga mau pelajarin pada ngga mau merhatiin. Maksud Emak jangan sampe begitu. Jadi jangan sampe kesenian Betawi tuh kalah sama kesenian luar (negeri). Di tipi aja kan kita liat, kaga ada kan Lenong? Kaga ada kan topeng? Cuman yang ada yang pada begini-begini doangan (tertawa sambil memperagakan gerakan-gerakan

break dance).

Apa harapan Emak dengan kesenian Betawi ini?

Ya bener-bener, emang Emak mah ngarepin. Ya sekarang juga sedikit-sedikit Emak suka kebawa sama acaranya Sudin (Suku Dinas Kebudayaan) Jakarta Selatan. Tempo-tempo juga Sudin Jakarta Barat. Abis sekarang itu tokoh-tokoh seniman Betawi yang tua-tua udah pada kaga ada. Udah pada meninggal semua, tinggal Emak doangan. Maksud Emak juga pemerintah jangan sampe nyuekin kesenian Betawi. Ayo sama-sama kita jaga, kita lestariin kesenian Betawi biar tetep abadi. Jangan dicuekin, jangan ditinggalin.

Sanggar tari Betawinya ini emang adanya di rumah

Emak ini ya Mak?Iya, tadinya kan maksud Emak biar anak cucu cicit Emak bisa pada belajar tari Betawi di sini. Tapi Emak juga seneng soalnya orang-orang di sekitar kampung sini juga pada masukin anaknya belajar

nari di sini. Pada kepengen juga anaknya pada bisa nari. Tapi nggak Emak komersilin. Ya kalo buat Emak sih, yang penting kesenian Betawi jangan sampe abis, dan kalo Emak udah kaga ada, Emak juga punya penerus. Itu latihannya kita bikin seminggu dua kali. Ya tempo-tempo kalo emak lagi ada acara panggung suka pada kebawa juga. Lagian anak-anak itu juga kalo pada bisa kan di sekolahannya juga suka dibutuhin buat ngisi-ngisi acara Agustusan, Kartinian. Kalo udah pada bisa kan enak kita ngeliatnya.

Ini Emak lagi siap-siap mau ada acara di mana Mak?

Ini Emak lagi mau ada acara di Sasakpanjang deket Parung. Di situ Emak ngisi acara Lenong. Nah biar orang-orang juga jadi pada tertarik ngeliatnya, Emak juga masukin tariannya, dangdutannya, dan ada lawaknya juga. Biar orang yang nonton juga pada kaga bosen, soalnya ada ketawa-ketawanya.

Tapi panggilan juga lagi rame ya Mak?

Ya Emak juga ngucap syukur alhamdulillah, panggilan maen mah ada aja. Minggu kemaren Emak ada panggilan di Duren Tiga. Hari ini di Sasakpanjang Parung, ntar Emak abis balik umroh juga tanggal 3 (April 2011) ada panggilan maen di Setu Babakan. Dari tepekong-tepekong juga banyak. Tanggal 5 maen Gambang Kromong di tepekong Bekasi, tanggal 13 maen Topeng di Kranggan, tanggal 17 sama 18 maen Gambang Kromong di Cileungsi.

Panggilan maennya itu emang biasanya dari pinggiran

Jakarta doang Mak?Ya panggilan mah ada aja dari mana-mana juga. Kaga dari pinggiran doang. Kemaren itu Emak juga ada panggilan maen di daerah Duren Tiga. Tempo-tempo juga ada undangan maen di tepekong-tepekong (rumah ibadah agama Konghucu). Kan kalo di dia (warga keturunan Tionghoa) mah kalo abis Imlek ada acara namanya sajitan, kalo kata kita mah ulang tahun, begitu.

Biasanya kalo di tepekong-tepekong itu biasanya

nampilin apa Mak?Kalo di tepekong-tepekong itu Emak biasanya nampilin Gambang Kromong, sama ada lawaknya juga.

Nah ntar di situ ada namanya ibu-ibu gaul yang pada suka ngibing sama minta lagu, begitu.

Kalo rombongan Lenong punya Emak ini, kalo lagi

maen ada berapa orang Mak?Kalo total keseluruhannya itu ada 50-an orang. Itu udah termasuk pemain, pemusik, penari, biduan, supir, kru, sound system, panggung dan lain-lain. Ya udah Emak sekarang mau berangkat dulu ini ya. Emak lagi buru-buru juga ini, mau buru-buru sampe. Tadi di lokasi shooting Emak ditelponin melulu soalnya orang katanya sewa alat sound system masak kaga ada drumnya? Emak mau buru-buru sampe sono, mau beresin dulu urusannya sebelom maen. (PH) FOTO DOK. Mpok Nori & Gresnews.com/Tri Saputro

person of the month

Page 20: 13th Issue

20 FAR APRIL/MEI 2011

artwork bunch

Ketertarikannya terhadap masalah-masalah sosial mendorong seorang Lahandi Baskoro untuk banyak memperhatikan berita, membaca buku-buku, dan mendengarkan musik-musik yang bertemakan kritik sosial. Dari berita, bacaan, dan lagu-lagu tersebut itupun ia merasa ada energi yang harus dikeluarkan. Untuk itulah, ia membuat sebuah proyek: Propagangster.Ia pun mengaku senang bisa membuat karya yang memiliki pesan sosial. Menurutnya, sebuah sebuah kritik sosial akan mampu mempengaruhi orang-orang yang melihatnya, jika dikemas dengan cara penyampaian yang tepat. Efeknya akan lebih mengena ketimbang kritik yang disampaikan secara frontal.

Dari segi isu, sebelum tahun 2008, ia biasa mengangkat isu-isu global seperti Hegemoni Amerika Serikat, Perang Irak, dan Konflik Palestina-Israel. Setelah tahun 2008, ia lebih sering membuat artwork yang mengkritisi masalah-masalah nasional, seperti kemiskinan, korupsi politisi, dan bobroknya sistem pemerintahan dan identitas bangsa. Sedangkan dari segi teknik, pada awalnya Lahandi membuat artwork di software desain untuk kemudian di upload ke galeri online. Barulah pada tahun 2009 ia mencoba untuk turun ke jalan dengan menggunakan Paste Art. Yakni sebuah artwork yang dibuat dalam lembaran kertas lebar kemudian di tempel di tembok-tembok jalanan. Dari sekian banyak artwork yang ia

buat, “Sumpah Pemuda 2009” dan “Skandal Mafia Perpajakan” adalah artwork yang paling berkesan. Artwork pertama ia tempel di bawah jembatan layang menuju Universitas Indonesia (UI) dan hanya berumur 3 hari karena setelah itu ada yang menyobeknya. Untuk artwork kedua, ia menempelnya di wilayah kos-kosan mahasiswa UI dan Gunadharma. Dan, dalam beberapa hari, area komentar pun sudah terisi penuh. “Senang rasanya bisa mengajak orang lain ikut mengkritisi suatu masalah sosial yang aktual.” (RAS)

LahandiBaskoro

Page 21: 13th Issue

21

“Cyculture” merupakan pameran tunggal pertama baginya. Nuansa pop-art yang cerah dan ceria begitu terasa dari karya-karya yang hari itu dipamerkannya. That’s Babay. Simple, pop-art, dan warna-warna cerah memang telah menjadi identitasnya. Pemilik nama asli Ricky Janitra ini pun sudah berpameran sejak masa kuliahnya dulu. Namun, saat itu ia masih mencoba-coba beberapa style. Sampai akhirnya ia merasa pop-art sangat cocok dan paling mewakili dirinya. Dalam perjalanan kariernya, Babay memang lebih sering menggunakan teknik lukis dalam berkarya. Di mana arcylic dan kayu menjadi media favoritnya. “Aneh, tapi tetap awet. Kalau di daun pisang misalnya, kan aneh tuh,

tapi ngga tahan lama,” ujar Babay. Namun, jangan salah, di balik warna-warna yang cerah dan ceria sebenarnya tersimpan kegalauan dalam karya-karya Babay. Seperti tampak pada karyanya yang berjudul “Regret.” Babay mengakui, karya tersebut berkesan baginya. “Karena memang kejadiannya benar-benar ada. Terekam, lalu menjadi ilustrasi,” jelasnya.Dalam hal waktu pembuatan, tingkat kesulitan dan mood adalah dua faktor yang sangat berpengaruh. Ia dapat membuat karya paling lama sebulan, dan paling cepat dua minggu. Malah seringkali ia harus begadang untuk mengeksekusi karyanya, karena memang biasanya ide, inspirasi, dan mood itu datangnya pada waktu tengah malam. “Tengah

malam di toilet. Haha,” guraunya.Ke depannya, Babay berharap dapat terus berkarya, tidak berhenti di pameran kemarin saja. Saat ini, ia pun tengah sibuk mengerjakan proyek motion graphic. Selain juga beberapa proyek lainnya seperti Edisi Alien dan UFO: “I want to believe” dan “Noundo”. Di proyek Alien dan UFO ini ia ingin menggambarkan bahwa penduduk bumi itu tidak hidup sendirian. “Seperti slogannya Liverpool deh, You’ll Never Walk Alone. Haha,” ujarnya. Sedangkan dalam “Noundo” ia ingin membuat karakter street artist yang vandal dan rebel, sekaligus ekspresif. “Kalau salah, ngga dihapus, no_undo,” jelas Babay.(RAS)

BayBay

artwork bunch

Page 22: 13th Issue

22 FAR APRIL/MEI 2011

DanielTimbul

artwork bunch

“Sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seseorang yang hidup dan menghidupi seni”, ujarnya. Tapi kini pria kelahiran Klaten 15 Agustus 1981 ini telah jatuh cinta terhadap dunia seni terutama seni grafis. Di tahun 2001 silam ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang menjadi langkah awal untuk pria yang akrab disapa Timbul ini untuk lebih menggeluti dunia seni grafis. Baginya seni grafis dapat menjadi wadah untuk mengekplorasi kreatifitas serta menuangkan segala bentuk rasa dan ide. “Banyak orang yang bilang seni grafis itu masa depan suram, dulu tidak ada tempat untuk seni grafis, seni lukis yang menempati posisi nomor satu”,kenangnya. Tapi anggapan negatif itu justru seperti cambuk untuk dirinya, ia semakin suka dan merasa tertantang untuk mengembangkan diri di seni grafis. Ciri khas bukanlah yang ia cari, tapi lebih kepada ‘bahasa’ apa yang ia pakai untuk menjadi caranya

menyampaikan sebuah pesan. Secara ia sadari ‘fairy tale’ menjadi sebuah bahasa yang pada akhirnya dipilih sebagai cara mudah untuk mendekatkan karya dengan penikmat karyanya. Baginya, setiap orang sewaktu kecil pasti pernah bersinggungan dengan cerita dongeng, baik melalui buku bacaan ataupun tontonan di televisi. Dengan bahasa fairy tale itu nyatanya karya Timbul lebih mudah untuk dimengerti dan pesan yang dimaksud juga mudah ditangkap. Permasalahan yang terjadi di lingkungan dan dirinya sendiri memang menjadi ide utama untuk karyanya. “Saya tidak mau menjadi pabrik, menurut saya terlalu produktif tidak baik dan tidak terlalu produktif juga tidak baik, saya selalu menjaga eksklusivitas dalam berkarya”, jelasnya soal produktivitas. Pria yang gemar mengoleksi tin toys ini mengaku teknik cetak tinggi (cukil) pada karyanya harus melewati beberapa tahap yang bisa dibilang menyiksa. Biasanya

tahap pertama ia membuat skets pada kertas ataupun langsung ke papan kayu, kemudian masuk ke tahap pencukilan dengan alat tajam dibagian yang tidak akan terkena tinta, lalu papan yang telah dicukil memasuki tahap pewarnaan lalu baru kemudian masuk ke tahap pencetakkan. Sejauh ini Timbul biasa menggunakan beberapa media untuk cukil, diantaranya hardboard cut, kanvas, wood cut, resin fiber, dan fabric, untuk pewarnaan ia menggunakan cat minyak. Ironis, lucu, colorful, dan detail mungkin bisa mendeskripsikan karya dari Timbul. Ia berharap di masa yang akan datang seni di Indonesia tidak lagi dikotak-kotakkan hanya karena teknis, menurut Timbul setiap seniman dapat membuat sebuah karya lintas disiplin ilmu. Ditakutkan pengkotakan seperti akan memberi batas untuk seniman berkembang dan juga menimbulkan kesenjangan antar seniman. (BW)

Page 23: 13th Issue

23

artwork bunch

Sejak kecil ia terbiasa untuk corat-coret menggambar apapun yang ia suka, pemahamannya akan dunia seni diperkokoh ketika ia memutuskan untuk meneruskan berkuliah dengan mengambil jurusan Grafik Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pria bernama Agra Satria ini terus berusaha menemukan identitas dari karyanya. Ia tidak berhenti mencoba untuk berkarya dengan ribuan ide yang tidak pernah putus dari pikirannya. Di tahun 2007 Agra berkolaborasi dengan sang kekasih yang juga seorang desainer grafis untuk berkreasi lebih dalam membuat jewelry line yang mereka namai “Ghost”. Karya-karya Ghost bisa dikatakan penggabungan dua ide dan warna yang berbeda menyatukan unsur horor dan manis menjadikan karya Ghost terbilang unik. Sedangkan untuk karya ilustrasi sendiri tetap berjalan, Agra mengaku setiap pengalaman baru secara otomatis juga banyak mempengaruhi perkembangan dari ide hingga menghasilkan bentuk karya yang selalu berubah. Ketika ditanyakan

soal ciri khas dalam setiap karyanya, Agra sempat terdiam tapi akhirnya menjelaskan bahwa ia tidak pernah secara sengaja dan diniatkan untuk membentuk sebuah ciri khas. Mengalir sesuai apa yang ia sedang rasakan lebih dipilihnya untuk tetap jujur dalam berkarya. Tidak mau terkekang dengan sebuah ciri khas, tapi ia pastikan bahwa ketertarikannya akan sesuatu yang berbau misterius (dark) sering menjadi tema dalam karyanya. Berbicara soal pemilihan warna Agra cenderung menyukai warna pastel namun tidak menutup kemungkinan memunculkan warna neon pada karyanya. Ia suka sekali dengan menggabungkan beberapa bentuk objek yang bertabrakan, seperti menggabungkan (twist) satu sisi objek yang lucu dengan satu sisi objek yang horor. Untuk aliran ia menyebut surealis sebagai alirannya. Sering menggunakan bahan akrilik dan cat minyak, tapi pensil warna juga sedang ia eksplor untuk karyanya kini. Agra sangat menyukai berkarya pada

media digital, ia juga memiliki ketertarikkan tersendiri pada mix media. Audrey Kawasaki, Karen Oxman, Aya Kato, Maren Esdar, Mark Ryden, dan James Dean, sederetan toko tersebut banyak menginspirasinya. Ketika sampai dititik lelah, biasanya ia memilih untuk menonton dvd secara maraton, singgah ke toko buku ataupun hang-out dengan sang kekasih. Biasanya tiga cara tersebut cukup mampu mengembalikan mood-nya untuk kembali berkarya. Selalu membawa pesan secara personal dalam karyanya, sehingga sedikit banyak karyanya memiliki pesan sosial hingga emosi yang ia rasakan. Sebuah penghargaan dinilai tidak penting sebagai patokan kesuksesan, tapi ketika pesan dari karyanya bisa dimengerti dan dipahami oleh penikmat seni adalah sebuah nilai yang jauh lebih berharga. (BW)

AgraSatria

artwork bunch

Page 24: 13th Issue

24 FAR APRIL/MEI 2011

Berawal dari sebuah moment pameran bersama di Association Of Division pada bulan Juli 2010 lalu, maka lima orang perupa Jakarta yang sebelumnya memang sudah lama berteman dan berasal dari lingkar pergaulan yang sama, yaitu Mateus “Bondi” Bondan, Mushowir “Bing”, Henry Foundation, Hauritsa dan Krisgatha Achmad mulai menyadari bahwa ada satu kesamaan visi tentang seni rupa bagi mereka, yaitu fun. Maka kemudian muncullah gagasan untuk menyatukan diri dalam sebuah kumpulan yang bernama Jakarta Wasted Artists atau disingkat JWA.Karya-karya yang dikerjakan oleh JWA selama ini adalah karya-karya seni berbasis project yang dikerjakan secara individual maupun kolaboratif, seperti lukisan dan mural, ilustrasi, stencil art, instalasi, seni multimedia, sticker art dan lain sebagainya.

Dan karena kesamaan visi itu tadi, maka seperti yang dikatakan oleh Bondi dan diiyakan oleh Hauritsa dan Bing bahwa tanpa disadari, karya apapun yang dibuat tetap mencitrakan sebagai karya JWA, meskipun itu dikerjakan secara individual. Dan JWA memang lebih enjoy membuat karya kolaboratif, karena lebih fun. Jika sebagian besar seniman justru mengagung-agungkan totalitas dalam berkesenian dan cenderung festival minded, maka tidak demikian halnya dengan JWA. JWA justru merasa tidak total. JWA membebaskan diri dari kredo yang mewajibkan totalitas, karena JWA merasa di sisi lain totalitas tersebut akan menyebabkan proses making art jadi kehilangan unsur fun-nya. JWA juga tidak terikat pada pangsa pasar, trend yang tengah booming, polarisasi dalam seni rupa dan segala tetekbengek sejenis. Mengutip

ucapan Henry Foundation, “We are not into art, but art into us”.Dalam berkesenian, JWA lebih mengedepankan unsur fun. Bagi JWA, kerja mencari nafkah, senang-senang dan berkesenian memiliki porsi yang sama yang berjalan beriringan. Tidak ada yang lebih diutamakan atau dikesampingkan. Dan meskipun digagas oleh 5 oknum tersebut di atas, JWA tidak menutup diri bagi seniman-seniman lain dan bahkan bagi orang-orang dari disiplin ilmu yang berbeda untuk turut bergabung merayakan keasyikan dalam berkesenian. “Art is fun”, demikian yang diucapkan Bondi. (PH)

JakartaWasted

Artists

artwork bunch

Page 25: 13th Issue

25

“Bikin karya itu harus dimanis-manisin, biar menarik, biar laku terjual dan bisa menghasilkan uang”. Benarkah demikian? Dengan tegas, Dwi Wicaksono Suryasumirat atau yang biasa dipanggil Ube ini membantah anggapan tersebut. Dalam berkarya, Ube lebih mengedepankan spontanitas. Ube tidak terlalu menghiraukan tetek bengek yang bersifat teknis yang menurutnya hanya akan membatasi ekspresi artistiknya. Ube berusaha melepaskan diri dari berbagai kredo seni rupa yang hanya akan mengungkung kebebasannya mencipta. Bagi Ube, sebuah karya itu tidak mesti dimuati dengan tema-tema sepele sejenis remeh temeh politik yang ia merasa awam di dalamnya. Ube membiarkan proses kreatif itu mengalir apa adanya, melalui berbagai media yang diakrabinya dan tema-tema besar yang lekat

dengan dirinya sehari-hari. Ube seolah bercerita, atau meminjam istilah anak gaul jaman sekarang “curhat colongan” tentang pengalamannya, yang sebenarnya adalah pengalaman kolektif kita juga, seperti misalnya asyiknya mengadu ikan cupang, main video game dan main robot-robotan saat masih bocah dulu, Atau indahnya jatuh cinta, kesalnya ditipu orang, dan lain sebagainya. Bagi Ube, dalam berkarya yang penting happy. Dan memang begitulah tabiat dasar seni murni, yaitu ekspresi pribadi yang diciptakan khusus hanya untuk dinikmati artistik dan estetiknya untuk mencapai kepuasan bathin. Ube tidak merisaukan bagaimana jika seandainya. Ube hanya ingin berkarya, biarlah nanti masyarakat sendiri yang akan menilainya.Di kalangan orang-orang yang mengenalnya, Ube alias Dwi Wicaksono Suryasumirat adalah

pribadi hangat yang suka bercanda, nyeleneh cenderung liar, eksentrik yang mengarah pada norak dan terkadang kekanak-kanakan, namun berani dan yakin pada dirinya. Karakteristik inilah yang kemudian merefleksi begitu kuat dalam karya-karyanya, yang secara sepintas terkesan seperti garis tangan anak-anak. Seolah Ube ingin mengatakan bahwa ia masih enggan melepas masa kanak-kanaknya, dan kita diajak bermain memasukinya. Manusia perkotaan jaman sekarang terlalu sibuk dengan pergulatan mempertahankan hidup, mempertahankan eksistensi, dan berbagai tetek bengek urusan pekerjaan yang membuat kita kerap mengerutkan kening dan nyaris lupa untuk “bermain”. Karya-karya Ube hadir untuk mengingatkan kita pada keasyikan-keasyikan bermain itu. (PH)

Dwi Wicaksono S.

artwork bunch

Page 26: 13th Issue

26 FAR APRIL/MEI 2011

Para kurator, melalui pengamatan dan studi, menganggap Jakarta sebagai kota yang sesak (the maximum city). Penghuni kota Jakarta saat pulang kantor di kendaraan umum atau pribadi, di hunian baik di pusat maupun 4 wilayah kota yang lain tentu tidak banyak bertanya saat mendengar kota yang “maximum”. Serba-penuh dan cenderung tumpah.

Paradoks JakartaBerbeda dengan Mumbai, kota tempat penamaan maximum city berasal.1 Jakarta meski sama- sama tumbuh dan menjadi penuh dan melebihi kapasitas, memiliki berbagai persoalan yang menyajikan fenomena menarik, terutama karena hadirnya bermacam paradoks yang walau dikotomis tetapi kompromistis. Dalam arti, banyak hal yang sebenarnya bertentangan, tetapi ternyata bisa hidup bersamaan, bahkan berdampingan, di kota ini. Budaya kampung yang bisa berdiri sejajar dengan budaya kota. Warga kaya di gedung mewah hidup bersebelahan dengan kaum miskin di tenda-tenda kumuh pinggir sungai. Budaya modern-rasional berdiri sejajar dengan yang tradisional-mistis. Begitu pula antara semangat komunal dan individual, paham sektarian-fundamentalis dan multikultursalis-liberalis, atau

kesumpekan kawasan miskin dan kota-kota mandiri yang ditata nyaman. Kenyataan akan situasi yang dikotomis dan antagonistis, namun sering hidup berdampingan dan seolah mengambil keuntungan dari situasi yang ada.

Bergelut dengan paradoks Jakarta, niscaya bakal menemukan cara pandang berbeda tentang kehidupan. Paradoks kerap menghadirkan jurang (disparitas) yang dalam antara satu kutub dengan kutub lain yang bertentangan. Disparitas yang menunjukkan ketegangan tetapi sekaligus dinamika urban di kota, yang menjadi sumber kajian-kajian seni-budaya, dan inspirasi bagi para seniman berkreasi seni. Selain disparitas fisik material yang diisi oleh disparitas budaya yang sesungguhnya kontrovesial, misalnya orang kaya baru dengan budaya kampung dan orang baru (setengah) miskin dengan budaya kota, semua kenyataan kenyataan yang menambah kompleksitas kehidupan. Karenanya sebagai inspirasi, kota (dengan segala paradoksnya) adalah sumber provokasi yang menjanjikan ketidakterdugaan dalam karya seni rupa, terutama seni kontemporer dengan estetika urban.

Kecenderungan kegiatan dan pernyataan seni(rupa) di kota

besar seperti Jakarta di mana bidang-bidang yang sebelumnya tidaklah dinyatakan sebagai bentuk senirupa (yang unggul), menjadi salah satu ciri.

Tidak urung pada perhelatan kali ini selain karya-karya para seniman, maka karya karya perancang grafis, pecipta mainan, perancang busana dan disain yang lain menjadi menaraik dan penting ut dihadirkan sebagai karya seni. Hal yang tentunya akan menjadi pertanyaan bagi banyak pecinta seni, namun mungkin tidak demikian bagi masyarakat umum yang telah lama menikmati karya karya popular ini sebagai satu hal yang indah sekaligus bermanfaat. Cair tetapi tetap tidak menyatunya berbagai unsur yang ada sebagai air dan minyak yang saling mendesak dalam kepadatan kota. Perbedaan antara seni yang dihadirkan diruang publik dan galeri, yang seolah diterima tetapi tidak saat menghadapi pasar. Begitu juga saat membicarakan mana yang lebih ‘jujur’ dan dapat dinyatakan sebagai pernyataan seni, ketegangan kembali terjadi.

Namun di atas segalanya seni rupa urban sendiri kini menjadi tren global. Para seniman yang umumnya hidup di tengah kota, menyerap dinamika serta berbagai masalahnya, dan menyajikannya dalam bahasa visual terkini

berdasarkan khazanah seni rupa yang melingkupinya. Tak terpaku dengan ruang-ruang galeri, seni jenis ini sudah melebar masuk ruang-ruang publik kota sehingga sebagian termasuk seni jalanan (street art).

Seni kemudian punya semangat melebur dalam denyut kehidupan masyarakat. Seni bukan lagi sesuatu yang sudah selesai, tetapi juga sebuah proses. Penyajiannya cenderung lintas- media, memadukan teknologi terkini, dan bersifat interaktif. Sebagian seniman bergerak dengan basis komunitas. Dan kehadirnannya bukan semata mata untuk menghadirkan karya seni, tetapi lebih pada pernyataan akan kehadirannya di satu kota sebagai, individu ataupun kelompok. Tidak ada yang ingin dimarjinalkan di kota besar, yang di mana-mana mendengungkan kata be your self atau you are special tetapi sekaligus menghadirkan budaya massa yang menghilangkan satu orang dalam kerumuman masa. Kembali satu paradoks.

Lima sub-TemaTentunya biennale seni rupa merupakan tolok ukur dari perkembangan seni rupa yang sedang berlangsung. Ia bersifat independen dan mengacu kepada standar kualitas tertentu. Melalui biennale seni rupa, DKJ

MAXIMUM CITY:Survive or Escape?

Dinamika kota menjadi inspirasi para pengamat pilihan kurator Jakarta Biennale 2011: Bambang Asrini Wijanarko, Ilham Khoiri dan Seno Joko Suyono. Mereka memilih judul “Maximum City” untuk biennale kali ini.

JAKARTA BIENNALE XIV 2011

art report

Teks: Firman Ichsan(Ketua Dewan Kesenian Jakarta)

Page 27: 13th Issue

27

mencoba memberikan pernyataan kepada publik tentang situasi mutakhir perkembangan seni rupa Indonesia, terutama terkait dengan perkembangan seni rupa dunia. Biennale juga menjadi salah satu cara kita untuk mengenali tren-tren terbaru seni rupa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di sekitarnya.

DKJ telah menyelenggarakan biennale seni rupa sejak 1974 sebagai ajang pameran besar seni rupa dua tahunan. Untuk kali pertama kegiatan Biennale bertajuk “Pameran Senilukis Indonesia”. Kemudian berubah menjadi “Pameran Besar Senilukis Indonesia” (1976, 1978, 1980), lalu menjadi “Pameran Biennale” (1982), dan “Biennale” (1984, 1987, 1989, 1993—1994, 1996, 1998, 2006). Terutama pada 1993-1994, kata “senirupa” sempat menjadi keterangan judul. Sebelum dan sesudahnya memakai kata “senilukis” atau “lukisan”. Sejak 2009 menjadi “Jakarta Biennale”, tanpa embel-embel “pameran” dan “kompetisi” dan mulai berskala internasional—meskipun cikal-bakalnya sudah dimulai sejak Biennale Jakarta XII 2006.

Jakarta Biennale XIV 2011 mengangkat tema besar “Maximum City: Survive or Escape?” Dengan tema ini, kurator selain memilih karya-karya yang diinspirasikan oleh hal diatas, mengajak para seniman untuk merespon fenomena ‘sesak’ Kota Jakarta. Sebab di saat yang bersamaan masyarakat Jakarta juga menempuh jalannya sendiri dalam mencoba bertahan atau malah kabur dari semua kesesakan ini. Dari tema besar ini kurator membagi karya-karya ke dalam lima sub tema, yaitu: Violence and Resistance; Narcisism, Voyeurism, and Body; Game, Leisure, and Gadget Victim; Metro-Text Seductions; dan Citizen and Homo Ludens.

Kelima tema ini dianggap merupakan problem yang cocok untuk dan telah menjadi bahan refleksi dan ruang saluran bagi potensi-potensi radikal estetika urban. Dari situasi ini para perupa telah dan diharapkan

akan menampilkan berbagai karya-karya yang bertumpu pada kekuatan ide-ide yang subversif dan juga kekayaan eksplorasi bentuk berbagai medium, dan meluas ke masyarakat.

Kota Seni Rupa InternasionalSelain menghadirkan perupa, seniman nasional (di bawah usia 40 tahun), para kurator juga menghadirkan para perupa internasional (berbagai usia), ini disebabkan agar masyarakat dapat melihat karya-karya perupa yang memang tengah menjadi penting dalam perkembangan senirupa internasional belakangan ini. Keterlibatan mereka tak pelak berkat dukungan berbagai institusi kebudayaan dan perwakilan asing yang ada di Jakarta, Indonesia maupun tidak. Bagaimanapun implementasi serta keberhasilan rencana perhelatan ini, tentunya selain dari kepiawaian para kurator, juga berasal dari dukungan dan kesertaan dari berbagai pihak dan pemangku kepentingan.

Sebuah perhelatan senirupa seperti ini, memang telah menjadi bagian dari kegiatan kota (pemerintah kota dan jajarannya) di kota-kota besar di perbagai negeri dalam mengajak masyarakatnya untuk merayakan kotanya sendiri sekaligus berkaca dan mengkritisi diri serta berkontemplasi melalui tontonan dan kegiatan seni budaya serta upaya memperkenalkan kota itu sendiri untuk berbagai kepentingan termasuk pariwisata.

Jakarta Biennale, dengan promoter utama Dewan kesenian Jakarta adalah bagian dari Pemerintah Daerah DKI c.q. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Maka dari itu selain acara ini sebagai bentuk perayaan dan kritik (melalui kesenian), tetapi juga merupakan upaya kota Jakarta menjadi bagian dari jajaran kota-kota budaya serta kesenian kontemporer di dunia. FOTO : EVA TOBING.

1 Sukethu Mehta, penulis Amer-ika asal India menulis tentang kota kelahi-rannya, setelah lama tinggal di AS datang ke Mumbay, dan melihat serta menuliskan Mumbai mengacu pada ingatannya di masa kecil, ia memberi sub judul lost and found.

art report

Page 28: 13th Issue

28 FAR APRIL/MEI 2011

Page 29: 13th Issue

29

Jakarta punya banyak lonely market. Pasar-pasar alternatif semacam itu ada di berbagai tempat di kelima

wilayah kotamadya DKI. Di mana terdapat area pada lokasi-lokasi strategis, dapat dipastikan di sana berlangsung transaksi dari jenis pasar yang spesifik dalam ragam jenis dan kondisi barang, waktu jual-beli, lokasi, serta tradisi tawar-menawarnya. Rentang persebaran lonely market relatif merata dari tingkat kecamatan hingga kelurahan pada area-area milik pribadi, swasta, pemerintah, maupun area yang difasilitasi negara untuk publik. Pasar-pasar ini tumbuh dan tersebar seiring permintaan dan penawaran yang umumnya dikembangkan dari inisiatif kelompok sosial-ekonomi menengah-bawah. Meskipun begitu, berdasarkan jenis barang tertentu yang didagangkan dan pilihan area sebagai lokasi jual, target transaksi kadang-kala juga ditujukan bagi kalangan sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Setiap harinya, pasar-pasar alternatif melayani transaksi dari pelaku pasar yang datang dari mana-mana dan hal ini meningkatkan mobilitas pada jalur-jalur lokasi terhubung transaksi. Moda transaksi dari situasi pasar seperti ini telah menciptakan sistem jual-beli tersendiri yang berupa barang dengan uang (jual beli umum), barang dengan barang (barter), dan semi barter (tukar tambah). Moda dan sistem itu boleh dikata menampung segala jenis barang, mulai peniti

sampai onderdil, dari perkakas untuk rumah-tangga sampai perkakas untuk pertukangan.

Suasana transaksi pada pasar-pasar alternatif di Jakarta, mengisyaratkan dinamika sosial, ekonomi dan budaya dari sebuah peradaban kota masa kini yang dibentuk oleh campuran aneka budaya warganya. Transaksi diperantarai oleh beberapa faktor penentu, seperti kebutuhan akan barang atau jasa dalam waktu mendesak, harga relatif murah dan dapat ditawar, serta jenis barang atau jasa tidak terdapat di tempat lain kecuali di pasar alternatif, atau hasrat berspekulasi atas barang yang dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Misalnya pada transaksi valas di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Di sini dengan gampang dikenali titik-titik tempat transaksi valas. Setiap titik biasa bertanda $ pada lembar papan dengan seorang penjasa di dekatnya. Bagi para pembutuh jasa las ketok & duco, bermobil menyusur sepanjang Jalan Kramat Raya hingga gang-gang di kawasan Kwitang dapat segera menemukan dan memilih melakukan transaksi dengan penjasa las ketok & duco mana dengan cara membaca papan-papan informasi jasa tersebut. Tanda informasi jasa yang dipasang bersifat unik karena tampilan komposisi tipografi yang berbeda-beda buatan penjasa sendiri. Dari keunikan tanda itu, konsumen mungkin menghafal titik tempat penjasa langganannya.

«sebuah proyek seni rupa bertemakan Transaksi dari divisi laboratorium seni rupa di ruangrupa, Jakarta – Indonesia.»

LoNELy MARKET JAKARTA.

art report

Pasar alternatif atau lonely market tidak saja melakukan jual-beli barang kebutuhan sehari-hari, tapi juga kebutuhan akan hobi. Seorang kolektor mata uang lama, boleh coba mendatangi lapak numismatik di sejumlah tempat seperti Mester atau Pasar Baru. Berbagai lapak atau kios pasar alternatif dapat segara dikenali oleh karena pemajangan barang-barang yang dijual berada di tempat-tempat terbuka yang langsung terlihat mata. Kesan visual sangat penting karena ‘etalase’ telanjang untuk niaga jenis ini sekaligus dapat menjadi semacam hiburan bagi kesibukan rutin mobilitas dalam kota yang hyper padat. Kesan visual ini sering pula sekaligus menjadi penanda penting sebuah area pada suatu wilayah. Misalnya penyebutan untuk Taman Puring, Pasar Uler, Pasar Rumput, Mester, atau Asem Reges, dapat juga untuk menunjukkan jenis barang tertentu yang dijual-belikan di masing-masing tempat itu. Masing-masing pasar alternatif menciptakan sendiri luas arena transaksinya. Luas itu di berbagai lokasi berbeda di Jakarta bersifat tidak tentu dan lentur. Hal ini terjadi karena pengadaan pasar-pasar semacam itu sering berasal dari inisiatif mandiri para pelakunya. Selain itu, kemungkinan migrasi niaga mereka di dalam kota juga dapat terjadi sewaktu-waktu. Sebagian peniaga batu akik, asah pisau, kaset lagu, arloji, stempel di pasar alternatif Mester (atau Lapangan Urip) Jakarta Timur kini sudah pindah entah ke mana. Sebaliknya, area baru pasar jenis ini muncul di tempat lain di lokasi kawasan yang untuk sementara relatif lebih aman dari Perda No. 8 DKI Jakarta tentang Ketertiban Umum.Frekuensi kegiatan transaksi pada beragam lonely market berbanding lurus dengan frekuensi mobilitas

warganya. Frekuensi transaksi ini bila dilihat dari hari pasaran, yaitu saat ramainya kegiatan transaksi, dapat menempatkan para pelaku pasar dan transaksi (pedagang dan pembeli) ke dalam komunitas-komunitas transaksi dengan spesifikasi barang tertentu pada lokasi lonely market tertentu pula. Budaya pasar dan budaya transaksi yang berbeda tata cara dengan pasar dan transaksi yang umum dan resmi cukup punya banyak peminat di sebagian penghuni kota besar ini cukup punya. Arus pergerakan dan saling perpindahan barang dan orang (jasa) dari satu area ke area lain dalam kota dapat dikatakan tinggi. Demikian pula durasi mobilitasnya yang relatif berlangsung selama 24 jam karena pasar-pasar alternatif biasa mengisi kekosongan waktu yang tidak dilakukan oleh pasar-pasar pada umumnya ketika mereka buka mulai pukul 9 malam atau lebih saat pasar-pasar atau toko-toko atau transaksi umum sudah tutup. Apa yang Anda perlukan sekarang? Kapan Anda punya waktu? Di mana posisi Anda berada saat ini? Peta Lonely Market ini kiranya berguna dalam memandu Anda menemukan dengan tepat lokasi pasar untuk barang yang tengah Anda butuhkan. Peta ini juga tetap perlu jika Anda dan rekan Anda mungkin sekadar ingin berwisata saja ke tempat-tempat itu? Silakan.Dan proyek seni rupa untuk pola Transaksi ini masih berlanjut…FOTO DOK. RUANG RUPA

*tim laboratorium seni rupa di ruangrupa; Ade Darmawan, Hauritsa, Iswanto Hartono, MG.Pringgotono, Ricky Janitra, Reza Afisina dan Ugeng T. Mutidjo.

Teks: Reza Asung

Page 30: 13th Issue

30 FAR APRIL/MEI 2011

nation on a mission foto : Nandia Saskia

PESONA KHATULISTIWA

Page 31: 13th Issue

31

Page 32: 13th Issue

32 FAR APRIL/MEI 2011

nation on a mission

Page 33: 13th Issue

33

Page 34: 13th Issue

34 FAR APRIL/MEI 2011

nation on a mission

Page 35: 13th Issue

35

Page 36: 13th Issue

36 FAR APRIL/MEI 2011

Page 37: 13th Issue

37

Page 38: 13th Issue

38 FAR APRIL/MEI 2011

nation on a mission foto : Indra Pradityo

MAINAN RAKYAT

Page 39: 13th Issue

39

Page 40: 13th Issue

40 FAR APRIL/MEI 2011

nation on a mission

Page 41: 13th Issue

41

nation on a mission

Page 42: 13th Issue

42 FAR APRIL/MEI 2011

Page 43: 13th Issue

43

Page 44: 13th Issue

44 FAR APRIL/MEI 2011

Page 45: 13th Issue

45

Syaiful Ardianto atau yang lebih akrab dipang-gil Ipul adalah seorang perupa muda yang saat ini tengah menyelesaikan tugas akhirnya pada Jurusan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta. Karyanya yang berjudul “Jakarta Trap City” baru saja mendapat penghargaan sebagai Karya Grafis Terbaik pada pameran Jakarta 32’ yang diadakan oleh ruangrupa di Galeri Nasional be-berapa waktu yang lalu. Dalam karyanya terse-but, ia ingin mengungkapkan bahwa Jakarta adalah kota yang penuh jebakan bagi para penghuninya. Sebagai warga Jakarta, ia kerap merasa “terjebak” di kota ini. Ipul yang mengidolakan Andy Warhol dan Obey ini mengakui bahwa dalam karyanya, ia juga banyak dipengaruhi oleh artwork musik

punk yang biasanya terdapat pada cover album punk, flyer acara punk dan kaus yang biasa di-pakai oleh para punker. Ia biasanya membuat karya grafisnya dengan gaya kolase yang me-madukan teknik fotografi dengan teknik draw-ing atau komik sebagai latar belakang yang ia eksekusikan dengan teknik cetak saring di atas kanvas. Teknik cetak saring merupakan teknik grafis yang paling ia sukai dan paling sering ia gunakan sebagai bahasa ungkapnya. Atau sep-erti yang ia katakan, “sablon is punk!”Sejak kecil Ipul sudah gemar menggambar. Dan ia pernah menemukan buku harian milik ayah-nya waktu beliau masih muda yang di dalamnya banyak terdapat ilustrasi. Di kemudian hari, Ipul menyadari bahwa ayahnya adalah orang yang

paling berpengaruh yang membuat ia memu-tuskan pilihan untuk menekuni dunia seni. Dalam karya-karyanya, Ipul cenderung men-gangkat tema-tema realisme sosial dengan isu-isu yang tengah hangat di masyarakat pada saat ini. Dan dalam proses kreatifnya, ia tidak terlalu menghiraukan tentang karakter. Ia lebih mengedepankan semangat bermain. Baginya, proses berkarya adalah sebuah proses senang-senang. Ia beranggapan, bahwa seni itu harus menyenangkan, menghibur, dan bisa mencer-ahkan hidup orang lain dengan pengetahuan-pengeahuan baru. Ia membiarkan saja semua proses itu mengalir apa adanya. Dan ia percaya, bahwa ia akan terus berproses, dan ini tidak akan pernah berhenti. (PH)

upcoming young

SYAIFUL ARDIANTO.

Page 46: 13th Issue

46 FAR APRIL/MEI 2011

Page 47: 13th Issue

47

hit n miss

Pada 13 Februari 2011 yang lalu akan menjadi hari bersejarah untuk dunia street art di masa depan. Pada tanggal tersebut dijadikan hari nasional dengan sebutan street art movement karena dengan serempak di seluruh Indonesia para street artist membuat karya seni urban. Karya yang dibuat sangat variatif seperti mural, grafiti, stancil, sticker, instalasi, dll. Setiap seniman yang ikut berpartisipasi pada pergerakan ini diwajibkan mencantumkan kata “berberda dan merdeka 100%”. Kata - kata itu dipilih untuk menyikapi rumor yang sedang memanas pada saat itu. Semua dokumentasi gerakan ini bisa anda liat di www.indonesiastreetartmovement.tumblr.com (NAS)

Ketika sebuah tulisan bisa menyuarakan setiap yang kita rasakan, mungkin ini bisa menjadi salah satu alternatif berkomunikasi. Di-mana puisi, ya puisi yang dipikir hanya bisa ditulis oleh pujangga besar nyatanya bisa ditulis oleh siapa saja. Buku ini menjadi satu bukti bahwa puluhan puisi sederhana nan jujur ini adalah karya dari sekelompok orang yang berani untuk berekspresi melalui kata-kata. “Menuai Sajak di Kebun Raya Bersama Sapardi Djoko Damono” mer-upakan buku yang berisi kumpulan dari puluhan puisi yang dihasil-kan para peserta dan panitia kegiatan wiken Tanpa Ke Mall (WTM). Beranjak dari berkumpul dan obrolan ringan antara peserta dengan salah satu pujangga besar Indonesia yaitu Sapardi Djoko Damono pada Sabtu, 20 februari 2011 di Taman Anggrek, Kebun Raya Bogor akhirnya buku puisi ini hadir. Dengan latar belakang tempat yang indah, ternyata bisa merangsang para peserta WTM untuk berani menulis apa yang mereka rasakan. Kata yang disusun menjadi kali-mat indah dalam satu buku ini rupanya adalah sejumlah kumpulan rasa cinta, luka, galau, rindu, penantian dan lain sebagainya yang ada dirasakan oleh para penulis kala itu. “Hanya dengan bahasa puisi itu bisa diungkapkan, bahasa yang mengandalkan ketajaman imajinasi- dan kita semua memiliki ketajaman itu” jelas dari Sapardi Djoko Damono di dalam buku ini. Bahasa yang digunakan dalam buku puisi juga sangat ringan tapi langsung tepat sasaran. Mung-kin karena dalam prosesnya puisi-puisi ini memang dibuat dari hati

yang sedang ingin didengar melalui ukiran kata. Menulis puisi adalah cara siapa saja untuk mengungkapkan sesuatu, dengan media apa saja, dengan objek apa saja, dan dengan pesannya masing-masing. Dan menurut Sapardi, semua orang bisa menulis puisi selama memiliki niat dan kesempatan. Semoga buku ini bisa menjadi inspirasi bagi anda untuk mulai berani untuk menulis sebuah puisi dan terus menulis tanpa mengenal henti. (BW)

Empat elemen adalah sebuah buku yang berisi kumpulan dari 26 cerpen, 2 puisi, 1 fiksimini, dan 1 karya grafis dari 30 orang kontributor. Empat elemen yang dimaksud adalah pembentuk alam semesta menurut Empedocles yang terdiri dari air, api, tanah, dan udara. Keempat elemen inilah yang menyebabkan perubahan yang terjadi pada alam, saat keempat elemen ini ber-satu atau saling terpisah maka akan menimbulkan kelahiran, kematian, kehidupan serta bencana. Dengan judul Empat Elemen inilah yang juga menginspirasi setiap isi cerita didalam buku ini. Air, api, tanah, dan udara kemudian di satukan dalam bentuk cerita yang berbeda tentunya juga dengan makna pesan yang berbeda pula. Buku dengan berisi 208 halaman ini mengguna-kan tutur bahasa yang ringan dan sepertinya juga terinspirasi dari kejadian sehari-hari, sehingga mudah untuk dimengerti dan pembaca pun cepat menangkap pesan di setiap cerita. Buku “Empat Elemen” ini adalah hasil kumpulan dari penulis dan musisi muda yang tergabung dalam kelompok bernama “The Hermes”. Dijual dengan harga Rp.50.000,- per eksemplar nantinya hasil keseluruhan dari penjualan buku akan disumbangkan untuk mengembangkan program perpustakaan untuk anak-anak yang terkena bencana Merapi di Yogyakarta. (BW)

BERBEDA & MERDEKA 100 % MENUAI SAJAK DI KEBUN RAYA

Pada 4 Februari 2011 yang lalu sekelompok mahasiswa dan alumni Institut Kesenian Jakarta membuat acara sejenis gathering untuk para mahasiswa dan para alumni dalam bentuk melukis di dinding atau dikenal dengan sebutan mural di pelataran warung di kampus-nya. Dengan bertajuk “Warnai Harimu” maka setiap seniman ini be-bas membuat apa saja. Tidak ada aturan dalam menentukan tema gambarnya, tetapi memberi warna menarik untuk dinding di War-ungku begitu sebutan warung makanan di IKJ ini. Suasana keke-luargaan sangat terasa di sana, dengan berbagai karakter ilustrasi mereka menunjukan kekompakan para seniman - seniman disini. Bermula di hari Jumat sampai hari Minggu. Berbagai karya berha-sil dibuat dan sekarang menjadi sebuah ilustrasi baru di dinding - dinding kampus kesenian di sekitar cikini itu. (NAS)

WARNAI HARIMU

JUAN FRANCISCO CASAS

EMPAT ELEMEN

Ilustrator yang satu ini bisa membuat kita menggeleng - gelengkan kepala. Gambar yang dia hasilkan sangat nyata layaknya foto. Yang membuat kami merasa ingin membagi informasi ini kepada anda adalah bagian dimana pria ini menggunakan pena bulpoin untuk menggambar dan obyeknya kegiatan para wanita sexy. Ilustrasi yang dibuat sangat detail dan objeknya pun sangat berani. Ukuran yang dibuat tidaklah kecil, bayangkan berapa pena yang digunakannya untuk menggambar dengan hasil yang menakjubkan. Luangkan waktu sejenak untuk melihat situs pria Spanyol ini. www.juanfranciscocasas.com. Selamat menikmatinya. (NAS)

Page 48: 13th Issue

48 FAR APRIL/MEI 2011

heat n beat

Tanggal 22-23 Februari 2011 lalu, JAVA MUSIKINDO kembali meng-gelar Jakarta-Jam! Kali ini dengan line-up artist yang boleh dibilang lebih “teenage”. Hal itu memang terbukti di hari pertama, di mana kawasan Tennis Indoor Senayan begitu dipenuhi remaja belasan tahun yang ingin menyaksikan Never Shout Never (NSN), I-See Stars (ISS), dan We The Kings (WTK). Tampil sebagai band pem-buka, Christopher Drew Ingle (vokalis NSN) mencuri perhatian para remaja putri dengan men-genakan seragam Timnas Indone-sia. Teriakan histeris pun terdengar dari awal hingga akhir konser. NSN sendiri seharusnya tampil sebagai band kedua, namun karena ISS baru tiba di Jakarta sore harinya, kedua band itu akhirnya harus bertukar tempat. Ditutup dengan WTK, Jak-Jam hari pertama ber-hasil membuat para penonton yang mayoritas terdiri dari remaja putri, berteriak dan berloncatan. Tak kalah serunya, Jak-Jam hari kedua dipenuhi oleh para pecinta pop-punk dengan range usia yang lebih beragam. Sesuai namanya, The Starting Line (TLS) pun men-jadi pembuka konser malam itu. TLS ini memang dikenal dekat dengan New Found Glory (band yang tampil setelahnya), dan ser-ing mengadakan tur bersama. Kedekatan itupun terbukti ketika TLS mengajak Ian Grushka, bassis NFG, untuk berkolaborasi memb-awakan lagu “Leaving.” Tak perlu menunggu lama, setelah TLS turun panggung, Jordan Pundik cs lang-sung “menghajar” para fans setian-ya dengan “Understatement.” NFG pun terhitung sebagai band yang membawakan lagu terbanyak di Jak-Jam ’11. Total 24 lagu mereka bawakan. Para fans pun terlihat puas dengan konser kedua NFG di Jakarta ini. (RAS)

Bing Bang Baby! Bing Bang Baby! Itulah teriakan dari beberapa pe-nonton yang memadati Arena PRJ, Minggu 13 Maret 2011 kemarin. Para fans sejati Stone Temple Pilots ini mengharapkan Scoot Weiland cs membawakan lagu yang ada di album “Tiny Music...Songs From The Vatican Gift Shop” tersebut. Namun, karena taat songlist, para penonton pun harus rela, “Dead & Bloated” dan “Trippin’ On A Hole In A Paper Heart” yang akhirnya men-jadi encore konser malam itu. Dan, walaupun sang frontman tampil kurang komunikatif, performance band asal San Diego ini memang terbukti sempurna. Aksi panggung Weiland yang kharismatis seakan mengatakan: “I don’t have to say any words, you just enjoy us!” Ia hanya berceloteh agak panjang pada saat akan memainkan lagu cover version milik Led Zeppelin: “Dancing Days.” Aksi ketiga pers-onel lainnya (Robert dan Dean De-Leo, serta Eric Kretz) pun bisa dibi-lang tanpa cacat. Berterimakasih lah kepada JAVAMUSIKINDO yang telah mengakhiri masa penantian panjang para pecinta musik Grun-ge. (RAS)

Tanggal 8 Februari 2011 lalu, JAVAMUSIKINDO kembali menggebrak Ja-karta lewat Band Alternatif Metal asal Sacramento, AS, Deftones. Walau-pun tampil tanpa Chi Cheng (bass) –posisinya digantikan Sergio Vega, Chino Moreno cs sukses menghidupkan Tennis Indoor Senayan lewat deretan songlist yang apik. Tembang-tembang hits dari album pertama (Adrenaline, 1995) hingga album terakhir (Diamond Eyes, 2010) berha-sil membuat penonton berjingkrak dan ber-head-banging ria. Kualitas sound yang dihadirkan juga cukup menawan, hanya saja sound gitar Ste-phen Carpenter di awal konser terdengar kurang menonjol. Namun, hal itu tertutup dengan penampilan kelima personil Deftones yang sangat atraktif. Bahkan Chino tak henti-hentinya berlarian kesana-kemari dari awal hingga akhir konser. Di tengah-tengah konser, Chino pun sempat menyapa penonton dengan menenggak sekaleng bir lokal sambil ber-kata “This is local beer, and it’s good”. Di luar itu, para fans setia Deftones mungkin harus sedikit berbesar hati karena hits mereka yang paling di-tunggu-tunggu: “Back To School” tidak dibawakan. But overall, they’ were awesome!!! (RAS)

Kejutan tersendiri bagi fans Bring Me The Horizon, tampil di Jakarta den-gan kostum Baju bergambar khas Bali, band asal UK yang beranggota-kan 5 anak muda yaitu Matthew Nicholls (drums), Lee Malia (gutars), Jona Wienhoven (guitars), Matt Kean (bass), dan Oliver Sykes (vokal) berha-sil membuat penonton konser tersebut terpana. Bring Me The Horizon langsung menggebrak dengan It Never Ends sebagai lagu pembuka kon-ser. Suasana venue Tennis Indoor Senayan langsung bergemuruh. Kar-ismatik Oliver Sykes dan Jona Wienhoven berhasil membuat para fans khususnya para gadis terpana. Oliver juga sempat turun kebarisan de-pan penonton dan menggunakan blangkon ketika lagu The Sadness Will Never End dimainkan. Puncak klimaks konser tersebut ketika Oliver cs memainkan lagu Pray For Plagues, penonton ikut berteriak menyanyikan lagu tersebut dan melakukan circle pitt mengikuti gerakan yang di arah-kan Oliver. Konser yang diselenggarakan Java Musikindo bekerjasama dengan Surya Professional Mild ini sukses memikat penonton yang tidak hanya berasal dari Jakarta. Banyak juga penonton yang datang dari kota Bandung dan Jawa Barat, demi melihat band idola mereka. (CAE)

JAKARTA JAM STONE TEMPLE PILOTS DEFTONES

BRING ME THE HORIZON

Page 49: 13th Issue

49

heat n beat

Bibit baru dengan kreatifitas yang bisa dibilang unggul kini semakin bermunculan. Ini bisa dilihat pada acara yang belum lama ini digelar oleh Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dimana acara ini merupakan sebuah kegiatan sebagai sebuah wujud dalam program pengembangan kreatifitas FSR IKJ, kegiatan ini adalah Action Art yang mengusung tema “Young Indonesian Colorful”. Ajang ini menampilkan karya-karya terbaik dari para mahasiswa IKJ dalam berbagai bentuk karya diantaranya: karya animasi, karya industri kriya dan seni pertunjukkan. Berlangsung pada tanggal 17 Februari yang lalu bertempat di Lobby Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, selain itu pada acara ini juga digelar pertunjukkan fashion show hasil karya dari mahasiswa mode busana. Busana yang ditampilkan mulai dari art fashion hingga karya mode busana ready to wear. Karya-karya mereka hadir dengan konsep yang begitu cemerlang, untuk ditahap pemula mereka mengeluarkan ide hingga hasil karya yang luar biasa. Tema yang diangkat sangat bervariasi, ada yang terinspirasi dari Ondel-ondel Jakarta, Bantaran Kali Ciliwung, liarnya kehidupan di Afrika, dan lain sebagainya. Dimana karya-karya tersebut menampilkan warna-warni yang energik, cutting yang unik dan aneka bahan yang indah, dimana fashion show ini diperagakan oleh sejumlah model profesional Indonesia. Selain itu sebagai rangkain dari action art juga diselenggarakan sebuah pameran karya Tugas Akhir Terbaik yang berlangsung pada 18-19 Februari 2011 di tempat yang sama, pameran ini menampilkan sejumlah karya dari seni lukis, seni patung, desain komunikasi visual, desain interior, dan desain mode busana. Acara ini juga menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban dari pihak FSR IKJ yang telah mampu menghasilkan bibit unggul yang kreatif, inovatif, yang siap untuk diterjunkan di masyarakat serta dapat berkontribusi sebagai seniman, desainer, dan perupa yang berkualitas. (BW) Foto: DOK. FAR MAGAZINE

Pameran Survey #2.10 kembali digelar, kali ini membawa sepu-luh orang seniman muda untuk menampilkan karya mereka yang menarik dan tak biasa. Pameran ini sendiri merupakan pameran lanjutan dari Survey #2 di tahun 2009 yang lalu dimana pameran ini bertujuan untuk menyajikan kecenderungan seni rupa yang menarik dan menonjol di dua ta-hun terakhir. Sepuluh seniman muda berbakat yang berasal dari Yogyakarta, Bandung dan Bali ini diantaranya adalah: Agus Baqul Purnomo, Albert Yonathan Set-iawan, Arie Dyanto, Daniel Tim-bul, Michael Binuko, Octora, Sigit Bapak, Syaiful Aulia Garibaldi, Tina Nuraziza, dan Uuk Parama-hita. Mereka juga mewarnai pa-meran Syurvey #2.10 ini dengan karya seni rupa yang beragam, mulai dari media, warna hingga pesan yang ingin disampaikan pun berbeda. “Jikapun masih ada seniman-seniman yang berbicara tentang hal-hal ‘di luar’ dirinya, karya-karya mereka memperlihat-kan semangat yang tinggi untuk bermain-main dengan tanda, ai-kon dan simbol, tanpa intensi un-tuk meneriakkan suatu slogan atau jargon yang klise. Inilah salah satu perbedaan yang mencolok antara perkembangan seni rupa hari ini dengan sepuluh tahun yang lalu, ketika situasi sosial politik yang karut-marut dan euforia kebasan berependapat berdampak pada dominannya seni rupa dengan muatan sosial politik”, jelas Agung Hujatnikajennong selaku kurator. Pameran ini telah berlangsung se-jak tanggal 1-13 Maret 2011 yang lalu di Edwin’s Gallery Jl. Kemang Raya No.21, Kemang, Jakarta Sela-tan. (BW)

“Love Lies” merupakan sebuah pa-meran karya seni hasil dari sebuah deskripsi dari sepuluh orang seni-man muda Indonesia. Ketika cinta memiliki makna yang berbeda dan tak selalu sama maka setiap karya pun menceritakan makna cinta yang tak selalu indah ataupun se-dih. Ke-10 seniman ini mencoba membawa rasa yang ada pada diri mereka, kejadian yang mereka alami, dan peristiwa sekitar pada beraneka ragam bentuk karya seni. Tisa Granicia, Agra Satria, Sun Wahyu, Ika Putranto, Shawnee Pu-tri, Vonny Ratna indah, Puspita Sari, dan Mira Yasmin Sandytia sepuluh deret nama inilah yang telah ber-hasil menunjukkan makna cinta melalui karya mereka. Seperti yang diungkapkan Vonny Ratna Indah dalam karya lukis dan tiga buah boneka yang tergantung di atap, dimana ia mencoba menge-luarkan apa yang ia pernah rasa-kan. Ia mencoba menggambarkan sebuah cinta yang dipermainkan, namun ia juga menghadirkan sebuah pesan untuk dapat bang-kit (move on) dari sebuah masalah cinta. Berbeda dengan karya dari Sun Wahyu, jejeran lilin dan sebuah rumah kayu dengan domi-nasi warna putih, dalam karyanya sun menjabarkan bahwa cinta itu berisi sebuah kebahagiaan dan harapan. “Forget the pink Valen-tine’s hearts, they belong to illu-sion..” memang cinta tidak selalu punya arti yang sama. Pameran ini sendiri berlangsung pada 10-22 Februari 2011 lalu dan bertempat di Portico Senayan City, Jakarta. (BW) Foto DOK. FAR MAGAZINE

Salute The Gong merupakan acara yang dibuat khusus untuk merayakan satu tahun mengudaranya program Jamaican Sound di Mustang Radio. Acara ini sendiri berlangsung pada 20 Februari 2011 yang lalu. Memilih Mu Café sebagai tempat acara memang sangat pas karena letaknya yang berada di pusat kota Jakarta sehingga mudah dijangkau. Salute The Gong mendapatkan sambutan yang cukup meriah dari para penggemar music reggae. Ini terbukti dengan kehadiran sekitar 350 penonton yang memadati MU Café, Sarinah Jakarta. Acara ini dilengkapi dengan sejumlah penampilan dari musik bergenre ska hingga reggae, seperti Monkey Boots, Pasukan Lima Jari, Dfitris, Gangstarasta dan tentunya Ras Muhamad sebagai Duta Reggae Indonesia. Selain itu Salute The Gong sekaligus menggelar acara tribute to Bob Marley, dimana sepanjang acara terdapat layar besar yang menampilkan sejumlah foto dari Bob Marley. Dalam acara ini juga sempat memutarkan film pendek mengenai perjalanan dari Bob Marley yang berjudul “One Love, One Aim” yang diharapkan dengan pemutaran film ini penonton yang hadir dapat mengenal sosok Bob Marley secara lebih dalam. Acara ini terbilang sukses menghibur sekaligus memberikan pengetahuan lain mengenai musik reggae untuk para pengunjung Salute The Gong malam itu. (BW) Foto DOK. FAR MAGAZINE

ART ACTION IKJ SURVEY # 2.10

SALUTE THE GONG

LOVELIES

Page 50: 13th Issue

50 FAR APRIL/MEI 2011

heat ’n’ beat

Galeri Salihara kembali menghadirkan sebuah pameran yang unik dan berkualitas. Dimana pameran ini akan me-nampilkan sejumlah komik dari hasil karya 14 komikus yang telah aktif berkarya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pameran ini sendiri akan diberi nama “Bara Bertina”. Bara Betina adalah sebuah pameran komik yang menghad-irkan perempuan sebagai pokok bahasan dalam proses kreatif penciptaan komik. Pameran ini juga ada karena melihat bahwa kebanyakkan komik yang ada bersifat maskulin dimana keberadaan tokoh perempuan hanyalah sebagai pen-damping dan tidak terlalu signifikan. Pada dua dekade ini dunia komik Indonesia juga banyak didominasi oleh komik-komik Amerika, Eropa dan Jepang. Padahal pada era 1960 hingga 1970-an komik Indonesia tengah berada dipuncak kejayaannya. Namun kini para komikus Indonesia tetap berkarya hanya saja kebanyakkan secara independen tapi tidak jarang yang bisa menembus hingga pasar internasional. Pameran “Bara Betina” sendiri akan berlangsung pada tanggal 9-30 April 2011 mendatang. Pembukaan pameran sendiri akan berlangsung pada tanggal 9 April 2011 pada pukul 19.30 WIB, tidak hanya pameran saja untuk melengkapinya akan diadakan sebuah diskusi mengenai komik dengan dua orang pembicara yaitu: Sunny Gho seorang komikus dari Imaginary friends Studio dan Gupta Mahendra seorang kurator pa-meran dan editor M&C dan Suryorimba Suroto (pendiri komikindonesia.com) yang akan diselenggarakan di Serambi Salihara dan terbuka untuk umum. (BW)

Dua seniman muda mengadakan “Duet Exhibition” bertajuk VoluME (volume) di TeMBI RUMAH BUDAYA pada tanggal 2-16 Maret 2011 lalu. Mereka adalah Philips AB dan Farid Sycumband. Dengan visi yang sama mereka menunjukkan bahwa seni sebagai suatu produk budaya tidak lah selamanya dihasilkan melalui bantuan teknologi. Dengan satu sikap yang tegas, mereka ingin berdiri dengan cara pandang yang berbeda dari orang kebanyakan. VoluME sendiri hadir untuk menyuarakan dengan lantang kapasitas zaman ini yang mengagung-agungkan teknologi dan melupakan konsep-konsep dasar. Kedua seniman ini ingin menghadirkan wacana kritis melalui lukisan dan instalasi untuk menyegarkan kembali cita rasa para penikmat dan praktisi seni. Bahwa kemegahan saat ini dim-ulai dari sesuatu yang sederhana. Seni lukis, bagi mereka, adalah media komunikasi visual yang efektif. Dan, apa yang mereka hadirkan di sini ada-lah sesuatu yang telah dierami dengan matang dan akhirnya melahirkan ‘bayi’ bernama VoluME. Philips AB sendiri menghadirkan beberapa lukisan dan instalasi, sedangkan Farid Sycumbang menyumbangkan tujuh lukisan “Acrylic on Canvas”. Philips AB setidaknya telah berpameran sejak tahun 2002. Dan, karya-karyanya dalam pameran kali ini lebih banyak menggu-nakan “Pensil” sebagai sebuah simbol kesederhanaan dalam bidang seni lukis. Melalui karya-karyanya ia ingin “berteriak” bahwa pensil tidak sehar-usnya dilupakan. Dengan pensil, orang dapat lebih “merdeka,” dan den-gan pensil pula manusia dapat di-re-connecting. Sebuah frase yang se-cara tidak langsung mengatakan bahwa lukisan yang dihasilkan dengan alat-alat sederhana, juga dapat menghasilkan media komunikasi visual yang efektif. sedangkan Farid Sycumbang sendiri telah mulai berpameran sejak tahun 2009 lalu. Karya-karyanya dalam pameran ini pun mungkin lebih bersifat abstrak. Namun, tanpa mengurangi makna yang terkand-ung di dalamnya. Jika Philips berkomunikasi melalui “simbol,” maka Farid lebih banyak berkomunikasi melalui bentuk garis. Guratan-guratannya di kanvas seakan mengkomunikasikan bahwa, dalam media tertentu, “garis” mempunyai fungsi yang sama dengan “huruf.” (RAS)

Pada 8-20 Februari 2011 yang lalu telah digelar pameran lukisan dari seorang seniman bernama Tommy Wondra. Bertempat di Edwin’s Gallery Jl. Kemang Raya No 21 Jakarta Selatan, pameran ini menghadirkan 19 lukisan dengan menggandeng Alia Swastika sebagai kurator. Tommy Wondra selalu bekerja dengan proyek-proyek seri lukisannya yang massif, terutama berkaitan dengan jumlah dan ukuran. Satu ide lukisan bisa menghasilkan varian-varian imaji visual yang beragam, tetapi dalam satu koridor yang sama. Dalam 19 karyanya kali ini Tommy Wondra memilih warna yang tak biasa untuk dipakai oleh kebanyakkan seniman lukis lainnya. Warna perak yang dipilihnya lebih didasarkan pada keinginan untuk mencari apa yang mungkin dilakukan terhadap warna yang tidak banyak dipakai dalam lukisan ini. (BW) Foto DOK. Edwin’s Gallery

BARA BETINA

VOLUME

IN SILENCE

Page 51: 13th Issue

51

Pada 14 Februari 2011 yang lalu Ramli mengelar sebuah acara sebagai sebuah wujud rasa syukurnya karena telah berkarir selama 35 tahun da-lam dunia mode Indonesia. Pada malam itu Ramli menggelar peragaan busana hasil dari rancangannya sendiri yang menampilkan sekitar 70 busana dengan mengeksplor keindahan dari kain batik, aneka bahan, kebaya cantik dengan warna indah yang tetap dipadukan dengan bordir dan sulam yang menjadi ciri khasnya. Untuk koleksinya kali ini, busana wanita terlihat begitu anggun dan mewah sementara untuk busana pria terkesan menawan dan gagah. Pada malam itu Ramli juga meluncurkan sebuah buku otobiografi dirinya yang ditulis oleh seorang penulis han-dal yaitu Albertine Endah. Di mana buku ini banyak menceritakan jatuh bangun, suka cita, dan warna-warni kehidupan dari Ramli. Pernah divo-nis mengidap kanker usus dan perjuangannya melawan kanker tersebut juga diceritakan dalam otobiografinya kali ini. Pada perayaan 35 tahun Ramli berkarya yang diselenggarakan di The Dharmawangsa, Jakarta ini mendapat respon yang cukup besar dengan hadirnya banyak tamu undangan serta banyaknya dukungan yang hadir dari para sahabatnya untuk Ramli malam itu. (BW) Foto DOK. FAR MAGAZINE

heat ’n’ beat

Pertunjukan tari kontempo-rer kembali digelar oleh Galeri Salihara. Untuk kali ini tarian yang bertajuk “Image” ini menggambar-kan mengenai tubuh perempuan yang kerap terpenjara oleh ber-bagai norma dan kostruksi sosial masyarakat. Dimana tubuh perem-puan diambil alih oleh kekuatan di luar dirinya dan diberikan tuntu-tan, beban hingga imajinasi bagi kepuasan pihak lain. Tari “Image” ini merupakan hasil koreografi dari Asri Mery Sidowati, seorang koreografer muda berbakat yang menimba ilmu di Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukkan, In-stitut Kesenian Jakarta (IKJ). Per-tunjukkan tari “Image” ini akan berlangsung pada tanggal 16-17 April 2011 mendatang, bertempat di Galeri Salihara, Pasar Minggu. Ini akan menjadi tarian yang ter-bilang unik karena koreografinya sendiri akan menggunakan empat buah kamera video yang meng-gambarkan tubuh-tubuh perem-puan yang mengalami fragmen-tasi dan menjadi objek pasif dan ragam visual sehari-hari. Sang ko-reografer sendiri telah beberapa kali menghasilkan karya tari indah yang pernah ditampilkan di Galeri Salihara, Indonesia Dance Festival, pernah juga berpartisipasi pada Teater Populer yang dipimpin oleh Slamet Raharjo, Dapur Teater gara-pan Remy Sylado hingga berkarya di Cekoslowakia. Hanya dengan membayar Rp 50.000,- (untuk umum) dan Rp. 25.000,- (untuk mahasiswa/pelajar) anda dapat menikmati pertunjukkan seni tari yang tidak hanya indah tapi penuh dengan makna yang tersirat dida-lamnya. (BW) FOTO DOK. Witjak Galeri Salihara

Telefikom Fotografi merupakan sebuah Wadah Kegiatan Ma-hasiswa (WKM) untuk para pencinta fotografi yang terdapat di Universitas Prof.Dr. Moestopo (Beragama). Wadah yang menam-pung kreatifitas ini berdiri sejak 11 November 1991 yang hing-ga kini telah memiliki 19 angkatan. Pada kesempatan kali ini, Telefikom kembali menggelar sebuah Pameran Akbar Fotografi yang berjudul “Me Vs The World”. Pameran ini telah berlangsung di Galeri Oktagon Jl. Gunung Sahari Raya No.50 A Jakarta Pusat, sejak 4-10 Desember 2010 yang lalu. Pameran ini hadir dari sebuah perenungan mengenai perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Dimana ketika waktu terus berjalan maka secara sa-dar ataupun tidak ada sebuah proses perubahan juga ikut ber-jalan. Perjalanan ini tentunya memberikan sebuah pelajaran un-tuk arti makna kehidupan. “Me” merupakan sebuah gambaran pelajaran kreatif “aku“ yang mana “aku“ adalah cerminan jiwa fo-tografer yang merefleksikan kehidupan yang dituangkan men-jadi sebuah bentuk karya foto. Dan “The World” menggambar-kan tentang kehidupan sesuatu dan pelajaran hidup yang harus diterima dengan segala bentuk perubahaan dan konsekuensi. Dimana “Me Vs The World” bisa dijabarkan sebagai sebuah un-gkapan dari sang fotografer dalam mencari perubahan hingga pelajaran dalam kehidupan. Tidak hanya pameran fotografi, na-mun juga menghadirkan seminar bertema Perubahan Dalam Kehidupan “Film Vs Digital” oleh Surya Hari Wibawa untuk me-lengkapi pameran ini. Kemudian pada hari penutupan diadakan sebuah diskusi foto oleh Roy Genggam (fotografer komersil) se-bagai pembicara. (BW) FOTO DOK. Telefikom

Memilih profesi sebagai koreografer di panggung idealis ada-lah sebuah pilihan yang tidak mudah. Intensitas dan fokus dalam berkarya sangat dibutuhkan untuk terus struggling,

survive dan exist demi pencapaian hasil yang maksimal dan dapat diterima di tengah masyarakat. Dari seman-gat ini kemudian lahirlah I.D.E (Indonesia Dance Expression), sebuah ruang ekspresi dan interaksi antar kore-ografer muda. Dengan latar belakang pendidikan yang sama yaitu Jurusan Tari Institut Kesenian Jakarta, empat koreografer muda mengawali pertunjukan perdana I.D.E yang digelar di Goethe Haus Jakarta pada tanggal 22 Februari 2011 menampilkan empat nomor komposisi yang terinspirasi dari latar belakang budaya masing-masing. Empat koreografer yaitu Sabilul Razak asal Makassar dengan judul Jejak Sawerigading terisnpirasi dari kitab suci orang Bugis dan Makassar “Ilagaligo”, Serraimere Yason Koirewoa atau Boogie Papeda asal Papua ber-eksplorasi dengan koteka sebagai identitas suku Papua, Rizki Suharlin Putri asal Bangka hijrah ke Jakarta untuk berkuliah mengekspresikan pengalaman yang tidak pernah ia temui di tanah kelahirannya, dan Yola Yulfianti yang besar di Jakarta, merasa tidak mempunyai kultur yang kuat dalam darahnya sehingga kepenatan tinggal di Jakarta yang semakin menjadi inspirasi dalam komposisi tarinya. (PH)

ME VS THE WORLD

35 TAHUN BERKARYA TARIAN IMAGE

INDONESIA DANCE EXPRESSION 2011

Page 52: 13th Issue

52 FAR APRIL/MEI 2011

SAJAMA CUTNamanya sudah tak

asing lagi di scene indie. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, mereka bak

hilang ditelan bumi. Lantunan “Less Afraid” tidak lagi terdengar di gigs-gigs lokal. Sampai akhirnya mereka “muncul” kembali di penghujung tahun 2010. Here comes SAJAMA CUT! Dengan album kedua mereka, bertajuk “Manimal”, yang dirilis pada Bulan Oktober tahun lalu, mereka membuktikan bahwa band ini belum mati! Di awal tahun ini pun mereka semakin mengepakkan sayapnya, dengan merilis Double Single secara online. Apa cerita di balik peluncuran Double Single ini? Dan, seperti apa konsep musik yang mereka tawarkan? Berikut potongan wawancaranya.

Apa yang mendasari Sajama Cut mengeluarkan Double Single?Hans: Sebenarnya ngga sengaja,

karena kita kan emang ngeluarin single dari album Manimal yang “Twice,” dan kebetulan kemarin kita buat satu lagu baru yang judulnya “Poral Molice” yang mengangkat tema tentang “Polisi Moral” di Indonesia.

Mengapa rilisnya secara online?Dion: Sekarang kan promo terbaik yang lebih mencakup banyak orang dan semua umur itu media online. Jadi kita langsung mengeluarkan straight to the point aja di online. Biar semua gampang mencarinya.

Ngga ngerasa rugi?Dion: Ngga sih, karena kita emang mau menggratiskan, hehe. Dan, kita emang sering ngeluarin single. Ada moment yaa kita keluarin. Ya sebagai rasa terima kasih juga untuk pendengar kita.

Double single ini memang bercerita tentang apa?

Marcell: Mmm karena ada benang merahnya, makanya kita rilis bareng. Kedua single ini sama-sama bercerita tentang perubahan mental atau perubahan pemikiran dari sesuatu yang lama ke sesuatu yang lebih baru. Progresi mental kurang lebihnya. Kalau lirik kita sih lebih abstrak ya, Cuma emosinya masih tetap sama.

Mengapa Sajama Cut harus menukar huruf depan “Moral Police?”Marcell: Sebenarnya ngga ada makna mendalam sih, Cuma lebih “lucu” aja dibanding Moral Police, lalu kita nyanyinya juga tentang Moral Police. Sedikit terlalu kaku lah. Terlalu harfiah banget.

Memang menurut Sajama Cut, siapa sebenarnya Polisi Moral ini?Marcell: Mungkin lebih ke orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai juri yang

menentukan apa yang benar dan apa yang salah bagi orang lain. Sebagai band sih kita memang percaya dengan kebebasan berpikir. Apalagi sebagai seniman dan musisi. Dan, semakin ke sini kalau kita lihat di negara kita, sepertinya benar dan salah itu hanya ditentukan oleh pihak-pihak tertentu saja. Sebenarnya menyedihkan juga, karena mereka sendiri, menurut kita, juga ngga tau apa yang benar dan salah.

Apakah bisa dibilang “Poral Molice” ini lebih bernuansa “shogaze” atau abstrak?Hans: Kalau dibanding Osaka Journal sih jelas karena beda personil. Paling Marcell doang yang asli. Di Manimal kita memang memasukkan unsur-unsur baru seperti model-model brass section, synthesizer. Jadi perbedaannya memang kelihatan banget sih. Di situ juga, pengaruh dari berbagai genre juga masuk. Kaya si Randy

Page 53: 13th Issue

53

heat n beatyang suka jazz dan gaya dia masuk di beberapa lagu. Dion: Kita memang sengaja setiap album beda konsep. Ya itu kebebasan bermusik. Kita ngga mau mengkotakan musik kita kaya gimana, asal semuanya udah cukup puas yaudah kita jalanin. Kalau Osaka Journal sih memang karena saat ini mood-nya lagi folk, rock gitu. Di Manimal karena banyak selera jadinya ya gitu. Bukan shoegaze sih sebenarnya, kita baru pop. Marcell: Mungkin lebih banyak eksperimentasi instrumen aja ya. Jadi sedikit tidak mengandalkan gitar, bass, dan drum. Berusaha keluar dari settingan standar sebuah band. Gua rasa sih setiap band harus begitu ya. Buat apa buat album yang sama dua kali.

Apa harapannya setelah mengeluarkan single “Poral Molice”?Marcell: Ya supaya orang suka aja

sih. Kalau bisa mengubah orang jadi lebih sedikit berpikir sih bagus ya. Bonus. Tapi harapan kami sih standar aja, kita ngerilis lagu dan mudah-mudahan orang suka dan tersentuh. Utamanya sih gitu. Kita ngga mau muluk-muluk akan ada perubahan besar dari lagu ini. Tapi mungkin ini bersifat sinis, dan mudah-mudahan pendengar kita juga bisa lebih sinis dan kritis setelah mendengar lagu ini terhadap lingkungan mereka. Randy: Dari Double Single ini, mungkin yang kita utamakan itu “Twice” ya. Karena “Twice” itu kan memang dari Album Manimal kita. Sedangkan “Poral Molice” sebenarnya bonus, iseng-iseng aja. Marcell: Tapi iseng-iseng kita juga seenggaknya maksimal lah. Hahaha.

Dilihat dari konsep bermusik, adakah perbedaan antara “Manimal” dan “Osaka Journal?Randy: Kalau dibanding Osaka Jurnal, Manimal sendiri sangat berbeda sekali. Soalnya di Manimal

masing-masing mempunyai genre tersendiri dan itu masuk ke dalam satu lagu. Sedangkan “Poral Molice” dan “Twice” itu juga jauh beda. Poral molice itu kita lebih merekam yang lo-fi. Dan sistemnya oper-operan file. Misalnya ke Marcell, terus dia udah selesai, lalu ke tahap berikutnya Andre, Dion, dan yang lainnya.Marcell: Perpaduan yang susah tentu. Dengan enam genre yang berbeda. Dan, mungkin Poral Molice itu memang benar-benar otak kita berenam. Kalau di Manimal mungkin masih ada beberapa orang yang masih belum nyaman dengan peran mereka. Sedangkan Osaka Journal itu kan memang anggotanya beda, jadi beda banget secara musikal.

Seperti apa proses recording dari Manimal itu sendiri?Dion: Prosesnya itu satu tahun. Dengan kamar yang sama, dengan orang-orang yang sama,

dan komputer yang sama pula. Ya pokoknya kita semacam mengurung diri sih. dan, sebelum setahun itu kita udah punya rekaman enam lagu. Tapi kita ngga puas, dan akhirnya tidak memakai keenam materi tadi. Lalu kita buat materi lagi. Prosesnya ya itu, kita di dalam satu kamar, ada studio rekaman tapi yang level rumahan. Kita juga dibantu Yossie, sound engineer kita. Orang ketujuh lah sebenarnya. Lalu dalam setahun itu kita ada penyatuan konsep, adaptasi dari berbagai kepala. Karena ada kesibukan kerja, makanya kita makan waktu setahun. Ganti-gantian aja, setiap ada ide kita rekam. Ada evaluasi juga langsung kita rekam.

Seberapa penting faktor lirik bagi Sajama Cut?Marcell: Penting ngga penting sih, tapi dari feedback yang kita dapat, hal itu jadi salah satu kekuatan Sajama Cut. Ya gua pun peduli dengan lirik dari band-band yang gua suka. Jadi kalau mereka ngasal

gua juga ngga suka. Tapi, itu bukan berarti liriknya harus jadi enteng dan harfiah banget. Sedangkan kita kalau ngebuat lirik itu sedikit lebih abstrak. Terus maksud liriknya juga ngga harus jelas banget. Ya itu cara kita sendiri untuk menunjukkan kalau menggubah lirik atau lagu itu ngga harus selalu sama. Approach-nya bisa beda, bida aneh, tapi tetap berbobot.Bisa diceritakan perkembangan Sajama Cut sampai akhirnya memutuskan untuk tambah personil hingga enam orang seperti ini?Marcell: Hmm sempet ganti-ganti sih. Tapi (dulu) paling masih format empat orang. Untuk materi Manimal memang harus ada dua orang yang memainkan synthesizer. Jadi ya harus tambah dua orang lagi. Dan kebetulan kita memang teman-teman nongkrong jadi berenam temenan yaudah berenam juga nge-bandnya.

Adakah kiat khusus agar tidak gonta-ganti personil lagi?Marcell: Ya mungkin nongkrong-nongkrong aja. Asal bisa temenan, bisa ngeband lah. Selain itu, mungkin goal-nya harus sama. Setiap band harus punya tujuan yang sama. Susah juga sih, dinamika setiap band itu kan kaya keluarga. Dinamikanya beda-beda. Yang membuat sebuah keluarga atau hubungan berhasil pasti beda-beda setiap orang. Jadi gua rasa setiap band harus nemuin formulanya sendiri agar bisa tetap bertahan. Dion: Mungkin harus tetap bertahan di passion bermusiknya, dan saling trust aja. Itu aja sih. Kebetulan passion kita sama, dan basic kita memang pertemanan. Jadi, itu lebih gampang.

Lalu kalau bicara soal konsep panggung, adakah konsep khusus yang diramu sedemikian rupa dalam setiap penampilan?Hans: Untuk konsep panggung kita memang punya beberapa konsep. Waktu itu kita sempet coba pakai ‘dancing boy’. Niatnya ketika kita main, di sekeliling kita ada keseruan tersendiri. Ada orang-orang nari pakai kostum boneka gitu. Jadi kaya mau ngasih hiburan visual lah. Tapi jadinya kurang pas.Marcell: Ya kalau kita maksa yang ngga seru ya ngga seru. Mungkin kita lebih fokus ke kita sendiri dulu yang seru. Pokoknya kita main dengan emosi, dan syukur-syukur

sound-nya bagus. Gitu aja sih, ngga ada konsep yang aneh-aneh. Kita lebih berusaha seru buat kita, dan seru buat orang. Kaya Hans yang kadang-kadang suka bawa lampu aneh, seru, dan yaudah dijalanin aja sama dia. Hans: Paling gua pake perkusi gitu, cuma floor-drum doang, dan bawahnya gua kasih lampu. Biar menarik aja sih.

Dion: (Trik Panggung) kita sih paling ditembak pake proyektor, biar keliatan seksi. Haha.

Ada pengalaman menarik selama manggung?Hans: Pernah waktu itu manggung di Binus, atapnya tuh jatuh. Hampir kena Andre, Synthesizer kita. Tapi untungnya ngga, cuma laptopnya hancur. Terus yang menarik juga menurut gua, pas manggung di Urban Fest. Ngga tau kenapa, waktu itu penonton masih sedikit, tapi pas kita check sound, entah darimana semua jadi ramai datang (ke bibir panggung). Padahal kita belum main. Dan, pas kita selesai main yaudah sepi lagi. Senang aja ada kejadian kaya gitu. Kesannya penonton nungguin kita. Kita itu memang band yang lebih suka manggung di stage kecil. Lebih nyaman, dan bisa langsung bersentuh-sentuhan. Kita juga bisa saling lihat satu sama lain. Dan kita memang masih belum terlalu nyaman ada di panggung-panggung besar, karena ya jaraknya jauh, dan kita bukan band yang showbiz.Dion: Menurut gua pengalaman menarik adalah waktu manggung di Jaya Pub. Itu yang nonton orang-orang tua yang udah lama di scene indie, orang-orang yang udah dihargai dan didenger banget. Kita manggung di situ paling terakhir, jam 12 malem. Tapi kita nikmatin banget main disitu, padahal sempit-sempitan. Apresiasi mereka juga bagus banget. Di Tarki (Tarakanita) juga seru sih. Karena nama kita Sajama Cut, kita di cut! Hahaha. Jadi kita harusnya main dua lagu lagi, tapi tiba-tiba kita di-cut karena waktu. Ya mereka banyak sponsor sih, jadi mungkin lebih kaku. Tapi kita tetap main.Marcell: Dan kalau ngga salah, waktu itu kru-nya udah naik panggung, MC-nya juga udah siap-siap. Tapi kita tetep hajar satu lagu lagi. Hahaha. (RAS) FOTO DOK. SAJAMA CUT

Page 54: 13th Issue

54 FAR APRIL/MEI 2011

Photography ARDHIAN WISNU PRATAMAStylist RANI TACHRIL

Stylist Assistance ANASTASIA RENIMake up and Hair BUNLAY

Model UTA ‘GARDEN OF GRIEF’ - EDO FX-FOURTEEN - OPA WILLY ‘DELERIUM TREMENS’

Accessories by NAUGHTY - CHLORIS - NYALA - GREEDYSASSY

TRIBALINSANITY

Being INSANE is what you need to have fun at this moment.

Page 55: 13th Issue

55

Page 56: 13th Issue

56 FAR APRIL/MEI 2011

Page 57: 13th Issue

57

Page 58: 13th Issue

58 FAR APRIL/MEI 2011

Page 59: 13th Issue

59

Page 60: 13th Issue

60 FAR APRIL/MEI 2011

Page 61: 13th Issue

61

Page 62: 13th Issue

62 FAR APRIL/MEI 2011

Photography ARDHIAN WISNU PRATAMAStylist RANI TACHRIL

Stylist Assistance ANASTASIA RENI

Make up and Hair BUNLAYModel TASA RUDMAN

Accessories ZARA - MOSIMO DUTTI

PLAYING

HARDSuit up boys! This is the time to go out with class,

not to mention a little color is O.K.

Page 63: 13th Issue

63

Jas hitam, cardigans, celana dan sepatu dari ZARA. Vedora

milik stylist.

Page 64: 13th Issue

64 FAR APRIL/MEI 2011

Page 65: 13th Issue

65

Kiri & Kanan: Whole outfit dari MOSIMO DUTTI. Vedora dan

Bowler hat milik stylist.

Page 66: 13th Issue

66 FAR APRIL/MEI 2011

Kanan & Kiri: Whole outfit dari ZARA. Bowler milik stylist.

Page 67: 13th Issue

67

Page 68: 13th Issue

68 FAR APRIL/MEI 2011

Page 69: 13th Issue

69

Page 70: 13th Issue

70 FAR APRIL/MEI 2011

Bando, DianAde IDR 10.000

Kalung Kamera, IdekuHandeMade IDR 20.000

Cincin Biru, Mooz IDR 90.000

Cincin Telinga Kelinci Hitam, Mooz IDR 30.000

Gelang, Milik Model

artc eSSoriEsmodel : MARLINA

Page 71: 13th Issue

71

Anting,Milik Stylist

Yellow Reindeer, Greedy Sassy IDR 100.000

Kalung Wol, Nyala IDR 35.000

Cincin Burung Hantu, Milik Stylist

Octo Ring,Greedy Sassy IDR 80.000

Cincin Paus,Milik Stylist

Cincin Kupu Kupu,Mooz IDR 110.000

Cincin Zebra,Mooz IDR 25.000

Cincin 2BurungMooz IDR 40.000

Boneka BurungHantu,IdekuHandMade IDR 35.000

Boneka Baby DinosourIdekuHandeMade IDR 20.000

Page 72: 13th Issue

72 FAR APRIL/MEI 2011

Anting KupuKupu,Mooz IDR 115.000

Kalung Zipper, Nyala IDR 75.000

Lighting Bolt,Greedy Sassy IDR 70.000

Cincin Macan,Mooz IDR 175.000

Dompet PausIdekuHandMade IDR 5000

Tas MonsterPepoloco IDR 100.000

Page 73: 13th Issue

73

Anting,Milik Stylist

Kalung Capung, Mooz IDR 105.000

Gelang Ular, MIlik Stylist

Cincin Kelinci,Mooz IDR 45.000

Cincin Gurita,Milik Stylist

SunFlower Bag,IdekuHandMade IDR 130.000

Page 74: 13th Issue

74 FAR APRIL/MEI 2011

Page 75: 13th Issue

75

street shout

Part of the ShowJanet Jackson telah membius ribuan mata penonton pada konser tunggalnya di Jakarta tanggal 9 Februari yang lalu. Sosoknya yang begitu mendunia ternyata mampu menggiring massa untuk berbondong-bondong datang menyaksikan konser megahnya malam itu. Tidak bisa dipungkiri penampilan Janet Jackson yang selalu sempurna dan eye cathcing, ternyata memberi dampak yanng cukup besar untuk penampilan para penonton konsernya malam itu. Dengan style yang beragam, para penonton tidak ragu untuk tampil dengan perpad-uan yang unik dan total. Warna yang dipilih juga tidak monoton, efek kilap dari warna metalic juga dinilai pas dikenakan untuk konser malam itu. Penonton wanita ke-banyakkan hadir dengan gaya yang sexy, glamour, sportif and fun. Begitu pun dengan penonton pria mereka tidak mau ketinggalan, gaya mereka rata-rata tidak berlebihan tapi tetap fashionable. Konser yang bertajuk “Janet Jack-son Number Ones – Up Close and Personal” diselenggara-kan dengan begitu istimewa dengan kehadiran penonton

yang tidak kalah memukau, menjadikan konser malam itu tak terlupakan. (BW) Foto. DOK. FAR MAGAZINE

11 Maret 2011 di area kampus Institut Kesenian Jakarta, untuk keempat kalinya kembali digelar “ART FOR CURE”, yaitu malam penggalangan dana guna pengo-batan seorang teman yang membutuh-kan banyak biaya, yang kali ini diberi tajuk “Cinta Fitri”, sebagai bentuk kepedulian dan cinta dari teman-teman IKJ untuk Fitri Fajar Asih atau oleh teman-temannya bia-sa dipanggil Ganyong yang sedang dira-wat di rumah sakit karena menderita in-feksi otak (meningitis) dan liver. Ganyong adalah alumni IKJ angkatan 1999 yang juga salah satu pemain film Minggu Pagi Di Victoria Park. Para pengunjung yang didominasi oleh kalangan muda malam itu hadir untuk memberikan donasi sambil menyaksikan band-band indie yang bakal tampil, dan tentu saja tidak melupakan gaya dan penampilan. (PH)

ART FOR CURE

Page 76: 13th Issue

76 FAR APRIL/MEI 2011

Sudah lebih dari satu abad seni rupa modern hadir, tumbuh dan berkem-bang di Indonesia. Roda zaman berg-erak maju, trend berubah dan kekua-saan silih berganti. Situasi sosial dan

politik juga tak ayal turut memberi warna pada perjalanan sejarah, dan tak terkecuali sejarah seni rupa modern Indonesia.Perjalanan sejarah seni rupa modern di Indo-nesia dimulai ketika masuknya penjajahan Be-landa di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Barat (Eropa) pada masa itu dengan aliran naturalisme, realisme dan romantisme-nya membuat banyak pelukis Indonesia juga ikut mengembangkan aliran ini. Dan membicara-kan sejarah seni rupa modern Indonesia, seo-lah tak akan luput dari membicarakan Raden Saleh Syarif Bustaman (1814 -1880 ). Meskipun oleh segelintir kalangan beliau dinilai tidak nasionalis, tapi kemunculan karya-karyanya di paruh pertama abad 19 dapat dianggap seba-gai tonggak pembaharu seni lukis Indonesia. Beliau adalah tokoh bumiputera pertama yang mempelajari dan mengembangkan seni rupa modern Indonesia. Secara garis besar, berikut ini digambarkan beberapa masa yang mengir-ingi perjalanan sejarah seni rupa modern Indo-nesia dari dulu hingga kini.

MASA PERINTISANPada masa ini, tersebutlah nama Raden Saleh Syarif Bustaman (1814 - 1880 ). Beliau adalah seorang putra dari keluarga bangsawan pribu-mi yang mendapat beasiswa dari pihak kera-jaan Belanda, sehingga bisa punya kesempatan berkeliling Eropa dan menikmati kehidupan ala borjuis dari satu istana ke istana lainnya. Di sana, beliau mempelajari dan mengembang-kan teknik melukis cara barat dengan aliran dan

gaya realistik, naturalistik dan romantik. Beliau mendapat pelajaran melukis di bawah bimb-ingan A. Schelfhouf, C. Kruseman dan A. A. J Payen, seorang mantan mahaguru Akademi Se-nirupa di Doornik, Belanda yang terkesan den-gan bakatnya dan mengusulkan pada Guber-nur Jenderal Van der Capellen yang berkuasa di Hindia Belanda pada waktu itu. Karya Raden Saleh yang paling terkenal di antaranya ada-lah Penangkapan Pangeran Diponegoro, Hu-tan terbakar, Berburu Banteng di Jawa, Potret para Bangsawan, Perkelahian Antara Hidup dan Mati dan lain sebagainya. Lukisan Raden Saleh memiliki ciri-ciri yaitu bergaya natural dan ro-mantisme, pengaruh romantisme Eropa teru-tama dari Ferdinand Victor Eugène Delacroix (1798 - 1863), dan pengamatan yang sangat cermat pada objek manusia, alam maupun bi-natang. Namun sayangnya, Raden Saleh tidak mempunyai murid meneruskan bakat dan ilmu melukisnya. Selama beberapa dekade, setelah Raden Saleh wafat di Kota Bogor pada tanggal 23 April 1880 sempat terjadi kekosongan pelu-kis bumiputera, hingga kemudian muncullah pelukis-pelukis pada masa Indonesia Jelita.

MASA INDONESIA JELITA (MOOI INDIE)Di awal abad 20 yaitu antara tahun 1925-1938, muncul pelukis-pelukis muda yang memiliki pandangan seni yang berbeda dengan masa perintisan. Karya lukisan pada masa ini memi-liki ciri-ciri yaitu pengambilan obyek alam yang indah, tidak mencerminkan nilai-nilai jiwa merdeka, kemahiran teknik melukis tidak dibarengi dengan penonjolan nilai spirituil dan menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia. Dan oleh beberapa kalangan, gaya atau mazhab ini disebut mazhab Indonesia Jelita atau Hindia Molek atau Mooi Indie, yang

tumbuh dan berkembang hingga menjelang masa pendudukan tentara Jepang. Masa ini ditandai pula dengan kedatangan para pe-lukis luar/barat dan sebagian ada yang men-etap untuk melukis keindahan alam Indonesia. Pelukis-pelukis pada masa Indonesia Molek di antaranya adalah Mas Pirngadi (1875-1936) yang tinggal di Jakarta, Abdullah Suriosubroto (1878-1941) yang juga merupakan putera dari Tokoh Kebangkitan Nasional pendiri Boedi Oe-tomo yaitu Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang tinggal di Bandung, dan Wakidi (1889-1979) yang tinggal di Padang. Ketiga orang ini adalah tokoh yang kerap disebut sebagai pelopor ma-zhab Mooi Indie. Setelah itu juga ada Lee Man Fong, Basuki Abdullah, Henk Ngantung dan lain sebagainya. Dan beberapa pelukis asing yang datang dan menetap di Indonesia pada masa itu di antaranya adalah W.G. Hofker (Belanda), Romualdo Locatelli (Italia), Lee Mayeur (Jer-man), Walter Spies (Belgia) dan Rudolf Bonnet (Belanda). Para pelukis asing ini juga menganut gaya yang sama.

MASA CITA NASIONAL Masa ini dimulai dengan bangkitnya rasa ke-bangsaan yang diperjuangkan oleh Boedi Oe-tomo pada tahun 1908 yang kemudian mela-hirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada masa ini, Abdul Salam, Sindudarsono Sudjojono Agus Djajasuminta dan Surono mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) sebagai upaya untuk mengimbangi lembaga kesenian milik orang Belanda yaitu Kunstring. PERSAGI berusaha mengeksplorasi dan memasukkan nilai-nilai yang mencermink-an kepribadian Indonesia pada karya-karyanya. Beberapa di antaranya yaitu “Barata Yudha”, “Arjuna Wiwaha”, “Nirwana” dan “Dalam Taman

Sebuah catatan kecil tentang perjalanan Seni rupa MODern inDOneSia

karya : Raden saleh

Page 77: 13th Issue

77

Nirwana” karya Agus Djajasumita. “Djongkatan”, “Di depan Kelambu Terbuka”, “Mainan” dan “Cap Go meh” karya S. Sudjojono. Selain itu ada juga “Penggodaan” dan “Wanita Impian” karya Otto Djaya. Secara garis besar, hasil karya seni pada masa ini memiliki beberapa ciri, yaitu bertemakan perjuangan rakyat, membebaskan diri dari obyek alam yang nyata, mement-ingkan nilai-nilai kepribadian In-donesia dan didasari oleh seman-gat dan keberanian. Hal ini sejalan dengan semboyan PERSAGI yaitu “Teknik tidak penting. Yang pent-ing isi jiwa ini tumpahkan di atas kanvas!”

MASA PENDUDUKAN JEPANGPada masa ini, cita-cita dan se-mangat PERSAGI masih melekat pada para pelukis, yang menya-dari arti penting seni lukis untuk perjuangan rakyat. Lalu pemer-intah Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso, yaitu Lembaga Kesenian Indonesia –Jepang yang sebenarnya lebih mengarah pada kegiatan propaganda Jepang. Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur juga kemudian mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) pada ta-hun 1943 yang bertujuan untuk memperhatikan dan memperkuat perkembangan seni dan budaya. Tokoh utama pada masa ini antara lain Agus Djajasumita, Affandi, S. Sudjojono, Emiria Sunasa, Hendra Basuki Abdullah, Barli dan lain-lain. Hasil karya mereka melanjutkan cita-cita dan semangat PERSAGI.

MASA SETELAH KEMERDEKA-ANProklamasi kemerdekaan Indone-sia pada tanggal 17 Agustus 1945 turut membawa pengarus dan se-mangat baru pada dunia seni lukis Indonesia. Pada masa ini, para sen-iman benar-benar mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan muncul-nya berbagai kelompok seniman, antara lain SIM (Seniman Indone-sia Muda) yang sebelumnya ber-nama “Seniman masyarakat” yang didirikan oleh S. Sudjojono pada tahun 1946, yang juga berang-gotakan Gunawan, Abdus Salam, Affandi, Trubus, Sudarso dan lain sebagainya. Lalu pada tahun 1947 Affandi dan Hendra keluar dari perkumpulan SIM dan mendirikan perkumpulan pelukis rakyat yang beranggotakan Kusnadi, Hendra, Sasongko dan lain sebagainya. Setelah itu ada perkumpulan Pra-

bangkara yang berdiri pada ta-hun 1948 yang bertujuan untuk memberikan kursus menggam-bar. Selanjutnya para tokoh SIM, Pelukis Rakyat dan lain-lain mulai merumuskan suatu konsep untuk mendirikan lembaga pendidikan yang merupakan cikal bakal Aka-demi Seni Rupa Indonesia yang sekarang telah berganti nama menjadi Fakultas Seni Rupa Insti-tut Seni Indonesia Yogyakarta. To-koh perintisan lembaga tersebut antara lain Kusnadi, S. Sudjojono, Djayengasmoro, Hendra Gunawan, Sindusisworo dan lain sebagainya. Lalu di Bandung pada tahun 1950 berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarja dibantu oleh Ah-mad Sadali, Edi Kanta Subraka, Muhtar Apin, Sudjoko dan lain sebagainya yang merupakan cikal bakal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Band-ung. Maka dengan ini dimulailah era pendidikan formal seni rupa di tanah air yang banyak melahirkan para seniman akademis yaitu A.D. Pirous, Achmad Sadali, Bagong Kusudiharjo, Edhi Sunarso, Saptoto, Hardi, Siti Rulyati, Abas Alibasyah, Mulyadi, Irsam, Arief Sudarsono, Agus Dermawan, Popo Iskandar, Aming Prayitno, G. Sidharta, But Muchtar, Srihadi, Hariadi, Sunarto, Kabul Suadi, Sunaryo, Jim Supang-kat, Widayat, Pandu Sadewa, T. Su-tanto, dan lain sebagainya. .MASA DEMOKRASI TERPIMPINMasa ini ditandai dengan mun-culnya dua kubu dalam seni rupa karena perbedaan pandangan dalam kesenian dan politik, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Sebagaimana dike-tahui bahwa masa ini merupakan puncak kejayaan dari rezim Soeka-rno dengan semboyannya yaitu “Politik adalah panglima”. Dalam masa ini, segala sendi kehidupan dipolitisir sedemikian rupa, ter-masuk juga seni rupa. Lekra yang merupakan underbow PKI yang berhaluan kiri dengan slogan kerakyatannya sebenarnya menunggangi idealisme kerakya-tan Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan. Lalu pada 17 Agustus 1963 lahirlah Gerakan Manifesto Kebudayaan, yang bertujuan untuk membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, dan pada masa ini dimu-lailah era ekspresionisme di mana lukisan lebih sebagai sarana ek-spresi senimannya dan tidak lagi

dianggap sebagai alat propaganda politik. Masa ini juga diwarnai den-gan penangkapan para seniman pendukung Manikebu yang diang-gap melemahkan cita-cita revolusi.

MASA SENI RUPA BARU INDO-NESIAPada tahun 1972, Biennale Seni Lukis atau pameran seni lukis yang berlangsung setiap dua tahun sekali mulai digelar di Taman Is-mail Marzuki Jakarta dan diseleng-garakanlah Pameran Besar Seni Rupa Indonesia sebagai pembuka kegiatan, yang melibatkan para pelukis dari seluruh Indonesia. Na-mun pada saat itu belum ada sistem pemberian penghargaan. Barulah pada Biennale yang kedua pada tahun 1974 beberapa karya dari A.D. Pirous, Irsam, Abas Ali-basyah, Widayat dan Aming Prayit-no berhasil terpilih oleh dewan juri yang terdiri dari Affandi, Kusnadi, Fajar Sidik, Popo Iskandar, Sud-joko, Alex Papadimitriou dan Umar Kayam dan mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta. Hal ini menimbulkan polemik karena De-wan Kesenian Jakarta dianggap subjektif, sehingga para seniman muda yang terdiri dari para maha-siswa ASRI dan ITB yaitu S. Prinka, Ris Purnomo, Anyool Soebroto, Satyagraha, Jim Supangkat, Nyo-man Nuarta, Pandu Sudewo, Dede Eri Supriya, Siti Adiyati Subangun, Bachtiar Zainoel, Hardi, Wagiono. S, Agus Tjahjono, Nanik Mirna, B. Munni Ardhi dan F.X Harsono yang membentuk Gerakan Seni Rupa Baru. mengirimkan karan-gan bunga berwarna hitam seba-gai lambang kematian seni lukis Indonesia. Peristiwa itu kemudian disebut Desember Hitam 1974. Kemudian para aktivis Desember Hitam tersebut membuat sebuah manifesto yang bernama Gerakan Seni Rupa Baru yang menentang monopoli seni oleh sekelompok seniman senior mereka yang merupakan pengajar mereka di kampus, yang dalam beberapa hal justru mengekang kemungkinan akan bentuk – bentuk baru dari kesenian itu sendiri. Pada tahun 1975, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia berdiri dan untuk per-tama kalinya berpameran di Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki. Gerakan ini merupakan penanda dari perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia

MASA SETELAH REFORMASIHingar-bingar reformasi yang dim-ulai pasca tumbangnya rezim Orde

Baru telah melahirkan euforia yang nyaris tak terkendali sehingga mampu mendobrak berbagai ta-tanan sosial di berbagai dimensi, tak terkecuali seni rupa. Kondisi yang sebelumnya serba represif dan penuh kekangan telah ber-balik arah menjadi kondisi yang permissif dan serba boleh. Arus informasi dari luar yang membawa gagasan-gagasan baru juga mu-lai tak terbendung dengan makin meluasnya penggunaan teknologi internet di masyarakat. Pada masa ini dunia kesenian khususnya seni rupa mengalami revolusi yang mengagumkan den-gan hadirnya medium-medium ekspresi baru yang membawa masyarakat pada pemahaman tentang estetika baru yang mung-kin selama ini belum terpikirkan, seperti performance art, video art, multimedia art, seni instalasi, street art, seni rupa konseptual dan lain sebagainya dengan tema-tema yang mengangkat isu-isu kekin-ian, atau yang lebih dikenal den-gan seni rupa kontemporer. Ada kecenderungan dalam geliat prak-tik-praktik seni di tanah air untuk lebih mencairkan posisi seni dan seniman di tengah masyarakatnya dengan kolaborasi dan interaksi yang lebih nyata, sehingga tercipta dialog yang lebih intim dan lebih intens dalam upaya edukasi, apre-siasi dan pembentukan wacana. Klasifikasi seni rupa dan dikotomi seni tinggi dan seni rendah yang menjadi arus utama dengan ber-macam infrastrukturnya di masa lalu dianggap tidak lagi relevan dalam konteks kekinian. Maka ke-mudian muncullah inisiatif dari para pelaku seni secara kolektif di berbagai kota di Indonesia untuk membuat sebuah “ruang” alter-natif dalam proses penciptaan seni yang menembus batas-batas yang pada masa lalu dianggap baku, yaitu Sarueh di Padang-panjang, Akademi Samali, Maros, Forum Lenteng, Ruang Rupa, Tem-bok Bomber, Atap Alis, Kampung Segart dan Serrum di Jakarta, As-bestos, Video Lab dan Common Room di Bandung, Gardu Unik di Cirebon, Jatiwangi Art Factory di Jatiwangi, Byar! di Semarang, Per-formance Club, House of Natural Fiber dan Mess 56 di Yogyakarta, Malang Meeting Point di Malang, Ruang Akal di Makassar, Global Apple Work di Surabaya dan lain sebagainya. (PH)

sosial brew

Page 78: 13th Issue

78 FAR APRIL/MEI 2011

hotspot

Tempat ini muncul dengan konsep yang menarik, tidak hanya mampu memberi-kan kenyamanan tapi juga menawarkan kelezatan. Kehadiran Ismaya Catering

Cafe dan Office Gallery untuk mengakomodasi para tamu dari Ismaya Catering Co. Dengan harapan bisa menjadi tempat untuk para tamu mendapatkan info lebih lanjut mengenai Is-maya Catering Co. Cafe ini juga khusus dibuat sebagai tempat alternatif untuk anda meng-habiskan waktu luang serta berbagi cerita me-lepas penat, sangat pas dikunjungi kapan saja. Setelah lelah berkeliling Level One dan Grand Indonesia rasanya cafe inilah yang dapat men-jadi tujuan selanjutnya. Cafe yang cukup luas ini dirancang khusus dengan furniture unik dan bantal empuk dan elemen kayu dan bata yang cukup mendominasi. Tersedia 50 bangku dan memiliki empat buah lemari pendingin (cooler) warna-warni yang cukup besar berisi aneka mi-numan kaleng mulai dari jus, isotonik, hingga

soft drink, anda juga bisa mencicipi berbagai pilihan bir lokal hingga import dengan kuali-tas terbaik. Café ini menyediakan beberapa alternatif makanan untuk anda. Pada menu ‘Easy Bite’ anda bisa menikmati Sweet and Sour Fried Dory Bites dimana ikan dori goreng tepung renyah dengan tambahan saus manis ini rasanya sangat enak dan pas untuk camilan, atau pilihan lain seperti: Chili Fries Con Carne, Truffle Fries and Garlic Mayo, dan Honey Dijon Popcorn Chicken. Lalu dua buah sup andalan yaitu Tomato Soup with Grilled Cheese sup ini sangat gurih dengan kuah kental yang hangat atau Mushroom Cream Soup yang juga tidak kalah lezat. Kemudian menu ‘Serious Bite’ sep-erti Curry Meat Pie with Pea Mashed Potatoes, Beef Hotdog with Sweet Grilled Onions, atau Ham Egg and Cheese Croissant untuk dimenu ini selain yummy sudah pastikan porsinya cu-kup besar. Untuk pencuci mulut ada beraneka cake untuk melengkapi kenikmatan anda,

Strawberry Cheese-cake hadir dengan citarasa manis dengan kombi-nasi asam segar yang bisa mem-buat lidah anda ketagihan, X.O Pistachio Gelato ice cream den-gan rasa unik. Beragam olahan kopi lokal andalan harus anda cicipi,

Frozen Frappe mix antara caramel, hazelnut, dan mocha membuat minuman ini menjadi di-favoritkan atau Cappucino hangat. Dengan biji kopi lokal tentunya sangat cocok dilidah pen-gunjung. Ismaya Catering Cafe bisa menjadi tempat untuk kongkow dengan para sahabat, berkumpul dengan keluarga, bahkan cocok sebagai tempat meeting dengan klien. Dengan mengutamakan kenyamanan dan dilengkapi aneka minuman segar serta makanan lezat dengan hargaterjangkau, tentu saja tempat ini bisa menjadi pilihan baru untuk anda. Selamat mencoba! (BW) Foto DOK. FAR MAGAZINE

Page 79: 13th Issue

79

Beef hotdog with sweet grilled onions

hotspot

Grand Indonesia Shopping Town, East MallLevel One Unit 19 & 20

Office : +62.21 22358 1157Hunting : +62.818 89 7878ismayagroup.com/catering

Chili fries con carne

Cappuccino

Frozen Frappe

Curry meat pie wit pea mashed potatoes

Page 80: 13th Issue

80 FAR APRIL/MEI 2011

Diva bertubuh mungil asal negeri Jiran Malaysia ini ternyata masih memu-kau di usianya yang tak lagi muda. Sheila Majid telah menggelar konser

speaktakulernya di Jakarta pada 15 Februari 2011, bertempat di Jakarta Convention Center (JCC) Sheila Majid yang tampil dengan kualitas suara yang maksimal ternyata mampu men-gobati kerinduan para penggemarnya. Hadir dengan tema “Pond’s Gold Radience Presents Sheila Majid 25 Years Radience Celebration Live in Jakarta” sekaligus menunjukkan eksistensi sang diva yang telah memasuki tahun ke-25 kiprahnya di dunia tarik suara. Sepanjang kar-irnya Sheila Majid memang tak bisa lepas dari Indonesia, dengan lagu-lagu yang hits di tel-inga penikmat musik, Indonesia telah menjadi rumah kedua baginya. Ditunjang dengan tata

panggung yang minimalis dengan nuansa gold serta tata cahaya yang menarik menjadi-kan konser tunggalnya begitu hidup. “Ada-ada Saja” dipilih Sheila Majid sebagai lagu pembuka, kemudian tembang-tembang yang pernah hits menjadi senjata ampuh untuk mengembalikan memori para penggemarnya. Ketika menyanyi-kan beberapa lagu seperti “Antara Anyer dan Jakarta”, “Warna”, “Cinta Jangan Kau Pergi”, dan “Sinaran”, suasana konser semakin seru. Sheila Majid mampu membawa ingatan penonton pada masa lagu-lagu tersebut hits di jaman-nya. Konser yang berjalan selama dua jam ini menghadirkan kurang lebih sebanyak 20 lagu dengan aransemen yang tak biasa, dimana sang suami Hashridz Murshim Hassim yang akrab disapa Acis bertindak langsung sebagai music director pada konser tersebut. Konser itu

juga dihadiri oleh banyak bintang besar Indo-nesia, seperti Ody Agam (pencipta lagu Antara Anyer dan Jakarta) dan Vina Panduwinata. Sheila Majid secara spontan menyambangi mereka dan menarik mereka ke atas panggung untuk nyanyi bersama. Kejutan lain hadir pada saat gitaris handal Indonesia Balawan muncul dari balik kursi pengunjung, kemudian ia ber-duet dengan sang diva dengan sangat indah. Diakui konsep konser Sheila Majid di awal ta-hun ini memang begitu matang dan memu-kau. Pond’s Gold Radiance sebagai sponsor utama, bekerjasama dengan TIS Communica-tion sebagai promotor telah berhasil memberi-kan suguhan sebuah konser yang bercahaya. Sheila Majid telah membuktikan bahwa suara indahnya masih menjadi magnet tersend-iri bagi para penggemarnya di Indonesia.

Bumi Jakarta digoncang dengan kehadiran pe-nyanyi kelas dunia Janet Jackson pada 9 Februari

2011 yang lalu. Plenary Hall Ja-karta Convention Center disesaki oleh para penggemar yang secara khusus hadir pada malam itu un-tuk dapat melihat secara langsung sang diva asal Amerika Serikat ini. Konser tunggal Janet kali ini meru-pakan serangkaian tur termegah sepanjang karirnya. Pada konser yang bertajuk “Janet Jackson Num-ber Ones – Up Close and Personal” Janet begitu memukau, dengan konsep panggung yang sederha-na tanpa hiasan special effect na-mun kualitas penampilannya tidak menurun. Ketika Janet memasuki panggung untuk pertama kalinya

langsung disambut oleh ribuan suara yang memanggil namanya. Satu Plenary Hall terlihat begitu antusias, dengan body suit berwar-na silver Janet terlihat sexy ditam-bah lagi dengan potongan rambut pendek yang memancarkan au-ranya malam itu. Untuk konsernya malam itu Janet banyak menyanyi-kan lagu andalannya seperti All For You, Everytime, Again, Doesn’t Really Matter, dan Nasty. Hampir disetiap lagu yang berirama up-beat Janet tampil energik didamp-ingin oleh para penarinya. Wanita kelahiran 16 Mei 1966 silam ini seolah membius seluruh penon-ton yang hadir. Bayangkan saja, hampir semua penonton mampu mengikuti setiap lagu yang dilan-tunkan Janet kemudian mereka

pun tidak sungkan untuk menari bersama. Konser itu benar-benar fenomenal, adik kandung dari Mi-chael Jackson ini rupanya memiliki tempat yang begitu istimewa un-tuk penggemarnya di Indonesia. Konser itupun berjalan sangat intim seperti yang dijanjikan Ja-net, ia selalu berinterkasi dengan penonton dengan sangat ramah. Tidak jarang Janet mengajak se-luruh penonton untuk bernyanyi bersama, semuanya larut pada pesona Janet Jackson. Ditambah lagi dengan adanya layar besar yang menjadi latar panggung, disepanjang konser layar itu terus memunculkan video dan foto dari perjalanan karir Janet baik di dunia musik dan juga akting. Saat lagu ‘Scream’ dinyanyikan suasana ge-

dung seperti pecah, semuanya ter-bawa akan kenangan lagu terse-but saat Janet berduet dengan sang kakak Michael, dilayar besar pun video tersebut ditampilkan. Konser tersebut ditutup dengan lagu ‘Together Again’ yang mam-pu menarik seluruh penonton untuk larut dalam lagu itu. Konser Janet telah berhasil memuaskan seluruh penggemarnya di Indo-nesia khususnya Jakarta. Harga tiket yang terbilang cukup mahal rasanya terbayar lunas dengan penampilan total dari Janet. Kon-ser yang dipromotori oleh Berlian Entertainment ini sukses mere-but perhatian dan tak terlupakan. (BW) Foto DOK. FAR MAGAZINE

Konser berkilau Sheila Majid

The unforgettable Janet

event

Page 81: 13th Issue

81

Berangkat dari pemikiran bahwa Kopi telah menjadi bagian dari se-jarah budaya masyarakat Indonesia. Walaupun memang tidak ada stan-dar atau patokan dalam kegiatan

minum kopi di Indonesia. Tidak seperti tradisi minum teh di Jepang yang memiliki tata cara tersendiri dan lebih bersifat sakral. Namun, setidaknya kopi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita.

Kopi selalu ada di saat kita berbincang ber-sama teman. Kopi juga selalu ada ketika kita sedang menuangkan pemikiran ke segala macam bentuk karya, seperti tulisan, lukisan, dan lain-lainnya. Kopi seakan menjadi suatu syarat bagi seseorang yang ingin berbagi, ber-cerita, bertukar pikiran atau bahkan mimpi. Dari sinilah kemudian terbentuk ide untuk menyatukan “Kopi” dengan kegiatan berkese-nian dalam sebuah rangkaian acara bertajuk ”Kopi Keliling” yang kemudian disingkat “Ko-pling.” Kopling adalah sebuah Art Project ko-

laboratif dari beberapa seniman Indonesia, yang memasukkan “Kopi” sebagai tema sentral dalam karya-karya mereka.

Di “Kopi Keliling” beberapa seniman mengajak para pecinta kopi untuk mendengarkan cerita mereka; untuk merasakan ide-ide, pemikiran, dan mimpi-mimpi mereka, melalui sebuah perjalanan visual yang mereka hadirkan di lima tempat berbeda, dalam waktu lima bulan. Oleh karena itulah, pihak penyelenggara mem-bubuhkan kata “Keliling” dalam proyek ini.

Kopi Keliling Volume Pertama telah diadakan pada tanggal 20 Februari – 5 Maret 2011 di Tor-nado Coffee, Kemang, Jakarta Selatan. Kopling Vol. I inipun memiliki tiga rangkaian acara, yakni: 1. Pembukaan (20 Februari), yang dime-riahkan penampilan Sunday At Twelve, Sovana & The Goons, dan Lucky Annash; 2. Pameran (21 Februari - 4 Maret); 3. Penutupan (5 Maret), yang dimeriahkan penampilan Swimming Elephants, Bangku Taman, dan Andryo. Art Exhibition-nya

sendiri menampilkan karya-karya dari: Arris Aprillo, Arya Mularama, Bugzy, Dmaz Brodjo-negoro, Emte, Eric Wirjanata, Hendy Musa, Lala Bohang, Moreza, dan Motulz.

Demi memenuhi kebutuhan akan narsistik, Kopling Vol. I juga menyediakan “Photo Booth,” lengkap dengan pilihan wardrobe dan penga-rah gaya/pose. Para pengunjung pun langsung dapat meng-upload foto tersebut secara lang-sung ke facebook ataupun twitter. Tak hanya itu, pengunjung Kopling Vol. 1 juga dapat mengg-oreskan kenangan masa kecilnya di atas kertas yang telah disediakan panitia. Melalui rangka-ian acaranya ini pihak Kopling pun berharap para penikmat seni dan pecinta kopi dapat saling terhubung. Dan, terlebih lagi dapat men-jadi tempat berkumpul dan bertukar pikiran mengenai konsep-konsep kesenian, dengan bagian dari budaya masyarakat Indonesia: Kopi. (RAS) FOTO DOK. FAR MAGAZINE

Kopling ( Kopi Keliling )

event

Page 82: 13th Issue

82 FAR APRIL/MEI 2011

DISTRIBUTIONAMBARAWAMARUTO AGENCY

BANDUNGTOGAMASGRAMEDIATOKO GUNUNG AGUNGGUNARAYA

BANJARMASINGRAMEDIA

BATAMAULIA BATAMJACK BATAM

BENGKULUZALDI

BOGOR TENGAHJOINT AGENCY

CIREBONEQUATOR AGENCY

DEPOKTOGAMASBLOK BOOKSTORE

DENPASARCORSICA AGENCY

DKI JAKARTAGRAMEDIATOKO GUNUNG AGUNGSTARMARTKINOKUNIYALAYSIN BOOK STORETOGAMAS

JAMBIELEISON GLORIA

JAYAPURASINAR ANEKA

KENDARIADE KENDARI

LUWUK (SULAWESI TENGAH)MASRUN AGENCY

MANADO GRAMEDIALOK BOOKSTORE

MAKASSARTELLY AGENCY

MEDANSURYA MEDAN

PADANGDEDI AGENCY

PALANGKARAYAANANGSUKRIFATIR AGENCY

PALEMBANGSRIWIJAYA PUTRAGRAMEDIA

PEKANBARUGRAMEDIAJACK PEKANBARU

PONTIANAKANGKASA BARU

SAMARINDAGRAMEDIAANTONIUS TERANGAZIZ

SEMARANGMAHKOTA AGENCY

SURABAYAGRAMEDIATOKO GUNUNG AGUNG

SLEMAN YOGYAKARTAIRFAN AGENCY

SOLOSENDANG MULIA

SURAKARTAABC SOLO

YOGYAKARTACAKRAWALA

Page 83: 13th Issue

83

Page 84: 13th Issue

84 FAR APRIL/MEI 2011FOR ANOTHER REASON : THE BIRTHDAY ISSUE