132984927-ANGIOEDEMA

25
ANGIOEDEMA A. DEFINISI Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa. (1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini. (1) Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak 50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus, angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya. (1) Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas. (7) Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau 1

description

angiid

Transcript of 132984927-ANGIOEDEMA

Page 1: 132984927-ANGIOEDEMA

ANGIOEDEMA

A. DEFINISI

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan

submukosa.(1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya

seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan

sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.(1)

Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak

50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus,

angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi

penatalaksanaannya.(1)

Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan

menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang

dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan

timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat

sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat

yang berbatas jelas.(7)

Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu

melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau

subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.(1)

B. ETIOPATOGENESIS

Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari

peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan

subkutaneus.(1)

Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,

pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.(1)

a. Allergic angioedema

1

Page 2: 132984927-ANGIOEDEMA

Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan

oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak

41.7% kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh

binatang, dan sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang

paling sering mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%).

Sedangkan obat-obatan yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah

antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12

kasus; 25%).(8)

Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.

Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam

setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex).

Brown melaporkan sebanyak 142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di

IRD, didapatkan angioedema pada sekitar 40% kasus.(1)

Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan

angioedema, meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya.(2)

Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-

linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat

keadaan tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien,

dan prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis.(9)

Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.(10)

b. Pseudoallergic angioedema

Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas

IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic

angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan

NSAIDs seperti aspirin.(1)

Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus.

Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen

(57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen

(4.8%) dan meloxicam (4.8%).(7)

2

Page 3: 132984927-ANGIOEDEMA

Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin

oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga

terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif.(10)

c. Non-allergic angioedema

Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan

IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya

urtikaria, termasuk diantaranya:(1)

1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))

Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:

Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang

diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen

sehingga terjadi supresi C1-inhibitor sebagai akibat sekresi

abnormal ataupun degradasi intraseluler.(2)

Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga

diturunkan yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan

pembentukan protein yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor

bisa normal atau meningkat.(2)

Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur pembentukan

kinin. Kinin merupakan peptida dengan berat molekul yang rendah,

berpartisipasi dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel

endotel. Akibatnya terjadi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas

vaskular, dan mobilisasi asam arakhidonat. Reaksi radang seperti

kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri merupakan hasil dari

pembentukan kinin.(2)

3

Page 4: 132984927-ANGIOEDEMA

Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di

daerah wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam,

tampak wajah kembali normal.(2)

2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))

Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I

berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang

berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2

merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG

terhadap C1-inhibitor.(2)

3. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced

angioedema (AIIA)

Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-

inhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala

dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin

Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang bertanggung

jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor

dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema

idiopatik, HAE, dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat.(2) Kebanyakan

AIIA muncul pada minggu pertama setelah pengobatan dimulai, hanya

4

Page 5: 132984927-ANGIOEDEMA

sekitar 30% kasus AIIA muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa

tahun setelah dimulainya terapi.(1)

d. Idiopathic angioedema

Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa

diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus

mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu

paling sering adalah panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi

dan degranulasi mast cell dianggap menjadi penyebabnya.(1)

Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat

angioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab

eksogen yang ditemukan.(2)

C. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter

[HAE] dan angioedema yang didapat [AAE]) terjadi pada 10-20% populasi pada

beberapa waktu dalam kehidupan. Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik.

Diperkirakan prevalensi HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang. AAE lebih

jarang ditemukan. Sampai tahun 2006, hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan

dalam literatur. Sedangkan menurut laporan, insidensi AIIA bervariasi dari 0.1% -

6%.(1)

Ras Afrika-Amerika lebih rentan menderita angioedema yang diinduksi oleh

penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe lainnya tidak memiliki

hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan derajat keparahan penyakit.(1)

Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan

pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE, estrogen

berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang

ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu memperburuk

angioedema tipe tertentu.(1)

Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan

predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan frekuensi

5

Page 6: 132984927-ANGIOEDEMA

serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada dekade ketiga.

Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anak-anak. Pasien dengan

HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien

dengan angioedema karena induksi oleh ACE-inhibitor adalah 60 tahun.

Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia 30-50 tahun dibandingkan

grup usia lainnya.(1)

D. DIAGNOSIS

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria

dan angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan

untuk membuktikan penyebabnya, misalnya:(3)

1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada

tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.

2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu

untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.

3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.

4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam

menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test),

serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,

makanan dermatofit dan kandida.

5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang

dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi

satu.

6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat

membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran

kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen

membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan

pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar

pembuluh darah.

7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.

8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria

kolinergik.6

Page 7: 132984927-ANGIOEDEMA

9. Tes dengan es (ice cube test).

10. Tes dengan air hangat.(3)

Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita

urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya

lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi,

riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas

pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis yang lengkap untuk mencari morfologi dan

durasi (dengan memberikan tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda

penyakit sistemik harus diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien

diambil gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang

atau berkurang pada kunjungan berikutnya.(3)

7

Page 8: 132984927-ANGIOEDEMA

Gambar 2. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema(11)

E. DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding

dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis

urtikarial, dan dermatitis herpetiformis:(6,10)

1. Eritema multiforme

Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh

sistem imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.(10)

Penyebab yang pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain

alergi terhadap obat sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus

tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor

endokrin seperti kehamilan dan haid, dan penyakit keganasan. Gejala khas

ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian

tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh

lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.(12)

Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda

dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi

faktor pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya

terjadi pada kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula

ditemukan adanya fenomena Koebner.(13)

Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi

menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan.(10)

8

Page 9: 132984927-ANGIOEDEMA

Gambar 3. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada punggung

tangan.(10)

2. Vaskulitis urtikarial

Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura

multiple, bila dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque,

urtika, angioedema, pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis.

Kadang terdapat edema subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di

daerah ekstensor tungkai bawah. Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu

timbul, dapat disertai demam, malaise, arthralgia, dan mialgia. Vakulitis

urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat hilang. Pada penyakit ini lama

urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar atau nyeri.(14)

Gambar 4. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit.(10)

3. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung seumur

hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi biasanya

dimulai pada usia dekade dua sampai empat.(15)

Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,

tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya

9

Page 10: 132984927-ANGIOEDEMA

penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif.(15)

Tempat predileksinya ialah dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah

ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah

vesikel, oleh karena itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes

zoster. Dinding vesikel atau bula tegang.(16)

Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria,

akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut.(6)

Gambar 5. Pola distribusi dermatitis herpetiformis(4)

Gambar 6. Dermatitis herpetiformis pada siku(10)

F. PENATALAKSANAAN

Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan

non-medikamentosa.(11)

10

Page 11: 132984927-ANGIOEDEMA

1. Non-medikamentosa

Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor

pencetus, pengobatan dan prognosis penyakit.(11) Pengobatan yang paling

ideal tentu saja adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari

penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba

mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak

melakukan kontak dengan penyebabnya.(3) Pengobatan lokal di kulit dapat

diberikan secara simptomatik, misalnya anti pruritus (calamine atau menthol

1%). Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan obat-obatan

seperti aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor

pencetus seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara

berlebihan juga penting untuk dilakukan.(11) Eliminasi diet dicobakan pada

pasien yang sensitif terhadap makanan.(3)

2. Medikamentosa

Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan

intervensi tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:(11)

- First line therapies

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.

Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat

histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang

dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu

antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).(3)

Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema

bergantung pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1,

namun efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping

farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat

antihistamin yang baru yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi

nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin non-klasik.(3)

Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai

puncak dalam 2 jam.(5)

11

Page 12: 132984927-ANGIOEDEMA

Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan

kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler,

penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula

efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek

antikolinergik atau menghambat reseptor alfa-adrenergik.(3)

Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine,

dan cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada

antihistamin lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria

kolinergik.(3) Obat ini merupakan antihistamin short-acting, dosis 10-25

mg setiap 6 jam. Hydroxyzine juga dapat dikombinasi dengan

antihistamin long-acting seperti chlorpheniramine maleate.

Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan pada

wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine,

dan mizolastine sebaiknya dihindari.(6,11)

Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,

loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan

mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat

dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine),

sedangkan astemizole dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.

Efektivitasnya berlangsung lebih lama berbanding AH1 klasik, bahkan

astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah pemberian dosis tunggal

secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin

yang long-acting.(3) Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan

derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya

dimetabolisme di hati dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak

diekskresikan dalam bentuk urin. Cetirizine lebih bersifat sedatif

dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan paling baik digunakan di

malam hari.(5)

Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi

karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu

golongan ini tidak memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan

12

Page 13: 132984927-ANGIOEDEMA

potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat penekanan pada SSP serta

relatif non-toksik.(3)

Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada

sumber yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin

bersifat teratogenik, tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada

wanita hamil, khususnya pada trimester pertama.(5)

- Second line therapies

Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas

antihistamin yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna

pada pasien yang sering merasa cemas di malam hari.(5)

Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria

berat dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0

mg/kgBB/hari.(5)

Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang

menyebabkan angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin.

Epinefrin bekerja secara cepat dengan menstimulasi β-adrenoreceptor

sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi mast cell.(5) Angioedema

pada orofaring sangat membahayakan dan harus ditangani secepatnya

dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg secara

intramuskular. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung

pada tekanan darah dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi

perbaikan klinis.(17) Efek samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan,

dan sakit kepala. Oleh karena itu, penggunaannya harus berhati-hati pada

pasien dengan hipertensi, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung

iskemik dan diabetes mellitus.(11)

- Third line therapies

Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian

antihistamin menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu

diberikan imunoterapi. Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil

digunakan untuk mengobati urtikaria. Cyclosporine (3–5 mg/kgBB/hari)

13

Page 14: 132984927-ANGIOEDEMA

sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon pasien terhadap

cyclosporine kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena atau

plasmapheresis.(11,17)

Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk

urtikaria sangat kurang.(5) Pada angioedema herediter, pemberian

kortikosteroid, antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada

serangan yang bersifat akut, diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika

tidak tersedia, dapat diberikan infus dengan fresh frozen plasma 500-2000

ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa diberikan Androgen (Danzol 200-600

mg/hari), diatur berdasarkan gambaran klinis dan inhibitor levels. C4 tidak

perlu distabilisasikan.(18)

G. KOMPLIKASI

Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal

yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan

depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi

paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa

menyebabkan asma.(4,6)

H. PROGNOSIS

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat

diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4]. Available

from: http://www.medscape.com/article/135208 .

14

Page 15: 132984927-ANGIOEDEMA

2. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill

Medical; 2009. p. 330-42.

3. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 169-75.

4. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ

Books; 2003. p. 38-9.

5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T,

Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of

Dermatology. 7th ed. Oxford: Blackwell Science; 2004. p. 47.12-

47.27.

6. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis.

Clinical Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. p. 94-

9.

7. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th

ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 471.

8. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K.

Clinical and etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4].

Available from: http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .

9. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat

alergi makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 159.

10. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: An

Illustrated Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003.

p. 72-8.

11. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL,

Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York:

Mosby Elsevier; 2008.

15

Page 16: 132984927-ANGIOEDEMA

12. Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005.

p. 162.

13. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified

disorders. Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and

Management. 1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.

14. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005.

p. 337-8.

15. Brehmer E, Andersson. Acute allergic urticaria/angioedema.

Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. p.

195-7.

16. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah

M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta:

FKUI; 2005. p. 211.

17. Greaves MW. Drug therapy of urticaria. Drug Therapy in

Dermatology. London. p. 323-9.

18. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Allergic diseases. Dermatology:

Thieme Clinical Companions. 5th ed. New York: Thieme; 2006. p.

173-4.

16