123 iddentitas

download 123 iddentitas

of 26

Transcript of 123 iddentitas

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Konflik yang melibatkan etnis banyak sekali terjadi, walaupun memang konflik etnis ini sendiri nantinya bisa melibatkan banyak hal, bisa dari aspek identitas, politik atau bahkan sumber daya alam. Atau bahkan, ada konflik politik yang kemudian di politisasi menjadi konflik etnis, atau juga konflik politik yang didasarkan pada kepentingan etnis. Konflik atas dasar etnis inilah yang menjadi fokus penulis dalam karya ilmiah ini, perlu juga digarisbawahi bahwa penulis melihat etnis tidak jauh dari kata identity. Karena bagaimanapun, dalam konflik etnis yang pernah ada, selalu melibatkan lebih dari satu etnis; dan olehkarenanya etnis bisa menjadi dasar yang sangat kuat dalam sebuah identitas masyarakat. Dengan kata lain, secara garis besar sebuah konflik yang melibatkan etnis bisa dikategorikan sebagai konflik identitas. Salah satu bentuk konflik etnis ini adalah konflik yang terjadi di Nagorno Karabakh, salah satu region dari Negara Azerbaijan. Konflik ini tidak hanya melibatkan Azerbaijan semata, tetapi juga Negara tetangga mereka, Armenia. Konflik Nagorno-Karabakh ini, tepatnya antara masyarakat Karabakh dan pemerintah Azerbaijan dimulai sejak 1988. Konflik ini sebagian disebabkan oleh perbedaan etnis, dimana warga Karabakh merupakan orang-orang Armenia. Konflik di Karabakh ini memiliki sejarah dan akar konflik yang panjang yang berawal dari era kekuasaan Bolshevik atau ketika komunis Soviet berkuasa di Eropa timur. Berdasarkan hukum yang sudah ditentukan oleh Soviet, region

Karabakh ini masuk dalam otoritas pemerintah Azerbaijan. Pada tahun 1988 banyak demonstrasi dari warga Armenian-Karabakh agar mereka masuk dalam teritori dan otoritas hukum Armenia.1 Karabakh merupakan suatu wilayah yang strategis di Caucasus Region, termasuk juga Armenia dan Azerbaijan. Kondisi strategis ini ditunjukkan dengan seringnya perang yang terjadi dalam usaha perebutan daerah ini. Dua kerajaan yang bersaing untuk mendapatkan daerah ini adalah Rusia dan Persia. Pada tahun 1805 Karabakh akhirnya dimiliki oleh Rusia. 20 tahun kemudian Azerbaijan juga menjadi milik Rusia, dan di sekitar tahun ini pula, tepatnya tahun 1825-1826, Rusia mulai membentuk negara dominion yang sekarang dikenal sebagai Armenia.2 Dalam tahap pembentukan Armenia ini, Karabakh kemudian dijadikan sebagai salah satu provinsi Armenia. Bangsa Armenia yang ada sekarang merupakan pendatang yang didatangkan dalam usaha Rusia membentuk kontrol di wilayah Caucasus. Di bawah pemerintahan Tsar dan juga sampai awal abad 18, konflik antara Azerbaijan dan Armenia belumlah terjadi. Konflik perebutan Karabakh antar kedua Negara ini terjadi ketika revolusi Bolshevik tahun 1917 revolusi ini memunculkan kekerasan etnis. Revolusi Bolshevik juga menimbulkan vacuum of power dan sebagai akibatnnya banyak wilayah-wilayah yang sebelumnya dibawah kontrol Rusia menyatakan merdeka Armenia dan Azerbaijan merupakan beberapa diantaranya. Pada tahun 1918, setelah

1 2

Heiko Kruger, 2010, The Nagorno-Karabakh Conflict: A Legal Analysis, Berlin: Springer, hal. Ibid, hal 7-8

menyatakan merdeka, Azerbaijan dan Armenia sama-sama mengklaim Karabakh sebagai wilayahnya.3 Pada tahun 1918, Azerbaijan berada dalam kekuasaan Ottoman Empire, sekalipun telah memperoleh status meredeka. Akan tetapi menjelang kekalahan Ottoman pada tahun itu, akhir dari Perang Dunia I, Azerbaijan berada dalam pengawasan Inggris dan Inggris jugalah yang telah menentukan bahwa Karabakh region berada dalam yurisdiksi Azerbaijan.4 Akan tetapi pengaturan ini ditolak oleh orang-orang lokal Armenia di Karabakh yang datang dalam proses pembentukan kekuasaan Rusia di wilayah Caucasus pada abad 17. Orang-orang Armenian-Karabakh ini menolak yurisdiksi Azerbaijan dan memulai perang gerilya melawan pemerintah Azerbaijan pada tahun 1920.5 Pada tahun 1920 inilah, dapat diasumsikan bahwa konflik identitas antara orang Armenia dan Azerbaijan dimulai. Untuk beberapa waktu, di bawah kekuasaan Stalin, konflik antar kedua negara ini terhenti. Terhentinya konflik ini, bermula ketika Stalin tertarik akan potensi minyak Azerbaijan dan akhirnya memutuskan untuk mengivasi Azerbaijan; dengan kata lain proses pendudukan inilah yang menjadi awal penghentian konflik. Soviet juga menduduki wilayah Armenia dan juga Georgia dalam waktu yang hampir sama dengan pendudukan Azerbaijan. Dengan menjadikan ketiga negara ini sebagai negara-negara satelit maka ketiga negara ini berada dibawah kontrol dan hukum Soviet. Dengan demikian terhenti konflik atas Karabakh untuk sementara terjadi karena

3 4

Op cit, hal 12 Svante. E Cornell, 1999, The Nagorno-Karabakh Conflict, report no. 46, Departement of East European Studies: Upsala University, hal 7 5 Ibid

keberadaan Stalin dan juga Soviet, yang disertai dengan opresi hukum. Konflik ini terhenti sampai paling tidak Gorbachev memegang tampuk kekuasaan, terutama ketika dia memperkenalkan paham Glasnot Prerestroika. Saat Gorbachev memegang kekuasaan tertinggi partai komunis Soviet, Karabakh masih berada di bawah yurisdiksi Azerbaijan. Carol Migdalovitz menuliskan bahwa sejak Glasnot Prerestroika atau keterbukaan diperkenalkan, ada sedikit kelonggaran atas hukum Rusia; sebagai pengaruh akan paham ini, Armenian-Karabakh (penulis memaksudkannya kepada orang-orang Armenia yang ada di Karabakh) mengajukan petisi pada Soviet untuk menyerahkan Karabakh pada Armenia di tahun 1987.6 Dan pihak Armenia mendukung atas petisi ini, dimana Azerbaijan tentu saja menolak. Sebagai tanda awal akan setujunya pihak Armenia akan petisi Karabakh ini, Armenia memulangkan suku Azeri (suku mayoritas Azerbaijan) yang tinggal di wilayah Armenia. Svante E Cornell berpendapat bahwa dititik inilah proses eskalasi konflik dimulai. Svante Cornell menuliskan bahwa pada 26 Februari 1988, terjadi insiden yang mengawali konflik berdarah antar keduanya, yaitu terbunuhnya 2 orang Azeri di daerah perbatasan Karabakh dan Azerbaijan. Diduga bahwa yang melakukan hal ini adalah orang Armenia. Reaksi atas hal ini muncul di Sumgait, salah satu kota di Azerbaijan, yang menjadi tempat penampungan orang-orang Azeri yang terbuang dari Armenia. Orang-orang Azeri inilah yang berdemonstrasi menuntut balas; diikuti oleh kekerasan terhadap orang-orang Armenia di sekitar

6

Carol Migdalovitz, 2003, Armenia-Azerbaijan Conflict, Congressional Research Service, CRS 1

Karabakh.7 Kekerasan ini berupa penjarahan, pembakaran rumah dan pengejaran orang Armenia. Kekerasan ini berlanjut hingga melibatkan alat-alat berat seperti Helicopter dan pasukan bersenjata pada tahun 1990. Kekearasan dengan melibatkan kontak bersenjata ini terus berlangsung di daerah-daerah NagornoKarabakh dan juga sekitarnya. Dalam bukunya, The Nagorno-Karabakh Conflict, Heiko Kruger menuliskan bahwa Armenia, selama konflik berlangsung juga memberikan bantuan militer pada pemberontak Armenian-Karabakh. Hanya saja terjadi sedikit perubahan pada tahun 1991, ketika Karabakh mendeklarasikan kemerdekaannya. Armenia, sesuai dengan yang dituliskan oleh Carol Migdalovitz, tidak mengakui Nagorno-Karabakh sebagai negara yang independent. Jika yang dituliskan oleh Heiko Kruger benar adanya, bahwa Armenia memberikan bantuan pada Armenian-Karabakh, maka jelas bahwa Armenia memilki kepentingan tertentu dalam usahanya ini. Guideline yang ingin penulis bentuk kemudian akan didasarkan pada logika bantuan yang diberikan oleh Armenia pada Armenian-Karabakh dan juga posisi Armenia dalam menolak deklarasi Nagorno-Karabakh. Memang, dari data yang penulis dapat bantuan yang Armenia berikan pada Armenian-Karabakh bermula dari keinginan untuk mempersatukan Karabakh dalam tertori Armenia. Dari titik ini, logika yang ada sungguh masuk akal. Hanya saja ketika Karabakh mendeklarasikan diri merdeka, Armenia tidak mengakuinya. Bisa muncul banyak asumsi dari posisi yang Armenia tunjukkan dalam menghadapi pendeklarasian ini.

7

Svante. E Cornell, 1999, The Nagorno-Karabakh Conflict, report no. 46, Departement of East European Studies: Upsala University, hal. 17

Asusmsi yang penulis kira cukup masuk akal adalah bahwa Armenia memiliki tujuan khusus yang ingin dicapai dalam usahanya membantu pemberontakan Karabakh, misalnya bahwa Karabakh terletak dalam suatu posisi strategis scara geografis atau juga karena Karabakh memiliki potensi sumber daya alam. Asumsi ini bisa dimengerti mengingat bahwa sejak tahun 1988 sejak Karabakh mengajukan petisi pemisahan diri banyak utusan Armenia yang memohon pada pihak Soviet untuk meluluskannya, dan usahanya tidak sampai terhenti sampai di situ, usaha lain adalah pengiriman bantuan militer pada Karabakh. Dilain pihak, asumsi lain yang mungkin muncul adalah bahwa Armenia memberikan bantuan pada Karabakh adalah karena kedekatan identitas karena sebagian besar penghuni Karabakh adalah etnis Armenian sendiri. Walaupun memang terdapat fakta bahwa Armenia menolak deklarasi kemerdekaan Karabakh, asusmsi atas dasar identitas ini bukan sama sekali keliru. Svante Cornell, setidaknya menyebutkan bahwa Armenia dan Karabakh pada mulanya memilki satu visi yang sama, yakni bersatu. Akan tetapi dengan Karabakh mendeklarasikan merdeka dan Armenia menolaknya maka asumsi lanjutan ang muncul adalah Armenia mungkin, masih berkeinginan untuk mempersatukan Karabakh dalam wilyahnya. Dari hal inilah kemudian penulis memilki pertanyaan mengapa? Mengapa Armenia berusaha mempersatukan Karabakh dalam wilayahnya. Dengan kata lain penulis memiliki urgensi untuk melihat apakah suatu kedekatan identitas dapat menjadi penyebab dan juga penentuan keputusan suatu negara untuk berkonflik. Bentuk pertanyaan yang lebih spesifik akan penulis paparkan dalam sub-bab berikutnya.

I.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang penulis sebutkan di atas maka penulis menentukan satu pertayaan yakni, mengapa Armenia berusaha menjadikan Karabakh sebagai salah satu wilayahnya dengan memberikan bantuan militer dan juga menolak deklarasi kemerdekaan Karabakh? I.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mencari tahu alasan keterlibatan dan juga tujuannya dalam pemberian bantuan militer pada Armenian-Karabakh. 2. Untuk mengetahui apakah kedekatan identitas dapat menjadi penyebab sautu negara memutuskan untuk berkonflik.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu Dalam upaya penulis untuk dapat menjawab rumusan

permasalahan dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk merujuk pada beberapa penelitian terkait. Dengan adanya beberapa rujukan pada penelitian terkait tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baru baik untuk melengkapi penelitian yang telah diketahui atau diteliti sebelumnya. Tidak hanya itu, rujukan dari studi terdahulu tersebut diharapkan pula dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut. Konflik Azerbaijan dan Armenia telah menjadi fokus penelitian beberapa penstudi Hubungan Internasional. Dalam penelitiannya, beberapa penstudi tersebut fokus pada dinamika, penyebab, resolusi, serta peran aktor internal dan eksternal dalam konflik tersebut. Sehubungan dengan skripsi ini, maka penulis akan memfokuskan pada beberapa penyebab konflik Azerbaijan-Armenia. Dari berbagai litelatur

ditemukan bahwa konflik Azerbaijan-Armenia terjadi karena beberapa alasan . Pertama konflik ini terjadi karena pengaruh dari kondisi hukum yang mengatur wilayah territorial Karabakh. hal ini pernah diungkapkan sebelumnya dalam buku The Nagorno-Karabagh Conflict yang ditulis oleh Heiko Krugrer. Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa terdapat ketidakpastian status Nagorno-Karabakh. Hal ini diawali ketika bagian Nagorno-Karabakh menjadi bagian dari Azerbaijan ketika petama kali ditemukan. Dasar dari hal ini adalah prinsip hukum internasional uti

possidetis8. Etnis Armenia di Karabakh tidak diberikan hak untuk memisahkan diri dibawah hukum internasional. Nagorno Karabakh merupakan bagian negara Azerbaijan dan berlanjut hingga kini, pandangan dari PBB dan OSCE sepakat bahwa Nagorno Karabakh merupakan bagian dari Azerbaijan dan disahkan oleh hukum internasional.9 Hingga saat ini kumpulan beberapa negara menggaris bawahi bahwa Karabakh merupakan kepemilikan Azerbaijan. Bagaimanapun dalam rangkaian analisis saat ini penilaian komunitas negara telah lahir. Baik hukum Uni Soviet maupun hukum internasional tidak memberikan hak pemisahan diri pada etnis Armenia di Karabakh. Untuk alasan ini Nagorno-Karabakh tetap menjadi milik Azerbaijan yang mana berarti mereka dapat mematuhi prinsip integritas wilayah yang mana mengaplikasikan hukum internasional. Asumsi kedua, konflik ini semakin tereskalasi karena adanya aspek etnisitas. Hal ini diungkapkan oleh Carol Migdalovitz dimana ia menyajikan bahwa masih terdapat etnis Armenia di Karabakh yang merupakan bagian dari Azerbaijan. Etnis Armenia tersebut menganggap bahwa terjadi pelanggaran hak ketika mereka menjadi minoritas disana. Etnis Armenia mengalami selfdeterminasi, yang dibuktikan dengan kurang dihargainya hak berpolitik bagi mereka disana. Berdasarkan ketentuan hukum yang dijelaskan pada alasan pertama tersebut, hal ini menunjukkan keterangan bahwa hak untuk determinasi diri terjadi pada masyarakat, yang mana etnis Armenia berdasar pada pandangan tersebut,8

Merupakan pilar utama dalam hukum internasional yang berhubungan dengan isu wilayah internasional. Kerangka utamanya khusus dalam konflik antara prinsip integritas wilayah dam hak untuk self determination ditempatkan 9 Terdapat pada resolusi Dewan Keamanan PBB 822 (1993), 863 (1993), 853 (1993) dan 884 (1993). Terdapat pula pada pertemuan Lisbon 1996 2-3 Desember 1996.

dimana tidak diterimanya hak untuk memisahkan diri dan dianggap sebagai minoritas di populasi tersebut. Hal ini semakin memuncak pada minoritas di wilayah perbatasan. Minoritas mencari keseimbangan hak, partisipasi politik dan bahkan menggunakan hak untuk otonomi, namun mereka tidak diberikan hak untuk memisahkan diri. Kontroversi ini merupakan konsekuensi dari hubungan konflik Nagorno-Karabakh, sebagaimana kondisi ini disertai oleh pendapat minoritas untuk membebaskan atau melepaskan diri. etnis Armenia di karabakh juga merasa diperlakukan tidak adil ketika diputuskan untuk menjadi bagian Azerbaijan dan mengikuti aturan hukum Azerbaijan. Hal seperti inilah yang menyebakan terjadinya konflik. Asumsi ketiga Beberapa fokus pada faktor internal dalam sistem pengambilan kebijakan Azerbaijan. Hal ini dituliskan oleh Mary Kaldor dalam jurnalnya yang berjudul Oil Wars, ia menekankan adanya faktor internal dalam konflik ini yang menyebabkan terjadinya koflik. Dalam hal ini aktor internal lebih ditekankan pada pemerintahan Azerbaijan. Penghalang utama pada efektifitas resolusi konflik Karabakh adalah penolakkan untuk mengabungkan

kepemimpinan Karabakh dalam pembicaraan secara langsung10, perm`intaan gabungan tersebut berdampak pada rekognisi kemerdekaan Karabakh dan kurangnya jaminan keamanan oleh komunitas internasional dan kepastian ini berdampak pada pandangan skeptis pada Karabakh. Selain itu kurangnya jaminan keamanan untuk Karabakh juga merupakan penyebab konflik ini. Dibutuhkan kredibilitas dari berbagai mediasi yang juga

10

Mary Kaldor, oil wars, Pluto pers, London. Hal 251

disetujui oleh komunitas internasional untuk meresolusi konflik ini.

Faktor

internal juga turut mewarnai konflik ini. Hal ini tampak pada kerapuhan politik internal Azerbaijan dalam menjanjikan perbaharuan konflik, terutama pada saat rezim Aliev. 11 dimana pada rezim Aliev dibentuk perjanjian atas minyak dan juga persaingan kekuasaan anggota oposisi Aliev dan memperbaharui konflik bersenjata dengan Karabakh. Negosiasi atas konflik Karabakh telah dilakukan, namun tidak dapat dihindari bahwa kepemimpinan baru Azerbaijan paska periode Uni Soviet telah menggunakan nasionalisme yang berlebihan untuk membentuk legitimasi bagi pemerintahannya. Masalah lainnya bagi Azerbaijan fokus pada populasi yang minoritas. Selama pergolakan dan coups detat dari periode Aliev, terdapat kebangkitan signifikan oleh minoritas Lezghin dan bahkan menyatakan dirinya sebagai negara yang merdeka di Azerbaijan di sepanjang perbatassan Iran. Dengan demikian studi ini memfokuskan pada adanya kemungkinan bagi politik anarki internal dan ancaman pecahnya negara untuk semakin merumitkan situasi dalam suatu wilayah. Asumsi keempat menyebutkan bahwa salah satu penyebab konflik ini adalah kehadiran aktor eksternal. Hal ini dijelaskan oleh Levon Chorbajian dalam bukunya yang berjudul The Making of Nagorno-Karabagh. Dalam hal ini Levon Chorbajian menjelaskan bahwa kehadiran aktor eksternal disini cukup berkaitan erat dengan resolusi konflik. Terdapat beberapa aktor eksternal yang cukup dominan disini, diantaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, PBB, Iran, Turki, serta Rusia.11

Mary Kaldor, oil wars, Pluto pers, London. Hal 251

Aktor eksternal yang pertama adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat dalam hal ini dipercaya sebagai salah satu koordinator OSCE, yang mana pada tahun 1993 Amerika Serikat dipercaya sebagai koordinator hubungan regional untuk menyelesaikan konflik Karabakh.12 Elemen yang signifikan dalam kebijakan Amerika Serikat fokus pada efek kehancuran dari blockade Armenia dan Karabakh yang dijatuhkan oleh Azerbaijan sejak 1989. Selain itu Kongres Amerika Serikat telah memiliki kesepakatan dengan penolakkan Turki untuk mengijinkan wilayah dan ruang udaranya untuk digunakan dalam pengiriman berbagai bantuan kepada Armenia. Aktor eksternal yang kedua adalah negara-negara Eropa. Kepemimpinan negara-negara Eropa pada umumnya mengikuti dua pendekatan dalam mengatasi hubungan dengan Caucacus, secara individual melalui cara hubungan bilateral antara kedua negara yang kebanyakkan hal ini didorong oleh kepentingan politik dan pendekatan bersama melalui pan Eropa maupun Uni Eropa, the European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), dan OSCE.13 Sehingga hal ini membuktikan dalam regional Eropa tidak hanya Uni Eropa saja yang memiliki keterlibatam dalam konflik ini, namun terdapat beberapa aktor-aktor lain. Terlepas dari perampasan secara tiba-tiba pada konflik Karabakh oleh PBB sebagai mediator, dewan keamanan PBB telah melakukan empat resolusi untuk menyelesaikan konflik ini. Resolusi-resolusi tersebut dilakukan pada April 1993, Juli 1993, Oktober 1993 serta November 1993.14 Keterlibatan lain juga dilakukan oleh Iran, dimana secara umum Iran memiliki kepentingan nasional. Yang pertama kepentingan Iran berkaitan dengan12 13

Carol Migdalovitz, Armenia-Azerbaijan Conflict, Congressional Research Service, 2003 hal 257 Ibid. 14 Levon Chorbajian, The Making of Nagorno-Karabagh, Palgrave, Massachusets, hal. 251

keamanan dan stabilitas bagi perbatasan Iran dan Azerbaijan. Yang kedua berkaitan dengan untuk mendapatkan keuntungan berupa peran yang besar dalam pembangunan Laut Kaspia.15 Selain itu Iran juga memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Armenia. Turki memainkan peran yang paling destruktif dalam mempengaruhi konflik Karabakh sejak 1988.16 Hal ini dibuktikan lewat dukungan militer untuk Azerbaijan yang mana hal ini sangat tidak subtansial. Selain itu juga terdapat keterlibatan Russia,dalam hal ini keterlibatan Rusia tidak jauh berbeda dengan peran sevelumnya saat masih Uni Sovyet yang mana lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan geostrategic Moskow dalam area ini. Melalui keempat asumsi tersebut, penulis lebih setuju pada pendapat Carol Migdalovitz. Penulis setuju dengan paper ini karena paper ini cukup representatif untuk dijadikan salah satu rujukan dalam menganalisa alasan Armenia berusaha menjadikan Karabakh sebagai salah satu wilayahnya dengan memberikan bantuan militer dan juga menolak deklarasi kemerdekaan Karabakh. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis akan mengaitkannya dengan konsep identitas, khususnya mengenai implikasi konsep identitas dalam keterlibatan Armenia pada konflik Nagorno-Karabakg tahun 1988-1994.

2.2 Peringkat Analisis Dengan tujuan memberikan analisis yang menyeluruh terkait pengaruh sumber daya alam sebagai pemicu konflik Azerbaijan-Armenia, maka penulis akan menggunakan satu level analisis. Level analisis yang digunakan adalah15 16

Ibid hal. 245 Ibid hal. 246

korelasionis dengan unit analisanya adalah pemberian bantuan militer Armenia kepada Nagorno-Karabakh dan unit eksplanasinya adalah kesamaan identitas. Adapun yang menjadi alasan penulis dari penggunaan peringkat analisis korelasionis ini adalah karena penulis menekankan pada implikasi identitas dalam keterlibatan Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh. Dalam penelitian ini yang menjadi variable dependen adalah keterlibatan Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh sedangkan untuk variable independennya adalah pengaruh identitas dalam konflik ini. 2.3 Teori/Konsep 2.3.1 Social Identity Theory

Identitas mungkin dapat dimengerti dalam banyak aspek, salah satunya adalah kesamaan etnis. Seperti dalam kata-kata Ho-Won Jeong bahwa dalam sebuah identitas terdapat nilai, kepercayaan dan tradisi yang dimilki oleh suatu identitas tertentu.17 Semua aspek yang disebutkan oleh Won Jeong ini, menurutnya akan sangat mempengaruhi bagaimana sebuah kelompok dengan identitas tertentu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, termasuk dengan kelompok lain. Won Jeong memang tidak menyebutkan soal kesamaan etnis dalam sebuah identitas, akan tetapi kesamaan etnis, pada dasarnya memberikan kemungkinan untuk membentuk suatu identitas kelompok atas dasar kesamaan fisik yang dimiliki. Perbedaan identitas ini pada dasarnya dapat memunculkan konflik antar kelompok yang berbeda. Social Identity Theory (SIT) merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisa konflik berdasarkan pengelompokan kelompok ini. Dalam rangka untuk dapat menganalisa kasus yang penulis kaji,17

Ho-Won Jeong, 2008, Understanding Conflict and Conflict Analysis, London: Sagepub. hal. 55

terutama untuk emlihat faktor pemberian bantuan militer Armenia kepada pemberontak Armenian-Karabakh, maka penulis menggunakan SIT sebagai basis analisis untuk melihat hal ini. Social Identity Theory (SIT) dikembangkan oleh Henry Tajfel, yang mana teori ini berpendapat bahwa kelompok tertentu akan cenderung untuk menunjukkan perilaku solidaritas terhadap kelompok sendiri dan menunjukkan sikap diskriminatif terhadap kelompok lain; hal ini terjadi sebagai hasil proses dari identitas sosial (social identity process) yang pada akhirnya proses ini akan berujung pada usaha pencapaian positive self-esteem dan self-enhancement.18 Tajfel, dalam mengembangkan teori ini, menekankan pada minimal group paradigm. Minimal paradigm ini dapat digambarkan sebagai pengkategorisasian (categorizing) suatu kelompok terhadap kelompok lain yang sebagai akibatnya menimbulkan pendiskriminasian suatu kelompok pada kelompok lain itu.19 Kelompok-kelompok ini pada dasarnya tidak pernah benar-benar mengenal kelompok lain, mereka dapat melakukan diskriminasi hanya dengan melakukan kategorisasi. Secara lebih sederhana, SIT, menggambarkan bahwa untuk mencapai positive self-esteem suatu kelompok melakukan diskriminasi atas kelompok lain. Tajfel, menyebutkan bahwa untuk pencapaian self-esteem ini ada bebarapa proses dalam mencapainya, pertama, Social Categorization; kedua, Social Comparison; ketiga, Social Identity; keempat, Self-Esteem.20 Dari keempat proses ini, dalam

18 19

Sabine Trepte, 2006, Social Identity Theory, Hamburg University, hal 256. Ibid. 20 Ibid, hal. 257-260

setiap fase memungkinkan suatu kelompok untuk meninggikan posisi dan martabat mereka. Proses pertama, yakni Social Categorization, yang menekankan pada penentuan suatu kelompok kita dan mereka (in-group and out-group); tujuan dari pengkategorisasian ini adalah untuk memberikan perbedaan antara kelompok yang satu dan yang lain. Dalam proses kedua, Social Comparison, mulai terdapat penilaian terhadap kelompok-kelompok lain, penilaian diri sendiri ini bertujuan untuk memebrikan kesan superiority dan inferiority bisa dikatakan bahwa dalam proses yang kedua inilah diskriminasi suatu kelompok atas kelompok lain mulai terjadi. Proses ketiga, Social Identity, adalah hasil bentukan dari kategorisasi dan juga penilaian atau comparison yang suatu kelompok telah lakukan. Tajfel menyebutkan bahwa positive social identity merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh individu, dan oleh karenya pada kelompok yang telah sampai pada fase ini memilki kecenderungan untuk memilki rasa Positive Distinctiveness. Proses terakhir adalah, Self-Esteem, sebagai tujuan akhir dari semua proses tadi, Tajfel juga menyebutkan bahwa Self-Esteem juga menjadi motivasi bagi suatu kelompok. Self-Esteem dicapai ketika semua proses penilaian dan diskriminasi telah tercapai. 2.3.2 Identitas

Pada hubungan internasional, ide dari identitas negara terletak pada kritik kontruktivis akan realisme dan analisisnya terhadap kedaulatan negara. Identitas terbentuk dari ide konstruksi sosial dan dapat menjadi lebih rumit dari sekedar konstruksi sosial. Menurut Ferron, identitas merujuk pada kategori sosial dimana

suatu kumpulan pribadi yang ditandai dalam sebuah label dan dibedakan berdasarkan atas aturan yang diputuskan oleh keanggotaan dan karakteristik atau atribut yang istimewa. Identitas itu sendiri terdiri dari sosial dan personal. Identitas sosial lebih diartikan kepada kategori sosial yang sederhana, sekelompok manusia yang ditandai dengan sebuah tanda dan dibedakan dengan kebiasaan kelompoknya yang digunakan sebagai karakteristik atau atribut kelompoknya. Sedangkan identitas personal ditandai dengan beberapa karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki harga diri khusus akibat dari pandangan sosial akan tetapi tidak dapat diubah lebih atau kurangnya. Identitas menjadi perwujudan dalam membangun ide bahwa kategori sosial berhubungan erat dengan kesadaran diri secara individu. Menurut kamus OED (2nd edition,1989) identitas adalah kesamaan dari seorang atau benda dalam jangka waktu yang panjang; kondisi/fakta tentang orang atau benda mengenai dirinya,dan kepribadiannya. Tapi penjelasan ini tidak dapat menjelaskan sehubungan dengan identitas nasional ataupun identitas etnis. identitas yang kini kita gunakan memiliki dua perbedaan yang saling berhubungan.kedua hal tersebut adalah identitas social dan identitas personal. dimana Identitas social dapat dianggap sebagai category social, orang disusun berdasarkan label, Sedangkan misalnya identitas

sekelompok

American,muslim,

homoseksual,worker,dll.

personal adalah serangkaian atribut, kepercayaan yang tersususn dari basic pada martabatnya. Identitas dalam arti ini menjadi bagian dari kebanggaan, martabat, dan kehormatan.

Berdasarkan perbedaan diatas dapat dihubungkan bahwa identitas social yang didalamnya termasuk kategori social didalamnya terdapat identitas personal yang berhubungan dengan kehormatan, martabat dan kebangaan individu. Definisi mengenai identitas adalah kategori social, yang dimana kategori social merupakan pemberian label menjelasskan bahwa sebenarnya category social memiliki dua perbedaan. Pertama, hal ini didefinisikan sebagai aturan keanggotaan. Kedua , hal ini dimengerti hubungan dari kumpulan karakteristik, misalnya kepercayaan, atribut fisik (content). Maka kontestasi dari aturan, nilai moral, politik dari kategori social disebut sebagi identitas politik.maka dari itu menurut para ahli pada beberapa kasus akan lebih baik untuk menggunakan kata category social dibandingkan identitas. Identitas sebagai kategori social tidak dapat digunakan ketika kita menggunakan identitas dalam identitas personal. Identitas dapat dipandang sebagai sebuah kepentingan dan sangatlah penting karena ini adalah sebuah pemikiran untuk menjelaskan suatu aksi. Dengan mengetahui identitas dengan jelas maka kita dapat membuat sebuah argument yang koheren. Identitas dapat menjelaskan aksi baik dalam keanggotaannya dalam kategori sosial atau sense untuk mendapatkan keuntungan atau bertahan juga dapat menjelaskan aksi tersebut. Penjelasan aksi melalui identitas dalam kategori sosial sering dikaitkan dengan norma sosial atau tingkah laku standar yang dapat membuat seseorang tampak baik untuk orang lain. Selain berdasarkan norma, identitas sosial juga dapat digunakan untuk menjelaskan atas pilihan yang akan diambil. Selain itu identitas juga memiliki pengaruh dalam suatu kebijakan. Hal ini dapat terjadi ketika saat ini tekanan pada pemerintahan muncul pada isu keadilan

dan tanggung jawab sosial. Dimana keadilan merupakan bagian yang sangat penting bagi komunitas dan sebagian masyarakat. 2.3.3 Kepentingan Nasional

Pandangan realisme menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power, di mana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain.21 Sedangkan Plano dan Olton menyebutkan bahwa, Kepentingan nasional suatu bangsa-negara adalah kepentingan-kepentingan: mempertahankan kelangsungan hidup (survival), kemerdekaan dan kedaulatan negara, keamanan militer, politik dan ekonomi.22 Dalam definisi yang diberikan tersebut maka kepentingan

nasional dapat diasumsikan sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai oleh negara bangsa. Tujuan ini mengandung suatu kebutuhan vital dari negara yaitu yang berkenaan dengan pertahanan, keamanan, militer, dan kesejahteraan ekonomi.23 Berdasarkan tujuan inilah, negara menyusun arah kebijakan luar negerinya. Menurut A. Said, berdasarkan jenis tujuannya, kepentingan nasional dapat diklasifikasikan, sebagai berikut: 1) pertahanan (self preservation), 2) keamanan, 3) kesejahteraan, 4) prestise, 5) ideologi.24 Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut: The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in that sense21

Anak A. B. Perwita dan Yanyan M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, p. 49 22 Tulus Warsito, 1998, Teori-teori Politik Luar Negeri, Relevansi dan Keterbatasannya. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, p.30 23 Anak A. B. Perwita dan Yanyan M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, p. 35. 24 Tulus Warsito, 1998, Teori-teori Politik Luar Negeri, Relevansi dan Keterbatasannya. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, p.30

necessary, and one that is variable and determined by circumstances.25 Dengan demikian konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia. Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa tujuan dari sebuah negara dalam rangka mencapai kepentingan nasional adalah: The State should promote the internal welfare of its citizens, provide for defense against external aggression, and preserve the states values and way of life. No country can long afford to pursue its own welfare in ways that reduce the security and welfare of its competitor.26

Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada25

Hans J. Morgenthau, Another Great Debate: The National Interest of the United States, in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasquest (New Jersey: Prentice Hall, 1966), 147. 26 Charles J. Kegley and Eugene R. Wittkopf, World Trend and Transformation Politics, 8th ed (Boston: Bedford/St. Martins, 2001), 653 54.

upaya meningkatkan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi nilai-nilai negara dan cara hidup. Lebih jauh mereka juga menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah negara dapat mencapai kepentingan nasionalnya dengan mengurangi keamanan dan kesejahteraannya terhadap kompetitornya. Dan untuk mencapai tujuan nasional seperti yang diharapkan maka setiap negara harus mengkaitkan kepentingan nasionalnya melalui upaya kerjasama dengan banyak bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan keamanan global. Terkait hal tersebut di atas setiap negara selalu berupaya melakukan kerjasama dengan negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral. Untuk merealisasikan kerjasama tersebut diperlukan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan sebagai alat diplomasi dalam rangka menjamin dan mengembangkan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian terdapat kaitan yang sangat erat antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam konteks ini maka dapat ditarik korelasi yang begitu kuat dengan kepentingan nasional, antara lain dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara sudah seharusnya didasarkan pada beberapa sumber yang mengacu pada berbagai bentuk kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri suatu negara yang paling pokok adalah didasarkan pada kepentingan nasional yang dianggap fundamental (mutlak). Jenis kepentingan nasional yang dianggap mutlak tersebut adalah kelangsungan hidup (survival) bangsa tersebut dan integritas wilayah nasionalnya. The most

fundamental of source foreign policy objectives is perhaps the universally shared desire to insure the survival and territorial integrity of the community and

state.27Atau dengan kata lain, keamanan nasional ditempatkan pada skala prioritas yang paling tinggi. Kebijakan luar negeri juga didasarkan pada sumber kepentingan nasional yang dianggap sangat penting. Kepentingan nasional yang termasuk dalam kelompok ini adalah kepentingan nasional terkait dengan kepentingan ekonomi bangsa tersebut dan dalam upaya penerapan sistem demokrasi yang mampu mengakomodasi kepentingan individu maupun kelompok ekonomi/bisnis. the most important set of domestic sources of foreign policy are the economic needs of the community. It is important to emphasize that economic needs are fundamental sources of a states foreign policy. there are strong pressures generated in the states political system to satisfy individual or group economic needs through foreign policy. 28

Selanjutnya kebijakan luar negeri suatu negara seyogianya juga didasarkan pada sumber kepentingan nasional lainnya yang sifatnya tidak begitu signifikan. Dengan kata lain kepentingan nasional seperti ini lebih bersifat sebagai pendukung. Dalam kelompok mengaitkan hal-hal yang menyangkut upaya memelihara akar budaya dan ideologi sebagai identitas yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan dalam percaturan internasional dan perhatian bangsa tersebut

27

Keith R. Legg and James F. Marison, The Formulation of Foreign Policy, in Perspective on World Politics, 2nd ed, ed. Richard Little & Michael Smith (London: Croom Helm in association with Open University Press, 1992), 62. 28 Keith R. Legg and James F. Marison, The Formulation of Foreign Policy, in Perspective on World Politics, 2nd ed, ed. Richard Little & Michael Smith (London: Croom Helm in association with Open University Press, 1992), 62.

terhadap terciptanya perdamaian dunia sebagai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Another major domestic sources of foreign policy is what we might call the political needs of a state and its leader Still another major domestic sources of foreign policy is the cultural, psychological, and/or ideological needs of the state for prestige and status in the world: identity or meaning in life, needs for fulfillment of religious or sacred ideological imperatives, need to follow moral principles of fulfill obligation 29 2.4 Hipotesa Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis ajukan sebagai guideline dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis membentuk hipotesa sebagai bentuk awal dari jawaban yang penulis ingin cari tahu. Hipotesa yang penulis memiliki adalah: Armenia memiliki kedekatan dengan masyarakat Karabakh olehkarenanya Armenia berusaha untuk menjadikan identitas sebagai dasar agenda pemersatuan Karabakh ke wilayahnya, dan identitas inipulalah yang menjadi dasar pengiriman bantuan militer.

29

Ibid., 62-63.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe/jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan penulis laksanakan nantinya dalam upaya menjawab rumusan masalah adalah jenis penelitian eksplanatif yang berusaha untuk menjelaskan variabel yang penulis teliti dan hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya, dalam hal ini adalah pengaruh identitas terhadap keterlibatan Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh dengan melihat variablevariabel lain yang menyebabkannya berpengaruh dengan didasarkan pada teori Social Identity Theory, serta konsep identitas dan kepentingan nasional. . 3.3 Ruang Lingkup Penelitian 3.3.1 Batasan Kajian Dari rumusan permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, maka penulis menganggap perlu adanya suatu pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan selanjutnya. Hal ini ditujukan guna penelitian yang akan penulis laksanakan tidak menjadi terlalu luas dan berkembang menjadi topik baru. Dalam penelitian ini penulis akan membatasi permasalahan yang berkaitan dengan beberapa penyebab konflik Azerbaijan-Armenia. Dalam menjelaskan rumusan masalah yang ada, penulis akan mengacu pada hanya penyebab dari faktor etnis-identitas serta mengkaji pengaruhnya dalam keterlibatan Armenia. Dalam hal ini penulis juga akan memberikan batasan waktu selama enam tahun pada tahiun 1988 hingga 1994, dimana dimana pada tahun 1988-1994 konflik ini baru dimulai, tereskalasi hingga resolusi dalam konflik ini juga dimulai.

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan merupakan data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari studi pustaka seperti buku, jurnaljurnal ilmiah, dan bahan dari internet. Teknik pengumpulan meliputi proses pengumpulan bahan, penyeleksian bahan yang sesuai pembahasan dan pengaplikasian bahan dalam tulisan. Penulis akan memilih dan memilah terlebih dahulu sumber-sumber yang penulis dapatkan karena kualitas data yang digunakan sangat menentukan kualitas penelitian. 3.4.2 Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif. Data ini diperoleh dari studi pustaka. Data yang penulis peroleh akan penulis susun dan analisis dengan menggunakan teori dan konsep yang penulis gunakan yang diharapkan mampu untuk menunjang adanya pencapaian tujuan dari penelitian. Hipotesis yang penulis sebutkan sebelumnya akan penulis analisis berdasarkan fakta-fakta yang ada sehingga akan diketahui kebenaran ilmiahnya. 3.5 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman alur pemikiran dalam penulisan penelitian ini, sistem penulisan akan dibagi menjadi lima bab yang mana masingmasing terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: dan tujuan penulisan. berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,

Bab II Kajian Pustaka:

merupakan bab yang menjelaskan kerangka

pemikiran yang terdiri dari studi terdahulu, konsep,konseptualisasi dan hipotesis. Bab III Metode Penelitian: merupakan metode penelitian yang terdiri dari konseptualisasi, tipe/jenis penelitian, ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data, serta sistematika penulisan. Bab IV Pembahasan: Bagian ini memaparkan mengenai hasil penelitian yang menganalisis pengaruh identitas dalam keterlibatan Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh dilihat dari aspek identitas melalui teori social-identity theory, dan kepentingan nasional. Bab V Kesimpulan: Bagian ini merupakan bagian terakhir dalam laporan hasil penelitian yang akan berisi mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan menjelaskan tentang hasil penelitian yang disimpulkan dari penjelasan pada bab-bab terdahulu. Sedangkan saran akan berisi mengenai masukan-masukan yang sebaiknya dilakukan oleh kedua negara untuk dapat menyelesaikan konflik diantara keduannya.