120148198 Referat Anemia Ok

47
BAB II PEMBAHASAN II.1 DEFINISI Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009) Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis

Transcript of 120148198 Referat Anemia Ok

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 DEFINISI

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell

mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang

cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia

ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell

count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian

hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter

tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan

kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau

hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat

bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan

fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009)

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas

hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan

demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik

yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan

konfirmasi laboratorium. (Sylvia A.Price, 2005).

II.2 KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit

adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.Pada umumnya ketiga

parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar

hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara

fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat

tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan

12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda

yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk

perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia

untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)

Laki-laki Dewasa < 13 g/dl

Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl

Wanita Hamil < 11 g/dl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara

berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria

WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik

atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.

Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai

kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India

dipakai angka 10-11 g/dl.

II.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit

oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran

eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih rinci tetntang etiologi

anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :

Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

b. Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

b. Anemia mieloptisik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoietik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD

c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)

Thalassemia

Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll

2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular

a. Anemia Hemolitik autoimun

b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik

c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan

melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi

tiga golongan :

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:

2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:

3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam

mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada

tabel di bawah ini :

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi

I. Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia Defisiensi Besi

b. Thalasemia Mayor

c. Anemia akibat Penyakit Kronik

d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologik

III. Anemia makrositer

a) Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi asam folat

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa

b) Bentuk non-megaloblastik

1. Anemia pada penyakit hati kronik

2. Anemia pada hipotiroidisme

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

II.4 PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang

timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di

bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme

kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin

telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada

a. Derajat penurunan hemoglobin,

b. Kecepatan penurunan hemoglobin

c. Usia

d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :

1) Gejala umum anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia

organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar

hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan

hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa

lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki

terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang

mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah

kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit

di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7

gr/dl).

2) Gejala Khas masing-masing anemia

Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :

Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku

sendok (koilonychia).

Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.

Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali

Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat

bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi

cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak

tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti

misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus

anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis

anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.

II.5 PEMERIKSAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA

Pemeriksaan Laboratorium

Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis

anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test): 2)

Pemeriksaan darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,

indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis

morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit

dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang

dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai

keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada

bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis

anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat

mensupresi sistem eritroid.

Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :

Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi

transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi

pada sumsum tulang ( Perl’s stain).

Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan

tes Schiling.

Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –

lain.

Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal hati,

faal ginjal atau faal tiroid.

II.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, (disease entire),

yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting

diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia,

tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan

anemia tersebut.Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :

Menentukan adanya anemia

Menentukan jenis anemia

Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil

pengobatan.

Pendekatan Diagnosis Anemia

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain adalah

pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.

Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional, dan Probabilistik

Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah

diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif.

Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek

morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan

mejadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia

makrositer.Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan

karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan

angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh

penigkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia dan

kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik

(prndekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi yaitu

pola etiologi anemia di suatu daerah.

Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia

Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi

besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalasemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa

pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia

defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan

thalassemia. Pada perempuan hamil, anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat

perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada

anak-anak tampaknya thalassemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia

akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali mungkin juga Indonesia, anemia aplastik

merupakan salah satu anemia yang serinf dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu

daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita

pertama-tama.Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan

laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.

Pendekatan Klinis

Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah 1) kecepatan timbulnya penyakit

(awitan anemia), 2) Berat ringannya derajat anemia, 3) Gejala yang menonjol.

Pendekatan Berdasarkan awitan Penyakit

Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan

oleh :1) Perdarahan akut, 2) Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi

penurunan Hb >1 g/dl per minggu. Anemia Hemolitik intravaskular juga sering terjadi

dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia

akibat defisiensi G6PD 3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4) krisis Aplastik pada

anemia hemolitik kronik.

Anemia yang timbul pelan – pelan biasanya disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia

defisiensi folat dan vitamin B12, anemia akibat penyakit kronik, anemia hemolitik kronik

yang bersifat kongenital.

Pendekatan berdasarkan Beratnya Anemia

Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya

disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, aneia

hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada thalasemia major, anemia pasca

perdarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal.

Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat

berat ialah anemia akibat penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia

thrait.Jika pada keriga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat,maka harus dipikirkan

diagnosa lain. Atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.

Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala anemia

Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.Gejala anemia

dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala

penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik.

Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat

penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih

menonjol.

Pendekatan Diagnosis Berdasarkan Tuntunan Hasil laboratorium

Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik

merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di

bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium.

Algoritme pendekatan diagnosis anemia

Anemia hipokromik mikrositer

Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV,MCH,MCHC)

ANEMIA

Anemia normokromik

normositer

Anemia makrositer

Algoritme Pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer

ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER

Besi serum

menurun normal

TIBC

FERITIN

TIBC

FERITIN

Feritin normal

Besi sumsum tulang negatif

Ring sideroblast dalam sumsum tulang

Elektroforesis

HbBesi sumsum tulang positif

Hb A2

HbF

Anemia akibat penyakit kronik

Thalasemia beta Anemia sideroblastik

Anemia defisiensi besi

Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer

Algoritme Diagnosis Anemia normokromik normositer

ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER

Retikulosit

Riwayat Perdarahan

Akut

Tanda hemolisis positif

Normal/menurunMeningkat

Sumsum Tulang

Hipoplastik displastik Normalinfiltrasi

AIHA

Tes coomb

positifnegatif

Enzimopati,

Membranopati

Hemaglobinopati

Riwayat keluarga positif

Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia pasca perdarahan akut

A.mikroangiopati obat/parasit

Anemia pada leukimia akut/mieloma

Tumor ganas hematologi (leukimia,mieloma)

Anemia aplastik

Anemia mieloptisik

Limfoma kanker

Faal hati

Faal ginjal

Faal tiroid

Penyakit kronik

Anemia pada GGK Penyakit Hati Kronik Hipotiroid peny.kronik

Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia normokromik normositer

Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer

ANEMIA MAKROSITER

Meningkat

Sumsum tulang

Megaloblastik

Retikulosit

Normal/Menurun

Non Megaloblastik

Riwayat Perdarahan akut

B12 serum rendah

Faal Tiroid

Asam folat rendah

Anemia Defisiensi Besi/asam folat dalam terapi

Sindrom mielodisplastik

Anemia pada penyakit hati

Anemia pada Hipotiroidisme

Anemia Pasca Perdarahan akut

Displastik

Faal hati

Anemia Defisiensi besi

Anemia Defisiensi asam folat

Gambaran eritrosit pada anemia makrositer

II.7 PENDEKATAN TERAPI

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :

1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan

terlebih dahulu

2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan

3) Pengobatan anemia dapat berupa :

a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia

aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang

disertai gangguan hemodinamik

b. Terapi suportif

c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia

d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.

4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa

memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan

yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan

evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis

5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan

hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat

simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan

whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena

itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat

seperti furosemid sebelum transfusi.

Adapun Anemia yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu seperti

ANEMIA DEFISIENSI BESI

1.Definisi

Anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi (Fe).

2.Etiologi

Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :

a. Berkurangnya asupan Fe

Diet tidak ade kuat

Gangguan absorpsi: aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac

b. Kehilangan Fe

Perdarahan traktus gastrointestinal

Perdarahan traktus urogenitalis

Hemoglobinuria

Hemosiderosis pulmonari idiopatik

Tlengiektasia hemoragik herediter

Gangguan hemostasis

c. Meningkatnya Kebutuhan Fe

Anak-anak

Kehamilan

Laktasi

d. Patofisiologi

Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.

Terdapat 3 stadium defisiensi Fe yaitu:

1) Defisiensi Fe pre laten/deplesi Fe

Berkurangnya cadangan Fe tanpa dsertai berkurangnya kadar Fe serum

2) Defisiensi Fe laten

Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah kadar

normal.

3) Anemia defisiensi Fe

Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal.

e. Riwayat Penyakit

Keluhan anemi, lemah badan, mata berkunag-kunang, timbul secara perlahan-lahan

dan menahun, berdebar, dyspnoe d’effort, keluhan gagal jantung.

f. Tanda dan Gejala Klinis

1) Anemia

2) Gangguan fungsi/struktur jaringan epitel : kulit kering,rambut kering tipis,

mudah dicabut, papil atrofi, glositis, stomatitis angular, fisura, disfagia

(sideropenik disfagia, kuku tipis, kusam,koilonycia/spoon nail, Web, striktur

pada mukosa antara hipofaring dan esofagus, atropi lambung, aklorhidria

3) Gangguan neuromuskuler : gangguan fungsi otot, gangguan tingkah laku,

gangguan mempertahankan suhu tubuh di udara dingin, neuralgia, gangguan

vasomotor, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, pseudotumor

serebri.

4) Gangguan imunitas seluluer dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi

g. Laboratorium

1. Apus Darah Tepi :

Eritrosit : hipokrom mikrosier

Lekosit : jumlah biasanya normal, kadang-kadang granulositopenia ringan, pada

perdarahan banyak dapat ditemukan neutrofilik lekositosis, kadang-kadang

terdapat mielosit.

Trombosit : jumlah biasanya meningkat sapai 2 kali normal dan menurun setelah

pengobatan. Pada defisiensi Fe yang berat dan lama yang disertai defisiensi Folat

atau sekuestrasi di limpa dapat ditemukan trombositopenia ringan.

2. Apus sumsum tulang :

Hiperplasia eritropoesis dengan kelompok – kelompok normoblast basofil, Bentuk

pro-normoblast, normoblast kecil-kecil, dengan sitoplasma ireguler, sideroblast

negatif.

3. Nilai absolut menurun

4. Retikulosit menurun

5. Fe serum rendah

6. TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat

7. Feritin menurun

8. Feses :telur cacing Ankilostoma duadenale/ Necator americanus.

9. Pemeriksaan lain: endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,

pemeriksaan ginekologi

h. Diagnosis

1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan

2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah,TIBC tinggi, nilai

absolut menurun, saturasi transferin menurun

3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)

4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.

i. Terapi

1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi

Fe,terapi Fe.

2. Terapi Fe

Oral

Dosis : 200mg Fe/hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan lambung

kosong

Efek samping : iritasi gastro intestinal: heart burn, nausea, diare.

Bermacam-macam Preparat Fe

Preparat Dosis (mg) Kandungan Fe

(mg)

Dosis/hari

Fe sulfat 300 60 3 tab

Fe glukonat 300 73 5 tab

Fe fumarat 200 67 3 tab

300 100 2 tab

Kompleks Fe

polisakarida

150 150 2 tab

Parenteral

Indikasi:

o Tidak dapat mentoleransi Fe oral

o Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi

dengan Fe oral.

o Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan

pemberian oral (colitis ulserativa)

o Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal

o Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa

Preparat : kompleks Fe dekstran, mengandung 50 mg Fe/cc

j. Prognosis

Baik apabila sumber perdarahan dapat diatasi dan terapi Fe adekuat.

ANEMIA APLASTIK

a. Definisi

Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia sumsum

tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan

hematopoietik.

b. Etiologi

1. Didapat

Zat kimia dan Fisika

o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,

bensen,arsen, sulfur, nitrogen mustard,antimetabolit, antimitotik :kolsisin,

daunorubisin, adriamisin

o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,kuinakrin,

metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon,senyawa emas.

Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV,Dengue

Infeksi mikobakterium

Idiopatik

2. Familial : Sindroma Fanconi

c. Patofisiologi

Kegagalan Produksi eritrosit, lekosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada

anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh:

1. Defek kualitatif populasi stem cell

2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)

3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factor atau supresi imun

d. Riwayat penyakit

o Riwayat terpapar zat kimia, obat-obatan,radiasi, virus

o Gejala anemi : pusing,lemah badan, berkunang-kunang, berdebar,pucat, ssak nafas

/gagal jantung

o Gejala infeksi: demam,batuk, dan lain-lain, terjadi di semua organ

e. Tanda dan gejala klinik

o Anemi

o Tanda-tanda infeksi: demam dan sebagainya

o Perdarahan : ptekie, purpura, perdarhan gusi dan sebagainya

o Tidak ada pembesaran organ/infiltrasi

f. Diagnosis

o Pansitopenia Perifer

o Anemia normokrom normositer

o Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak

o Ham’s test perlu dilakukan karena PNH dapat memperlihatkan pansitopenia perfer

dengan sumsum tulang yang hipoplastik

Kriteria anemia aplastik berat (International Aplastic Anemia Study Group)

Darah tepi :

Netrofil < 500 mm3

Trombosit < 20.000/ mm3

Retikulosit < 1% (setelah koreksi)

Sumsum tulang :

Hiposelularitas berat (selularitas <25%)

Hiposelularitas sedang (selularitas <50%) dengan sel hematopoietik < 30 %

Anemia Aplastik Berat : 2 atau 3 kriteria darah tepi dan 1 kriteria sumsum tulang.

g. Diagnosis banding

Pansitopenia dengan sebab lain :

Penyakit yang menginfiltrasi sumsum tulang : leukimia, mieloma multipel,

metastase karsinoma, limfoma, mielofibrosis.

Penyakit yang mengenai limpa : splenomegali kongestif, limfoma, penyakit

infiltratif, infeksi : tuberkulosis,sifilis, kala azar.

Defisiensi B12 dan asam folat

SLE

Paroksismal nokturnal hemoglobinuria

h. Terapi

1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab

2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik, sikat gigi

lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat anovulation.

3. Transfusi

4. Penanganan infeksi

5. Transplantasi sumsum tulang

6. Imunosupresif

7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang

i. Prognosis

Tergantung tingkat hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek. Pada umumnya

penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat komplkasi transfusi.

Anemia aplastik konstitusional biasanya fatal. Anemi Aplastik karena virus hepatitis

mempunyai mortalitas >60% dalam 2 bulan setelah diagnosis. Anemi aplastik karena obat

/toksin mempunyai prognosis lebih baik.

Perjalan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,25% selama

4-12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun dan 10-20% penderita mengalami perbaikan

spontan (parsial/komplit).

Dengan transplantasi sumsum tulang, kelangsungan hidup 6 tahun mencapai 72%,

sedangkan dengan terapi imunosupresif mencapai 45%.

ANEMIA MEGALOBLASTIK

a. Definisi

Anemia yang disebabkan abnormalitas hematopoiesis dengan karakterisitik dismaturasi

nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.

b. Etiologi

1. Defisiensi asam folat

Asupan kurang:

Gangguan Nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,

hemodialisis, anoreksia nervosa.

Malabsorbsi : alkoholisme, celiac,dan tropical sprue, gastrektomi

parsial, rseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat

antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,

kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.

Peningkatan Kebutuhan :kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,

hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia

pernisiosa, anemia sideroblastik, leukimia, anemia hemolitik,, mielofibrosis)

Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,

pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.

Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,

hepatoma.

2. Defisiensi vitamin b12 :

Asupan kurang : vegetarian

Malabsorbsi :

o Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi total (parsial, gastritis

atropikan, tropical sprue, blind loop syndrome (operasi striktur,

divertikel, reseksi ileum), penyakit Crohn’s, parasit (Diphyllobothrium

latum), limfoma usus halus, skleroderma, obat-obat (asam

paraaminosalisilat, kolsisin, neomisin, etanol, KCl)

o Anak-anak: anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik

lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, gangguan reseptor

kobalamin di ileum.

Gangguan metabolisme seluluer : defisiensi enzim, abnormalitas protein

pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida yang

berlangsung lama.

c. Patofisiologi

Absorbsi B12 (kobalamin) di ileum memerlukan faktor intrinsik yaitu glikoprotein

yang disekresi lambung, faktor intrinsik akan mengikat 2 molekul kobalamin. Pada orang

dewasa, intrinsik faktor dapat berkurang karena adanya atropi lambung (gastritis

atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang

mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi

metlonin intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel,

Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekursor timidilat yang selanjutnya

mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut Methylfolate trap hypothesis harena

defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5 metil tetrahidrofolat.

Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan proprionat

menjadi suksinil co A yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf

pusat. Proses demielinisasi ini menyebabkan kelainan medula spinalis dan gangguan

neurologis.

Sebelum diabsorbsi, asam folat (pteroyglutamic acid) harus diubah menjadi bentuk

monoglutamat. Bentuk folat tereduksi yaitu tetrahidrofolat (FH4) merupakan koenzim

aktif. Defisiensi folat menyebabkan penurunan FH4 intrasel yang akan menggangu sintesis

timidilat dan selanjutnya mengganggu sintesis DNA.

d. Riwayat Penyakit

Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,

diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan secara perlahan-

lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan,

Pada defisiensi B12 diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset

gejala,biasanya didapatkan triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan

berjalan.

e. Tanda dan gejala klinik

Umumnya terjadi pada usia pertengahan dan usia tua.

o Pada defisiensi B12, terdapat 3 manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis,

dan neuropati.

Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan

lateral medulla spinalis, korteks serebri dan degenerasi saraf perifer sehingga

disebut suacute combined degeneration / combined system disease.

Manifestasi Gangguan Neurologis pada Defisiensi Besi :

Kalsifikasi Gejala Pemeriksaan Fisik Lesi

Ringan Parestesi Normal/gangguan

rasa raba dan suhu

Saraf perifer,

kolumna dorsalis

Sedang Kelemahan

unsteady gait,

clums iness

Gangguan rasa

vibrasi dan posisi

Kolumna dorsalis

Berat Kelemahan berat

spastisitas

Hiperrefleksia

klonus, refleks

Babinski

Kolumna dorsalis

dan lateralis

Pada defisiensi B12 dapat diremukan (gangguan mental, depresi, gangguan

memori, gangguan kesadaran, delusi,halusinasi, paranoid,skizopren,. Gejala

neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,

hipotensi ortostastik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.

o Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis

f. Laboratorium

Anemia makrositer dengan peningkatan MCV

Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi

dengan granula kasar (Glant Stab-cell)

Trombositopenia ringan (rata-rata 100-150x103/mm3)

Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik

Pada defisiensi B12 :

Serum kobalamin rendah (<100 pg/mL)

Schiling test : radiobeled B12 absorption test akan menunjukkan absorbsi

kobalamin yang rendah yang menjadi normal dengan pemberian faktor

intrinsik lambung.

Cairan Lambung : sekresi berkurang, rata-rata 15ml/jam (kira-kira 10%

normal), aklorhidira,pH >6

Masa hidup eritrosit berkurang,rata-rata 20-75 harri

LDH meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit akibat eritropoesis

yang tidak efektif di sumsum tulang.

MCV: pada anemia ringan berkisar antara 100-110 fl, pada anemia berat

berkisar antara 110-130 fl.

Pada defisiensi asam folat :

Penurunan kadar folat serum (3-5 ng/mL)

Biopsi jejunum

g. Diagnosis

Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati

Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan leukosit

agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Glant stab-cell, retikulosit

menurun

Sumsum tulang, hiperseluluer dengan sel-sel eritroblast yang besar (megaloblast),

Giant stab-cell.

Pada anemia pernisiosa : Schilling test (+)

h. Diagnosis Banding

Leukemia akut

Anemia hemolitik (pada krisis hemolitik)

Anemia aplastik

Eritremik mielosis/eritroleukemia

Penyakit hati yang berat

Hipotiroidisme

Nefritis kronis

i. Terapi

1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia, suspensi bila trombositopenia mengancam jiwa

2. Defisiensi B12 :

a. Sianokobalamin :

Dosis : 100 µg IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dan ada respon

retikulosit dalam 1 minggu, dosis diturunkan 100 µg Imselang sehari sebanyak 7

dosis, kemudian tiap 3-4 hari selama 2-3 minggu (dosis total 1,8-2 mg B 12 dalam 5-

6 minggu). Pada saat ini kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah

kelainan hematologis normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin

100 µg IM/bulan seumur hidup.

b. Hidroksobalamin :

Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari setelah ineksi,

hidroksobalamin diretensi 3 kali lebih banyak daripada sianokobalamin.

Preparat : 100µg/mL, 1000 µg/mL

Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu

Atau

1000 µg setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan

Respon terapi terhadap vitamin B12 dan folat :

Gejala klinis membaik sebelum didapatkan perubahan hematologis. Respon awal

adalah peningkatan retikulosit pada hari ke 2-3 dan maksimum pada hari ke 5-8,

dapat ditemukan normoblast pada apus darah tepi. Peningkatan hematokrit terjadi

setelah 5-7 hari terapi. Pada anemia tanpa komplikasi, hematokrit terjadi normal

dalam 4-8 minggu. Hipersegmenrasi lekosit berkurang secara bertahap secara

bertahap dan menghilang dalam 14 hari. Trombosit normal dalam waktu 1 minggu.

Pada sumsum tulang, eritropoiesis membaik dalam 24 jam terapi. Setelah 6-10jam

terapi megaloblast berkurang dan dalam 24-48 jam maturasi eritrosit menjadi

normoblastik.

3. Defisiensi asam folat :

Untuk mengisi cadangan folat dalam tubuh, diperlukan dosis 1 mg/hari selama 2-3

minggu, kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari. Apabila diperlukan

pemakaian difenilhidantoin dalam waktu lama,diperlukan asam folat 0,5-2 mg/hari.

4. Terapi Penyakit Dasar

5. Menghentikan obat-obatan penyebab anemia megaloblastik

j. Prognosis

Baik,kecuali bila tidak ada komplikasi kardiovaskuler atau infeksi yang berat.

Sebelum adanya terapi efektif, anemia pernisiosa biasanya fatal dengan mortalitas 53%

dalam bulan pertama. Pada beberapa kasus, penyakit dapat mengalami remisi dan relaps

dengan jangka waktu dan berat penyakit bervariasi selama 1-3 tahun. Setelah terapi relaps

terjadi bervariasi antara 21-213 bulan. Remisi didapatkan pada 86% penderita, beberapa

penderita bertahan hidup selama 14-20 tahun.

ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIS

a. Definisi

Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,

peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak

disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan

metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.

b. Etiologi

Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti

infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,

demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.

c. Patogenesis dan Patofisiologi

Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3

abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis

eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau

menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.

Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses

terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan

termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut

oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor

Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1

menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalamsirkulasi

terhambat, produksi protein fase akut (PFA),lekositosis dan demam. Hal itu dikaitkan

dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan

eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang,sehingga

absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan

makrofag menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF-α juga berasal dari

makrofag berefek sama yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin.

IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan

ke dalam darah.

Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF-α dan

IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti

C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula

perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan

di sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone

(ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh

hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan

penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan

prealbumin.

Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi

meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan transferin, albumin

dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses

inflamasi.

Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan

keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan

parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia

penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma

menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin

yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang

sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena

kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat

meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.

d. Gambaran klinik

Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-

2 bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat

ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang

dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya

sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada

pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan

juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat

dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi,angina pektoris dan gangguan

serebral.

e. Laboratorium

Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, transferin, saturasi

transferin dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau

meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normla. Berbeda

dengan defisiensi besi yang kadar total protein pengikat besi meningkat, sedangkan feritin

menurun, dan kadar reseptor transferin menigkat.

f. Diagnosis

1. Tanda dan gejala klinis yang dapat dijumpai seperti kelelahan,lemah ,berdebar-debar

dan lain-lain

2. Pemeriksaan laboratorium :

Derajat anemia,biasanya ringan sampai sedang

Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau

mikrositik ringan.

Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl)

Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)

TIBC menurun (<250 mug/dL)

Jenuh transferin (saturasi transferin) menurun (<20 %)

Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila

penyakit dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan

membaik.

Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin

dapat membantu anemia akibat penyakit kronis, antara lain :

1. Rekombinan eritropoetin (EPO), dapat diberikan pada pasien-pasien anemia penyakit

kronis yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Aquired Immuno Deficiency

Syndrome (AIDS) dan Inflamatory Bowel Disease.Dosisnya dapat dimulai 50-100

unit/ Kg,3xseminggu, pemberiannya secara intra vena (IV),atau subcutan (SC).

2. Transfusi darah berupa Packed Red Cell (PRC), dapat diberikan bila anemianya telah

memberikan keluhan atau gejala.Tetapi ini jarang diberikan karena anemianya jarang

sampai berat.

3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang.Diberikan pada pasien

anemia penyakit kronik dengan penyakit dasar artritis temporal, reumatik dan

polimialgia.Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala-

gejala polimialgia akan segera ilang dengan cepat.

4. Kobalt klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronis.cara kerjanya

yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi karena efek toksiknya obat ini tidak

dianjurkan untuk diberikan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas

hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan

demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik

yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan

konfirmasi laboratorium.

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit

oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran

eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis).

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain adalah

pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.

Pemeriksaan untuk diagnosis anemia meliputi pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

penyaring, pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang dan pemeriksaan

khusus.

Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan

melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi

tiga golongan : Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg, Anemia

normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg, Anemia makrositer bila

MVC > 95 fl.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf diakses pada tanggal 13

desember 2012

Mansjoer Arif dkk.,2001, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculaplus.

Panjaitan,Suryadi,2003, Beberapa Aspek Penyakit Kronis pada usia lanjut.Medan : Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Price Sylvia A,dkk, 2005,Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC

Sudoyo Aru W.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi . Jakarta: FK

UI

Sumantri,Rahmat,dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi

Medik. Bandung : FK Unpad