12 BAB II JILID

34
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Lahan Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yakni iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Pratama, 2012). Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Lahan juga dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad dalam Widiastuti, 2012). Menurut Baja (2012), Lahan juga merupakan luasan tertentu dari permukaan yang memiliki ciri tertentu yang mungkin stabil atau terjadi siklus baik di atas atau di bawah luasan tersebut meliputi atmosfir, tanah, geologi, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia (ekonomi, sosial, budaya) di masa lampau dan sekarang, dan selanjutnya mempengaruhi potensi penggunaannya pada masa yang akan datang. Lahan selalu dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam pemanfaatan tanah, sehingga bersifat stabil atau labil tergatung dari sifat-sifat tanah tersebut, siklus yang terjadi di alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan (Baja, 2012:61). Dalam perspektif perencanaan tata guna lahan, lahan menurut Dent dan Young dalam Baja (2012:61), didefinisikan sebagai ruang yang terdiri dari seluruh elemen lingkungan fisik sejauh memiliki potensi dan pengaruh terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan tidak hanya merujuk pada tanah tetapi juga termasuk aktivitas yang berhubungan dengan semua faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan, topografi, vegetasi dan termasuk aktivitas dibawah, pada dan di atas permukaan tanah. Serta faktor yang berkaiatan dengan kegiatan, ekonomi, sosial dan budaya (Baja, 2012:62). Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah mengalami proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas lahan tersebut. Ada juga yang menyebut lahan terbangun sebagai lingkungan terbangun. T. Bartuska dan

description

pertumbuhan lahan terbangun, faktor, cellular automata, validasi kappa

Transcript of 12 BAB II JILID

Page 1: 12 BAB II JILID

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Lahan

Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan

berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yakni iklim, geologi, tanah,

topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Pratama, 2012).

Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan

lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Lahan juga dapat

diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan

vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

penggunaan lahan (Arsyad dalam Widiastuti, 2012).

Menurut Baja (2012), Lahan juga merupakan luasan tertentu dari

permukaan yang memiliki ciri tertentu yang mungkin stabil atau terjadi siklus

baik di atas atau di bawah luasan tersebut meliputi atmosfir, tanah, geologi,

hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia

(ekonomi, sosial, budaya) di masa lampau dan sekarang, dan selanjutnya

mempengaruhi potensi penggunaannya pada masa yang akan datang. Lahan selalu

dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam pemanfaatan tanah, sehingga bersifat

stabil atau labil tergatung dari sifat-sifat tanah tersebut, siklus yang terjadi di alam

dan faktor-faktor lain yang berhubungan (Baja, 2012:61).

Dalam perspektif perencanaan tata guna lahan, lahan menurut Dent dan

Young dalam Baja (2012:61), didefinisikan sebagai ruang yang terdiri dari

seluruh elemen lingkungan fisik sejauh memiliki potensi dan pengaruh terhadap

penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan tidak hanya merujuk pada tanah tetapi

juga termasuk aktivitas yang berhubungan dengan semua faktor yang relevan dari

lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan, topografi, vegetasi dan

termasuk aktivitas dibawah, pada dan di atas permukaan tanah. Serta faktor yang

berkaiatan dengan kegiatan, ekonomi, sosial dan budaya (Baja, 2012:62).

Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah mengalami

proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas lahan tersebut. Ada juga

yang menyebut lahan terbangun sebagai lingkungan terbangun. T. Bartuska dan

Page 2: 12 BAB II JILID

7

G. Young dalam Yuliastuti, (2010) menjelaskan definisi lingkungan terbangun

(built environment) sebagai segala sesuatu yang dibuat, disusun dan dipelihara

oleh manusia untuk memenuhi keperluan manusia untuk menengahi lingkungan

secara keseluruhan dengan hasil yang mempengaruhi konteks lingkungan.

Lingkungan terbangun tersebut meliputi bangunan, fasilitas umum dan sarana

lainnya.

B. Perubahan Penggunaan Lahan

Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan

(land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala

jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam

memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis

kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu.

Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan

manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan

keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan

wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting

dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan

penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, berubah

terus menerus, sebagai hasil perubahan pola dan besarnya aktiitas manusia

sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan

masalah yang kompleks (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995).

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas

terhadp suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan

komersial mapupun industri (Kazaz dalam Peruge, 2013:5). Sementara menurut

Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses

perubahan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang bersifat permanen mapun

sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan

transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang

berkembang baik untuk tujuan komersil maupun industri. perubahan penggunaan

lahan dan penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan

data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang

Page 3: 12 BAB II JILID

8

berbeda. data penginderaan jauh sepert citra satelit, radar, dan foto udara sangat

berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan.

Perubahan fungsi lahan atau pergeseraan fungsi lahan adalah lahan yang

mengalami peralihan pemanfaatan misalnya pertanian yang disebabkan oleh

perubahan pola pemanfaatan lahan, faktor lain yang mempengaruhi adalah sarana

dan prasarana terhadap perkembangan kawasan (Husin dalam Rahayu 2010:16).

Haeruddin dalam Rahayu (2010) mengemukakan masalah lahan di

indonesia yaitu :

1. Terjadinya kemunduran produktivitas yang tidak disertai usaha konversi

lahan.

2. Terjadiya kemunduran produktivitas lahan sebagai akibat penggunaan yang

tidak sesuai kemampuan.

3. Terdesaknya lahan pertania yang relatif subur oleh jenis penggunaan lahan

non pertanian di daerah perkotaan.

Perubahan penggunaan lahan yang cepat merupakan kenyataan banyak

tempat di indonesia. sebagai perubahan penggunaan lahan yang optimum yang

diharapkan karena menuju kepada penggunaan lahan yang berkesinambungan dan

berwawasan lingkungan. sebagian lainnya merupakan perubahan atau penurunan

lahan yang tidak terkendalikan mengarah pada kerusakan lahan (Rahayu

2010:16).

Menurut Silalahi dalam Rahayu (2010:17) dalam usaha untuk mendapatkan

gambaran secara menyeluruh mengenai pola pemanfaatan lahan suatu daerah,

langkah pertama yang harus dilakukan ilaha mengadakan penyederhanaan sebutan

dari jenis-jenis pemanfaatn lahan yang beraneka ragam. misalnya dengan

membuat klasifikasi penggunaan lahan secara sistematis. Sitorus dalam Rahayu,

(2010:17), istilah klasifikasi lahan telah digunakan secara luas dalam berbagai

bidang studi. Oleh karena itu istilah tersebut mempunyai banyak perbedaan dalam

pengertiannya. klasifikasi lahan didefinisikan sebagai pengaturan-pengaturan

satuan lahan kedalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau

kesesuaiannya untuk berbagai penggunaan.

Proses perubahan pola pemanfaatan lahan dapat diikuti atau dilihat dari citra

satelit berbagai tahun. Dengan perbandingan itu dapat dilihat bertambahnya luas

Page 4: 12 BAB II JILID

9

daerah permukiman dan berkurangnya lahan pertanian bagitu pula sebaliknya

(Soerwanto dalam Rahayu, 2010:18).

Konversi lahan adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan

pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian.

konversi lahan non pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam

rangka program ekstensifikasi pertanian. konversi lahan pertanian ke non

pertanian mengalami laju yang tinggi untuk keperluan pertumbuhan industri dan

memenuhi kebutuhan permukiman penduduk yang masih relatif tinggi (Sihaloho

dalam Mutmainnah, 2013:14).

Menurut Husin dalam Rahayu (2010:16), Perubahan fungsi lahan atau

pergeseraan fungsi lahan adalah lahan yang mengalami peralihan pemanfaatan

mislanya pertanian yang disebabkan oleh perubahan pola pemenafaatan lahan,

faktor lain yang mempengaruhi adalah sarana dan prasarana terhadap

perkembangan kawasan. Selain itu, Haeruddin dalam Rahayu (2010)

mengemukakan masalah lahan di Indonesia yaitu :

1. Terjadinya kemunduran produktivitas yang tidak disertai usaha konversi

lahan

2. Terjadiya kemunduran produktivitas lahan sebagai akibat penggunaan yang

tidak sesuai kemampuan.

3. Terdesaknya lahan pertanian yang relatif subur oleh jenis penggunaan lahan

non pertanian di daerah perkotaan.

Perubahan penggunaan lahan yang cepat merupakan kenyataan banyak

tempat di indonesia. sebagai perubahan penggunaan lahan yang optimum yang

diharapkan karena menuju kepada penggunaan lahan yang berkesinambungan dan

berwawasan lingkungan. sebagian lainnya merupakan perubahan atau penurunan

lahan yang tidak terkendalikan mengarah pada kerusakan lahan (Rahayu,

2010:16).

Menurut Zulkaidi dalam Rahayu (2010:25), Tahapan dalam suatu proses

perubahan fungsi kawasan terjadi dari fungsi lama ke fungsi baru ialah :

1. Penetrasi, terjadinya penerobosan fungsi baru ke dalam fungsi yang

homogen dan mempengaruhi bentuk-bentuk penggunaan lahan perkotaan.

gejala penetrasi dipengaruhi oleh aksesibilitas dari dan ke daerah sekitar

Page 5: 12 BAB II JILID

10

kota utama, kondisi topografi, kondisi hidrigrafi dan rencana tata ruang

wilayah yang berlaku.

2. Invasi, terjadinya serbuan fungsi baru yang lebih besar dari tahap penetrasi

tetapi belum mendominasi fungsi utama, yang pada umumnya terjadi di

pinggiran kota meruapakn penggunaan lahan non urban menjadi

penggunaan lahan urban.

3. Suksesi, terjadinya pergantian sama sekali dari fungsi lama ke fungsi baru.

4. Dominasi, terjadi perubahan proporsi penggunaan lahan yang didominasi

dari penggunaan lama ke penggunaan baru.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perubahan Lahan

Secara umum, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota juga

merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Karena

secara tidak langsung perubahan lahan menjadi salah satu unsur utama dalam

perkembangan suatu kota.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan yang

dikemukan oleh beberapa peneliti terdahulu.

1. Menurut Harini dalam Susilo (2013), terdapat enam faktor yang

menentukan perkembangan daerah yang menjadi pemicu terjadinya

konversi lahan yakni ketersediaan fasilitas umum, aksesibilitas, karakteristik

lahan, karakteristik kepemilikan lahan, inisiatif pengembangan perumahan

oleh developer dan kebijakan pemerintah. Selain itu, pertumbuhan

penduduk yang berakibat pada meningkatnya kepadatan juga berdampak

pada meningkatnya kebutuhan lahan akan permukiman.

2. Menurut Hermawan (2012), Faktor yang mendorong perubahan

lahan/konversi lahan yakni aspek ketetanggan lahan, jaringan jalan, hierarki

kota, kemiringan lereng 1-15%. Selain itu, faktor penghambat perubahan

lahan yakni kemiringan lereng >15%, keberadaan hutan lindung, ruang

terbuka dan tubuh air.

3. Wijaya dan Susilo (2013) mengatakan bahwa terdapat dua jenis faktor yang

mempengaruhi perkembangan lahan terbangun yakni faktor pendorong dan

faktor penghambat. Faktor pendorong berupa jarak terhadap pusat kegiatan,

Page 6: 12 BAB II JILID

11

jarak terhadap pusat industri, jarak terhadap pusat ekonomi, jarak terhadap

pusat kegiatan, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap jalan non utama

dan jarak terhadap lahan terbangun eksisting. Sedangkan faktor

penghambat berupa kedaan relief (kemiringan lereng).

4. Skole dan Tucker dalam Karsidi (2004), menyatakan bahwa dinamika

perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh faktor manusia seperti

faktor pertumbuhan penduduk (jumlah dan distribusinya) dan pertumbuhan

ekonomi. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor fisik berupa topografi,

jenis tanah dan iklim.

5. Peruge (2013) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiringan

lereng, kawasan industri, keberadaan kawasan permukiman, jaringan jalan,

dan rencana jalan.

6. Barlowe dalam Peruge (2013:6), Dalam menentukan penggunaan lahan

terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor

fisik lahan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor

kondisi sosial budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola

penggunaan lahan. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan

terhadap masyarakat dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh

sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat

dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap

hasil non pertanian seperti kebutuhan perumahan dan sarana prasarana

wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan

material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan.

Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat

dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat

jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu

kehidupan yang lebih baik. Beberapa hal yang diduga sebagai penyebab

proses perubahan penggunaan lahan antara lain :

a) Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di

pedesaan

Page 7: 12 BAB II JILID

12

b) Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah

hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan

terhadap permukiman.

c) Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada

gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/lahan hijau khususnya di

perkotaan.

d) Terjadinya fragmentasi pemilihan lahan menjadi satuan-satuan usaha

dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.

7. Silalahi dalam Rahayu (2010:33) mengemukakan bahwa faktor yang paling

berpengaruh terhadap penggunaan lahan dapat disebutkan secara berurutan

adalah faktor institusi/hukum pertanahan, faktor fisik, faktor ekonomi dan

faktor kependudukan.

8. Barlowe dalam Silalahi (1992) mengemukakan bahwa faktor fisiklah yang

paling berpengaruh terhadap perkembangan penggunaan lahan disamping

faktor ekonomi dan penduduk.

9. Sitorus dalam Rahayu (2010:33) mengemukakan bahwa faktor sosial

ekonomi akan menjadi lebih penting pada saat menentukan penggunaan

lahan optimum. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi letak lahan dalam

hubungannya dengan pasar, transportasi, permukiman dan aktivitas manusia

lainnya.

Secara Umum, Faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan

perkotaan :

1. Faktor geografis

Menurut Zulkaidi dalam Rahayu (2010), Hidup dan matinya suatu kota

tidak lepas dari faktor ini, karena menyangkut sumber alam dan potensi

yang terdapat dalam lingkungan kota. Faktor geografis yang dimaksud,

karena berada dipersimpangan jalan, menyebabkan kota berkembang

dengan baik.

2. Topografi

Menurut Yunus dalam Rahayu (2010), Salah satu faktor yang

mempengaruhi perkembangan kota yaitu kondisi topografi suatu wilayah.

perkembangan suatu kota cenderung terjadi pada wilayah-wilayah yang

Page 8: 12 BAB II JILID

13

datar dan bukan sebaliknya pada wilayah dengan kondisi topografi yang

tidak begitu datar. walaupun demikian, bukan berarti pada wilayah dengan

topografi yang tidak datar tidak terdapat permukiman atau perkembangan

fisik kota lainnya tetapi jika dibandingkan dengan daerah yang bertopografi

datar, perkembangannya tidak signifikan dari waktu ke waktu. Hoyt dalam

teori sektor menyatakan bahwa daerah permukiman yang bernilai sewa

tinggi cenderung berkembang ke arah bagian-bagian dari kota yang terbuka

untuk pengembangan lebih lanjut “open country” dan tidak terdappat

penghalang fisikal baik alami maupun artifisial, stabilitas tanahnya tinggi,

topografinya relatif datar atau mempunyai kemiringan yang kecil, air

tnahnya relatif dangkal, relief mikronya tidak menyulitkan untuk

pembangunan.

3. Faktor Politik (Peraturan Pemerintah)

4. Faktor Fisik

a. Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan

Pusat kegiatan baru yang terbentuk di daerah lain akan berkembang dan

meluas dengan pola tata guna tanahnya sendiri, hal ini disebabkan karena

masing-masing daerah kegiatan mempunyai latar belakang lingkungannya

sendiri. Pertumbuhan dasar tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini

tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak

dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai contoh dengan didirikannya

beberapa pusat kegiatan yang berada di luar kota, seperti pariwisata,

perdagangan dan juga pendidikan sehingga akan menarik penduduk untuk

bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang baru

ini akan timbul susasna perkotaan yang secara administratif mungkin terpish

dengan kota yang ada. Oleh karena itu, jarak atara pusat kegiatan yang baru

dengan daerah perkotaan yang lama bisa jadi tidak terlalu jauh, maka

pertumbuhan selanjutnya adalah pusat yang lama dengan pusat yang baru akan

bergabung menjadi satu (Raldi dalam Rahayu 2010:28).

b. Ketersediaan Fasilitas Dan Infrastruktur

Dalam suatu wilayah keberadaan sarana/fasilitas dan infrastruktur sangatlah

penting bagi masyarakat yang bermukim dan berkegiatan di dalamnya.

Page 9: 12 BAB II JILID

14

Keberadaan sarana ini sangat penting oleh karena merupakan tempat

memperoleh barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalani

kehidupan sehari-harinya, begitupun dengan ketersediaan infrastruktur akan

menunjang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat akan bermukim

dan melakukan kegiatan pada wilayah yang mudah untuk menjangkau sarana-

sarana tersebut yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur. Faktor

pelayanan umum merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi-

fungsi kekotaan untuk datang ke arahnya. Semakin banyak jenis dan macam

pelayanan umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka makin besar

daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan. Contohnya

kampus, rumah sakit, tempat ibadah, tempat rekreasi dan olahraga, bandara dan

sejenisnya (Yunus dalam Rahayu, 2010).

c. Aksesibilitas

Menurut Blunden dan Black (1984) seperti dikutip dalam Tamin (1997:52)

menyatakan bahwa aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem

pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi

yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau

kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain

dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan

transportasi. Selain itu, aksesibilitas juga dapat dinyatakan dengan jarak. Jika

suatu tempat berdekatan dengan tempat lain dikatakan aksesibilitas antara

kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua tempat itu sangat

berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tata guna lahan yang

berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata

guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen).

Selain menurut Blunden dan Black, teori tentang aksesibilitas juga

dikemukakan oleh Warpani (1992:62). Menurut Warpani, daya dukung atau

akses adalah tingkat kemudahan berhubungan dari satu tempat ke tempat yang

lain. Apabila dari suatu tempat A orang dapat dengan mudah berhubungan

dan mendatangi tempat B atau sebaliknya, apalagi bila hubungan dapat

dilakukan dengan berbagai cara atau alat penghubung maka dikatakan akses

A – B adalah tinggi. Ada dua tuntutan utama agar tercipta akses yang baik

Page 10: 12 BAB II JILID

15

terutama bagi kegiatan angkutan kota yaitu (1) pemakai jalan mudah

bergerak dari satu bagian kota ke bagian lainnya, atau sebaliknya dengan

aman, cepat dan nyaman; (2) dalam mencapai tujuan tidak dialami hambatan

dan di sepanjang lintasan dapat berhenti dengan aman. Akses juga dapat

digunakan sebagai ukuran atau pertanda keadaan perangkutan dalam kota.

Apabila akses baik, maka hubungan antarzona dalam kota dapat berjalan

dengan lancar. Ini mencerminkan keadaan perlalu-lintasan yang baik di kota

yang bersangkutan. Sebaliknya walaupun zone A dan zone B dihubungkan

oleh beberapa jalur jalan, tetapi bila untuk mencapai zone B dari zone A

diperlukan waktu sangat lama, sedangkan jarak dari zone A dengan zone B

dekat maka dapat dikatakan akses dari A ke B dikatakan rendah. Hal ini dapat

terjadi oleh karena lalu lintas antara A dan B terlalu macet atau kondisi

prasarana dan sarana lalu lintas tidak memadai atau karena sebab yang lain.

Faktor transportasi mempunyai peran yang besar terhadap perubahan

pemanfaatan lahan, khususnya pemanfaatan lahan agraris menjadi non agraris

di daerah pinggiran kota. Yang dimaksudkan dengan aksesibiltas dalam hal ini

adalah aksesibiltas fisikal. Aksesibilitas fisikal merupakan tingkat kemudahan

suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi yang lain. Pengukuran

aksesibiltas fisikal dapat dilaksanankan dengan menilai prasarana dan sarana

transportasinya. semakin tinggi tingkat aksesibilitasnya, maka semakin kuat

daya tariknya sehingga perkembangan fisikalnya lebih intens bila dibandingkan

dengan daerah lain yang mempunyai pertumbuhan kota yang mengikuti

jaringan transportasi yaitu pola linear. Dalam pola linear jaringan transportasi

merupakan faktor pemicu perkembangan kota bukan hanya berupa prasarana

jalan tetapi juga termasuk sungai, garis pantai dan gunung penghalang (Yunus

dalam Rahayu 2010:30).

5. Faktor Ekonomi

a. Harga Lahan

Menurut Nurmandi dalam Yunus (1999) bahwa lahan ditentukan oleh

aksesibilitas pada jalur transportasi dan fasilitas umum, semakin baik

proksimitas atau kedekatan, semakin tinggi juga nilai jual tanah tersebut.

b. Mata Pencaharian Penduduk

Page 11: 12 BAB II JILID

16

Faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi permukiman oleh penduduk

yaitu jenis pekerjaan atau mata pencaharian penduduk. Dimana penduduk

cenderung bermukim pada daerah yang berdekatan dengan tempat

kerjanya. Misalnya seorang yang berprofesi sebagai nelayan akan memilih

bermukim di dekat pantai. Seperti pada teori sektor dan teori pusat

kegiatan ganda, orang-orang yang bekerja di sekitar industri akan

bermukim di sekitar lokasi industri sehingga akan terbentuk pola ruang

dimana permukiman para pekerja di sekitar lokasi industri.

6. Faktor Penduduk

Pada faktor penduduk meliputi jumlah penduduk, migrasi, kesehatan

masyarakat dan kultur.

a. Jumlah penduduk, bila penduduk bertambah maka dibutuhkan tempat yang

lebih luas sehingga kota dengan sendirinya akan berkembang.

b. Kesehatan, adanya kemajuan di bidang kesehatan maka segala macam

penyakit dapat diatasi. Hal ini yang menjadi daya tarik orang bermukim di

kota.

c. Kultur, adanya kebudayaan yang maju dengan pendidikan, kesehatan dan

sebagainya dapat menjadi daya tarik untuk bermukim.

Berikut tabel rangkuman faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan :

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi peubahan lahan No. Penulis/Sumber Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan 1. Harini (2007) dalam Susilo

(2013) - Ketersediaan Fasilitas Umum. - Aksesibilitas - Karakteristik Lahan - Karakteristik Kepemilikan Lahan - Inisiatif Pengembangan Perumahan Oleh Developer - Kebijakan Pemerintah. Pertumbuhan Penduduk

2. Hermawan (2012) - Faktor Pendorong Berupa Ketetanggan Lahan, Jaringan Jalan, Hierarki Kota, Kemiringan Lereng 1-15%.

- Faktor Penghambat Berupa Kemiringan Lereng >15%, Keberadaan Hutan Lindung, Ruang Terbuka dan Tubuh Air.

3. Wijaya dan Susilo (2013) - Faktor pendorong berupa jarak terhadap pusat kegiatan, jarak terhadap pusat industri, jarak terhadap pusat ekonomi, jarak terhadap pusat kegiatan, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap jalan non utama dan jarak terhadap lahan terbangun eksisting.

- Faktor penghambat berupa kedaan relief (kemiringan lereng). 4. Skole dan Tucker (1993) - Faktor Pertumbuhan Penduduk (Jumlah Dan Distribusinya) Dan

Page 12: 12 BAB II JILID

17

No. Penulis/Sumber Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan dalam Karsidi (2004) - Pertumbuhan Ekonomi.

- Faktor Fisik Berupa Topografi, Jenis Tanah Dan Iklim. 5. Peruge (2013) - Keiringan Lereng

- Kawasan Industri - Keberadaan Kawasan Permukiman - Jaringan Jalan - Rencana Jalan

6. Barlowe (1986) dalam Peruge (2013:6)

- Faktor Fisik Lahan - Faktor Ekonomi - Faktor Kelembagaan - Faktor Kondisi Sosial Budaya Masyarakat, Pertumbuhan Penduduk

7. Silalahi (1992) dalam Rahayu (2010:33)

- Faktor Institusi/Hukum Pertanahan - Faktor Fisik - Faktor Ekonomi - Faktor Kependudukan

8. Sitorus (1986) dalam Rahayu (2010)

Faktor Sosial Ekonomi Meliputi Letak Lahan Dalam Hubungannya Dengan Pasar, Transportasi, Permukiman Dan Aktivitas Manusia Lainnya.

9. Yunus, 2010 dalam Rahayu (2010) Zulkaidi (1999) dalam Rahayu (2010)

- Faktor Geografis - Topografi - Faktor Politik (Peraturan Pemerintah) - Faktor Fisik (Tumbuhnya Pusat-Pusat Kegiatan, Ketersediaan

Fasilitas dan Infrastruktur Aksesibilitas) - Faktor Ekonomi (Harga Lahan Dan Mata Pencaharian Penduduk) - Faktor Penduduk

Sumber. Penulis, 2015

Dari penjelasan dan tabel 1 di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum

faktor yang mempengaruhi perubahan lahan ada 2 jenis yakni faktor pendorong

dan faktor penghambat. Faktor pendorong yakni faktor yang memicu terjadinya

perubahan lahan sedangkan faktor penghambat yakni faktor yang tidak dapat

memicu terjadinya perubahan lahan. Secara umum, faktor pendorong yang

dimaksud ialah aksesibilitas, ketersedian fasilitas, jarak terhadap industri, jarak

terhadap pusat kegiatan, jarak terhadap pusat ekonomi, jarak terhadap jalan utama,

jarak terhadap lahan terbangun eksisting, pertumbuhan penduduk, kebijakan

pemerintah. Sedangkan faktor penghambat yakni kemiringan lereng, keberadaan

hutan lindung, ruang terbuka dan tubuh air.

Page 13: 12 BAB II JILID

18

D. Penginderaan Jauh Dalam Perubahan Lahan dan Interpretasi Foto

Citra

1. Pengertian Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metode untuk mengenal dan

menentukan objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan

objek tersebut. Sistem penginderaan jauh mencakup beberapa komponen utama

yaitu : sumber energi, sensor sebagai alat perekam data, stasiun bumi sebagai

pengendali dan penyimpanan data, fasilitas pemrosesan data dan pengguna data

(Noor, 2011:156).

Dari proses penginderaan jauh menghasilkan data digital yang merekam unit

terkecil atau biasa disebut pixel yang berupa 3 dimensi (x,y,z) di dalam sistem

perekam data. Kerena data penginderaan jauh berupa data digital, sehingga dalam

pengolahannya diperlukan suatu perangkat keras dan lunak untuk memprosesnya

misalnya ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS dsb. Pada pemrosesan data

penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Pemrosesan dan analisis digital, berfungsi untuk membaca data,

menampilkan data, memodifikasi data, ekstraksi data secara otomatik,

menyimpan, mendesain format peta dan mencetak. Salah satu contohnya

ialah pembentukan citra komposit warna.

b. Analisis dan interpretasi visual, digunakan apabila pemrosesan data secara

digital tidak dapat dilakukan atau tidak berfungsi baik. Interpretasi visual ini

dilakukan dengan menggunakan parameter bentuk, ukuran, rona warna, pola

dan tekstur topografi.

2. Jenis Citra Satelit berdasarkan resolusinya

Citra merupakan salah satu bentuk produk atau output dari proses

penginderaan jauh. Terdapat beberapa jenis citra berdasarkan resolusinya yang

bisa digunakan sesuai fungsi dan kegunaannya, yakni :

a. Resolusi Tinggi

1) Quickbird

Quickbird merupakan satelit resolusi tinggi dengan resolusi spasial 61

cm, mengorbit pada ketinggian 450 km. Satelit ini memiliki dua sensor

utama yaitu pankromatik dan multispektral serta 4 saluran (band).

Page 14: 12 BAB II JILID

19

2) Worldview

Worldview adalah satelit yang memiliki resolusi spasial yang tinggi

juga memiliki resolusi spektral yang lebih lengkap dibandingkan produk

citra sebelumnya. Resolusi spasial yang dimiliki citra satelit WorldView ini

lebih tinggi, yaitu 0,46 m – 0,5 m untuk citra pankromatik dan 1,84 m untuk

citra multispektral. Worldview memiliki 8 band, sehingga sangat

memungkinkan untuk keperluan analisis spasial sumber daya alam dan

lingkungan hidup.

3) GeoEye

GeoEye merupakan satelit pengamat bumi yang diluncurkan pada 6

september 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini

mampu memetakan gambar dengan resolusi yang sangat tinggi. GeoEye

juga merupkan satelit yang dikomersialkan dengan pencitraan gambar

tertinggi yang ada di orbit bumi.

4) Ikonos

Ikonos merupakan satelit resolusi spasial tinggi yang merekam data

multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m. Satelit ini memiliki ketinggian orbit

681 km dengan waktu pencapaian 1 sampai 3 hari (repeat cycle). Citra ini

sangat cocok untuk analisis detail misalnya wilayah perkotaan tapi tidak

efektif digunakan untuk analisis yang bersifat regional.

b. Resolusi Menengah

1) SPOT (System Pour I’observation De La Terre)

Satelit ini merupakan satelit komersial yang dimiliki oleh negara

Perancis dan dikembangkan oleh CNES (badan keruang-angkasaan

Perancis) bekerja sama dengan beberapa organisasi di Eropa. Satelit ini

mengorbit pada ketinggian 830 km dengan sudut inklinasi 80 derajat.

Satelit ini dapat mencapai lokasi yang sama setiap 26 hari (repeat cycle)

dengan resolusi 10-20 m.

Page 15: 12 BAB II JILID

20

2) Landsat (Land Satellite)

Landsat merupakan jenis citra satelit yang diluncurkan oleh Amerika

Serikat pada ketinggian 705 km di atas ekuator dengan periode orbit setiap

99 menit, dapat mencapai lokasi yang sama setiap 16 hari. Sejak tahun 2013

Landsat telah meluncurkan landsat 8 yang melengkapi landsat sebelumnya.

Landsat memiliki resolusi 30 m dan ukuran citra hasil perekaman berukuran

185 km x 185 km (1 scene).

3) Alos

Alos merupakan citra yang dikembangkan oleh Jepang. Citra Alos ini

dapat dimanfaatkan untuk memantau lingkungan seperti kepentingan

kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana dan sumber daya alam.

4) Aster (Advanced Spaceborne Emission And Reflecton Radiometer)

Satelit Aster juga dikembangkan oleh Jepang yang terdiri dari

beberapa sensor yakni VNIR, SWIR dan TIR. Satelit ini memiliki

ketinggian orbit 707 km dengan sudut inklinasi 98,2 derajat.

c. Resolusi Rendah

1) NOAA (National Oceanic And Atmospheric Administration)

Satelit NOAA merupakan satelit meterologi yang dikembangkan oleh

Amerika Serikat. Satelit ini memiliki ketinggian orbit 833-870 km dengan

sudut inklinasi 98,7 – 98,9 derajat. Selain itu, satelit ini mempunyai

kemampuan mengindera 2 x 24 jam (sehari semalam).

3. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dalam Perubahan Lahan

Penginderaan jauh telah dimanfaatkan pada banyak aplikasi pemantauan

bumi termasuk pemantauan perubahan penggunaan lahan yang bisa dilakukan

dengan pendekatan berupa perbandingan peta tematik dalam waktu tertentu.

Interpretasi penggunaan lahan dari citra satelit dimaksudkan untuk memudahkan

deliniasi area/ unit-unit penggunaan lahan. Salah satu syarat dari teknik sederhana

yang digunakan untuk mengkaji atau melakukan evaluasi terhadap perubahan,

termasuk untuk mengetahui sejauh mana perubahan penggunaan lahan kota telah

Page 16: 12 BAB II JILID

21

terjadi, adalah dengan cara menginterpretasi dua citra yang berbeda waktu

perekamannya (multitemporal).

Citra satelit merupakan data yang diperoleh dari proses penginderaan jauh.

Terdapat beberapa jenis citra yang bisa dihasilkan. Penggunaan citra tersebut akan

dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan, misalnya untuk melihat penggunaan lahan

bisa digunakan citra landsat.

Citra landsat merupakan citra yang dibuat dari land satellite yang semula

disebut Earth Resources Technology Satellite (ERTS) yang mengorbit di

ketinggian 920 km. Citra satelit Landsat Thematic Mapper (TM ) mempunyai

resolusi 30 x 30 meter (satu pixel=pixel element) artinya objek yang ukurannya

lebih kecil dari 30 m tidak dapat dikenali (tidak tampak) dalam citra, sehingga

lahan sawah yang ukurannya kurang dari 30x30 meter tidak akan tampak/dikenali

pada citra satelit.

Beberapa keuntungan menggunakan citra Land Sattelite (Landsat) :

a. Ketinggian satelit, satu citra menggambarkan daerah yang luas dengan

proyeksi yang mendekati orthogonal. Hal ini memungkinkan suatu

pandanga menyeluruh.

b. Pencitraan yang terulang setiap 18 hari (bahkan tiap 9 hari), memungkinkan

perbandingan dua citra atas objek yang sama pada daerah yang sama. Hal

ini menguntungkan untuk maksud monitoring objek maupun untuk

mengkaji objek dalam berbagai musim dan kondisi.

d. Keseragaman waktu, landsat yang melewati daerah yang sama dalam jam

yang sama memungkinkan ketelitian dalam menilai erosi tanah, perubahan

daerah basah, pelaksanaan irigasi, monitoring berbagai produksi agraris dsb.

e. Keseragaman daerah luas, keseragaman perpektif atas daerah luas

memungkinkan pembuatan mosaik citra landsat untk mengkaji daerah luas

(kontinen) secara tepat, misalnya utuk inventarisasi dalam tingkat tinjau

bagi sumber daya seperti hutan, air permukaan, jenis tanah dsb.

f. Penginderaan multispektral, dengan cara ini dapat meningkatkan

kemampuan intepretasi citra.

Selain itu, penginderaan dengan menggunakan citra landsat dapat digunakan

untuk menganalisis berbagai bidang misalnya :

Page 17: 12 BAB II JILID

22

a. Inventarisasi air permukaan

b. Kajian air tanah

c. Kajian geologi dan eksplorasi mineral serta minyak bumi

d. Revisi peta dalam kartografi

e. Penggunaan lahan dan perencanaan kota serta regional

f. Mengkaji kepadatan penduduk dalam hubungannya dengan penggunaan

lahan

g. Pengendalian dan pengelolaan lingkungan.

Pada penelitian ini menggunakan data citra satelit landsat 7 dan landsat 8.

Kedua landsat ini digabungkan sehingga saling melengkapi, hal ini dikarenakan

ada beberapa kelebihan dan kekurangan di kedua landsat tersebut. Misalnya

dibandingkan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan

khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang

spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah

diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green

dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB

komposit, maka warna-warna objek menjadi lebih bervariasi.

Berikut perbedaan berupa kelebihan dan kekurangan antara landsat 7 dan

landsat 8.

Tabel 2. Perbedaan Band pada Landsat 7 dan Landsat 8

Landsat 7 Landsat 8

Band Name Resolusi (m) Band Name Resolusi

(m)

Band 1 Coastal 30

Band 1 Blue 30 Band 2 Blue 30

Band 2 Green 30 Band 3 Green 30

Band 3 Red 30 Band 4 Red 30

Band 4 NIR 30 Band 5 NIR 30

Band 5 SWIR 1 30 Band 6 SWIR 1 30

Page 18: 12 BAB II JILID

23

Landsat 7 Landsat 8

Band Name Resolusi (m) Band Name Resolusi

(m)

Band 7 SWIR 2 30 Band 7 SWIR 2 30

Band 8 Pan 15 Band 8 Pan 15

Band 9 Cirrus 30

Band 6 TIR 30/60 Band 10 TIRS 1 100

Band 11 TIRS 2 100

Sumber : Blog resmi ESRI http://blogs.esri.com/esri/arcgis/2013/07/24/band-combinations-for-landsat-8/

Tabel 3. Perbedaan Kombinasi Band pada Landsat 7 dan Landsat 8

Gambar Warna Kombinasi Band

Landsat 5 dan 7 Landsat 8

Color Infrared: 4, 3, 2 5, 4, 3

Natural Color: 3, 2, 1 4, 3, 2

False Color: 5, 4, 3 6, 5, 4

False Color: 7, 5, 3 7, 6, 4

Page 19: 12 BAB II JILID

24

Gambar Warna Kombinasi Band

Landsat 5 dan 7 Landsat 8

False Color: 7, 4, 2 7, 5, 3

Sumber : USGS

Pada penelitian ini hanya terfokus pada dua jenis penggunaan lahan saja

yakni objek lahan terbangun dan lahan tidak terbangun (vegetasi) . Oleh karena

itu, untuk membedakan lahan terbangun dan bukan lahan terbangun dilakukan

interpretasi citra satelit. Interpretasi citra dilakukan dengan menggunakan 2

komposit band baik dari citra landsat 7 maupun citra landsat 8 yakni true colour

dan false colour dengan asumsi warna yang berbeda. Berikut perbedaan secara

sistematis warna yang akan dihasilkan dari komposit band citra landsat:

Tabel 4. Perbedaan Warna Komposit Band

Komposit Band 3,2,1 (True Colour)

Komposit Band 5,4,3 (False Colour)

Objek Vegetasi (lahan tidak terbangun)

Sesuai warna yang ada di lapangan (hijau). Jingga

Objek Lahan terbangun

Sesuai warna yang ada di lapangan (coklat untuk genting).

Warna Biru : Semakin padat lahan terbangun di suatu daerah rona yang terbentuk semakin cerah dan sebaliknya.

Objek Jalan

Tidak dapat dibedakan/tersamarkan dengan objek lahan terbangun.

Dapat dibedakan dengan objek lahan terbangun.

Sumber : http://reizapcd.blogspot.com/2012/04/kombinasi-band-dalam-citra-satelit.html

4. Interpretasi Citra Satelit

Interpretasi citra merupakan proses mengkaji foto udara atau citra satelit

dengan maksud mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut.

Proses interpretasi penggunaan lahan dapat diklasifikasikan menurut USGS tahun

1972. Sistem ini dapat digunakan untuk citra dengan resolusi tinggi dengan skala

menengah (1:25.000 dan 1:10.000) seperti SPOT dan Quickbird. Penggunaan

Page 20: 12 BAB II JILID

25

skala berpengaruh terhadap pemilihan kedetailan klasifikasi, dimana semakin

besar skala yang digunakan maka pengklasifiksian akan semakin detail

(Danoedoro, 1996).

Dalam melakukan interpretasi citra diperlukan sistem klasifikasi lahan. Saat

ini tidak terdapat sistem klasifikasi lahan yang pasti atau yang menjadi standar di

Indonesia. Namun, terdapat beberapa sistem klasifikasi yang sering digunakan

dalam membantu mengklasifikasikan penggunaan lahan. Misalnya sistem

klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS dan Anderson. Berikut tabel sistem

klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson dan USGS.

Tabel 5. Klasifikasi lahan menurut Anderson, 1976 :

Sumber: Anderson (1976) dalam Susilo, 2008

Tabel 6. Klasifikasi Lahan menurut USGS Pada level I dan II

Tingkat I Tingkat II 1. Perkotaan atau

lahan terbangun 1. Permukiman 2. Perdagangan dan jasa 3. Industri 4. Transportasi, komunikasi dan umum 5. Kompleks industry dan perdagangan 6. Kekotaan campuran atau lahan bangunan 7. Kekotaan atau lahan bangunan lainnya

2. Lahan pertanian 1. Tanaman semusim dan padang rumput 2. Daerah buah-buahan, bibit, dan tanaman hias

Kelas Penggunaan Lahan dalam penelitian

Kelas Penggunaan Lahan Level I menurut Anderson

Lahan terbangun Urban atau Built-up Land

Lahan Tidak Terbangun

1. Agriculture Land 2. Rangeland 3. Forest Land 4. Water 5. Wetland 6. Barren Land 7. Tundra 8. Perennial Snow

Page 21: 12 BAB II JILID

26

Tingkat I Tingkat II 3. Tempat penggembalaan terkurung 4. Lahan pertanian lainnya

3. Lahan peternakan 1. Lahan tanaman/ rumput 2. Lahan peternakan semak dan belukar 3. Lahan peternakan campuran

4. Lahan hutan 1. Lahan hutan gugur dan musiman 2. Lahan hutan yang selalu hijau 3. Lahan hutan campuran

5. Air 1. Sungai dank anal 2. Danau 3. Waduk 4. Teluk dan muara

6. Lahan basah 1. Lahan hutan basah 2. Lahan basah bukan hutan

7. Lahan gundul 1. Dataran garam kering 2. Gisik 3. Daerah berpasir selain gisik 4. Batuan singkapan gundul 5. Tambang terbuka, pertambangan dan tambang kecil 6. Daerah peralihan 7. Daerah gundul campuran

8. Padang lumut 1. Padang lumut semak dan belukar 2. Padang lumut tanah gundul 3. Padang lumut basah 4. Padang lumut campuran

9. Es atau salju abadi

1. Lapang salju abadi 2. Glasier

Sumber : USGS http://ddwihestiningsih.blogspot.com/2013/09/perbandingan-klasifikasi-lahan-menurut.html

Selain itu, informasi penggunaan lahan yang disajikan mengikuti klasifikasi

penggunaan lahan yang ditetapkan Surat keputusan menteri negara agraria/ badan

pertanahan nasional nomor 1 tahun 1997. secara garis besar klasifikasi

penggunaan lahan tersebut dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu

penggunaan lahan perkotaan (urban land use) dan penggunaan lahan non urban.

Penggunaan lahan urban meliputi perumahan, jasa (fasilitas umum dan

perkantoran), perdagangan, dan industri. sedangkan penggunaan lahan non urban

Page 22: 12 BAB II JILID

27

meliputi areal persawahan, kebuun campuran, tegalan, tambak, semak belukar,

alang-alang dan padang rumput.

E. Model Cellular Automata

Cellular automata (CA) merupakan model yang bersifat dinamis yang

mengintegrasikan dimensi ruang dan waktu. Konsep cellular automata telah

dikembangkan sejak tahun 1940-an dalam bidang komputer oleh Von Neumann

dan Ulam. Keunggulan dari model celluar automata adalah dapat digunakan untuk

mengkaji suatu pola sederhana hingga pola yang kompleks dengan prinsip yang

sederhana (Singh, 2003; Benenson and Torenz, 2004).

Irwin (2001) menyatakan bahwa cellular automata bervariasi secara

independen, dimana kondisi saat ini ditentukan oleh kondisi masa lalu secara

independen. Pada Cellular automata transisi perubahan tidak hanya berdasarkan

pada kondisi sebelumnya namun juga berdasarkan pada kondisi sel disekitarnya,

dalam hal ini cellular automata mengandung aspek keruangan.

Gambaran proses dinamis dalam perubahan suatu kondisi dapat

diilustrasikan sebagai berikut. kondisi akan datang dari suatu sel/parsel X adalah

fungsi dari kondisi sel X saat ini dan sel-sel disekitarnya. Apabila jenis tutupan

lahan pemukiman adalah kondisi mayoritas sel-sel disekitarnya dari sel X, maka

sel X akan berubah menjadi pemukiman. Algoritma yang dipakai untuk

menghitung kondisi mendatang dari suatu sel adalah merujuk kepada kondisi

cellular automata setempat. Karakteristik cellular automata dicirikan dengan 5

sifat (Sirakoulis et al, 2000 dalam Karsidi, 2007).

1. Banyaknya dimensi keruangan (n)

2. lebar/jarak masing-masing sisi dari suatu susunan sel (w). wj adalah lebar

dari sisi ke-j dari suatu susunan sel, dimana j = 1,2,3,...n (banyaknya sel) j.

3. lebar dari tetangga terdekat suatu sel (d). (d)j adalah jarak tetangga terdekat

sepanjang sisi ke-J dari suatu susunan sel j.

4. kondisi dari sel-sel cellular automata.

5. ketetapan/rule cellular automata, sebagai fungsi arbitrari F.

Page 23: 12 BAB II JILID

28

Selain itu, menurut Liu (2009), cellular automata terdiri atas lima elemen

dasar pembentuknya, yaitu :

1. Sel (The Cell), yaitu satuan spasial dasar dalam sebuah ruang selular. Sel-sel

dalam sebuah cellular automaton tersusun dalam sebuah mozaik spasial.

Gridiron dua dimensi adalah bentuk yang paling umum dari sebuah cellular

automata yang digunakan dalam pemodelan pertumbuhan kota dan

perubahan guna lahan. Bagaimanapun juga, susunan lain seperti cellular

automata satu dimensi juga dikembangkan untuk menggambarkan objek

linear seperti pemodelan lalu lintas kota.

2. Keadaan (The State), menetapkan attributes dari sebuah sistem. Tiap sel

hanya dapat memiliki satu state dari sekumpulan states dalam satu waktu.

State bisa merupakan jumlah yang menunjukkan sebuah sifat. Dalam sebuah

model cellular automata perkotaan, state dari suatu sel dapat mewakili tipe

penggunaan lahan atau tutupan lahan, seperti urban atau rural, atau beberapa

tipe guna lahan yang spesifik; atau bisa juga digunakan untuk mewakili

cirilain dari suatu kawasan urban, seperti category sosial dari penduduk.

3. Ketetanggaan (The Neighbourhood), yaitu sekumpulan sel yang berinteraksi

dengan suatu sel. Terdapat dua jenis neighbourhood dalam ruang

dimensional: von Neumann Neighbourhood (4 sel) dan Moore

Neighbourhood (delapan sel).

4. Aturan Transisi (Transition Rule), menggambarkan bagaimana state dari

sebuah sel berubah sebagai respon terhadap state sekarang dan state dari sel

tetangga (Neighbour). Ini adalah komponen dasar dari cellular automata

karena aturan ini menggambarkan proses dari sebuah sistem yang dibuat

dalam sebuah model dan merupakan komponen esensial dari untuk berhasil

dalam melakukan pemodelan yang baik.

5. Waktu (The Time), menetapkan dimensi sementara di mana sebuah cellular

automaton berada. Berdasarkan definisi cellular automata, state dari semua

sel terperbarui secara simultan dalam semua pengulangan sepanjang waktu.

Page 24: 12 BAB II JILID

29

Kondisi sel X, pada waktu t = 1, adalah dihitung bergantung pada F. F

adalah fungsi dari kondisi sel X pada waktu (t) dan kondisi sel-sel sekitarnya pada

waktu (t) dikenal dengan rule/ketetapan transisi perubahan.

Gambaran sederhana dari dua dimensi cellular automata (n=2), dengan jarak

tetangga terdekat d1 = 3 dan d2 = 3, adalah sebagai berikut :

i– j, j-1 i-1, j i-1,j+1

I, j -1 (i, j) (i,j+1)

I+1, j-1 I+1, j I+1, j+1

Cellular automata adalah model sederhana dari proses terdistribusi spasial

(spatial distributed process) dalam GIS. Data terdiri dari susunan sel-sel (grid),

dan masing-masing diatur sedemikian rupa sehingga hanya diperbolehkan berada

di salah satu dari beberapa keadaan.

Dengan menggunakan informasi ini, setiap sel menerapkan aturan

sederhana untuk menentukan apakah harus berubah, dan pada keadaan apa harus

berubah. Langkah dasar tersebut diulang terus pada seluruh susunan sel secara

terus-menerus hingga mendapatkan suatu keadaan tertentu. Rencana tata guna

lahan berkaitan dengan parameter yang kompleks, namun tetap dapat

direpresentasikan dalam bentuk satuan informasi dalam bentuk grid, sehingga

pendekatan cellular automata dapat diterapkan.

Cellular system dapat didefinisikan sebagai suatu koleksi tersusun dari

unsur-unsur serupa yang disebut cell. Struktur ini diberikan oleh pilihan dari

bentuk pixel atau biasa disebut lattice. Beberapa lattice adalah 1 dimensi, 2

dimensi dan 3 dimensi. Sel-sel tetangga (neighborhoods) merupakan bagian

penting yang merepresentasikan kesatuan cell yang berinteraksi langsung dengan

pusat cell. Jumlah dari sel tetangga sangat dipengaruhi oleh lattice dari sel

tersebut.

Berbagai studi yang dilakukan saat ini telah mengembangkan model

pengintegrasian konsep cellular automata dengan sistem geografis (SIG)

khususnya untuk penerapan yang berfokus pada aspek keruangan yang bersifat

Page 25: 12 BAB II JILID

30

dinamis. sistem informasi kontemporer sekalipun dapat mengintegrasikan dan

mengelola data keruangan, namun memiliki keterbatasan dalam pemodelan

dinamis (Wagner,1997). Melalui model cellular automata dan SIG yang berbasis

raster dapat dikembangkan menjadi model SIG yang dapat memodelkan proses

perubahan keruangan yang bersifat dinamis.

Bentuk pixel cellular automata diperlihatkan pada gambar berikut :

Gambar 1. Cellular Automata

Pada gambar 1, pusat sel ditandai dengan warna merah sedangkan

neighborhoods ditandai dengan warna magenta. Lattice yang akan digunakan

dalam sistem ini adalah berbentuk Square dengan cell pusatnya yang berbentuk

segiempat, maka sel-sel tetangganya akan semakin banyak. Sehingga sangat

cocok digunakan dalam sistem yang dinamis.

Ketetanggaan (neighborhood) artinya perubahan penggunaan lahan pada

satu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada piksel tetangganya.

Dalam hal ini yang perlu didefenisikan adalah jumlah piksel yang dianggap

sebagai tetangga. Konsep ketetanggaan ini, secara teknis diterjemahkan dengan

filter/jendela, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.

Keadaan suatu cellular

automata sepenuhnya dipengaruhi oleh variabel yang dimiliki tiap sel. Cellular

automata bekerja dengan tahapan waktu yang diskrit, dimana nilai variabel sel

Central cell

Neighborhood

Central cell

Neighborhood

Bentuk Square Bentuk Hexagonal

Gambar 2. Ilustrasi dari ukuran filter, (a) Filter 3x3, (b) Filter 5x5, (c) Filter 7x7, (d) Filter Oktogonal 5x5, (3)Filter Oktogonal 7x7, (f) Filter Cros 4 tetangga terdekat. (Sumber: Jensen

1996 dalam Peruge, 2013)

Page 26: 12 BAB II JILID

31

dipengaruhi oleh nilai variabel sel tetangganya di tahapan waktu sebelumnya.

Tetangga dari suatu sel yaitu sel-sel yang berdekatan dengan sel itu sendiri.

Variable sel diperbaharui secara simultan, berdasarkan kepada nilai variabel yang

dimiliki sel tersebut dan tetangganya di tahapan waktu sebelumnya, menurut

aturan lokal tertentu (Wolfram dalam Koomen E. dkk, 2007).

Cellular automata adalah sebuah array dengan automata yang identik, atau

dsebut juga sel yang saling berinteraksi satu sama lain. array tersebut dapat

membentuk susunan sel 1 dimensi, 2 dimensi maupun 3 dimensi. Susunan sel-sel

tersebut dapat membentuk grid sei empat sederhana maupun susunan lain yang

lebih rumit. Berikut ilustrasi susunan sel cellular automata :

Unsur-unsur pembentuk cellular automata adalah :

1. Geometri

Geometri adalah bentuk sel serta bentuk sistem yang disusun oleh sel-sel

tersebut. geometri cellular automata terdiri atas dimensi cellular automata

tersebut (1-dimensi, 2-dimensi, dst), dan bentuk geometri dari masing-masing sel

penyusunnya.

2. State set

State set adalah himpunan keadaan atau status yang dapat dimiliki oleh

masing-masing sel cellula automata tersebut. status ini daat berupa angka maupun

sifat tertentu. Misalnya jika masing-masing sel merepresentasikan bagian suatu

hutan maka status dapat merepresentasikan misalnya jumlah binatang pada

masing-masing lokasi atau jenis pohon-pohon yang tumbuh disana. state set

haruslah berhingga (finite, terbatas) dan terhitung (countable, diskrit).

Gambar 3. Susunan sel-sel cellular automata. (a) segiempat 1 dimensi, (b) segiempat 2 dimensi, (c) segienam 2 dimensi

Page 27: 12 BAB II JILID

32

3. Neighbourhood

Neighbourhood atau tetangga adalah sel-sel yang dapat mempengaruhi

status suatu sel pada cellular automata. Umumnya neighbourhood suatu sel hanya

meliputi sel-sel yang berada disekitarnya (jari-jari neighbourhood –r, tidak besar).

Berdasarkan strukturnya, ada banyak macam neighbourhood yang telah dikenal

secara umum, antara lain untuk geometri dua dimensi.

a. Von Neumann Neighbourhood

N = (U (Utara), T(timur), S (selatan), B (Barat)), r =1

Gambar 4. Von Neumann Neighbourhood sel yang terletak ditengah adalah sel A. sl berwarna abu-abu adalah

neighbourhood dari sel A.

b. Moore Neighbourhood

Model ini dikembangkan oleh Edward F. Moore yang merupakan pelopor

teori cellular automata. Moore Neighborhood adalah konsep yang umum dan

popular digunakan. Pada proses simulasi dalam tingkat piksel, keaadaan suatu

piksel akan dipengaruhi keadaan piksel-piksel disekitrnya.

Moore Neighborhood adalah suatu bujur sangkar sederhana (biasanya

berukuran 3x3 piksel) yang digunakan untuk mendefinisikan satu set sel disekitar

satu sel (x0,y0). Biasanya digambarkan seperti arah mata angin. Jumlah sel yang

terdapat dalam cakupan area r, moore neighborhood adalah bujursangkar yang

jumlah selnya ganjil yakni 1, 9, 25, 49, 81 ....., (2r+1)2. r adalah jumlah sel yang

berada pada sel inti. Berikut gambar moore neighbourhood.

N = ( U (utara), TL (Timur laut), T (Timur), TG (Tenggara), S (Selatan, BD

(Barat Daya), B (Barat), BL (Barat Laut) ), r =1

r = 1 Inti sel

Page 28: 12 BAB II JILID

33

Gambar 5. Moore Neighbourhood sel yang terletak ditengah adalah sel A. Sel berwarna abu-abu adalah

neighbourhoods (jari-jari -r) dari sel A.

c. Margolus Neighbourhood

Empat buah sel bergabung membentuk satu blok. neighbourhood suatu sel

adalah sel-sel lain yang berada pada blok yang sama dengan sel tersebut. Pada

setiap time-stepi, masing-masing blok berpindah secara diagonal sehingga blok

suatu sel berubah-ubah sesuai dengan genap atau ganjilnya time-step.

Pada gambar di bawah, sel-sel yang dikelilingi oleh kotak bergaris tebal

berada pada blok yang sama.

4. Fungsi Transisi

Fungsi transisi adalah aturan yang menentukan bagaimana status suatu sel

berubah berdasarkan status sekarang dan status tetangganya.

Gambar 6. Margolus neighbourhood sel yang terletak ditengah adalah sel A. Sel berwarna abu-abu adalah

neighbourhood dari sel A

time-step 2k time-step 2k+1

Page 29: 12 BAB II JILID

34

5. Status Awal Sel

Status awal sel adalah status yang dimiliki oleh masing masing sel pada

suatu sistem mulai berjalan.

F. Rantai Markov

Rantai markov adalah suatu bidang paling mendasar dari studi tentang

probabilitas, yang saat ini juga telah berkembang dalam ilmu spasial, dan saat ini

banyak diterapkan di bidang penelitian perubahan tata guna lahan (land use

change). Dalam teori probabilitas statistik, yang dianalisis dalam proses markov

adalah fenomena yang berubah terhadap waktu secara acak untuk keadaan

tertentu. (Baja, 2012). Subclass penting rantai Markov adalah fenomena yang

berjalan acak (Random walks). Teori ini dicirikan dengan proses acak, dimana

distribusi bersyarat dari apa yang terjadi pada masa yang akan datang, hanya

bergantung pada kondisi sekarang dan bukan pada masa lalu.

Rantai markov merupakan sebuah proses stokastik yang menggambarkan

peluang pencapaian sebuah keadaan dari keadaan lainnya. Istilah keadaan

merepresentasikan variabel yang perubahannya dimodelkan dalam simulasi.

Rantai markov adalah model yang umum digunakan untuk memodelkan

perubahan tata guna lahan dan tutupan lahan pada skala spasial yang beragam.

Markov chain merupakan proses acak dimana semua informasi tentang

masa depan terkandung di dalam keadaan sekarang (yaitu orang tidak perlu

memeriksa masa lalu untuk menentukan masa depan). Untuk lebih tepatnya,

proses memiliki properti markov, yang berarti bahwa bentuk kedepan hanya

bergantung pada keaadan sekarang, dan tidak bergantung pada bentuk

sebelumnya. dengan kata lain, gambaran tentang keadaan sepenuhnya menangkap

semua informasi yang dapat mempengaruhi masa depan dari proses evolusi. Suatu

markov chain merupakan proses stokastik berarti bahwa semua transisi adalah

probabilitas (ditentukan oleh kebetulan acak dan dengan demikian tidak dapat

diprediksi secara detail, meskipun mungkin diprediksi dalam sifat statistik.

Rantai Markov memiliki suatu probabilitas yang bersifat stasioner, sehingga

memungkinkan rantai markov digunakan untuk model simulasi. Probabilitas

untuk perpindahan antar keadaan pada satu rentang waktu ditampilkan dalam

Page 30: 12 BAB II JILID

35

matriks probabilitas transisi. Untuk setiap transisi yang dihasilkan rantai markov

pada rentang waktu yang sama memiliki nilai yang sama.

Penerapan rantai markov bertujuan untuk memperoleh probabilitas transisi,

Pij, merupakan besar peluang untuk berubah dari keadaan i ke keadaan j. Peluang

tersebut dapat digeneralisasi menjadi sebuah matriks persegi yang dinamakan

matriks probabilitas transisi (P).

Perubahan landscape dan proses difusi spasial dapat disimulasikan secara

linear dan stokastik. stokastik proses ditentukan oleh variabel acak, dan hanya

menerangkan terminologi probabilistik (Lambin 1994 dalam Karsidi, 2007).

secara umum, model probabilistik ini cocok untuk proses perubahan penggunaan

tanah/tutupan lahan yang memiliki hubungan yang rumit antara variabel yang

berinteraksi, serta memiliki latar belakang yang minim tentang informasi faktor

pendorong di balik terjadinya perubahan. pendekatan ini menjadi sangat populer

dalam pemodelan perubahan penggunaan tanah/tutupan lahan.

Syarat-Syarat Dalam Analisa Markov :

Untuk mendapatkan analisa rantai markov ke dalam suatu kasus, ada

beberapa syarat yang harus dipenuhi, adalah sebagai berikut:

a. Jumlah probabilitas transisi untuk suatu keadaan awal dari sistem sama

dengan 1.

b. Probabilitas-probabilitas tersebut berlaku untuk semua partisipan dalam

sistem.

c. Probabilitas transisi konstan sepanjang waktu.

d. Kondisi merupakan kondisi yang independen sepanjang waktu.

Penerapan analisa markov bisa dibilang cukup terbatas karena sulit

menemukan masalah yang memenuhi semua sifat yang diperlukan untuk analisa

markov, terutama persyaratan bahwa probabilitas transisi harus konstan sepanjang

waktu (probabilitas transisi adalah probabilitas yang terjadi dalam pergerakan

perpindahan kondisi dalam sistem).

Page 31: 12 BAB II JILID

36

G. Validasi Kappa

Secara umum koefisien Cohen’s Kappa dapat digunakan untuk mengukur

tingkat kesepakatan (degree of agreement) dari dua penilai dalam

mengklasifikasikan objek ke dalam grup / kelompok dan mengukur

kesepakatan alternatif metode baru dengan metode yang sudah ada.

Pada permodelan, kappa accuracy merupakan validasi model yang sering

digunakan untuk menguji kualitas hasil klasifikasi tutupan lahan atau perubahan

lahan berbasis data penginderaan jauh adalah kappa accuracy (Jensen dalam

Peruge, 2013). Nilai Kappa membantu dalam melihat kesesuaian antara hasil

simulasi dengan kondisi aktual. Perhitungan kappa menurut Hagen (2002),

didasarkan pada tabel kontigensi. Pembuatan tabel ini adalah tahap awal untuk

membandingkan peta secara objektif.

Tabel 7. Nilai Ambang Batas untuk membedakan Tingkat Kecocokan dari Nilai Kappa

Nilai Tingkat Kecocokan

<0.05 Tidak Ada

0,05 Sangat jelek

0,2 Jelek

0,4 Sedang

0,55 Agak Baik

0,7 Baik

0,85 Sangat Baik

0,99 Sempurna

Sumber: Pontius dalam Peruge, 2013

Page 32: 12 BAB II JILID

37

PENELITIAN TERDAHULU

Page 33: 12 BAB II JILID

38

Page 34: 12 BAB II JILID

39