111267460 Hasil Penelitian Sastra Contoh Analisis Novel

79
BAB 1 PEMBUKAAN 1. Latar Belakang Sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan berbagai cara. Cara yang dapat digunakan untuk menelaah karya sastra antara lain dengan menggunakan teori strukturalisme, stilistika, semiotika, feminisme, dan yang lain. Teori tersebut memberikan berbagai masukan mengenai cara menelaah karya sastra. Setiap teori (pendekatan) memiliki perbedaan dan persamaan yang pada akhirnya sama-sama mengkaji sebuah karya sastra. Salah satu teori yang telah disebutkan sebelumnya adalah strukturalisme. Sesuai dengan namanya, teori ini berkeyakinan bahwa karya sastra dapat dibongkar strukturnya. Artinya, kajian terhadap sebuah karya sastra dilakukan dengan memperhatikan karya sastra itu sendiri sebagai sebuah output yang mandiri. Karya sastra menurut teori ini merupakan sebuah karya yang otonom (berdiri sendiri) sehingga analisis terhadap karya sastra itu dilakukan dengan memperhatikan unsur yang ada di dalam karya sastra itu saja. Teori strukturalisme kemudian bergabung dengan pandangan marxisme. Marxisme adalah sebuah pandangan Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 1

Transcript of 111267460 Hasil Penelitian Sastra Contoh Analisis Novel

BAB 1 PEMBUKAAN

BAB 1 PEMBUKAAN1. Latar Belakang

Sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan berbagai cara. Cara yang dapat digunakan untuk menelaah karya sastra antara lain dengan menggunakan teori strukturalisme, stilistika, semiotika, feminisme, dan yang lain. Teori tersebut memberikan berbagai masukan mengenai cara menelaah karya sastra. Setiap teori (pendekatan) memiliki perbedaan dan persamaan yang pada akhirnya sama-sama mengkaji sebuah karya sastra.

Salah satu teori yang telah disebutkan sebelumnya adalah strukturalisme. Sesuai dengan namanya, teori ini berkeyakinan bahwa karya sastra dapat dibongkar strukturnya. Artinya, kajian terhadap sebuah karya sastra dilakukan dengan memperhatikan karya sastra itu sendiri sebagai sebuah output yang mandiri. Karya sastra menurut teori ini merupakan sebuah karya yang otonom (berdiri sendiri) sehingga analisis terhadap karya sastra itu dilakukan dengan memperhatikan unsur yang ada di dalam karya sastra itu saja.

Teori strukturalisme kemudian bergabung dengan pandangan marxisme. Marxisme adalah sebuah pandangan yang tidak mempercayai bahwa sebuah teks adalah sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri. Marxisme mempercayai bahwa sebuah teks (termasuk di dalamnya karya sastra) merupakan suatu sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka (Hudayat, 2007: 62).

Penggabungan teori strukturalisme dengan pandangan maxisme menghasilkan strukturalisme genetik. Maka, strukturalisme genetik merupakan sebuah kajian sastra dengan menelaah struktur yang terdapat di dalam karya sastra itu (karya sastra sebagai karya yang otonom) dan sekaligus menelaah kajian sosiokultural pengarangnya, dan sosiokultural yang terjadi pada saat karya sastra itu terbit. Hal inilah yang nantinya dikenal dengan mengkaji karya sastra berdasarkan struktur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra itu.Bilangan Fu salah satu karya Ayu Utami. Ayu Utami memenangkan sayembara penulisan Roman (Novel) Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novel pertamanya berjudul Saman. Saman telah diterbitkan dalam enam bahasa asing. Novel tersebut juga memenangkan Prince Claus Award dari Belanda pada tahun 2000, sementara Bilangan Fu meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2008.Sampai saat ini Ayu Utami telah menghasilkan Saman (KPG, 2008), Larung (KPG,2001), kumpulan kolom Si Parasit Lajang (Gagas Media: 2003), naskah drama Sidang Susila (2008), Bilangan Fu (KPG: 2008). Sedangkan novel terbaru Ayu Utami adalah Manjali dan Cakrabirawa yang merupakan roman pertama misteri seri Bilangan Fu, yaitu serial yang berhubungan dengan novel Bilangan Fu (http://ayuutami.com/, diakses 7 September 2010).

Peneliti tertarik mengkaji novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini didasarkan pada beberapa alasan berikut

a. Ayu Utami adalah seorang penulis muda yang mendapat banyak pujian dan sekaligus banyak mendapat celaan. Berbagai ulasan di internet menjuluki Ayu Utami sebagai sastrawan sastrawangi. Hal tersebut dikarenakan novel Ayu Utami banyak mengangkat kisah seputar sex dan sexualitas.

b. Ayu Utami beragama Katolik. Dalam novelnya, peneliti menemui banyak nuansa agama Katolik walaupun Ayu Utami tidak menyatakan ke-katolik-annya secara langsung.

c. Pada novel Bilangan Fu, Ayu Utami juga mengangkat kisah yang (dalam interpretasi peneliti) serupa dengan kisah Yesus dan 12 rasulnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kisah kotbah di bukit yang juga mirip dengan kisah yang sama yang terdapat di Alkitab. Nama tokoh utamanya (Yudha) disampaikan Ayu dapat menyerupai Yudas (terutama jika diucapkan sambil mendesis). Selain itu, sifat Yudha yang suka bertaruh serupa dengan sikap Yudas Iskariot, murid Yesus yang menghianati-Nya.

d. Ayu Utama menyatakan bahwa novelnya ini merupakan novel spiritualisme kritis. Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti tertarik untuk menyelaminya lebih dalam melalui strukturalisme genetik.

e. Kisah dalam Bilangan Fu menurut peneliti merupakah kisah yang didasari dengan riset yang cukup dalam. Oleh sebab itu, teori strukturalisme genetik dianggap cocok untuk dijadikan dasar penganalisisan Bilangan Fu.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah kajian Bilangan Fu dengan menggunakan teori strukturalisme genetik?Selanjutnya rumusan masalah di atas dibagi menjadi beberapa rumusan masalah berikut

a. Bagaimana analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya?

b. Bagaimana analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu?

c. Bagaimana analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu?

d. Bagaimana hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu?3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguraikan kajian Bilangan Fu dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikuta. Mengetahui hasil analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya.

b. Mengetahui hasil analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu.

c. Mengetahui hasil analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu.

d. Mengetahui hasil analisis hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah

a. menambah wawasan dan pengetahuan pembaca berkaitan pengaplikasian teori strukturalisme genetik pada novel, dalam hal ini pada novel Bilangan Fu,b. menjadi sumber referensi bagi peneliti lain yang tertarik pada bidang kajian yang sama.

Manfaat praktis penelitian ini adalah

a. sebagai sumbangan pemikiran kepada pembaca berkaitan pengaplikasian teori strukturalisme genetik pada novel Bilangan Fu,

b. hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi berkaitan dengan analisis strukturalisme genetik pada novel Bilangan Fu.BAB 2 LANDASAN TEORI1. Kajian Penelitian yang Relevan

a. Penelitian Strukturalisme Genetik

1) Penelitian berjudul Strukturalisme Genetik Asmaraloka, karya Gustaf Sitepu, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (http://repostory.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 5783/1/ 09E01966.pdf, diakses 7 September 2010).

Lima hasil penelitian Gustaf Sitepu adalah

a) Dalam menghadapi persoalan, tokoh-tokoh novel Asmaraloka melakukan penyerahan sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Salat dan zikir merupakan jalan keluar yang dilakukan para tokoh novel dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh tiap tokoh.

b) Sesuai dengan latar kehidupan sosialnya, Danarto dalam novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial yang dianutnya.

c) Yang melatarbelakangi lahirnya novel Asmaraloka karya Danarto adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998.

d) Melalui novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa untuk keluar dari krisis moral akibat permusuhan antargolongan diperlukan kesadaran penyucian hati semua manusia Indonesia.

e) Dalam novel Asmaraloka terdapat 182 proses mental. Proses mental persepsi mempunyai persentase yang tinggi, yakni 80 klausa atau 43,95%. Sedangkan proses mental afeksi sebanyak 57 klausa atau 31,32% dan proses mental kognisi sebanyak 45 klausa atau 24,73%. Tingginya persentase proses mental persepsi yang diikuti proses mental afeksi menunjukkan bahwa Danarto ingin menggambarkan dengan gamblang bagaimana keadaan jiwa para tokoh yang merasa frustasi dalam menghadapi suasana perang yang tidak senyatanya.

2) Penelitian berjudul Analisis Strukturalisme Genetik Dalam Roman Germinal Karya Emile Zola, karya Agung Wijayanto, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (http://lib.unnes.ac.id/4503/, diunduh pada 2 November 2011).

Hasil penelitian Agung Wijayanto adalah tema pokok dalam roman Germinal ini adalah penderitaan yang dialami kaum buruh tambang Voreux viii sebagai akibat eksploitasi dari kaum borjuis. Tokoh utama dalam roman ini adalah Etienne Lantier. Tokoh tambahan dalam roman ini adalah Maheu, La Maheude, Catherine, Chaval, Hennebeau, Bonnemort, Souvarine, dan Rasseneur. Germinal beralur maju atau progressif karena roman ini dimulai dari awal cerita hingga akhir tanpa adanya cerita pengulangan. Dalam roman Germinal rangkaian peristiwa yang ditampilkan berlangsung di komplek pertambangan Montsou dan di pemukiman Deux cents quarante yang keduanya terletak di Anzin. Dalam fakta kemanusiaan membahas mengenai konteks sejarah pada masa kekaisaran kedua pada abad XIX. Dalam Subjek Kolektif membahas tentang perbedaan yang sangat mencolok antara kehidupan buruh tambang dengan kehidupan borjuis. Dalam Pandangan Dunia Pengarang membahas tentang ideologi Emile Zola yang menganut sosialisme dan penggambaran ideologi Emile Zola melalui tokoh utama yaitu Etienne Lantier. Dalam proses Dialektika, tesis ditimbulkan oleh Kapitalisme. Tujuan dari kapitalisme adalah uang yang artinya mengumpulkan pundi-pundi uang untuk kaum borjuis sebagai pemilik modal. Kaum borjuis menggunakan watak kapitalismenya melalui eksploitasi dan akumulasi untuk mempertahankan kekayaannya, tetapi cara tersebut menimbulkan kesengsaraan bagi buruh. Sikap-sikap dari kapitalisme menimbulkan antithesis dari sosialisme. Dalam novel Germinal terdapat dua aliran sosialisme yaitu Marxisme dan Anarkisme. Marxisme menggunakan diskusi dan jalan damai untuk mencapai tujuan mereka. Ternyata cara yang digunakan oleh Marxisme tidak efektif dan membuang-buang waktu saja. Kemudian timbul antithesis dari Anarkisme yang menggunakan cara-cara anarki untuk mencapai tujuan mereka. Dalam novel Germinal tidak ditemukan sintesisnya, karena tidak ada yang dapat menyatukan antara Kapitalisme, Marxisme, maupun Anarkisme dan masing-masing paham tersebut mempunyai jalan keluar sendiri-sendiri.

3) Penelitian berjudul Strukturalisme Genetik Drama Panembahan Reso Karya W.S. Rendra, karya Budi Waluyo, mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta (http://pasca.uns.ac.id/?p=1028, diunduh pada 2 November 2011).Hasil temuan penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik menunjukkan bahwa: (1) Pandangan dunia Rendra terhadap naskah drama Panembahan Reso, bahwa naskah drama ini sarat dengan kritik sosial atas keadaan negeri ini; (2) struktur drama Panembahan Reso yang terdiri dari plot atau kerangka cerita, penokohan atau perwatakan, dialog atau percakapan, setting atau tempat kejadian, tema atau nada dasar cerita, amanat atau pesan pengarang, petunjuk teknis dan konflik tersusun dengan sangat menarik dan memiliki keterjalinan yang erat sehingga drama Panembahan Reso karya W.S. Rendra tergolong sebagai drama yang baik; (3) ketimpangan dan kesewenang-wenangan panguasa pada masa orde baru menjadi latar belakang terciptanya naskah drama ini; (4) pandangan W.S. Rendra terhadap suksesi atau pergantian kekuasaan pada drama Panembahan Reso terdapat kelemahan yaitu adanya pemimpin yang berkuasa terlalu lama dan kurangnya kebebasan berpendapat; dan (5) ada persamaan dan perbedaan antara drama Panembahan Reso karya Rendra dengan drama Macbeth karya William Shakespeare, dan sekaligus ada nuansa keterpikatan Rendra terhadap karya-karya William Shakespeare.

4) Penelitian Virry Grinitha berjudul Analisis Strukturalisme Genetik Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer, mahasiswa Universitas Bengkulu (http://library.unib.ac.id/koleksi/Virry%20 Grinitha-Abst-FKIP-PendBIN-Des2010.pdf, diunduh pada 2 November 2011).Hasil penelitian Virry Grinitha adalah tokohtokoh yang terdapat pada novel Bumi Manusia dalam menghadapi problemnya dengan perjuangan, nilainilai perjuangan tersebut diharapkan mengingat kita bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dan orang lain harus menghormati hakhak tersebut tanpa melihat ras, status sosial,bangsa maupun jenis kelamin, sesuai dengan sosiologis Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia serta sejarah yang melatarbelakangi lahirnya novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.5) Ulasan dari Dwi Vian yang merupakan anggota komunitas sastra (dan pertunjukan drama) Komunitas Segogurih, berjudul Tinjauan Strukturalisme Genetik terhadap Lakon BLEG-BLEG THING (http://komunitassegogurih.wordpress.com/2011/07/23/tinjauan-strukturalisme-genetik-terhadap-lakon-%E2%80%9Cbleg-bleg-thing%E2%80%9D/, diunduh pada 2 November 2011).Hasil penelitiannya Dwi Vian adalah naskah BLEG-BLEG THING karya Yusuf Peci Miring merupakan naskah yang berkisah tentang masyarakat kelas bawah yang selalu tertindas dan ditindas. Jika dikaji melalui pendekatan struktural genetik naskah ini bisa mewakilkan keadaan sosial masyarakat miskin kota. Dalam naskah ini pengarang yang memiliki latar belakang social sebagai pekerja LSM yang umumnya bergerak di bidang masyarakat miskin, benar-benar bisa menggambarkan bagaimana nasib masyarakat miskin kota. Naskah ini sarat dengan kritik-kritik sosial, dan pengarang juga mengkritik pemerintah.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang telah diuraikan di atas terleak pada bahan bakunya. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme genetik, namun diaplikasikan pada novel yang berbeda.

b. Penelitian Novel Bilangan Fu1) Penelitian Adil Sastrawan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berjudul Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu (http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id= digilib- uinsuka--adilsastra-5569, diunduh pada 2 November 2011).

Hasil penelitian Adil Sastrawan adalah bentuk-bentuk spiritualitas yang terdapat dalam novel Bilangan Fu, memiliki kecenderungan mengarah pada spiritualitas masyarakat primitif. Kepercayaan terhadap mitos, legenda rakyat, mahluk-mahluk halus, merupakan bentuk-bentuk spiritualitas yang diungkapkan dalam novel ini. Dengan kepiawaian penulis novel dalam membahasakan, menghubungkan dan membenturkan dengan berbagai bentuk pandangan modernitas yang cenderung meninggalkan spiritualitas, sehingga bentuk spiritualitas yang terdapat dalam novel ini mampu memberi alternatif baru dalam bersikap dan bertindak dengan tanpa meninggalkan spiritualitas dan juga tidak mernjadi primitif.

Secara garis besar, nilai-nilai spiritualitas yang terdapat dalam nonel ini merupakan kritik terhadap cara pandang masyarakat modern yang cenderung antroposentris dan anti ekologi. Alih-alih mengajak masyarakat untuk kembali "menyembah" pohon, percaya pada mitos dan mahluk-mahluk halus, nilai dan pesan yang terkandung didalamnya pada dasarnya hanyalah mengajak untuk untuk menghormati ibu (alam), karena ibu adalah yang mengandung, melahirkan serta menyusui anak-anaknya.

2) Penelitian Pangky Sudarwanto, mahasiswa Universitas Airlangga, berjudul Kepoufanikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami (http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 468819525_abs.pdf, diunduh pada 8 November 2011).

Hasil penelitian Pangky Sudarwanto adalah: Bilangan Fu mengandung banyak suara yang disampaikan secara bebas keluar dari kesadaran tokoh. Suara-suara dari argumentasi tokoh merupakan genre polifonik dalam novel. Novel polifonik selalu cenderung dialogis. Novel Bilangan Fu telah memberikan unsur dialogis tersebut. Secara garis besar faktor pemicu kedialogisan dalam Bilangan Fu terletak pada segi tematik yang direduksi dari realitas untuk dijadikan sebuah gagasan. Gagasan yang dimunculkan merupakan hasil perdebatan antara tokoh-tokoh dan pengarang itu sendiri. Pengarang seringkali memprovokasi para tokoh dalam membangun sebuah cerita. Latar yang disuguhkan pun sesuai dengan latar karnival, yakni, pada tempat umum yang mempunyai ruang lingkup yang cukup luas.3) Penelitian Rina Viniati, mahasiswa program pascasarjana Universitas Sebelas Maret dengan judul Mistik Kejawen dalam Novel Bilangan Fu (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan) (http://pasca.uns.ac.id/?p=882, diunduh pada 2 November 2011).

Hasil penelitian Rina Viniati adalah (1) pandangan tokoh-tokoh di dalam novel Bilangan Fu terhadap mistik kejawen terungkap ada tiga hal: modernisme, religius, dan rasional; (2) budaya mistik kejawen yang masih berjalan di masyarakat modern adalah sajenan; (3) relevansi budaya mistik kejawen dalam novel Bilangan Fu dengan kondisi masyarakat yang sebenarnya berupa upacara perayaan dihari-hari yang dianggap keramat; (4) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah nilai spiritual dan nilai vitalitas dalam kehidupan masyarakat kejawen.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang dipaparkan di atas terletak pada teori yang digunakan untuk menganalisis novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.

2. Kajian Teori

a. Pencetus dan Dasar Pemikiran Strukturalisme Genetik

Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Prancis Lucien Goldman, seorang ahli sastra Perancis (Iswanto dalam Jabrohim, 2003: 60). Strukturalisme genetik (genetic structuralism) dikembangkan Goldmann atas dasar pemikiran seorang Marxis lain bernama Georg Lukacs.

Goldmann menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara sosiologi sastra dan aliran strukturalis (Teeuw, 1988: 152). Pendekatan ini tidak hanya sepakat dengan pendekatan stukturalisme yang memandang sastra sebagai sebuah karya yang otonom saja, melainkan juga menyepakati pendekatan marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan keliteraran sebuah karya sastra.

Pendekatan strukturalisme genetik memperbaiki kekurangan pendekatan strukturalisme dan kekurangan pendangan marxisme. Kekurangan pendekatan strukturalisme adalah memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang otonom. Pengkajian terhadap karya sastra mengabaikan unsur pengarang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari karya sastra. Sedangkan marxisme memandang karya sastra sebagai produk/ reaksi sebuah kejadian sosial kemasyarakatan. Hal ini tentunya memiliki kekurangan, yaitu adanya kenyataan bahwa sedekat-dekatnya sebuah karya sastra dengan realitas sosial karya satra tersebut tetaplah mengandung unsur imajinatif.

Teeuw (1988: 153) menuliskan pendapat Goldmann sebagai berikut

Goldmann mengemukakan bahwa setiap karya sastra yang penting mempunyai structure significative, yang menurut Goldmann bersifat otonom dan imanen, yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann struktur kemaknaan itu tidak mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya.

Strukturalisme genetik (Hudayat, 2007: 63) memandang sastra merupakan suatu sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka. Artinya, kajian strukturalisme genetik terjadi pada tataran struktural karya sastra dan kajian terhadap kondisi kemasyarakatan yang terjadi sebagai latarbelakang kemunculan sebuah karya sastra.

Damono dikutip Sitepu (2009: 40) menuliskan,

Strukturalisme genetik sebagai teori penelitian sosiologi sastra memiliki empat ciri mendasar. Pertama, perhatian utama strukturalisme genetik adalah keutuhan atau totalitas. Totalitas itu lebih penting daripada bagian-bagiannya. Totalitas dan bagiannya dapat dijelaskan jika dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada antara bagian-bagian itu. Sasaran strukturalisme genetik adalah jaringan hubungan-hubungan yang ada antara bagian-bagian itu menyatukannya menjadi totalitas. Kedua, strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaan, tetapi struktur di balik kenyataan empiris. Ketiga analisis strukturalisme genetik adalah analisis sinkronis dan bukan diankronis. Perhatian dipusatkan pada hubungan-hubungan yang ada; pada suatu saat pada suatu waktu. Keempat, strukturalisme genetik mempercayai hukum perubahan bentuk dan bukan kausalitas.Secara umum, strukturalisme genetik dibagun oleh prinsip struktur-historisdialektik yang berarti pemahaman sebuah karya sastra harus berangkat dari struktur teks dan tidak hanya berhenti di situ saja melainkan juga mengkaitkan bagian-bagian itu menjadi sebuah totalitas analisis (Sitepu, 2009: 38). Oleh sebab itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan kajian karya sastra berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.

b. Strukturalisme dalam Strukturalisme GenetikBerdasarkan uraian di bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme genetik merupakan gabungan pandangan strukturalisme dan pandangan marxisme dalam sebuah karya sastra. Artinya, strukturalisme genetik mengakui keberadaan karya sastra sebagai sebuah struktur yang bisa dipahami sebagai secara struktural pula.

Persoalan selanjutnya adalah beberapa ahli sastra memiliki pendapat tersendiri tentang kajian struktur karya sastra. Ahli sastra itu antara lain Propp, Greimas, dan Trodov. Kebanyakan konsep yang berkaitan dengan struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik yang berkaitan dengan struktur formal bahasa. Hanya beberapa diantaranya yang mencoba membagun pola struktur semantiknya dengan mendasarkan pada konsep semantik bahasa. Tokoh yang mengemukakan hal ini adalah Barthes dan Greimas. Strukturalisme genetik berkaitan dengan struktur karya sastra yang cenderung bersifat semantik seperti yang dikemukakan oleh Barthes dan Greimas walaupun tidak sama persis (Hudayat, 2007: 6970).

Tetapi yang paling mendekati konsep strukturalisme genetik adalah strukturalisme LeviStrauss. Dengan menggunakan fonologi sebagai dasarnya, strukturalisme LeviStrauss berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Maksudnya bangunan dunia sosial dan kultural manusia dilihat sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar binarisme, terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu dengan yang lain (Hudayat, 2007: 70).

Halliday dikutip Sitepu (2009: 43) menjelaskan adanya satu unit pengalaman yang sempurna dan direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah proses (process), partisipan (participant), dan sirkumstan (circumstance). Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa tersebut. Bentuk atau wujudnya adalah kata kerja atau verba. Partisipan adalah orang atau benda yang terlibat dalam proses mental tersebut. Sedangkan sirkumstan adalah lingkungan tempat partisipan dan proses itu bertemu dan terjadi.

c. Metode DialektikSeperti yang telah dipahami di bagian sebelumnya bahwa strukturalisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang saling berkaitan dan membentuk struktur keseluruhan karya sastra. Hudayat (2007: 71) mengemukakan,

Struktur karya sasra itu hanya dapat dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan bolak balik itu dianggap selesai jika koherensi antara keseluruhan dan bagian-bagiannya telah terbangun.

Hal ini berarti menganalisis karya sastra dengan menggunakan struturalisme genetik tidak bisa berhenti jika struktur karya sastra telah dianalisis lalu dihubungkan dengan struktur yang lebih besar. Tetapi, kajian sastra itu haruslah kembali lagi (mengembalikan lagi) struktur yang besar ke dalam struktur karya sastra itu sehingga membentuk pemahaman yang menyeluruh.

d. Kategori dalam Strukturalisme GenetikPaul Johnson dikutip Faruk (1988: 70) menyatakan bahwa struktural genetik adalah teori ilmiah yang eksplisit. Artinya, seperangkat konsep yang terbangun dari konsep yang paling abstrak hingga konsep yang paling konkret dinyatakan secara sistematik, saling berhubungan secara logis, dan didasarkan teguh pada data empirik. Hal ini berarti kajian strukturalisme genetik tidak dapat dilepaskan dari kajian konsep-konsep yang berhubungan secara langsung dan tak langsung dengan karya sastra tersebut.

Goldmann menopang teorinya dengan membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kategori tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.

1) Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta tersebut dapat berupa fakta aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni sastra, dan lainnya (Faruk, 1994: 12). Artinya, fakta kemanusiaan adalah perwujudan ekspresi manusia dalam bersosialisasi dengan manusia yang lain. Juga merupakan ekspresinya sebagai aktualisasi diri manusia dalam masyarakatnya.

Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus-menerus, karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang merupakan aktivitas kultural manusia memperoleh artinya. Proses tersebut yang sekaligus merupakan genesis dari struktur karya sastra (Faruk, 1994: 14).

2) Subjek Kolektif

Fakta kemanusiaan muncul akibat hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Oleh sebab itu, subjek fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis).

Subjek kolektif dapat dibentuk dari struktur mental pengarang yang merupakan hasil bentukan antara pribadi pengarang, keluarga, dan lingkungan sosial (Sitepu, 2009: 24). Karya sastra yang dihasilkan merupakan perwujudan struktur mental pengarang yang mencerminkan subjek kolektifnya.

3) Pandangan Dunia (Vision du Monde)

Pandangan dunia diatikan sebagai struktur global yang bermakna, sebuah pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitan serta keutuhannya (Sitepu, 2009: 28). Pandangan dunia merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang mampu menyatukan suatu kelompok sosial lainnya. Gagasan, aspirasi, dan perasaan tersebut merupakan respon atas realitas yang tidak dikehendaki oleh pengarang. Maka, pengarang mencoba mencari jalan keluar dari realitas tersebut.

4) Pemahaman-Penjelasan dan Keseluruhan-Bagian

Kajian terhadap karya sastra haruslah merupakan kajian yang memahami struktur secara menyeluruh. Pemahaman karya sastra sebagai struktur yang menyeluruh akan mengarahkan pada penjelasan hubungan sastra dengan sosiobudaya sehingga karya tersebut memiliki arti.

Saraswati dikutip Sitepu (2009: 31) mengatakan bahwa konsep keseluruhan-bagian merupakan dialektika antara keseluruhan dan bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari bagian-bagiannya, dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami jika ditempatkan secara keseluruhan. Pemahaman merupakan sebuah proses yang melingkar terus menerus dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian ke keseluruhan.

Dari uraian mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan strukturalisme genetik di atas, dapat disimpulkan bahwa proses analisis sastra dimulai dari struktur karya sastra tersebut sebagai sebuah konsep yang paling konkret. Struktur karya sastra dianggap sebagai konsep yang paling konkret dikarenakan kajian struktural tersebut langsung berkaian dengan karya sastra yang dianalisis.

Proses selanjutnya adalah mengkaitan pemahaman mengenai struktur yang telah dianalisis tersebut dengan realitas sosial yang menjadi dasar pemikiran kemunculan karya sastra tersebut. Tahapan ini disebut dengan konsep pandangan dunia.

Setelah sampai pada konsep pandangan dunia, penelusuran strukturalisme genetik dapat dilanjutkan dengan melihat kembali dengan mengkaitkan realitas sosial yang menjadi dasar kemunculan karya sastra dengan reaksi pengarang terhadap realitas tersebut. Maka perlu diketahui latar belakang pengarang yang sebenarnya. Latar belakang tersebut nantinya yang memberikan informasi pandangan pengarang sebagai subjek kolektif dan sekaligus subjek komunal dalam karya sastra tersebut.

Selanjutnya, setelah mengenahui subjek kolektifnya, karya sastra dan kepengarangan tersebut dapat menunjukkan kepada penganalisis mengenai fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan ini merupakan konsep paling abstrak dalam analisis dengan pendekatan strukturalisme genetik.

Langkah selanjutnya adalah melihat ulang atau mereview analisis tersebut. Analisis dalam kerangka abstrak (besar) hingga masuk ke dalam kerangka sederhana yaitu struktur yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Setelah muncul penjelasan mengenai karya sastra itu dari bagian ke keseluruhan dan keseluruhan ke bagian, maka analisis strukturalisme genetik bisa dikatakan selesai.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis strukturalisme genetik dilakukan dengan mencari empat konsep yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Untuk lebih memudahkan proses ini, maka konsep yang dianalisis dimulai dari konsep yang paling konkret menuju konsep yang paling abstrak. Artinya analisis karya sastra akan dimulai dengan analisis unsur intrinsiknya sebelum masuk pada konsep yang lain.

3. Bilangan Fu

Bilangan Fu lahir pada tahun 2008. Di bagian ucapan terimakasih, Ayu Utami mengungkapkan terimakasihnya pada Erik Prasetya dengan menuliskan Usaha pembuahannya yang berkali-kali gagal memakan waktu empat tahun, proses mengandung-menuliskannya menghabiskan sembilan bulan (Utami, 2008: 535). Dari pernyataan tersebut, dapat diasumsikan bahwa novel ini mulai dipikirkan untuk dibuat sekitar tahun 2004.

Tetapi perkiran mengenai tahun pembuatan ini belum secara otomatis menunjukkan proses pemikiran Ayu Utami. Ia banyak berbicara, bertemu, dan membaca tulisan orang lain yang memperkaya inspirasi menulisnya. Tokoh-tokoh yang disebutkan Ayu dalam ucapan terimakasihnya turut memberi andil yang besar terhadap pemikiran Ayu Utami dalam Bilangan Fu.

Salah satu tokoh yang ditemui Ayu Utami adalah para kelompok pemanjat tebing Skygers. Utami (2008: 534) menuliskan Teddy Ixdiana, penerusnya yang paling banyak memberi waktu bagi saya sejak akhir 2003. Hal ini mengindikasikan bahwa Bilangan Fu sudah menjadi inspirasi bagi Ayu Utami pada tahun 2003 akhir, namun belum sempat dituliskannya dalam bentuk sebuah novel yang utuh.

Bilangan Fu pada awalnya berinisial Jalur 13. Namun, Ayu Utami menganggap angka 13 sebagai angka sial. Angka ini sebenarnya embrio yang ingin diperkenalkan oleh Ayu Utami sebagai angka permainan dengan bilangan berkesan angker. Stigma keangkeran angka itu sanggup memerdayainya untuk menggunakan atribut bilangan 13. Atas dasar itu, Bilangan Fu berkonotasi sebagai bilangan metaforis dan spiritual berkembang menjadi serbaneka hidup dan kehidupan yang akrab dengan sikap kritis (http://johnherf.wordpress.com/2008/07/24/spiritualisme-kritis-ayu-utami/, diunduh pada 7 September 2010).

4. Sinopsis Bilangan Fu

Bilangan Fu berkisah tentang pemanjat tebing. Tokoh utamanya adalah Yudha yang merupakan seorang pemanjat kotor (meminjam istilah Parang Jati). Tokoh selanjutnya adalah Parang Jati, seorang pemuda yang memiliki dua belas jari. Parang Jati mengajak Yudha untuk pindah agama, dari pemanjat kotor (pemanjat yang selalu menggunakan alat pemanjatan sehingga memungkinkan kerusakan tebing) menjadi pemanjat bersih. Tokoh lain yang juga berperan dalam Bilangan Fu adalah Marja. Marja adalah kekasih Yudha.

Bagian awal Bilangan Fu dimulai dengan kisah tentang sebuah almari. Almari tersebut berisi banyak benda yang tidak layak disebut dengan koleksi pada umumnya. Ada stoples berisi ruas kelingking, ada sebuah tulang iga, ada sebuah nisan, dan lainnya. Hampir semua benda yang menghuni lemari tersebut didapatkan Yudha dari hasil bertaruh.

Awal pertemuan Yudha dengan Parang Jati terjadi saat Yudha pergi ke Bandung. Parang Jati adalah mahasiswa geologi yang akan melakukan penelitian di perbukitan kapur Sewugunung dan sekitarnya. Tujuan Yudha ke Bandung adalah untuk memesan alat pemanjatan pada temannya yang bernama Fulan. Disanalah ia bertemu dengan Parang Jati yang memesan alat pemanjatan pula. Yudha mengajak Parang Jati untuk mampir ke kontrakan Marja. Di tempat itulah, ketiga tokoh ini bertemu.

Bilangan Fu sendiri merupakan bilangan yang diciptakan oleh Yudha. Yudha penasaran dengan bunyi desau angin yang menyerupai bunyi hu. Bunyi itu didengar Yudha ketika ia bergantung di tali pengaman sambil memandangi celah tebing yang dinamakannya Sebul, di deretan tebing Watugunung yang berada di daerah Sewugunung. Watugunung nantinya disebut Yudha sebagai Batu Bernyanyi. Menurut Yudha, bilangan fu atau bilangan hu merupakan bilangan sempurna yang merupakan angka 13. Bilangan fu atau bilangan hu dilambangkan dengan .

Bilangan Fu tidak hanya bercerita tentang tebing-tebing yang dipanjat Yudha saja. Bilangan Fu juga berbicara tentang numerulogi, ketuhanan, pelestarian alam, dan kritik sosial yang cukup pedas terhadap situasi sosial ekonomi politik yang terjadi pada era 1998.

5. Ayu Utami

Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat pada 21 November 1968. Ia bernama lengkap Justina Ayu Utami. Ayu menamatkan pendidikannya di SD Regina Pacis Bogor (1981), SMP Tarakanita 1 Jakarta (1984), SMA Tarakanita 1 Jakarta (1987), Jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994), Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995), dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).

Pada mulanya, Ayu adalah seorang wartawan. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Ayu juga seorang kurator Teater Utan Kayu, dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Ayu menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 20062009. Kini, ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu (http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami, diakses 7 September 2010).

Ayu Utami memenangkan sayembara penulisan Roman (Novel) Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novel pertamanya berjudul Saman. Saman telah diterbitkan dalam enam bahasa asing. Novel tersebut juga memenangkan Prince Claus Award dari Belanda pada tahun 2000.

Sampai saat ini Ayu Utami telah menghasilkan Saman (KPG, 2008), Larung (KPG,2001), kumpulan kolom Si Parasit Lajang (Gagas Media: 2003), naskah drama Sidang Susila (2008), Bilangan Fu (KPG: 2008). Sedangkan novel terbaru Ayu Utami adalah Manjali dan Cakrabirawa yang merupakan roman pertama misteri seri Bilangan Fu, yaitu serial yang berhubungan dengan novel Bilangan Fu (http://ayuutami.com/, diakses 7 September 2010).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best dikutip http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 2011). Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan sobjek yang diteliti secara tepat. Penelitian deskriptif yang baik sebenarnya memiliki proses dan sadar yang sama seperti penelitian kuantitatif lainnya. Disamping itu, penelitian ini juga memerlukan tindakan yang teliti pada setiap komponennya agar dapat menggambarkan subjek atau objek yang diteliti mendekati kebenaranya. Sebagai contoh, tujuan harus diuraikan secara jelas, permasalahan yang diteliti signifikan, variabel penelitian dapat diukur, teknik sampling harus ditentukan secara hati-hati, dan hubungan atau komparasi yang tepat perlu dilaukan untuk mendapatkan gambaran objek atau subjek yang diteliti secara lengkap dan benar (http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 2011). 2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitiannya ini adalah metode penelitian kepustakaan, yaitu menelaah data yang berupa buku-buku. Data primer adalah novel Bilangan Fu dan data sekunder diperoleh dari pembacaan novel yang berkaitan dengan Bilangan Fu.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah teks novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Gramedia Populer, Jakarta pada tahun 2008. Penelitian ini didukung pula oleh data skunder berupa sumber tertulis yang mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di Indonesia yang melahirkan novel Bilangan Fu.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan mengadakan kajian kepustakaan. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan observasi langsung pada novel Bilangan Fu. Langkah kerja penelitian ini adalaha. Membaca keseluruhan novel Bilangan Fu dengan cermat,

b. Peneliti melakukan identifikasi unsur intrinsik yang terdapat pada novel Bilangan Fu ini. Pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada tokoh dan penokohannya. Hal ini dikarenakan peneliti ingin mengkaji secara lebih mendalam kaitan novel ini dengan kitab suci agama Katolik.

c. Peneliti mencari data berkaitan dengan pengarang dan dunia kepengarangan.

d. Peneliti menghubungkan poin b dan c di atas untuk sampai pada tahap simpulan.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data tersebut dilaksanakan dengan cara: (1) pembacaan seluruh isi novel Bilangan Fu. (2) identifikasi dan analisis data unsur dominan, struktur novel Bilangan Fu, yaitu problematika tokoh melalui hubungan dengan struktur antartokoh dan lingkunganya, (3) identifikasi dan analisis data latar kehidupan sosial pengarang, Ayu Utami yang berhubungan dengan struktur novel Bilangan Fu, (4) identifikasi dan analisis data peristiwa-peristiwa sosial di Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Bilangan Fu, (5) penemuan pandangan dunia pengarang, Ayu Utami dalam novel Bilangan Fu, dan simpulan.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis strukturalisme genetik dalam Bilangan Fu ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya. Tahap kedua yaitu analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu. Tahap ketiga analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu. Tahap keempat adalah melihat hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.

1. Analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya.Tokoh-tokoh dalam Bilangan Fu adalah Yudha, Parang Jati, dan Marja. Selain ketiga tokoh tersebut, ada tokoh bernama Suhubudi, Fulan, Kupu-kupu, Penghulu Semar, pak Potiman, mbok Manyar, dan lain sebagainya.

Setiap tokoh dalam Bilangan Fu memiliki hubungan yang tidak hanya menimbulkan keterkaitan dalam cerita saja tetapi juga menimbulkan masalah satu dengan lainnya. Yudha, si tokoh utama dalam Bilangan Fu berpacaran dengan Marja, seorang mahasiswa desain yang berhati riang. Parang Jati adalah sahabat Yudha yang nantinya (kemungkinan) memberikan nuansa cinta segitiga di antara ketiga tokoh ini seperti nampak pada kutipan berikutMarja menyeret aku kepada seorang ibu pembaca tarot yang tengah menawarkan konsultasi di kios terbuka. Kartu Marja dibaca.

Akan ada cinta segitiga, ramalnya.

Kekasihku tertawa sementara akumenduga-duga. Sekarang giliran dia, Marja menunjuk padaku. Kartuku dibaca. Sang dukun mengangguk-angguk senang.

Akan ada cinta segitiga, ramalnya (Utami, 2008: 198)

Kutipan lain menunjukkan ramalan akan hubungan segitiga itu terjadi dengan memanfaatkan penggunaan kata segitiga yang sesungguhnya.

Ia berkata kepadaku, Bolehkah saya menumpang di sini malam ini?

Marja menjawab, Tentu boleh.

Malam itu ia tidur di atas kantong tidurku. Kami mendengar ia mendengkur lembut seperti bayi. Dan ia tinggal bersama kami lima hari lagi. Pada malam terakhir, kutemukan kami tidur membentuk segitiga. Tiba-tiba aku teringat ramalan dukun tarot itu (Utami, 2008: 212).

Tokoh lain adalah Suhubudi yang merupakan ayah angkat Parang Jati. Suhubudi merupakan orang terkaya di daerah Sewugunung itu. Ia memiliki hobi bermeditasi dan memiliki sebuah padepokan dimana terdapat aturan tidak berbicara ketika berada di padepokan tersebut (tempat itu dikondisikan tenang dan sunyi). Hal tersebut tampak pada kalimat Pintu terbuka. Kulihat lelaki itu duduk bersila sempurna, bagaikan padma, bagaikan mahaguru yoga (Utami, 2008: 301).Suhubudi menikah dengan seorang perempuan yang sangat cantik namun tidak bisa berbicara. Nama perempuan tersebut adalah Dayang Sumbi. Untuk menghargai perasaan Dayang Sumbi yang tidak dapat berbicara, Suhubudi pun menerapkan aturan di rumahnya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 296)

Sejak hari itu ia menerapkan sebuah pembagian wilayah di istananya. Pusat wilayah, yaitu bangunan joglo besar yang dikelilingi rumah-rumah Majapahitan, akan menjadi jeron padepokan Suhubudi. . Maka, di wilayah jeron negerinya, sejak hari itu orang tak boleh lagi bersuara dan berkata-kata. Biarlah semua orang yang berada di sana menjadi sama seperti Dayang Sumbi: tak memiliki pita suara.

Kisah di atas, mirip dengan salah satu fragmen dalam kisah perwayangan. Prabu Destarata (Bapak dari Bala [sekelompok] Kurawa) yang buta menikah dengan Dewi Gendari. Untuk menunjukkan rasa cintanya yang besar kepada Prabu Destarata, Dewi Gendari pun menutup matanya dengan kain hitam. Tak hanya sampai di situ, seluruh pelayan atau siapapun yang masuk di kompleks rumahnya pun harus menutup matanya dengan kain hitam.Suhubudi inilah yang memberi inspirasi Yudha tentang bunyi misterius yang diyakininya merupakan penjelmaan (pembunyian) angka paling sempurna dalam deret bilangan. Hal tersebut dinyatakan dalam peristiwa berikut (Utami, 2008: 302)Suhubudi telah menerima dan membacanya. Ia menuliskan sesuatu pada kertas baru. Cukup panjang.

Aku tak sabar.

Ia mengulurkan kertas jawabannya.

Tergesar-gesa aku menyimaknya.

adalah hu. Yaitu bilangan sunyi.

Parang Jati sendiri diketemukan oleh mbok Manyar di Sendang Hu atau Sendang ke tigabelas. Parang Jati diketemukan oleh mbok Manyar tersangkut di dekat lumut pakis dan bebatuan dan ia berada di dalam sebuah keranjang pandan seperti tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 217)Lubuk ketigabelas, atau yang dinamai Sendang Hu, atau Sendang Hulu, dimana dahulu ada burung hantu jelmaan nyai penjaga mataair dan bunga-bunga, burung yang bernyanyi hu hu. . Ia sedang menatap ke paras air di dekat kakinya. . Tersangkut dekat lumut pakis dan bebatu sebuah keranjang dari serat pandan. Di dalamnya ada seonggok bayi lelaki yang masih merah.Kisah penemuan (lahirnya) Parang Jati mirip dengan kisah kelahiran dan proses penyelamatan Nabi Musa. Cara yang digunakan Ayu Utami untuk memunculkan tokoh Parang Jati serupa dengan cara penyelamatan Nabi Musa dari kekejaman Firaun (yang menginginkan semua anak laki-laki dibunuh). Nabi Musa akhirnya ditemukan oleh puteri Firaun yang sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Nil bersama para dayangnya. Sedangkan Parang Jati ditemukan oleh seorang perempuan bernama Manyar, yaitu penjaga sendang.Berikut kisah penyelamatan Nabi Musa (Kitab Keluaran, Bab 2, Ayat 13)Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi; lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikanlah tiga bulan lamanya. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalkanya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil.Tokoh Suhubudi menjelma menjadi tokoh antagonis dalam konteks Parang Jati (yang memiliki dua belas jari) dan teman-temannya yang memiliki keanehan tubuh yang lain. Hal tersebut dikarenakan semua manusia yang memiliki keanehan tubuh dipertontonkan seperti sebuah sirkus yang ironis dalam sebuah pertunjukan bernama Klan Saduki.

Kupu-kupu adalah tokoh yang memiliki sejarah kelahiran yang sama dengan Parang Jati. Namun karena kehadirannya adalah kehadiran kedua (setelah Parang Jati muncul), maka Kupu-kupu tidak diadopsi oleh Suhubudi yang kaya raya tetapi diasuh oleh Parlan dan Mentel yang miskin. Ditambah Kupu-kupu memiliki badan yang normal, tidak seperti Parang Jati yang memiliki dua belas jari. Kupu-kupu dibesarkan oleh sebuah keluarga yang sangat miskin. Kupu-kupu ini memiliki kecemburuan atau iri terhadap segala keberuntungan material yang diterima Parang Jati.

Kecemburuan Kupu-kupu tersebut tampak pada peristiwa perebutan beasiswa. Tak hanya pada peristiwa itu saja, Kupu-kupu juga merasa iri karena Parang Jati mendapatkan peran utama dalam sebuah pementasan drama.

Kecemburuan Kupu-kupu terhadap Parang Jati tidak hanya dikarenakan keberuntungan material Parang Jati saja, tetapi memang dari awal penemuannya, Kupu-kupu sudah menyimpan kemarahan. Hal tersebut dikarenakan Nyi Manyar tidak menemukannya tepat waktu. Ayu Utami (2008: 229) melukiskannya sebagai berikutSetelah alpa sehari, keesokan harinya ia kembali mengunjungi pancuran-pancuran utama di desa itu. . Keranjang itu sama dan bayi itu serupa dengan yang ia dapati tiga tahun yang lalu. Tapi ia tak menemukan mata bidadari. Mata bayi itu nyalang penuh kemarahan. Nyi Manyar tersengat mundur sejenak. Tahulah Nyi Manyar bahwa bayi itu telah sejak kemarin diletakkan di mata air.

Tokoh yang cukup berperan mempertemukan Yudha dan Parang Jati adalah Fulan. Fulan adalah teman pemanjat tebing Yudha. Setelah menikah, Fulan memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang pemanjat. Tetapi kecintaannya akan panjat tebing tidak pudar. Oleh sebab itu, Fulan menjual alat-alat pemanjatan. Di rumah Fulan inilah Yudha dan Parang Jati bertemu.

Penghulu Semar mewakili pemimpin keagamaan. Sedangkan untuk perwakilan kepemerintahan diwakilkan dengan tokoh Pak Potiman Sutalip yang merupakan lurah Sewugunung. Tokoh militer diwakilkan dengan dua orang polisi yang disebut Yudha dengan Karna dan Kumbakarna (tokoh dalam pewayangan yaitu dua ksatria dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang hidup dalam dunia hitam/ jahat atau dua orang ksatria yang berpihak pada yang jahat).

Masalah yang menghubungkan hampir keseluruhan tokoh adalah pemanjatan dan Watugunung yang merupakan jajaran perbukitan kapur di daerah Sewugunung ini. Yudha yang seorang pemanjat terbiasa menggunakan alat untuk menjelajahi tebing. Hal ini ditentang oleh Parang Jati yang sejak awal begitu getol dengan teori pelestarian alamnya (termasuk menjaga Watugunung tetap terjaga keutuhannya). Parang Jati mengejek Yudha dan mengajaknya untuk menjadi pemanjat bersih yaitu pemanjat tebing yang tidak mengebor cincin emas ke tebing-tebing yang membuat tebing-tebing itu cepat hancur. Yudha yang beraliran sex bebas ini dimanfaatkan dengan apik oleh Parang Jati untuk menyindir seperti yang nampak pada kutipan berikut (Utami, 2008:7172):

Peralatan yang dapat ditemui hanyalah yang tidak bersikap sewenang-wenang pada alam. Tanggalkan bor, piton, paku, maupun pasak. Bawalah di sabuk kengkangmu pengaman perangko, penahan, sisip, dan pegas. Maka, pasanglah pengaman sesuai dengan sifat batu yang kau temui, tanpa merusaknya sama sekali. Jika kau tak bisa menempuhnya, maka kau tak bisa memanjatnya. Begitu saja. Itu tak mengurangi kehormatanmu sama sekali. Tak mengurangi kejantananmu juga.

Secred climbing.

Aku membuka mulutku hendak menggugat dia. Ketika itulah ia bersabda, Kamu biasa memaku dan mengebor perempuan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain.

Istilah ibunda untuk menggantikan tebing yang hendak dipanjat merupakan istilah Parang Jati. Parang Jati mengatakan bahwa bumi Indonesia adalah ibu pertiwi. Oleh sebab itu, pegunungan adalah ibu atau ibunda. Memanjat pegunungan diartikan Parang Jati sebagai memanjat ibunda.

Yudha dan Parang Jati juga memiliki keenganan (cenderung pada ketidaksukaan) terhadap birokrasi dan militer. Yudha tidak menyukai birokrasi namun masih sedikit mau menyukai militer. Yudha tidak menyukai birokrasi karena ia menganggap dirinya adalah seorang petualang. Bagi Yudha seorang petualang tidak akan pernah cocok bergaul dengan para birokrat yang senang dengan prosedural yang kaku dan sistematis. Sedangkan Parang Jati tidak menyukai birokrat dan militer karena keduanya dianggap berperan sangat besar dalam perusakan ekosistem atau keseimbangan alam (dalam hal ini tebing-tebing di Sewugunung). Oleh sebab itu, tokoh Potiman Sutalib menjadi tokoh yang memiliki konflik tersembunyi dengan Parang Jati seperti tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 390391) Aku tahu Parang Jati menyimpan kejengkelan pada Poniman Sutalip karena kepala desa ini melancarkan ijin perusahaan besar penambang batu itu bekerja di Sewugunung. Dan karena ia diam-diam mengelola penebangan jati yang kini semakin tak mengendalikan nafsu serakah. Pak Potiman adalah agen di tubuh wilayah ini yang akan pertama-tama merusak ekosistem

Ketidaksukaan Parang Jati terhadap para birokrat (pelaksana pemerintahan dan lainnya) dan juga pada militer nampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 81) Kalau kita mengebor dan memaku, kenapa tidak membuat tangga sekalian, dan memasang hiasan, patung, dan lampu, seperti yang dilakukan para birokrat pariwisata terhadap goa-goa dan kawah-kawah sehingga hilang kealamiahannya? Kalau kita merusak tebing, apa pula lebihnya kita dari serdadu?

Ketidaksukaan Parang Jati terhadap militer terlihat dalam kutipan berikut (Utami, 2008: 81) Pemanjatan kotor itu boleh. Tapi hanya cocok untuk militer. Karena tujuan mereka memang berperang dan menaklukkan. Yang ditaklukkan adalah musuh. Yaitu sesuatu di luar tebing itu sendiri. Bagi militer, tebing hanyalah medan yang harus ditempuh untuk mencapai target lain. Kita tahu cara-cara militer dan intelejen: serang, hancurkan, perkosa.

Sedangkan dengan Penghulu Semar keterkaitan langsung terjadi antara tokoh Penghulu Semar, Kupu-kupu, dan Parang Jati. Parang Jati menentang monoteisme dan mendukung animisme dan dinamisme. Penghulu Semar mengajarkan Kupu-kupu tidak takut kepada setan dan lain sebagainya. Ia merupakan perwakilan pemimpin agama (monoteis). Bagi Parang Jati, monoteisme yang melarang pemberian sesaji kepada alam (pohon, laut, telaga, dan lainnya) merupakan salah satu penyebab orang tak lagi takut untuk merusak alam. Menurut pemikiran Parang Jati, jika seseorang percaya bahwa sebuah pohon memiliki penunggu, maka orang tak berani menebangnya. Jika orang tak berani menebang pohon itu, berarti pohon itu akan terus hidup. Dengan terus hidup, berarti pemanasan global dapat dicegah dengan cara sederhana.2. Analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu.Ayu Utami beragama katolik. Secara tidak langsung nuansa keagamaan (dalam hal ini agama Katolik) dimunculkan Ayu Utami dalam Bilangan Fu. Contohnya, ia menggunakan kata sabda yang dipilihnya untuk menggantikan kata berkata. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 72)

Aku membuka mulutku hendak menggugat dia. Ketika itulah ia bersabda, Kamu biasa memaku dan mengebor perempuan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain.Dalam Bilangan Fu, Ayu Utami dengan hati-hati menyisipkan perikop Alkitab dari Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu. Kehati-hatian Ayu nampak dengan meminta Romo Magnis Suseno untuk membaca novel ini sebelum diterbitkan (Utami, 2008: 535).

Franz Magnis-Suseno, SJ bernama asli Franz Graf von Magnis atau nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Sebagai seorang pastur, Magnis-Suseno memiliki panggilan akrab Romo Magnis. Romo Magnis adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan Indonesia. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Romo Magnis juga dikenal sebagai seorang Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel. Buku "Etika Jawa" dituliskan setelah ia menjalani sabbatical year di Paroki Sukoharjo Jawa Tengah. Buku lain yang sangat berpengaruh adalah "Etika politik" yang menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan ilmu politik di Indonesia. Magnis dikenal kalangan ilmiah sebagai seorang cendekiawan yang cerdas dan bersahabat dengan semua orang tanpa pandang bulu (http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/index.shtml, diunduh pada 14 November 2011).Perikop Alkitab itu tidak dituliskan Ayu di sembarang tempat, sesuka hatinya. Ia mengaitkannya dengan kajian/ bahasan yang sesuai dengan topik yang dibicarakan antara tokoh. Contohnya, Ayu mengaitkan kisah Kain dan Habil yang terdapat dalam kitab Kejadian bab 4 ayat 116 dengan pemikiran Yudha tentang bilangan berbasis 10 dan berbasis 12 (Utami, 2008: 275276) berikut iniSepuluh dan selusin berbeda umur seperti Kain dan Habil. Inilah yang diceritakan sebuah Alkitab: Kain menjadi petani, Habil menjadi penggembala. Keduanya adalah putra-putra Adam dan Hawa.

Kutipan selanjutnya menunjukkan keterkaitan Bilangan Fu dan Alkitab yang menjadi kitab suci agama Katolik. Kutipan pertama berkisah tentang Parang Jati berzinah dengan Dayang Sumbi (istri tak resmi Suhubudi) dan kutipan kedua berkisah tentang perempuan berdosa yang dibawa ke hadapan Yesus untuk menerima hukum rajam (dalam film The Passion Of The Christ, adegan ini dilakukan dengan sangat dramatis).

Perhatikan kutipan berikut pada masa yang sulit, anak muda iitu merasa bagaikan dibentangkan dipancang. Si perempuan di sebelah kanannya. Iblis kecil buruk rupa di sebelah kirinya tubuh mereka dilucuti. Segala yang memalukan didedahkan dan diperinci di hadapan orang-orang. Sebagai pelajaran agar janganlah dosa yang sama mereka coba cicipi.

. Tapi Suhubudi berkata, Barangsiapa yang tak pernah terbersit perzinahan di kepalanya, biarlah dia menjadi pelempar batu yang pertama.

Satu per satu orang pergi (Utami, 2008: 338339).Bandingkan kutipan tersebut dengan kutipan berikut. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jariNya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepadaNya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu. Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengarkan perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua (Kitab Yohannes, Bab 8 Ayat 79a).Bagian cerita yang juga menunjukkan hubungan antara Bilangan Fu dengan Alkitab tampak pada saat Ayu Utami mengkisahkan kubur yang kosong. Diceritakan seorang perempuan yang sedang sangat berduka karena suaminya baru saja meninggal. Perempuan tersebut dengan panik mengatakan bahwa suaminya telah bangkit dari kubur. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 123)

lalu manakala ia sudah cukup dekat sehingga kata-katanya bisa dimengerti, aku mendengar ia meneriakkan sesuatu yang tak bias dimengerti, aku mendengar ia meneriakkan sesuatu yang tak bisa kupercaya. Sebuah humor hukuman dari alam gaib bagi diriku:

Dia bangkit! Dia bangkit! Kuburnya terbuka dan kosong!

Bandingkan dengan perikop Alkitab berikut (Kitab Yohanes Bab 20, Ayat 12)Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur. Ia berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid lain yang dikasihi Yesus, dan berkata kepada mereka: Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu dimana Ia diletakkan.Bagian lain yang juga menunjukkan hubungan Bilangan Fu dengan Alkitab tampak pada beberapa kisah. Kotbah di bukit yang merupakan pidato Parang Jati tentang clean climbing mirip dengan kotbah di bukit yang dilakukan Yesus. Bedanya, Yesus tidak berkotbah tentang clean climbing melainkan tentang 10 Sabda Bahagia.

Parang Jati sangat identik dengan Yesus. Hal ini ditunjukkan dengan penggambaran tokoh Parang Jati yang memiliki wibawa dan bermata malaikat. Aura kepemimpinan Parang Jati digambarkan dengan cukup tegas oleh Ayu Utami. Hal tersebut yang menyebabkan Parang Jati berhasil mempengaruhi Yudha dan teman-temannya berpindah aliran dari dirty climbing menjadi clean climbing.

Selain penokohan Parang Jati, kisah akhir kehidupan Parang Jati mirip dengan kisah akhir hidup Yesus. Yesus sempat mengadakan perjamuan terakhir dengan murid-murid yang dikasihiNya. Parang Jati melakukan pertemuan dengan Yudha dan Marja (orang yang dikasihinya) sebelum ia ditangkap dan dibunuh. Yesus memberikan pesan untuk berjaga-jaga, Parang Jati juga melakukan hal yang sama.

Akhir hidup Parang Jati dimana ia harus menanggalkan pakaiannya dan digelandang bersama orang yang memang bersalah mengingatkan pembaca yang beragama Katolik pada peristiwa penyaliban Yesus. Yesus diceritakan digelandang dan diperlakukan dengan tidak hormat dan disetarakan dengan penjahat kelas kakap sebelum Ia meninggal.

Selain perikop Alkitab, Ayu Utami menggunakan nama tokoh yang menyerupai 12 Rasul atau 12 Murid Yesus. Contohnya nama Yudha, dijabarkan Ayu menyerupai nama Yudas (jika dibaca sambil mendesis). Yudas adalah murid Yesus yang menghianati-Nya. Hal ini dituliskan Ayu Utami (2008: 5) secara jelas Ia menyebut namaku, tapi aku yakin kudengar bunyi desis di akhir ucapnya. Yudas. Engkau Yudas, si Penghianat. Tokoh Yudha diungkapkan Ayu menyukai taruhan. Ia selalu melakukan taruhan terhadap apapun. Salah satu penegasan Ayu Utami terhadap hobi Yudha tersebut dituliskannya antara lain dalam kutipan berikut (Utami, 2008: 6) Aku justru mengajukan taruhan. Taruhan sepertinya adalah satu-satunya bahasa yang kumengerti pada usiaku waktu itu.

Sifat Yudha mirip dengan tokoh Yudas Iskariot dalam Kitab Perjanjian Baru (dari Kitab Matius sampai Kitab Yohanes) yang juga mempertaruhkan nyawa Yesus demi 300 dinar. Kitab Yohanes menuliskan hal tersebut di Bab 13 Ayat 2130. Nama Marja pun menyerupai nama Maria Magdalena, yaitu tokoh yang sangat dekat dengan Yesus (bandingkan dengan tokoh Magdalen pada novel The Secreat yang merupakan kekasih Yesus). Marja merupakan kekasih Yudha sekaligus memiliki hubungan khusus dengan Parang Jati.

Tokoh teman-teman pemanjat tebing Yudha ada 11 (ber-12 dengan Yudha), antara lain bernama Pete (yang mirip dengan Peter/ Petrus), Matias (mirip dengan Mateus/ Matius), Marzuki (yang hampir mirip dengan Markus), Lukman (yang mendekati Lukas), dan Joni (yang merupakan bentuk Indonesia untuk Jhon/ Johannes/ Yohanes).

Gerombolan Pemanjat Tebing itu kini sudah bersedia menjadi mualaf sacred climbing. Mulanya ada sedikit perlawanan. Terutama pada Pete dan keempat sekondannya: Matias, Marzuki, Lukman, dan Joni (Utami, 2008: 405).

Ayu Utami lebih suka ke gereja pada misa harian daripada misa pada hari minggu. Hal ini dikarenakan Ayu Utami tidak suka mendengarkan kotbah yang panjang lebar. Menurut Ayu, kotbah di gereja lebih banyak yang jelek daripada yang bagus (http://ayuutami.com, diunduh pada 7 September 2010). Ayu Utami merasa senang ketika Kofrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) membuat Nota Pastoral mengenai habitus baru yang salah satunya adalah membuang sampah. Kiranya inilah bagian yang cukup banyak menjadi sorotan Ayu dalam novelnya.

Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) merupakan pertemuan para pemimpin Gereja Katolik se-Indonesia. Pada pertemuan tersebut, biasanya membahas isu yang berhubungan dengan katolik, iman katolik, katolisitas, dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara. Habitus baru adalah kebiasaan baru yang ingin dikembangkan. Melalui penumbuhan kebiasaan baru melalui kegiatan kecil dari lingkup terkecil diharapkan perubahan besar terjadi. Habitus baru yang ditawarkan oleh KWI melalui nota pastoralnya berkaitan dengan masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan kehidupan berbangsa yang dipandang begitu lemah. Hal tersebut tampak pada kutipan nota pastoral 2004 (http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198, diunduh pada 13 November 2011) yang menjadi salah satu inspirasi Ayu Utami

dikarenakan kehidupan berbangsa tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. .... Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. .... Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela, penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup dan dengan demikian orang tidak memikirkan masa depanya, merebaklah wabah ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi, dan budaya.Melalui novelnya Ayu Utami menyampaikan beberapa hal yang erat berkaitan dengan latar belakangnya sebagai seorang yang beragama Katolik. Pertama, ia tidak hanya mengkritik kepemimpinan agama yang cenderung banyak bicara. Hal ini dilihat dengan tokoh Penghulu Semar yang banyak memberi wejangan-wejangan untuk memelihara alam tetapi tidak memberi bukti atau langkah konkret untuk hal itu. Tokoh Penghulu Semar merupakan tokoh yang mewakili kepemimpinan agama yang menolak kehadiran mahluk lain. Padahal tanpa disadari jika konsep budaya (upacara bekakak-pemberian sesaji-) dan ketakutan akan mahluk gaib itu dapat dimanfaatkan dengan baik, maka kelestarian alam dapat terjaga. Hal ini dikarenakan secara tidak langsung manusia akan mengontrol tingkah lakunya.

Kedua, ketertarikan Ayu akan Nota Pastoral yang dikeluarkan KWI berkaitan dengan habitus baru yang sangat sederhana seperti membuang sampah, sepertinya menjadi alasan kuat bagi Ayu untuk mendukung tema kelestarian alam yang diusungnya. Kebiasaan kecil seperti membuang sampah jika dilakukan secara bersama-sama dan menjadi kesadaran tiap manusia, akan membuat lingkungan bersih. Kebersihan itu akan menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Dalam novelnya, Ayu Utami dengan sangat jelas mengkritik para pemanjat yang menggunakan alat-alat untuk memanjat. Alat-alat itu membuat tebing menjadi rusak. Ketika tebing rusak, ekosistem terganggu. Ayu juga tidak menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap para penambang kapur yang menggerogoti bukit-bukit kapur. Hal ini nampak dengan uraian Ayu Utami melalui tokoh Parang Jati tentang bukit kapur yang banyak hilang akibat penambangan legal dan illegal.

Ayu Utami adalah seorang wartawan sebelum ia menjadi penulis novel. Ia banyak berhubungan dengan fakta lapangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa berita yang sengaja disertakan Ayu Utami di novelnya. Berita itu antara lain terdapat di halaman 179183. Berita yang pertama (halaman 179) diambil dari Suara Merdeka tertanggal 20 November yang berjudul Ngaku Dukun, Nyaris Dihakimi Massa. Berita yang kedua berada di halaman 181, diambil dari Detikcom, tertanggal 21 November, berjudul Isu Hantu Cekik Meluas. Berita di halaman 182, diambil dari Detikcom tertanggal 17 November dengan judul berita Dua Kisah tentang Asal Muasal Hantu Cekik, dan di halaman 183 terdapat berita berjudul Usut hantu Cekik, Polisi Amankan Orang Gila dan Pencari Kodok. Berita tersebut juga diambil dari Detikcom tertanggal 17 November.

Ayu Utami juga seorang pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) yang menentang pembredelan. Sebagai seorang wartawan, ia merupakan salah satu saksi kejadian perpindahan pemerintahan. Pemerintahan Suharto (orde baru yang menyebabkan koran tempatnya bekerja dibredel), pemerintahan BJ. Habibie, Pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan Megawati. Hal ini nampak pada kesengajaan Ayu memainkan kalimat sehingga interpretasi pembaca tergiring pada peristiwa seputar reformasi itu. Hal ini nampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 350) Setahun setelah krismon, terjadilah hal yang tidak terbayangkan pada zaman itu. Diktator yang telah memerintah selama 32 tahun itu turun dari tahta kepresidenan! Jendral Soeharto namanya. Ia mengundurkan diri begitu saja seperti orang tua yang ngambek. Itu terjadi tahun 98, setelah mahasiswa mendemo pemerintahannya dan kabinet mogok. Padahal selama 32 tahun ia dikenal sebagai penguasa bertangan besi. Peristiwa ini dikenal dengan nama lengser keprabon-mundur dari keprabuan.

Ayu Utami mewarisi darah jawa dari Ibunya. Ia sendiri lahir di kota Bogor, Jawa Barat. Hal inilah yang membuat Ayu Utami tak ragu menuliskan cerita dengan latar Jawa Barat (deret perbukitan tepi pantai Laut Selatan). Hal itu juga yang membuat Ayu Utami memiliki ketertarikan untuk mengangkat tradisi Jawa yang menurut pandangan Ayu dapat menyelamatkan ekosistem. Tradisi yang dimaksud adalah upacara bekakak yang berasal dari Jawa Tengah, yang merupakan tradisi memberikan sesaji kepada Ratu Pantai Laut Selatan (Nyi Roro Kidul) dengan dua boneka manten yang terbuat dari ketan. Kedua boneka itu nantinya disembelih dan mengeluarkan darah (berupa lelehan gula jawa yang encer) dan dilarung di laut beserta perangkat sesaji yang lain.

Ayu juga banyak mengulas tokoh-tokoh pewayangan, Babad Tanah Jawi, dan filosofi Jawa, selain tradisi yang telah dikemukakan sebelumnya. Contoh paling jelas adalah tokoh utamanya selain Yudha adalah Parang Jati yang biasanya merupakan nama keris yang bertuah. Ia juga memberi nama tokoh perwakilan militernya dengan Karna dan Kumbakarna, lalu menamai tokoh yang mewakili pemuka agama dengan nama Penghulu Semar.

Ayu Utami juga memunculkan tokoh-tokoh figuran yang merupakan representasi dari pandangan mistis jawa. Tokoh tersebut seperti gundul pringis, yaitu hantu yang berupa buah kelapa yang tiba-tiba jatuh. Buah kelapa itu serupa dengan kepala dengan wajah meringis.

Selain itu, Ayu juga mengangkat tokoh Nyi Roro Kidul (Nyi Ratu Kidul). Seperti yang diketahui secara luas, Nyi Roro Kidul adalah salah satu mitos yang berhubungan dengan laut selatan. Diceritakan bahwa Nyi Roro Kidul merupakan tokoh perempuan yang menikahi seluruh raja mataram. Ayu Utami bahkan membuat diagram pohonnya pada halaman 246.

Pola pikir Ayu Utami berkaitan dengan budaya jawa juga tampak pada klaim Ayu tentang bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh sedangkan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam. Dalam budaya Jawa dikenal dengan 9 lubang yang disebut dengan howo songo (pada perempuan jumlah lubangnya menjadi 10).

Namun pernyataan tersebut tentunya bertolak belakang dengan esai karangan Alan Bishop yang berjudul Western Mathematics: A Secret Weapon of Cultural Imperialism. Alan menjelaskan ada 600 bahasa di Papua New Guinea dan ratusan sistem berhitung yang banyak berbasis tubuh, bukan cuman bilangan sepuluh. Dikatakan bahwa tubuh yang jumlah bilangannya sepuluh adalah jari (Guruh, http://indonesiabuku.com/?p=6299, diunduh pada 7 September 2010).

Dalam kumpulan esai Parasit Lajang-nya, Ayu Utami menjabarkan banyak alasan Ayu menolak pernikahan. Sejauh yang peneliti ketahui, sampai sekarang, Ayu Utami belum menikah. Pandangan Ayu tentang pernikahan yang (menurutnya di Parasit Lajang) adalah sebuah lembaga yang mengekang kebebasan Ayu (kebebasan dapat diterjemahkan dalam kebebasan lain selain sexmohon membaca Parasit Lajang). Dalam novel, pandangan ini muncul sebagai berikut Aku tak pernah jatuh tertidur setelah bermain cinta. Tak sekali pun aku membiarkan diriku tertidur. Itu bahaya. Lelaki yang tidur akan memberi sinyal bahwa ia merasa aman, dan karenanya akan memberikan rasa aman yang sama kkepada perempuannya. Rasa aman ini akan ditafsirkan oleh perempuan sebaggai tawaran untuk hidup berumahtangga. (Utami, 2008: 39).

Pandangan Ayu Utami mengenai kebebasan diwujudnyatakan pada Bilangan Fu (dan karyanya yang lain). Hal inilah yang menyebabkan Ayu mendapat kecaman selain pujian. Salah satu kecaman muncul dari Saut Situmorang anggota Ode Kampung yang sangat menyerang Utan Kayu (tempat Ayu Utami bergabung didalamnya). Kecaman tersebut nampak pada ungkapan Saut Situmorang saat diwawancarai majalah mahasiswa dari Universitas Indonesia (http://literature.wordpress.com/2008/02/10/perang-sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September 2010) berikut iniSiapa yang bilang bahwa seks dan agama itu bertentangan! Apa ada agama yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi) sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya.

Pengarang perempuan yang setipe dengan Ayu Utami juga diserang Saut Situmorang sebagai berikut http://literature.wordpress.com/2008/02/10/ perang-sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September 2010)

Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu Ayu. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi Sastrayu3. Analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu.Seperti yang telah diuraikan di bagian awal, Ayu Utami merupakan salah satu orang yang cukup kritis dengan pemerintahan. Saman, Larung, dan Bilangan Fu diciptakan Ayu Utami berdasarkan peristiwa sosial itu. Memang peristiwa kerusuhan Mei 98 ini tidak hanya sempat membuat ethnis Cina/ Tioghoa dan kaum perempuan terancam dan teraniaya saja. Tetapi juga menyentuh dimensi sosial ekonomi dan iklim politik saat itu.

Sebagai seorang wartawan (pada saat peristiwa itu terjadi), Ayu Utami menyimpan dan merekam peristiwa itu. Rekaman itu diolah Ayu dalam bentuk novel dengan kritik sosial, ekonomi, politik (dan budaya) yang kental dalam novelnya.

Pada tahun 2008, dunia kesusastraan Indonesia baru saja diharu-birukan dengan kemunculan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pada tahun ini, hampir semua ulasan tertuju pada sistem kependidikan yang amburadul di Indonesia. Andrea Hirata memberikan contoh konkret dengan SD Muhammadiahnya tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah. Sedangkan Ayu Utami memberikan contoh SD Negeri di Sewugunung tempat Parang Jati dan Kupu-kupu bersekolah.

Kritik sosial yang kuat terjadi akibat jarak yang cukup lebar antara kaum berada dan kaum tak berada. Untuk memperjelas hal ini, bandingkan dengan tema sosial yang diangkat Andrea Hirata ketika ia menggambarkan nasib buruh PN Timah dan para pendatang yang mengelola Timah. Ayu Utami menyoroti kesenjangan kesejahteraan ekonomi masyarakat Sewugunung dengan membandingkan kehidupan para penguasa (pemegang kekuasaan) dan para penambang kapur atau petani biasa. Hal ini nyata terlihat dengan berbedanya status sosial Parang Jati dan Kupu-kupu.

Juga bandingkan isu kerusakan alam yang diangkat Ayu Utami dan Andrea Hirata. Bilangan Fu menceritakan rusaknya tebing-tebing di pesisir Laut Selatan. Kerusakan alam di Belitong yang diakibatkan dengan keserakahan pengelola PN Timah yang diselipkan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi.

Seorang pendaki gunung dan sekaligus penulis buku Amanat Gua Pawon (AGP) yang diterbitkan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pada tahun 2004 menuliskan pendapatnya di blog pribadinya. Brahmantyo (pendaki gunung dan penulis buku tersebut) menyatakan bahwa Ayu Utami mengubah nama Gunung Sewu menjadi Sewugunung sebagai salah satu setting dalam Bilangan Fu.

Bagi yang mengenal geologi dan geografi karst Pulau Jawa, setting lokasi sangat membingungkan. Ayu Utami menempatkan karst Sewugunung (jelas pelesetan dari Gunungsewu) yang sangat dekat dari Yogyakarta (dalam novel ini, Yuda bisa pulang-pergi kurang dari sehari ke Yogyakarta dari Sewugunung dengan sepeda onthel). Di Sewugunung ini muncul bukit terjal andesit Watugunung yang menghadap Laut Selatan. Bagi saya Watugunung berasosiasi dengan Gunung Parang di Plered, Purwakarta (http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=270, diunduh pada 2 November 2011).

4. Hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.Ayu Utami memiliki beberapa isu yang dibahasnya dalam Bilangan Fu. Isu yang dibahas Ayu ini merupakan problematika sosial yang ditangkap Ayu Utami sebagai bagian dari kemasyarakatan luas (Indonesia).

Isu yang pertama adalah pandangan Ayu mengenai konsep keseimbangan dan keterjagaan ekosistem. Ayu berpendapat bahwa menyelamatkan bumi dapat dilakukan dengan cara-cara sederhana. Contohnya dengan memanfaatkan acara sedekah bumi, dan sesajen yang lain. Pola pikirnya bukan ditujukan pada pemujaan roh, melainkan memunculkan rasa takut untuk merusak pohon, telaga, tebing, dan lainnya. Berdasarkan isu ini, berarti Ayu memiliki pandangan untuk memanfaatkan budaya yang beragam di Indonesia untuk melestarikan lingkungan. Dengan demikian tak hanya lingkungan (ekosistem) yang terlestarikan saja, tetapi juga usur budaya yang merupakan kekhasan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Isu selanjutnya adalah pada situasi sosial kemasyarakatan. Ayu berpendapat bahwa ada begitu banyak masyarakat dalam novelnya yang mudah terprovokasi. Hal ini merefleksikan pandangan Ayu terhadap sifat kebanyakan masyarakat Indonesia. Dengan sifat mudah terprovokasi, kerusuhan Mei 98 masih menyisakan trauma yang sulit hilang. Selain itu, penegakan hukum berkaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei 98 tak kunjung mengalami kemajuan (http://www.komnasperempuan.or.id, diakses 16 September 2010).

Selanjutnya, isu mengenai ekonomi masyarakat Indonesia. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin nampak dalam novel Bilangan Fu ini. Ayu berpendapat bahwa kemiskinan yang menjamur di Indonesia bukan disebabkan sumber dayanya yang tidak ada tetapi tidak bisa membudayakan sumber daya yang ada.

Hal lain berkaitan dengan kemiskinan dimunculkan Ayu Utami dengan gaya sarkastik. Ia menyampaikannya melalui tokoh Kupu-kupu yang sangat sensitif dan mudah merasa diabaikan/ diperlakukan tidak baik. Bahkan kesensitifan itu dilukiskan sebagai sebuah mainset yang membentuk perilaku yang konstan. Hal tersebut tamak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 318)

Limaratus ribu rupiah hadiahnya. Angka yang besar bagi anak-anak desa. Sangat berarti bagi Kupu-kupu yang berbapak pemecah batu penderes nira. Belum lagi kemenangan ini jika ia menang- akan semakin melapangkan jalannya menjadi kandidat beasiswa ke luar negeri. . Tapi, kemudian rasa itu datang lagi. Rasa terancam. Kekhawatiran seperti akan dizalimi. Tapi bagaimana kalau ia dizalimi? (Ia tak sadar, begitu mudahnya ia merasa akan dizalimi).Isu mengenai politik juga dibahas oleh Ayu Utami. Bilangan Fu menggunakan setting era 98 untuk memotret pemerintahan reformasi. Ayu mengkristalkan empat konsep yang ditawarkan oleh Gus Dur yaitu pembaharuan sistem ekonomi, sistem politik, sistem etika, dan pendidikan nasional (http://www.gusdur.net, diakses 16 September 2010). Tentu saja hal itu disampaikan Ayu untuk mengkritisi pemerintahan yang cenderung mendukung kaum berduit. Contoh konkret nampak pada ijin yang diturunkan oleh pemerintah terhadap penebangan jati dan eksploitasi kapur di Sewugunung.Isu religiositas juga diangkat oleh Ayu Utami melalui Bilangan Fu. Ia menampakkan ketidaksukaannya terhadap praktik agama yang melupakan keseimbangan ekosistem melalui sikap dan pandangan tokoh-tokoh dalam Bilangan Fu. Hal tersebut dilakukan Ayu Utami dengan menggunakan keberpihakan tokoh dalam Bilangan Fu (Parang Jati) dalam membela ritual budaya yang justru secara tidak langsung mengakibatkan ekosistem tetap terjaga. Hal tersebut nampak pada kutipan berikutJika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan roh-roh penguasa alam itu ternyata berfungsi untuk membuat masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan kepercayaan yang demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah untuk memelihara pohon?Tidak ada hubungannya dengan Nyi Rara Kidul dan agama! bantah Kupu-kupu.

Tapi ada hubungannya dengan memasang sesajen di pohon-pohon angker, goa, ataupun mataair yang kamu sebut tadi. Yang kamu anggap syirik. Sikap mengeramatkan ini sesungguhnya mengurangi pengrusakan hutan dan alam. Sikap mengeramatkan alam sejalan dengan sikap memeliharanya.

Sikap dan pandangan Ayu Utami melalui tokoh Parang Jati berkaitan dengan praktik keagamaan dipertegas dengan pernyataan Parang Jati berikut (Utami, 2008: 317) Jadi kesimpulannya: Kepercayaan pada Ratu Kidul tidak perlu dipertentangkan dengan pemahaman keagamaan atas Tuhan yang Maha Esa. Titik! Keduanya bisa berjalan berdampingan. Titik!Sebuah ulasan di internet (http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/ agama-dalam-sastra-pertemuan-dan-persimpangannya/, diunduh pada 8 November 2011) memberi pernyataan yang senada. Disampaikannya bahwa Bilangan Fu secara keseluruhan melakukan kritik terhadap agama dan menawarkan suatu yang disebutnya sebagai spiritualitas kritis. Menurut penulis dalam kehidupan yang tertutup, represif, dikuasai oleh satu nilai kebenaran tertentu, entah itu berdasar politik, ideologi, maupun agama, sastra berperan untuk melakukan interupsi. Walaupun hal ini tidaklah mudah, lebih-lebih terhadap kemapanan yang bersumber pada suatu agama, karena sastra dengan corak seperti ini bisa segera dituduh anti-Tuhan, menghina agama, memprovokasi konflik, dan sebagainya, yang membuatnya sah untuk diberangus.Pernyataan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut (http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/ agama-dalam-sastra-pertemuan-dan-persimpangannya/, diunduh pada 8 November 2011)Meski beralur sederhana, karya Ayu ini cukup kompleks. Ia mendedahkan lagi beberapa kepercayaan kuno pra-Islam dan menganyamnya dalam relasi cerita yang bertingkat-tingkat, berlapis-lapis, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari suatu topik ke topik lain. Ilmu pengetahuan modern dipertemukan dengan kearifan kuno yang telah banyak dilupakan. Kita dihadapkan pada keriuhan teks yang mewacanakan kehadirannya sendiri-sendiriMelalui Bilangan Fu, Ayu Utami menyampaikan pandangannya mengenai bangsa Indonesia. Pandangan Ayu tersebut berkaitan dengan banyak aspek kehidupan sosial dan bahkan juga berkaitan dengan cara pandang bangsa Indonesia.

BAB 5 PENUTUP1. Simpulan

Strukturalisme genetik adalah teori kajian sastra yang merupakan gabungan antara teori strukturalisme dan marxisme. Teori ini secara singkat merupakan kajian sastra yang mengkaji tidak hanya unsur intrinsiknya saja tetapi juga mengkaji unsur ekstrinsiknya. Kajian dalam strukturalisme genetik harus dilakukan berulang dan saling berkaitan antara struktur di dalam karya sastra itu sendiri dengan unsur di luar karya sastra itu.

Analisis novel Bilangan Fu dengan menggunakan teori strukturalisme genetik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya. Tahap kedua yaitu analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu. Tahap ketiga analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu. Tahap keempat adalah melihat hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.Simpulan yang dapat ditarik adalah Bilangan Fu merefeksikan pandangan Ayu Utami tentang situasi sosial-ekonomi-budaya-politik-spiritualisme bangsa Indonesia. Struktur dalam Bilangan Fu merupakan bagian yang terintegrasi dengan kerangka berpikir dan bersikap masyarakat Indonesia secara umum. Penulis, karya sastra, dan lingkungan menjadi faktor yang saling berkaitan dalam kemunculan sebuah karya sastra, dalam hal ini kemunculan Bilangan Fu.

2. SaranKarya sastra dapat ditelaah dengan melihat hubungan karya sastra tersebut dengan situasinya. Biasanya karya sastra yang memiliki hubungan yang erat dengan situasi kemasyarakatan merupakan karya sastra yang berupa kritik sosial. Bilangan Fu merupakan karya sastra yang demikian. Oleh sebab itu, pembaca sebaiknya menghubungkan Bilangan Fu ini dengan situasi sosial kemasyarakatan negara Indonesia, sehingga pembaca tidak buru-buru mengatakan karya Ayu Utami ini semata-mata mengumbar sex dan sexualitas secara vulgar.

Katolisitas Bilangan Fu hasil penelitian ini diharapkan dapat dimaknai secara positif dalam kerangka berpikir akademik yang luas. Nilai-nilai religiositas yang hendak disampaikan Ayu Utami melalui Bilangan Fu menarik untuk dikaji dengan perspektif agama dan akademik sepanjang fokus pembahasan dan pembicaraan tidak berhenti pada klaim porno yang terlanjur melekat pada Ayu Utami setelah kemunculan Saman dan Larung.DAFTAR PUSTAKA

Brahmantyo. tt. Mengikuti Petualangan Mahasiswa Geologi ITB di Novel Ayu Utami. http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=270, diunduh pada 2 November 2011Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta: PD Lukman Jaya

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukuralisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Guruh, Ian Ahong. 2010. Ngobrol Bareng Ayu Utami. http://indonesiabuku.com/?p=6299, diunduh pada 7 September 2010

Grinitha, Virry. 2010. Analisis Strukturalisme Genetik Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer, http://library.unib.ac.id/koleksi/ Virry%20Grinitha-Abst-FKIP-PendBIN-Des2010.pdf, diunduh pada 2 November 2011

Hudayat, Asep Yusup. 2007. Modul Metode Penelitian Sastra. http://resoouces-unpad.ac.id/unpad-content/.../metode-penelitian-sastra.pdf. diunduh pada 7 September 2010Iswanto, Drs.. 2003. Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya

Sastrawan, Adil. 2011. Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu. http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--adilsastra-5569, diunduh pada 2 November 2011

Sitepu, Gustaf. Strukturalisme Genetik Asmaraloka. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan. http://repostory.usu.ac.id/bitstream/123456789/5783/ 1/09E01966.pdf diunduh pada 7 September 2010Sudarwanto, Pangky. tt. Kepoufanikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan FU Karya Ayu Utami. http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 468819525_abs.pdf, diunduh pada 8 November 2011

Teeuw, A.. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Vian, Dwi. 2011. Tinjauan Strukturalisme Genetik terhadap Lakon BLEG-BLEG THING, http://komunitassegogurih.wordpress.com/2011/07/23/ tinjauan-strukturalisme-genetik-terhadap-lakon-%E2%80%9Cbleg-bleg-thing%E2%80%9D/, diunduh pada 2 November 2011Viniati, Rina. 2010. Mistik Kejawen dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Diunduh dari http://pasca.uns.ac.id/?p=882, pada 2 November 2011Waluyo, Budi. 2010. Strukturalisme Genetik Drama Panembahan Reso Karya W.S. Rendra. http://pasca.uns.ac.id/?p=1028, diunduh pada 2 November 2011

Wijayanto, Agung. 2011. Analisis Strukturalisme Genetik dalam Roman Germinal Karya Emile Zola. http://lib.unnes.ac.id/4503/, diunduh pada 2 November 20112004. Nota Pastoral: Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198 diunduh pada 13 November 20112005. Ayu Utami. http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami. diunduh pada 7 September 2010

2008. Bilangan Fu. http://johnherf.wordpress.com/2008/07/24/spiritualisme-kritis-ayu-utami/. Diunduh pada 7 September 2010

2008. Perang Sastra boemipoetra vs Teater Utan Kayu. http://literature. wordpress.com/2008/02/10/perang-sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September 20102008. Tentang Ayu Utami.http://ayuutami.com/index.php?option=com_ content&view=category&layout=blog&id=31&Itemid=54. diunduh pada 7 September 2010

2009. Agama dalam Sastra; Pertemuan dan Persimpangannya. Pengantar diskusi Agama dan Kesusasteraan, Balai Budaya Soejatmoko, Solo, 6 September 2009 M/16 Ramadhan 1430 H. tulisan ini diunduh dari http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/agama-dalam-sastra-pertemuan-dan-persimpangannya/, pada 8 November 20112009. Penelitian Deskriptif. http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 20112010. Novel Terbaru Ayu: Manjali dan Cakrabirawa. http://ayuutami.com/. Diunduh pada 7 September 2010

tt. Ester Jusuf, S.H: Kita Harus Membangun Kekuatan Bersama Korban dan Masyarakat!. http://www.komnasperempuan.or.id/. diunduh pada 16 September 2010tt. Untuk Membangun Pemerintahan Alternatif Diperlukan Kejujuran dan Konsep.http://www.gusdur.net. diunduh pada 16 September 2010tt. Franz Magnis Suseno. http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/index.shtml, diunduh pada 14 November 2011PAGE 5Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami