109_11_Pengaruh-Kedalaman-Muka-Air-Awal.pdf
-
Upload
budi-etom-cokro -
Category
Documents
-
view
8 -
download
0
Transcript of 109_11_Pengaruh-Kedalaman-Muka-Air-Awal.pdf
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
ISBN 978-979-99327-9-2 985
PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR AWAL TERHADAP
ANALISIS STABILITAS LERENG TAK JENUH
Agus Setyo Muntohar1 dan Rio Indra Saputro
1
1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan Tamantirto, Yogyakarta.
Telp. +62-274-387656 (Ext. 229). Fax. +62-274-387646, email: [email protected]
ABSTRAK
Asumsi kedalaman muka air tanah yang sangat dalam atau terlalu dangkal pada simulasi numerik dapat
memberikan hasil analisis yang tidak realistis. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh
kedalaman muka air tanah awal terhadap kestabilan lereng. Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SEEP/W untuk mengkaji infiltrasi, dan SLOPE/W untuk mengkaji stabilitas lereng. Penelitian ini
mengakji kejadian longsor lereng di saluran induk Kalibawang di KM 15+9, Kulonporgo, D.I. Yogyakarta.
Kondisi tak jenuh dan jenuh pada lereng dimodelkan dari kurva karakteristik air-tanah. Analisis transient
terhadap infiltrasi air hujan dimodelkan sebagai unit flux selama 30 hari pada permukaan lereng dengan kondisi
batas seepage face review. Hasil penelitian menunjukkan posisi muka air tanah yang lebih dekat dengan
permukaan lereng menyebabkan penurunan suction dan faktor aman lereng yang lebih cepat akibat hujan.
Kedalaman muka air tanah berkisar 3-4 m atau suction sebesar 68 kPa merupakan batas nilai initial suction di
permukaan lereng yang disarankan untuk analisis transient-numerik di lokasi studi Kalibawang.
Kata-kata kunci : rembesan, model numerik, muka air tanah, lereng, tak jenuh air
1 PENDAHULUAN
Kejadian longsor pada lereng di dekat saluran induk irigasi Kalibawang pada 21 November 2001
merupakan studi kasus yang menarik untuk dikaji. Pada area ini hampir di setiap musim penghujan
terjadi pergerakan tanah. Kajian awal di area studi telah dilakukan oleh Wisaksono (2003), Haryanti
dkk. (2010), Subiyanti dkk. (2011) dan Muntohar dkk. (2013) untuk mengetahui mekanisme dan
faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan lereng dengan menggunakan metode numerik.
Namun dalam pemodelannya tidak memperhatikan kondisi awal muka air tanah (initial groundwater
level). Dalam penelitian ini dikaji pengaruh kedalaman awal muka air tanah terhadap perubahan
stabilitas lereng di dekat saluran induk Kalibawang KM 15+9 (Gambar 1).
Gambar 1 Lokasi daerah penelitian.
Usaha untuk mengetahui mekanisme longsor atau gerakan tanah pada lereng akibat infiltrasi air hujan
dan rembesan telah banyak dilakukan baik berupa kajian lapangan, laboratorium dan pemodelan
numerik. Rahardjo dkk. (2007) menyebutkan bahwa banyak kegagalan lereng di seluruh dunia yang
disebabkan curah hujan, kondisi hidrologi, dan formasi geologis lereng yang merupakan faktor penting
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
986 ISBN 978-979-99327-9-2
dalam kegagalan lereng. Faktor-faktor tersebut dapat dimodelkan dengan metode numerik untuk
mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap kestabilan suatu lereng. Rahardjo dkk . (2007,
2010), Ray dkk. (2010), dan Santoso dkk. (2011) telah mengkaji pengaruh parameter kuat geser tanah,
hidraulika, dan kedalaman muka air tanah terhadap kestabilan lereng tanah residu. Berkaitan dengan
pengaruh kedalaman muka air tanah, asumsi kedalaman muka air tanah yang sangat dalam atau terlalu
dangkal pada simulasi numerik dapat memberikan hasil analisis yang tidak realistis (Lee dkk., 2009;
Rahardjo dkk., 2010). Untuk memberikan hasil analisis yang realistis, maka tekanan air pori negatif
awal (initial suction) yang terjadi di permukaan lereng dibatasi dengan nilai tertentu (Gofar and Lee,
2008).
2 METODE PENELITIAN
Lereng dan sifat-sifat tanah
Penampang lereng yang dianalisis seperti disajikan pada Gambar 2. Litologi lereng didominasi oleh
lapisan lanau (MH-1) dan lempung (CH-1 dan CH-2). Lapisan tidak lolos air berupa batulempung
(claystones) berada di bawah lapisan MH-1 sebagai batuan dasar (bedrock). Bidang keruntuhan
terdapat pada bidang antara lapisan CH-1 dan MH-1. Parameter kuat geser dan hidraulika masing-
masing contoh tanah seperti disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3a-3b. Rekaman intensitas hujan dan
waktu disajikan pada Gambar 3c yang terjadi selama 8 hari (Muntohar dkk., 2013). Untuk analisis
infiltrasi dan rembesan digunakan durasi waktu hingga 30 hari guna mengetahui mekanisme rembesan
dan kestabilan lereng pasca berhentinya hujan.
(a)
(b)
Gambar 2 (a) Model lereng dan kondisi batas dalam analisis numerik, (b) Geometri lereng dengan
elemen-elemen triangular.
Claystone
MH
CH-2
CH-1
1
2 3
4
5
6
78
9
10
11
12
13
14 15 16
17
18 19
20
2122
23
24
25
26
27
28 29
30
31
32
Bidang keruntuhan
Unit flux (hujan)seepage face review
A
B
C
Muka Air Tanah
No flow boundary (q = 0)
Skala :Vertikal = 1:500Horisontal = 1 :1000
Jarak (m)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360
Elevasi (m
)
90
100
110
120
130
140
150
Claystone
MH
CH-2
CH-1
1
2 3
4
5
6
78
9
10
11
12
13
14 15 16
17
18 19
20
2122
23
24
25
26
27
28 29
30
31
32
Jarak (m)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360
Elevasi (m
)
90
100
110
120
130
140
150
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
ISBN 978-979-99327-9-2 987
Tabel 1: Parameter kuat geser dan hidraulika tanah
Parameter Tanah MH-1 Tanah CH-1 Tanah CH-2 Claystone
Berat volume, γb (kN/m3) 15,95 15,96 15,85
Bedrock Kohesi, c’ (kPa) 4,875 4,1125 5,45
Sudut gesek internal, ’ 25,5o 7,87
o 18,74
o
Koefisien permeabilitas
jenuh air, ksat (m/d) 5,63 10
-5 9,62 10
-5 2,8 10
-4 1,00 10
-8
Kadar air volumetrik
jenuh air, sat (m3/m
3)
0,592 0,575 0,576 0,299
Pemodelan Rembesan dan Analisis Stabilitas Lereng
Pada penelitian ini analisis infiltrasi-rembesan dimodelkan secara numerik dengan menggunakan
perangkat lunak SEEP/W (Geoslope International, 2007a). Geometri lereng dan kondisi batas seperti
digambarkan pada Gambar 2a. Elemen-elemen triangular sebanyak 8485 elemen berukuran lebar 2 m
(Gambar 2b). Curah hujan didefinisikan sebagai unit flux (q) dalam fungsi waktu dengan intensitas
seperti pada Gambar 3c. Unit flux diberikan pada permukaan lereng dengan kondisi batas seepage face
review. Sedangkan di bagian bawah lapisan batulempung diberikan kondisi batas no flow sebagai unit
flux q = 0 agar terjadi infiltrasi satu arah. Model analisis transient dimana tekanan air pori awal
dibangkitkan dari muka air tanah dilakukan dalam interval waktu 1 hari selama 30 hari. Pada
penelitian ini, kondisi muka air tanah awal divariasikan 1 m, 2 m, 3 m, 4 m, 5 m, dan 10 m. Untuk
mengetahui pengaruh muka air tanah terhadap perubahan tekanan air pori dan stabilitas lereng,
ditinjau dari 3 titik di masing-masing potongan yaitu di bagian atas bidang keruntuhan (A), di tengah
bidang keruntuhan (B), dan di kaki bidang keruntuhan (C).
Analisis stabilitas lereng dimodelkan dengan SLOPE/W (Geoslope International, 2007b) yang
didasarkan pada konsep keseimbangan batas (limit equilibrium). Stabilitas lereng dihitung dengan
menggunakan metode Morgenstern – Price (MP) dimana bidang keruntuhan lereng telah ditentukan
(fully-specified slip surface). Tekanan air pori dari SEEP/W diperhitungkan dalam tegangan geser
yang dianalisis oleh SLOPE/W seperti dalam persamaan (1). Dalam keadaan terjadi tekanan air pori
negatif, nilai sudut gesek tanah tak jenuh air (b) diperkirakan dari fungsi kurva kadar air volumetrik
(Gambar 3b) sebagaimana dirumuskan oleh Vanapalli dkk. (1996) dalam persamaan (1). Kondisi ini
memudahkan penghitungan faktor aman lereng untuk setiap interval waktu yang diberikan.
' tan ' tan 'w rn a a w
s r
s c u u u
............................................. (1)
(a)
(b)
(c)
Gambar 3 (a) Kurva kadar air volumetrik, (b) Kurva koefisien permeabilitas tanah, (c) Intensitas dan
waktu hujan.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.001 0.1 10 1000 100000
Ka
dar
Air
Vo
lum
etr
ik (
m3/m
3)
(ua-uw) kPa
MH CH-1 CH-2
1.E-09
1.E-08
1.E-07
1.E-06
1.E-05
1.E-04
1.E-03
1.E-02
0.001 0.1 10 1000
Ko
efi
sie
n P
erm
eab
ilit
as (
k, m
/d)
(ua-uw) kPa
MH CH-1 CH-2 Claystone
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
0.0400
0.0450
0.0500
0 6 12 18 24 30
Inte
nsit
as H
uja
n (m
/d)
Waktu (hari)
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
988 ISBN 978-979-99327-9-2
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi faktor aman (FS) lereng terhadap waktu hujan untuk berbagai kedalaman muka air tanah awal
ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil ini menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah mempengaruhi
faktor aman awal (FS(t = 0)) dan faktor aman minimum yang terjadi selama hujan. Semakin dekat
kedalaman muka air tanah ke permukaan lereng, faktor aman awal yang diperoleh semakin rendah.
Kondisi disebabkan oleh infiltrasi air hujan yang menyebabkan permukaan tanah menjadi jenuh air.
Sebagai akibatnya akan meningkatkan kedalaman zona pembasahan (wetting zone) dan pengurangan
suction atau peningkatan tekanan air pori. Kondisi ini terjadi untuk Hw(init) = 1 m, 2 m, dan 3 m yang
ditunjuukkan pada Gambar 4a hingga 4c, dimana faktor aman (FS) berkurang secara drastis pada aktu
mendekati berakhirnya hujan, dan setelahnya tidak terjadi perubahan faktor aman yang sangat kecil.
Faktor aman minimum yang terendah dicapai pada kondisi Hw(init) = 1 m. Hal ini dapat disebabkan oleh
peningkatan muka air tanah secara cepat yang memperbesar tekanan air pori pada lereng. Sedangkan
untuk Hw(init) = 4 m, 5 m, dan 10 m (Gambar 4d hingga 4f), faktor aman masih cenderung berkurang
walaupun hujan telah berhenti hingga waktu 30 hari.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 4 Perubahan faktor aman lereng terhadap waktu untuk berbagai kondisi muka air tanah awal
(Hw(init)) (a) Hw(init) = 1 m, (b) Hw(init) = 2 m, (c) Hw(init) = 3 m, (d) Hw(init) = 4 m, (e) Hw(init) = 5 m, (f)
Hw(init) = 10 m.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Distribusi tekanan air pori terhadap waktu untuk Hw(init) = 3 m di lokasi yang ditinjau (a)
lokasi A, (b) lokasi B, dan (c) lokasi C.
0.95
1.00
1.05
1.10
1.15
1.20
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 1 m
FS = 1
1.00
1.05
1.10
1.15
1.20
1.25
1.30
1.35
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 2 m
1.10
1.15
1.20
1.25
1.30
1.35
1.40
1.45
1.50
1.55
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 3 m
1.45
1.50
1.55
1.60
1.65
1.70
1.75
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 4 m
1.78
1.80
1.82
1.84
1.86
1.88
1.90
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 5 m
2.50
2.55
2.60
2.65
2.70
2.75
0 6 12 18 24 30
Fakto
r A
man
Waktu (hari)
Hujan berhenti
Hw (init) = 10 m
Hujan berhenti
Hw (init) = 10 m
0
2
4
6
8
10
12
14
-30 0 30 60 90 120
Ke
da
lam
an
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
0 days 1 days 2 days 4 days
8 days 16 days 30 days
Lokasi: A
Waktu, t :
0
2
4
6
8
10
12
14
-30 0 30 60 90 120
Ke
da
lam
an
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
0 days 1 days 2 days 4 days
8 days 16 days 30 days
Lokasi: B
Waktu, t :
0
2
4
6
8
10
12
14
-30 0 30 60 90 120
Ked
ala
man
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
0 days 1 days 2 days 4 days
8 days 16 days 30 days
Lokasi: C
Waktu, t :
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
ISBN 978-979-99327-9-2 989
Untuk menjelaskan perubahan faktor aman akibat perubahan tekanan air pori disajikan Gambar 5 dan
6 yang memberikan ilustrasi perbandingan distribusi tekanan air pori untuk Hw(init) = 3 m dan Hw(init) =
10 m. Hujan yang terjadi selama 8 hari menyebabkan permukaan lereng lebih cepat mengalami
penjenuhan dimana zona pembasahan hingga mencapai 3 m (Gambar 5a). Kondisi jenuh air memicu
kenaikan muka air tanah yang menyebabkan peningkatan tekanan air pori (Gambar 5b dan 5c).
Peningkatan muka air tanah dan tekanan air pori ini menyebabkan kuat geser tanah berkurang,
sehingga faktor aman lereng berkurang secara drastis. Kondisi berbeda ditunjukkan pada Gambar 6
untuk kedalaman muka air tanah awal Hw(init) = 10 m. Untuk muka air tanah awal yang lebih dalam,
terjadi penundaan zona pembasahan dan tidak terjadi perubahan muka air tanah. Hujan yang terjadi
belum cukup untuk menurunkan suction pada zona pembasahan, sehingga faktor aman lereng masih
lebih dari 1,5 selama durasi hujan. Hal ini dimungkinkan karena suction awal yang digunakan dalam
analisis sangat tinggi sehingga terjadi penundaan terhadap perubahan tekanan air pori. Melihat
distibusi tekanan air pori pada Gambar 4a -4c dan 5a-5c, dapat diketahui bahwa tekanan air pori mulai
berubah pada kedalaman 3-4 m. Pada kondisi ini tekanan air pori yang dicapai sebesar – 68 kPa.
Dengan demikian dalam studi ini, kedalaman muka air tanah yang diberikan sebagai kondisi awal
adalah 3 m atau suction maksimum dibatasi 68 kPa. Gofar dan Lee (2008), Lee dkk., (2009), dan
Rahardjo dkk. (2007) menyebutkan bahwa suction awal sebesar 50-70 kPa akan menghasilkan
analisis yang realistis untuk kondisi tanah residual di area tropis (seperti Singapura dan Malaysia).
(a)
(b)
(c)
Gambar 6 Distribusi tekanan air pori terhadap waktu untuk Hw(init) = 10 m di lokasi yang ditinjau (a)
lokasi A, (b) lokasi B, dan (c) lokasi C.
4 KESIMPULAN
Secara umum infiltrasi air hujan akan menyebabkan permukaan tanah menjadi jenuh air. Kondisi ini
akan meningkatkan kedalaman zona pembasahan (wetting zone) dan pengurangan suction. Simulasi
numerik pada lereng di area Kalibawang, Kulonprogo, D.I. Yogyakarta terhadap variasi kedalaman
muka air tanah awal memberikan kesimpulan sebagai berikut :
a. Semakin dekat kedalaman muka air tanah ke permukaan lereng, faktor aman awal yang diperoleh
semakin rendah.
b. Posisi muka air tanah yang lebih dekat dengan permukaan lereng menyebabkan penurunan suction
yang lebih cepat akibat hujan. Kedalaman muka air tanah berkisar 3-4 m atau suction sebesar 68
kPa merupakan batas nilai initial suction yang disarankan di permukaan lereng untuk lokasi studi
di Kalibawang.
5 UCAPAN TERIMA KASIH
Naskah ini merupakan bagian dari penelitian fundamental “Studi Ekperimental Dan Numerik Model
Infiltrasi Untuk Stabilitas Lereng“. Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Penelitian Fundamental pada
tahun 2011 dan 2012.
0
2
4
6
8
10
12
14
-100 -75 -50 -25 0 25 50
Ke
da
lam
an
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
Awal 1 hari 2 hari 4 hari
8 hari 16 hari 30 hari
Lokasi: A
Waktu, t :
0
2
4
6
8
10
12
14
-100 -75 -50 -25 0 25 50
Ke
da
lam
an
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
Awal 1 hari 2 hari 4 hari
8 hari 16 hari 30 hari
Lokasi: B
Waktu, t :
0
2
4
6
8
10
12
14
-100 -75 -50 -25 0 25 50
Ke
da
lam
an
(m
)
Tekanan air Pori, uw (kPa)
Awal 1 hari 2 hari 4 hari
8 hari 16 hari 30 hari
Lokasi: C
Waktu, t :
Seminar Nasional X – 2014 Teknik Sipil ITS Surabaya
Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia
990 ISBN 978-979-99327-9-2
6 DAFTAR PUSTAKA
1. Geoslope International, 2007a. SEEP/W User's Guide for Finite Element Analysis. Geoslope
International Ltd., Calgary, Alberta, Canada.
2. Geoslope International, 2007b. SLOPE/W User's Guide for Finite Element Analysis. Geoslope
International Ltd., Calgary, Alberta, Canada.
3. Gofar, N., and Lee, L.M. (2008) Extreme rainfall characteristics for surface slope stability in the
Malaysian Peninsular, Georisk: Assessment and Management of Risk for Engineered Systems and
Geohazards 2(2), 65-78.
4. Haryanti, S., Suryolelono, K.B., dan Jayadi, R. (2010) Analisis Pengaruh Karakteristik Hujan
terhadap Gerakan Lereng. Jurnal Ilmiah Semesta Teknika 13(2), 105-115.
5. Lee, L. M., Gofar, N., and Rahardjo, H. (2009). A simple model for preliminary evaluation of
rainfall-induced slope instability. Engineering Geology 108, 272–285.
6. Muntohar, A., Ikhsan, J., and Soebowo, E. (2013) Mechanism of rainfall triggering landslides in
Kulonprogo, Indonesia. Geo-Congress 2013, 452-461.
7. Rahardjo, H., Nio, A. S., Leong, E. C., and Song, N. Y. (2010). Effects of Groundwater Table
Position and Soil Properties on Stability of Slope during Rainfall. Journal of Geotechnical and
Geoenvironmental Engineering 136(11), 555–1564
8. Rahardjo, H., Ong, T. H., Rezaur, R. B., and Leong, E. C. (2007). Factors Controlling Instability
of Homogeneous Soil Slopes under Rainfall. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental
Engineering 133(12), 1532-1543.
9. Ray, R. L., Jacobs, J. M., and Alba, P. d. (2010). Impacts of Unsaturated Zone Soil Moisture and
Groundwater Table on Slope Instability. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental
Engineering 136(10), 1448-1458.
10. Santoso, A. M., Phoon, K.-K., and Quek, S.-T. (2011). Effects of soil spatial variability on
rainfall-induced landslides. Computers and Structures 89, 893–900.
11. Subiyanti, H., Rifa’i, A., dan Jayadi, R., (2011) Analisis Kelongsoran Lereng Akibat Pengaruh
Tekanan Air Pori di Saluran Induk Kalibawang Kulonprogo. Jurnal Ilmiah Semesta Teknika
14(1), 15-25.
12. Vanapalli, S.K., Fredlund D.G., Pufahl, D.E. and Clifton, A.W., (1996). Model for the Prediction
of Shear Strength with respect to Soil Suction. Canadian Geotechnical Journal 33, 379-392.
13. Wisaksono, B., (2003) Analisis stabilitas lereng penyebab gerakan tanah di Km 15,9 saluran
induk Kalibawang Kulon Progo. Tesis S2 Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada.