10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

145
EKSPLORASI POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIREUNDEU TERHADAP PEMBANGUNAN KAWASAN (STUDI KASUS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, KECAMATAN CIMAHI SELATAN, KOTA CIMAHI) TUGAS AKHIR MARETTA CYNTHIA DEVINA 10070309012 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013 M / 1434 H

description

tugas akhir

Transcript of 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

Page 1: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

vii

EKSPLORASI POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIREUNDEU TERHADAP

PEMBANGUNAN KAWASAN

(STUDI KASUS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, KECAMATAN CIMAHI SELATAN, KOTA CIMAHI)

TUGAS AKHIR

MARETTA CYNTHIA DEVINA

10070309012

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013 M / 1434 H

Page 2: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

2

EKSPLORASI POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU TERHADAP

PEMBANGUNAN KAWASAN

(STUDI KASUS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, KECAMATAN CIMAHI SELATAN, KOTA CIMAHI)

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung

Tahun Akademik 2012/2013

oleh MARETTA CYNTHIA DEVINA

10070309012

Dinyatakan Lulus dalam Sidang Terbuka yang Dilaksanakan

pada Tanggal 27 Juli 2013

Mengesahkan,

Dr. Hj. SARASWATI., Ir., MT

Pembimbing

H. IVAN CHOVYAN, Ir., MT.

Ketua PUSPWK

Dr. Hj. SARASWATI., Ir., MT

Ketua Program Studi

Page 3: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

3

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : MARETTA CYNTHIA DEVINA NPM : 10070309012 Tempat/ Tanggal Lahir

: Palembang/ 26 Maret 1991

Suku Bangsa : Indonesia Warga Negara : Indonesia Agama : Islam Alamat : Komp. Puri Cipageran Indah 1

B-35. Rt.05/26.Kec. Cimahi Utara Kel. Cipageran, Kota Cimahi

Telp : 022-6640351/ 081224560036 Pos-El (Email) [email protected]

DATA KELUARGA

Nama Bapak : Ir. DARMANSYAH DEVA SANI, MT Nama ibu : Dr. Hj. MISNAWATI Alamat orang tua : Komp. Puri Cipageran Indah 1 B-35. Rt.05/26.

Kec. Cimahi Utara Kel. Cipageran, Kota Cimahi Anak ke : 1 (satu) dari 4 bersaudara

PENDIDIKAN

SD : SDN Jalan Kaum Kota Cimahi SMP : SMP Pasundan 3 Kota Cimahi SMA : SMA Negeri 3 Kota Cimahi Perguruan Tinggi : Diterima Melalui Jalur PMDK dan Prestasi Sebagai

Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung Bulan Juni Tahun 2009

Page 4: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

4

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul ― Eksplorasi Pola

Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap

Pembangunan Kawasan ‖ adalah sepenuhnya hasil karya sendiri. Tidak ada

bagian di dalamnya yang merupakan kriteria plagiat dari hasil karya orang lain.

Jika terbukti karya ilmiah ini merupakan hasil plagiat maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bandung, 10 September 2013

Maretta Cynthia Devina

Page 5: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

5

ABSTRAK

Perencanaan dalam tradisi pembelajaran sosial berakar pada beberapa

teori dari Kurt Lewin, Lorsch, dan Schon (1987). Pembelajaran sosial kegiatan

utamanya sebagai metaphor untuk menunjukkan keunikkan/corak tertentu dalam

mengkaitkan ilmu pengetahuan ke dalam tindakan. Bagi sebagian lain,

pembelajaran sosial merupakan suatu teknologi sosial. Pembelajaran sosial

merupakan suatu proses yang terus menerus terjadi dalam masyarakat bila antar

anggota saling berinteraksi untuk mengatasi dan mengubah realitas masalah

(Friedman, 1987). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terkait dengan judul ― Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung

Adat Ciruendeu Terhadap Pembangunan Kawasan ‖. Tujuan penulisan karya

ilmiah adalah mempelajari wujud-wujud artefak yang dapat memberikan

kenyamanan, keamanan, dan keberlanjutan serta korelasinya terhadap

pembelajaran sosial. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah

adalah Analisis Konten(Content Analysis), Pengamatan dengan berpartisipasi

(Participant Observation), Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing) dan

penyelidikan sejarah hidup (Life Historical Investigation). Pembelajaran sosial

yang terjadi di Kampung Adat Cireundeu banyak memberikan dampak positif

sehingga dapat menarik perhatian dari beberapa daerah luar khususnya bagi

Pemerintahan Kota Cimahi.

Kata kunci : Eksplorasi, Pola Pembelajaran.

Page 6: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

6

ABSTRACT

Planning in the tradition of social learning is rooted in several theories of

Kurt Lewin, Lorsch, and Schon (1987). Social learning as a metaphor for the

main activities demonstrate the uniqueness / certain pattern in linking science

into action. For some others, social learning is a social technology. Social

learning is a continuous process that occurs in a society when interacting among

members to address and change the reality of the problem (Friedman, 1987).

Therefore, the authors are interested in conducting research related to the title of

"Exploration of Pattern Learning Communities Against Indigenous Village

Ciruendeu Regional Development". The purpose of writing a scientific paper is to

study the artifacts beings that can provide comfort, security, and sustainability as

well as its correlation to social learning. The method used in the writing of

scientific papers is Content Analysis (Content Analysis), Observations by

participating (Participant Observation), In-depth Interviews (In-depth Interviewing)

and the investigation of the history of life (Life Historical Investigation). Social

learning that occurs in many Indigenous Village Cireundeu positively impact so

as to attract the attention of some of the outside areas especially for Cimahi

Government.

Keywords: Exploration, Learning Patterns.

Page 7: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

vii

PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Illahi Rabbi dan salawat serta salam penulis

panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan

para sahabatnya bahwa laporan (draft) yang merupakan salah satu syarat dalam

tugas akhir tahun akademik 2012/2013 ini yang berbentuk draft dengan judul

“Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

Terhadap Pembangunan Kawasan ― dapat diselesaikan oleh penulis tepat pada

waktunya.

Tugas Akhir ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis

dapatkan dari buku dan internet serta sumber lainnya yang telah ditugaskan oleh

dosen pembimbing terkait. Dari informasi yang diperoleh, diharapkan agar

penulis dapat mengetahui dan memahami mengenai pembelajaran sosial.

Proses penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari peranan dan arahan dari

berbagai pihak akademis, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas keterlibatan pihak-pihak

yang telah memberikan sumbangsih saran dan kritikan selama proses

penyusunan tugas akhir ini.

Secara khusus penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Mami dan Papi yang selalu memberikan dukungan baik moral maupun

material selama penyusunan tugas akhir, yang selalu membantu

memberikan pendapat dan masukan sehingga tugas akhir ini dapat

diselesaikan. Oleh karena itu, Tugas Akhir ini penulis persembahkan khusus

untuk kalian berdua.

2. Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Dosen Wali sekaligus

sebagai pembimbing Dr. Hj. Saraswati., Ir., MT

3. Koordinator Tugas Akhir Ivan Chofyan, Ir., MT

4. Dosen-Dosen Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam

Bandung untuk ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.

Page 8: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

viii

5. Bagian Tata Usaha, Kang Ade, Kang Irfan Teknik Perencanaan Wilayah dan

Kota Universitas Islam Bandung

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

7. Teman spesial saya, Reiza Permanda yang selalu memberikan semangat

memberikan pendapat dan masukan serta menemani selama penyusunan

tugas akhir.

8. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang telah memfasilitasi penulis

dalam penelitian untuk penyusunan tugas akhir

9. Kantor pemerintahan Kota Cimahi dan Kelurahan Leuwigajah atas data dan

informasi yang menunjang dalam penyusunan Tugas Akhir.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT

memberkati.

Tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis

mengharapkan saran, kritik, dan arahan-arahan dari para pembahas agar pada

pembuatan tugas akhir ini selanjutnya dapat lebih baik.

Atas segala bantuannya, semoga amal baik yang telah diberikan

mendapat balasan dari Allah SWT dan rahmat dari-NYA.

Akhir kata, semoga pembuatan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi

kami secara akademika dan pihak berkepentingan serta dapat menambah

wawasan bagi kami.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandung, 10 September 2013

Penulis

Page 9: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

ix

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA ...................... ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ................. ........................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........... ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..... ........................................................................................... xii BAB I PENDAHLULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3 Tujuan, Sasaran Studi dan Manfaat .................................................... 3 1.4 Ruang Lingkup / Cakupan ................................................................... 4 1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah .......................................................... 4 1.4.2 Ruang Lingkup Materi ............................................................. 5 1.5 Sistematika Pembahasan .................................................................... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................... 11 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 11 2.2 Komunitas Dalam Konteks Perencanaan Kota .................................... 12 2.3 Lanskap Budaya .................................................................................. 14 2.4 Perencanaan Sebagai Pembelajaran Sosial ....................................... 16 2.4.1 Ragam Perencanaan Komunitas Dalam Membentuk Kapasitas Komunitas ............................................................................... 18 2.4.2 Pendekatan Pembelajaran Sosial ........................................... 27 2.4.2.1 Tindakan ..................................................................... 27 2.4.2.2 Aktor ............................................................................ 28 2.4.2.3 Cara Belajar ................................................................ 29 2.5 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial ............................................. 30 2.5.1 Level Pembelajaran Sosial ...................................................... 30 2.5.2 Siklus Dasar Pembelajaran Sosial .......................................... 31 2.6 Tradisi Pembelajaran Sosial dalam Perencanan ................................. 33 2.7 Kebudayaan ...................................................................................... 36 2.8 Kebudayaan Sunda ............................................................................. 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 45 3.1 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 45 3.1.1 Data Primer (Utama) ............................................................... 48 3.1.2 Data Sekunder (Pendukung) ................................................... 48 3.2 Metode Analisis .................................................................................... 52 BAB IV PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL DAN PENATAAN RUANG KAMPUNG ADAT CIREUNDEU ................................................................... 54 4.1. Wujud Fisik dan Aspek Kependudukan ............................................... 54 4.2 Sejarah Kampung Adat Cireundeu ...................................................... 58 4.3 Eksistensi Desa Adat/Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu 59 4.4 Penataan Ruang di Kampung Adat Cireundeu .................................... 65 4.5 Penggunaan Lahan .............................................................................. 66 4.6 Cara Melindungi Kawasan Konservasi ................................................ 69 4.7 Struktur Ruang Permukiman ................................................................ 69 4.8 Pola Permukiman ................................................................................. 71 4.9 Struktur Bangunan ............................................................................... 73 4.10 Pola Pembelajaran Sosial .................................................................... 74

Page 10: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

x

BAB V KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIREUNDEU ...................................................................................... 76 5.1 Identifikasi Pola Kehidupan dan Keunikan Masyarakat Cireundeu ..... 76 5.2 Analisis Tahapan Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu 78 5.3 Analisis Aktor Yang Terlibat ................................................................. 80 5.4 Analisis Pengolahan Lahan ................................................................. 87 5.5 Kajian Timbal Balik Dengan Lingkungan Fisik ..................................... 89 5.6 Analisis Pembentukkan Ruang Permukiman ....................................... 90 5.7 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu 91 5.8 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan ................ 92 5.9 Outcome Proses Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan .................................... 93 BAB VI KESIMPULAN, KELEMAHAN STUDI, dan REKOMENDASI PENELITIAN LANJUTAN ............ ................................................................................... 95 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 95 6.2. Kelemahan Studi .................................................................................. 97 6.3. Rekomendasi Tindak Lanjut Penelitian ............................................... 98 DAFTAR PUSTAKA .................. .............................................................................. 99

Page 11: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kebutuhan Data .................................................................................. 51 Tabel 3.2 Matriks Variabel Penelitian .................................................................. 52 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun ........................................................................... 55 Tabel 4.2 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2013 ............................................................ 56 Tabel 4.3 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013 ....................................................................... 57 Tabel 4.4 Peruntukkan Lahan RW.10 Kampung Adat Cirendeu Tahun 2013 ..... 67 Tabel 5.1 Aktor dan Pengetahuan Dalam Tiap Tahapan .................................... 79

Page 12: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peta Kelurahan Leuwigajah ................................................................. 7 Gambar 1.2 Peta Orientasi Kampung Adat Cireundeu ............................................ 8 Gambar 2.1 Model Struktural dari Analisis Kebijakan ............................................. 17 Gambar 2.2 Model Sederhana Tentang Praktek Sosial dan Pembelajaran Sosial . 18 Gambar 2.3 Ragam perencanaan komunitas dalam membentuk kapasitas komunitas di bawah payung tradisi perencanaan sebagai pembelajaran sosial ............................................................................. 27 Gambar 2.4 Komunitas Praktis ................................................................................ 28 Gambar 2.5 Siklus Pembelajaran Sosial ................................................................. 31 Gambar 2.6 Bentuk Bangunan Tradisional Sunda .................................................. 40 Gambar 2.7 Tatapakan Yang Digunakan Sebagai Pondasi .................................... 41 Gambar 2.8 Golodog Sebagai Tangga Masuk Rumah ............................................ 41 Gambar 2.9 Tihang Yang Berfungsi Sebagai Penunjang Bangunan ..................... 42 Gambar 2.10 Bilik Sebagai Ciri Khas Bangunan Tradisional .................................... 42 Gambar 2.11 Pintu Tradisional Masyarakat Sunda ................................................... 42 Gambar 2.12 Jendela Jalosi ..................................................................................... 43 Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling ........................................................ 46 Gambar 3.2 Snowball Sampling .............................................................................. 47 Gambar 3.3 Alur Proses Pengumpulan Data dan Informasi .................................... 52 Gambar 4.1 Landmark Kampung Adat Cireundeu .................................................. 55 Gambar 4.2 Kondisi Kampung Adat Cireundeu Tampak Depan ............................. 55 Gambar 4.3 Gerbang menuju Bale Saresehan........................................................ 56 Gambar 4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang Menganut Agama Sunda Wiwitan ............................................... 61 Gambar 4.5 Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Setiap 1 Sura ............................................................. 62 Gambar 4.6 Gugunungan ...................................................................................... 63 Gambar 4.7 Simbol Warna Masyarakat Adat Cireundeu ......................................... 64 Gambar 4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu.......................... 65 Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia (yang mengenakan blankon biru). Bapak ini berkedudukan sebagai Ais Pangampih di Sistem Komunitas Kampung Adat di Cireundeu. Berfoto ketika setelah mewawancarai di Balesaresehan ..................................................................................... 65 Gambar 4.10 Penggunaan Lahan di Kampung Adat Cireundeu ............................... 67 Gambar 4.11 Gunung Sayangkaat (puncaknya sebagai leuweung larangan dan dibawahnya sebagai leuweung tutupan) ...................................... 68 Gambar 4.12 Leuweung Baladahan .......................................................................... 68 Gambar 4.13 Bentuk Bangunan Bale Seresehan ...................................................... 70 Gambar 4.14 Bangunan Pendukung Kegiatan Kampung Adat Cireundeu ............... 70 Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat Cireundeu. ............................ 71 Gambar 4.16 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu ............................ 72 Gambar 4.17 Struktur Bangunan Kampung Adat Cireundeu .................................... 73 Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi ................................................................................... 75 Gambar 5.1 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong ..................... 77 Gambar 5.2 Proses Perolehan Informasi ................................................................. 79 Gambar 5.3 Klasifikasi Aktor .................................................................................... 82 Gambar 5.4 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu .................................... 84 Gambar 5.6 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu di Kampung Adat Cireundeu .................... 85 Gambar 5.7 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu Kreatif di Kampung Adat Cireundeu .................................................................... 86 Gambar 5.8 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong ..................... 88 Gambar 5.9 Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu. ............ 90 Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-Ruang Permukiman .................................. 91

Page 13: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

xiii

Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu ....................... 92 Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan ........ 93 Gambar 5.13 Pengaruh Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan .................................... 94

Page 14: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

vii

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang,

identifikasi, ruang lingkup/cakupan, rumusan, dan tujuan masalah, kegunaan

hasil, metodologi penelitian, serta sistematika pembahasan yang menjadi

penjelasan dasar dilaksanakannya studi mengenai eksplorasi pola pembelajaran

masyarakat kampung adat Cireundeu, Kota Cimahi. Dalam QS. Al-Hujurat ayat

13 disampaikan mengenai konsep pentingnya sesama manusia itu untuk saling

mengenal dan adanya pembelajaran sosial.

Terjemahan :

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang

yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha

Mengenal.(Qs. Al-Hujurat : 13)

Al-Qur‘an Surat Al-Hujurat ayat 13 mengandung konsep pentingnya

sesama manusia itu saling mengenal dan adanya suatu pembelajaran sosial

yang terbentuk dalam suatu komunitas yang akan menciptakan suatu

kebudayaan. Dalam surat ini terdapat dua hal yang terkait dengan tugas akhir ini,

yaitu diantaranya : 1.) Berbangsa-bangsa & bersuku-suku diinterpretasikan

sebagai suatu komunitas. 2). Saling mengenal diinterpretasikan sebagai adanya

pembelajaran sosial yang akan membentuk suatu komunitas sehingga dapat

merencanakan sesuatu hal yang bermanfaat bagi komunitasnya.

1.1 Latar Belakang

Perencanaan dalam tradisi pembelajaran sosial berakar pada beberapa

teori dari Kurt Lewin, Lorsch dan Schon (1987). Pembelajaran sosial kegiatan

utamanya sebagai metaphor untuk menunjukkan keunikan/corak tertentu dalam

1

Page 15: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

2

mengkaitkan ilmu pengetahuan ke dalam tindakan. Bagi sebagian lain,

pembelajaran sosial merupakan suatu teknologi sosial. Pembelajaran sosial

merupakan suatu proses yang terus menerus terjadi dalam masyarakat bila antar

anggota saling berinteraksi untuk mengatasi dan mengubah realitas masalah

(Friedman, 1987).

Pembelajaran sosial sebagaimana didefinisikan oleh Smith (2006) adalah

pembelajaran melalui proses partisipasi seperti dalam kelompok, jaringan kerja

organisasi dan komunitas dalam kondisi yang baru, tidak diharapkan, tidak pasti,

ada wacana konflik dan sulit untuk memprediksi ketika solusi ditemukan secara

tidak terduga dalam kontekstual masalah. Pembelajaran sosial menekankan

potensi menyelesaikan masalah yang ada dalam kelompok, komunitas dan

organisasi. Pembelajaran sosial beorientasi pada tindakan dan pengalaman.

Pembelajaran sosial bersifat reflektif, dimana dimaksudkan mempertanyakan

validitas pelaku terhadap pendapat-pendapat, penilaian, strategi, tindakan,

perasaan, dan sebagainya. Pembelajaran sosial adalah suatu kerja sama dan

komunikasi yang berarti terjadi dialog antara pelaku pembelajaran dalam

berorganisasi baik secara implisit maupun eksplisit.

Selanjutnya Friedman (1987) menyatakan bahwa peran pelaku dan objek

dalam pembelajaran sosial dilakukan secara bersama-sama. Artinya, bahwa di

antara mereka saling memberi dan menerima informasi. Di antara mereka saling

mengajar dan diajar. Melalui pembelajaran seperti ini, pelaku dan objek saling

menerima difusi pengetahuan, pengalaman, bahkan inovasi-inovasi pengetahuan

yang tertuang dalam tindakan. Dengan tambahan pengetahuan tersebut, lambat

laun mereka memiliki kemampuan secara kolektif dalam memecahkan

persoalan-persoalan yang ada di lingkungan mereka seperti kemampuan

mengatasi masalah kemasyarakatan. Kemampuan secara kolektif ini yang

kemudian disebut oleh Thompson dan Pepperdine (2003) sebagai kapasitas

komunitas.

Untuk mencapai pembelajaran sosial yang efektif dalam masyarakat

diperlukan tata hubungan dan kondisi sosial politik tertentu, sehingga dalam

prosesnya diharapkan ada suatu hubungan komunikasi yang simetris. Friedman

menyatakan hubungan komunikasi ini sifatnya reciprocal (adanya timbal balik).

Dalam tradisi pembelajaran sosial mensyaratkan adanya transaksi face-to-face

yang memunculkan dialog interaktif diantara mereka. Untuk mencapai tujuan ini,

Page 16: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

3

tentunya juga diperlukan kondisi yang memungkinkan hubungan partisipatif

dalam proses pembelajaran tercapai.

Cireundeu merupakan suatu komunitas yang mayoritas penduduknya

memiliki keunikkan. Keunikkannya adalah 1). kegiatan ekonominya masih

didominasi dengan tanaman singkong, 2). dikelilingi dengan bukit-bukit yang

ditumbuhi tanaman singkong sehingga komunitasnya memanfaatkan sumber

daya alam tersebut sebagai makanan pokoknya, 3). komunitasnya masih

mempertahankan adat kebiasaannya dari turun temurun, 4). wujud atefak-artefak

yang ada (baleseresehan) untuk mewujudkan kehidupan yang aman, nyaman,

produktif, dan berkelanjutan sehingga hal ini menjadi menarik dan memiliki

ketaatan yang lebih tinggi. Dari keunikkan-keunikkan yang telah dipaparkan,

maka Tugas Akhir ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pola

pembelajaran sosial ini terjadi, wujud-wujud artefak yang dapat memberikan

kenyamanan, keamanan dan keberlanjutan sehingga ada standar-standar

perencanaan yang tidak dapat mengakomodir bagi masyarakat Cireundeu, serta

hal-hal yang menjadi ukuran-ukuran dan pengaruhnya terhadap perencanaan

pembangunan kawasan. Untuk mengantarkannya, maka riset ini dibagi ke dalam

sub-pokok bahasan diantaranya ragam tradisi perencanaan dalam domain

publik; mekanisme terbentuknya kapasitas komunitas dalam tradisi pembelajaran

sosial; terakhir, membahas mengenai prasyarat kondisi sosial dan politik yang

memungkinkan terbentuknya kapasitas komunitas untuk pembangunan kawasan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di muka, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam Tugas Akhir ini sesuai dengan judul tugas akhir ini “ Eksplorasi

Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap

Pembangunan Kawasan “, terkait dengan pembelajaran sosial. Berkaitan

dengan judul tugas akhir tersebut, maka masalah yang dapat diidentifikasi yaitu :

1. Mengapa masyarakat Kampung Adat Cireundeu mempertahankan adat

kebudayaannya dan dapat hidup berkelanjutan dengan mempertahankan

sosialnya?

2. Bagaimana pola pembelajaran yang terjadi ?

3. Apakah terkait dengan perencanaan pembangunan kawasannya?

Page 17: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

4

1.3 Tujuan, Sasaran Studi dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari wujud-wujud artefak yang

dapat memberikan kenyamanan, keamanan dan keberlanjutan serta korelasinya

terhadap pembelajaran sosial.

Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah :

1. Menemukan alasan mengapa masyarakat kampung adat Cireundeu

mempertahankan kebudayaannya secara turun temurun sehingga

terciptanya lingkungan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

2. Menemukan dan mengenali siklus pembelajaran sosial dan tipologi

pembelajaran sosial yang terjadi di Kampung Cireundeu sejak tahun 1918

hingga sekarang.

3. Menemukan dan mengenali outcome proses pembelajaran terhadap standa-

standar perencanaan (nilai-nilai yang menjadi masukkan bahwa ada

beberapa perencanaan yang tidak dapat dipaksakan kepada standar-standar

perencanaan yang ada) serta kaitannya terhadap pembangunan.

Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian

yang hendak dicapai, maka yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

berupaya mengenalkan budaya Sunda secara umum yang ada di Kampung Adat

Cireundeu, meliputi pembelajaran sosial yang tercermin ke dalam unsur budaya

Kampung Adat Sunda di tengah himpitan modernisasi dalam konteks penataan

ruang.

1.4 Ruang Lingkup / Cakupan

Batasan masalah merupakan ruang lingkup masalah dalam konteks

wilayah maupun isi dari penelitian ini. Konteks wilayah penelitian dijelaskan

dalam ruang lingkup wilayah sedangkan konteks isi dijelaskan dalam ruang

lingkup materi penelitian.

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah sebuang kampung yang

memiliki keunikan dalam pola kehidupannya dan telah ditetapkan sebagai

kampung adat oleh Pemerintah Kota Cimahi sebagai salah satu kampung adat

yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kasepuhan Cipta Gelar

(Banten, Kidul, Sukabumi). Kampung ini sebagai komunitas yang telah berhasil

membawa perubahan dikomunitasnya dengan melibatkan proses pembelajaran

Page 18: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

5

sosial yang dapat dipelajari sebagai salah satu modal pembangunan dalam

pembangunan kawasan. Perubahan yang terjadi tidak terlepas dari pembelajaran

sosial yang kemudian mengarahkan kepada tindakan kolektif yang dilakukan

warga dalam sistem pola permukiman yang dikaitkan berdasarkan artefak-artefak

yang ada.

Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah RW. 10 Kelurahan

Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan yang mewujudkan model pembelajaran

di komunitasnya melalui tindakan kolektif dengan melibatkan proses

pembelajaran sosial. Wilayah penelitian ini terletak pada bagian selatan Kota

Cimahi yang dikenal dengan sebutan Kampung Cireundeu. Cireundeu berasal

dari nama ―pohon reunde‖, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali

populasi pohon rendeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat

herbal. Maka dari itu kampung ini disebut Kampung Cireundeu. Kampung ini

merupakan suatu komunitas yang mentradisikan singkong sebagai makanan

pokoknya yang dikenal dengan istilah ―Rasi‖ (beras singkong) yang terdiri dari

350 kepala keluarga atau 1750 jiwa, yang sebagian besar masyarakatnya bertani

ketela.

Secara geografis, Kampung Adat Cireundeu terletak di lembah Gunung

Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajah Langu, namun secara

administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar. 1.1 Peta Admiistrasi

Kelurahan Leuwigajah dan Gambar 1.2 Peta Orientasi Kampung Adat

Cireundeu

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

Pada penelitian ini, ruang lingkup materi yang dibahas adalah sebagai

berikut :

1. Pengumpulan data-data terkait, diantaranya :

a. Lokasi permukiman kampung adat

b. Pola penggunaan dan pemanfaatan lahan

c. Ketersediaan sarana dan prasarana

d. Tipologi rumah yang meliputi :

Luasan rumah

Orientasi terhadap matahari

Struktur konstruksi bangunan

Page 19: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

6

Struktur ruangan dalam rumah

e. Lembaga adat yang berkaitan dengan Peran ketua adat dalam

kepemimpinan kawasan (masyarakat adat Cireundeu)

f. Dampak yang terjadi dari adanya pola pembelajaran sosial terhadap

pembangunan dilihat dari segi fisik, sosial, dan ekonomi.

2. Eksplorasi pola pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu yang

mendukung perubahan lingkungan yang dijelaskan berdasarkan :

a. Aktor yang terlibat dalam proses pembelajaran

b. Aktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran

c. Masyarakat yang terlibat dalam prooses pembelajaran

Masyarakat usia dini

Masyarakat lansia

Pemuda

d. Urutan kegiatan pembelajaran serta outcome pembelajaran.

3. Mengkaji secara teoritis hal-hal yang berkaitan dengan :

a. Standar dalam suatu perencanaan pembangunan permukiman

b. Teori umum kebudayaan

c. Kearifan lokal

d. Kebudayaan sunda

4. Kajian mengenai model pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu

Page 20: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

vii

Page 21: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

8

Page 22: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

9

1.5 Sistematika Pembahasan

Tahapan-tahapan dalam penulisan laporan mengenai eksplorasi pola

pembelajaran masyarakat kampung adat Cireundeu terhadap pembangunan

kawasan akan disajikan pada sistematika pembahasan berikut ini:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang studi, Identifikasi masalah,

batasan masalah (yang mencakup ruang lingkup wilayah dan

ruang lingkup materi), rumusan masalah, tujuan masalah,

kegunaan hasil, dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan menguraikan mengenai studi-studi yang pernah

ada atau yang pernah dilakukan sebelumnya tentang

pembelajaran sosial dan Cireundeu, beberapa landasan teori yang

digunakan sebagai pengarah bagi pemilihan metodologi kajian

dan penelitian-penelitian yang telah pernah dilakukan.

BAB III METODOLOGI

Bab ini berisikan mengenai metodologi-metodologi apa saja yang

akan digunakan sebagai tahapan-tahapan yang terstruktur dalam

penyusunan Tugas Akhir ini.

BAB IV PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL DAN PENATAAN

RUANG

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU

Bab ini berisikan mengenai data variabel-variabel, Gambaran

Umum Kampung Adat Cireundeu dan Model-Model Pembelajaran

Sosial.

BAB V KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN KAMPUNG ADAT

CIREUNDEU TERHADAP PEMBANGUNAN KAWASAN

Bab ini berisi identifikasi, analisis, pola pembelajaran berdasarkan

hasil dari data variabel-variabel kemudian kita analisis secara

content analysis

Page 23: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

10

BAB VI KESIMPULAN, KELEMAHAN STUDI DAN REKOMENDASI

PENELITIAN LANJUTAN

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan secara keseluruhan

selama proses penelitian ilmiah, kelemahan dari penelitian ilmiah

ini sehingga dapat memberikan rekomendasi tindak lanjut

penelitian dalam pengembangan kawasan Kampung Adat

Cireundeu.

Page 24: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

11

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam kasus pembelajaran sosial, sudah pernah ada yang meneliti

sebelumnya, diantaranya adalah

1. ―Pembelajaran Sosial Dalam Mewujudkan Perubahan Lingkungan Di

Komunitas Studi Kasus RT.04 RW.01 Kelurahan Babakan Sari Kecamatan

Bojongloa Kaler‖ yang diteliti oleh Inez Fitrisia Irwan (2010). Penelitian ini

lebih kepada perwujudan perubahan lingkungan

Tugas akhir ini mempelajari mengenai adanya perwujudan perubahan

lingkungan dalam suatu komunitas, dengan mengkaji suatu permukiman

kumuh yang identik dengan berbagai masalah sosial dan lingkungan di

komunitasnya, seperti banjir, kondisi jalan yang buruk, lingkungan yang kotor

yang berhasil diatasi warga melalui tindakan kolektif. Pelaksanaan ini

dilatarbelakangi karena adanya pembelajaran sosial yang melibatkan aktor

luar sehingga memunculkan perubahan sosial di komunitas yang berdampak

positif terhadap lingkungannya.

2. Penelitian mengenai ―Pembelajaran Sosial Dalam Perencanaan Komunikatif

: Studi Kasus Kebijakan dan Praktek Penganggaran Daerah di Kabupaten

Sumedang‖ oleh Suhirman (2011).

Pada Tesis ini, dijelaskan mengenai praktek penganggaranan serta

kebijakkannya yang terjadi akibat pembelajaran sosial dalam suatu

perencanaan komunikatif.

3. Penelitian mengenai ―Strategi Humas Pemerintahan Kota Cimahi Dalam

Mensosialisasikan Batik Cireundeu Sebagai Batik Khas Kota Cimahi‖ yang

diteliti oleh Anne Moerdiany. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

strategi Humas Pemerintahan Kota Cimahi dalam Mensosialisasikan Batik

Cireundeu sebagai batik khas Kota Cimahi.

Pada penelitian ini, menjelaskan mengenai batik cireundeu yang dijadikan

sebagai batik khas kota Cimahi, batik ini sebenarnya berasal dari Cigugur,

Kuningan serta pembuatannya pun di sana, hanya saja dikarenakan bermotif

kujang, sehingga walikota Cimahi berinisiatif menjadikan batik tersebut

menjadi batik khas Kota Cimahi.

Page 25: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

12

Dari ke-tiga kasus pembelajaran yang dipaparkan di atas, penulis

melakukan penelitian yang berbeda yaitu melakukan penelitian pembelajaran

sosial dalam konteks “ Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung

Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan “ di daerah yang berbeda

tepatnya pada daerah kampung adat,Cireundeu,Cimahi. Berdasarkan penelitian

yang akan di teliti ini, ada beberapa tinjauan pustaka yang menjadi dasar

penelitian ini, diantaranya akan di bahas pada sub-sub bab berikut ini.

2.2 Komunitas Dalam Konteks Perencanaan Kota

Penyusunan perencanaan pembangunan kota seharusnya melalui atau

mempertimbangkan partisipasi komunitas (community participation), keterlibatan

semua kelompok yang terkait (involvement of all interest groups), koordinasi

secara horizontal dan vertikal (horizontal and vertical coordination), keberlajutan

(sustainability), kelayakan keuangan (financial feasibility), subsidi (subsidiary),

dan interaksi antara perencanaan fisik dan ekonomi (interaction of physical and

economic planning) (Deklarasi UNCHS di Nairobi pada tahun 1994). Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat merupakan target sekaligus subjek dari

program-program publik. Hal ini karena masyarakatlah yang akan meraskan

pengaruh secara langsung dari perencanaan pembangunan yang terjadi . Oleh

sebab itu, masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan publik.

Dalam sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan

selama ini muncul berbagai pendekatan terkait dengan keterlibatan masyarakat

seperti perencanaan dari bawah ke atas (bottop-up planning) atau disebut juga

dengan grass root planning, perencanaan melalui parisipatif (participatory

planning), perencanaan melalui demokrasi (democratic planning), perencanaan

kolaboratif (collaborative planning), perencanaan melalui advokasi (advocacy

planning), dan sebagainya yang menunjukkan adanya kesamaan bahwa setiap

anggota masyarakat memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses

pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.

John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai

perencanaan (planning) sebagai upaya menghubungkan antara pengetahuan

ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan – tindakan

yang lingkupnya publik. Definisi ini menunjukkan peran serta masyarakat dalam

perencanaan mengalami suatu pergeseran yaitu dari ‗untuk masyarakat‘ berubah

Page 26: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

13

menjadi ‗oleh masyarakat‘ sebagai sifat perencanaan dalam pembelajaran sosial

(social learning). Kemudian John Friedman (1987) mengklasifikasikan sistem

perencanaan sebagai berikut :

1. Perencanaan sebagai perubahan sosial (social reform). Dalam sistem

operencanaan ini, peran pemerintah sebagai dominan, sifat perencanaan ini

adalah terpusat dari atas ke bawah (top-down) dan berjenjang.

2. Perencanaan sebagai analisis kebijakkan (policy analysis). Dalam system

perencanaan ini, pemerintah bersama stakeholder lain memutuskan

persoalan dan menyusun alternative kebijakan. Sifat perencanaan ini

desentralisasi dan ilmiah (scientific)

3. Perencanaan sebagai pembelajaran sosial (social learning). Dalam sistem

perencanaan ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan

adalah desentralisasi, dari masyarakat, dan dari bawah ke atas (bottom up).

4. Perencanaan sebagai transformasi sosial (social transformation).

Perencanaan ini merupakan suatu bentuk kolektif gerakan warga.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat

merupakan kunci dari perencanaan pembangunan. Masyarakat menurut Horton

dan Hunt (1992) merupakan kelompok manusia, yang sedikit banyak memiliki

banyak kebebasan dan bersifat kekal, yang menempati suatu kawasan yang

sama, memiliki kebudayaan dan memiliki hubungan dalam kelompok tersebut.

Komunitas merupakan sebagian kelompok dari masyarakat dalam lingkup

yang lebih kecil. Soerjono Soekanto (1982) mengemukakan komunitas sebagai

masyarakat setempat, yang menunjuk pada warga-warga sebuah desa, sebuah

kota, suku atau bangsa. Apabila anggota – anggota suatu suatu kelompok, baik

kelompok itu besar atau kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka

merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan –

kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi dapat disebut masyarakat

setempat. Intinya mereka menjalin hubungan sosial (social relationship). Unsur-

unsur dari komunitas diantaranya :

1. Wilayah atau lokalitas. Suatu komunitas pasti mempunyai lokalitas atau

tempat tinggal tertentu.

2. Peranan saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Perasaan

anggota masyarakat setempat dengan anggota lainnya didasari adanya

persamaan tempat tinggal. Perasaan bersama antara anggota masyarakat

Page 27: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

14

setempat tersebut di atas disebut community sentiment. Setiap community

sentiment memiliki unsur : seperasaan, sepenanggungan, dan saling

memerlukan.

Pengertian masyarakat (society) berbeda dengan pengertian

masyarakat setempat (community) atau komunitas. Pengertian masyarakat

(society) sifatnya lebih umum dan lebih luas, sedangkan pengertian masyarakat

setempat (community) lebih terbatas dan juga dibatasi oleh areal kawasannya,

serta jumlah warganya. Dalam konteks perencanaan kota, keterlibatan

masyarakat pada umumnya, dan komunitas pada khususnya diperlukan dalam

proses perencanaan dan pengambilan keputusan sehingga program

pembangunan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan keinginan warga.

2.3 Lanskap Budaya

Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang

dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu

secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakterlanskapnya. Menurut

Eckbo (1998) lanskap adalah keseluruhan elemen fisik secara kompleks di suatu

daerah.

Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia dalam

mempengaruhi kehidupannya. Adanya sistem nilai sebagai inti dari suatu sistem

kebudayaan, menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga

pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah

adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun,

pandangan hidup, dan ideologi pribadi. Kebudayaan menurut Rapoport (1969,

diacu dalam Nuraini 2004) merupakan suatu kompleks gagasan dan pikiran

manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan

hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (lifestyle) dan akhirnya

aktivitasnya (activities) yang bersifat konkrit. Aktivitas ini secara langsung akan

mempengaruhi wadah, yaitu lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di

dalam permukiman. Dengan demikian, sebagai wujud fisik, kebudayaan

merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas

masyarakatnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk

sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta

ekonomi merupakan faktor kedua.

Page 28: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

15

Hal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara

universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia sedikitnya menyangkut lima hal :

1. Soal makna hidup manusia

2. Soal makna pekerjaan

3. Persepsi manusia mengenai waktu

4. Soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya;

5. Soal hubungan manusia dengan sesama manusia (Daeng 2000, diacu

dalam Ningrat 2004).

Dilihat secara empirik, kebudayaan bersifat dinamis. Tidak ada

kebudayaan yang tidak berubah, demikian pula kebudayaan tradisional

(Adimihardja, diacu dalam Ningrat 2004). Kebudayaan tradisional masyarakat

adat merupakan penjumlahan dari berbagai interaksi harmonis antara alam dan

isinya. Kebudayaan manusia dibentuk oleh lingkungan kehidupan mereka, dan

sebaliknya mereka juga mempengaruhi lingkungan. Lingkungan dan kebudayaan

manusia saling berkaitan secara menyeluruh (Alwi, M. et al. diacu dalam Ningrat

2004).

Lanskap budaya didefinisikan sebagai satu model atau bentuk dari

lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu

kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan

yang ada pada tempat tersebut (Nurisjah dan Pramukanto,2001). Lanskap tipe

ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang

merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam

menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait

erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan oleh kelompok-kelompok

masyarakat tersebut dalam bentuk pola permukiman dan perkampungan, pola

penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, dan struktur lainnya.

Lanskap budaya mencerminkan proses dan kegiatan yang berhubungan dengan

darat maupun laut seperti permukiman, pertanian, perikanan, pertambangan,

kehutanan dan panen yang berkelanjutan. Lanskap budaya dapat dicirikan oleh

pola dan interaksi seperti ciri-ciri fisik. Konsep lanskap budaya yang mengenal

adanya banyak hubungan antara manusia dengan darat dan laut, agama, seni,

spiritual, dan budaya tidak tercermin dalam bukti materi (Buggey dan Mitchell,

diacu dalam Longstreth, 2008).

Page 29: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

16

Terdapat tiga belas komponen lanskap budaya yang telah diidentifikasi

sebagai bagian penting dari banyaknya lanskap budaya. Tiga belas komponen

tersebut dibagi menjadi tiga kelompok yang meliputi (Melnick,1983) :

1. Konteks

a. Sistem organisasi lanskap budaya

b. Kategori penggunaan lahan secara umum

c. Aktivitas khusus dari penggunaan lahan

2. Organisasi

a. Hubungan bentuk bangunan dari elemen mayor alami

b. Sirkulasi jaringan kerja dan polanya

c. Batas pengendalian elemen

d. Penataan tapak

3. Elemen

a. Hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan

b. Tipe bangunan dan fungsinya

c. Bahan dan teknik konstruksi

d. Skala kecil dari elemen

e. Makam atau tempat simbolik lainnya

f. Pandangan sejarah dan kualitas persepsi

2.4 Perencanaan Sebagai Pembelajaran Sosial

Bagi sebagian orang, pembelajaran sosial merupakan suatu metafor

untuk menunjukkan cara tertentu dalam mengaitkan pengetahuan kepada

tindakan. Bagi yang lainnya ini merupakan teknologi sosial, seperti analisis

kebijakan.

Analisis kebijakan terfokus kepada keputusan, suatu bentuk pengambilan

keputusan antisipasif, suatu proses Cognitif yang menggunakan alasan-alasan

teknis guna mengeksplorasi dan mengevaluasi jalan-jalan tindakan yang

mungkin. Client dalam hal ini adalah ―pengambil keputusan rasional‖, yang

secara implisit dianggap juga sebagai executor dari kebijakan, yang akan

menindak-lanjuti pilihanya dengan tindakan-tindakan yang sesuai.

Page 30: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

17

Ket :

N = Analisis

g = Tujuan dan kendala

D = Keputusan r = Keputusan yang dianjurkan

I = Implementasi c = Komentar dan instruksi

Rn, n = Hasil terantisipasi dan

tak-terantisipasi

a = Tindakan

C = Informasi

Gambar 2.1 Model Struktural dari Analisis Kebijakan

Sumber : Friedman, 1973

Pembelajaran sosial merupakan proses yang kompleks dan bergantung

waktu yang melibatkan :

Tindakan

Strategi dan taktik politis

Teori tentang realitas

Nilai-nilai

Keempat elemen diatas tersebut bergabung membentuk suatu praktek

sosial. Berdasarkan Gambar 2.2 Model Yang Sederhana Dari Praktik dan

Pembelajaran Sosial diketahui bahwa proses pembelajaran melibatkan

pengetahuan aktor dan pengalamn aktor yang berasal dari tindakan.

Pengalaman aktor tersebut kemudian memberikan pengetahuan baru bagi aktor,

untuk mengarahkan tindakan selajutnya.

N D I Rn, n

g

r c

C

a

Page 31: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

18

Gambar 2.2 Model Sederhana Tentang Praktek Sosial dan Pembelajaran Sosial

Sumber : Friedman, 1973

2.4.1 Ragam Perencanaan Komunitas Dalam Membentuk Kapasitas

Komunitas

Perencanaan komunitas menuju pada upaya-upaya warga masyarakat di

dalam wilayah yang secara spasial sering terlibat bekerjasama dengan para

profesional perencana untuk membuat blueprint bagi masa depan komunitas

mereka; melindungi apa yang mereka punyai dan memelihara kualitas kehidupan

mereka. Perencanaan komunitas adalah pembangunan kebijakan pada level

mikro. Musyarawah (deliberation) adalah jantungnya dari perencanaan

komunitas. Warga komunitas lokal mengkomunikasikan tentang nilai-nilai dan

harapan-harapan mereka (Briggs, 1998 dalam Suhirman, 2011).

Beberapa alasan mengapa perencanaan komunitas menjadi hal yang

menarik dalam wacana nasional (Briggs, 1998 dalam Suhirman, 2011):

1. Dalam perencanaan komunitas terdapat partisipasi yang merefleksikan

upaya besar untuk menggeser pembuatan keputusan publik dan swasta

menuju pada pembuatan keputusan yang melibatkan stakeholder.

Perencanaan sebagaimana yang diungkapkan Rich dalam Briggs (1998)

bahwa kini perencana harus mulai didesak untuk melibatkan warga dalam

menentukan masalah, memilih nilai-nilai yang utama.

2. Perencanaan komunitas makin dijadikan sarana memicu, merevitalisasi

komunitas urban yang berpendapatan rendah dan merevitalisasi kehidupan

komunitas dibalik layar perencanaan politik.

Dari beberapa pernyataan Briggs, maka dalam perencanaan komunitas

dituntut adanya komunikasi, keterlibatan komunitas, kerjasama dan peran

C = Aspek pembelajaran kognitif dan pelaku

A = Proses Pengambilan Keputusan d = Pengalaman Aktor 11 = Proses Pembelajaran 12 = Proses Pembelajaran I1 = proses pembelajaran (problem dan

maksud) I2 = perubahan actual dari tindakan,

strategi dan teori serta nilai

C A d

I1

I2

Page 32: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

19

perencana dalam memediasi komunitas. Beberapa dekade yang lalu ternyata

telah muncul beberapa perencanaan yang mencoba mengantarkan masyarakat

untuk terlibat dalam proses perencanaan. Bentuk perencanaan itu adalah

komunikatif (Sager, 1994 dalam Suhirman, 2011), kolaboratif (Healey, 1997

dalam Suhirman, 2011) dan perencanaan partisipatif (Forester, 1999 dalam

Suhirman, 2011). Ketiga perencanaan tersebut adalah merupakan hasil

transformasi pemikiran Habermas yang pada akhirnya menjadi filosofi

perencanaan.1 Namun sebelum muncul perencanaan komunitas tahun 19692,

telah ada perencanaan yang mencoba memikirkan kepentingan dan pembelaan

kelompok minoritas yaitu perencanaan advokasi (Fanstein dkk,1993 dalam

Suhirman, 2011).

Pada sub bab berikut ini akan dibahas mengenai ragam perencanaan

komunitas seperti perencanaan komunikatif, partisipatif, kolaboratif dan advokasi.

Keempat perencanaan tersebut masing-masing memberikan kontribusi terhadap

elemen-elemen (aset-aset) pembentuk kapasitas komunitas.

a. Perencanaan Komunikatif

Dengan meminjam pemikiran Habermas mengenai communicative action,

mengemukakan beberapa langkah untuk memikirkan kembali tentang

perencanaan (Sager,1994 dalam Suhirman, 2011) sebagai berikut:

1) Merumuskan kembali tema sentral dari mainstream teori perencanaan.

2) Menguji bagaimana tema perencanaan menghubungkan konsep

kekuasaan dan konflik.

3) Menganalisa mekanisme-mekanisme yang menyebabkan tidak rasional

atau tidak fleksibel.

Teori perencanaan mengarah pada debat yang terjadi pada beberapa

dekade yang lalu antara perencanaan synoptic dan disjoint incrementalism.

Synoptic planning didasarkan pada alasan-alasan instrumen, informasi yang

sempurna dan kemampuan penghitungan menjadi bagian yang penting dalam

perencanaan ini. Sedangkan disjoint incrementalism didasarkan pada model

1 Allemendinger (2001) mengemukakan communicative dan collaborative planning mendasarkan

pada konsep Habermas. Hanya saja karena perencanaan partisipatif sangat penting peranan

komunikasinya dalam perencanaan, maka penulis mengasumsikan tiga perencanaan tersebut

merupakan hasil transformasi pemikiran Habermas. 2 Allemendinger (2002). Hal ini ditunjukkan dengan karya Arnstein (1969) “A Ladder of

Partisipation”. Arnstein mengkritiki, bahwa kesalahan perencana waktu itu adalah kurangnya

pemahaman terhadap warga yang hilang haknya, rendah pendapatannya dan mereka-mereka yang

kurang didengar pendapatnya.

Page 33: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

20

baru incrementalisme dialogis didasarkan pada rasionalitas komunikasi dan

dekat dengan komunikasi tanpa batas. Dua pandangan yang kontras

sebagaimana digambarkan ke dalam dua pendekatan yang fundamental yaitu

perencanaan yang menggunakan perhitungan matematis dan perencanaan yang

memerlukan komunikasi. Dan dua pendekatan tersebut dapat saja dikatakan

rasional sesuai cara dan ketentuan pendekatan yang perencana gunakan

(Sager,1994 dalam Suhirman, 2011) .

Sager menggunakan perspektif komunikasi dengan mempertimbang-kan

kembali pertanyaan yang fundamental ―mengapa rencana‖ untuk memperkaya

dan menentukan kembali klasifikasi teori perencanaan alternatif dan untuk

mempertimbangkan peranan konflik dan manajemen konflik dalam

perencanaan. Dalam proses perencanaan, Sager menyatakan berkali-kali bahwa

perspektif komunikasi kritis memberikan kacamata yang informatif didalam

memandang isu-isu teori perencanaan lama dan debatnya melalui cara-cara

yang baru dan menarik seperti diskusi, adu argumentasi dan lain sebagainya.

Sager dalam tulisannya, menguji kembali isu-isu lama yang diabaikan dalam

mendesain proses perencanaan yang optimal, menentukan kontinum gaya

perencanaan dari yang kaku (blue print planning) ke perencanaan yang fleksibel

dan kemudian menjadi sebuah peluang yang dapat diterapkan.

Kaza (2006) memandang bahwa perencanaan komunikatif perlu

mengetahui dan menyeimbangkan kepentingan stakeholder ketika terdapat

marginalisasi orang-orang yang tersisihkan. Kalau dicermati pemikiran Sager

maupun Kaza dapat disintetiskan bahwa perencanaan komunikatif pada akhirnya

mengajak masyarakat (baik yang tersisihkan maupun tidak) untuk mempunyai

kemampuan angkat bicara dan mempunyai argumen dalam merencanakan dan

memutuskan tindakan dalam khasanah publik. Perencana dalam khasanah

perencanaan ini, diharapkan mampu mengantarkan komunitas agar mempunyai

kapasitas untuk berargumen membela kepentingan mereka. Dengan adanya

kemampuan berkomunikasi, komunitas diharapkan mampu berkolaborasi dan

berpartisipasi dalam perencanaan. Tentu saja, perencana perlu wahana

(interactional infrastructure) seperti lembaga lokal, tempat pertemuan ataupun

forum komunikasi dalam komunitas dimana mereka sering berkumpul untuk

membicarakan masalah dan kepentingan mereka. Beberapa hal yang dapat

ditambahkan dari perencanaan komunikatif adalah manfaat yang akan diperoleh

komunitas ketika mereka berkumpul. Mereka akan mendapatkan pengetahuan

Page 34: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

21

dan keahlian untuk mengemukakan pendapatnya—dan ini merupakan elemen

dari kapasitas komunitas. Perencana dalam hal ini dapat sebagai perantara

sosial dalam sebuah forum komunikasi tersebut. Jadi jelas bahwa communicative

planning dalam hal ini selain membentuk elemen knowledge, juga membentuk

elemen infrastruktur interaksi.

b. Perencanaan Partisipatif

Perencanaan dengan menggunakan pendekatan partisipatif di dalam

domain publik telah diinstitusionalisasikan sebagai metode praktik perencanaan,

seperti yang dipertentangkan dengan pendekatan komprehensif rasional. Dalam

arena publik, khususnya dalam perencanaan komunitas, prinsip-prinsip

demokrasi dan partisipasi publik telah banyak diterima untuk menyeimbangkan

dan merasionalisasikan kepentingan dan pilihan yang beragam. Tujuan akhir

partisipasi adalah menempa konsensus diantara pihak yang berkepentingan,

termasuk perencana, kelompok warga, pembuat keputusan dan kelompok

advokasi (Kaza, 2006).

Forester (2000) mengemukakan hal yang mendasari perencanaan

partisipatif adalah karena pada hakikatnya perencanaan secara politik, adalah

deliberative dan tidak semuanya keputusannya merefleksikan kepentingan

perorangan. Dengan adanya perencanaan partisipatif, hasil akhirnya adalah

diperolehnya kesepakatan yang luas melalui cara-cara tertentu untuk melakukan

tindakan yang mungkin atau tidak mungkin dilakukan. Untuk itu perencana harus

memahami posisi konflik diantara kepentingan kelompok yang berbeda.

Baik pernyataan Kaza maupun Forester kalau dikaitkan dengan

perencanaan dalam domain publik, maka sebenarnya perencanaan partisipatif

dapat diartikan sebagai upaya menangkis kritik bahwa perencanaan muncul dari

atas ke bawah. Perencanaan partisipatif dapat dikatakan sebagai instrumen

untuk menekan pemerintah yang selama ini melanggar batas kebebasan individu

untuk ikut terlibat dalam proses perencanaan. Dapat pula dikatakan, bahwa

perencanaan partisipatif sebagai upaya melawan paradigma perencanaan

modern yang selama ini memberikan supremasi dengan alasan objektif yang

didasarkan atas perhitungan rumus-rumus.

Perencanaan partisipatif, kalau ditelaah lebih lanjut, adalah merupakan

upaya membangun keahlian kerjasama dengan yang lain melalui tindakan

bersama (kolektif) dalam mengatasi konflik dan akhirnya membuat keputusan

Page 35: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

22

mengatasi masalah. Kaza (2006) menyatakan bahwa partisipasi membantu

perencana membangun jaringan sosial dan membantu perencana untuk

mengemukakan hak-hak individu di dalam pilihan kolektif. Menelaah pemaparan

perencanaan partisipatif, bahwa ada unsur-unsur yang mampu membentuk

kapasitas komunitas melalui perencanaan partisipatif ini yaitu berupa keahlian

untuk bekerja sama, pembentukan norma-norma/nilai karena partisipasi juga

pada akhirnya membentuk hubungan timbal balik diantara kelompok yang

berkepentingan.

c. Perencanaan Kolaboratif

Healey (2003) mengagas perencanaan kolaboratif ini pada tahun 1997.

Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya inspirasi sebagai berikut: (1) Perencanaan

adalah proses interaksi (2) Perencanaan sebagai aktivitas pemerintahan, terjadi

dalam lingkungan kelembagaan yang dinamis dan kompleks. Perencanaan

dibentuk oleh kekuatan ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih luas (3)

Perencanaan dan inisiatif kebijakan berhubungan dengan pemeliharaan dan

peningkatan kualitas tempat dan wilayah (teritori). (4) Pembangunan dimotivasi

oleh komitmen moral demi keadilan sosial.

Allemendinger (2001) melihat perencanaan kolaboratif termasuk juga

perencanaan komunikatif dipengaruhi oleh konsepsi Habermas yaitu rasional

komunikatif. Komponen utama pendekatan rasional komunikatif dikembangkan

oleh Healey dalam perencanaan kolaboratif sebagai berikut:

1) Perencanaan adalah proses interaktif dan interpretatif.

2) Perencanaan berlangsung dalam diskusi komunitas yang beragam dan

sangat cair (tidak dimanipulasi, tidak disandiwarakan).

3) Ada metode diskusi yang menghormati secara interpersonal maupun inter-

kultural.

4) Fokusnya memperjuangkan masalah strategi, taktik dan nilai-nilai melalui

diskusi publik dimana dalam diskusi tersebut ada konflik yang mampu

dimediasi.

5) Mengedepankan keragaman tuntutan untuk membentuk dan tipe-tipe

pengembangan kebijakan yang berbeda.

6) Mengembangkan kapasitas merefleksi diri bagi para partisipan agar mampu

mengevaluasi dan mengevaluasi kembali.

Page 36: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

23

7) Dialog yang strategis dibuka menjadi inklusif kepada sebagian orang yang

berkepentingan sehingga menghasilkan diskusi perencanaan yang baru.

8) Partisipan dalam diskusi mendapatkan pengetahuan yang baru dengan

partisipan yang lain untuk belajar menjalin relasi, nilai-nilai dan pemahaman

yang baru.

9) Partisipan mampu mengkolaborasi perubahan kondisi yang ada.

10) Partisipan didorong untuk menemukan cara yang secara praktis mampu

mencapai keinginan perencanaan mereka, bukan sekedar menyetujui

serangkaian sasaran mereka. (124)

Selanjutnya Healey (1997) menyatakan bahwa upaya-upaya

perencanaan kolaboratif dalam menentukan dan mengembangkan kebijakan

untuk perhatian kolektif, adalah berbagi porsi diantara anggota komunitas untuk

bersama-sama membantu membangun modal sosial, intelektual dan politik yang

menjadi sumber kelembagaan yang baru. Perencanaan kolaboratif

membangkitkan komunitas budayanya sendiri yang mana pada akhirnya mampu

memunculkan isu-isu masa depan mereka untuk didiskusikan secara efektif.

Dengan cara ini sebenarnya komunitas budaya yang kolaboratif telah

memfokuskan kepemerintahan lingkungan lokal akan membantu menciptakan

nuansa publik.

Dari pemaparan mengenai perencanaan kolaboratif, terlihat bahwa

perencanaan kolaboratif juga berupaya membentuk jalinan relasi, nilai-nilai dan

pengetahuan yang merupakan bagian dari kapasitas komunitas.

d. Perencanaan Advokasi

Perencanaan advokasi muncul terlebih dahulu dari pada perencanaan

komunikatif, partisipatif maupun kolaboratif. Adalah Paul Davidoff (1965)

pencetus perencanaan ini. Namun yang melatarbelakangi dari perencanaan ini

adalah bukan rasionalitas komunikatif akan tetapi pluralisme (Allemendinger,

2002; Alexander, 1986; Brooks, 2002).

Brooks mencatatkan sejarah perencanaan advokasi muncul antara tahun

1960-an dan tahun 1970-an. Waktu itu terjadi kegoncangan terhadap masyarakat

Amerika. Proses migrasi dalam skala besar diikuti dengan meluasnya

diskriminasi ras dan segregrasi penduduk telah mengkonsentrasikan ratusan ribu

penduduk yang berpenghasilan rendah dan warga minoritas dalam lingkungan

sekitar pusat kota dimana banyak terjadi masalah sosial. Kegagalan pemerintah

Page 37: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

24

federal dalam program pembaharuan kota; terjadinya kejahatan di lingkungan

ketetanggaan yaitu pengrusakan properti warga; terjadinya perang Vietnam,

telah membuat masyarakat Amerika menjadi tidak stabil—dan ini menimbulkan

krisis spiritual warga Amerika. Orang-orang yang melewati hidupnya pada saat

itu jelas mengalami betapa saat itu merupakan periode terjadinya kekacauan.

Cara-cara lama untuk mengatasi masalah tersebut benar-benar tidak berhasil.

Keadaan tersebut yang kemudian dipikirkan Davidoff untuk merancang jenis

perencanaan baru. Davidoff memandang perencanaan sebagai proses untuk

mengatasi masalah sosial yang begitu luas; perencanaan untuk memperbaiki

kondisi semua orang dengan menekankan sumber-sumber dan kesempatan

yang terbatas; perencanaan untuk memperluas keterwakilan dan partisipasi

didalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dia mengajak

perencana meningkatkan partisipasi demokrasi dan perubahan sosial yang

positif; mengatasi faktor-faktor kemiskinan dan rasisme dalam masyarakat; dan

mengatasi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, kulit putih dengan

kulit hitam, laki-laki dan perempuan.

Davidoff dalam Djunaedi (2000) mengkritik bahwa perencanaan yang

mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum, berarti telah

memonopoli kekuasaan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya

partisipasi. Bila perencanaan dianggap inklusif maka lembaga tidak akan dapat

mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam—dan akhirnya akan banyak

terjadi konflik. Untuk itu, perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme

yang berimbang dengan cara-cara mengadvokasi (memberi hak suara) pihak-

pihak yang tidak mampu meyakinkan aspirasinya. Selama ini perencanaan

tradisional dianggap menghambat tumbuhnya pluralisme yang efektif karena: (1)

Komisi perencanaan tidak demokratis dan kurang mewadahi kepentingan yang

saling bersaing dalam masyarakat yang beragam. (2) Perencanaan tradisional

berfokus pada aspek fisik dan memisahkan dengan aspek sosial.

Dari beberapa pemikiran Davidoff yang dikutip beberapa teoritisi

perencanaan dimaksud, jelas mengisyaratkan bahwa perencanaan advokasi

berupaya mendorong komunitas untuk ikut mensuarakan kepentingan mereka.

Artinya, dalam proses perencanaan mereka diharapkan untuk ikut berpartisipasi.

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa partisipasi dalam perencanaan advokasi

adalah sebagai upaya membentuk kapasitas komunitas.

Page 38: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

25

Dengan melihat kembali esensi perencanaan komunitas, maka arah

perencanaan ini secara jelas masuk dalam tradisi perencanaan sebagai

pembelajaran sosial (social learning). Tradisi pembelajaran sosial, sebagaimana

dijelaskan Friedmann (1987), merupakan perencanaan yang berjalan seiring

dengan proses-proses yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Di

dalam masyarakat terjadi proses dialektika berdasarkan pengalaman sejarah

menuju keadaan yang diiinginkan melalui proses pembelajaran. Karenanya,

perencanaan mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dan pengetahuan

teknis ke dalam proses-proses bimbingan sosial. Implikasinya terhadap

masyarakat adalah bahwa perencana hendaknya mampu merumuskan bentuk-

bentuk perencanaan yang mampu membuat masyarakat mempunyai kapasitas

melalui pembelajaran sosial.

Bimbingan kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan Etzioni dalam

Friedmann (1987) adalah konsep sosiologi makro. Artinya, pembelajaran sosial

ini berimplikasi pada keterlibatan negara dan lembaga. Untuk itu, prinsip-prinsip

pembelajaran sosial yang harus dipedomani adalah:

1. Pembelajaran manifestasinya sebagai perubahan yang secara langsung

disusun kedalam praktik sosial, kadang-kadang disistematikan atau dimaknai

dalam bahasa formal wacana ilmiah. Pembelajaran sosial secara tipikal

adalah bentuk pembelajaran yang sifatnya diam-diam dan pembelajaran

informal.

2. Pembelajaran sosial melibatkan agen perubah yang memberikan dorongan,

arahan dan membantu aktor pelaksana. Mereka umumnya para profesional

(trainer, fasilitator, konsultan) yang membawa pengetahuan formal ke dalam

praktik sosial secara terus menerus kepada kelompok klien. Perencana

dalam konteks ini adalah melibatkan diri ke dalam perubahan yang sendiri ke

dalam taktik atau strategi mengatasi masalah yang ada. Terakhir,

perencanaan dalam pembelajaran sosial memerlukan penyesuaian norma-

norma untuk mengatur proses tindakan. Penyesuaian ini khususnya terkait

dengan perubahan dalam realitas, nilai dan kepercayaan. Pembelajaran

memerlukan restrukturisasi kognitif yang akan mempunyai konsekwensi

praktis yang tinggi terhadap hubungan manusia, otoritas formal dan distribusi

ilmu (Friedmann, 1987).

Dari beberapa prinsip tersebut di atas, maka perencanaan sebagai

pembelajaran sosial, dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Page 39: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

26

1. Pembelajaran sosial memerlukan aktor perubah yang mampu

mengkolaborasi/mengakomodasi kepentingan kelompok.

2. Karena pembelajaran sosial memerlukan restrukturisasi kognitif yang terus

menerus, maka perlu advokat, perencana dalam kancah seperti dapat

berperan sebagai advokat.

3. Pembelajaran sosial diarahkan kepada kelompok-kelompok yang telah

menjalin relasi. Aktor yang dalam hal ini sebagai ‖teacher‖.

Friedmann menganggap tradisi pembelajaran sosial sebagai langkah

besar ke depan. Karena dengan pembelajaran sosial, praktisi perencanaan

bergerak dari mengantisipasi pembuatan keputusan menuju praktik tindakan dan

praktik sosial. Pendekatan pembelajaran sosial berjalan dengan proses konsep

pengetahuan. Asumsi intinya, bahwa semua pembelajaran sosial yang efektif

berasal dari pengalaman mengubah realitas. Sebagai sebuah bentuk

pengetahuan, pembelajaran sosial secara intrinsik berhubungan dengan aktivitas

manusia, memfokuskan perhatian pada proses dinamika sosial, mengatasi

masalah dari perspektif seorang aktor yang sebenarnya terlibat dalam praktik.

Dari beberapa pemaparan di atas, mulai dari perencanaan komunitas

hingga tradisi perencanaan, maka tradisi perencanaan sebagai pembelajaran

sosial mewadahi perencanaan komunitas. Hanya saja ragam perencanaan

komunitas dalam pelaksanaannya masih berdiri sendiri, sehingga elemen-

elemen kapasitas komunitas yang dibentuk belum secara utuh terintegrasi

dengan baik. Harapannya, ragam perencanaan ini ke depan hendaknya berpadu

dalam membentuk kapasitas komunitas. Gambar berikut menunjukan ragam

perencanaan komunitas yang diwadahi oleh tradisi perencanaan sebagai social

learning yang arahnya membentuk kapasitas komunitas.

Page 40: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

27

Gambar 2.3 Ragam perencanaan komunitas dalam membentuk kapasitas

komunitas di bawah payung tradisi perencanaan sebagai pembelajaran sosial

Sumber : Friedmann John (1987) Planning in The Public Domain. From Knowledge to Action.

Princeton University Press. New Jersey.

2.4.2 Pendekatan Pembelajaran Sosial

2.4.2.1 Tindakan

Tindakan merupakan fokus penting dalam pendekatan pembelajaran

sosial, yaitu kegiatan yang memiliki tujuan yang dilakukan oleh actor, individu

maupun kolektif, dalam lingkungan aktor tersebut. Konsep mengenai kegiatan

sering dimaksudkan sebagai kerja praktik (Novack, 1975 dalam Friedman, 1987).

Namun, dalam perencanaan publik, kegiatan dibedakan sebagai kerja (working)

dan sebagai praktik sejarah (historical practice). Karena berulang, kerja praktik

sering dikodivikasi, sedangkan praktik sejarah, belum pernah terjadi sebelumnya

dan bersifat unik.

Ketika seseorang terlibat dalam suatu tindakan, biasanya diartikan bahwa

tindakan itu muncul secara mandiri, dimana pelaku (atau organisasi) memiliki

keaslian (genuine) yaitu tidak ada keterpaksaan dalam memilih untuk bertindak.

Collaborativ

e Planning

Advocacy

Planning

Participator

y Planning

Communicative

Community

Capacity

Community planning

Planning as Social Learning

Page 41: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

28

Tindakan harus mengatasi hambatan, diperlukan praktik sejarah berupa strategi

dan taktik yang akan mengarahkan aktor melalui tindakannya sendiri. Setelah

hambatan dapat diatasi, aktor mendapatkan informasi yang berguna yang dapat

memimpin pembeljaran kumulatif. Setiap siklus baru dari tindakan mengarahkan

kepada permulaan yang baru.

2.4.2.2 Aktor

Tindakan menyiratkan seseorang aktor untuk bertindak. Dalam

pendekatan pembelajaran sosial, aktor-aktor muncul secara beragam, sebagai

pelaku individu, kelompok kecil, organisasi ataupun komunitas. Aktor kolektif,

seperti organisasi, komunitas, dan pergerakan sosial, dapat diidentifikasi menjadi

komponen kelompokl-kelompok aksi. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai

struktur yang relatif sementara dalam struktur yang lebih besar (Friedman, 1987).

Pada suatu saat, komunitas praktis dapat melibatkan atau mengundang

sukarelawan untuk terlibat dalam pembelajaran di dalamnya (Schweitzer, L.A,

Howard E.J, Doran, 2008). Gambar 2.4 menunjukkan gambaran konsep aktor

dalam komunitas praktis. Lingkaran dengan garis putus-putus menunjukkan

kumpulan dari kelompok – kelompok yang saling berbagi minat atau pendekatan

cara belajar, dan terkadang terjadi overlapped di antara mereka. Lingkaran

transit menunjukkan apa yang menjadi perhatian utama. Komunitas praktis

meliputi berbagai sub-kelompok dengan berbagai motivasi, pengaruh, tingkat

pengetahuan dan geografis.

Gambar 2.4 Komunitas Praktis Sumber : Schweitzer, Howard dan Doran, 2008

Dalam tradisi pembelajaran sosial, aktor dan pelajar diasumsikan sama,

merupakan kelompok aksi yang belajar dari praktik mereka. Apakah organisasi,

masyarakat, atau pergerakan (movements) juga belajar akan ketergantungan

pada sifat hubungan antar kelompok dan struktur formal kekuasaan.

TRANSIT

KELOMPOK

KELOMPOK A

KELOMPOK B

Page 42: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

29

2.4.2.3 Cara Belajar

Petama, pembelajaran sosial biasanya suatu bentuk pembelajaran yang

diam-diam dan informal (Polanyi, 1996 dalam Friedman, 1987). Kedua,

pembelajaran sosial dapat melibatkan apa yang disebut agen perubahan yang

mendorong, membimbing, dan membantu seorang aktor dalam proses

perubahan kenyataan. Mereka biasanya seorang profesional (pelatih, fasilitator,

konsultan proses, organizer) yang membawa pengetahuan formal tertentu pada

praktik sosial kliennya yang berkelanjutan. Agar efektif, agen perubahan harus

mengembangkan sebuah hubungan transaktif dengan klien mereka, yang

kondusif untuk saling belajar (Schein 1960 dalam Friedman, 1973). Ketiga,

adalah loop pembelajaran, yaitu single loop dan double loop (Argryis dan Schon

1974, 1978; Argryis 1982 dalam Friedman 1987). Pendahulu melibatkan

perubahan sederhana dalam taktik atau strategi dari tindakan untuk mengatasi

permasalahan, penerusnya membutuhkan penerapan norma-norma yang

mengatur proses tindakan, dan perubahan dalam teori yang dimiliki aktor

mengenai realitas, nilai dan keyakinan. Perubahan ini memerlukan restrukturisasi

kognitif yang akan berdampak pada citra diri, hubungan manusia, kekuasaan

formal serta distibusi biaya dan keuntungan dari tindakan.

Dalam pembelajaran sosial, pengetahuan dari realitas dan praktik

memberikan suatu pengaruh timbal balik satu sama lain. Pembelajaran didasari

tidak hanya dari pengalaman aktor yang terus berkembang, namun juga

didasarkan pembelajaran sebelumnya, yang mencerminkan posisi aktor,

pengalaman kerja, dan pendidikan formal.

Tindakan dalam domain publik biasanya melibatkan kolaborasi tindakan

melalui kelompok kecil, yakni kelompok yang berorientasi pada tugas. Mereka

membentuk dan bereformasi menjadi kelompok aksi dalam sistem pembelajaran

sosial. Pembelajaran sosial adalah suatu proses kumulatif yang berlangsung

selama siklus tindakan tertentu. Ketika sebuah siklus berakhir dan kelompok

mengalami perubahan besar dalam komposisi, apa yang telah dipelajari menjadi

tidak teratur dan akan hilang. Kelompok aksi merupakan sebuah bentuk dari

ingatan kolektif.

Kelompok-kelompok aksi diorganisir untuk tugas-tugas tertentu. Selain

karena tugas, perilaku kelompok dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi anggotanya

yakni, untuk cinta, harga diri, dam ekspresi diri yang terpenuhi di dalam kelompok

maupun di lingkungannya yang lebih luas. Pembelajaran sosial di kelompok kecil

Page 43: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

30

pada umumnya terjadi melalui hubungan tatap muka atau dialog. Namun, dialog

membutuhkan kemampuan interpersonal, seperti kemampuan mendengarkan,

kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kemampuan membuat diri

sendiri bernilai dan tanggap terhadap kebutuhan orang lain.

2.5 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial

2.5.1 Level Pembelajaran Sosial

Dua level pembelajaran yang berbeda dalam sebuah komunitas. Baik

Argyris dan Schon (1978, dalam Suhirman, 2011) maupun Levitt dan Maret

(1988, dalam Suhirman, 2011) secara eksplisit membedakan tipe-tipe

pembelajaran dari tingkat belajar.

1. Pembelajaran satu putaran (single loop learning)

Mengarah pada perubahan dalam praktek dan strategi berorganisasi. Argyris

(1992 dalam Suhirman, 2011) menggunakan sistem kontrol umpan balik

dimana pembelajaran timbul dalam kesalahan yang terdeteksi dan dikoreksi

dalam keberjalanan program. Dalam pembelajaran satu putaran,nilai – nilai

dan tujuan yang mendasari sistem kinerja tidak dipertanyakan atau diubah.

2. Pembelajaran dua putaran (double loop learning)

Mengarah pada perubahan nilai (atau variabel-variabel yang mengatur) yang

mendasari praktik dan strategi. Tingkat ini lebih mendasar dalam

pembelajaran, yang mengarah pada perubahan keyakinan, tujuan atau nilai-

nilai dasar yang tercermin dalam pengoperasian sistem.

Argyris dan Schon (1996, dalam Suhirman, 2011) membedakan kedua

tingkat pembelajaran tersebut sebagai berikut :

Pembelajaran satu putaran berfokus pada efektivitas, bagaimana cara

terbaik untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ada, dengan menjaga

kinerja berorganisasi dalam rentang tertentu oleh nilai-nilai dan norma yang

telah ditentukan. Namun, dibeberapa kasus lain, koreksi dari kesalahan

membutuhkan penyelidikan melalui modifikasi nilai-nilai, tujuan dan norma

organisasi itu sendiri, ini yang disebut pembelajaran dua putaran

2.5.2 Siklus Dasar Pembelajaran Sosial

Siklus pembelajaran terdiri dari 4 langkah (Ebrahim dan Ortolano, 2001

dalam Suhirman, 2011), yaitu :

Page 44: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

31

1. Penerimaan informasi mengenai organisasi dan lingkungannya

2. Menghasilkan pengetahuan, baik dengan menganalisis dan menafsirkan

informasi atau dengan merenungkan tindakan.

3. Bertindak, baik dengan mengaplikasikan pengetahuan untuk aktivitas

berorganisasi atau dengan melakukan percobaan dengan ide baru, dan

4. Mengkodekan (encoding) pengetahuan dan pengalaman menjadi rutinitas

atau ingatan.

Pengetahuan dan tindakan dapat timbul bersamaan. Pengetahuan dapat

menginformasikan dan mengarahkan tindakan, dan pengetahuan dapat

dihasilkan dari merenungkan tindakan. Dalam keadaan yang ideal, pengetahuan

terus menerus diubah berdasarkan pada informasi baru dari umpan balik, dan

sebagai hasilnya adalah rutinitas yang terus menerus disempurnakan.

Gambar 2.5 Siklus Pembelajaran Sosial Sumber : Suhirman, 2011

Pada siklus ini juga terdapat faktor-faktor (governing factors) yang dapat

membatasi atau memungkinkan pembelajaran : kapasitas kognitif, hubungan

kekuasaan dan kerangka persepsi. Faktor-faktor ini mempengaruhi setiap tahap

dari siklus pembelajaran.

1. Kapasitas Kognitif

Kapasitas kognitif individu dan organisasi, biasanya menjadi kendala atau

batasan dalam pembelajaran. Organisasi dan individu mempunyai batasan pada

informasi yang dikumpulkan dan kapasitas mereka untuk menganalisis dan

menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan. Terbatasnya kapasitas kognitif

Penerimaan Informasi (Information

acausition)

Pengetahuan (Knowledge)

Tindakan (Action)

Rutinisasi pengetahuan (Knowledge

Faktor-faktor yang mengatur (Governing Factors)

Kapasitas kognitif (cognitive capacities) Hubungan kekuasaan (relation of power) Kerangka persepsi (perceptual

Page 45: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

32

dapat mengarah pada pembelajaran yang hanya khayal belaka (superstitious

learning) atau ambiguitas pembelajaran (ambigous learning). Superstitious

learning muncul ketika anggota organisasi salah dalam menyimpulkan tindakan

tertentu yang mengarah pada hasil tertentu (Marcha and Olsen 1988,342).

Pembelajaran yang ambigu muncul ketika sebuah hasil begitu kurang dipahami

dan begitu banyak penjelasan muncul untuk meresponnya. Ambiguitas muncul

terkadang disebabkan karena kepemimpinana atau dominasi koalisi saat

mengesahkan suatu interpretasi dalam organisasi (Hedberg 1981, dalam

Ebrahim dan Ortolano,2001). Hasil pembelajaran yang ambigu dikarenakan

pengertian yang salah. Menurut (March 1988; Pfeffer dan Salancik 1978 dalam

Suhirman, 2011) informasi yang menjadi perhatian organisasi pada tingkat

tertentu yang menentukan apa yang akhirnya mereka lakukan.

2. Hubungan kekuasaan antara sesama organisasi dan dalam organisasi.

Hubungan kekuasaan memungkinkan organisasi-organisasi berusaha

untuk mempengaruhi pengambilan keputusan antara satu sama lain.

Penerimaan informasi dalam organisasi dibentuk dalam dinamikan pertukaran

sumber daya dan kekuasaan, kadang-kadang hal ini menghasilkan sistem yang

memfasilitasi pembelajaran (dengan menghasilkan pengetahuan yang dapat

dimasukkan dalam tindakan atau kebiasaan), dan di lain waktu menghasilkan

pengetahuan yang hanya relevan terhadap organisasi lain yang memiliki

hubungan kekuasaan dengan organisasi tersebut.

Hubungan di dalam organisasi sendiri juga penting dala proses

pembelajaran. Individu dalam suatu organisasi kadang-kadang dibatasi oleh

peran mereka dan keterbatasan pengaruh dala tindakan organisasi (March and

Olsen 1988 dalam Suhirman, 2011). Pembelajaran dan perubahan organisasi

dapat juga dipengaruhi oleh koalisi dalam organisasi. Jika ada beberapa dialog

antara koalisi, pembelajaran dan perubahan mungkin melintasi batas-batas

kelompok, tetapi jika koalisi tetap mengakar, perubahan akan dipandu oleh

kelompok – kelompok yang lebih domnan.

3. Kerangka persepsi atau pandangan yang mendasari tindakan organisasi

atau individu.

Individu menyaring informasi – informasi dan stimulus dari lingkungannya

dan mengorganisasikannya menjadi pandangan, atau kerangka persepsi, yang

Page 46: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

33

bermakna baginya. Kerangka persepsi juga merupaka bagian produk sejarah.

Kerangka persepsi juga merupakan produk dari lingkungan institusi sebuah

organisasi. Walaupun kerangka persepsi mempengaruhi proses belajar dengan

mempengaruhi apa informasi yang perlu menjadi perhatian dan bagaimana

menginterpretasikannya, proses pembelajaran juga memainkan peran dalam

perubahan kerangka persepsi dari waktu ke waktu. Kerangka persepsi mungkin

memandu bagaimana individu dan organisasi menginterpretasikan stimulus dari

lingkungan, namun individual dan organisasi akan meresponnya secara unik dan

berbeda dari waktu ke waktu. Kerangka persepsi memandu pembelajaran dan

perilaku, namun pembelajaran dan perilaku secara terus menerus mengubah

kerangka itu sendiri.

2.6 Tradisi Pembelajaran Sosial dalam Perencanan

Berdasarkan sejarah pemikiran perencanaan, Friedmann (1987)

membagi perencanaan kedalam empat tradisi :

1. Learning by doing pembelajaran berasal dari proses coba dan salah (trial

and error) yang terjadi berulang. Sebuah organisasi munkin untuk

mengulang kebiasaaan yang berhubungan dengan keberhasilan dalam

memenuhi target, sebaliknya tidak mungkin untuk mengulang kebiasaan

yang berhubungan dengan kegagalan (Cyert and March 1963; Levitt and

March 1988 dalam Ebrahim dan Ortolano, 2001). Penggunaan kebiasaan

yang sudah terbukti keberhasilannya dan memungkinkan untuk

mengembangkan lebih lanjut disebut ekploitasi (exploitation) (Levinthal and

March 1993; March 1991).

2. Learning by exploration pembelajaran ini muncul ketika oprganisasi-

organisasi mencari prosedur baru dan ide-ide baru ―tanpa mengetahui atau

mengantisipasi konsekuensi penuh dari pekerjaan mereka‖ (Sanchez Triana

1998, dalam Suhirman, 2011). Eksplorasi melibatkan ―pencarian, variasi,

pengambilan resiko, percobaan, bermain, fleksibilitas, penemuan dan inovasi

(March 1991, dalam Suhirman, 2011). Sebuah organisasi dapat mencoba

berbagai prosedur baru dan mengadopsinya untuk menemukan yang lebih

baik dari pada kebiasaannya yang ada sekarang. Terkadang digunakan

prosedur atau ide yang belum terbukti bahkan dikembangkan prosedur atau

ide baru. Sejauh mana sebuah organisasi terlibat dalam bentuk

pembelajaran ini sebagian tergantung pada sejarah keberhasilan dan

Page 47: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

34

kegagalan organisasi, kegagalan dalam memenuhi target dapat memicu

atau meningkatkan pencarian untuk pencarian alternatif, sedangkan

keberhasilan dalam memenuhi target biasanya menyebabkan penurunan

pencarian dan meningkatkan ketergantungan pada masa lalu (March 1988,

dalam Suhirman, 2011).

3. Learning by exploration and learning by doing keduanya sama-sama

penting, jika sistem (yaitu, organisasi) terlibat dala eksplorasi saja, ia akan

terperangkap dalan suatu keadaan sub-optimal, gagal untuk menemukan

arah-arah baru atau untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.

Jika sistem terlibat dalam ekplorasi saja, ia tidak akan pernah mendapatkan

keuntungan – keuntungan dari penemuannya, tidak pernah merasa cukup

baik bagi mereka untuk menjadikannya berguna bagi mereka (March 1992-

1993, dalam Suhirman, 2011).

4. Learning by imitation selain belajar dari pengalaman mereka sendiri,

organisasi-organisasi juga belajar satu sama lain dengan mengadopsi

kebiasaan, strategi, hierarki atau teknologi dari organisasi lain. Imitasi

merupakan salah satu dari sejumlah mekanisme perubahan dalam

organsiasi, khususnya untuk meniru perilaku organisasi lain (Dimaggio dan

Powell, 1983 dalam Suhirman, 2011). Penyebaran dari metodologi dan

prosedur dari suatu organisasi kepada organisasi lain dapat muncul, seperti

contohnya melalui pergerakan personel dan konsultan atau melalui kontak

antar orgnaisasi (Biggart 1977, as cited in Levit and March 1988, dalam

Suhirman, 2011). Mimikri kadang digunakan seagai strategi bertahan oleh

organisasi-organisasi untuk menghadapi keadaan yang tidak menentu,

dimana mereka melihat kepada aktivitas atau strategi dari organisasi serupa

lainnya yang mereka anggap lebih memungkinkan atau lebih sukses

(Dimaggio dan Powell 1983, dalam Suhirman, 2011).

Namun kesemua tradisi ini bermuara pada satu inti yaitu bagaimana

pengetahuan tersebut semestinya dikaitkan kepada tindakan. Pembelajaran

sosial ini lebih bersandar pada nilai-nilai epistomologi. Ia berawal dari kritik

terhadap hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi tradisi ini, pengetahuan

bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini

dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman

dan disempurnakan lewat praktik. Friedmann meminjam beberapa pemikiran Kurt

Page 48: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

35

Lewin dengan retorikanya adalah belajar sambil bekerja (learning by doing).

Pendukung utama dari aliran ini adalah John Dewey, yang mengkonsepkan

bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi

merupakan bentuk politik ilmiah. Secara konservatif, gagasan Dewey ini

diadaptasi oleh para teoretisi pengembangan organisasi, yang

mengaplikasikannya dalam pengendalian korporasi. Secara revolusioner,

gagasan Dewey ini dikembangkan di China oleh Mao Tse Tung. Mao

menempatkan perspektif pembelajaran sosial sebagai perluasan dari tradisi

mobilisasi sosial. Ide utama tradisi pembelajaran sosial ini adalah ekstensifikasi

nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis,

relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi

terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.

Walaupun paparan Friedman tidak menyinggung maupun mengadopsi

pemikiran Habermas sama sekali, tapi gagasan tersebut berkaitan erat dengan

teori rasional komunikatif-nya Habermas, dimana teori tersebut yang menjadi

filosofi munculnya perencanaan-perencanaan di era postmodern seperti

perencanaan komunikatif, kolaboratif maupun partisipatif (Allmendinger, 2002;

Sager, 1994 dalam Suhirman, 2011). Dalam tradisi pembelajaran sosial, aktor

dan yang belajar diasumsikan menjadi satu dan sama. Tradisi pembelajaran

sosial adalah kelompok yang belajar dari praktik itu sendiri. Apakah itu

organisasi, komunitas atau gerakan masyarakat juga belajar akan tergantung

pada hakikat relasi intergrup dan struktur formal otoritas. Dalam pengembangan

organisasi pembelajaran sosial dianggap bahwa aktor relevan adalah top

manajemen yang menjembatani peluang anggota masyarakat untuk terlibat

dalam perencanaan. Dan ini kalau diperluas memunculkan konsep perencanaan

partisipatif, kolaboratif dan komunikatif, dimana tipe-tipe perencanaan tersebut

memberi peluang terbentuknya kapasitas komunitas.

2.7 Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan

sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari

kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai

Page 49: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

36

mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai

"kultur" dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,

sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia

sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda

budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa

budaya itu dipelajari. 3)

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,

abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial

manusia. 4)

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika

berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:

Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu

citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang

memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti

"individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang

dan "kepatuhan kolektif" di Cina.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-

anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan

dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang

paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan

hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang

koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya

meramalkan perilaku orang lain.

3) Budaya Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi

4) Budaya Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25

Page 50: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

37

2.8 Kebudayaan Sunda

Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi

sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu

dilestarikan. Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa

di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa

sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia

relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis.5)

a Sistem Kepercayaan

Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang

tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten

Tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Praktek-praktek

sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang

Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan

magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan

sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong)

b Sistem Kekerabatan

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan

ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang

bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan

agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi

kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu

sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan

c Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa

mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat.. Secara sosiologis-

antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui

memiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer.

Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam

mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang

pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur

berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener yaitu jujur, amanah,

penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer artinya kreatif

dan inovatif.

5) Kebudayaan Sunda. www.sundanet.com

Page 51: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

38

d Tata Letak Lahan

Dalam kebudayaan sunda tradisional penentuan tata letak lahan memliki

aturan-aturan tersendiri. Aturan tata letak ini dianggap dapat membuat wilayah

atau permukiman yang berdiri diatasnya dapat mengalami kemakmuran kepada

penghuninya. Adapun beberapa aturan tata letak yang ada diantaranya :6)

1. Garuda Ngupluk Letak lahannya seperti burung Garuda mengepakan

sayap. Tata letak seperti mempunyai ciri berada ditanah yang subur, landai

ketimur laut dan berdekatan dengan sumber air.

2. Pantjoeran Emas Lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan

bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.

3. Satria Lalakoe Lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini

hidup prihatin, namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh

kehormatan.

4. Kantjah Nangkoeb Lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan

dikelilingi pegunungan. Penduduk atau penghuni di lokasi ini hidup sejahtera.

5. Gadjah Palisoengan Lahan datar di atas tanah miring ke arah timur dan

barat. Pemilik lokasi pada lahan ini akan mendatangkan kekayaan duniawiah

nan tumpah ruah

6. Boelan Poernama Desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada

lahan yang dialiri sungai dekat mata air ( di arah utara ), sedangkan arah

bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur.

7. Galagah Katoenan Salah satu tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak

layak untuk tempat mendirikan rumah atau kampung, dimana pada lahan ini

terletak pada dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.

Selain itu tata letak lahan, adapun beberapa aturan yang menyangkut

tentang kemiringan lahan yaitu :

1. Jika tanah miring ketimur biasa disebut dnegan ―Manikmulya‖, dimana

kondisi lahan yang demikian dianggap mempunyai kondisi lingkungan yang

sehat, banyak mendatangkan rezeki serta selalu aman tenteram.

2. jika tanah miring kearah selatan disebut dengan Sawahboja. Pada kondisi

tanah yang seperti ini dianggap selalu mengalami bencana alam yang akan

menimpa wilayah diatasnya.

6) Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga Di Bandung Raya. 1984. PT Granesia Bandung. Hal

397-399

Page 52: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

39

e Pola Permukiman Masyarakat Sunda

Permukiman masyarakat sunda tradisional pada umumnya ditata secara

teratur. Lokasi permukiman terletak pada sebidang tanah dengan pusatnya yaitu

alun-alun yang berbentuk lapangan terbuka dengan dikelilingi sejumlah

bangunan. Tata ruang dalam suatu permukiman masyarakat sunda mempunyai

suatu pola nyata yang terlihat dari adanya daerah bukaan, orientasi dan

penataan bangunan serta jalan transportasi masuk dan keluar. Di Jawa Barat

paling tidak terdapat dua pola perkampungan yakni tersebar dan terkonsentrasi

(memusat). Baik rumah, permukiman dan lingkungan masyarakat sunda

mempunyai keunikan tersendiri.

Unsur-unsur terpenting dalam suatu perkampungan sunda adalah :7)

1. Rumah adat (bumi ageung) yang kemudian bergeser fungsi menjadi langgar

atau mesjid, namun tetap merupakan pusat kegiatan masyarakatnya;

2. Rumah keluarga batih, yaitu kediaman sepasang suami isteri dengan anak-

anak lelaki yang belum aqil-balik dan anak perempuan yang belum kawin,

ditambah beberapa kerabat-darah terdekat; dan

3. Bangunan penyimpanan dan pengolahan padi, yaitu leuit dan saung lisung

kolektif.

f Rumah Masyarakat Sunda

Rumah tradisional sunda pada dasarnya terbuat dari bahan yang tersedia

di alam seperti kayu, bambu, daun rumbia, ijuk, rotan dan batu. Bentuk rumah

tradisional sunda pada umumnya berbentuk rumah panggung, sehingga setiap

rumah mempunyai kolong yaitu ruangan antara lantau rumah dengan tanah.

Bentuk bangunan arsitektur Sunda ini masih dapat dilihat pada kmpung-

kampung adat seperti Baduy dan Naga. Dimana ciri yang paling menonjol adalah

dalam bentuk atapanya yang dikenal dengan Suhunan Julang Nagapak.8)

7) Sasakala.Klasifikasi Lahan Pada Masyarakat Sunda Kuno. 1989.www.sundanet.com

8) Undang, Gunaman Drs dan Tjetjep. Drs.Mengenal Arsitektur Tradisional Sunda. CV Duta

Pacifia. Bandung. Hal 19-59

Page 53: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

40

Gambar 2.6 Bentuk Bangunan Tradisional Sunda Sumber : www.google.com

Secara garis besar bagian-bagian penunjang dari rumah tradisional

sunda terdiri dari :

1. Tatapakan

Tatapakan adalah penahan dasar tiang rumah yang dibuat dari batu

cadas atau batu hitam. Bentuk tatapakan ini menyerupai balok panjang.

Tatapakan rumah tradisional sunda seringkali tidak sama. Hal ini terkait dengan

adanya penyesuaian tinggi tatapakan dengan keadaan tanah tersebut.

Selain itu juga penyesuaian tinggi tatapakan ini dikarenakan adanya

suatu pantangan dalam meratakan tanah karena akan merusak alam lingkungan.

Tujuan dari adanya tatapakan ini adalah untuk menghindari jangkauan binatang

liar.

Page 54: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

41

Gambar 2.7 Tatapakan Yang Digunakan Sebagai Pondasi Sumber : www.google.com

2. Kolong

Kolong adalah ruangan yang terdapat dibawah palupuh (lantai) rumah.

Tinggi kolong tergantung dari tingginya tatapakan rumah. Dilingkungan pedesaan

banyak digunakan untuk kandang binatang piaraan seperti domba, kelinci, ayam

dan bebek. Selain itu juga untuk penyimpanan alat-alat pertanian, seperti waluku

(bajak), pacul (cangkul), linggis dan garpu serta tempat penyimpanan suluh (kayu

bakar).

3. Golodog

Golodog adalah tangga rumah yang terdiri atas beberapa anak tangga.

Banyaknya anak tangga ini tergantung dari ketinggian tatapakannya. Golodog

terbuat dari bambu atau kayu. Golodog ini berfungsi sebgai penghubung atau

tangga antara tanah dan lantai rumah. Letak golodog didepan pintu rumah yang

berfungsi sebagai tangga masuk dan untuk membersihkan kaki yang akan

masuk kedalam rumah.

Gambar 2.8 Golodog Sebagai Tangga Masuk Rumah Sumber : www.google.com

Page 55: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

42

4. Tiang

Tiang dalam bahasa sunda biasa disebut

dengan tihang. Tiang adalah penyangga atap

bangunan yang berdiri tegak lurus diatas tatapakan.

Tiang ini biasanya terbuat dari katu yang berbentuk

balok. Tiang ini juga berfungsi sebagai tahanan

utama untuk menempelkan bilik.

5. Dinding Bilik

Dinding rumah tradisional sunda

biasanya terbuat dari bilik. Bilik ini terbuat dari anyaman bambu. Bilik dipasang

mengelilingi seluruh bangunan yang ditempelkan pada bagian luar tiang. Bilik ini

juga berfungsi sebagai pemisah ruangan-ruangan didalam rumah.

Gambar 2.10 Bilik Sebagai Ciri Khas Bangunan Tradisional Sumber : www.google.com

6. Pintu

Pintu dalam bahasa sunda biasa disebut

dengan panto. Panto biasanya terbuat dari

bambu atau kayu. Ambang pintu disebut

dengan bangbarung. Dan rangka panto biasa

disebut dengan jejeneng panto. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.11

Pintu Tradisional Masyarakat Sunda.

Gambar 2.11Pintu Tradisional Masyarakat Sunda Sumber : www.google.com

Gambar 2.9 Tihang Yang Berfungsi Sebagai

Penunjang Bangunan Sumber : www.google.com

Page 56: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

43

7. Jendela

Jendela yang sering terlihat pada arsitektur rumah tradisional sunda adalah

jendela Jalosi. Dimana jendela jalosi ini berfungsi

sebagi pengatur pertukaran udara. Jendela jalosi

ini terbuat dari serpihan bambu atau kayu yang

dipasang tegak lurus diantara tepi bawah dan tepi

atas pintu. Bambu atau kayu kecil penghalang

jendela disebut ruji. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 2.12 Jendela Jalosi.

Gambar 2.12 Jendela Jalosi

Sumber : www.google.com

Page 57: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

44

BAB 3

METODOLOGI

Pada dasarnya penelitian ini merupakan sebuah studi eksplorasi atas

fenomena proses pembelajaran sosial dalam mempertahankan adat istiadatnya

beserta ketahanan pangannya serta pengaruhnya terhadap kawasan.

Penjelajahan untuk menemukan jawaban pertanyaan penelitian akan dilakukan

melalui penafsiran pemaknaan dari para pemangku kepentingan (stakeholders)

terhadap tindakan partisipatif kolektif yang telah dilakukannya. Oleh karena

fenomena yang akan diamati terkait proses pembelajaran sosial pada

masyarakat adat melalui ketahanan pangannya, maka metode yang digunakan

adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menghasilkan uraian yang

mendalam terhadap ucapan, tulisan, dan perilaku yang diamati dari individu dan

kelompok masyarakat di wilayah studi terkait pembelajaran sosial yang telah

terjadi dikomunitas. Penelitian yang bersifat kualitatif, pada hakekatnya

mengamati manusia dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka,

berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya

(Nasution, 2003). Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk

membangun pernyataan pengetahuan dan makna-makna yang bersumber dari

pengalaman aktor kunci sebagai responden mengenai pembelajaran sosial yang

telah terjadi di komunitas, serta nilai-nilai sosial dan sejarah di wilayah studi,

dengan tujuan untuk membangun pola pengetahuan terkait latar belakang

terjadinya pembelajaran sosial di komunitas.

Pendekatan metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi

kasus. Metode studi kasus merupakan strategi yang cocok menjawab pokok

pertanyaan suatu penelitian yang berkenaan dengan how atau why, bila peneliti

memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan

diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer

di dalam konteks kehidupan nyata (K. Yin, 2002). Pertanyaan penelitian yang

diajukan dalam studi ini berkenaan dengan 3 pertanyaan, yaitu :

1. Bagaimana (how) proses pembelajaran sosial terjadi, dan peneliti tidak

memiliki kontrol terhadap peristiwa pembelajaran sosial yang telah terjadi

sebagai objek penelitian, oleh sebab itu pendekatan studi kasus dirasa tepat

untuk digunakan dalam penelitian ini.

Page 58: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

45

2. Mengapa (why) mereka mempertahankan adat kebudayaanya dan dapat

hidup berkelanjutan dengan mempertahankan sosialnya. Peneliti disini lebih

mengeksplor lebih dalam mengenai hal ini. Biasanya dapat terjawab karena

ketuanya yang berwibawa / takut akan ancaman-ancaman, maupun pamali

(pantangan) lainnya.

3. Apa (what) terkait terhadap pembangunannya. Peneliti disini mencari tahu

seperti apakah keberlanjutan yang mereka maksud itu, kemudian melakukan

perbandingan antara tata cara permukiman yang ada (sesuai peraturan yang

berlaku) dengan tata cara permukiman kampung adat Cireundeu.

Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Penelitian deskriptif membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki (Nazir, 1998). Untuk mengambil kesimpulan dalam penelitian ini, diawali

dari teori mengenai pembelajaran sosial dan pemikiran untuk menguji pertanyaan

penelitian untuk kemudian menguatkan atau membatalkan teori (deduktif).

Penelitian ini memfokuskan teridentifikasinya proses pembelajaran sosial yang

telah terjadi berdasarkan kerangka konsep tahapan , siklus dan tipologi

pembelajaran sosial yang didapatkan dari teori sebelumnya.

Posisi peneliti dalam penelitian ini berada diluar objek penelitian. Peneliti

melihat, mengobservasi, memantau objek penelitian sebagai fenomena untuk

mengetahui pembelajaran sosial yang telah terjadi, namun tidak terlibat secara

langsung selama proses pembelajaran sosial yang telah terjadi. Peneliti

berusaha menggambarkan secara detail dan terperinci terhadap bukti-bukti

fenomena yang telah dikumpulkan, dalam berbagai bentuknya, seperti peristiwa,

konsep, program dan proses terkait pembelajaran sosial berdasarkan berbagai

sumber baik itu berupa wawancara responden maupun observasi di wilayah

studi.

1.4.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data lebih banyak dilakukan

secara primer dan kualitatif (persepsi siklus perilaku) atau sering disebut dengan

naturalistic inquiry (inkuiri alamiah). Dimana, pengumpulan data dilakukan

melalui metode sebagai berikut :

Page 59: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

46

1. Teknik Sampling

Teknik Sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik

sampling dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Non-

Probability Sampling. Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel

yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi

untuk dipilih menjadi anggota sampel sedangkan Non-Probability Sampling

adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan

sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel

(Prof. Dr. Sugiyono,2011).

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dalam bentuk

penyebaran kuesioner menggunakan Probability Sampling secara Simple

Random Sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan

anggota sampel di kampung adat Cireundeu dilakukan secara acak tanpa

memperhatikan strata yang ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling.

Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling

Sumber : Prof. Dr. Sugiyono, 2011

Untuk wawancara, penulis menggunakan metode Non-Probability

Sampling melalui pendekatan Snowball Sampling. Snowball Sampling

merupakan teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,

kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama

menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau

dua orangm tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap

terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang

dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua

orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin

banyak (Prof. Dr. Sugiyono, 2011). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Gambar 3.2 Snowball Sampling.

Populasi homogen/

relatif homogen

Sampel yang representatif

Diambil secara random

Page 60: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

47

Gambar 3.2 Snowball Sampling

Sumber : Prof. Dr. Sugiyono,2011

2. Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing)

Wawancara ini dilakukan terhadap para representative pemangku

kepentingan (stakeholders) yang memegang posisi-posisi kunci (aktor kunci)

dalam pembelajaran sosial masyarakat adat Cireundeu sehingga mereka

memiliki keunikan tersendiri dalam mempertahankan adatnya. Wawancara

ini dirancang dalam suatu dialog yang bersifat ‗inter-subyektif‘ dengan

panduan pertanyaan terbuka sehingga dapat memberikan kesempatan

terjadi penjelasan-penjelasan / pemahaman yang bersifat

‗membuka/unfolding’ untuk dapat mengungkapkan makna dari fenomena

pembelajaran sosial serta tindakan penanaman tanaman singkong dan

menjadikan singkong sebagai makanan pokoknya tanpa dibatasi peneliti.

Dalam melakukan dialog ini, peneliti yang merupakan sebuah instrumen

utama dalam pengumpulan data, menerapkan model sistem dari proses

mendengarnya Imhof dan Janusik (2006), agar supaya para responden

dapat mengemukakan pikiran, perasaannya secara terbuka dan percakapan

antara peneliti dan responden dapat terjadi secara alamiah dan dialog dapat

terbangun secara lancar.

3. Penyelidikkan sejarah hidup (Life Historical Investigation)

4. Analisis Konten (Content Analysis).

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan survey ke RW. 10

Kelurahan Leuwigajah Kampung Cireundeu Kecamatan Cimahi Selatan Kota

Cimahi untuk mendapatkan data kependudukan RW.10 Kelurahan Leuwigajah

Kecamatan Cimahi Selatan serta untuk mendapatkan dokumen yang dapat

memberikan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan pembelajaran sosial

A

F D E I G H

L J K O M N

B C

Sampel pertama

Pilihan A

Pilihan C Pilihan B

Pilihan E Pilihan H

Page 61: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

48

yang telah terjadi di Kampung Adat Cireundeu. Sedangkan pengumpulan data

primer dilakukan melalui In-depth interviewing (teknik wawancara mendalam)

atau semi terstruktur yang akan dilakukan selama 5 (lima) hari kepada aktor -

aktor kunci yang terlibat dalam pembelajaran sosial agar memperoleh informasi

yang diinginkan serta melakukan observasi di wilayah studi untuk mengetahui

keadaan lingkungan komunitas setelah terjadi tindakan kolektif warga.

Penelusuran terhadap informasi di dapatkan dari jurnal, buku, internet,

dan berbagai hasil studi yang terkait dengan topik penelitian ini. Penelusuran

informasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung hasil

wawancara dan sebagai tinjauan literatur yang digunakan untuk konsep yang

mendasari penelitian ini. Adapun informasi dan data yang ditelusuri terbagi ke

dalam dua bagian, antara lain :

1.4.3.1 Data Primer (Utama)

Data primer yang dibutuhkan dalam Tugas Akhir ini adalah :

Pola pembelajaran sosial

Tahapan pembelajaran sosial

Aktor yang terlibat

Pembelajaran sosial dalam mempertahankan kehidupan yang

berkelanjutan

Adapun sumber data primer ini diperoleh dari :

Tokoh masyarakat

Masyarakat lokal

Penduduk berdasarkan strata

Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan

Wawancara terhadap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( apakah

masyarakat kampung adat Cireundeu mendapatkan perhatian khusus

atau bagaimana rencana pengembangan yang akan dilakukan untuk

masyarakat adat ini) serta survey primer ke kantor Kecamatan

Leuwigajah.

1.4.3.2 Data Sekunder (Pendukung)

Data Sekunder (Pendukung) merupakan data yang dibutuhkan untuk

penunjang ketelitian penelitian dalam Tugas Akhir. Adapun data-data sekunder

yang dibutuhkan adalah :

Page 62: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

49

Fasilitas pembelajaran

Event-event adat

Variasi serta proses kegiatan memakan singkong dan daya guna tanaman

Wahana pembelajaran

Kesenian sebagai tuntunan

Sektor pembelajaran

Sistem penerimaan informasi

Level pembelajaran

Sistem penerimaan informasi

Data jumlah penduduk berdasarkan :

a. Mata pencaharian

b. pendidikan

Adapun sumber data sekunder ini diperoleh dari :

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kantor Kecamatan Leuwigajah

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Selanjutnya wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi

mengenai pembelajaran sosial yang terjadi di RW. 10 Kelurahan Leuwigajah

Kampung Cireundeu Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Teknik

wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara in-depth atau

semi terstruktur kepada aktor-aktor kunci yang terlibat dalam pembelajaran sosial

agar memperoleh informasi yang diinginkan. Wawancara semi terstruktur

maksudnya peneliti mengajukan pertanyaan dengan leluasa tanpa ada susunan

pertanyaan yang runut dan mengikat namun tetap menggunakan panduan

masalah yang akan ditanyakan pada informan. Teknik ini diharapkan dapat

menjadikan wawancara yang terjadi lebih terbuka, dan informasi yang

didapatkan lebih daripada yang diinginkan namun tidak keluar dari kerangka

informasi yang perlu diketahui.

Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu :

a. Autoanamnesa (wawancara yang dilakukand dengan subjek atau

responden)

b. Aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden)

Responden yang diwawancarai ditentukan dari pengidentifikasian aktor

kunci yang terlibat dalam proses pembelajaran sosial dari :

Page 63: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

50

a. Hasil survey pendahuluan yang dilakukan, yaitu dengan mewawancarai

Bapak Emen sebagai sesepuh dari kelompok adat tersebut

b. Pendekatan ―Bola Salju‖ (snowball approach). Penentuan sampel yang

mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang

menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel,

pertama-tama dipilih satu atau dua orangm tetapi karena dengan dua orang

ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti

mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data

yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga

jumlah sampel semakin banyak (Prof. Dr. Sugiyono, 2011)

Responden yang diwawancarai terdiri dari 3 kategori, yaitu :

1. Fasilitator, memiliki kriteria sebagai berikut :

Fasilitator merupakan pihak yang memfasilitasi terjadinya pembelajaran

sosial di kampung adat Cireundeu.

Terlibat langsung dalam pembelajaran di kampung adat Cireundeu

Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang

mengarahkan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di

kampung adat Cireundeu.

2. Kelompok pemuda (kelompok inisiatif), memiliki kriteria sebagai berikut :

Terlibat langsung dalam pembelajaran sosial di kampung adat Cireundeu

Bagian dari kepengurusan kelompok inisiatif

Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang

mengarahkan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di

kampung adat Cireundeu.

3. Warga, memiliki kriteria sebagai berikut :

Terlibat langsung dalam pembelajaran di komunitas kampung adat

Cireundeu

Terlibat langsung dalam tindakan kolektif untuk mewujudkan perubahan di

kampung adat Cireundeu.

Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang

mengarhakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di

kampung adat Cireundeu.

Berikut ini merupakan tabel kebutuhan data yang disesuaikan dengan

sasaran yang ingin dicapai.

Page 64: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

51

Tabel 3.1

Kebutuhan Data

Sasaran Sumber Cara Memperoleh Analisis

Menemukan dan mengenali tahapan pelaksanaan kegiatan pembelajaran sosial yang terjadi di kampung adat Cireundeu.

Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif

Menemukan dan mengenali siklus pembelajaran sosial yang terjadi

Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif

Menemukan dan mengenali tipologi tahapan pembelajaran sosial

Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif

Menemukan dan mengenali outcome proses pembelajaran sosial seperti yang dikemukakan pada point satu, dua dan tiga yang mendukung terwujudnya perubahan dari segi lingkungan di kampung adat Cireundeu.

Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif

Sumber : Hasil Analisis, 2012

Gambar 3.3 Alur Proses Pengumpulan Data dan Informasi

Sumber : Hasil Analisis, 2012

Data & Informasi

Mendapatkan referensi komunitas yang proses

pembelajaran sosial yang melibatkan

perubahan sosial di dalamnya.

Mengklarifikasi informasi yang diperoleh dan

mengidentifikasi aktor

Mengetahui proses pembelajaran sosial dalam kampung adat Cireundeu

Mengetahui outcome pembelajaran sosial

yang mendukung terwujudnya keunikkan

kampung adat Cireundeu

Sumber

Internet, Televisi, koran, dan buku

Wawancara Sesepuh (Bapak Emen) Survey lapangan pendahuluan

Wawancara aktor-aktor Penelusuran dokumen

Wawancara warga Survey lapangan

Metode

Diskusi informal Observasi

Wawancara semi terstruktur

Wawancara semi terstruktur / wawancara in-depth Observasi

Penentuan sampel

Page 65: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

52

Tabel 3.2

Matriks Variabel Penelitian

No. Identifikasi Masalah

Variabel Penelitian Point Pertanyaan

1 Why

1. Tindakan

1. Apa saja tindakan-tindakan yang dilakukan sehingga mereka dapat mempertahankan adat istiadatnya untuk mewujudkan komunitas yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan

2. Pengalaman mereka 2. Pengalaman seperti apa yang di alami selama ini, sehingga mereka bisa teguh pendirian terhadap ideologi mereka.

3. Difusi pengetahuan, pengalaman, inovasi-inovasi pengetahuan yang tertuang dalam tindakan

2. How

1. Kelompok

a. Kelompok besar : masyarakat Cireundeu dan sekitarnya

b. Kelompok Kecil : Ibu PKK Yang selalu memproduksi singkong Karang Taruna

2. Jaringan kerja organisasi 1. Apakah ada jaringan kerja organisasi yang dilakukan di masyarakat Kampung Adat Cireundeu ini?

3. Komunitas

What Perbandingan Keberlanjutan antara tata cara permukiman yang ada dengan tata cara permukiman yang mereka lakukan

1.4.4 Metode Analisis

Strategi yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah strategi

umum (general strategy), yaitu strategi yang dilandaskan pada proposisi teoritis

yang membantu memfokuskan perhatian data tertentu dan mengabaikan data

lainnya (Yin, 1989) untuk memudahkan interpretasi data. Dalam penelitian ini

terdapat asumsi teoritis yang digunakan sebagai landasan pengolahan data

kualitatif yang terdiri dari :

1. Perubahan sosial yang timbul dari pembelajaran sosial merupakan kunci

keberhasilan dari sebuah pemberdayaan komunitas (Korten, 1987 dalam

Suhirman, 2011)

2. Pembelajaran sosial dan praktek sosial (dalam konteks ini termasuk tindakan

kolektif warga) merupakan proses yang saling berimplikasi satu sama lain

(Friedman, 1987)

Page 66: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

53

3. Pembelajaran sosial membentuk suatu siklus dan dan terdiri dari berbagai

tipe dan level (Ebrahim dan Ortolano, 2001 dalam Suhirman, 2011).

Dari asumsi teortis terebut kemudian ditentukan fokus penelitian, yaitu

tahapan pembelajaran sosial yang terjadi di kampung adat Cireundeu. Setelah

fokus penelitian ditentukan, tahapan analisis selanjutnya adalah sebagai berikut :

1. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran

menyeluruh mengenai proses pembelajaran sosial yang telah dikumpulkan.

Peneliti membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir

mengenai data yang dianggap penting, kemudian melakukan pengkodean

data. Pengkodean dilakukan berdasarkan tindakan, persepsi, latar belakang,

dan hubungan aktor yang kemudian dikaitkan dengan fokus penelitian dan.

Pernyataan yang tidak relevan dengan fokus penelitian dan pertanyaan

maupun pernyataan yang bersifat tumpang tindih peneliti hilangkan,

sehingga yang tersisa hanya unsur pembentuk atau penyusun dari objek

penelitian.

2. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis

gambaran tentang bagaimana pembelajaran sosial tersebut terjadi.

Selanjutnya, peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari

proses pembelajaran tersebut sehingga menemukan esensi dari

pembelajaran sosial tersebut terkait dengan fokus penelitian.

3. Peneliti memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari

pembelajaran sosial yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman

responden mengenai pembelajaran sosial tersebut.

4. Peneliti kemudian menginterpretasikan narasi yang telah dibuat untuk

menarik kesimpulan.

Page 67: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

54

BAB 4

PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL

DAN PENATAAN RUANG

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU

Seperti halnya dengan kampung pada umumnya, Kampung Adat

Cireundeu memiliki kehidupan yang hampir sama dengan masyarakat perdesaan

Indonesia pada umumnya, dan masyarakat sunda di Jawa Barat pada

khususnya. Namun beberapa pola kehidupan mereka yang telah

mempertahankan suatu tata nilai dari leluhur yang berbeda dengan masyarakat

lainnya di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

mempunyai kehidupan dari kegiatan pertanian tanaman singkong, berkebun dan

kegiatan pedesaan lainnya. Namun, masyarakat Kampung Adat Cireundeu

berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya yang ada di Kota Cimahi,

karena memiliki keunikan diantaranya adalah makanan pokok utamanya berupa

singkong (serba singkong), aturan adatnya ketat dan dijalankan secara turun

menurun selama ratusan tahun, dan masyarakatnya menganut keyakinan sunda

wiwitan. Berikut akan dijelaskan mengenai gambaran umum Kampung Adat

Cireundeu, kearifan budaya lokal terkait dengan penataan ruangnya.

4.1. Wujud Fisik dan Aspek Kependudukan

Secara fisik, Kampung Cireundeu tak beda dengan kampung

kebanyakan, terutama bentuk fisik bangunan rumahnya. ―Wilujeung Sumping di

Kampung Cireundeu.― Tulisan Hanacaraka bertulis latin dalam bahasa Jawa

Sunda kuno. Plang itu terpampang di mulut jalan masuk kampung Cireundeu. Ia

bagai isyarat bagi para pendatang telah berada di wilayah Kampung Cireundeu.

Bagi warga Cireundeu, plank selamat datang ini bermaksud memberi sinyal bila

kampungnya mewarisi adat istiadat tinggalan karuhun (leluhur) dan hingga kini

masih melestarikannya.

Cireundeu adalah sebuah kampung yang terletak di lembah Gunung

Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu dengan luas wilayah

kelurahan sebesar 158,473 Ha. Berdasarkan data monografi Kampung Adat

Cireundeu, 2013, Secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi

Selatan, Kota Cimahi adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kampung Kihapit

Page 68: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

55

Sebelah Timur : berbatasan dengan Cibogo

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat

Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat

Jarak Pusat Pemerintahan Kelurahan dengan Kecamatan berjarak 5 Km,

dengan Pusat Kota berjarak 13 Km dan dengan Propinsi berjarak 21 Km. Secara

topografi kampung adat Cireundeu berada pada ketinggian sekitar 780 mdpl

dengan banyaknya curah hujan 1800 mm/tahun.

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu

Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2012-2013

Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (jiwa)

Tahun 2012 Tahun 2013 *)

Laki-Laki 545 545

Perempuan 454 531

Anak-Anak 133 -

Penduduk Miskin 310 -

Jumlah 1.034 1.076 Sumber :

Profil Kepariwisataan Desa, 2012

*) Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013

Berdasarkan Data Monografi Kampung Adat Cireundeu Tahun 2013,

Jumlah kepala keluarga di Cireundeu 334 KK dengan 50 KK masyarakat yang

termasuk masyarakat adat. Sebagian besar agama yang dianut adalah agama

Islam sedangkan sisanya (masyarakat adat) memeluk agama kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Sunda Wiwitan) sebanyak 191 Jiwa.

Gambar 4.1 Landmark Kampung

Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Observasi Primer 2012

Gambar 4.2 Kondisi Kampung Adat Cireundeu Tampak Depan

Sumber : Hasil Observasi Primer 2012

Page 69: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

56

Gambar 4.3 Gerbang menuju Bale

Saresehan

Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012

Berdasarkan profil RW. 10 Kampung Adat Cireundeu Tahun 2012, di

dapat bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani,

yaitu 42% dari total masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang bekerja.

Sedangkan selebihnya adalah buruh pabrik, pengrajin industri rumah tangga

(home industry), wiraswasta, peternak, dan karyawan swasta. Hal yang menarik

adalah sebagian besar petani singkong di Kampung Adat Cireundeu adalah

masyarakat adat. Kondisi ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan

masyarakat adat yaitu mengkonsumsi rasi (beras singkong) setiap harinya,

sehingga memerlukan ketersediaan singkong yang mencukupi untuk kebutuhan

sehari-hari.

Jika dilihat jenis mata pencaharian penduduk kampung adat Cireundeu,

maka terlihat adanya perpindahan pekerja masyarakat dari mulanya masyarakat

agraris ke masyarakat non-agraris. Hal ini dikarenakan letak kampung adat

Cireundeu yang terletak di pinggiran kota, yang terdapat banyak peluang untuk

bekerja pada sektor-sektor lain di luar pertanian, contohnya adalah bekerja

sebagai buruh pabrik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 Distribusi

Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian.

Tabel 4.2

Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu

Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2013

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1. Wiraswasta 78 10,6

Page 70: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

57

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

2. Karyawan Swasta 190 25,8

3. PNS 4 0,5

4. Pensiunan 4 0,5

5. Pedagang / Perdagangan 17 2,3

6. Buruh Harian Lepas 83 11,3

7. Kelompok Profesi 38 5,2

8. Bidang Kesehatan 2 0,3

9. Pertanian 176 23,9

10. Lain-lain 68 9,2

11 Tidak bekerja 76 10,3

Jumlah 736 100

Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RW.10 Kelurahan

Leuwigajah, masyarakat di RW.10 ini mayoritas beragama Islam, dan minoritas

menganut kepercayaan (RT.02 dan RT.03). Untuk mengenai agama , sebagian

besar masyarakat disini tidak terbuka secara detail.

Berdasarkan hasil pengamatan/ observasi di lapangan selama ini antara

data dengan real di lapangan penduduk masyarakat kampung adat Cireundeu

mayoritas hanya menyelesaikan pendidikannya hingga Sekolah Menengah Atas

(SMA) hal ini dapat diartikan bahwa sumber daya manusia (SDM) yang ada di

masyarakat kampung adat Cireundeu ini masih standar minimal. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung

Adat Cireundeu Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013.

Tabel 4.3

Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu

Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1. Belum sekolah 61 12,42

2. Tidak Tamat Sekolah Dasar 32 6,52

3. Tamat SD/Sederajat 71 14,46

4. Tamat SMP/Sederajat 141 28,72

5. Tamat SMA/Sederajat 165 33,60

6. Tamat D1 12 2,44

7. Tamat D2/D3 3 0,61

8. Tamat D4/S1 2 0,41

Page 71: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

58

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

9. Buta Huruf 4 12,42

Jumlah 491 100

Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013

4.2 Sejarah Kampung Adat Cireundeu

Secara fisik, Cireundeu memanglah kampung biasa. Namun karena

ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara

de fakta sebagai kampung adat. Sebagian besar warga Cireundeu masih

memegang teguh ajaran Agama Jawa Sunda yang dibawa Pangeran Madrais

dari Cigugur, Kuningan.

Abah Emen Sunarya (72), sesepuh Kampung Adat Cireundeu

mengatakan, secara fisik, kampungnya tidak berbeda dengan kampung

kebanyakan. Terutama bentuk bangunan rumah-rumah penduduknya. Antara

lain menggunakan atap dari genting, dinding memakai tembok, jendela dari kaca

dan nyaris hampir seluruh rumah mengenyam teknologi televisi, radio, termasuk

hand phone. ―Jangan dilihat dari sisi fisik. Tapi lihatlah pribadi warga di sini.

Semua masih menerapkan aturan adat dan menjalankan ajaran Pangeran

Madrais,‖ tuturnya.

Warga Cireundeu mulai mengenal Pangeran Madrais (Cigugur) sejak

tahun 1918. Hingga kini, kata Abah Emen, falsafah hidup masyarakat Cireundeu

belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka masih memegang

ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini, seperti kita harus

membudayakan segala sesuatu yang telah menjadi tradisi secara karuhun.

Menurut Abah Emen, ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala,

merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian

warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu

harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik

dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu,

dan langit. ―Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang

dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk

hidup lain rasakan,‖ katanya.

Page 72: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

59

A. Ajaran Madrais

Seperti apa ajaran Madrais yang masih dituruti sebagian warga

Cireundeu. Seorang Antropolog Belanda, menyebut ajaran Madrais dengan

sebutan Agama Djawa Sunda (ADS). Yakni kepercayaan sejumlah masyarakat

yang tersebar di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Termasuk juga di

Cireundeu. Agama ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek

moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.

Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa

agama ini adalah bagian dari agama Buhun. Yaitu kepercayaan tradisional

masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di

Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, di

daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan daerah lainnya.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh

Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Dahulu, oleh pemerintah Belanda,

Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru kembali sekitar tahun

1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, muawal ajaran Madrais

dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya, H Ali dengan

Pangeran Madrais tahun 1930-an. Dan pada tahun 1938, Pangeran Madrais

berkunjung ke Cireundeu dan sempat lama menetap di sana.

Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan

dari Kasultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika

pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke

daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa

Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis.

Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam. Namun ia

kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam

masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara

dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.

4.3 Eksistensi Desa Adat/Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

Dalam kehidupan bermasyarakat baik ditinjau dari pemerintahan maupun

dari sudut pandang masyarakat, di Cireundeu dikenal istilah desa adat /

kampung adat. Desa adat adalah desa yang dilihat dari fungsinya dibidang desa

adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan dari lembaga

adat).

Page 73: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

60

Setelah adanya kemerdekaan di Indonesia dan diberlakukannya Undang-

undang No. 5 Tahun 1979, adanya penyeragaman desa-desa seluruh Indonesia,

dimana Cireundeu tetap mempertahankan desa adat dalam struktur

pemerintahannya, karena kedudukannya memiliki sistem yang berbeda.

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu terkenal dengan keteguhannya

dalam memegang adat istiadat dan memakan singkong sebagai makanan

pokoknya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Adat Cireundeu, dengan

menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti kita menghormati para

leluhur atau sering disebut dengan istilah AKUR (Adat Karuhun Urang). Segala

sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun kampung cireundeu dan

sesuatu yang tidak dilakukan oleh karuhun mereka dianggap sebagai sesuatu

hal yang tabu. Jika mereka melakukan hal-hal yang tabu, berarti mereka

melanggar adat, tidak menghormati karuhun yang akan menimbulkan suatu

malapetaka.

A. Aturan Agama

Masyarakat kampung adat cireundeu merupakan masyarakat yang tidak

memeluk agama yang disahkan di Indonesia. Mereka memeluk agama sunda

wiwitan dan pada kartu tanda penduduk (KTP) mereka pun tertera sebagai

agama ―Penghayat/Kepercayaan‖ sehingga jika dilihat dari segi ketenagakerjaan,

mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan hanya karena masalah

agama yang tertera pada KTP mereka merupakan bukan agama yang di

legalisasikan oleh Pemerintah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar

4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang

Menganut Agama Sunda Wiwitan.

Setiap detik mereka harus mengingat sang pencipta. Berdasarkan hasil

pengamatan, masyarakat adat disini tidak adanya perintah fisik seperti Shalat

pada Muslim tetapi mereka selalu melakukan do‘a bersama-sama secara

(ririungan) di Balesarasehan.

Page 74: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

61

Gambar 4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat

Cireundeu yang Menganut Agama Sunda Wiwitan

Satu hal yang paling mencolok dari kegiatan adat masyarakat Cireundeu

adalah rutinitas menggelar hajat peringatan tahun baru Saka 1 Sura. Gelar adat

inilah yang makin mengokohkan Cireundeu sebagai salah satu kampung adat di

Jawa Barat. Ini sederajat dengan kampung adat lain seperti Kasepuhan Cipta

Gelar (Banten Kidul, Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung

Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), dan lainnya.

Tahun baru Saka 1 Sura yang diperingati warga Cireundeu, bertepatan

dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam

dinamakan 1 Sura. Atau bahasa lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan

Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan

antara tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan lunar atau

memakai patokan peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1

Muharam dalam Hijriyah. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan

Agung Hanyokrokusumo dari Mataram, menggantikan Saka Hindu.

Page 75: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

62

Bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu, perayaan 1 sura layaknya

lebaran bagi kaum muslimin. Sebelum tahun 2000, saat perayaan mereka selalu

mengenakan pakaian baru, namun setelah adat dilembagakan, bagi laki-laki

mengenakan pakaian komprang warna hitam, dan ikat kepala dari kain batik,

sedangkan untuk perempuan mengenakan kebaya berwarna putih (toro). Dalam

upacara ini mereka berdoa bersama di suatu bale yang disebut dengan ―bale

saresehan‖ dan mereka mengundang beberapa perwakilan dari kampung adat

lainnya, setelah berdoa bersama mereka menyaksikan wayang golek yang di

laksanakan dari pagi hingga keesokan harinya, sebelum menyaksikan wayang

golek, ada penampilan kesenian kesenian kecapi suling, ngamumule budaya

sunda, serta wuwuhan atau nasihat dari sesepuh atau ketua adat yang menjadi

rukun dalam upacara 1 Sura. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5

Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat Kampung Adat

Cireundeu Setiap 1 Sura

Gambar 4.5 Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat

Kampung Adat Cireundeu Setiap 1 Sura

Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012

Page 76: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

63

Gugunungan sesajen, berupa buah-buahan dan nasi singkong yang

dibentuk menyerupai janur, hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela yang

menjadi pelengkap wajib dalam ritual setiap 1 Sura tersaji di tengah ririungan

(kumpulan) warga di Balai Adat Sarasehan. Gugunungan melambangkan suatu

ungkapan rasa syukur terhadap pencipta-Nya atas segala rezeki yang diberikan

untuk warga Cireundeu. ―Kedah repeh rapih sasama hirup‖ bukan ke sesama

manusia saja melainkan terhadap tumbuhan dan binatang ―kedah repeh rapih‖

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6 Gugunungan.

Gambar 4.6 Gugunungan

Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012

Kini keberadaan Kampung Cireundeu semakin terangkat sebagai sebuah

kampung adat. Tak heran, setiap 1 Sura, kampung ini selalu menjadi daerah

tujuan sejumlah peneliti untuk mengetahui ritual-ritual saat tahun baru. Karena

Page 77: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

64

animo besar dari luar Cimahi berkunjung ke kampung ini setiap 1 Sura, maka

Cireundeu pun menjadi aset wisata Kota Cimahi. Sebab jelas bila kota kecil ini

amat kering akan daerah tujuan wisata.

B. Aturan Adat

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu

masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari

terutama berkenaan mengenai aktivitas kehidupan. Pantangan atau pamali

merupakan suatu ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi

dan dipatuhi oleh setiap orang. Hal ini terlihat dari adanya beberapa pantangan

antara lain dalam membangun rumah, letak rumah, arah rumah, pakaian

upacara, kesenian dan sebagainya. Adapun aturan adat yang hingga saat ini

masih dipertahankan dalam pola permukiman dan perubahan zaman, yaitu :

1. Jendela rumah harus menghadap ke terbitnya matahari

2. Pintu harus menghadap ke tenggelamnya matahari

3. Harus ―Ngindung ka waktu mi bapa ka zaman‖ yang mengandung makna

bahwa Mereka tetap menggunakan handphone, kendaraan, dll (mibapa ka

zaman) Tetapi tidak meninggalkan apa yang telah menjadi kebudayaan

yang telah diturunkan oleh para leluhur mereka. Sehingga keunikan dari

kampung adat cireundeu (ngindung ka waktu)

4. Berpegang teguh kepada 4 unsur warna yang menjadi simbol masyarakat

adat, diantaranya :

a. Kuning melambangkan

sebagai angin

b. Merah melambangkan

sebagai api

c. Putih melambangkan sebagai

air

d. Hitam melambangkan

sebagai tanah

Gambar 4.7 Simbol Warna

Masyarakat Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012

Page 78: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

65

C. Institusi / Lembaga Adat

Kelembagaan adat yang ada di Kampung Adat Cireundeu dipimpin oleh

seorang ketua adat yang disebut dengan Sesepuh. Sesepuh bisa berarti sebagai

orang yang paling utama dan memiliki tugas untuk menjaga dan

mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.

Dalam menjalankan tugasnya, Sesepuh dibantu oleh Pangampih.

Pangampih bertugas sebagai orang yang lebih banyak menggunakan bahasa

simbol ―leuwih ngais‖ informasi. Pangampih dibantu oleh panitren yang berfungsi

sebagai hubungan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar

4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu.

Gambar 4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Hasil wawancara, 2012

Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia

Sumber : Hasil Observasi Pribadi 2012

4.4 Penataan Ruang di Kampung Adat Cireundeu

Dalam setiap ruang terdapat jiwa, inspirasi, dan spirit. Pembentuka ruang

pada dasarnya merupakan manifestasi dari budaya masyarakat dalam bentuk

Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia (yang

mengenakan blankon biru). Bapak ini

berkedudukan sebagai Ais Pangampih di Sistem

Komunitas Kampung Adat di Cireundeu. Berfoto

ketika setelah mewawancarai di Balesaresehan

(Sesepuh)

Bapak Emen

Warga Masyarakat Adat

(Ais Pangampih)

Bapak Widia

(Panitren)

Bapak Asep,ST

Seseorang yang menjadi Juru Kunci sejarah mengenai Kampung Adat Cireundeu

Lebih banyak menggunakan bahasa, simbol-simbol, lebih meng (ais) informasi-informasi

Seseorang yang dijadikan orang yang bergerak dibidang hubungan masyarakat di Kampung Adat Cireundeu.

Masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok, ada kelompok dalam bidang pertanian, peternakan dan home industry.

Page 79: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

66

lingkungan binaan (build form), sehingga rumah-rumah, permukiman serta

seluruh buatan manusia menggambarkan nilai budaya yang menghasilkan ciri

serta identitas dari masyarakat tersebut. Pembentukan ruang juga merupakan

refleksi dari struktur sosial (Strauss, 1963, dalam Sasongko, 2006) yang

selanjutnya akan melahirkan struktur ruang (Waterson, 1990, dalam Sasongko

2006). Hirarki ruang ini akan tertuang dalam berbagai skala, tetapi pada

umumnya ada dalam skala rumah, kumpulan rumah, lingkungan permukiman,

hingga skala desa (Haryadi dan Setiawan, dalam Sasongko, 2006). Struktur

sosial ini bisa berupa perbedaan antara strata masyarakat, akan tetapi pada

umumnya akan menggambarkan tatanan ruang permukiman antara pusat

pinggiran, atas-bawah, utara-selatan, dan lainnya (Waterson, 1990 dalam

Sasongko, 2006).

Pada masyarakat Kampung Adat Cireundeu, tidak ditemukan adanya

perbedaan strata yang jelas, bahkan mereka menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan perlakuan dan strata sosial pada kehidupan sosial mereka, hanya

ada pemangku adat yang menerima dan menjalankan amanat karuhun

(pemimpin informal) yang terdiri atas sesepuh (pemimpin tertinggi), ais

pangampih, panitren, nonoman dan masyarakat adat secara umum. Sebagai

dimensi ruang lokal yang dihasilkan dari penghormatan terhadap amanat leluhur

atau karuhun, maka aspek adat dan kepercayaan telah menuangkan ruang

kampung sebagai tata nilai antara sakral (secret) dan profan (Schulz, 1984).

Perwujudan dalam ruang di Kampung Adat Cireundeu adalah adanya

orientasi aktivitas keseharian dan orientasi ritual, seperti adanya wilayah-wilayah

tabu (pamali), wilayah khusus yang disakralkan atau kawasan suci, tempat

upacara adat (balesarasehan), kawasan konservasi (mata air, dan hutan) serta

kawasan lainnya. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mempunyai falsafah

bahwa apa yang menjadi konsep warisan adalah yang terbaik bagi kehidupan

mereka, sehingga seluruh kegiatan kampung berlandaskan pada nilai-nilai

warisan leluhur (karuhun) tersebut.

4.5 Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan didominasi oleh permukiman, hutan dan

pertanian. Luas lahan kampung Adat Cireundeu terbagi dua, yaitu :

Page 80: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

67

1. Luas lahan

permukiman ± 6 Ha

2. Luas permukiman

dan Hutan ± 60 Ha

(hanya tanah adat,

tanah adat tidak

sama dengan tanah

pemerintah).

Gambar 4.10 Penggunaan Lahan di Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012

Tabel 4.4 Peruntukkan Lahan RW.10 Kampung Adat Cirendeu Tahun 2013

No. Jenis Luas (Ha)

1. Tanah Sawah 3

2. Tanah Kering 5,8

3. Tanah Basah (balong,empang,kolam)

0,5

4. Tanah Keperluan Fasilitas Umum 0,5

5. Lain-Lain (tanah tandus & tanah pasir) *)

0,5

*) satuan dalam m2/ha

Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013

Dapat dilihat pada Gambar 4.10 Penggunaan lahan di kampung adat

Cireundeu bahwa permukiman hanya 10% nya dari luas keseluruhan Cireundeu.

Sisanya dipenuhi dengan pegunungan dan hutan-hutan yang ditumbuhi tanaman

singkong.

Secara garis besar masyarakat membagi ruang-ruang kehidupannya

sesuai dengan fungsi yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai yang mereka yakini

dapat memberikan makna yang lebih luas bagi kehidupan sebagai hasil budaya

yang diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya.

Secara umum ruang kawasan kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu

terbagi menjadi 4 (empat) kawasan, diantaranya :

a. Leuweung Larangan Hutan (Leuweung) yang dijadikan sebagai stok air.

Kawasan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang dan harus

dijaga kelestarian dan kesuciannya. Kawasan ini merupakan sebuah hutan

lindung di puncak bukit yang disebut sebagai ―Leuweung Larangan‖. Untuk

6

60

Lahan Permukiman Luas Permukiman & Hutan

Page 81: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

68

lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.11 Sayangkaat (puncaknya

sebagai leuweung larangan dan dibawahnya sebagai leuweung tutupan)

Gambar 4.11 Gunung Sayangkaat (puncaknya sebagai leuweung larangan dan

dibawahnya sebagai leuweung tutupan)

Sumber : Hasil Survey Primer, 2013

b. Leuweung Baladah Sebagai lahan bertanam ketela pohon dan palawija

lainnya yang berada lebih tinggi dari permukiman yang terletak dibagian

bawah dari leuweung

larangan yang

mengelilingi Kampung

Adat Cireundeu dan

ditanami pohon singkong,

diantaranya :

Gunung Gajah Langu

Gunung Sirah Cai

Gunung Seke Ganas

Gunung Kunci

Gunung Pasir Panji

Gambar 4.12 Leuweung Baladahan

Sumber : Hasil Survey Primer, 2013

Leuweung

Larangan

Leuweung

Tutupan

Page 82: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

69

c. Leuweung Tutupan hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan ini dapat

dipergunkaan pepohonannya, namun masyarakat harus menanam kembali

dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.

d. Kawasan Bersih merupakan daerah yang selama ini dijadikan sebagai

tempat permukiman warga Kampung Adat Cireundeu, selain menjadi tempat

didirikannya bangunan-bangunan rumah dengan gaya arsitektur tradisional

sunda yang sering mereka sebut sebagai ―Bale Seresehan‖. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.13 dan Gambar 4.14.

4.6 Cara Melindungi Kawasan Konservasi

Cara-cara melindungi kawasan konservasi adalah sebagai berikut :

1. Menjaga hutan lindung (leuweung larangan) sebagai kawasan

konservasi dengan konsep pamali. Masyarakat tidak diperkenankan

masuk, merusak, mengambil, menebang, bahkan memetik dan

memungut ranting tanaman yang jatuh dan merubah lingkungan

disekitarnya pun tidak diperkenankan. Leuweung larangan hanya

boleh dimasuk oleh sesepuh dan tetua adat pada saat khusus atau

terpaksa saja. Hutan ini juga berfungsi sebagai pengendali iklim

mikro dan pelestarian keanekaragaman hayati.

2. Menjaga dan memanfaatkan leuweung Baladaheun (hutan baladah)

sebagai bahan bangunan lokal, seperti kayu, bambu dan sebagainya.

Juga diatur waktu kualitas dan tanamannya.

3. Mengatur cara memperoleh bahan bangunan yang berasal dari alam

sekitar, berupa kayu, bambu, maupun batu harus bijak dan teratur.

Bahan bangunan tidak boleh berasal dari hutan lindung, tetapi dari

hutan produksi atau kebun di sebelah utara hutan lindung yang

memang diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan permukiman.

4.7 Struktur Ruang Permukiman

Jumlah penduduk yang terdapat di Kampung Adat Cireundeu sebanyak

±300 KK dan masyarakat adatnya ±50 KK dengan luas lahan permukiman

sebesar 6 Ha, dimana terdapat beberapa bangunan penunjang seperti bale dan

masjid. Bale yang diletakkan terpusat di tengah kampung dan 1 (satu) masjid

yang diletakkan di samping kampung. Bale ini berfungsi sebagai tempat

pertemuan, musyawarah, menerima tamu dan berdo‘a. Sedangkan masjid

Page 83: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

70

berfungsi sebagai tempat beribadah agama muslim, karena di kampung

cireundeu ada yang beragama Islam juga.

Gambar 4.13 Bentuk Bangunan Bale Seresehan

Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012

Gambar 4.14 Bangunan Pendukung Kegiatan Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012

Kampung Adat Cireundeu memiliki konsep struktur ruang alam yang

diyakini sebagai struktur ruang manusia. Aliran sungai digambarkan sebagai

Page 84: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

71

garis tengah yang memisahkan bagian kanan dan kiri tubuh manusia. Ruang-

ruang yang dianggap berfungsi sebagai leuweung larangan adalah kawasan

pada tubuh manusia yang terdapat bulu lebat dan bertulang. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat

Cireundeu.

Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Panitren 2013

4.8 Pola Permukiman

Pola permukiman di Kampung Adat Cireundeu ini terpusat ada suatu

pusat yang dijadikan inti dari seluruh kegiatan masyarakatnya tersebut dan

permukiman berada disekeliling pusat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada Gambar 4.15 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu.

Page 85: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

72

Gambar 4.15 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Observasi Primer,2013

Page 86: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

73

4.9 Struktur Bangunan

Bentuk rumah masyarakat Kampung Adat Cireundeu sudah modern (mi

bapa ka zaman) namun bukan berarti menghilangkan bangunan yang telah

menjadi tradisional karuhun. Masih ada beberapa bangunan yang masih

mempertahankan kebudayaan karuhun dan biasanya itu dijadikan sebagai pusat

aktivitas masyarakat kampung adat cireundeu dan ada 1 (satu) bangunan julang

ngapak yang terletak dihalaman rumah Abah Asep (Panitren). Secara filosofis,

julang ngapak berarti keseimbangan bangunan secara estetis diambil dari

burung endemis wilayah tatar sunda sebagai gambaran keindahan, secara logis

(fungsional) julang ngapak berfungsi sebagai pengatur utama keseimbangan

bangunan dari lingkungan sekitar. Secara Kosmologis julang ngapak yaitu rumah

panggung bamboo tradisional sunda, paling sesuai denga letak geografis (geo-

pasundan/tata wilayah). Secara Fungsional maupun emosional paling sesuai

dengan budaya (culture) sunda yang secara turun temurun dan telah digunakan

secara sustainable (berkelanjutan) dan terbukti paling resistance terhadap

gempa dan fenomena alam lainnya (kaidah keseimbangan lahir & bathin). Untuk

Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.17 Struktur Bangunan.

Gambar 4.17 Struktur Bangunan Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012

Page 87: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

74

4.10 Pola Pembelajaran Sosial

Cara mereka melakukan pembelajaran sosialnya untuk memperkenalkan

rasi sebagai makanan pokoknya yaitu selalu melakukan pembinaan terus

menerus sejak kecil serta mengenalkan kepada anak yang masih kecil bahwa

rasi (beras singkong) itu sebagai makanan pokoknya, memperkenalkan

perkebunan singkong, bibit-bibit singkong, dan cara mengolah singkong.

Seorang ibu menyarankan anaknya untuk memakan rasi (beras

singkong), sang ibu memberikan pemahaman mengenai mengapa kita sebagai

penggagas malah ingin menghilangkan tradisi makan rasi (beras singkong),

sedangkan orang lain jauh-jauh ingin kesini bahkan dari luar negeripun.

Maknanya mereka memakan rasi (beras singkong) yaitu merupakan suatu

keyakinan, dimana mereka menganggap bahwa kekuatan itu bukan hanya

datang dari padi saja, melainkan dari singkong pun masyarakat adat masih dapat

mempertahankan hidup layak seperti yang lain.

Kang Wanly (37) mengatakan kalau tradisi di Masyarakat Adat di

Cireundeu ini jika dari lahir sudah memakan rasi (beras singkong) maka hingga

meninggal pun harus memakan rasi, apabila ingin memakan nasi beras maka

orang tersebut harus melakukan upacara sakral di depan seluruh masyarakat

adat bahwa orang tersebut akan pindah menjadi orang yang memakan nasi

beras seperti halnya seseorang yang ingin pindah agama.

Secara pembelajaran sosial, masyarakat kampung adat Cireundeu masih

menjunjung tinggi rasa solidaritas, kebersamaan dan gotong royong. Seperti

halnya mereka setiap tanggal 17 Agustus selalu melakukan event yang di sebut

dengan istilah ―Jurit Wengi‖ dengan maksud mengenang dan menghargai

perjuangan para pahlawan pada zaman dahulu. Jurit Wengi ini dilaksanakan

pada malam hari dimulai dari Pukul 20.00 Wib masyarakat kampung adat

Cireundeu mendaki ke puncak salam setelah tiba di puncaknya mereka

berkumpul kemudian melakukan ritual khusus hingga tengah malam (acara

puncak), selama perjalanan menuju puncak salam dipohon-pohon terdapat

kupon-kupon yang akan menjadi doorprize. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi. Disamping itu, masyarakat di Kampung

Adat Cireundeu sering menjemput dan mengantar temannya ketika temannya

pulang dari pabrik jadi mereka tidak saling acuh tak acuh terhadap sesama.

Page 88: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

75

Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi

Sumber : Survey Sekunder dari Abah Asep (panitren di Kampung Adat Cireundeu) 2013

Page 89: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

76

BAB 5

KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU

5.1 Identifikasi Pola Kehidupan dan Keunikan Masyarakat Cireundeu

Tata ruang dalam arsitektur tradisional pada umumnya bukan merupakan

hasil karya individual, tetapi berdasarkan pada suatu sistem yang dianut bersama

oleh suatu kelompok masyarakat. Kelompok manusia tersebut juga merupakan

suatu komunitas yang tinggal di wilayah yang sama, oleh karena itu komunitas

tersebut juga memiliki suatu sistem nilai yang sama (Kurnia, 2005). Setiap sistem

nilai dan kelompok masyarakat pada umumnya memiliki ciri khas tersendiri baik

dalam proses maupun dalam bentuk pengaturan ruangnya sehingga

menghasilkan nilai-nilai dan keunikan tersendiri. Keunikan itu tidak hanya

sekedar dalam bentuk, akan tetapi memiliki makna dan falsafah di dalamnya,

demikian juga yang ditemukan di Kampung Adat Cireundeu.

Kampung adat Cireundeu tidak berbeda dengan kampung-kampung yang

lainnya, terutama dari bentuk fisik bangunan rumahnya. Hal istimewa dari

kampung ini yaitu di mulut jalan Desa Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka

―Wilujeng Sumping Di Kampung Cireundeu‖ dengan arti selamat datang untuk

para tamu di daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak

memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW), tetapi lebih

fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama yang telah mengakar yang

diwariskan tetua adat terdahulu. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

beranggapan bahwa sekecil apaun filosofi kehidupan yang diwariskan oleh

nenek moyang mereka wajib untuk dipertahankan. Menurut kasat mata, ada dua

hal menarik yang masih dipertahankan oleh warga adat Kampung Cireundeu

yaitu bahan makanan pokok dan tradisi 1 Sura. Warga masyarakat kampung

adat masih mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan masih

menjalankan aliran kepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madrais dari

Cigugur, Kuningan sehingga kampung Cireundeu menjadi sebuah kampung

adat.

Singkong yang telah mengalami proses penggilingan ampas dicampur

dengan gaplek sebagai makanan pokok (stapled food). Kebiasaan ini berbeda

Page 90: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

77

dengan kelompok masyarakat Jawa Barat yang pada umumnya mengkonsumsi

beras sebagai makanan pokok.

Cireundeu bukanlah daerah yang terisolir, tetapi lebih merupakan

kelompok masyarakat tradisional yang mampu bertahan di tengah-tengah hiruk

pikuk kehidupan perkotaan. Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) dari

kota Bandung mewarnai tata kehidupan masyarakat kampung adat ini.

Segala permasalahan yang timbul akibat dari TPSA, tidak menjadi

masalah bagi penduduk, bahkan mampu memciptakan lapangan kerja bagi

masyarakat pribumi ataupun pendatang yang menggantungkan hidupnya dari

sampah ini.

Kebiasaan makan beras singkong tidak lepas dari habitat yang ada, di

mana daerah ini memang banyak menghasilkan singkong yang merupakan

bahan dasar pembuatan beras singkong. Kondisi alam yang berbukit-bukit dan

kurang subur sepertinya memang pas untuk budidaya singkong, dimana

tanaman ini tidak memerlukan teknologi budidaya yang rumit, bahkan

perawatannya pun sangat mudah dengan pemupukan yang minimal dan bebas

dari pestisida. Untuk lebih jelasnya mengenai keunikan dan pola kehidupan

masyarakat kampung adat Cireundeu dapat dilihat pada Gambar 5.1 Kerangka

Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong.

Gambar 5.1 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong

Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012

Kebiasaan

Makan

Ketersediaan

Fisik :

1. Produksi

2. Pengawetan

3. Distribusi

4. Persiapan

Ketersediaan Budaya:

1. Status sosial

2. Status Fisik

3. Peranan Sosial

4. Adat Istiadat

5. Etiket

6. Pembagian Tugas

Struktur

Ekonomi

Page 91: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

78

5.2 Analisis Tahapan Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat

Cireundeu

Tahapan pembelajaran yang terjadi dalam Kampung Adat Cireundeu

Komunitas RW.10 (RT. 02, RT.03 dan RT.05) Kelurahan Leuwigajah Kecamatan

Cimahi Selatan terjadi melalui tiga tahapan dengan melibatkan beberapa aktor di

dalamnya. Aktor yang dimaksud adalah pelaku yang melakukan suatu tindakan

yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang terjadi (Friedman, 1987).

Aktor yang terlibat dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu ini

bervariasi, baik sebagai individu (Abah Asep sebagai Panitren), kelompok kecil (

kelompok ibu-ibu yang menghasilkan home industri ), komunitas warga

(masyarakat adat) serta organisasi (Baleseresehan sebagai tempat tindakan

kolektif warga).

Pembelajaran yang terjadi dibagi menjadi tiga tahapan berdasarkan aktor

yang belajar dan outcome pembelajaran yang ditimbulkan dari proses

pembelajaran, yaitu :

1. Tahap pengumpulan data dasar. Tahap ini merupakan masa pembelajaran

dari fasilitator ( Abah Asep ) dalam memahami kebutuhan masyarakat dan

permasalahan sosial yang ada di Kampung Adat Cireundeu.

2. Tahap penyuluhan. Tahap ini merupakan masa pembelajaran kelompok

pemuda dan warga untuk mengubah perilaku, kesadaran, dan kapasitas

masyarakat Cireundeu serta merupakan tahap fasilitator untuk menentukan

jenis penyuluhan apa yang perlu diberikan kepada kelompok pemuda dan

warga berdasarkan dialog yang dilakukan dengan warga dan kelompok

pemuda.

3. Tahapan adanya tindakan kolektif. Tahap ini merupakan masa pembelajaran

kelompok pemuda dan warga selama pelaksanaan tindakan kolektif, dimana

mereka dianggap sudah berdaya untuk mengidentifikasi masalah di

kampungnya dan merancang sendiri tindakan kolektif apa saja yang

diperlukan untuk mewujudkan pembangunan di lingkungannya.

Penyuluhan, dialog dan tindakan digunakan sebagai alat pembelajaran.

Hal ini bertujuan agar adanya proses pertukaran informasi, pengetahuan, dan

pengalaman serta terfasilitasinya proses negoisasi diantara warga untuk

menciptakan perubahan. Dialog yang terjadi di Kampung Adat ini merupakan

bentuk dialog antara fasilitator, pemberi materi (sesepuh) kelompok pemuda

sebagai kelompok inisiatif, dan warga kampung adat Cireundeu. Dialog ini

Page 92: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

79

bertujuan agar adanya pertukaran informasi secara dua arah atau lebih.

Sedangkan penyuluhan lebih bertujuan kepada pemberian informasi dan

pengalaman dari narasumber ke pelajar, yang lebih bersifat satu arah, namun

sesi tanya jawab tetap dibuka pada saat penyuluhan. Tindakan dalam

pelaksanaan tindakan kolektif menjadi sumber informasi untuk melakukan

tindakan kolektif di masa yang akan datang.

Gambar 5.2 Proses Perolehan Informasi

Sumber : Hasil Analisis, 2013

Berdasarkan Gambar 5.2 Proses perolehan informasi, dapat diketahui

bahwa tahapan kegiatan dan outcome pengetahuan yang diterima oleh aktor-

aktor yang terlibat, maka proses pembelajaran sosial dibagi menjadi 3 tahapan

pembelajaran, yakni :

1. Tahap pengumpulan data dasar (aktor yang belajar adalah fasilitator)

2. Tahap penyuluhan (aktor yang belajar adalah sekelompok pemuda,

masyarakat adat, da fasilitator)

3. Tahapan tindakan kolektif warga (aktor yang belajar adalah sekelompok

pemuda dan masyarakat adat)

4.

Tabel 5.1 Aktor dan Pengetahuan Dalam Tiap Tahapan

Tahapan

Cara

Memperoleh

Informasi

Sumber

Informasi

Aktor Yang

Belajar Pengetahuan Tindakan Selanjutnya

I Dialog Masyarakat

Adat Fasilitator

1. Teridentifikasi masalah

sosial

Penyuluhan kepada

kelompok pemuda dan

Pertemuan (biasa dilakukan

sebulan 2x

Kelompok Pemuda

Kelompok Tua Balesaresehan

Perolehan Informasi, Mengarahkan

yang sudah menjadi tradisi adat

istiadat Cireudneu

Refleksi pengetahuan dari

tindakan, terutama dari para

sesepuh

Tindakan

Page 93: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

80

Tahapan

Cara

Memperoleh

Informasi

Sumber

Informasi

Aktor Yang

Belajar Pengetahuan Tindakan Selanjutnya

2. Teridentifikasi potensi

warga

masyarakat adat

II Penyuluhan

Fasilitator

dan

Pemberi

Materi

1. Kelompok

pemuda dan

Masyarakat

adat

2. Fasilitator

1. Cara mengubah

perilaku

2. Cara

mengorganisasikan diri

3. Cara menjaga dan

merawat lingkungan

sebagai sumber daya

alam

4. Identifikasi jenis dan

urutan pemberian

penyuluhan yang

sesuai dengan

kebutuhan kelompok

1. Membentuk kelompok

inisiatif dan

melakukan tindakan

kolektif

2. Memberikan

penyuluhan kepada

kelompok pemuda

kemudian kepada

masyarakat adat

III

Kegiatan

Tindakan

Kolektif

Tindakan

Kolektif

Kelompok

pemuda dan

Masyarakat adat

1. Teridentifikasi masalah

lingkungan

2. Pengetahuan

mengenai cara

bertindak secara

kolektif

3. Pengetahuan

mengenai kekurangan

pelaksanaan kegiatan

tindakan kolektif dahulu

yang perlu diperbaiki di

masa datang yang

mengarahkan kepada

tindakan kolektif

berikutnya

Melakukan kegiatan

tindakan kolektif lain

secara bertahap dan

berkelanjutan

Sumber : Hasil Analisis, 2013

5.3 Analisis Aktor Yang Terlibat

Aktor yang terlibat dalam pembelajaran sosial yang mendorong

terwujudnya pembangunan di Kampung Adat Cireundeu Komunitas RW.10 (RT.

Page 94: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

81

02, RT.03 dan RT.05) Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan terdiri

dari individu, kelompok kecil seperti kelompok pemuda, masyarakat Cireundeu

sebagai kesatuan komunitas adat. Aktor yang terlibat dalam proses

pembelajaran sosial diklasifikasikan berdasarkan asal, serta bentuk

keterlibatannya dalam pembelajaran sosial.

1. Asal

Aktor yang terlibat terdiri dari aktor eksternal dan internal. Aktor dari luar

komunitas (eksternal) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

a. Aktor yang memiliki ikatan (engagement) dengan komunitas yaitu

fasilitator

b. Aktor yang tidak terikat dengan komunitas, hanya sebagai pemberi

materi atau donatur yang memfasilitasi proses pembelajaran terjadi.

Sedangkan aktor dari dalam komunitas (internal) yang terdiri dari warga dan

kelompok pemuda (kelompok inisiasi) yang merupakan bagian dari

masyarakat adat. Aktor internal diklasifikasikan menjadi dua, karena tahapan

pembelajaran yang melibatkan kedua aktor tersebut berbeda waktunya,

walaupun tujuannya sama yaitu sama-sama untuk mewujudkan

pembangunan di kampung adat Cireundeu dalam rangka mengatasi

masalah lingkungan.

2. Bentuk keterlibatannya dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat

Cireundeu.

Fasilitator, kelompok pemuda (nonoman) dan warga sebagai anggota

masyarakat adat merupakan aktor yang belajar, yang merefleksikan

pengetahuan hingga menimbulkan perubahan perilaku dalam mengubah

kenyataan di masyarakat adat ini melalui suatu praktik (tindakan). Fasilitator

belajar untuk mengetahui masalah dan potensi yang ada di masyarakat adat

untuk mengubah tindakan fasilitator yang pada awalnya hanya memberi

bantuan dibidang hukum sebagai pengacara gratis menjadi seseorang yang

memfasilitasi terjadinya pembelajaran sosial (kesadaran dan perilaku) di

kampung adat Cireundeu untuk memberdayakan masyarakat adat.

Page 95: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

82

Gambar 5.3 Klasifikasi Aktor

Sumber : Hasil Analisis, 2013

Gambar 5.1 menjelaskan mengenai pengelompokkan aktor yang terlibat

dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu, berdasarkan dari mana

aktor berasal. Fasilitator merupakan aktor eksternal yang dianggap menjadi

bagian dari komunitas. Hal ini dikarenakan intensitas yang tinggi dalam interaksi

dan komunikasi dengan masyarakat adat sehingga masyarakat adat

menganggap fasilitator juga bagian dari warga kampung adat Cireundeu

(dianggap menjadi saudara). Fasilitator mendampingi masyarakat adat dalam

waktu yang lama, sehingga timbul keterikatan antara masyarakat adat dengan

fasilitator. Keterikatan fasilitator dengan masyarakat adat dapat terlihat dari

kepercayaan dan keterbukaan masyarakat adat yang tinggi terhadap fasilitator.

Aktor yang belajar mendapatkan outcome dari proses pembelajaran

sosial, sedangkan aktor yang membantu proses pembelajaran terlaksana, tidak

mendapatkan outcome dari pembelajaran terkait dengan perubahan komunitas,

mereka hanya memberikan materi pembelajaran kepada warga atau membantu

warga dalam pengumpulan data sehingga kegiatan pembelajaran sosial dapat

terlaksana. Aktor yang belajar diantaranya : Fasilitator, Kelompok pemuda dan

Masyarakat adat

3. Kelompok Pemuda (Kelompok Inisiasi)

Kelompok pemuda yaitu masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang

menjadi kelompok inisiasi dalam bermasyarakat dan beraktivitas tanpa

menghilangkan semua yang telah menjadi peninggalan leluhur mereka.

Kelompok ini berjumlah kurang lebih 20 orang. Pemuda dikelompok ini sebagian

besar adalah anak-anak yang masih sekolah dan pemuda yang bekerja, baik

bekerja sebagai buruh pabrik maupun membantu-bantu di kelompok tani

singkong. Faktor permukiman yang semakin padat, dan persaingan yang

Komunitas Luar Komunitas

1. Warga (masyarakat adat)

2. Kelompok pemuda

(Kelompok Inisiasi)

3. Kelompok Ibu-ibu

produktif

1. Fasilitator

2. Pemberi Materi

Penyuluhan

Page 96: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

83

semakin kuat tidak membuat kelompok pemuda di Kampung Adat Cireundeu ini

menjadi kelompok yang identik dengan kriminalitas, tetapi menjadi kelompok

pemuda yang selalu bertindak dalam hal-hal positif.

Kelompok pemuda ini berperan sebagai kelompok pemuda yang aktif

dalam mempelajari kesenian seperti karinding, calung, angklung buncis, dan

sebagainya sebagai seni dan budaya sunda, sehingga kesenian tersebut dapat

ditampilkan ketika ada pengunjung dari luar yang ingin mengetahui tentang

kampung adat cireundeu, disamping itu kelompok pemuda ini selalu berinisiatif

membantu ketika ada korpe (gotong royong membersihkan lingkungan) dan

mempersiapkan serta membereskan segala sesuatu property yang dibutuhkan

ketika ada acara atau kegiatan di Kampung Adat Cireundeu. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 5.3 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu.

Page 97: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

84

Gambar 5.4 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Survery Primer, 2012-2013

4. Kelompok Ibu-Ibu

Kelompok ibu-ibu ini di koordinator oleh ibu Lis. Kelompok ibu-ibu ini

berjumlah kurang lebih sekitar 15 orang, yang sebagian besar adalah ibu rumah

tangga dan petani. Kelompok ini berperan sebagai kelompok yang menghasilkan

atau berinisiatif mengkreasikan (baik dari rasa dan bentuk) segala sesuatu yang

berbahan singkong menjadi suatu makanan yang dapat di makan masyarakat

umum dan menarik bagi masyarakat umum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada Gambar 5.5 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu Kreatif di Kampung Adat

Cireundeu dan Gambar 5.6 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu

Kreatif di Kampung Adat Cireundeu.

Page 98: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

85

Gambar 5.6 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu di Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Survey Primer 2012 & 2013

Kicimpring

Rasi (Beras Singkong)

Rangining

Eggroll

Gambar 5.7 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu Kreatif di Kampung

Adat Cireundeu

Sumber : Hasil Survey Primer 2012

Page 99: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

86

Menurut Abah Asep (selaku panitren dalam struktur organisasi adat), bahwa

kita jangan terlena karena urusan beras ini memang paling enak di dunia ini, tapi

jangan terlena. (Orang tua bilang) Suatu saat orang makin lama makin banyak,

lahan akan semakin sempit, pasti beras akan menjadi rebutan masyarakat

Indonesia. Coba lihat di Indonesia ini banyak sumber daya alam yang beraneka

ragam, contohnya coba lihat pegunungan ini dicoba diolah selain padi, dicoba

dengan singkong (digagas pada tahun 1918), nah ternyata bisa, tetapi tidak

begitu pada tahun 1918 digagas langsung berhasil, pada tahun 1924 baru bisa.

Budidaya, mengolahnya, memakannya. Coba bayangkan yang dulunya terbiasa

makan enak, namanya tidak ada raskin lah istilahnya (dulunya masih padi-padi

bagus dulu), walaupun panen 1 tahun sekali, tiba-tiba disuruh makan singkong

yang mungkin bisa dirasakan bedanya antara beras singkong dengan beras nasi,

(kalau saya tidak pernah merasakan beras nasi karena belum pernah makan

beras nasi), ternyata rasanya beda jauh setelah dicicipi. Tapi setelah dicoba dan

dibiasakan, ternyata tidak ada bedanya. Mungkin disitulah istilahnya merubah

pola tanam dan pola berfikir serta pola makanan. Contohnya saja telah terjadi di

Kampung Adat Cireundeu ini, terlahir pada tahun 2005 tertimbun sampah akibat

longsor TPA Leuwigajah. Bayangkan kalau dulu masyarakat disini tidak

mengikuti apa yang orang tua katakan? Yasudah, masyarakat kampung adat

Cireundeu ini akan tergerus dan hanya menunggu bantuan dari pemerintah

(beras miskin). Jika tidak dikasi raskin, sawah tidak ada, uang saja tidak ada,

ketika dikasi raskin bagaimana masyarakat disini akan menebus raskin tersebut?

Sehingga akhirnya tidak akan bisa makan beras. Untuk di Cireundeu mau ada

raskin, mau beras mahal tidak menjadi suatu bencana atau masalah bagi

masyarakat kampung adat Cireundeu.

5.4 Analisis Pengolahan Lahan

Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 Mengenai Pokok-pokok kehutanan,

dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya

masih ada dan diakui keberadaanya berhak melakukan pemungutan hasil hutan

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat, melakukan

kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak

bertentangan dengan undang – undang serta mendapatkan pemberdayaan

dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Page 100: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

87

Pengolahan lahan untuk menanam singkong merupakan salah satu dari

keunikan dari kampung Adat Cireundeu. Untuk menjaga kesuburan lahan,

penanaman singkong yang dilakukan secara berjangka merupakan suatu

pengolahan lahan. Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian

dengan luas yang sama. Jarak tanam antar pohon diusahakan tidak terlalu

sempit yaitu ± 50 cm.

Penanaman bibit singkong (stek) diawali pada lahan bagian pertama.

Setelah penanaman pada bagian pertama selesai, akan dilanjutkan dengan

pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan yang kedua ini pun dilakukan hal

yang sama seperti lahan pertama, begitu seterusnya, sampai semua lahan yang

digarap selesai ditanami singkong.

Selama menunggu waktu panen, petani akan kembali ke lahan yang

pertama kali diolah, untuk membersihkan tanaman-tanaman yang tumbuh liar

disekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan penanaman

singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu bulan (1 bulan).

Pengolahan tanam seperti ini dilakukan dengan cara seperti itu sesuai dengan

pengalaman mereka hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Kandungan aci dalam

singkong akan menjadi lebih baik.

Setelah usai satu tahun, petani akan mulai memanen singkong tersebut

dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak lelakinya. Setelah panen,

lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama tiga bulan (3 bulan) dengan

maksud agar unsur hara dalam tanah dapat subur kembali. Sambil menunggu di

istirahatkan petani kemudian akan menanam singkong pada lahan lainnya

hingga panen selesai. Setelah ± 3 bulan masa diistirahatkannya lahan pertama,

kemudian petani akan menggarap dan mengolah lahan selanjutnya dan

menanaminya kembali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.8

Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong

Page 101: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

88

Gambar 5.8 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong

Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012-2013

Dari segi pemasaran dan tata niaga, Kampung adat Cireundeu

berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cimahi, telah dijadikan sebagai Desa

Mandiri Pangan selanjutnya disebut dengan Demapan. Program demapan ini

terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu :

1. Pertanian

2. Peternakan

3. Home Industry (kuliner)

Program demapan ini mendapat Bantuan Sosial dan ditujukan kepada

kelompok Afinitias (kelompok miskin). Pak Yuyun (Ketua RW. 10) mengatakan

bahwa di Kampung Adat Cireundeu ini yang berjalan hanya dari segi kulinernya

saja, dari ibu-ibu home industry. Hasil home industry ini berupa makanan-

makanan yang berbahan dasar dari singkong atau dikenal dengan istilah serba

singkong yang kemudian dijual sebagai merchandise untuk pengunjung yang

yang datang ke Kampung Adat Cireundeu ini.

Direbus &

Direndam

Dicuci &

Diblender

bumbu&

dioven

Dibentuk &

digoreng

Dendeng

singkong

Kulit Singkong

Diiris, Dijemur,

& Ditumbuk

Disaring

Kasar Halus

Peuyeum

Mutiara

Tepung Gaplek

Singkong

Ampas Dijemur &

Digiling

Beras

Singkong

Makanan

Pokok

Makanan

Olahan Dikupas &

Dibersihkan

Diparut &

Diperas

Air Aci

Singkong Diendapkan

Endapan 1 Endapan 2 Endapan 3

Dibuang Opak Aci Singkong

Makanan

Olahan

Page 102: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

89

5.5 Kajian Timbal Balik Dengan Lingkungan Fisik

Dalam masyarakat adat Cireundeu ini memiliki aturan-aturan dalam

ketata ruangan yang menjadi timbal balik dengak lingkungan fisik. Dalam aturan

adat ada beberapa pembagian kawasan-kawasan dari tingkatan paling atas

hingga paling bawah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.9

Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu.

Page 103: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

90

Gambar 5.9 Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu.

Sumber : Hasil Analisis, 2013

5.6 Analisis Pembentukkan Ruang Permukiman

Pendopo atau Balesaresehan hingga saat ini menjadi artefak yang

terbentuk sebagai ruang permukiman, dimana ruang ini dijadikan sebagai tempat

pertemuan dan tempat pagelaran seni sunda. Luas bangunan 200 m2 dengan

kapasitas 100 orang. Setiap bulan Sura menjadi rutinitas bagi masyarakat

kampung adat Cireundeu untuk menggelar seni dan budaya sunda, setiap bulan

tersebut biasanya diadakan pagelaran wayang golek. Tradisi ini dilakukan

sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta atas

karunia dan kenikmatan yang telah diterima, berupa keberkahan hidup,

kesehatan lahir dan bathin melalui alam sebagai tempat tumbuhnya segala jenis

tanaman, tempat hidup binatang / ternak serta sumber air untuk kelangsungan

hidup warga Kampung Adat Cireundeu. Selain itu juga ada bangunan sekolah

dasar sebanyak 2 unit dengan jumlah kelas 6 ruangan dan satu buah ruangan

kantor. Selain adanya fasilitas pendidikan umum, juga ada pusat kegiatan belajar

mengajar dan bermain anak-anak yang tempatnya di Baleseresehan. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-ruang

Permukiman dan 5.11 Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu

Leuweung Larangan

Leuweung Tutupan

Leuweung Baladahan

Kawasan Ais (Kawasan Cadangan)

Kawasan yang digunakan ketika ada suatu ladang yang tidak layak dijadikan sebagai ladang produksi, ladang yang menajdi daerah produksi di tanamni tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi leuweung

tutupan

Page 104: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

91

Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-Ruang Permukiman

Sumber : Hasil Survey Primer, 2012

5.7 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial di Kampung Adat

Cireundeu

Berdasarkan hasil pengamatan, Kampung Adat Cireundeu memiliki

tipologi pembelajaran satu putaran (single loop learning) yang mengarah pada

perubahan dalam praktek dan strategi berorganisasi, dimana pembelajaran

timbul dari kesalahan-kesalahan dan Siklus pembelajaran sosial dapat dilihat

pada Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu.

Page 105: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

92

Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu

Sumber : Hasil observasi, 2013

5.8 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat

Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan

Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan

pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi.

Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan

sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya

memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang

terpadu viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat

melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya

(Sumarwoto, 2006).

Adanya pembelajaran sosial yang terjadi secara turun temurun di

kampung adat Cireundeu ini ternyata memiliki keterkaitan dalam perencanaan

pembangunan kawasannya. Hal ini dapat terlihat dari segi penataan ruang yang

terbagi-bagi menjadi beberapa kawasan seperti yang telah dijelaskan dalam bab

sebelumnya mengenai tata guna lahan. Masyarakat kampung Adat Cireundeu

memiliki tradisi dari segi pembagian kawasan ternyata tidak menyimpang

terhadap landasan hukum (Keppres No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan

Kawasan Lindung) yang ada di Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung

Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan.

Sesepuh

Sumber Informasi

Ais

Pangampih

Panitren

Nonoman

Masyarakat Kampung

Adat Cireundeu

Page 106: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

93

Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat

Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan

Sumber : Hasil Analisis 2012-2013

5.9 Outcome Proses Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat

Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan

Pembelajaran sosial yang terjadi di Kampung Adat Cireundeu ini dimulai

dari para sesepuh dan karuhun yang mengajarkan kepada para kelompok

pemuda dan anak-anak melalui diadakannya perkumpulan rutin di

Baleseresehan yang mendorong terlaksananya tindakan kolektif masyarakat

adat untuk mengatasi masalah lingkungan di komunitas secara mandiri tanpa

bantuan pemerintah. Hasil dari tindakan kolektif tersebut membawa perubahan

dari segi kondisi lingkungan di komunitas untuk mewujudkan permukiman yang

layak huni dan nyaman untuk di tempati. Outcome pembelajaran sosial yang

terjadi adalah perubahan sosial yang terlihat dari perubahan perilaku kelompok

pemuda, timbulnya kesadaran anggota komunitas terhadap lingkungan serta

timbulnya kesadaran akan perlunya partisipasi tindakan kolektif untuk mengatasi

berbagai persoalan lingkungan di komunitas untuk mewujudkan pembangunan.

Keppres No.32 Tahun 1990

1. Kawasan Hutan Lindung

2. Kawasan Bergambut

3. Kawasan Resapan Air

Tata Guna Lahan

1. Leuweung Larangan

2. Leuweung Baladah

3. Leuweung Tutupan

4. Kawasan Bersih

Tata Guna Lahan

Kebudayaan di Kampung Adat Cireundeu

Korelasi

Pola

Pembelajaran Sosial

Perencanaan

Pembangunan Kawasan

Menciptakan Keteraturan Lingkungan

Yang Aman, Nyaman, Produktif dan

Berkelanjutan

Page 107: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

94

Adanya perubahan sosial tersebut merupakan kunci keberhasilan dari sebuah

pemberdayaan komunitas (Korten, 1987).

Gambar 5.13 Pengaruh Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

Terhadap Pembangunan Kawasan

Sumber : Hasil Analisis 2012-2013

3 Komponen Demapan : 1. Pertanian 2. Peternakan 3. Home Industri

Kelompok Pemuda (Inisiasi)

Kelompok Karuhun / Sesepuh

Kampung yang memiliki keunikkan tersendiri,

kampung mandiri

Daya Tarik untuk dijadikan Kampung

Wisata

DEWITAPA (Desa Wisata Ketahanan Pangan) DEMAPAN (Desa Mandiri Pangan)

menimbulkan

sehingga

Page 108: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

95

BAB 6

KESIMPULAN, KELEMAHAN, dan REKOMENDASI TINDAK LANJUT

Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan, kelemahan dan

rekomendasi tindak lanjut penelitian dalam pengembangan kawasan Kampung

Adat Cireundeu kedepannya untuk mencapai masyarakat yang teguh pendirian

dalam menjaga keunikkan daerahnya hingga akhir zaman serta memaparkan

beberapa temuan yang diperoleh dari penelitian mengenai proses pembelajaran

sosial di Kampung Adat Cireundeu terhadap pembangunan kawasan. Untuk

lebih jelasnya akan dibahas pada sub-bab berikut ini :

6.1. Kesimpulan

Nilai-nilai kearifan lokal lahir dari entitas satu kelompok atau komunitas

masyarakat berdasarkan pengamalan hidupnya, sehingga kelahirannya

merupakan wujud dari kemandiriannya. Maka, terkait dengan persoalan

ekspolasi pola pembelajaran sosial masyarakat kampung adat Cireundeu

terhadap pembangunan kawasan, apabila diinternalisasikan dengan nilai-nilai

kearifan tersebut akan memunculkan satu pola pemulihan lingkungan yang

bertolak dari kemandirian masyarakat. Dengan landasan etis, estetis serta logis

yang terkandung dalam nilai-nilai kearifan lokal ini secara bertahap dan terarah

akan menekan tekanan-tekanan material (ekonomi) yang selama ini menggiring

masyarakat menjadi pragmatis. Dalam pengetahuan tradisional, diyakini bahwa

hidup tidak saja mengurusi kebutuhan material (lahir) semata, tetapi juga harus

seimbang dengan kebutuhan imatriil (bathin). Pemahaman ini pada sebagian

besar masyarakat Jawa Barat khususnya di Kampung Adat Cireundeu

diimplementasikan dengan menetapkan kawasan yang berfungsi bathin yang

disebut dengan :

1. Leuweung Larangan dalam pemahaman sederhana yaitu kawasan lindung

2. Leuweung Tutupan (keharmonisan flora dan fauna)

3. Leuweung Baladahan dan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya.

Kampung Adat Cireundeu dengan segala keunikannya tidak saja dikenal

oleh lingkungan masyarakat Kota Cimahi, namun sudah dikenal luas karena

mempunyai ciri khas dalam kehidupannya sehari-hari. Salah satu keunikannya

adalah makanan pokoknya singkong dan tanaman singkongnya pun menanam

sendiri disekitar lokasi kampung.

Page 109: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

96

Kampung Adat Cireundeu menjadi suatu kampung yang hampir tidak

pernah terpengaruh oleh gejolak sosial yang sering terjadi terutama mahalnya

harga makanan pokok terutama beras. Menurut hemat kami kampung adat

Cireundeu telah menjadi Filot Project dalam rangka melaksanakan program

ketahanan pangan, terbukti bahwa masyarakat setempat makanan pokoknya

tidak bergantung pada beras, dengan kata lain bahwa kampung Cireundeu

sudah menjadi kampung yang Mandiri Pangan / Demapan.

a. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Mempertahankan Adat

Kebudayaanya.

Masyarakat kampung adat Cireundeu memiliki kehidupan yang hampir

sama dengan masyarakat perdesaan Indonesia pada umumnya, dan masyarakat

Sunda di Jawa Barat pada khususnya, tetapi mereka memiliki pola kehidupan

dalam mempertahankan suatu nilai dari leluhur yang berbeda dengan

masyarakat lainnya di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung Adat

Cireundeu mempunyai kehidupan dari kegiatan pertanian tanaman singkong,

berkebun, dan kegiatan pedesaan lainnya. Dikarenakan hasil utamanya adalah

singkong, maka masyarakat kampung adat Cireundeu menjadikan singkong

sebagai makanan pokok utamanya (serba singkong). Hal ini menjadi suatu

keunikkan bagi Kota Cimahi, disamping itu juga mereka memiliki aturan adat

yang ketat dan dijalankan secara turun temurun selama ratusan tahun, serta

masyarakatnya menganut keyakinan sunda wiwitan.

Alasan masyarakat kampung adat Cireundeu mencoba singkong sebagai

makanan pokok seperti yang diutarakan oleh Abah Asep (Panitren) karena

mereka mengacu pada realita masalah yang terjadi di Indonesia selama ini, yaitu

mengenai beras. Masyarakat Indonesia sampai mengimpor, bahkan berhutang

kepada negara luar hanya untuk masalah beras. Mengapa tidak kita coba saja

tanaman singkong yang ada di sekitar kita diolah sedemikian rupa agar mirip

seperti nasi. Akhirnya mereka mencoba mengolah singkong, yang pada awalnya

disepelekan oleh masyarakat lainnya, dan ternyata setelah ada penelitian

mengenai kandungan gizi singkong, ternyata singkong itu lebih baik

dibandingkan beras.

b. Pola Pembelajaran yang Terjadi

Memperkenalkan dan membiasakan rasi sebagai makanan pokok melalui

pembinaan terus menerus sejak kecil kepada anak-anak yang masih kecil

Page 110: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

97

merupakan suatu cara pembelajaran yang diberikan oleh para orang tua di

masyarakat kampung adat Cireundeu.

Seorang ibu menyarankan anaknya untuk memakan rasi (beras

singkong), sang ibu memberikan pemahaman mengenai mengapa kita sebagai

penggagas malah ingin menghilangkan tradisi makan rasi (beras singkong),

sedangkan orang lain jauh-jauh ingin kesini bahkan dari luar negeripun.

Maknanya mereka memakan rasi (beras singkong) yaitu merupakan suatu

keyakinan, dimana mereka menganggap bahwa kekuatan itu bukan hanya

datang dari padi saja, melainkan dari singkong pun masyarakat adat masih dapat

mempertahankan hidup layak seperti yang lain. Secara pembelajaran sosial,

masyarakat kampung adat Cireundeu masih menjunjung tinggi rasa solidaritas,

kebersamaan dan gotong royong. Seperti halnya mereka setiap tanggal 17

Agustus selalu melakukan event yang di sebut dengan istilah ―Jurit Wengi‖

dengan maksud mengenang dan menghargai perjuangan para pahlawan pada

zaman dahulu. Jurit Wengi ini dilaksanakan pada malam hari dimulai dari Pukul

20.00 Wib masyarakat kampung adat Cireundeu mendaki ke puncak salam

setelah tiba di puncaknya mereka berkumpul kemudian melakukan ritual khusus

hingga tengah malam (acara puncak), selama perjalanan menuju puncak salam

dipohon-pohon terdapat kupon-kupon yang akan menjadi doorprize.

c. Keterkaitan dengan Perencanaan Pembangunan Kawasannya.

Adanya pembelajaran sosial yang terjadi secara turun temurun di

kampung adat Cireundeu ini ternyata memiliki keterkaitan dalam perencanaan

pembangunan kawasannya, dimana mereka ternyata memiliki pola ruang dalam

mengatur kawasannya. Hal ini dapat terlihat dari segi penataan ruang yang

terbagi-bagi menjadi beberapa kawasan seperti yang telah dijelaskan dalam bab

sebelumnya mengenai tata guna lahan. Masyarakat kampung Adat Cireundeu

memiliki tradisi dari segi pembagian kawasan ternyata tidak menyimpang

terhadap landasan hukum (Keppres No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan

Kawasan Lindung) yang ada di Indonesia.

6.2. Kelemahan Studi

Penelitian ini mendalami suatu lokasi contoh kasus yaitu Kampung Adat

Cireundeu, yang tentunya tidak dapat memberikan generalisasi konsep

pembelajaran sosial masyarakat adat dalam perencanaan tata ruang secara

Page 111: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

98

formal. Kearifan budaya lokal ini bersifat unik sehingga diperlukan adanya

penelitian ulang pada berbagai lokasi untuk mendapatkan hasil dan kesimpulan

yang lebih luas.

Dalam penulisan karya ilmiah ini memiliki kelemahan-kelemahan studi

yaitu peneliti tidak melakukan perbandingan daerah studi kasus untuk

mengetahui karakteristik dari daerah lainnya. Ketua RW yang sulit di kunjungi

dikarenakan kesibukkannya, dan kantor RW yang tidak beroperasi (tidak ada

orang sama sekali yang beraktifitas di kantor RW.10) sehingga sulitnya ketika

ingin mencari data sekunder seperti data kependudukan yang rancu.

6.3. Rekomendasi Tindak Lanjut Penelitian

Penelitian pembelajaran sosial dalam kearifan budaya lokal, khususnya di

Indonesia sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi pada pengembangan

teori serta praktek perencanaan untuk lebih mendekatkan perencanaan dengan

kebutuhan nyata di masyarakat berupa adanya suatu rencana tindak. Dalam

beberapa sumber dinyatakan bahwa setiap di daerah itu memiliki suatu nilai-nilai

dan aturan yang spesifik dalam penataan ruang wilayahnya, pada umumnya

sudah teruji oleh ruang dan waktu dimana kawasan tersebut tumbuh dan

berkembang, sehingga nilai-nilai seringkali lebih berkesesuaian dengan tuntutan

lokal. Hal ini seringkali terlupakan dari penelaahan perencana jika

perencanaanya hanya berpatokan pada standar dan regulasi umum semata.

Hal ini memberikan suatu peluang pada penelitian lanjutan agar lebih

beragam/ bervariasi dengan daerah lainnya yang menurut salah satu sumber

yang diperoleh dalam penelitian ini kurang lebih sebanyak 650 komunitas lokal

dengan masing-masing kultur etnisnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

Demikian juga dengan penelitian terhadap regulasi dan modernitas baik secara

umum maupun khusus (lokal) sehingga akan diketahui secara lebih jauh lagi,

apakah regulasi merupakan salah satu pendorong atau penghambat bagi proses

pembelajaran sosial masyarakat adat dan pengaruhnya terhadap kawasan

dalam perencanaan.

Page 112: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

99

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Bacaan :

Almendinger, Philip dan Mark Tewder-Jones, Eds. (2002) : Planning Futures :

New Direction for Planning Theory, Routledge, London dan New York.

Argrys, Chris., dan Schon, Donald (1996) : Organizational learning II : Theory,

method, and practice, Reading, MA, Addison-Wesley.

Arole Rajanikant, Fuller, Beth., and Peter Deutschmann .2004. Improving

Community Capacity. Australian International Health Institute (AIHI)

Australia.

Baker, Deirdre .2006. Social Learning Capital – interlinking social capital, lifelong

learning and quality learning conversations. Makalah disampaikan dalam

Konferensi Pendidikan bagi Orang Dewasa dan Komunitas di New

Zealand 26-28 Mei 2006.

Bandura, Albert .1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-

Hall, 1977. 247 pp., paperbound.

Bower, H., Gordon., & Hilgard, Ernest., R., (2005). Theory of Learning. Stanford

University.

Brennan, B.A. (1988) : Hands of Light : A Guide to Healing Through the Human

Energy Field, Bantam Books, United States Of America.

Burns Tom .2004. A Practical Theory of Public Planning: Tavistock Tradition and

John Friend’s Strategic Choice Approach. Jurnal Planning Theory Vol

3(3): 211-233 Sage Publication. London

Dougill, A.J., Fraser, E.D.G., Holden, J., Hubacek, K., Prell, C., Reed, M.S.,

Stagl, S.T., Stringer, L.C. (2006): Learning from doing participatory rural

research: Lessons from the Peak District National Park, Journal of

Agricultural Econoimcs 57: 259-275.

Page 113: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

100

Dunn, E. S. (1981): Public Policy Analysis: an introduction, Prentice Hall,

Engelewoods Cliff N.J.

Ellerman, David. 2002. Hirschmanian Themes of Social Learning and Change.

World Bank. Moldova

Faludi, A. (1973): A Reader in Planning Theory, Pergamon, Oxford.

Figuera dkk. (2002): Communication For Social Change: An Integrated Model for

Measuring the Process and Its Outcomes, The Communication for Social

Change Working paper No.1

Fischer, Frank dan John Forester. Eds. (1993): The Argumentative Turn in

Policy Analysis and Planning. Duke University Press: Durham dan

London.

Fischer, Frank. (1998): Beyond Empiricism: Policy Inquiry In Postpositivist

Perspective, Policy Studies Journal, Vol.26. No.1 (Spring,1998): 129-146.

Forester, John. 1989. Planning in The Face of Power, University of California

Press : Berkeley, Los Angeles.

Forester, John. 1993. Critical theory, public policy and planning practice: Toward

a critical pragmatism. State University New York Press, Albany, NY.

Friedman, John. 1973. Retracking America: a theory of transactive planning.

Anchor Press/Doubleday: Garden Citi N.Y.

Friedmann, John .1987. Planning in The Public Domain. From Knowledge to

Action. Princeton University Press. New Jersey.

Habermas, Jurgen .1981. Theorie des Kommunikativen Handelns Band I:

Diterjemahkan oleh Nuhadi Tahun 2006. Kreasi Wacana Yogyakarta.

Hardin, G. (1968): The Tragedy of Commons, Science 162: 1243-48.

Healey, P. (1992a): Planning through debate: the communicative turn in

planning theory, Town Planning Review 63(2): 143-162.

Page 114: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

101

Healey, P. (1992b): A Planner‘s day: knowledge and action in communicative

practice, Journal of The American Planning Association 58:9-20.

Healey, P. (1992c): An institutional model of the development process, Journal

of Property Research 9 (1): 33-44.

Healey, P. (1993a): The communicative work of development plans,

Environment and Planning 20: 83-104.

Healey, P. (1993b): Planning through debate: the communicative turn in

planning theory, dalam F. Fischer and J. Forester (Eds) The

Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning, UCL Press Ltd,

London, pp. 233-253.

Healey, P. (1996a): The communicative turn in planning theory and its

implicatios for spatial strategy formation, Environment and Planning and

Design. 23 (2): 217-234.

Healey, P. (1999): Institutionalist Analysis, Communicative Planning, Shaping

Places‘. Journal of Planning Education and Research, 19: 111-21.

Healey, Patsy. (2007): The New Institutionalism and the Transformative Goals of

Planning, dalam Niraj Verma Eds, Institutions and Planning. Elsevier:

Amsterdam.

Hergenhahn, B.,R., & Olson, Mathew., (2007). Theories Of Learning (Teori

Belajar). Jakarta : Kencana.

Horton, P.B & Hunt, C.L. 1992. Sosiologi 2. Jakarta: Erlangga.

Imhof, M. dan Janusik, L.A. (2006) : Development and Validation of Imhof-

Janusik Listening Concepts Inventory to Measure Listening

Conceptualizing Differences Between Cultures, Journal of Intercultural

Communication Research, 35, 79-98.

Korten, David, C 1987. Community Management : Asian Experience and

Perspectives (West Hartford, CT. Kumarian Pres).

Kunto, Haryoto .1984. Semerbak Bunga Di Bandung Raya. Bandung:PT

Granesia Bandung. Hal 397-399

Kurnia, H.I. 2005. Tata Ruang dalam Rumah Adat Kampung Dukuh di

Kabupaten Garut Ditinjau Dari Segi Rumah Adat Tradisional Sunda.

Page 115: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

102

Sarjana Pendidikan, Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan. UPI-

Bandung.

Leave, Wenger., .1986. Situated Learning.

Marc Alan dan Low Nicholas .2004. Knowing and Steering: Mediatization,

Planning and Democracy in Victoria, Australia. Jurnal Planning Theory Vol

3 (1): 41-69 Sage Publication. London

Mulyana, Deddy., & Jalaluddin, Rakhmat. 2006. Komunikasi

Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda

Budaya. Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25

Munshi Kaivan .2003. Social learning in a heterogeneous population: technology

diffusion in the Indian Green Revolution. Journal Of Development

Economics Vol. 73 hal. 185-213. Tahun 2004.

Nasutiom, M.A. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung:

Tarsito.

Nazir, Moch. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papanek, V. (1995) : The Green Imperative Ecology and Ethics in Design and

Architecture, Thames and Hudson, Singapore.

Sasongko. 1986. Pengantar Perencanaan Kota (terjemahan), Penerbit Erlangga.

Jakarta.

Sawitri, Dewi. 2006. Keikutsertaan Masyarakat dalam Pengembangan Lokal

(Studi Kasus: Pengembangan Desa di Jawa Barat). Bandung.: ITB

Schon, Donald. (1983): The Reflective Practitioner: How Proffesionals Think in

Actgio,Basic Book, New York.

Schon, Donald. (1987): Educating the reflective practitioner. Jossey-Bass, San

Fransisco.

Schulz, C.N. 1984. Genius Loci, Towards a Fenomenology on Architechture,

Rizzoli, New York.

Page 116: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

103

Schweitzer, Lisa A., Eric J. Howard dan Ian Doran. (2008): Planners Learning

and Creating Power: A Communicaty of Practice Approach, Journal of

Planning Education and Research, Vol. 28, 50-60.

Sen, Amartya .2000. Development as Freedom. Anchor Books, New York.

Smith, Barry Percy .2006. From Consultation to Social Learning in Community

Participation with Young People. Social and Organisational Learning as

Action Research (Solar). The University of West of England.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods).

Bandung:Alfabeta

Suparlan, Parsudi. 2002. Research Design. Jakarta : Klik Press

Thomson, Don dan Pepperdine Sharon .2003. Assesing Community Capacity

For Riparian Restorian. Land And Water Australia.

Weimer, David L dan Aidan R. Vining. 1989. Policy Analysis: Concepts and

Practice. Prentoce Hall.

Wenger, Etienne. 2000. Communities of Practice and Social Learning Systems.

London: Sage Publication.

Wortjer, Johan. (2000): Concensus Plannning: The relevance of Communicative

planning theory in dusth infrastructue Development. Ashgate: Singapore.

Yin, Robert K. (2009): Case Study Research: Design and Methods, SAGE

Publication, Inc., California.

Sumber Internet :

Aziza, Hilda. Metode Penelitian. Diakses pada tanggal 09 Januari 2013 dari

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07110240-hilda-aziza.ps

Page 117: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

104

Diding .2002. Forum Masyarakat Sebagai Ruang Transaksi Dan Pembelajaran

Sosial Dalam Perencanaan Publik. Tersedia di http://digilib.itb.ac.id/

gdl.php? mod=browse&node=662

Kebudayaan Sunda. Diakses pada tanggal 12 Desember 2012 dari

www.sundanet.com

www. Wikipedia.com

Kearifan Ekologis Karuhun Sunda. Diakses pada tanggal 02 Juli 2013 dari

http://sundasamanggaran.blogspot.com/2010/01/kearifan-ekologis-karuhun-

sunda.html

Tugas Akhir dan Disertasi :

Irwan, Inez Fitrisia .2010. Pembelajaran Sosial Dalam Mewujudkan Perubahan

Lingkungan Di Komunitas Studi Kasus RT.04 RW.01. Kelurahan Babakan

Sari Kecamatan Bojongloa Kaler. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Suhirman .2011. Pembelajaran Sosial Dalam Perencanaan Komunikatif.: Studi

Kasus Kebijakan dan Praktek Penganggaran Daerah di Kabupaten

Sumedang. Bandung:Institut Teknologi Bandung

Landasan Hukum :

Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan Kawasan

Lindung

Undang-undang No.41 Tahun 1999 Mengenai Pokok-pokok Kehutanan

Page 118: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

105

LAMPIRAN

Page 119: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

106

L.1

FORMAT LEMBAR WAWANCARA

A. Permukiman

1. Berapa luas secara keseluruhan daerah yang menjadi masyarakat adat

Cireundeu ini ?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

2. Bagaimana cara pandang masyarakat adat Cireundeu terhadap

permukiman yang ada?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

3. Apakah ada aturan – aturan khusus/adat-adat tersendiri mengenai etika

bermukim?

Jawab :

.............................................................................................................................

.............................................................................................................................

........................................................................................................

4. Bagaimana cara masyarakat adat untuk membangun permukiman

berdasarkan tradisi turun temurun?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

Page 120: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

107

B. Pembelajaran Sosial

1. Bagaiamana cara para orang tua memperkenalkan kepada anak-anak

bahwa singkong yang dijadikan sebagai makanan pokok masyarakat

adat Cireundeu ini sudah menjadi tradisi dari turun temurun?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

2. Bagaimana cara mereka bergaul dengan masyarakat non-adat yang

memakan beras sebagai makanan pokoknya?Apakah mereka tergiur

untuk mencoba nasi?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

3. Bagaimana sistem gotong royong yang ada di masyarakat ini?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

4. Bagaimana sistem kelembagaan yang ada di masyarakat Cireundeu?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

5. Melalui tradisi yang menjadi ke khas an masyarakat Cireundeu, Apakah

ada pengaruhnya terhadap :

a. Lingkungan ?

Page 121: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

108

Jawab :

...................................................................................................................

...................................................................................................................

...................................................................................................................

b. Pembangunan ?

Jawab :

....................................................................................................................

....................................................................................................................

....................................................................................................................

c. Kontribusi terhadap daerah ?

Jawab :

....................................................................................................................

....................................................................................................................

...................................................................................................................

6. Bagaimana cara mengelola lingkungan yang ada?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

7. Nilai-nilai apa saja yang terdapat dari masyarakat Cireundeu ini sehingga

banyak para pendatang tertarik dan penasaran terhadap keunikan

kampung ini?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

8. Seperti apa sistem bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat ini?

Apakah ada sistem-sistem khusus?

Jawab :

Page 122: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

109

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

9. Mengapa masyarakat Cireundeu menjadikan singkong sebagai makanan

pokok?

Jawab :

..........................................................................................................................

..........................................................................................................................

..........................................................................................................................

10. Dari segi pendidikan, terdapat pada jenjang pendidikan tertinggi apakah

rata-rata masyarakat adat Cireundeu ?Rata-rata bermata pencaharian

apa?

Jawab :

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

Page 123: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

110

HASIL WAWANCARA PANITREN

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU

Narasumber : Abah Asep (Panitren)

Tanggal : 21 Mei 2013

Abah Asep : Tinggal nganggarin aja kan masalah sharing dananya kan bisa ke

pusat mungkin kementrian atau departemen-departemen yang lain

saya rasa kalau di ajak yang positif masak gak mau, uang Cuma

segitu . Apalgi di Pusat sampai ribuan triliyun masa diminta untuk I

M untuk Cireundeu (bukan untuk Cireundeu, tapi lebih edukasi)

kepentingan masyarakat seluruh Indonesia saya rasa tidak ada

keberatan lah. Tinggal ada niat baik, serius gak atau hanya

sebatas cerita, sebatas ngomong, sebatas wacana, kalau mau

benar-benar iya serius tentang ketahanan pangan ini, tentang

keragaman pangan ini kan sebenarnya. Bukan hanya sebatas

simbol saja, sebatas simbol saja, sebatas pameran saja. Tidak!!

tetapi harus ada dampak positif terhadap masyarakat yang ada di

tanah Nusantara ini, khususnya Cireundeu. Bukan hanya

Cireundeu terkenal, tapi masalah ekonominya masih terpuruk,

masalah sosialnya juga belum. Dampaknya tidak signifikanlah, tapi

mudah-mudahan kedepan harapannya seperti itu. Soalnya

kemarin ditanya dari DIKTI sharing dana DIKTI dengan Cimahi

katanya Cimahi SIAP..!! Tapi Rp. 1 pun kayaknya gak tahu saya

juga gak ngerti, karena pendampingnya dari UNPAD, bu Merlin

dkk. Gak tahu lah pemerintah saya juga malu, malas nanya-nanya

mestinya kan mereka respon, mestinya mereka juga pro-aktif, tapi

kenyataannya sampai saat ini belum. Tapi gak tahun untuk tahun-

tahun sekarang apa dijalankan lagi atau tidak. Tapi buat

masyarakat disini, mau jalan atau tidak DEWITAPA ini tetap

berjalan aja seadanya, walaupun kita tidak punya anggaran dsb.

Buktinya waktu tamu seperti tadi kan ( Tamu Dari Ibu-Ibu PKK

Serdang Bedagai Medan) ?? Ya biarin aja mereka datang kesini

Page 124: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

111

sendiri, tidak usah ngundang, mau anggaran-anggarannya dari

mana urusan mereka. Kita mah namanya tamu ya kita sambut

dengan hangatlah disini, apa adanya disini, namanya beras

signkong tidak usah beli, namnya ibu-ibu masak tidak perlu dikasih

upah dsb, lebih ke sosial. Orang yang ingin tahu, orang yang ingin

belajar kenapa kita harus dibayar. Kita malah ada saudara kita

yang tadinya istilahnya terpuruk dengan harus makan beras

ternyata beras tidak ada bisa makan singkong atau jagung atau

yang lain kan istilahnya itu kan suatu kemajuan yang bagus untuk

kita. Walaupun ditempat lain saudara-saudara kita minimal lah

bisa merubah pola hidup atau pola makan, bisa ngikutin seperti

Cireundeu lah. Dalam arti, walaupun Cireundeu posisinya ada di

kota, tapi posisi ada di kampung, tetapi secara ekonomi maupun

sosial termasuk kesehatan dsbnya boleh dikatakan kategori yang

tidak terlalu miskin (tidak kategori yang miskin-miskin banget lah ) .

Mungkin bisa dilihat rumah-rumah ya, walaupun standar minimal ,

bisa dibedakan dengan yang lain, bukan berarti kita sombong

tetapi emang kenyataannya emang seperti itu.

Trus jaringan sosial, pergaulan dengan yang lain Ya sama-sama

saja. Bergaul. Dari segi pendidikan ya tidak bodo-bodo amat (tidak

tertinggal) , tidak sampai ada yang tidak bisa baca tulis, dari anak-

anak bayinya tidak ada yang mengalami gizi buruk. Berarrti

standar minimal untuk kehidupan pola hidup walaupun makan

singkong, sejajar dengan yang lain. (Menurut Saya), kenapa yang

lainnya juga tidak mencoba merubah (bukan harus pindah) tetapi

minimal merubah pola pikirnya, bahwa walau tidak ada beras,

kenapa harus ribut, kenapa kita kayak yang menghadapi

bencana?? Yaudah, dibelakang ada singkong, dibelakang rumah

ada jagung, ada talas, ya itu aja yang DIOLAH. Yang tadi saya

katakan sedikit dirupa dan dirasalah (itu tinggal pintar-pintar ibu-

ibu aja mengolahnya). Yang penting kandungan asupan protein

dan gizi dsbnya itu yang diutamakan. Makanya ada petatah-petiti

atau sasanti yang diwariskan dari leluhur kami , Nah itu lah. Yang

penting sumber kekuatan itu dari makanan apapun ada, kalau kita

mau mencoba ke arah sana. Soalnya Cireundeu juga dulu waktu

Page 125: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

112

masa zaman penjajahan boleh dikatakan sesepun kami disini

(sawah itu sejauh mata memandang) . jadi untuk kehidupan

masyarakat Cireundeu, tidak akan kekurangan sampai sekarang

juga (Istilahnya), Tapi tidak sombong dan tidak terlena dengan itu.

Kalian jangan terlena karena urusan beras ini memang paling

enak di dunia ini (untuk nasi), tapi jangan terlena suatu saat (orang

tua bilang) suatu saat orang makin lama makin banyak, lahan

semakin sempit , pasti akan rebutan, Coba pegunungan ini diolah

selain padi, dicoba singkong (gagasan 1918), ternyata bisa . Gak

begitu 1918 digagas langsung bisa, 1924 baru bisa. Budidaya,

mengolahnya, memakannya, Bayangin dulunya biasanya makan

enak, namanya gak ada raskin lah istilah, dulunya masih padi-padi

bagus dulu, walaupun panen setahun sekali, tiba-tiba disuruh

makan singkong , yang teteh mungkin bisa merasakan bedanya,

kalau saya kan tidak bisa membedakan antara beras singkong

dengan beras padi karena belum pernah mencicipi. Tapi kan kalau

teteh bisa ngebedain jauh kalau dilihat rasanya kan jauh. Tapi

kalau setelah dicoba dan dibiasakan, ya tidak ada bedanya.

Mungkin disitulah istilahnya merubah pola tanam dan pola berfikir

dan pola makanan. Kealaman oleh generasi saya disini, bener

sawahnya habis . Terlahir 2005 tertimbun sampah. Bayangin kalau

dulu tidak ngikutin apa yang kata orang tua , ya ikut tergerus

nunggu dikasiin pemerintah (beras raskin). Kalau enggak dikasi

raskin, sawah tidak ada, uang aja tidak ada, dikasi raskin gimana

mau tebus , ya tidak makan beras. Buat di Cireundeu mau mau

raskin , mau beras mahal , Leumpeung ada. Yang penting kan

makan nasi itu bukan hanya nasi. Beras Rp 10.000/Kg Rp.

20.000/Kg kalau Cuma makan dengan garam?? Ya sama aja kan

enggak bagus. Yang penting kan keanekaragaman yang lainnya,

walaupun Cuma makan nasi singkong tapi kan ada ikannya, ada

tahunya, ada sumber protein lainnya, dsb. Yang penting kan 4

sehat 5 sempurna. Makanya secara dampak sosialnya untuk

masyarakat Cireundeu ini : Mudah-mudahan harapan kedepannya

lebih berimbah positif lagi secara ekonomi., sosial budaya dsbnya

bahwa kita yang makan singkong terkesan orang yang

Page 126: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

113

termarjinalkan lah (orang terbelakang) orang yang sangat miskin

dan sangat bodoh. Enggak Lah!! Buktinya istilahnya yang punya

tran 7 aja mendeklarasikan diri anak singkong, padahal mereka

tidak maka singkong. Cuma sejarahnya dulu dia (zaman

merintisnya sekarang menjadi konglomerat) itu awalnya mungkin

tidak serta merta speerti anaknya aburizal bakrie sekarang,

mungkin bapaknya pak Ical kan mungkin dulu berjuang kan cerita

di TV dan sbgnya mungkin seperti itu. Tidak malu gitu anak

singkong sekarang jadi konglomerat, kenapa enggak??kalau

Cireundeu benar-benar anak singkong emang dri bayi sudah

makan singkong. Kalau pak Faisal Tanjung kan istilahnya dulu

pernah mencicipi, merasakan beberapa bulan atau beberapa

tahun sampai sekaran gjadi sukses, mungkin sekarang sudah

tidak makan singkong lagi. Kurang lebih seperti itulah. Tapi kan

menganggkat harkat dan derajat bahwa walaupun makan

singkong, boleh dikatakan saya juga exist lah jadi pengusaha

sukses, kan begitu lah istilahnya. Walaupun dulu bapaknya pak

Ical dulu hanya lulusan SR, katanya punya karyawan sampai

10.000, masa kalian gak bisa?? Bener, pada saat itu juga mereka

juga diwarisi harta dari nene moyangnyanya yang tidak sedikit.

Kalau kita-kita ini apa coba? Hanya Cireundeu diwariskan oleh

leluhur kami tentang budidaya singkong termasuk senibudaya itu

yang kami jaga. Tapi begitu kami olah dan sudah kami rasakan, ya

sudah pas pada relnya , kenapa harus plarak plirik kesna lagi.

Yang tadi saya katakan,bukan berarrti msayarakat Cireundeu tidak

mau berbisnis , sebenarnya kami siap berbisnis, tapi jagna smapi

bisnis itu melupakan segalanya (seni budaya ditinggalkan, masa

bodo terhadap saudarasaudara kita yang ada) tidak seperti itu. Ini

kan milik masyarakat Cireundeu semua, pada umumnnya

khususnya masyarakat adat. Denganboleh dikatakn Cireundeu

dikenal dianggap oleh PEMDA dijadikan DEWITAPA, kalau ada

dampak postifnya harus semuanya menikmati bukkan seseorang

secara pribadi atau sekelompok orang , tapi harus semuanya bagi

masuarakat Cireundeu disini khususnya dan umumnya mudah-

mudahan dari Sabang – Merauke bisa belajar, minimal

Page 127: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

114

punyapencerahan kalau makan itu hanya beras dan terigu saja,

tetapi ternyata singkong juga bisa. Silakan tidak usah bayar, kita

mau diajak ke daerahnya atau disini, kita ajrain sama mereka.

Dengna tujuan untuk mengentaskan keterpurukan khususnya di

pangan, Soalnya kan kebayang kalau tidak ada beras.

Suatu saat kan pasti tidak ada, bayangkan saja jumlah penduduk

dunina samapai lebih dari 6M penduduk , bayangin kalau terfokus

di beras? Mati semua. Pasti rebutan, harga beras berapapun buat

konglomerat Rp.100.000/Kg pun tidak apa-apa, buat fakir miskin?

Mau nebus raskin aja tidak punya uang, apa mau dibiarkan?

Jawabannnya kan sebenarnya di daerah situ ada singkong,

jagung, dsbnya. Kenapa harus di berasnisasi. Ya harapan kami

disini, pemerintah dsbnya jangan tidak ada beras jadi bencana lah,

padahal kan banyak asupan-asupan yang lain khusunya di jagung,

di umbi-umbian, singkong dsbnya. Cuma kan bagaimana caranya

kita merubah. Kalau kita lihat singkong gelondongan gitu kan

bingung bagaimana makannya . Tapi begitu dirubah bentuk,

mungkin nanti ada teknologi pangan, mungkin nanti beras

singkongnya seperti beras biasa yang kita makan , mungkin

rasanya juga mendekati dsbnya. Saya rasa cukup mungkin

dengan banyak orang-orang pintar ngurusin bikin mesinnya,

teknologi pangannya dan lain sebagainya dan lain sebagainya

yang penting kan kita jangan sampai berhenti berfikir, berinovasi

untuk kedepan supaya bahasa istilah sombongnya negara ini

ngurusin perut aja gak beres-beres gitu kan? Sampai negara juga

impor sana impor sini karena ketakutan, yang dikhawatirkan

kedepan urusan beras dijadikan komoditi politik kan repot.

Sementara di Vietnam banyak , di Cina banyak di Korea banyak

beras. Indonesia pemakan beras terbanyak di dunia misalkan.

Boleh dikasi beras dengan catatan-catatan politik kan masa

urusan perut aja harus digadaikan ke negara lain. Padahal kan kita

banyak. Mestinya kan kita berdiri di kaki kita sendiri atau berdaulat

pangan (tidak tergantung terhadap yang lain). Namanya

tergantung terhadap yang lain, apapun mungkin komoditi politik,

komoditi teknologi ataupun pangan saya rasa jadi bulan-bulannan

Page 128: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

115

negara lain. Kan kita juga tidak menghendaki rakyat kita

digadaikan hanya untuk ngurusin perut padahal di kita singkong

sampai Rp. 20 Juta / Ton, jagung juga. Ya itu perlu pemikiran-

pemikiran yang lebih luas lagi dan lebih kebersamaan lagi. Jangan

sampai promosi disana-sini, misalkan pemerintah hanya sebatas

wacana saja, sebatas simbol-simbol saja hnay sebatas kalau hari

pangan saja, sebatas keperluan tertentu-tertentu saja tidak ada

tindak lanjut yang konkret ke depan ya percuma, masyarakat juga

tidak akan mengikuti, tetapi kalau dibarengin dengan tindakan

konkret mungkin dijadikan dengan beras analog, dengan

menggandeng orang-orang yang punya teknologi, teknologi

pangan ataupun teknologi apa, supaya bener-bener masyarakat

pun bisa ikut merasakan. Kalau beras singkong itu harganya Rp.

5000 ternyata kandungan gizi proteinnya lebih dari beras yang

biasa dikonsumsi? Pasti kan bisa beralih. Bisa menciptakan

seeperti itu kan kenapa tidak? Soalnya kan sawah makin kesini

semakin sempit, dimana jumlah penduduk bertambah, sementara

sawahnya semakin berkurang karena beralih fungsi kan itu tidak

bisa dibent\dung dengan aturan pemerintah, perundang-undangan

dsbnya, karena itu hak milik dari seseorang kan gak bisa .

pemerintah gak boleh dijual, boleh lah banyaklah mengatakan

bikin sawah abadi. Tapi kan tidak seimbang lah, jumlah penduduk

sampai kapanpun, jumlah penduduk semakin bertambah otomatis

karena sawah itu posisinya da di daerah dataran, pasti kan itu

akan dihajar untuk perumahan dsbnya, kan gak ada sawah di atas

pegunungan?? Tidak akan diganggunya? Kan tidak mungkin

mereka juga bikin pabrik di atas gunung, pasti di daerah dataran,

seperti di karawang istilahnya Indramayu dsbnya sudah mulai

sedikit-sedikit dibebaskan sekian ratus hektar. Otomatis kan yang

memakannya kan semakin lama semakin bertambah jadi jumlah

produksi dan konsumsinya akhirnya tidak seimbang. Yang

dikhawatirkan kedepannya kan jadi bulan-bulanan semua (rebutan

masyarakat dunia) Istilahnya Indonesia kan pemakan beras

(sebagai pasar saya). Suatu saat kurang kan akhirnya jadi konflik.

Kekurangan pangan atau ketahanan pangan tidak seimbang atau

Page 129: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

116

tidak terjaga tidak kecil kemungkinan ketahanan nasionalnya akan

terganggu juga.

Yang saya ikutin waktu pemaparan di Kementrian Dalam negeri,

saya juga kaget. Saya bilang ke bapak Nainggolan Pak kenapa

saya di bawa kesini? Ya pokoknya kamu kesana ajalah bawa

pameran dsbnya. Apa hubungannya saya bilang kementrian

dalam negeri dengan urusan bapak sebagai badan ketahanan

pangan. Ternyata disana sudah ada judul ―Ketahanan Pangan

akan Menunjang Ketahanan Nasional‖. Ternyata benar juga kalau

siapapun kalau rakyatnya perutnya emang lapar, siapa yang bisa

tenang. Intinya ketahanan pangan , baru bisa menjadi ketahanan

nasional.

Dipikir-pikir benar juga, walaupun dipikir-pikir secara langsung

tidak ada kaitannya, tapi sangat erat kaitannya sebenarnya kan?

Ya contohnya jangan jauh-jauh, kita aja kalau lagi lapar mana bisa

ngapalin kan? Yang ada kita peganging perutnya aja terus-

menerus. Untuk diri kita sendiri itu, coba bayangin kalau enduduk

kita 250 juta jiwa menderita seperti itu? Perang saudara benar-

benar rebutan makanan, bukan rebutin apa-apa. Bisa kejadian,

tapi mudah-mudahan tidak lah. Negara kita negara agraris,

apapun tumbuh . ya mudah-mudahan jadi contoh untuk negara

lain dan minimal untuk kebutuhan rakyatnya sendiri lah, tidak

kurang ataupun harapannya kesana. Pemerintah selalu nyeleneh,

contoh kecil cireundeu, cireundeu bisa kenapa yang lain gak bisa.

Sebenarnya semua nya juga bisa tinggal apa kita mau melatih diri

apa tidak. Begitu!

Bukan berarti tidak boleh makan beras, minimal pengetahuan itu

bahwa pangan itu tidak identik dengan beras. Intinya kesitu.

Soni Sasono : Nah pak, yang program pemerintah yang demapan itu menjadi

salah satu binaan dari promosi pemerintah ya? Buat menaikkan

Cireundeu menjadi contoh ya pak?

Abah Asep : Iya, jadi salah satunya emang banyak kadang-kadang pemerintah

daerah mengangkat Cireundeu. Sebenarnya saya dulu pameran di

Makassar, dalam hari pangan dunia yang dihadiri oleh Pak SBY.

Page 130: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

117

Mereka tidak tahu namanya Cimahi, Ini cimahi? Cimahi itu

dimana? Pas begitu Cimahi jadi kota. Apalagi Cireundeu tidak ada

di peta, Cimahi saja tidak tahu. Nah saya mengenalkannya apa?

Bapak pernah dengar gak TPA Leuwigajah longsor (2005)? Oh

iya. Nah disitu cimahi, nah disitulah Cireundeu.

Lalu jelasin lah urusan singkong dsbnya, mulai itu orang pengen

tahu sampai saat ini dan akhirnya PEMDA sedikit geli lah terus di

cubitkeun oleh pemerintah pusat kok tidak ada respon, akhirnya

ada respon. Ya terlepas mereka menyiapkan dana ataupun tidak

itu mah urusan mereka. Yang penting kalau emang program

demapan ini jalan, kita juga siap bantu, kalau emang tisdak jalan

pun kita mah berjalan sekuta tenaga kita aja (swadaya

masyarakat), masa tamu mau belajar disini, walaupun cara

memaparkan saya tidak seperti teteh-teteh di kampus (pakai Slide,

pakai yang lebih jelas lainnya) ya terus terang istilahnya ya ditalar

aja begitu karena keadaannya seperti itu. Saya juga tidak mau

minta-minta terhadap pemerintah siapapun, tapi saya diwariskan

oleh sesepuh kami (tidak boleh lah minta apapun) Udah seadanya

aja. Sampai geli pemerintah pusat coba anggarin lah Cireundeu

Rp. 100 / 200 juta mah, Tolong kang Asep beli itu infocus dsbnya

jadi nerangin masa kayak gini? Masa orang harus disuruh-suruh

naik gunung dsb nya kan enggak mungkin walaupun gunungnya

ada, singkongnya ada. Tapi minimal mereka punya ilustrasi, punya

gambaran seperti itu. Sampai saat ini enggak ada yang perlu, kami

juga tidak mau meminta. Yaudah seadanya aja, tapi kalau

dipaparkan seperti itu kan ya bukan walaupun kami posisi di adat

istilahnya tidak ada kata tidak boleh selama itu untuk kepentingan

orang banyak, tidak mengganggu tatacara keadatan disini, boleh

lah. Tapi jangan karena punya slide ini dijadikan nonton layar

tancap lah, untuk pemaparan kepentingan orang banyak boleh

lah. Lebih ke kuliah terbuka aja kan seperti itu, nanti siapun yang

memaparkan , mungkin yang punya pengalaman yang belajar

disini ya mangga aja kan seperti itu . Cuma kalau ada tamu yang

seperti itu kan terkadang kita juga geli ya , zaman modern seperti

ini, harusnya ya kita ikutin aja dalam arti supaya pemerintah lebih

Page 131: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

118

mengarahkan urusan belajar komputer dsb nya, mungkin teteh-

teteh yang lebih senior kan masa anak-anak yang mau belajar

kayak gitu aja kan gak mau ajarin kan? Selewat aja kan gak

mungkin seperti itu. Kursus lah, privat dlu beberapa jam

mengoperasikan seperti itu. Tapi mudah-mudahan dengan

program DEWITAPA terus-terusan dipromosikan, mudah-

mudahan Cimahi juga keangkat mengenai pangannya, kearifan

lokal yang ada di Cireundeu dan secara tidak langsung Cireundeu

juga terangkat secara lingkungannya, budayanya, maupun

pangannya. Jadi lebih ke edukasi lah sebenarnya, jadi bukan

berarti Cireundeu mau nyari duit keurusan itu,TIDAK! tapi lebih ke

edukasi, nanti ada sebab akibat transaksi ekonomis seperti tadi,

itu sebab akibat mereka disitu ada produk, mereka ingin tahu,

ingin beli ya sewajarnya aja itu kan ada nilai tambahnya untuk ibu-

ibu pengrajin disini dengan tidak mengurangi Etika Bisnis.

Soni Sasono : Kalau dari program Demapan itu ada dana gak pak?

Abah Asep : Ya justru itu kalau demapan itu kan diprogramkan oleh kota

Cimahi, katanya sih dulu nyusun anggaran sampai Rp. 600 Juta,

tapi sampai saat ini saya tidak pernah melihat dan tidak pernah

merasakan, coba ke Cireundeu demapan bikin apa, bikin apa,

Enggak Ada !!

Maretta : Kalau dari bantuan-bantuan dari pihak lain ada enggak pak?

Abah Asep : Bantuan dari pihak lain itu mungkin dari DIKTI yang dibidangi oleh

unpad, sedikit ada pelatihan-pelatihan (pelatihan manajemen, dsb)

yang dikomandani Bu Marlin, dkk. Malah di bawah juga ada sedikit

proyek mau bikin green house (udah di buat, tapi belum selesai)

itupun ada dana, katanya bantuan dari DIKTI, melalui Unpad

Cireundeu. Tapi green house ini hanya sebagai sample disitu

untuk mencoba masyarakat di sini mau enggak? Karena kan disini

itu banyak pupuk-pupuk organik banyak, coba ibu-ibunya dilatih,

supaya mungkin ke depan kalu disini contohnya bagus, ada petani

atau ada pengunjung ada ingin beli seperti di Lembang ya kita

jual, mudah-mudahan bisa nular untuk dirumahnya masing-

masing, harapannya seperti itu. Kedepan itu katanya bantuan dari

DIKTI melalui Unpad, besarnya berapa saya juga tidak tahu. Tapi

Page 132: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

119

untuk Cimahi sendiri tidak ada. Sementara ini saya juga belum

dengar lah untuk program demapan. Tapi namanya bantuan dari

propinsi dulu ditumbuk, sekarang digiling (ada bantuan mesin

giling dari propinsi) , dari Cimahi juga ada ada mesin pengupas,

mesin pemotong termasuk mesin pengering juga ada yang dari

Kota Cimahi, Tapi kalu program demapan saya rasa enggak tahu

(belum serius kayaknya), biasa lah kalau pemerintah urusannya

kan dikaitkan dengan urusan pertandingan politik.

Dari segi bantuan pendanaan, dari Cimahi itu belum pernah.

Apalagi kan suka ada event tahunan ya (sura an) setiap tahun kan

itu jadi agenda tahunan disini, ya Mohon maaf lah, Cimahi belum

pernah ikut nimbrung, seinget Cimahi jadi kota, baru kemarin Ibu

Walikota datang kesini.

Maretta : Berarti tadi aliran dana bantuan itu kemana pak?

Abah Asep : Kalau ASABRI itu melalui Pak RW yang mengajukan proposal,

kalau yang PNPM Mandiri Pariwisata melalui BKM, karena kami

kan tidak punya label organisasi, namanya bantuan pemerintah,

sebesar apapun harus yang punya legal formal (berbentuk

yayasan, dsbnya). Kami kan komunitas adat ini boleh dikatakan

sama pemerintah ini dibilang tidak di akui juga enggak, diakui juga

engga. Yang jelas kami bukan organisasi. Makanya mereka mau

ngasih bantuan juga melalui BKM yang ada di Kelurahan. Jadi

masuk ke rekening BKM (ada pengurusannya, ada ketuanya, ada

bendaharanya, dsb) jadi melalui mereka. Nah kami terimanya dari

mereka. Dari pusat sudah di pagukan Cireundeu, tapi nanti legal

formalnya melalui BKM baru diserahkan langsung ke pengurus tim

pelaksana PNPM Mandiri tadi.

Disini dibagi 3 kelompok : ada kelompok kuliner, ada kelompok

kerajinan, ada kelompok budaya. Urusannya budaya (beli ini beli

ini), urusa kuliner (beli blender, dsb), kerajinan (seperti dibikin alat-

alat kerajinan dsb). Urusan kuliner bu elis, Urusan budaya kang tri,

urusan kerajinan Kang Jajang. Jadi dari BKM diserahkan kepada

mereka. Jadi ke unit pengurus pariwisata. Diserahkan ke situ baru

di distribusikan ke pengurus-pengurus itu sesuai dengan ajuan

terhadap yang di ajukan kesana. Jadi yang bikin proposal juga kita

Page 133: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

120

yang ajukan ke BKM, jadi BKM yang ngurus dan bikin proposal

segala macam karena mereka yang punya legal formal, jadi kita

terima jadi dari mereka.

Tapi kalau dari pemerintah pusatnya ini untuk masyarakat adat

Cireundeu, pagunya sekian melalui BKM, jadi enggak ada yang

dana buat masyarakat adat Cireundeu ni Rp. 10.000, belum

pernah ada. Karena kan harus punya cap, kita gak punya cap apa-

apa.

Maretta : Cireundeu ini pak, mulai terbuka ke masyarakat luarnya itu sejak

kapan?

Abah Asep : Dari dulu juga udah terbuka, Cuma ya terkenalnya sejak ada

longsor dari 2005,2006,2007,dan 2008 mulai pemerintah ikut

merespon. Cimahi memberikan penghargaan, propinsi

memberikan penghargaan, sampai kita di undang ke istana

presiden dan segala macam. Ya itu karena Cireudeu punya

prestasi dan pitensi yang boleh dikatakan orang lain patut di

contoh lah seperti itu. Dulu mah ada sampah, orang juga malas

mau kesini. Anggota dewan sampai disitu berhenti bisnya

langsung bilang, ngapain kita di bawa-bawa ke tempat sampah

balik lagi. Enggak jadi ke Cireundeu, maksudnya biar tahu

disuguhi teh itu di gembrongi lalat. Kita menikmati bukan sebentar

teh (20 tahun, sejak saya masih SMP) sekarang aja bisa cuap-

cuap. Berani perang. Dulu mah diem weh, da gimana gak ngerti

lingkungan. Nah begitu kesini, siapa lagi kalau tidak sama kita,

matak saya bikin baligho ―Selamat datang di Kawasan Miskin

Udara Segar‖ Namanya bau, namanya lalat bayangin selama 20

tahun tidak ada yang memperdulikan. Namanya saya ekspose di

Koran, saya ekspose di tv terus-terusan sebelum longsor ini. Tapi

pemerintah Cimahi malah ngebebasin lahan lagi TPA ini akan

diluaskan, Bukan di luaskan tapi ditata, berhentikan dulu ditata

sedemikian rupa. Enggak mau dengar. Udah longsor baru. Untung

masyarakat disini kelas action (kelas action heureu-heureuan)

kalau kelas action semua kebayang. Tapi kita tidak mau lah

menghukum bapak kita sendiri. Baik-buruk pun Jawa Barat Bapak

kita. Yaudah yang sudah-sudah, ya tapi jangan diulang lagi lah.

Page 134: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

121

Cari tempat yang lebih nyaman, yang lebih cocok, lebih layak, tapi

jangan seperti ini lagi, nanti 20 tahun kemudian ada masyarakat

yang tertimbun sampah lagi. Inilah jadikan contoh (harapan seperti

itu)

Maretta : Nah pak semenjak terkenal tadi dan bersentuhan dengan pihak

luar itu ada pengaruhnya ke budayanya enggak pak, khusus

sunda wiwitannya itu apakah ada gangguan sedikit-sedikit kurang

kepercayaannya.

Abah Asep : Kalau urusan itu sangat pribadi, saya rasa tidak. Mereka juga

datang ke sini tidak ada yang pertanyaannya kesana (kenapa

bapak baju hitam, kenapa bapak agamanya ini). Tapi yang jelas

tidak ada pengaruhnya, kalau ke urusan ekonomi ya sedikit

mulailah ada pengaruh dengan dampak yang seperti itu.

Maretta : Berarti regulasi rasi itu berdasarkan gimana pak? Meregulasi

supaya terjaga (dulu kan tidak pernah dijual, sekarang dijual)

Abah Asep : Jadi begini, kalau dulu tidak pernah di jual Cireundeu kan tidak

terkenal seperti sekarang dan pemerintah pun pada zaman dulu

kan tidak pernah mengenalkan keragaman pangan, malah ada

program berasnisasi dari Sabang – Merauke pada saat zaman pak

Harto karena ingin mengangkat derajat bangsa ini tuh kok masih

makan singkong, kok masih makan jagung terkesan kan miskin.

Tapi makan beras ini kayaknya kan derajatnya ini naik, termasuk

orang Papua yang terbiasa makan pakai batu gitu suruh makan

beras.

Pernah ada cerita tetangga disini, Si Waka (dia seorang tentara,

pilot juga di AU) sampai datang, cerita dengan saya, entah benar

apa enggak cerita itu. Tapi yang jelas mereka dari Jakarta pakai

Hercules suruh ngirimin beras ke Papua, tapi dalam perjalanan

saya berfikir Pak Asep, orang Papua mau dikasi beras, sementara

dandangnya gak di bawa, ini masaknya mau pakai apa? Apakah

mau ditumpuk di batu seperti itu. Tapi apa boleh buat, karena ini

perintah komandan yaudah saya laksanakan. Disana berasnya

dibuang atau digimanain tapi saya gak habis pikir orang-orang

Papua di dalam itu kan makannya ditumbuk di Batu panas gitu,

kan yang cocok kan itu umbi-umbian lah dengan daging, tapi kalau

Page 135: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

122

beras gimana?? Kalau dandangnya juga enggak dikasi, rata-rata

kan di sana enggak punya dandang. Ya kalau di Kota tidak usah

diceritain, ini kan di kampungnya. Saya juga enggak habis pikir.

Nah kepikir lagi sekarang akibat berasnisasi tadi, Kata Pak

Nainggolan, yang penyakit diabetes semakin meningkat, karena

beras itu kandungan glukosanya juga tinggi, terus kedua juga

konsumsi beras ini juga cukup tinggi. Karena Indonesia ini

termasuk rakus, karena 93 Kg/Kapita pertahun, Bayangin.

Malaysia sudah menurun 60 Kg, Jepang sudah menurun 50 Kg,

kita malah menaik (terakus di dunia) Bayangin, berapa juta ton

pertahun makan beras.

Nah itu contoh-contoh kecil, nah pada saat itu berasnisasi

otomatis kan mereka tidak pernah melirik singkong (apaan

singkong). Malah singkong di olok-olokkan orang yang makan

singkong itu kan? Termasuk orang miskin, termasuk orang

terbawah (boleh dikatakan masyarakat yang enggak ada artinya)

sekarang sudah mulai berfikir keragaman pangan tadi, malah

dianjurkan ya mulai kan orang juga pengen tahu. Makanya

dipromosikan di semua tv pernah meliput. Malah kementrian juga

pernah bikin gambar disini (Lula Kamal sebagai Duta pangannya).

Ibu Koni Sutedja datang kesini bikin Film disini tentang makanan

rasi (jadi semacam iklan layanan dari kementrian pertanian). Jadi

disitu mulai orang pengen tahu, disitu ingin nyoba juga,

Perintah aban Emen, begitu tamu kesini juga kan dari kementrian

kan jangan dikasi beras, kalau makan beras dirumah aja banyak,

justru kalian disini itu harus mencoba nasinya orang Cireundeu.

Ternyata respon mereka cukup positif. Ternyata enggak jauh beda

dengan beras, ya emang bener, kan makan rasi enggak Cuma rasi

aja kan, ada lauk-pauknya, protein lainnya. Itu kan hanya asupan

karbohidratnya aja. Dan mereka begitu mencoba makan, rasa

kenyangnya juga lebih panjang, jadi kalau saya makan pagi itu

baru lapar itu jam 2 jam 3. Kalau bagi yang puasa, subuh sarapan

rasi itu, udah leumpeung, kalau puasa tahan lapar, kan dari jam 2

ke atas kan nahannya kan gampang gitu. Jadi daya kenyangnya

lebih lama. Makanyan disini rata-rata, makannya Cuma 2 kali

Page 136: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

123

(Makan siang & Malam) , kalau pagi-pagi itu jarang, kayak opak

atau minum teh atau apa. Kalau di yang lain kan diusahakan pagi

itu makan, kalau disini kan rata-rata jarang. Tapi ada juga

(umumnya 2x).

Page 137: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

124

L.2

LEMBAR OBSERVASI

No Aspek Perekonomian Indikator Keterangan

1 Ketimpangan Wilayah a. Faktor Penyebab

b. Akibat

2. Rata-rata pendapatan

masyarakat

a. Mata Pencaharian

b. Pendapatan per bulan

No. Aspek Sosial Budaya Indikator Keterangan

1. Adat Istiadat a. Upacara

b. Kegunaan

2. Budaya dan Kebiasaan a. Acara keagamaan

3. Kesenian a. Tari-tarian dan Musik

4. Pola Hidup

5. Pembelajaran Sosial

6. Aspirasi Masyarakat terhadap

pembangunan

7. Partisipasi Masyarakat

Page 138: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

125

L.3

FORMAT LEMBAR KUESIONER

Nama : …………………………………………………………………

Umur : …………………………………………………………………

Jawablah Pertanyaan-pertanyaan berikut ini :

1. Apakah Kampung Adat Cireundeu ini mendapatkan perhatian lebih dari

pemerintah Cimahi?Jelaskan!

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

2. Asal mula memakan singkong dikarenakan pada zaman dahulu kala masih

sulitnya memperoleh padi untuk dijadikan nasi sebagai makanan pokok?

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

3. Alasan memakan singkong karena setelah dilakukan penelitian dari dinas

ketahanan pangan ternyata kandungan karbohidrat yang ada disingkong dua

kali lipat dari nasi.

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

4. Tradisi memakan singkong ini, dikarenakan masyarakat Kampung Adat

Cireundeu menganggap padi itu sebagai dewi?

Jawab :

Page 139: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

126

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

5. Berkeinginan mencoba nasi seperti masyarakat pada umumnya

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

6. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mayaoritas berpendidikan.

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

7. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dibidang perkebunan

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

8. Kehidupan masyarakat kampung adat Cireundeu sudah dapat disebut

―makmur‖

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

9. Penentuan ketua adat ditentukan berdasarkan garis keturunan?

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

Page 140: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

127

10. Singkong yang ada tidak hanya dijadikan sebagai rasi (beras singkong),

melainkan di olah dengan berbagai macam jenis makanan seperti (rangining,

dendeng, eggroll, dsb.)

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

11. Pemerintah Kota Cimahi menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai

―Dewitapa‖ (Desa Wisata Ketahanan Pangan)

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

12. Terdapat perbedaan cara pembelajaran sosial mengenai tradisi memakan

singkong, antara golongan anak-anak, pemuda dan orang tua

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

13. Masyarakat kampong adat Cireundeu masih banyak yang keterbelakangan

dari segi pendidikannya?

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

14. Melakukan upacara-upacara keagamaan setiap event-event yang dianggap

penting bagi masyarakat kampong adat Cireundeu.

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

Page 141: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

128

15. Kampung adat Cireundeu semakin dikenal oleh masyarakat luar semenjak

adanya bencana alam di TPA Leuwigajah

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

16. Pemerintah Kota Cimahi ingin mengaktifkan kembali TPA Leuwigajah yang

lokasinya sangat dekat dengan Kampung Adat Cireundeu

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

17. Adanya pertentangan antara Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

terhadapa Pemerintah mengenai Pengaktifan kembali TPA Leuwigajah dan

Penetapan Desa Wisata Ketahanan Pangan di Cireundeu

Jawab :

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………..

Page 142: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

129

Rekapitulasi Hasil Kuesioner

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

Jumlah Responden 50 Jiwa

No Pertanyaan

Jawaban

Alasan Ya (Jiwa)

(%) Tidak (Jiwa)

(%)

1 Kampung Adat Cireundeu ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah Cimahi

40 80 10 20

kampung adat cireundeu merupakan satu kampung adat yang mempunyai keunikkan di bidang pangan dan satu-satunya kampung yang masih mempertahankan adat tradisi dan budayanya.

2 Asal mula memakan singkong dikarenakan pada zaman dahulu kala masih sulitnya memperoleh padi untuk dijadikan nasi sebagai makanan pokok

12 24 38 76

Kampung adat cireundeu merupakan kampung adat yang memiliki topografi daerah perbukitan dan kondisi tanahnya tidak cocok untuk menanam padi.

3 Alasan memakan singkong karena setelah dilakukan penelitian dari dinas ketahanan pangan ternyata kandungan karbohidrat yang ada disingkong dua kali lipat dari nasi

50 100 0 0 Kandungan gizi ternyata lebih baik untuk kesehatan jika mengkonsumsi rasi dibanding nasi

4 Tradisi memakan singkong ini, dikarenakan masyarakat Kampung Adat Cireundeu menganggap padi itu sebagai dewi

26 52 24 48

Karena di kampung ini lebih banyak perkebunan singkong mengapa tidak dimanfaatkan?karena di Indonesia saja masalah terbesar yaitu karena padi. Banyaknya import beras dan Indonesia berhutang hanya karena beras.

5 Berkeinginan mencoba nasi seperti masyarakat pada umumnya

0 0 50 100

Masyarakat kampung adat sangat menghormati ajaran budaya yang kental jadi tidak ada yang menginginkan nasi (puasa nasi seumur hidup)

6 Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mayoritas berpendidikan.

45 90 5 10

7 Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dibidang perkebunan

37 74 13 26 Sebagian besar bermata pencaharian dari perkebunan dilakukan oleh orang tua

8 Kehidupan masyarakat kampung adat Cireundeu sudah dapat disebut ―makmur‖

23 46 27 54 Makmur dalam artian budaya tetapi makmur dalam segi finansial masih ada masyarakat yang menganggur

9 Penentuan ketua adat ditentukan berdasarkan garis keturunan?

0 0 50 100 Kampung adat cireundeu melakukan penentuan ketua adat secara musyawarah

10 Singkong yang ada tidak hanya dijadikan sebagai rasi (beras singkong), melainkan di olah dengan berbagai macam jenis makanan

50 100 0 0

Kampung adat cireundeu bisa melakukan hasil pangan yang bervariatif karena adanya suatu penelitian dan penyuluhan tentang singkong.

Page 143: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

130

seperti (rangining, dendeng, eggroll, dsb.)

11 Pemerintah Kota Cimahi menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai ―Dewitapa‖ (Desa Wisata Ketahanan Pangan)

48 96 2 4

Kampung adat cireundeu dijadikan dewitapa karena memiliki keunikan dari daerah lain dan sekarang kampung adat cireundeu menjadi icon kota cimahi.

12 Terdapat perbedaan cara pembelajaran sosial mengenai tradisi memakan singkong, antara golongan anak-anak, pemuda dan orang tua

50 100 0 0 Lebih baik sudah ditanamkan cara pembelajaran sedari kecil

13 Masyarakat kampung adat Cireundeu masih banyak yang keterbelakangan dari segi pendidikannya?

15 30 35 70

14 Melakukan upacara-upacara keagamaan setiap event-event yang dianggap penting bagi masyarakat kampung adat Cireundeu

50 100 0 0 Upacara keagamaan bagi masyarakat adat sangat sakral dan dianggap paling penting bagi mayarakat adat

15 Kampung adat Cireundeu semakin dikenal oleh masyarakat luar semenjak adanya bencana alam di TPA Leuwigajah

45 90 5 10

Iya, semenjak meledaknya TPA banyak orang dari luar melihat ooh ternyata di balik TPA ini ada suatu kampung yang unik dalam kearifan lokalnya

16 Pemerintah Jawa Barat ingin mengaktifkan kembali TPA Leuwigajah yang lokasinya sangat dekat dengan Kampung Adat Cireundeu

46 92 4 8 Hal ini menimbulkan pertentangan antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah propinsi.

17 Adanya pertentangan antara Masyarakat Kampung Adat Cireundeu terhadap Pemerintah mengenai Pengaktifan kembali TPA Leuwigajah dan Penetapan Desa Wisata Ketahanan Pangan di Cireundeu

45 90 5 10

Pertentangan tersebut dikarenakan kampung adat cireundeu adalah desa wisata akan tetapi terdapat TPA yang akan berdampak pencemaran kepada wisatawan yang berwisata.

Page 144: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

131

Lampiran 4. Kependudukan

1. Kepadatan Penduduk

Perhitungan :

Kepadatan penduduk =

Diketahui :

Jumlah Penduduk : 1.076Jiwa

Luas Areal Lahan : 100 ha = 1 Km

Sehingga,

Kepadatan penduduk =

= 1.076 jiwa/km2

2. Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio)

SR =

Diketahui :

Jumlah Penduduk Laki-Laki = 545 jiwa

Jumlah Pendudu Perempuan = 531 jiwa

Sehingga,

SR =

3. Angka Beban Ketergantungan (Dependency Ratio)

Cara Perhitungan :

DR =

Diketahui :

Penduduk umur 0-14 tahun = 186

Penduduk umur 15-64 tahun = 835

Penduduk umur ≥ 65 tahun = 76

Sehingga,

DR =

Page 145: 10070309012-Maretta Cynthia Devina,ST

132

4. Struktur Usia Penduduk

Cara perhitungan:

SUP =

Diketahui,

Penduduk umur 0-14 tahun = 186 jiwa

Jumlah penduduk = 1.076 jiwa

Sehingga,

SUP =