10. Typhoid Feverh

24
Typhoid fever Definisi Atau typus abdominalis adalah nyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Epidemiologi Survey departemen kesehatan RI tahun 1990 : 9,2 dan 1994: 15,4 per 10.000 penduduk. 1981-1986 terjadi peningkatan jumlah penderita sebesar 35,8% dari 19.596 – 26.606 kasus. Insidens bervariasi dan terkait dengan sanitasi lingkungan di daerah rural sebesar 157 kasus, sedangkan didaerah urban sebesar 760-810 kasus per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens disebabkan oleh penyediaan air bersih yang belum memadai, dan pembuangan sampah uang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Distribusi dan Frekwensi epidemiologi a. Orang Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk. b. Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

description

h

Transcript of 10. Typhoid Feverh

Typhoid feverDefinisiAtau typus abdominalis adalah nyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Epidemiologi Survey departemen kesehatan RI tahun 1990 : 9,2 dan 1994: 15,4 per 10.000 penduduk. 1981-1986 terjadi peningkatan jumlah penderita sebesar 35,8% dari 19.596 26.606 kasus. Insidens bervariasi dan terkait dengan sanitasi lingkungan di daerah rural sebesar 157 kasus, sedangkan didaerah urban sebesar 760-810 kasus per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens disebabkan oleh penyediaan air bersih yang belum memadai, dan pembuangan sampah uang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Distribusi dan Frekwensi epidemiologi a. Orang Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

b. Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan) a. Faktor Host Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).

b. Faktor Agent Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.

c. Faktor Environment Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .

Sumber Penularan (Reservoir) Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:

1. Penderita Demam Tifoid Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya. 2. Karier Demam Tifoid. Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus. b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis. c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri. d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

Etiologi1. Salmonella typhi; sama dengan Salmonella lain adalah bakteri Gram negatif mempunyai flagela tidak berkapsul dan tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai anti gensomatik ( O ) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen ( H ) yang terdiri dari protein dan envelope antigen ( K ) yang tediri dari polisakarida. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari diding sel yang di namakan endotoksin. Salmonella Typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.2. Salmonella paratyphi :a. Berbentuk batangb. Gram negativec. Tidak membentuk sporad. Motile. Berkapsulf. Berflagella (bergerak dengan rambut getar)g. Dapat hidup beberapa minggu di alam bebas; air, es, sampah, dan debuh. Dapat mati dengan pemanasan (suhu 60C) 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasii. Mempunyai 3 macam antigen, ketiganya akan menyebabkan pembentukan 3 macam antibody yang disebut aglutinin.i. Antigen O (Ag Somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Mempunyai struktur lipopolisakarida/endotoksin. Tahan terhadap panas dan alkohol, tetapi tidak terhadap formaldehid.ii. Antigen H (Ag Flagella), terletak pada flagella, fimbriae, atau pili kuman. Tahan terhadap formaldehid, tetapi tidak terhadap alkohol dan panas.iii. Antigen Vi (Ag Kapsul/envelope), melindungi kuman terhadap fagositosis.

Manifestasi klinis1. gejala pada anak lebih ringan disbanding pada dewasa2. masa inkubasi rata-rata : 10-20 hari / 10-14 hari3. setelah masa inkubasi ditemukan gejala prodromal; perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat4. gejala klinis; pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala seperti penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. Pada pem. Fisik ditemukan peningkatan suhu tubuh.a. Demam berlangsung 3 minggu, febris remiten (suhu badan dapat turun setiap hari tapi tidak pernah mencapai suhu badan nomal,perbedaan suhu dapat mencapai 2C dan tidak sebesar perbedaam suhu pada demam septic) Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam dan gejala2 menjadi lebih jelas terjadi bradikardi relative (adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatosplenomegali, meteorismus, gangguan mental; somnolen, stupor, koma, delirium, psikosis. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. d.Rose spot/roseolaeadalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 sampai 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 sampai 10 dan bertahan selama 2 sampai 3 hari.

Sebagian keluar melalui feses Makrofag telah teraktivasi dan mjd hiperaktif ketika di fagositosis Melepaskan mediator inflamasi dan terjadi reaksi inflamasi sistemik*Reaksi hipersensitivitas tipe lambatHyperplasia dan nekrosis jaringan ususErosi pembuluh darah akibat akumulasi sel2 mononuklear di dind. Usus -> perdarahan sal cernaBerjalan terus sampai lap. Otot dan mukosa -> perforasiPatofisiologi dan Pathogenesis

*reaksi inflamasi sistemik; demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, ggn mental, dan koagulasi.PencegahanPencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun. b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.

Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan sekunder dapat berupa : a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid. b. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

Kriteria diagnosisUntuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :

a.Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.

c.Diagnosis serologik1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :i. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita a. Keadaan umum gizi penderita; gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit; aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit. c. Pengobatan dini dengan antibiotik; pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi. d. Penyakit-penyakit tertentu; pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi. f. Vaksinasi; pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya; keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. h. Daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.

ii. Faktor-faktor teknis a. Aglutinasi silang; karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal. b. Konsentrasi suspensi antigen; konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya. c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen; daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi; deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan tambahan1. Rutin; darah lengkapDidapatkan leucopenia, atau leukosit bisa normal ataupun leukositosis yang terjadi tanpa infeksi sekunder. Anemia ringan, trombositopenia, aneosinofilia, limfopenia, LED meningkat, SGPT dan SGOT meningkat (kembali normal setelah sembuh).2. Uji widaldilakukan untuk mendeteksi antibody dimana terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody(agglutinin) antigen yang digunakan adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Dimana agglutinin dalam serum penderita bisa berupa agglutinin O, agglutinin H, dan agglutinin Vi. Tapi yang bisa digunakan untuk diagnosis demam tifoid adalah agglutinin O dan H, yang semakin besar titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman. Pembentukan agglutinin dimulai pada akhir minggu pertama demam, meningkat cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat. Fase akut timbul agglutinin O yang diikuti agglutinin H. setelah sembuh agglutinin O menetap 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H 9-12 bulan.3. tubex score, merupakan uji semi-kuantitatif yang digunakan untuk mendeteksi antibody anti S typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Jika hasil yang didapat positif menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogrup D. tapi oleh infeksi S. paratyphi memberikan hasil negatif. Uji ini hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak bisa mendeteksi infeksi masa lampau. sensitivitas 75-80% spesifisitas 75-90% Tabel interpretasi hasil uji TubexSkorInterpretasi

6Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

4. typhidot, mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane luar salmonella typhhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi. Dapat mengidentifikasi scr spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50kD Sensitivitas 98% dan spesifisitas 76,6% Uji typhidot atau typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik pada serum pasien, untuk membedakan antara infeksi akut dan reinfeksi dan dengan menginaktivasi total IgG pada serum pasien.5. IgM dipstick Mendeteksi IgM spesifik S. typhi pada serum ataupun whole blood. Menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida s. typhi dan anti IgM(sbg control) Sensitivitas 65-77% dan spesifisitas 95-100% Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan dan tanpa memerlukan peralatan khusus.6. kultur darah standar baku penegakan diagnosis biakan darah positif berarti positif demam tifoid, tapi hasil biakan negative tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan;a. Telah mendapat terapi antibiotik,b. Volume darah yang kurang (yang diperlukan 5cc darah). Apabila terlalu sedikit hsl bisa negative. Darah diambil sebaiknya bedside dan lgsg dimasukan dlm media cairan empedu(oxgall) untuk pertumbuhan kumanc. Riwayat vaksinasi bisa menekan bakteremia sehingga biakan negatifd. Pengambilan darah dilakukan setelah minggu pertama saat agglutinin semakin meningkat.

TatalaksanaUmumTrilogy penatalaksanaan demam tifoid : 1. istirahat dan perawatan: untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan2. diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) : untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal3. antibiotic : menghentikan dan mencegah penyebaran kuman4. istirahat dan perawatan : tirah baring, untuk mencegah komplikasi

Komplikasia. Komplikasi Intestinal1. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. 2. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.b. Komplikasi Ekstraintestinal1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. 2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik. 3. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis 4. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis 5. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis 6. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis 7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

Prognosis